Perang Padri: Perbedaan antara revisi
Membalikkan revisi 17559472 oleh Gervant of Shiganshina (bicara) LTA Manda Tag: Pembatalan Dikembalikan |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(102 revisi perantara oleh 58 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 4: | Baris 4: | ||
|partof = |
|partof = |
||
|image = [[Berkas:Naar-beide-zijden-front.jpg|310px|Perang Padri]] |
|image = [[Berkas:Naar-beide-zijden-front.jpg|310px|Perang Padri]] |
||
|caption = |
|caption = Perang Padri |
||
|date = |
|date = 1803–1837 |
||
|place = [[ |
|place = [[Sumatera Barat]], [[Sumatera Utara]] dan [[Riau]] |
||
|casus = Pertikaian [[Kaum Padri]] melawan [[Kaum Adat]], kemudian melibatkan Belanda. |
|casus = Pertikaian [[Kaum Padri]] melawan [[Kaum Adat]], kemudian melibatkan Belanda. |
||
|result = Kemenangan |
|result = * Perang I (1803-1825): Kemenangan Padri |
||
* Perang II (1830-1837): Kemenangan koalisi Adat dan Belanda |
|||
|combatant1 = Perang [[1803]]–[[1821]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Adat]]{{br}} Perang [[1821]]–[[1833]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Adat]]{{br}}{{flag|Belanda}}{{br}}Perang [[1833]]–[[1838]]:{{br}}{{flag|Belanda}}{{br}} |
|combatant1 = Perang [[1803]]–[[1821]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Adat]]{{br}} Perang [[1821]]–[[1833]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Adat]]{{br}}{{flag|Belanda}}{{br}}Perang [[1833]]–[[1838]]:{{br}}{{flag|Belanda}}{{br}} |
||
|combatant2 = {{br}}[[Berkas:Flag of Afghanistan pre-1901.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Padri]]{{br}}{{br}}[[Berkas:Flag of Afghanistan pre-1901.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Padri]]{{br}} |
|combatant2 = Perang [[1803]]-[[1821]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Afghanistan pre-1901.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Padri]]{{br}}Perang [[1821]]-[[1833]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Afghanistan pre-1901.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Padri]]{{br}}Perang [[1833]]-[[1838]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Afghanistan pre-1901.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Padri]]{{br}}[[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Adat]]{{br}} |
||
|commander1 = [[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Sultan Muning Alamsyah|Rajo Alam]] |
|commander1 = [[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Sultan Muning Alamsyah|Rajo Alam]]{{br}} [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Frans David Cochius|Mayor Jendral Cochius]]{{br}} [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers|Kolonel Stuers]]{{br}} [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Antoine Theodore Raaff|Letnan Kolonel Raaff]]{{br}}[[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Letnan Kolonel Elout]]{{br}}[[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Ferdinand Vermeulen Krieger|Letnan Kolonel Krieger]]{{br}} [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Johan Heinrich Conrad Bauer|Letnan Kolonel Bauer]]{{br}} {{nowrap|[[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Andreas Victor Michiels|Letnan Kolonel Michiels]]}}{{br}}[[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Frans Laemlin|Mayor Laemlin]]{{KIA}}{{br}}[[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Franciscus Fredericus Prager|Mayor Prager]]{{br}}[[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Leonardus Cornelis du Bus|Mayor du Bus]]{{br}} [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Toontje Poland|Kapten Poland]]{{br}} [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Hendrik Merkus Lange|Kapten Lange]]{{br}} |
||
|commander2 = {{nowrap|[[Berkas:Flag of Afghanistan pre-1901.svg|22x20px|tepi]] [[Tuanku Nan Renceh]] |
|commander2 = {{nowrap|[[Berkas:Flag of Afghanistan pre-1901.svg|22x20px|tepi]] [[Tuanku Nan Renceh]]}}{{br}}[[Berkas:Flag of Afghanistan pre-1901.svg|22x20px|tepi]] [[Tuanku Pasaman]]{{br}} [[Berkas:Flag of Afghanistan pre-1901.svg|22x20px|tepi]] [[Tuanku Imam Bonjol]]{{br}}[[Berkas:Flag of Afghanistan pre-1901.svg|22x20px|tepi]] [[Tuanku Rao]]{{KIA}}{{br}}[[Berkas:Flag of Afghanistan pre-1901.svg|22x20px|tepi]] [[Tuanku Tambusai]]{{br}} |
||
|casualties1 = |
|casualties1 = |
||
|casualties2 = |
|casualties2 = |
||
|notes = * Meninggal dunia dalam rentang waktu peperangan |
|||
}} |
}} |
||
'''Perang Padri''' adalah [[perang|peperangan]] yang berlangsung di [[Sumatra Barat]] dan sekitarnya terutama di kawasan [[Kerajaan Pagaruyung]] dari tahun [[1803]] hingga [[1838]].<ref>{{cite book|first=Jeanne|last=Cuisinier|year=1959|title=Archives de Sociologie des Religions|chapter=La Guerre des Padri (1803-1838-1845)|publisher=Centre National de la Recherche Scientifique}}</ref> Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah [[agama]] sebelum berubah menjadi peperangan melawan [[penjajahan]]. |
|||
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok [[ulama]] yang dijuluki sebagai [[Kaum Padri]] terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan [[masyarakat]] yang disebut [[Kaum Adat]] di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti [[perjudian]], [[Sabung ayam|penyabungan ayam]], [[Opium|penggunaan madat]], [[minuman keras]], [[tembakau]], [[sirih]], dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama [[Islam]].<ref name="Yudhi">{{cite book|title=Sejarah|publisher=Yudhistira Ghalia Indonesia|ISBN=978-979-746-801-9}}</ref> Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803. |
|||
'''Perang Padri''' (juga dikenal sebagai '''Perang''' '''Minangkabau''') adalah perang yang terjadi dari tahun 1803 sampai 1837 di [[Sumatera Barat|Sumatera Barat]], [[Indonesia]] antara kaum Padri dan Adat. [[Kaum Padri]] adalah umat [[muslim]] yang ingin menerapkan [[Syariat Islam]] di negeri [[Orang Minangkabau|Minangkabau]] di Sumatera Barat. Sedangkan [[kaum Adat]] mencakup para bangsawan dan ketua-ketua adat di sana. Mereka meminta tolong kepada [[Belanda]], yang kemudian ikut campur pada tahun 1821 dan menolong kaum Adat mengalahkan faksi Padri. |
|||
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai [[perang saudara]] yang melibatkan sesama [[Orang Minang|Minang]] dan [[Suku Mandailing|Mandailing]]. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh [[Harimau Nan Salapan]] sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh [[Yang Dipertuan Pagaruyung]] waktu itu [[Sultan Arifin Muningsyah]]. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada [[Belanda]] pada tahun [[1821]]. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda. |
|||
== Latar Belakang == |
|||
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik. |
|||
Perang Padri dianggap dimulai pada tahun 1803, sebelum campur tangan [[Belanda]], dan merupakan konflik yang pecah di negeri [[Orang Minangkabau|Minangkabau]] ketika kaum Padri mulai memberangus adat istiadat yang mereka anggap sebagai tidak [[Islami]]. Namun setelah pendudukan [[Kerajaan Pagaruyung]] oleh [[Tuanku Pasaman]], salah satu pemimpin Padri pada tahun 1815, pada tanggal 21 Februari 1821, kaum bangsawan Minangkabau membuat kesepakatan dengan Belanda di [[Padang]] untuk melawan mereka memerangi kaum Padri.<ref>Sjafnir Aboe Nain, 2004, ''Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.''</ref> |
|||
Kaum Padri, seperti halnya para jihadis sezaman di [[Kekhalifahan Sokoto]] di [[Afrika Barat]], adalah kaum puritan Islam yang telah menunaikan ibadah [[haji]] ke [[Makkah]] dan kembali<ref>The port where they embarked and disembarked, Pedir, Sumatra, gave them their name.</ref> dengan terinspirasi untuk membawa [[Al-Qur'an|Al-Quran]] dan [[Syariat Islam|syariah]] ke posisi yang lebih besar pengaruhnya di Sumatera. Gerakan Padri terbentuk pada awal abad ke-19 dan berusaha untuk membersihkan budaya dari tradisi dan kepercayaan yang dipandang oleh para pengikutnya sebagai tidak Islami. |
|||
== Latar belakang == |
|||
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang [[Haji]] dari [[Mekkah]] sekitar tahun 1803, yaitu [[Haji Miskin]], [[Haji Sumanik]] dan [[Haji Piobang]] yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat [[Minangkabau]].<ref>Azra, Azyumardi (2004). ''The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries''. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.</ref> Mengetahui hal tersebut, [[Tuanku Nan Renceh]] sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.<ref>Ampera Salim, Zulkifli (2005). ''Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer''. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.</ref> |
|||
Pada tahun 1820-an, Belanda belum mengkonsolidasikan kepemilikan mereka di beberapa bagian Hindia Belanda (kemudian menjadi Indonesia) setelah memperolehnya kembali dari Inggris. Hal ini terutama terjadi di pulau Sumatera, di mana beberapa daerah tidak berada di bawah kekuasaan Belanda sampai abad ke-20. |
|||
Harimau Nan Salapan kemudian meminta [[Tuanku Lintau]] untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa [[nagari]] dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan [[Tuanku Pasaman]] menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di [[Koto Tangah, Tanjung Emas, Tanah Datar|Koto Tangah]]. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.<ref name="Aboe">Nain, Sjafnir Aboe (2004). ''Memorie Tuanku Imam Bonjol''. Padang: PPIM.</ref> Dari catatan [[Stamford Raffles|Raffles]] yang pernah mengunjungi [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa [[Istano Basa|Istana Kerajaan Pagaruyung]] yang sudah terbakar.<ref>Raffles, Sophia (1830). ''Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles''. London: J. Murray.</ref> |
|||
== Perang Padri I 1803-1825 == |
|||
== Keterlibatan Belanda == |
|||
Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tangkal Alam Bagagar]] meminta bantuan kepada [[Belanda]] pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.<ref name="Rusli Amran">{{cite book|first=Rusli|last=Amran|authorlink=Rusli Amran|year=1981|title=Sumatra Barat hingga Plakat Panjang|publisher=Penerbit Sinar Harapan}}</ref> Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah [[Hindia Belanda]], kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai ''Regent Tanah Datar''.<ref>G. Kepper, (1900). ''Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900''. Den Haag: M.M. Cuvee.</ref> |
|||
=== Awal mula 1803-1821 === |
|||
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan [[Simawang, Rambatan, Tanah Datar|Simawang]] dan [[Sulit Air, X Koto Diatas, Solok|Sulit Air]] oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah [[Residen]] James du Puy di [[Padang]].<ref>''Episoden Uit Geschiedenis der Nederlandsche Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus''. Indisch Magazijn 12/1, No. 7. 1844:116.</ref> Kemudian pada [[8 Desember]] [[1821]] datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh [[Antoine Theodore Raaff|Letnan Kolonel Raaff]] untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut. |
|||
Sepulangnya tiga orang [[Ulama Minangkabau|alim ulama]] dari [[Mekkah]] sekitar tahun 1803, yaitu [[Haji Miskin]], [[Haji Sumanik]] dan [[Haji Piobang]], mereka mengungkapkan keinginan mereka yang ingin menyempurnakan penerapan syariat Islam di masyarakat [[Minangkabau]].<ref>Azra, Azyumardi (2004). ''The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries''. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.</ref> Mengetahui hal tersebut, [[Tuanku Nan Renceh]] sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang ulama. Bersama dengan ulama lain, delapan tokoh ini dikenal sebagai Harimau Nan Salapan (Harimau yang Delapan).<ref>Ampera Salim, Zulkifli (2005). ''Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer''. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.</ref> |
|||
Harimau Nan Salapan kemudian meminta [[Tuanku Lintau]] yang memiliki kedekatan dan kekerabatan dengan [[Raja Pagaruyung|Yang Dipertuan Pagaruyung]] [[Muningsyah dari Pagaruyung|Sultan Arifin Muningsyah]] untuk mengajak Kaum Adat agar meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa kali perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Konflik ini mendorong terjadinya gejolak di antara beberapa [[nagari]] dalam Kerajaan Pagaruyung, sampai pada 1815, Kaum Pagaruyung di bawah pimpinan [[Tuanku Pasaman|Tuanku Lintau]] menyerang Kaum Padri dan pecahlah peperangan di [[Koto Tangah, Tanjung Emas, Tanah Datar|Koto Tangah]]. Serangan ini menyebabkan [[Sultan Arifin Muningsyah]] terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.<ref name="Aboe">Nain, Sjafnir Aboe (2004). ''Memorie Tuanku Imam Bonjol''. Padang: PPIM.</ref> Catatan [[Stamford Raffles|Thomas Stamford Raffles]] yang pernah mengunjungi [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa [[Istano Basa|Istana Kerajaan Pagaruyung]] yang sudah terbakar.<ref>Raffles, Sophia (1830). ''Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles''. London: J. Murray.</ref> |
|||
=== Keterlibatan Belanda 1821-1825 === |
|||
Pada 21 Februari 1821, karena telah terdesak dan keberadaan [[Yang Dipertuan Pagaruyung]] di pengasingan, kemenakan beliau, [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Alam Bagagarsyah]] yang disertai beberapa pemuka [[Kaum Adat]] meminta bantuan kepada [[Belanda]]. Meski demikian, beberapa Kaum Adat yang lain merasa bahwa [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Bagagarsyah]] tidak memiliki hak mewakili Kerajaan Pagaruyung.<ref name="Rusli Amran">{{cite book|first=Rusli|last=Amran|authorlink=Rusli Amran|year=1981|title=Sumatera Barat hingga Plakat Panjang|publisher=Penerbit Sinar Harapan}}</ref> Lewat pengajuan bantuan ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda pengajuan penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah [[Hindia Belanda]], kemudian mengangkat [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tangkal Alam Bagagar]] sebagai ''Regent Tanah Datar''.<ref>G. Kepper, (1900). ''Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900''. Den Haag: M.M. Cuvee.</ref> |
|||
Sebagai bagian atas persetujuan bantuan Belanda, Kaum Adat menyerahkan daerah [[Simawang, Rambatan, Tanah Datar|Simawang]] dan [[Sulit Air, X Koto Diatas, Solok|Sulit Air]] oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah [[Residen]] James du Puy di [[Padang]].<ref>''Episoden Uit Geschiedenis der Nederlandsche Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus''. Indisch Magazijn 12/1, No. 7. 1844:116.</ref> Kemudian pada [[8 Desember]] [[1821]] datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh [[Antoine Theodore Raaff|Letnan Kolonel Raaff]] untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut. |
|||
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Fort van der Capellen Sumatra`s Westkust TMnr 60003554.jpg|jmpl|ka|''Fort van der Capellen'']] |
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Fort van der Capellen Sumatra`s Westkust TMnr 60003554.jpg|jmpl|ka|''Fort van der Capellen'']] |
||
Pada |
Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari [[Pagaruyung]]. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di [[Batusangkar]] dengan nama [[Fort Van der Capellen]], sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di [[Lintau Buo, Tanah Datar|Lintau]].<ref name="Lange">H. M. Lange (1852). ''Het Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845)''. ‘S Hertogenbosch: Gebroeder Muller. I: 20-1</ref> |
||
Pada 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di [[Tanjung Alam, Tanjung Baru, Tanah Datar|Tanjung Alam]] dihadang oleh Kaum Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke [[Luhak Agam]]. Pada 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di [[Baso, Agam|Baso]], Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan [[Kaum Padri]] yang dipimpin oleh [[Tuanku Nan Renceh]]. |
|||
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.<ref name="Dobbin">Dobbin, C.E. (1983). ''Islamic revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847''. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.</ref> Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami [[demam|demam tinggi]].<ref>P. C. Molhuysen en P.J. Blok (1911). ''Nieuw Nederlands Biografisch Woordenboek''. Deel 2, Bladzijde 1148.</ref> |
|||
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, [[Antoine Theodore Raaff|Letkol Raaff]] mencoba kembali menyerang [[Lintau]], tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke [[Batusangkar (kota)|Batusangkar]]. Pada 1824, [[Muningsyah dari Pagaruyung|Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah]] kembali ke Pagaruyung atas permintaan [[Antoine Theodore Raaff|Letkol Raaff]], tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.<ref name="Dobbin">Dobbin, C.E. (1983). ''Islamic revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847''. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.</ref> Sedangkan Raaff telah meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami [[demam|demam tinggi]].<ref>P. C. Molhuysen en P.J. Blok (1911). ''Nieuw Nederlands Biografisch Woordenboek''. Deel 2, Bladzijde 1148.</ref> |
|||
Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan [[Frans Laemlin|Mayor Frans Laemlin]] telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya [[Koto Tuo, IV Koto, Agam|Koto Tuo]] dan [[Ampang Gadang, IV Angkek, Agam|Ampang Gadang]]. Kemudian mereka juga telah menduduki [[Biaro Gadang, IV Angkek, Agam|Biaro]] dan [[Kapau, Tilatang Kamang, Agam|Kapau]], tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.<ref>Nederlandse Staatscourant (10 Juni 1825).</ref> |
|||
Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan [[Frans Laemlin|Mayor Frans Laemlin]] telah berhasil menguasai beberapa kawasan di [[Luak Agam|Luhak Agam]] di antaranya [[Koto Tuo, IV Koto, Agam|Koto Tuo]] dan [[Ampang Gadang, IV Angkek, Agam|Ampang Gadang]]. Kemudian mereka juga telah menduduki [[Biaro Gadang, IV Angkek, Agam|Biaro]] dan [[Kapau, Tilatang Kamang, Agam|Kapau]], tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.<ref>Nederlandse Staatscourant (10 Juni 1825).</ref> |
|||
== Gencatan senjata == |
|||
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh [[Tuanku Imam Bonjol]] untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.<ref name="Yudhi"/> Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di [[Eropa]] dan [[Jawa]] seperti [[Perang Diponegoro]]. |
|||
== Gencatan Senjata 1825 - 1831 == |
|||
Selama periode [[gencatan senjata]], Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di [[Bukit Marapalam]], [[Kabupaten Tanah Datar]] yang mewujudkan konsensus bersama ''Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah'' yang artinya [[adat Minangkabau]] berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada [[Al-Qur'an]].<ref>Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah (2009). ''Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia'', Bab 6: ''Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira''. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0</ref> |
|||
Perlawanan yang dilakukan oleh [[Kaum Padri]] cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu dipimpin oleh [[Tuanku Imam Bonjol]] untuk berdamai melalui "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.<ref name="Yudhi">{{cite book|title=Sejarah|publisher=Yudhistira Ghalia Indonesia|ISBN=978-979-746-801-9}}</ref> Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di [[Eropa]] dan [[Jawa]] seperti [[Perang Diponegoro]]. |
|||
Selama periode [[gencatan senjata]], [[Tuanku Imam Bonjol]] mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali [[Kaum Adat]]. Sehingga akhirnya terjadi kesepakatan yang dikenal dengan nama "[[Sumpah Satie Bukit Marapalam|Sumpah Satie Bukik Marapalam]]" di [[Bukit Marapalam]], [[Kabupaten Tanah Datar]] yang mewujudkan konsensus ''Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah'' yang bermakna bahwa [[Adat Minangkabau]] berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada [[Al-Qur'an]].<ref>Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah (2009). ''Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia'', Bab 6: ''Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira''. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0</ref>[[Berkas:Portret van Tuanku Imam Bonjol.jpg|jmpl|170px|[[Tuanku Imam Bonjol]], salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh [[Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers|de Stuers]] pada tahun [[1820]].]] |
|||
== Tuanku Imam Bonjol == |
|||
[[Berkas:Portret van Tuanku Imam Bonjol.jpg|jmpl|kiri|170px|[[Tuanku Imam Bonjol]], salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh [[Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers|de Stuers]] pada tahun [[1820]].]] |
|||
=== Tuanku Imam Bonjol === |
|||
{{utama|Tuanku Imam Bonjol}} |
{{utama|Tuanku Imam Bonjol}} |
||
[[Tuanku Imam Bonjol]] yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]].<ref>Munasifah (2007). ''Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1''. Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1</ref> Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.<ref>Mardjani Martamin (1984). ''Tuanku Imam Bonjol''. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.</ref> |
[[Tuanku Imam Bonjol]] yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh [[Tuanku Nan Renceh]] sebagai Imam di [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]].<ref>Munasifah (2007). ''Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1''. Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1</ref> Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.<ref>Mardjani Martamin (1984). ''Tuanku Imam Bonjol''. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.</ref> |
||
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan keliru yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain [[fanatisme]] tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.<ref name="Aboe"/> |
|||
== Perang Padri II 1831-1838 == |
|||
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain [[fanatisme]] tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.<ref name="Aboe"/> |
|||
=== Jatuhnya Luhak Nan Tigo 1831-1833 === |
|||
== Peperangan jilid kedua == |
|||
Setelah berakhirnya |
Setelah berakhirnya [[Perang Diponegoro]] dan pulihnya kekuatan [[Hindia Belanda|Belanda]] di Jawa, [[Hindia Belanda|Pemerintah Hindia Belanda]] kembali mencoba untuk menundukan [[Kaum Padri]]. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman [[kopi]] yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (''wilayah'' ''darek''). Sampai [[abad ke-19]], komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. [[Christine Dobbin]] menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.<ref name="Dobbin" /> |
||
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian |
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian gencatan senjata dengan menyerang nagari [[Pandai Sikek, Sepuluh Koto, Tanah Datar|Pandai Sikek]] yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi [[mesiu]] dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun [[benteng]] di [[Kota Bukittinggi|Bukittinggi]] yang dikenal dengan nama [[Fort de Kock (benteng)|Fort de Kock]]. Pada awal [[Agustus]] [[1831]], [[Lintau]] berhasil ditaklukkan dan menjadikan [[Luhak Tanah Datar]] berada dalam kendali Belanda. Namun [[Tuanku Lintau]] masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan [[Luhak Limo Puluah]]. |
||
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Bezoek van de gouverneur-generaal aan Fort de Kock Sumatra TMnr 10001575.jpg|jmpl|ka|Persiapan pasukan Belanda di ''Fort de Kock'']] |
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Bezoek van de gouverneur-generaal aan Fort de Kock Sumatra TMnr 10001575.jpg|jmpl|ka|Persiapan pasukan Belanda di ''Fort de Kock'']] |
||
Sementara ketika [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Letnan Kolonel Elout]] melakukan berbagai serangan terhadap [[Kaum Padri]] antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan [[Sentot Prawirodirdjo]], salah seorang panglima pasukan [[Pangeran Diponegoro]] yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Letnan Kolonel Elout]] berpendapat, kehadiran [[Sentot Prawirodirdjo|Sentot]] yang ditempatkan di [[Lintau]] justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya dan mengirimnya kembali ke Sumatra. Sentot dibuang dan ditahan di [[Bengkulu]], sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda. |
|||
[[Berkas:Sentot, opperbevelhebber der rebellen.jpg|jmpl|kiri|170px|[[Sentot Prawirodirdjo]], yang diilustrasikan oleh [[Justus Pieter de Veer]].]] |
[[Berkas:Sentot, opperbevelhebber der rebellen.jpg|jmpl|kiri|170px|[[Sentot Prawirodirdjo]], yang diilustrasikan oleh [[Justus Pieter de Veer]].]] |
||
Pada |
Pada Juli 1832, dari [[Batavia]] dikirim pasukan [[infantri]] dalam jumlah besar di bawah pimpinan [[Letnan Kolonel]] [[Ferdinand P. Vermeulen Krieger]], untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Pada Oktober 1832, [[Luak Limo Puluah|Luhak Limo Puluah]] telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya [[Tuanku Lintau]].<ref>Zakariya, Hafiz (2006). ''Islamic reform in colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh al-Hadi''. ProQuest. ISBN 0-542-86357-X.</ref> Kemudian [[Kaum Padri]] terus melakukan konsolidasi dan berkubu di [[Kamang Magek, Agam|Kamang]], tetapi seluruh kekuatan Kaum Padri di [[Luhak Agam]] juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya [[Kamang Magek, Agam|Kamang]] pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari [[Luak|kawasan luhak]] dan bertahan di Bonjol. |
||
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada |
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis [[Kaum Padri]]. Pada Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Matinggi, tetapi sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan [[Tuanku Rao]] yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.<ref>Nederlandse Staatscourant (17-06-1833).</ref> Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada [[29 Januari]] [[1833]], Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani [[peluru]]. Kemudian ia dinaikkan ke atas [[kapal]] untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke [[laut]] oleh tentara Belanda.<ref>Said, Mohammad (1961). ''Dari halaman2 terlepas dalam catatan tentang tokoh Singamangaradja XII''. [[Waspada (surat kabar)|Waspada]].</ref> |
||
=== Konsolidasi Kaum Adat dan Kaum Padri 1833 === |
|||
== Perlawanan bersama == |
|||
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Adathoofden van de Minangkabau met gevolg TMnr 10026889.jpg|jmpl|ka|200px|[[Kaum Adat]]]] |
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Adathoofden van de Minangkabau met gevolg TMnr 10026889.jpg|jmpl|ka|200px|[[Kaum Adat]]]] |
||
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.<ref>Abdullah, Taufik (1966). ''Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau''. Indonesia. No. 2, 1-24.</ref> Pada |
Sejak tahun [[1833]] mulai muncul kompromi antara [[Kaum Adat]] dan [[Kaum Padri]].<ref>Abdullah, Taufik (1966). ''Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau''. Indonesia. No. 2, 1-24.</ref> Pada 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;<ref>Nederlandse Staatscourant (29-05-1833).</ref> disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tunggul Alam Bagagar]] yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai ''Regent Tanah Datar'', ditangkap oleh pasukan [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Letnan Kolonel Elout]] pada tanggal 2 Mei 1833 di [[Batusangkar (kota)|Batusangkar]] atas tuduhan pengkhianatan dan diasingkan ke [[Batavia]]. Dalam catatan Belanda [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tunggul Alam Bagagar]] menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, tetapi pemerintah [[Hindia Belanda]] juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan ''Regent Tanah Datar'' kemudian diberikan kepada [[Tuan Gadang]] di [[Batipuh, Tanah Datar|Batipuh]].<ref name="Rusli Amran"/> |
||
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja |
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "[[Plakat Panjang]]" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para [[penghulu]] mereka dan tidak pula diharuskan membayar [[pajak]]. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat [[jalan]], membuka [[sekolah]], dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda. |
||
== Serangan ke Bonjol == |
=== Serangan ke Bonjol 1833-1835 === |
||
[[Berkas:Luitenant-kolonel-Raaff-voo.jpg|jmpl |
[[Berkas:Luitenant-kolonel-Raaff-voo.jpg|jmpl|[[Antoine Theodore Raaff|Letnan Kolonel Raaff]] dan pasukannya, dilukiskan oleh [[Justus Pieter de Veer]]. Raaff meninggal dunia sebelum berakhirnya Perang Padri.]] |
||
[[Berkas:Heldhaftig-gedrag-van-luite.jpg |
[[Berkas:Heldhaftig-gedrag-van-luite.jpg|jmpl|Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.]] |
||
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa [[Daftar Penguasa Hindia Belanda|Gubernur Jenderal Hindia Belanda]] [[Johannes van den Bosch]] pada |
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa [[Daftar Penguasa Hindia Belanda|Gubernur Jenderal Hindia Belanda]] [[Johannes van den Bosch]] pada 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses [[operasi militer]] yang dilakukan oleh pasukan Belanda.<ref>Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat Indonesia (1964). ''Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia''. Staf Angkatan Bersenjata.</ref> Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan [[Komisaris]] [[Pesisir Barat Sumatra]], [[Carel Jan Riesz|Mayor Jenderal Riesz]] dan [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Letnan Kolonel Elout]] untuk segera menaklukkan [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]], pusat komando pasukan Padri. |
||
[[Carel Jan Riesz|Riesz]] dan [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Elout]] menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]], karena kesetiaan penduduk [[Luhak Agam]] masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi [[Johannes van den Bosch|van den Bosch]] bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta penangguhan enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833. |
|||
Taktik [[Perang gerilya|serangan gerilya]] yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa [[senjata]] dan [[pakaian]] yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda digantikan oleh [[Jean Chrétien Baud]], Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya. |
|||
Taktik [[Perang gerilya|serangan gerilya]] yang diterapkan [[Kaum Padri]] berhasil memperlambat gerak serangan Belanda ke [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]], bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa [[senjata]] dan [[pakaian]] yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda digantikan oleh [[Jean Chrétien Baud]], [[Johannes van den Bosch|van den Bosch]] membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya. |
|||
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya. |
|||
Selama 1834, Belanda memfokuskan pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dengan mengerahkan ribuan tenaga [[kerja paksa]]. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak [[Belanda]] juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya. |
|||
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh [[Johan Heinrich Conrad Bauer|Letnan Kolonel Bauer]], memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari [[Matur, Agam|Matur]] dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi [[sungai]] yang saat itu tengah dilanda [[banjir]], dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki [[gunung]] dan menuruni [[lembah]]; guna membuka jalur baru menuju Bonjol. |
|||
Pada 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh [[Johan Heinrich Conrad Bauer|Letnan Kolonel Bauer]] yang memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari [[Matur, Agam|Matur]] dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi [[sungai]] yang saat itu tengah dilanda [[banjir]], dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki [[gunung]] dan menuruni [[lembah]]; guna membuka jalur baru menuju Bonjol. |
|||
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi [[Batang Gantiang]], kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.<ref>J.C. van Rijnveld (1841). ''De Merkwaardige Terugtocht van Pisang op Agam''. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.</ref> |
|||
Pada 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi [[Batang Gantiang]], kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh [[Kaum Padri]]. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mundur ke hutan-hutan sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.<ref>J.C. van Rijnveld (1841). ''De Merkwaardige Terugtocht van Pisang op Agam''. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.</ref> |
|||
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah [[Lembah Alahan Panjang]]. Sebagai ''front'' terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.<ref>Abdul Qadir Djaelani, (1999), ''Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda'', Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah.</ref> |
|||
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah [[Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok|Lembah Alahan Panjang]]. Sebagai ''front'' terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah [[Padang Laweh, Sungai Pua, Agam|Padang Lawas]] yang secara penuh masih dikuasai oleh [[Kaum Padri]]. Namun pada 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.<ref>Abdul Qadir Djaelani, (1999), ''Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda'', Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah.</ref>Selanjutnya pada 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur [[Batang Alahan Panjang]] dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya. |
|||
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan ''houwitser'', [[mortir]] dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban. |
Pasukan Belanda berhasil mendekati [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan ''houwitser'', [[mortir]] dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban. |
||
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi. |
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi. |
||
== Benteng Bonjol == |
=== Benteng Bonjol === |
||
[[Berkas:Bondjol2.jpg |
[[Berkas:Bondjol2.jpg|jmpl|ka|Lukisan [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] pada tahun [[1839]].]] |
||
[[Benteng Bukit Tak Jadi|Benteng Bonjol]] terletak di atas [[bukit]] yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir [[Batang Alahan Panjang]], sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat [[parit]] yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari [[batu|batu-batu]] besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti [[benteng|benteng-benteng]] di Eropa dan di atasnya ditanami [[bambu]] berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.<ref name="Boelhouwer">Boelhouwer, J.C. (1841). ''Herinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834''. Den Haag: Erven Doorman.</ref> |
[[Benteng Bukit Tak Jadi|Benteng Bonjol]] terletak di atas [[bukit]] yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama [[Benteng Bukit Tajadi|Bukit Tajadi]]. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir [[Batang Alahan Panjang]], sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat [[parit]] yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari [[batu|batu-batu]] besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti [[benteng|benteng-benteng]] di Eropa dan di atasnya ditanami [[bambu]] berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.<ref name="Boelhouwer">Boelhouwer, J.C. (1841). ''Herinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834''. Den Haag: Erven Doorman.</ref> |
||
[[Semak|Semak belukar]] dan [[hutan]] yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.<ref name="TEMPO: Dari Catatan Harian Bonjol">[[Tempointeraktif]], 15 Oktober 2007. [http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/10/15/IQR/mbm.20071015.IQR125285.id.html Dari Catatan Harian Bonjol].</ref> |
[[Semak|Semak belukar]] dan [[hutan]] yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.<ref name="TEMPO: Dari Catatan Harian Bonjol">[[Tempointeraktif]], 15 Oktober 2007. [http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/10/15/IQR/mbm.20071015.IQR125285.id.html Dari Catatan Harian Bonjol] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20180225055431/http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/10/15/IQR/mbm.20071015.IQR125285.id.html |date=2018-02-25 }}.</ref> |
||
== Pengepungan Bonjol == |
=== Pengepungan Bonjol 1835-1837 === |
||
[[Berkas:Aftocht van de bezetting van Amerongen.jpg |
[[Berkas:Aftocht van de bezetting van Amerongen.jpg|jmpl|ka|Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh [[Justus Pieter de Veer]].]] |
||
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara |
Melihat kokohnya [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]], pasukan [[Belanda]] mencoba melakukan blokade terhadap [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan [[Kaum Padri|Padri]]. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan [[Kaum Padri]] secara [[gerilya]]. |
||
Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati [[syahid]]. |
|||
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan [[tentara]] yang terdiri dari pasukan [[Bugis]] datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.<ref name="Cochius">''Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis''. hlm. 59-183.</ref> Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol. |
|||
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan [[tentara]] yang terdiri dari pasukan [[Bugis]] datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di [[Benteng Bukit Tajadi|Bukit Tajadi]], dan pasukan [[Bugis]] ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.<ref name="Cochius">''Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis''. hlm. 59-183.</ref> |
|||
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah [[Luhak Limo Puluah]] dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh [[Franciscus Fredericus Prager|Mayor Prager]]. |
|||
Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, [[Kaum Padri]] keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol. |
|||
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat [[Simpang Alahan Mati, Pasaman|Simpang dan Alahan Mati]] mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu [[Pulau Madura|Madura]] yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi. |
|||
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah [[Luhak Limo Puluah]] dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh [[Franciscus Fredericus Prager|Mayor Prager]]. |
|||
[[Berkas:Flankeur-Ligtvoet-op-een-ve.jpg||jmpl|kiri|170px|Kemenangan Belanda dalam Perang Padri, yang diilustrasikan oleh [[Justus Pieter de Veer]].]] |
|||
[[Berkas:Cochius, FD.jpg||jmpl|kiri|170px|[[Frans David Cochius]], komandan penaklukan Benteng Bonjol.]] |
|||
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak. |
|||
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat [[Simpang Alahan Mati, Pasaman|Simpang dan Alahan Mati]] mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu [[Pulau Madura|Madura]] yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.[[Berkas:Cochius, FD.jpg|jmpl|170px|[[Frans David Cochius]], komandan penaklukan Benteng Bonjol.]] |
|||
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh [[Dominique Jacques de Eerens]], kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama [[Frans David Cochius|Mayor Jenderal Cochius]] untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya.<ref>Tate, D. J. M. (1971). ''The Making of Modern South-East Asia: The European conquest''. Oxford University Press.</ref> Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang ''[[Benteng Stelsel]]''. |
|||
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga [[Tuanku Imam Bonjol]]. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak. |
|||
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda]] di [[Batavia]] yang waktu itu telah dipegang oleh [[Dominique Jacques de Eerens]], kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama [[Frans David Cochius|Mayor Jenderal Cochius]] untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]] untuk kesekian kalinya.<ref>Tate, D. J. M. (1971). ''The Making of Modern South-East Asia: The European conquest''. Oxford University Press.</ref> Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang ''[[Benteng Stelsel]]''. |
|||
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)<ref name="Teitler">G. Teitler (2004). ''Het Einde Padri Oorlog: Het Beleg en de Vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een Bronnenpublicatie''. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm. 59-183.</ref> dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, [[Bugis]] dan [[Ambon]]. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira [[pribumi]], 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya ''Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen'' (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, [[Franciscus Fredericus Prager|Mayor Prager]], Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama ''Inlandsche'' (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya. |
|||
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)<ref name="Teitler">G. Teitler (2004). ''Het Einde Padri Oorlog: Het Beleg en de Vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een Bronnenpublicatie''. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm. 59-183.</ref> dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti [[Suku Jawa|Jawa]], [[Suku Madura|Madura]], [[Suku Bugis|Bugis]] dan [[Suku Ambon|Ambon]]. Terdapat 148 perwira [[Suku Eropa-Indonesia|Eropa]], 36 perwira [[Pribumi-Nusantara|pribumi]], 1.103 tentara [[Suku Eropa-Indonesia|Eropa]], 4.130 tentara [[Pribumi-Nusantara|pribumi]], termasuk di dalamnya ''Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen'' (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah [[Frans David Cochius|Mayjen Cochius]], Letkol Bauer, Mayor Sous, [[Franciscus Fredericus Prager|Mayor Prager]], Kapten MacLean, Lettu van der Tak, Peltu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama ''Inlandsche'' (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya. |
|||
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan ''Sepoys'', serdadu dari [[Afrika]] yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari [[Ghana]] dan [[Mali]], terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe. |
|||
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, yang tiba pada 20 Juli 1837 dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan ''Sepoys'', serdadu dari [[Afrika]] yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari [[Ghana]] dan [[Mali]], terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe. |
|||
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan [[artileri]] yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan [[infantri]] dan [[kavaleri]] yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh [[Andreas Victor Michiels|Letnan Kolonel Michiels]] sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak. |
|||
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan [[artileri]] yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan [[infantri]] dan [[kavaleri]] yang terus berdatangan. Pada 3 Agustus 1837 dipimpin oleh [[Andreas Victor Michiels|Letnan Kolonel Michiels]] sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, [[Bukit Tajadi]] jatuh, dan pada 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun [[Tuanku Imam Bonjol]] dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah [[Marapak]]. |
|||
== Perundingan == |
|||
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali. |
|||
=== Penangkapan & Pengasingan Tuanku Imam Bonjol 1837 === |
|||
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda<ref name=":0">{{Cite journal|last=Hadler|first=Jeffrey|date=2008/08|title=A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History|url=https://www.cambridge.org/core/journals/journal-of-asian-studies/article/historiography-of-violence-and-the-secular-state-in-indonesia-tuanku-imam-bondjol-and-the-uses-of-history/E87E1A7ADBE2861999240C78C27C0829|journal=The Journal of Asian Studies|language=en|volume=67|issue=3|pages=971–1010|doi=10.1017/S0021911808001228|issn=1752-0401}} Halaman 986-989, 1002</ref>. |
|||
Dalam pelarian dan persembunyiannya, [[Tuanku Imam Bonjol]] terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali. |
|||
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Hadler|first=Jeffrey|date=2008/08|title=A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History|url=https://www.cambridge.org/core/journals/journal-of-asian-studies/article/historiography-of-violence-and-the-secular-state-in-indonesia-tuanku-imam-bondjol-and-the-uses-of-history/E87E1A7ADBE2861999240C78C27C0829|journal=The Journal of Asian Studies|language=en|volume=67|issue=3|pages=971–1010|doi=10.1017/S0021911808001228|issn=1752-0401}} Halaman 986-989, 1002</ref> |
|||
Pada tanggal 23 Januari 1838, Imam Bonjol dibuang ke [[Cianjur]], dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Lotta, [[Kabupaten Minahasa|Minahasa]], dekat [[Manado]], dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal [[8 November]] [[1864]]. Beliau dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut. |
|||
Pada 23 Januari 1838 Imam Bonjol dibuang ke [[Cianjur]], pada akhir 1838 ia dipindahkan ke [[Pulau Ambon|Ambon]]. Pada 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Lotta, [[Kabupaten Minahasa|Minahasa]], dekat [[Manado]], dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal [[8 November]] [[1864]]. Beliau dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut. |
|||
Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi penyesalannya atas kekejaman Wahabi Paderi<ref name=":0" />. Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley<ref>IMAM BONDJOL, TUANKU, and NAALI, SUTAN CANIAGO. 1925. Naskah Tuanku Imam Bondjol [manuscript in Arabic-script Minangkabau]. University of California, Berkeley. Doe |
|||
[[Tuanku Imam Bonjol]] menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi kekecewaannya terhadap masyarakat Bonjol yang terpecah dan tidak mau bersatu.<ref name=":0" /> Tulisan tersebut merupakan karya sastra [[autobiografi]] pertama dalam [[bahasa Melayu]] disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley,<ref>IMAM BONDJOL, TUANKU, and NAALI, SUTAN CANIAGO. 1925. Naskah Tuanku Imam Bondjol [manuscript in Arabic-script Minangkabau]. University of California, Berkeley. Doe |
|||
Library, DS646.15.S76.I43.</ref>, dan 2004<ref>IMAM BONDJOL, TUANKU. 2004. Naskah Tuanku Imam Bonjol. Transliterator Syafnir Aboe Nain. Padang: PPIM.</ref> di Padang.<ref name=":0" /> |
|||
Library, DS646.15.S76.I43.</ref> dan 2004 di Padang.<ref name=":0" /><ref>IMAM BONDJOL, TUANKU. 2004. Naskah Tuanku Imam Bonjol. Transliterator Syafnir Aboe Nain. Padang: PPIM.</ref> |
|||
== Akhir Peperangan == |
|||
=== Akhir Perang Padri 1838 === |
|||
[[Berkas:Padri War Monument.JPG|jmpl|ka|Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia Belanda]] |
[[Berkas:Padri War Monument.JPG|jmpl|ka|Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia Belanda]] |
||
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda |
Meskipun pada tahun 1837 [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]] dapat dikuasai Belanda dan [[Tuanku Imam Bonjol]] berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir [[Kaum Padri]], di [[Daludalu, Tambusai, Rokan Hulu|Daludalu]] ([[Rokan Hulu]]), yang waktu itu telah dipimpin oleh [[Tuanku Tambusai]] jatuh pada 28 Desember 1838.<ref>''Sejarah Untuk SMP dan MTs''. Grasindo. ISBN 978-979-025-198-4.</ref> Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke [[Negeri Sembilan]] di [[Semenanjung Malaya]] dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai, kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari ''[[Pax Netherlandica]]'' dan wilayah ''[[Dataran Tinggi Padang|Padangse Bovenlanden]]'' telah berada di bawah pengawasan [[Hindia Belanda|Pemerintah Hindia Belanda]]. |
||
== Warisan Sejarah == |
== Warisan Sejarah == |
||
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.<ref name="Boelhouwer"/> Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau.<ref>Westenenk, L. C., (1913), ''Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen Days’ Trip in the Padang Highlands'', Batavia (Weltevreden): Official Tourist Bureau.</ref> Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol. |
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap [[patriotisme]] kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]], pemerintah [[Hindia Belanda]] membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.<ref name="Boelhouwer"/> Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di [[Orang Minangkabau|Minangkabau]].<ref>Westenenk, L. C., (1913), ''Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen Days’ Trip in the Padang Highlands'', Batavia (Weltevreden): Official Tourist Bureau.</ref> Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan [[Museum Tuanku Imam Bonjol|Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol]]. |
||
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai [[Pahlawan Nasional]]. |
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai [[Pahlawan Nasional]]. |
||
Baris 148: | Baris 157: | ||
== Referensi == |
== Referensi == |
||
{{reflist|2}} |
{{reflist|2}} |
||
== Bacaan lanjutan == |
|||
== Daftar pustaka == |
|||
{{col|2; font-size:90%;}} |
|||
* 1838. ''Het verhaal van de overwinning van Bondjol''. De Avondbode. (26-03-1838) |
|||
* 1839. ''Bondjol''. Tijdschrift voor Nederlands Indië. 456-458. |
|||
* 1840. [[Jacob Cornelis van Rijneveld|J.C. van Rijneveld]]. ''Veldtocht der Nederlandse troepen op het eiland Celebes in de jaren 1824-1825''. Militaire Spectator. Bladzijde 221-240. |
* 1840. [[Jacob Cornelis van Rijneveld|J.C. van Rijneveld]]. ''Veldtocht der Nederlandse troepen op het eiland Celebes in de jaren 1824-1825''. Militaire Spectator. Bladzijde 221-240. |
||
* 1841. J.C. Boelhouwer. ''Herinneringen aan mijn tijd op Sumatra's Westkust gedurende de jaren 1831-1834''. Erven Doorman. |
* 1841. J.C. Boelhouwer. ''Herinneringen aan mijn tijd op Sumatra's Westkust gedurende de jaren 1831-1834''. Erven Doorman. |
||
Baris 167: | Baris 172: | ||
[[Kategori:Perang Padri| ]] |
[[Kategori:Perang Padri| ]] |
||
[[Kategori:Sejarah Nusantara]] |
[[Kategori:Sejarah Nusantara]] |
||
[[Kategori:Perang yang melibatkan Belanda]] |
|||
[[Kategori:Perang yang melibatkan Indonesia]] |
|||
[[Kategori:Hindia Belanda dalam tahun 1803]] |
[[Kategori:Hindia Belanda dalam tahun 1803]] |
||
[[Kategori:Hindia Belanda dalam tahun 1838]] |
[[Kategori:Hindia Belanda dalam tahun 1838]] |
Revisi terkini sejak 12 November 2024 02.37
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Perang Padri | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Perang Padri | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Perang 1803–1821: Kaum Adat Perang 1821–1833: Kaum Adat Belanda Perang 1833–1838: Belanda |
Perang 1803-1821: Kaum Padri Perang 1821-1833: Kaum Padri Perang 1833-1838: Kaum Padri Kaum Adat | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Rajo Alam Mayor Jendral Cochius Kolonel Stuers Letnan Kolonel Raaff Letnan Kolonel Elout Letnan Kolonel Krieger Letnan Kolonel Bauer Letnan Kolonel Michiels Mayor Laemlin † Mayor Prager Mayor du Bus Kapten Poland Kapten Lange |
Tuanku Nan Renceh Tuanku Pasaman Tuanku Imam Bonjol Tuanku Rao † Tuanku Tambusai |
Perang Padri (juga dikenal sebagai Perang Minangkabau) adalah perang yang terjadi dari tahun 1803 sampai 1837 di Sumatera Barat, Indonesia antara kaum Padri dan Adat. Kaum Padri adalah umat muslim yang ingin menerapkan Syariat Islam di negeri Minangkabau di Sumatera Barat. Sedangkan kaum Adat mencakup para bangsawan dan ketua-ketua adat di sana. Mereka meminta tolong kepada Belanda, yang kemudian ikut campur pada tahun 1821 dan menolong kaum Adat mengalahkan faksi Padri.
Latar Belakang
[sunting | sunting sumber]Perang Padri dianggap dimulai pada tahun 1803, sebelum campur tangan Belanda, dan merupakan konflik yang pecah di negeri Minangkabau ketika kaum Padri mulai memberangus adat istiadat yang mereka anggap sebagai tidak Islami. Namun setelah pendudukan Kerajaan Pagaruyung oleh Tuanku Pasaman, salah satu pemimpin Padri pada tahun 1815, pada tanggal 21 Februari 1821, kaum bangsawan Minangkabau membuat kesepakatan dengan Belanda di Padang untuk melawan mereka memerangi kaum Padri.[1]
Kaum Padri, seperti halnya para jihadis sezaman di Kekhalifahan Sokoto di Afrika Barat, adalah kaum puritan Islam yang telah menunaikan ibadah haji ke Makkah dan kembali[2] dengan terinspirasi untuk membawa Al-Quran dan syariah ke posisi yang lebih besar pengaruhnya di Sumatera. Gerakan Padri terbentuk pada awal abad ke-19 dan berusaha untuk membersihkan budaya dari tradisi dan kepercayaan yang dipandang oleh para pengikutnya sebagai tidak Islami.
Pada tahun 1820-an, Belanda belum mengkonsolidasikan kepemilikan mereka di beberapa bagian Hindia Belanda (kemudian menjadi Indonesia) setelah memperolehnya kembali dari Inggris. Hal ini terutama terjadi di pulau Sumatera, di mana beberapa daerah tidak berada di bawah kekuasaan Belanda sampai abad ke-20.
Perang Padri I 1803-1825
[sunting | sunting sumber]Awal mula 1803-1821
[sunting | sunting sumber]Sepulangnya tiga orang alim ulama dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, mereka mengungkapkan keinginan mereka yang ingin menyempurnakan penerapan syariat Islam di masyarakat Minangkabau.[3] Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang ulama. Bersama dengan ulama lain, delapan tokoh ini dikenal sebagai Harimau Nan Salapan (Harimau yang Delapan).[4]
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau yang memiliki kedekatan dan kekerabatan dengan Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah untuk mengajak Kaum Adat agar meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa kali perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Konflik ini mendorong terjadinya gejolak di antara beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung, sampai pada 1815, Kaum Pagaruyung di bawah pimpinan Tuanku Lintau menyerang Kaum Padri dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.[5] Catatan Thomas Stamford Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.[6]
Keterlibatan Belanda 1821-1825
[sunting | sunting sumber]Pada 21 Februari 1821, karena telah terdesak dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung di pengasingan, kemenakan beliau, Sultan Alam Bagagarsyah yang disertai beberapa pemuka Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda. Meski demikian, beberapa Kaum Adat yang lain merasa bahwa Bagagarsyah tidak memiliki hak mewakili Kerajaan Pagaruyung.[7] Lewat pengajuan bantuan ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda pengajuan penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[8]
Sebagai bagian atas persetujuan bantuan Belanda, Kaum Adat menyerahkan daerah Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.[9] Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[10]
Pada 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Letkol Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Pada 1824, Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letkol Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[11] Sedangkan Raaff telah meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.[12]
Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.[13]
Gencatan Senjata 1825 - 1831
[sunting | sunting sumber]Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai melalui "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.[14] Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya terjadi kesepakatan yang dikenal dengan nama "Sumpah Satie Bukik Marapalam" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang bermakna bahwa Adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.[15]
Tuanku Imam Bonjol
[sunting | sunting sumber]Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol.[16] Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.[17]
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan keliru yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.[5]
Perang Padri II 1831-1838
[sunting | sunting sumber]Jatuhnya Luhak Nan Tigo 1831-1833
[sunting | sunting sumber]Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (wilayah darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.[11]
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian gencatan senjata dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock. Pada awal Agustus 1831, Lintau berhasil ditaklukkan dan menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah.
Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya dan mengirimnya kembali ke Sumatra. Sentot dibuang dan ditahan di Bengkulu, sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Pada Juli 1832, dari Batavia dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Pada Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[18] Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, tetapi seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Matinggi, tetapi sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[19] Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.[20]
Konsolidasi Kaum Adat dan Kaum Padri 1833
[sunting | sunting sumber]Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.[21] Pada 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;[22] disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tunggul Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan dan diasingkan ke Batavia. Dalam catatan Belanda Sultan Tunggul Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, tetapi pemerintah Hindia Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.[7]
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.
Serangan ke Bonjol 1833-1835
[sunting | sunting sumber]Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch pada 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.[23] Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatra, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri.
Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta penangguhan enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri berhasil memperlambat gerak serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Selama 1834, Belanda memfokuskan pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer yang memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mundur ke hutan-hutan sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[24]
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Lembah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.[25]Selanjutnya pada 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng Bonjol
[sunting | sunting sumber]Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.[26]
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.[27]
Pengepungan Bonjol 1835-1837
[sunting | sunting sumber]Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya.
Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.[28]
Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya.[29] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[30] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayjen Cochius, Letkol Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Lettu van der Tak, Peltu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, yang tiba pada 20 Juli 1837 dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Penangkapan & Pengasingan Tuanku Imam Bonjol 1837
[sunting | sunting sumber]Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.[31]
Pada 23 Januari 1838 Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, pada akhir 1838 ia dipindahkan ke Ambon. Pada 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Lotta, Minahasa, dekat Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Beliau dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi kekecewaannya terhadap masyarakat Bonjol yang terpecah dan tidak mau bersatu.[31] Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley,[32] dan 2004 di Padang.[31][33]
Akhir Perang Padri 1838
[sunting | sunting sumber]Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Daludalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[34] Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai, kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.
Warisan Sejarah
[sunting | sunting sumber]Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.[26] Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau.[35] Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Sjafnir Aboe Nain, 2004, Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
- ^ The port where they embarked and disembarked, Pedir, Sumatra, gave them their name.
- ^ Azra, Azyumardi (2004). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.
- ^ Ampera Salim, Zulkifli (2005). Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.
- ^ a b Nain, Sjafnir Aboe (2004). Memorie Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM.
- ^ Raffles, Sophia (1830). Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: J. Murray.
- ^ a b Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.
- ^ G. Kepper, (1900). Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. Den Haag: M.M. Cuvee.
- ^ Episoden Uit Geschiedenis der Nederlandsche Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus. Indisch Magazijn 12/1, No. 7. 1844:116.
- ^ H. M. Lange (1852). Het Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845). ‘S Hertogenbosch: Gebroeder Muller. I: 20-1
- ^ a b Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.
- ^ P. C. Molhuysen en P.J. Blok (1911). Nieuw Nederlands Biografisch Woordenboek. Deel 2, Bladzijde 1148.
- ^ Nederlandse Staatscourant (10 Juni 1825).
- ^ Sejarah. Yudhistira Ghalia Indonesia. ISBN 978-979-746-801-9.
- ^ Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah (2009). Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, Bab 6: Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0
- ^ Munasifah (2007). Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1. Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1
- ^ Mardjani Martamin (1984). Tuanku Imam Bonjol. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
- ^ Zakariya, Hafiz (2006). Islamic reform in colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh al-Hadi. ProQuest. ISBN 0-542-86357-X.
- ^ Nederlandse Staatscourant (17-06-1833).
- ^ Said, Mohammad (1961). Dari halaman2 terlepas dalam catatan tentang tokoh Singamangaradja XII. Waspada.
- ^ Abdullah, Taufik (1966). Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau. Indonesia. No. 2, 1-24.
- ^ Nederlandse Staatscourant (29-05-1833).
- ^ Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat Indonesia (1964). Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia. Staf Angkatan Bersenjata.
- ^ J.C. van Rijnveld (1841). De Merkwaardige Terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
- ^ Abdul Qadir Djaelani, (1999), Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah.
- ^ a b Boelhouwer, J.C. (1841). Herinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. Den Haag: Erven Doorman.
- ^ Tempointeraktif, 15 Oktober 2007. Dari Catatan Harian Bonjol Diarsipkan 2018-02-25 di Wayback Machine..
- ^ Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis. hlm. 59-183.
- ^ Tate, D. J. M. (1971). The Making of Modern South-East Asia: The European conquest. Oxford University Press.
- ^ G. Teitler (2004). Het Einde Padri Oorlog: Het Beleg en de Vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een Bronnenpublicatie. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm. 59-183.
- ^ a b c Hadler, Jeffrey (2008/08). "A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History". The Journal of Asian Studies (dalam bahasa Inggris). 67 (3): 971–1010. doi:10.1017/S0021911808001228. ISSN 1752-0401. Halaman 986-989, 1002
- ^ IMAM BONDJOL, TUANKU, and NAALI, SUTAN CANIAGO. 1925. Naskah Tuanku Imam Bondjol [manuscript in Arabic-script Minangkabau]. University of California, Berkeley. Doe Library, DS646.15.S76.I43.
- ^ IMAM BONDJOL, TUANKU. 2004. Naskah Tuanku Imam Bonjol. Transliterator Syafnir Aboe Nain. Padang: PPIM.
- ^ Sejarah Untuk SMP dan MTs. Grasindo. ISBN 978-979-025-198-4.
- ^ Westenenk, L. C., (1913), Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen Days’ Trip in the Padang Highlands, Batavia (Weltevreden): Official Tourist Bureau.
Bacaan lanjutan
[sunting | sunting sumber]- 1840. J.C. van Rijneveld. Veldtocht der Nederlandse troepen op het eiland Celebes in de jaren 1824-1825. Militaire Spectator. Bladzijde 221-240.
- 1841. J.C. Boelhouwer. Herinneringen aan mijn tijd op Sumatra's Westkust gedurende de jaren 1831-1834. Erven Doorman.
- 1841. J.C. van Rijneveld. De merkwaardige terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
- 1842. A. Meis. Verhaal van de Palembangse Oorlog van 1819 tot 1821. Militaire Spectator. Bladzijde 182-189.
- 1844. H.M. Lange. Verhaal van de krijgsgebeurtenissen in het landschap Rauw, aan de westkust van Sumatra, gedurende het jaar 1833, en van de heldhaftige verdediging van het fort Amerongen. Militaire Spectator. Bladzijde 7-15, 23-33, 53-61, 81-83 en 119-125.
- 1850. H.M. Lange. 'Hulde aan de nagedachtenis van hen, die sinds de vestiging van het Koninklijk Nederlands gezag in Oost-Indië, roemvol gesneuveld zijn. Militaire Spectator. Bladzijde 464-475.
- 1876. A.J.A. Gerlach. Neerlands heldenfeiten in Oost-Indië. Bewerkt naar Les fastes militaires des indes Orientales. Deel II. Gebroeders Belinfante. Den Haag.
- 1900. G. Kepper. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. M.M. Cuvee, Den Haag.