Lompat ke isi

Haram: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Julpani reza (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Julpani reza (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 38: Baris 38:
* Serakah, Tamak, Dan Rakus
* Serakah, Tamak, Dan Rakus
* Sihir, Santet, Susuk, Pelet, Dukun
* Sihir, Santet, Susuk, Pelet, Dukun
* Syirik
* Zalim
* Iri Dengki
* Ghibah, Gosip Dan Fitnah
* Membunuh
* Riba
* Menghina Al-Qur'an
* Murtad
* Bunuh Diri


== Status hukum lainnya ==
== Status hukum lainnya ==

Revisi per 24 Mei 2024 06.40

Haram (bahasa Arab: حرام, translit. Haram) berarti Hukum Islam terlarang. Merujuk pada sesuatu yang sakral tindakan berdosa yang dilarang untuk dilakukan. Secara bahasa sendiri Haram berarti suci, karena manusia itu suci, maka dilarang lah manusia oleh Allah untuk berbuat suatu hal yang berdosa karena akan merusak kesucian manusia itu sendiri. Oleh agama Islam sendiri secara definisi merupakan setiap perbuatan terlarang, dan tercela yang dituntut syar’i untuk ditinggalkan dengan dalil yang tegas dan pasti, serta diikuti dengan acaman hukuman bagi pelakunya dan imbalan bagi orang yang meninggalkannya.

Etimologi

Kata haram (bahasa Arab: حرام) berasal dari kata (Haruma-Yahrumu-Harāman) yang berarti melarang. Pada mulanya kata ini dimaksudkan untuk melarang suatu perbuatan demi menjaga kehormatan atau dengan kata lain, kata haruma pada awalnya bermakna menyucikan atau menghormati dan salah satu turunan dari kata haruma yakni (Ihtarama-Yahtarimu-Ihtirāman) berarti menjaga kehormatan atau menghormati.

Karena pergeseran makna, akhirnya kata ini bermakna melarang atau mentidak-bolehkan.

Yang berkaitan

Contoh subjek

  • Berjudi (contoh: judi menggunakan alat berupa hewan, yaitu ayam kampung, dan sebagainya);
  • Seks bebas;
  • Perkosaan;
  • Pelecehan seksual terhadap anak;
  • Zina;
  • Menyebar berita hoaks;
  • Mencuri;
  • Narkoba, dan minuman keras;
  • Mendurhakai orang tua, suami atau melakukan kekerasan dalam rumah tangga atau memukul istri, menampar, menendang, menghina dan mengerasi ibunya;
  • Mengonsumsi makanan atau minuman yang diharamkan seperti bangkai (kecuali ikan dan belalang), hewan yang dipotong atau mati tanpa basmalah, daging babi, daging kucing, Daging Tikus, Daging Cicak, Daging Biawak, Daging Ular, Kaki Seribu, Daging Elang, Daging Gagak, Daging Burung Hantu, Daging Burung Garuda, Kalajengking, Lebah, Kelabang, Semut, dan daging anjing;
  • Makan dan minum saat berpuasa. Tapi ketika sahur ataupun berbuka puasa, makanan dan minuman menjadi halal seperti semula.
  • Membunuh Hewan Yang haram Dimakan Seperti Semut, Lebah, Kucing, Burung Hud Hud Dan Burung Shuradi
  • Mengonsumsi Hewan Bertaring Dan Berkuku Tajam Seperti Harimau, Singa, Macan Tutul,
  • Memakan Hak Orang Lain Contoh Makan Harta Anak Yatim
  • Korupsi
  • Curang atau Culas
  • Serakah, Tamak, Dan Rakus
  • Sihir, Santet, Susuk, Pelet, Dukun
  • Syirik
  • Zalim
  • Iri Dengki
  • Ghibah, Gosip Dan Fitnah
  • Membunuh
  • Riba
  • Menghina Al-Qur'an
  • Murtad
  • Bunuh Diri

Status hukum lainnya

Hukum kebendaan

Emas

Para ulama dari Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki berpendapat bahwa perkakas yang terbuat dari bahan emas hukumnya haram digunakan untuk makan, minum dan berwudu. Abu Dawud berpendapat bahwa keharaman pemakaian emas hanya berlaku untuk minum. Sedangkan Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa perkakas berbahan emas dapat digunakan untuk makan, minum, maupun berwudu. Para ulama juga menyepakati bahwa emas haram digunakan sebagai saluran air.[1]

Perak

Menurut Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i, dan Mazhab Hambali, perak hukumnya haram digunakan untuk pembuatan saluran air jika digunakan sebagai hiasan dengan aliran yang besar. Sedangkan Mazhab Hanafi tidak mengharamkan pembuatan saluran air dari bahan perak.[1]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b ad-Dimasyqi 2017, hlm. 13.

Daftar pustaka

  • Ad-Dimasyqi, Muhammad bin 'Abdurrahman (2017). Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi. ISBN 978-602-97157-3-6. 

Pranala luar