Lompat ke isi

Sultan Agung dari Mataram: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Benedettou (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(62 revisi perantara oleh 24 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 5: Baris 5:
| title = Sultan Agung<br />Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi
| title = Sultan Agung<br />Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi
| type =
| type =
| image = Portrait of Sultan Agung Anyakrakusuma.png|image_size=240px
| image = Anyakrakusuma of Mataram.jpg|image_size=240px
| alt =
| alt =
| caption = Potret anumerta Sultan Agung
| caption = Lukisan Sultan Agung Anyakrakusuma
| succession = [[Sultan Mataram]]
| succession = [[Sultan Mataram]]
| moretext = ke-3
| moretext = ke-3
Baris 14: Baris 14:
| coronation = {{Start date and age|1613}}
| coronation = {{Start date and age|1613}}
| cor-type = Naik takhta
| cor-type = Naik takhta
| predecessor = [[Pangeran Martapura]]
| predecessor = [[Anyakrawati]]
| pre-type = Menggantikan
| pre-type = Pendahulu
| successor = [[Amangkurat I]]
| successor = [[Amangkurat I]]
| suc-type = Penerus
| suc-type = Penerus
Baris 64: Baris 64:
| birth_name = Raden Mas Jatmika
| birth_name = Raden Mas Jatmika
| birth_date = 1593
| birth_date = 1593
| birth_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Keraton Kutagede|Kutagede, Mataram]]
| birth_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Keraton Kutagede|Kotagede, Mataram]]
| death_date = 1645
| death_date = 1645 (umur 51-52)
| death_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Keraton Karta|Karta, Mataram]]
| death_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Keraton Karta|Karta, Mataram]]
| burial_date =
| burial_date =
| burial_place = [[Permakaman Imogiri#Astana Kasultan Agungan|Astana Kasultan Agungan]]
| burial_place = [[Astana Pajimatan Himagiri|Astana Kasultanagungan]]
| spouse = Ratu Kulon <small>(pertama)</small> <br> Ratu Wetan <small>(kedua)</small>
| spouse = Ratu Kulon <small>(pertama)</small> <br> Ratu Wetan <small>(kedua)</small>
| spouse-type = Permaisuri
| spouse-type = Permaisuri
| consort = <!-- yes or no -->
| consort = <!-- yes or no -->
| issue = KP. Tumenggung Pajang<br/>KP. Rangga Kajiwan<br/>GRA. Winongan<br/>KP. Ng. Loring Pasar<br/>KP. Purbaya<br/>[[Amangkurat I]]<br/>GRA. Wiromantri<br/>KP. Danupaya (RM. Alit)<br/>
| issue = <!--list children in order of birth. Use {{plainlist}} or {{unbulleted list}} -->
| issue-link =
| issue-link =
| issue-pipe =
| issue-pipe =
Baris 96: Baris 96:
}}
}}
[[Berkas:Stamps of Indonesia, 050-06.jpg|jmpl|ka|Perangko [[Republik Indonesia]] cetakan tahun [[2006]] edisi Sultan Agung.]]
[[Berkas:Stamps of Indonesia, 050-06.jpg|jmpl|ka|Perangko [[Republik Indonesia]] cetakan tahun [[2006]] edisi Sultan Agung.]]
'''Sultan Agung dari Mataram''' ({{lang-jv|ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦒꦸꦁꦲꦢꦶꦥꦿꦧꦸꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ|Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma}}; lahir di [[Kutagede, Mataram]], 1593–meninggal di [[Karta, Mataram]], 1645) adalah sultan [[Kesultanan Mataram|Mataram]] ketiga yang memerintah dari tahun [[1613]]-[[1645]]. Seorang ''sultan'' sekaligus ''senapati ing ngalaga'' (panglima perang) yang terampil ia membangun negerinya dan mengkonsolidasikan kesultanannya menjadi kekuatan teritorial dan militer yang besar.
'''Sultan Agung dari Mataram''' ({{lang-jv|ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦒꦸꦁꦲꦢꦶꦥꦿꦧꦸꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ|Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma}}; lahir di [[Keraton Kutagede|Kotagede]], 1593 – meninggal di [[Keraton Karta|Karta]], 1645) adalah sultan [[Kesultanan Mataram|Mataram]] ketiga yang memerintah dari tahun [[1613]]-[[1645]]. Seorang ''sultan'' sekaligus ''senapati ing ngalaga'' (panglima perang) yang terampil ia membangun negerinya dan mengkonsolidasikan kesultanannya menjadi kekuatan teritorial dan militer yang besar.


''Sultan Agung'' atau ''Susuhunan Agung'' (secara harfiah, ''"Sultan Besar"'' atau ''"Yang Dipertuan Agung"'') adalah sebutan gelar dari sejumlah besar literatur yang meriwayatkan karena warisannya sebagai raja Jawa, pejuang, budayawan dan filsuf peletak pondasi [[Kejawen|Kajawen]]. Keberadaannya mempengaruhi dalam kerangka [[budaya Jawa]] dan menjadi pengetahuan kolektif bersama. Sastra Belanda menulis namanya sebagai ''Agoeng de Grote'' (secara harfiah, ''"Agoeng yang Besar"'').
''Sultan Agung'' atau ''Susuhunan Agung'' (secara harfiah, ''"Sultan Besar"'' atau ''"Yang Dipertuan Agung"'') adalah sebutan gelar dari sejumlah besar literatur yang meriwayatkan karena warisannya sebagai raja Jawa, pejuang, budayawan dan filsuf peletak pondasi [[Kejawen|Kajawen]]. Keberadaannya mempengaruhi dalam kerangka [[budaya Jawa]] dan menjadi pengetahuan kolektif bersama. Sastra Belanda menulis namanya sebagai ''Agoeng de Grote'' (secara harfiah, ''"Agoeng yang Besar"'').
Baris 103: Baris 103:


== Silsilah ==
== Silsilah ==
Nama asli dari Sultan Agung adalah Raden Mas Jatmika. Selain itu, ia juga dikenal dengan nama Raden Mas Rangsang. Dia adalah putra dari Prabu [[Anyakrawati]] dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua dari [[Kesultanan Mataram]]. Sedangkan ibunya adalah putri dari [[Prabuwijaya dari Pajang|Pangeran Benawa]], raja terakhir dari [[Kesultanan Pajang]].<ref>{{Cite journal|last=Hariyanto|date=2018|title=Gerakan Dakwah Sultan Agung: Arti Penting Perubahan Gelar Sultan Agung Terhadap Gerakan Dakwah di Jawa pada Tahun 1613 M - 1645 M|url=https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/bayan/article/download/3176/3007|journal=Jurnal Al-Bayan|volume=24|issue=1|pages=129-130}}</ref>{{Better source}}
Nama asli dari Sultan Agung adalah Raden Mas Jatmika. Selain itu, ia juga dikenal dengan nama Raden Mas Rangsang. Dia adalah putra dari Susuhunan [[Anyakrawati]] dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua dari [[Kesultanan Mataram]]. Sedangkan ibunya adalah putri dari [[Prabuwijaya dari Pajang|Pangeran Benawa]], raja terakhir dari [[Kesultanan Pajang]].<ref>{{Cite journal|last=Hariyanto|date=2018|title=Gerakan Dakwah Sultan Agung: Arti Penting Perubahan Gelar Sultan Agung Terhadap Gerakan Dakwah di Jawa pada Tahun 1613 M - 1645 M|url=https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/bayan/article/download/3176/3007|journal=Jurnal Al-Bayan|volume=24|issue=1|pages=129-130}}</ref>


Versi lain mengatakan bahwa Sultan Agung adalah putra Raden Mas Damar (Pangeran Purbaya), cucu [[Ki Ageng Giring]]. Dikatakan bahwa Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan oleh istrinya dengan bayi yang dilahirkan oleh Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas yang kebenarannya harus dibuktikan.
Versi lain mengatakan bahwa Sultan Agung adalah putra Raden Mas Damar (Pangeran Purbaya), cucu [[Ki Ageng Giring]]. Dikatakan bahwa Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan oleh istrinya dengan bayi yang dilahirkan oleh Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas yang kebenarannya harus dibuktikan.


Sultan Agung memiliki dua permaisuri utama yang merupakan tradisi Kesultanan Mataram. Kedua permaisuri ini disebut Ratu Kulon dan Ratu Wetan. Ratu Kulon merupakan putri dari sultan Kesultanan Cirebon. Sedangkan Ratu Wetan merupakan putri dari Adipati Batang sekaligus cucu [[Ki Juru Martani]].<ref>{{Cite journal|last=Jalaludin, Ghulam, Z., dan Ghofur, A.|date=2021|title=Analisis Wacana Strategi Dakwah Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo|url=https://ejournal.iaisyarifuddin.ac.id/index.php/dakwatuna/article/download/923/440/|journal=Dakwatuna: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam|volume=7|issue=1|pages=64|issn=2443-0617}}</ref> Nama asli Ratu Kulon adalah Ratu Mas Tinumpak. Ia melahirkan Raden Mas Syahwawrat yang dikenal sebagai Pangeran Alit. Sedangkan nama asli dari Ratu Wetan adalah Ratu Ayu Batang. Ia melahirkan Raden Mas Sayyidin yang dikenal sebagai [[Amangkurat I]].{{Butuh rujukan}}
Sultan Agung memiliki dua permaisuri utama yang merupakan tradisi Kesultanan Mataram. Kedua permaisuri ini disebut Ratu Kulon dan Ratu Wetan. Ratu Kulon merupakan putri dari sultan [[Kesultanan Cirebon]]. Sedangkan Ratu Wetan merupakan putri dari Adipati Batang sekaligus cucu [[Ki Juru Martani]].<ref>{{Cite journal|last=Jalaludin, Ghulam, Z., dan Ghofur, A.|date=2021|title=Analisis Wacana Strategi Dakwah Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo|url=https://ejournal.iaisyarifuddin.ac.id/index.php/dakwatuna/article/download/923/440/|journal=Dakwatuna: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam|volume=7|issue=1|pages=64|issn=2443-0617}}</ref> Nama asli Ratu Kulon adalah Ratu Mas Tinumpak. Ia melahirkan Raden Mas Syahwawrat yang dikenal sebagai Pangeran Alit. Sedangkan nama asli dari Ratu Wetan adalah Ratu Ayu Batang. Ia melahirkan Raden Mas Sayyidin yang dikenal sebagai [[Amangkurat I]].{{Butuh rujukan}}

Dari permaisurinya, Sultan Agung memiliki 9 anak :{{Butuh rujukan}}
# Raden Mas Syahwawrat alias Pangeran Alit
# Raden Mas Kasim alias Pangeran Demang Tanpa Nangkil
# Pangeran Rangga Kajiwan
# Raden Bagus Rinangku
# GRAy. Winongan
# Pangeran Ngabehi Loring Pasar
# Raden Mas Sayyidin alias Pangeran Arya Mataram (kemudian bergelar [[Amangkurat I]])
# GRAy. Wiramantri
# Raden Mas Alit alias Pangeran Danupaya


== Gelar ==
== Gelar ==
=== Susuhunan ===
Di awal pemerintahannya, Raden Mas Jatmika bergelar Susuhunan Anyakrakusuma dan dikenal juga sebagai Panembahan Anyakrakusuma atau Prabu Pandita Anyakrakusuma. Setelah menaklukkan [[Madura]] pada tahun [[1624]], ia mengubah gelarnya sebagai ''Susuhunan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma'', atau ''Sunan Agung''. Gelar sultan, baru didapatkan Sunan Agung ketika ia mengirim utusan kepada syarif Makkah.<ref name ="rick08">{{cite book|author=Ricklefs, M.C. |year=2008|title=A History of Modern Indonesia Since c. 1200|publisher=Palgrave}}</ref>
Di awal pemerintahannya, Raden Mas Jatmika bergelar Susuhunan Anyakrakusuma dan dikenal juga sebagai Prabu Pandita Anyakrakusuma. Setelah menaklukkan [[Madura]] pada tahun [[1624]], ia mengubah gelarnya sebagai ''Susuhunan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma'' atau ''Sunan Agung''. Gelar sultan, baru didapatkan Sunan Agung ketika ia mengirim utusannya kepada [[syarif Mekkah]].<ref name ="rick08">{{cite book|author=Ricklefs, M.C. |year=2008|title=A History of Modern Indonesia Since c. 1200|publisher=Palgrave}}</ref>

=== Sultan ===
Karena keberhasilanya dalam menaklukan banyak wilayah dan memenangkan pertempuran. Sunan Agung melakukan langkah simbolisnya yaitu mengirim utusan ke [[Makkah]] untuk meminta gelar [[sultan]]. Ia tak mau kalah dengan pesaingnya. Pangeran Ratu dari Banten, raja pertama di Jawa yang menerima gelar sultan dari Makkah bergelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkadir.

Pada 1641, utusan Sunan Agung tiba di Mataram, mereka menganugrahkan gelar sultan melalui perwakilan syarif Makkah, Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi. Gelar tersebut adalah ''Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi'',<ref name ="rick08"/><ref>{{cite book|author=Ooi, Keat Gin|year=2004|title=Southeast Asia: A Historical Encyclopedia|publisher=ABC-CLIO}}</ref> disertai kuluk untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Astana Kasultanagungan di [[Imogiri]] dengan nama Enceh Kyai Mendung.


Gelar sultan hanya digunakan selama empat tahun (1641-1645), dimulai semenjak Sultan Agung menerima gelar tersebut dari 1641 hingga wafat pada 1645. Ia menjadi satu-satunya raja Mataram yang bergelar sultan. Setelah ia mangkat penerusnya kembali bergelar [[susuhunan]].
Pada 1641, setelah utusan Sunan Agung tiba di Mataram, mereka menganugrahkan gelar sultan melalui perwakilan syarif [[Makkah]], Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi. Gelar tersebut adalah ''Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi'',<ref name ="rick08"/><ref>{{cite book|author=Ooi, Keat Gin|year=2004|title=Southeast Asia: A Historical Encyclopedia|publisher=ABC-CLIO}}</ref> disertai kuluk untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Astana Kasultan Agungan di [[Imogiri]] dengan nama Enceh Kyai Mendung.


== Pemerintahan ==
== Pemerintahan ==
Baris 131: Baris 126:
Pada tahun kedua pemerintahan Sultan Agung, [[Ki Juru Martani|Patih Mandaraka]] meninggal karena usianya sudah tua, dan posisinya sebagai patih diduduki oleh [[Tumenggung Singaranu]].{{Butuh rujukan}}
Pada tahun kedua pemerintahan Sultan Agung, [[Ki Juru Martani|Patih Mandaraka]] meninggal karena usianya sudah tua, dan posisinya sebagai patih diduduki oleh [[Tumenggung Singaranu]].{{Butuh rujukan}}


Ibu kota Mataram pada era penobatannya masih berada di [[Kutagede, Mataram|Kutagede]]. Pada 1614, sebuah istana baru dibangun di Karta, sekitar 5&nbsp;km di barat daya Kutagede, yang mulai ditempati 4 tahun kemudian.{{Butuh rujukan}}
Ibu kota Mataram pada era penobatannya masih berada di [[Kutagede, Mataram|Kutagede]]. Pada 1614, sebuah istana baru dibangun di [[Karta]], sekitar 5&nbsp;km di barat daya Kutagede, yang mulai ditempati 4 tahun kemudian.{{Butuh rujukan}}


=== Kepahlawanan ===
=== Kepahlawanan ===
{{further|Penyerbuan di Batavia}}
{{further|Penyerbuan ke Batavia}}
[[File:AMH-6775-KB Siege of Batavia by the sultan of Mataram.jpg|thumb|[[Penyerbuan di Batavia]] oleh Sultan Agung pada tahun [[1628]].]]
[[File:AMH-6775-KB Siege of Batavia by the sultan of Mataram.jpg|thumb|[[Penyerbuan ke Batavia]] oleh Sultan Agung pada tahun [[1628]].]]
Pendudukan [[Belanda]] di ujung barat [[Jawa]], sepanjang [[Banten]], dan pemukiman Belanda di [[Batavia]] adalah wilayah di luar kendali Sultan Agung. Dalam upayanya mempersatukan Jawa, Sultan Agung menyatakan Banten yang secara historis sebagai daerah bawahan Demak dan Cirebon. Namun, semenjak kedatangan Belanda, mereka berdaulat atas Banten. Klaim itu mendesak Sultan Agung untuk melancarkan penaklukan militer sebagai upaya untuk mengambil alih Banten dari pengaruh Belanda. Namun, jika Sultan Agung menempatkan baris pasukannya ke Banten, kota pelabuhan Batavia akan berdiri sebagai lawan potensial terlalu dekat dengan kedekatan wilayah Banten. Sultan Agung menganggap keberadaan Belanda di Batavia sebagai ancaman terhadap hegemoni Mataram, sehingga mengharuskan alasan lebih lanjut untuk menempatkan pasukan Mataram di Batavia.<ref name ="Soekmono60">{{cite book | author= Soekmono | title= Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 | publisher = Kanisius | page =60 }}</ref>
Pendudukan [[Belanda]] di ujung barat [[Jawa]], sepanjang [[Banten]], dan pemukiman Belanda di [[Batavia]] merupakan wilayah di luar kendali Sultan Agung. Dalam upayanya mempersatukan Jawa, Sultan Agung menyatakan Banten yang secara historis sebagai daerah bawahan [[Kesultanan Demak|Demak]] dan [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]]. Namun, semenjak kedatangan Belanda, mereka berdaulat atas Banten. Klaim itu mendesak Sultan Agung untuk melancarkan penaklukan militer sebagai upaya untuk mengambil alih Banten dari pengaruh Belanda. Namun, jika Sultan Agung menempatkan baris pasukannya ke Banten, kota pelabuhan Batavia akan berdiri sebagai lawan potensial terlalu dekat dengan kedekatan wilayah Banten. Sultan Agung menganggap keberadaan Belanda di Batavia sebagai ancaman terhadap hegemoni Mataram, sehingga mengharuskan alasan lebih lanjut untuk menempatkan pasukan Mataram di Batavia.<ref name ="Soekmono60">{{cite book | author= Soekmono | title= Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 | publisher = Kanisius | page =60 }}</ref>


Pada [[1628]], Sultan Agung dan pasukan Mataram mulai menyerbu Belanda di Batavia.<ref name="Britannica">{{cite web | title = Mataram, Historical kingdom, Indonesia | publisher = Encyclopædia Britannica | url = http://www.britannica.com/EBchecked/topic/368940/Mataram | accessdate = 4 Agustus 2020}}</ref> Tahap awal kampanye melawan Batavia terbukti sulit karena kurangnya dukungan logistik untuk pasukan Mataram.
Pada [[1628]], Sultan Agung dan pasukan Mataram mulai menyerbu Belanda di Batavia.<ref name="Britannica">{{cite web | title = Mataram, Historical kingdom, Indonesia | publisher = Encyclopædia Britannica | url = http://www.britannica.com/EBchecked/topic/368940/Mataram | accessdate = 4 Agustus 2020}}</ref> Tahap awal kampanye melawan Batavia terbukti sulit karena kurangnya dukungan logistik untuk pasukan Mataram.
Baris 145: Baris 140:


== Reputasi sejarah ==
== Reputasi sejarah ==

===Perkembangan Budaya===
Perkembangan [[bedaya]] sebagai tarian sakral, [[gamelan]] dan [[wayang]] dikaitkan dengan pencapaian artistik Sultan Agung sebagai budayawan. Beberapa bukti tertulis berasal dari sejumlah kecil dalam catatan Belanda.<ref>[[Sumarsam]]. ''Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java''. Chicago: University of Chicago Press, 1995. Page 20.</ref> Namun dalam tutur cerita rakyat yang kompleks, menyebutkan Sultan Agung dengan berbagai bidang pencapaiannya jauh lebih besar. Sultan Agung juga dikenal sebagai pendiri [[kalender Jawa]] yang masih digunakan hingga saat ini. Selain itu, Sultan Agung telah menulis karya sastra berjudul [[Serat Sastra Gendhing]], yang terdiri dari Pupuh Sinom (14 pada), Pupuh Asmaradana (11 pada), Pupuh Dandanggula (17 pada), dan Pupuh Durma (20 pada) membahas mengenai filosofi hubungan sastra dan gendhing. Ajaran-ajaran mengenai hubungan kosmis, yakni antara manusia dengan Tuhan. Menyatukan sastra dan bunyi gendhing.
Perkembangan [[bedaya]] sebagai tarian sakral, [[gamelan]] dan [[wayang]] dikaitkan dengan pencapaian artistik Sultan Agung sebagai budayawan. Beberapa bukti tertulis berasal dari sejumlah kecil dalam catatan Belanda.<ref>[[Sumarsam]]. ''Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java''. Chicago: University of Chicago Press, 1995. Page 20.</ref> Namun dalam tutur cerita rakyat yang kompleks, menyebutkan Sultan Agung dengan berbagai bidang pencapaiannya jauh lebih besar. Sultan Agung juga dikenal sebagai pendiri [[kalender Jawa]] yang masih digunakan hingga saat ini. Selain itu, Sultan Agung telah menulis karya sastra berjudul [[Serat Sastra Gendhing]], yang terdiri dari Pupuh Sinom (14 pada), Pupuh Asmaradana (11 pada), Pupuh Dandanggula (17 pada), dan Pupuh Durma (20 pada) membahas mengenai filosofi hubungan sastra dan gendhing. Ajaran-ajaran mengenai hubungan kosmis, yakni antara manusia dengan Tuhan. Menyatukan sastra dan bunyi gendhing.


Di lingkungan karaton Mataram, Sultan Agung membentuk bahasa standar yang disebut [[bahasa Bagongan]], digunakan oleh para bangsawan dan pejabat Mataram untuk menghilangkan kesenjangan di antara para bangsawan dan keluarga raja. Bahasa itu diciptakan untuk membentuk persatuan antara pejabat karaton.
Di lingkungan karaton Mataram, Sultan Agung membentuk bahasa standar yang disebut [[bahasa Bagongan]], digunakan oleh para bangsawan dan pejabat Mataram untuk menghilangkan kesenjangan di antara para bangsawan dan keluarga raja. Bahasa itu diciptakan untuk membentuk persatuan antara pejabat karaton.


Pengaruh politik feodal Sultan Agung menjadikan diberlakukannya penggunaan tingkatan bahasa di wilayah [[Madura]], ditandai dengan penciptaan bahasa yang disempurnakan yang sebelumnya hanya dikenal di [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]].
Pengaruh politik feodal Sultan Agung menjadikan diberlakukannya penggunaan tingkatan bahasa di wilayah [[Jawa Barat]], ditandai dengan penciptaan bahasa yang disempurnakan yang sebelumnya hanya dikenal di [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]].


{{quote box
{{quote box
Baris 162: Baris 155:
Namun warisan utama Sultan Agung terletak pada reformasi administrasi yang ia lakukan di wilayah otoritasnya. Ia menciptakan struktur administrasi yang inovatif dan rasional.<ref>Bertrand, Romain, ''Etat colonial, noblesse et nationalisme à Java'', Paris, 2005</ref> Dia menciptakan "provinsi" dengan menunjuk orang sebagai [[Adipati]] sebagai kepala wilayah [[Kadipaten]], khususnya wilayah-wilayah di bagian barat Jawa, di mana Mataram menghadapi Belanda di Batavia. Sebuah kabupaten seperti Karawang, misalnya, diciptakan ketika Sultan Agung mengangkat pangeran Kertabumi sebagai adipati pertamanya pada 1636.
Namun warisan utama Sultan Agung terletak pada reformasi administrasi yang ia lakukan di wilayah otoritasnya. Ia menciptakan struktur administrasi yang inovatif dan rasional.<ref>Bertrand, Romain, ''Etat colonial, noblesse et nationalisme à Java'', Paris, 2005</ref> Dia menciptakan "provinsi" dengan menunjuk orang sebagai [[Adipati]] sebagai kepala wilayah [[Kadipaten]], khususnya wilayah-wilayah di bagian barat Jawa, di mana Mataram menghadapi Belanda di Batavia. Sebuah kabupaten seperti Karawang, misalnya, diciptakan ketika Sultan Agung mengangkat pangeran Kertabumi sebagai adipati pertamanya pada 1636.


Di masa ketika Belanda menguasai Nusantara, mereka mempertahankan struktur administrasi yang diwarisi oleh Sultan Agung. Di bawah pemerintahan [[Hindia Belanda]] di Nusantara, oleh mereka kabupaten disebut regentschappen. Gelar bupati umumnya terdiri atas nama resmi, misalnya "Sastradiningrat" dalam kasus Karawang, didahului oleh "Raden Aria Adipati", maka "Raden Aria Adipati Sastradiningrat" (disingkat menjadi RAA Sastradiningrat). Kata adipati bertahan dalam sistem pemerintahan kolonial.
Di masa ketika Belanda menguasai Nusantara, mereka mempertahankan struktur administrasi yang diwarisi oleh Sultan Agung. Di bawah pemerintahan [[Hindia Belanda]] di Nusantara, oleh mereka kabupaten disebut ''regentschappen''. Gelar bupati umumnya terdiri atas nama resmi, misalnya "Sastradiningrat" dalam kasus Karawang, didahului oleh "Raden Aria Adipati", maka "Raden Aria Adipati Sastradiningrat" (disingkat menjadi RAA Sastradiningrat). Kata adipati bertahan dalam sistem pemerintahan kolonial.


Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia mempertahankan istilah Kabupaten tetapi membubarkan residen pada tahun 1950-an, sehingga kabupaten menjadi subdivisi administratif langsung di bawah provinsi. Undang-undang tentang otonomi daerah yang diundangkan pada tahun 1999 memberikan otonomi tingkat tinggi kepada kabupaten, bukan kepada provinsi. Warisan Sultan Agung juga diakui oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini.
Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia mempertahankan istilah Kabupaten tetapi membubarkan residen pada tahun 1950-an, sehingga kabupaten menjadi subdivisi administratif langsung di bawah provinsi. Undang-undang tentang otonomi daerah yang diundangkan pada tahun 1999 memberikan otonomi tingkat tinggi kepada kabupaten, bukan kepada provinsi. Warisan Sultan Agung juga diakui oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini.


Sultan Agung dihormati di Jawa secara kontemporer baik perjuangannya membela tanah air, warisan tradisi atau budaya yang ia sumbangkan untuk negara. Di era presiden [[Soekarno]] ia dikukuhkan sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]].
Sultan Agung dihormati di Jawa secara kontemporer baik perjuangannya membela tanah air, warisan tradisi atau budaya yang ia sumbangkan untuk negara. Di era presiden [[Soeharto]] ia dikukuhkan sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]].


== Keluarga ==
===Penaklukan Pertama Sultan Agung (1613-1619)===
Sepanjang hidupnya Hanyakrakusuma menikah dengan tiga istri permaisuri dan beberapa istri selir. Istri permaisuri Hanyakrakusuma yaitu Ratu Kulon I / Ratu Mas Tinumpak dari Cirebon, Ratu Kulon II / Ratu Wetan dari Batang, dan Ratu Kidul. Istri selir Hanyakrakusuma yang memberinya keturunan yaitu Mas Ayu Wangen, Mas Ayu Sekarrini, Mas Ayu Sulanjari, Mas Ayu Sulanjani, Raden Ayu Kadipaten, Rara Pilih, dan Rara Sariyah.


Dari pernikahan-pernikahannya Hanyakrakusuma memiliki 12 orang anak. Sesuai urutan kelahiran, anak-anaknya yaitu:
Setelah [[Panembahan Krapyak]] beliau digantikan oleh putranya yaitu [[Sultan Agung Senapati ing Alaga]]. Sultan mengikuti jejak ayahnya berperang dengan Surabaya. Namun beliau menggunakan strategi lain. Sultan tidak lansung menyerang Surabaya melainkan menguasai daerah-daerah di sekitar [[Surabaya]].
# Raden Mas Kasim / Pangeran Demang Tanpanangkil, anak dari Mas Ayu Wangen.

# Raden Mas Hina / Raden Mas Hindu / Pangeran Rangga Kajiwan, anak dari Mas Ayu Sekarrini.
Sultan Agung Senapati ing Alaga tercatat sebagai raja terbesar [[Kerajaan Mataram]]. Ia berkuasa selama lebih dari tiga dekade ([[1613]]-[[1646]]). Ia menguasai seluruh [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]] termasuk Ujung Timur dan [[Madura]].
# Raden Ajeng Jenab / Raden Ayu Winongan, anak dari Mas Ayu Wangen.

# Raden Mas Rarangin, anak dari Mas Ayu Sulanjari.
Tak hanya di Jawa dan Madura, kekuasaan Sultan Agung juga diakui oleh [[Sukadana]] di [[Kalimantan]], [[Palembang]], [[Banjarmasin]], dan [[Makassar]]. Memang kecuali di Sukadana, angkatan laut Mataram bukanlah kekuatan penakluk yang besar atas pulau-pulau lain. Tetapi keberadaannya telah memberi kepada Mataram suatu pengaruh yang mungkin bisa dibandingkan dengan [[Majapahit]].
# Raden Mas Paranging, anak dari Mas Ayu Sulanjani.

# Raden Ajeng Wegang, anak dari Mas Ayu Sulanjani.

# Raden Mas Sarip Mustapa / Pangeran Ngabehi Loring Pasar, anak dari Raden Ayu Kadipaten.
{{quote box
# Raden Mas Kaseliran, anak dari Rara Pilih.
| width = 35%
# Raden Mas Syah Wawrat / Pangeran Tumenggung Pajang / Panembahan Purbaya II / Pangeran Tumenggung Mataram, anak dari Ratu Kulon I.
| align = right
# Raden Mas Sayidin / Raden Mas Jabus / Raden Mas Rageh / Pangeran Adipati Anom Mataram / [[Amangkurat I]], anak dari Ratu Kulon II.
| quote = "Sultan Agung merupakan penakluk terbesar di Indonesia sejak zaman Majapahit"
# Raden Ajeng Riwangan / Raden Ajeng Dilah / Raden Ayu Wiramantri, anak dari Rara Sariyah.
| salign = right
# Raden Mas Timur / Raden Mas Alit / Pangeran Harya Mataram / Pangeran Harya Danupaya, anak dari Ratu Kulon II.
| source = <p style="text-align: right;">—M.C. Ricklefs. (2007). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1200-2004.
}}

Satu-satunya kelemahan Sultan Agung adalah kegagalannya merebut [[Batavia]] dari [[VOC]] dan satu-satunya kerajaan di Jawa yang tetap merdeka adalah [[Banten]], yang terletak di ujung barat. Dalam ekspansi kekuasaanya, salah satu kendala yang dihadapi Sultan Agung adalah wabah penyakit. Seperti ketika ia menyerang Wirasaba (Mojoagung). Setelah setengah bulan berperang, para prajurit Mataram diserang wabah penyakit pes. Banyak prajurit yang meninggal, sehingga Sultan Agung mengusulkan untuk menghentikan serangan dan pulang. Akan tetapi Tumenggung Martalaya tetap teguh. Ia meminta waktu satu hari untuk merebut Wirasaba. Akhirnya, setelah tiga serangan hebat yang mendadak, [[Wirasaba]] bisa ditaklukan tahun [[1615]]. Surabaya bersama sekutunya berupaya menyerang balik Mataram yang menguasai Wirasaba. Mereka menyerang Mataram melalui [[Pati]], namun hal itu diketahui pihak Mataram. Surabaya dan sekutunya berhasil dikalahkan.

Pada tahun [[1616]] pasukan Mataram dibawah pimpinan [[Tumenggung Mertalaya]] berhasil menaklukan [[Lasem]]. Selanjutnya tahun [[1617]], [[Pasuruan]] juga berhasil ditaklukan. Di tahun yang sama terjadi pemberontakan [[Pajang]] kepada Mataram. Pemberontakan itu mengakibatkan terjadinya krisis beras di Mataram, Pada akhirnya Pajang berhasil dikalahkan. [[Tuban]] berhasil ditaklukan tahun [[1619]], Adipati Tuban melarikan diri kearah [[Giri]]. <ref>DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 26-52). Brill. [https://brill.com/display/title/27040] </ref><ref>M.C. Ricklefs. (2007). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1200-2004. [https://onesearch.id/Record/IOS1.INLIS000000000211975]</ref>

===Mataram dan VOC (1613-1624)===

Ketika Sultan Agung berkuasa, ia mengadakan kontrak dengan Duta Belanda van Surck mengenai pembangunan Loji di [[Jepara]]. Kontrak tersebut akhirnya menimbulkan permasalahan. Pihak Belanda yang merasa dirugikan karena pembangunan Loji berlansung lambat berusaha meninjau kembali kontrak dengan mengutus Andries Soury ([[1615]]), Druyff ([[1616]]) dan Cornelis van Maseuck ([[1618]]).

Perilaku kasar yang ditunjukkan oleh van Eynthoven dan Cornelis Maseuck terhadap para pedagang Jepara, pada akhirnya menjadi perhatian Sultan. Mereka memaksa agar para pedagang Jepara menjual dagangannya pada VOC, dan bila tidak dituruti, para pedagang VOC melakukan penjarahan dan penganiayaan, maka 18 Agustus [[1618]], Kantor Dagang VOC yang ada di Jepara diserbu habis. Pasukan VOC ada yang meninggal dan ada yang ditawan oleh pasukan [[Bahurekso]]. Sebelum penyerbuan ini, pimpinan dari kantor dagang, yaitu [[Balthasar van Eynthoven]] dan [[Cornelis van Maseuck]] dipanggil oleh [[Hulubalang]] dan kemudian ditahan.

Inilah awal situasi dan kondisi yang memanas. [[Jan Pieterszoon Coen]], Gubernur Jenderal Dagang VOC di [[Jakarta]] merasa tersinggung. Dengan pura-pura berbuat baik pada pedagang Jepara dan pemerintah Mataram, Jan Pieterszoon Coen menemui penguasa dagang Mataram di Jepara yang berpangkat Hulubalang itu, Jan Pieterszoon Coen ingin membeli beras dan keperluan lainnya dari masyarakat. Setelah itu seratus enam puluh prajurit VOC menyerang rumah-rumah rakyat, dan menewaskan tiga puluh orang. Jung-jung yang ada di pelabuhan Jepara semua dibakar habis.

Peringatan dari VOC itu mendorong Bahurekso memperkuat pertahanan Jepara. Prediksi akan adanya serangan ulang dari pihak VOC, ternyata benar. Sebanyak 400 prajurit Belanda ([[1619]]) menyerang Jepara. Namun dapat dipukul mundur oleh pasukan Bahurekso, dan mereka harus kembali ke laut. Persaingan dagang di pantai utara antara Mataram dengan Belanda sudah mulai memanas dan saling menjepit.

[[Kerajaan Sukadana]], ([[Kalimantan Selatan]]) berhasil lebih dahulu dikuasai oleh Mataram. Belanda berusaha melakukan ekspansi dagang lewat laut dengan daerah yang dituju [[Gresik]] dan [[Madura]]. Malang bagi Kompeni, karena tahun [[1624]] Kamar Dagang VOC yang ada di Gresik hancur oleh pasukan Mataram. Persaingan semakin panas, dan Sultan Agung sendiri merasa bahwa cepat atau lambat Kompeni akan menguasai [[Pulau Jawa]].<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). MATARAM EN DE V.O.C.: 1613—24. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 53–76). Brill.[http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.6]</ref>

===Kemenangan Atas Surabaya (1620-1625)===

Setelah berhasil menguasai [[Tuban]]. Mataram mulai menyusun strategi untuk menguasai [[Surabaya]]. Tahun [[1620]] serangan pertama ke Surabaya dilakukan oleh Mataram, disusul serangan kedua tahun [[1621]]. Sebelum menyerang Surabaya kembali, Mataram menduduki daerah kekuasaan Surabaya yaitu [[Sukadana]] tahun [[1622]]. Selanjutnya Mataram melancarkan serangan ketiga di tahun yang sama, serangan keempat tahun [[1623]]. Surabaya yang dengan ulet berusaha mempertahankan diri ternyata sulit ditaklukan. Mataram kembali menerapkan strateginya, tahun [[1624]] Madura ditaklukan. Kemudian melancarkan serangan kelima tahun [[1624]] ke Surabaya. Sultan Agung menggunakan taktik penyakit untuk mengalahkan lawan terkuatnya, Surabaya, dengan membendung [[Kali Mas]], cabang dari kali Brantas. Hanya sebagain dari air tersebut melewati bendungan. Air yang sedikit itu menjadi busuk karena keranjang-keranjang berisi bangkai binatang dan buah aren, yang diikat pada tonggak-tonggak di dalam kali. Karena hal itu penduduk Surabaya dihinggapi bermacam-macam penyakit: batuk, gatal, demam dan sakit perut. Namun, setelah Surabaya menyerah pada 1625, kegiatan militer Sultan Agung mengalami kemunduran. Kecuali disebabkan oleh perluasan keraton dan keletihan oleh kerja keras selama tahun-tahun sebelumnya, kemunduran ini juga akibat penyakit menular.<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). DE VEROVERING VAN SURA-BAJA.: 1620—25. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 77–98). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.7]</ref>

===Raja, Keraton dan Pemerintahanya===

Orang [[Eropa]] menilai Sultan Agung tidak dapat dianggap remeh. Sultan memiliki badan bagus, kulitnya lebih hitam dari rata rata orang [[Jawa]], hidung kecil tapi tidak pesek, mulut datar dan agak lebar, kasar dalam bahasa dan lamban bila berbicara. Sorot matanya tajam bagaikan Singa. Pakiannya tidak berbeda dengan pakaian orang Jawa lainya. Mengenakan sabuk emas, mengenakan kuluk putih di kepala dan [[keris]] yang diletakkan di depan serta jari jarinya dihiasi cincin. Sultan Agung mempunyai dua istana. Bernama Kota Karta dan satunya terletak di Lautan Selatan. Di sekitar istana terdapat alun alun. Selain istana juga terdapat kepatihan, masjid dan tempat tinggal untuk tumenggung, para pejabat dan kawula. Kehidupan keraton berlansung menurut aturan tertentu, ada pertarungan lawan harimau dan juga perburuan.sultan agung memiliki tentara perkasa. Bagian terbesar tentara adalah infanteri yang bersenjatakan tombak dan keris. Pasukan Sultan sangat disiplin dan memiliki semangat tempur tinggi.<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). DE VORST, ZIJN KRATON, ZIJN BESTUUR. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 99–126). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.8]</ref>

===Pengangkatan Sebagai Susuhunan (1624)===

Di awal pemerintahannya [[Raden Mas Jatmika]], atau dikenal pula dengan sebutan [[Raden Mas Rangsang]] bergelar [[Panembahan Agung Hanyakrakusuma]] atau Prabu Pandita Hanyakrakusuma. Kemudian setelah menaklukan Madura pada tahun [[1624]], ia mengganti gelarnya menjadi [[Susuhunan Agung Adiprabu Hanyakrakusuma]], atau juga bisa disebut [[Sunan Agung]].<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). DE VERHEFFING TOT SUSUHUNAN.: 1624. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 127–134). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.9]</ref>

{{quote box
| width = 35%
| align = right
| quote = "Gelar Susuhunan digunakan selama 17 tahun.
| salign = right
| source =
}}

===Perang dengan Pati (1627)===

[[Adipati Pragola]] penguasa Pati memberontak terhadap Mataram hal itu direncanakan ketika Raja sibuk dengan Surabaya. Namun pemberontakan itu dapat diselesaikan dengan perkawinan politik. Rupanya pemberontak yang sebenarnya adalah [[Tumenggung Endrana]], pada akhirnya Endrana dihukum mati di muka umum. <ref>DE GRAAF, H. J. (1958). De strijd met Paṭi.: 1627. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 135–143). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.10]</ref>

===Pengepungan ke Batavia (1628-1629)===

Penyakit pes yang mewabah pada [[1625]]-[[1627]] itu membunuh 2/3 penduduk di beberapa daerah di Jawa Tengah dan 1/3 penduduk [[Banten]]. Sultan Agung memulai lagi ekspansinya pada [[1628]] dengan menyerang [[VOC]] di [[Batavia]]. Serangan itu gagal meskipun telah menerapkan strategi seperti ketika merebut Surabaya, yaitu membendung sungai untuk menimbulkan penyakit. Serangan kedua pada [[1629]] juga mengalami kegagalan. Kekalahan itu tak menghentikan Sultan Agung. Ia menaklukan [[Giri]], [[Panarukan]], [[Blitar]], dan [[Blambangan]] di Ujung Timur.<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). DE BELEGERINGEN VAN BATAVIA.: 1628—29. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 144–163). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.11]</ref>

{{quote box
| width = 35%
| align = right
| quote = "Kurang lebih 50 persen angkatan perang Sultan Agung mati karena kelaparan, penyakit, kecapaian, hukuman dan peluru Belanda."
| salign = right
| source = <p style="text-align: right;">—Adolf Heuken. (2016). Tempat-tempat bersejarah di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka (edisi ke-8).<ref>Adolf Heuken. (2016). Tempat-tempat bersejarah di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka (edisi ke-8).[https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=1059306]</ref>}}

===Mataram dan Portugis (1629-1634)===

Sikap raja Mataram terhadap Batavia sangat teguh walaupun gagal dalam pengepungan yang sudah dilakukan. Untuk itu Sultan meminta bantuan [[Portugis]]. Portugis pun mengirim beberapa utusan untuk menjalin hubungan dengan Mataram.<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). MATARAM EN DE PORTUGEZEN.: 1629—34. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 164–172). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.12]</ref>

===Mataram dan VOC (1629-1634)===

Karena gagal dua kali dlam mengepung Batavia Sultan Agung melakukan perundingan dengan Belanda. Belanda menanggapi dengan mengutus Pieter Franssen. Namun pertempuran tidak dapa di hindari. Tahun [[1633]]-[[1634]] terjadi pertempuran laut antra Mataram dan Belanda.<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). MATARAM EN DE V.O.C.: 1629—34. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 173–192). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.13]</ref>

===Ketegangan dalam Kerajaan Setelah Kegagalan di Depan Batavia (1628-1635)===

Kegagalan yang dialami pasukan Mataram di depan Batavia meninggalkan kesan yang mendalam bagi Sultan Agung. Itu tercermin dalam cerita tentang tidak setianya [[Sumedang]] dan [[Dipati Ukur]] yang terjadi pada akhir pengepungan pertama. Raja mendengar bahwa mereka tidak setia, hal itu membuat raja murka. Raja juga cemas karena rakyat [[Priangan]] melepaskan diri dari kekuasaan raja.<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). DE ONRUST IN HET RIJK NA DE TEGENSLAGEN VOOR BATAVIA.: 1628—35. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 193–204). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.14]</ref>

===Keruntuhan Giri (1635-1636)===

Penaklukan Giri dilakukan atas perintah raja Mataram. Dalam cerita Jawa dapat dibagi dalam tiga bagian. Pertama Raja berdamai dengan putra raja Surabaya yang terakhir yaitu [[Pangeran Pekik]]. Kedua Pangeran Pekik bersama istri ke Giri. Ketiga penaklukan [[Panembahan Giri]].<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). DE ONDERGANG VAN GIRI.: 1635—36. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 205–222). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.15]</ref>

===Mataram dan Portugis (1634-1640)===

Portugis dan Mataram kembali melanjutkan hubungan. Portugis kembali mengutus utusanya ke Mataram. Selanjutnya Mataram dan Portugis saling bertukar utusan. Portugis juga mengemban Misi Dominikan dalam menjalin kerjasama dengan Mataram.<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). MATARAM EN DE PORTUGEZEN.: 1634—40. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 223–232). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.16]</ref>

===Mataram dan VOC (1636-1642)===

Dalam setiap pertempuran dengan Belanda pastilah Mataram menawan orang orang Belanda. Atas permintaan Belanda tawanan tersebut mendapat bantuan baik secara jasmaniah maupun rohaniah. Namun beberapa tawanan berhasil melarikan diri dari penjara Mataram. Belanda dan Mataram melakukan perundungin, namun rupanya perundingan iu tidak pernah menghasilakn kesepakatan.<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 233-246). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v]</ref>

===Keresahan Sekitar Putra Mahkota (1637)===

Putra mahkota yang kelak akan menjadi pengganti raja melakukan perbuatan yang tidak senonoh, Putra Mahkota melariakan istri [[Tumenggung Wiraguna]]. Raja amat terpukul dengan hal itu. Putra Mahkota mengakui kesalahanya dan memilih hukumannya sendiri. Istri Tumenggung wiraguna hendak dikembalikan, namun karena murka Tumenggung Wiraguna membunuh istrinya.<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). DE ONRUST RONDOM DE KROONPRINS.: 1637. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 247–253). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.18]</ref>

===Penaklukan Blambangan (1636-1640)===

Orang orang Mataram mulai menyerang Blambangan setelah Surabaya menyerah. Serangan besar pertama dilakukan pada tahun [[1635]], disusul serangan serangan berikutnya di tahun [[1636]]-[[1640]]. Blambangan akhirnya ditaklukan, [[Raden Kembar]] meyerah (anak adipati Blambangan). Kemudian Sultan memerintahkan sebagian penduduk Blambangan dipindah ke Mataram.<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). DE VEROVERING VAN BALAMBANGAN.: 1636—40. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 254–263). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.19]</ref>

===Penerimaan Gelar Sultan (1641-1642)===

Karena keberhasilanya dalam menaklukan banyak wilayah dan memenangkan pertempuran. Sultan Agung melakukan langkah simbolisnya yaitu mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta gelar Sultan. Ia tak mau kalah dengan pesaingnya, raja Banten yang pertama di Jawa menerima gelar Sultan dari Mekkah. Pangeran ratu mendapatkan nama Arab, Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkadir. Utusan Sultan Agung kembali pada [[1640]] dengan membawa gelar dan nama Arab: Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani.<ref>M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004.</ref><ref>DE GRAAF, H. J. (1958). DE VERWERVING VAN DE SULTANSTITEL.: 1641—42. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 264–273). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v.20]</ref>

{{quote box
| width = 35%
| align = right
| quote = Gelar Sultan hanya digunakan 4 tahun saja.
| salign = right
| source =
}}

===Mataram dan Tanah Seberang===

Di tanah sebrang Sultan Agung dikenal raja yang kuat. Ia memiliki armada laut dengan kapal kapal kecil tetapi cepat. [[Palembang]] merasa tertarik dengan Mataram karena mempunyai musuh yang sama yaitu [[Banten]]. Palembang menawarkan bantuan untuk menyerang Banten. Bahkan Palembang mengaku tunduk pada Mataram. [[Jambi]] yang berbatasan dengan Palembang, juga mengikuti Palembang tunduk pada Mataram. Sultan Agung juga berhasil menaklukan [[Banjarmasin]] di [[Kalimantan]]. Sultan Agung juga menjalin hubungan dengan [[Makasar]].<ref>DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 274-283). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v]</ref>

===Tahun Terakhir, Makam, dan Wafatnya (1643-1646)===

Kesehatan Sultan Agung menurun. Ia jatuh sakit pada [[1642]]. Sebelum meninggal Sultan Agung mengadakan peraturan untuk mencegah perebutan tahta, hal itu ia percayakan kepada [[Tumenggung Wiraguna]]. Sehingga yang tampil menggantikannya dalam urusan kerajaan adalah Tumenggung Wiraguna. <ref>DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 284-291). Brill. [http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs60v]</ref>

{{quote box
| width = 35%
| align = right
| quote = "Sedemikian menonjol orang kuat ini tampil dalam surat-surat, sedemikian sepinya muncul berita-berita tentang rajanya,"

"Mungkinkah tindak-tanduk Tumenggung Wiraguna yang kuat ini disebabkan karena kemunduran kesehatan Sultan Agung? Pada tahun 1642, raja jatuh sakit. Penyakitnya cukup berat."
| salign = right
| source = <p style="text-align: right;">—H.J. de Graaf. (1990). Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Pustaka Grafitipers.
}}

Menurut cerita tutur dalam [[Serat Kandha]], Nyai Loro Kidul telah meramalkan kematian Sultan Agung, yaitu ketika ia mengunjungi Istana dibawah laut. Jadi, awal tahun [[1644]], ia telah mengetahui atau merasa bahwa ia akan meninggal.<ref>H.J. de Graaf. (1990). Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Pustaka Grafitipers. [https://archive.org/details/PuncakKekuasaanMataram]</ref>
{{quote box
| width = 35%
| align = right
| quote = "Apakah pengetahuan ini didasarkan pada kesehatannya yang tidak stabil, ataukah ia sungguh-sungguh menerima wahyu ketika ia mengunjungi Gua Langse? Pengganti-penggantinya pun biasa pergi ke Gua tersebut."
| salign = right
| source = <p style="text-align: right;">—H.J. de Graaf. (1990). Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Pustaka Grafitipers.
}}

Untuk menghadapi kematiannya, pada [[1645]], Sultan Agung membangun sebuah tempat pemakaman baru di puncak bukit di [[Imogiri]], kira-kira lima kilometer di sebelah selatan Istananya. Situs ini akan menjadi pemakaman bagi hampir semua penggantinya dan anggota-anggota keluarga kerajaan yang terkemuka. Akhirnya, [[Sultan Agung]] meninggal dunia pada [[1646]], kira-kira antara awal Februari dan awal April.<ref>M.C. Ricklefs. (2007). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1200-2004. [https://onesearch.id/Record/IOS1.INLIS000000000211975]</ref>

{{quote box
| width = 35%
| align = right
| quote = "Wabah-wabah penyakit merajalela pada tahun 1640-an, dan kematian Sultan Agung mungkin sekali disebabkan oleh salah satu wabah tersebut."
| salign = right
| source = <p style="text-align: right;">—M.C. Ricklefs. (2007). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1200-2004.
}}


== Dalam budaya populer ==
Mengutip [[Babad ing Sangkala]] bahwa pada [[1643]]-[[1644]] di Mataram ([[Jawa]]) terjadi epidemi beratus-ratus mati setiap hari. Sultan Agung wafat, pintu-pintu gerbang yang menuju ke istana ditutup untuk mencegah terjadinya kudeta. Ia digantikan putranya dengan gelar [[Susuhunan Amangkurat I]].<ref>Anthony Reid. (1992). Asia Tenggara di Era Bisnis 1450-1680 Jilid I: Negri di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Perpustakaan Obor Indonesia. [https://books.google.co.id/books/about/Asia_Tenggara_dalam_Kurun_Niaga_1450_168.html?id=bh8aDAAAQBAJ&redir_esc=y] </ref>
* Dalam film ''[[Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta]]'' (2018), Sultan Agung dari Mataram diperankan oleh [[Ario Bayu]].


== Referensi ==
== Referensi ==
Baris 326: Baris 188:
* Moedjianto. 1987. ''Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram''. Yogyakarta: Kanisius
* Moedjianto. 1987. ''Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram''. Yogyakarta: Kanisius
* Purwadi. 2007. ''Sejarah Raja-Raja Jawa''. Yogyakarta: Media Ilmu
* Purwadi. 2007. ''Sejarah Raja-Raja Jawa''. Yogyakarta: Media Ilmu
* Pogadaev, V. A. Sultan Agung (1591 - 1645). The Ruler of the Javanese Kingdom; Kris–the sacred weapon of Java; On the Pirates Ship. Istorichesky Leksikon. XVII vek (Historical Lexicon. XVII Century). Moscow: “Znanie”, 1998, p.&nbsp;20 - 26.
* Pogadaev, V. A. Sultan Agung (1591 - 1645). The Ruler of the Javanese Kingdom; Kris – the sacred weapon of Java; On the Pirates Ship. Istorichesky Leksikon. XVII vek (Historical Lexicon. XVII Century). Moscow: “Znanie”, 1998, p.&nbsp;20 - 26.


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==

Revisi terkini sejak 28 September 2024 03.26

Anyakrakusuma
ꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ
Sultan Agung
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi
Lukisan Sultan Agung Anyakrakusuma
Sultan Mataram
ke-3
Berkuasa1613–1645 (32 tahun berkuasa)
Naik takhta1613; 410 tahun lalu (1613)
PendahuluAnyakrawati
PenerusAmangkurat I
KelahiranRaden Mas Jatmika
1593
Kesultanan Mataram Kotagede, Mataram
Kematian1645 (umur 51-52)
Kesultanan Mataram Karta, Mataram
Pemakaman
PermaisuriRatu Kulon (pertama)
Ratu Wetan (kedua)
KeturunanKP. Tumenggung Pajang
KP. Rangga Kajiwan
GRA. Winongan
KP. Ng. Loring Pasar
KP. Purbaya
Amangkurat I
GRA. Wiromantri
KP. Danupaya (RM. Alit)
Nama takhta
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi
Nama anumerta
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi
Bahasa Jawaꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ
WangsaMataram
AyahAnyakrawati
IbuDyah Banawati (Ratu Mas Adi)
AgamaIslam
Pahlawan Nasional Indonesia
S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Perangko Republik Indonesia cetakan tahun 2006 edisi Sultan Agung.

Sultan Agung dari Mataram (bahasa Jawa: ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦒꦸꦁꦲꦢꦶꦥꦿꦧꦸꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ, translit. Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma; lahir di Kotagede, 1593 – meninggal di Karta, 1645) adalah sultan Mataram ketiga yang memerintah dari tahun 1613-1645. Seorang sultan sekaligus senapati ing ngalaga (panglima perang) yang terampil ia membangun negerinya dan mengkonsolidasikan kesultanannya menjadi kekuatan teritorial dan militer yang besar.

Sultan Agung atau Susuhunan Agung (secara harfiah, "Sultan Besar" atau "Yang Dipertuan Agung") adalah sebutan gelar dari sejumlah besar literatur yang meriwayatkan karena warisannya sebagai raja Jawa, pejuang, budayawan dan filsuf peletak pondasi Kajawen. Keberadaannya mempengaruhi dalam kerangka budaya Jawa dan menjadi pengetahuan kolektif bersama. Sastra Belanda menulis namanya sebagai Agoeng de Grote (secara harfiah, "Agoeng yang Besar").

Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.[1]

Nama asli dari Sultan Agung adalah Raden Mas Jatmika. Selain itu, ia juga dikenal dengan nama Raden Mas Rangsang. Dia adalah putra dari Susuhunan Anyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua dari Kesultanan Mataram. Sedangkan ibunya adalah putri dari Pangeran Benawa, raja terakhir dari Kesultanan Pajang.[2]

Versi lain mengatakan bahwa Sultan Agung adalah putra Raden Mas Damar (Pangeran Purbaya), cucu Ki Ageng Giring. Dikatakan bahwa Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan oleh istrinya dengan bayi yang dilahirkan oleh Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas yang kebenarannya harus dibuktikan.

Sultan Agung memiliki dua permaisuri utama yang merupakan tradisi Kesultanan Mataram. Kedua permaisuri ini disebut Ratu Kulon dan Ratu Wetan. Ratu Kulon merupakan putri dari sultan Kesultanan Cirebon. Sedangkan Ratu Wetan merupakan putri dari Adipati Batang sekaligus cucu Ki Juru Martani.[3] Nama asli Ratu Kulon adalah Ratu Mas Tinumpak. Ia melahirkan Raden Mas Syahwawrat yang dikenal sebagai Pangeran Alit. Sedangkan nama asli dari Ratu Wetan adalah Ratu Ayu Batang. Ia melahirkan Raden Mas Sayyidin yang dikenal sebagai Amangkurat I.[butuh rujukan]

Susuhunan

[sunting | sunting sumber]

Di awal pemerintahannya, Raden Mas Jatmika bergelar Susuhunan Anyakrakusuma dan dikenal juga sebagai Prabu Pandita Anyakrakusuma. Setelah menaklukkan Madura pada tahun 1624, ia mengubah gelarnya sebagai Susuhunan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma atau Sunan Agung. Gelar sultan, baru didapatkan Sunan Agung ketika ia mengirim utusannya kepada syarif Mekkah.[4]

Karena keberhasilanya dalam menaklukan banyak wilayah dan memenangkan pertempuran. Sunan Agung melakukan langkah simbolisnya yaitu mengirim utusan ke Makkah untuk meminta gelar sultan. Ia tak mau kalah dengan pesaingnya. Pangeran Ratu dari Banten, raja pertama di Jawa yang menerima gelar sultan dari Makkah bergelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkadir.

Pada 1641, utusan Sunan Agung tiba di Mataram, mereka menganugrahkan gelar sultan melalui perwakilan syarif Makkah, Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi. Gelar tersebut adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi,[4][5] disertai kuluk untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Astana Kasultanagungan di Imogiri dengan nama Enceh Kyai Mendung.

Gelar sultan hanya digunakan selama empat tahun (1641-1645), dimulai semenjak Sultan Agung menerima gelar tersebut dari 1641 hingga wafat pada 1645. Ia menjadi satu-satunya raja Mataram yang bergelar sultan. Setelah ia mangkat penerusnya kembali bergelar susuhunan.

Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Kenaikan takhta

[sunting | sunting sumber]

Sultan Agung menjadi sultan dari Kesultanan Mataram pada tahun 1613 M. Masa pemerintahannya berlangsung hingga tahun 1645 M.[6] Ia naik takhta untuk menggantikan posisi dari Pangeran Martapura.[7] Sultan Agung ketika menjadi raja baru berusia 20 tahun.[8] Pangeran Martapura merupakan saudara tirinya yang menjadi Sultan Mataram ketiga selama satu hari. Sultan Agung secara teknis adalah sultan Mataram keempat, tetapi ia umumnya dianggap sebagai sultan ketiga, karena penobatan saudara tirinya yang tunagrahita hanya untuk memenuhi janji ayahnya kepada istrinya, Ratu Tulungayu, ibu Pangeran Martapura.[butuh rujukan]

Pada tahun kedua pemerintahan Sultan Agung, Patih Mandaraka meninggal karena usianya sudah tua, dan posisinya sebagai patih diduduki oleh Tumenggung Singaranu.[butuh rujukan]

Ibu kota Mataram pada era penobatannya masih berada di Kutagede. Pada 1614, sebuah istana baru dibangun di Karta, sekitar 5 km di barat daya Kutagede, yang mulai ditempati 4 tahun kemudian.[butuh rujukan]

Kepahlawanan

[sunting | sunting sumber]
Penyerbuan ke Batavia oleh Sultan Agung pada tahun 1628.

Pendudukan Belanda di ujung barat Jawa, sepanjang Banten, dan pemukiman Belanda di Batavia merupakan wilayah di luar kendali Sultan Agung. Dalam upayanya mempersatukan Jawa, Sultan Agung menyatakan Banten yang secara historis sebagai daerah bawahan Demak dan Cirebon. Namun, semenjak kedatangan Belanda, mereka berdaulat atas Banten. Klaim itu mendesak Sultan Agung untuk melancarkan penaklukan militer sebagai upaya untuk mengambil alih Banten dari pengaruh Belanda. Namun, jika Sultan Agung menempatkan baris pasukannya ke Banten, kota pelabuhan Batavia akan berdiri sebagai lawan potensial terlalu dekat dengan kedekatan wilayah Banten. Sultan Agung menganggap keberadaan Belanda di Batavia sebagai ancaman terhadap hegemoni Mataram, sehingga mengharuskan alasan lebih lanjut untuk menempatkan pasukan Mataram di Batavia.[9]

Pada 1628, Sultan Agung dan pasukan Mataram mulai menyerbu Belanda di Batavia.[10] Tahap awal kampanye melawan Batavia terbukti sulit karena kurangnya dukungan logistik untuk pasukan Mataram.

Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Dipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras tersembunyi di Karawang dan Cirebon. Namun pihak Belanda yang menggunakan mata-mata berhasil menemukan dan memusnahkan semuanya. Hal ini menyebabkan pasukan Mataram kurang perbekalan, ditambah wabah penyakit malaria dan kolera yang melanda mereka, sehingga kekuatan pasukan Mataram tersebut sangat lemah ketika mencapai Batavia.[11]

Serangan kedua Sultan Agung ini berhasil membendung dan mengotori sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal Belanda yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.

Reputasi sejarah

[sunting | sunting sumber]

Perkembangan bedaya sebagai tarian sakral, gamelan dan wayang dikaitkan dengan pencapaian artistik Sultan Agung sebagai budayawan. Beberapa bukti tertulis berasal dari sejumlah kecil dalam catatan Belanda.[12] Namun dalam tutur cerita rakyat yang kompleks, menyebutkan Sultan Agung dengan berbagai bidang pencapaiannya jauh lebih besar. Sultan Agung juga dikenal sebagai pendiri kalender Jawa yang masih digunakan hingga saat ini. Selain itu, Sultan Agung telah menulis karya sastra berjudul Serat Sastra Gendhing, yang terdiri dari Pupuh Sinom (14 pada), Pupuh Asmaradana (11 pada), Pupuh Dandanggula (17 pada), dan Pupuh Durma (20 pada) membahas mengenai filosofi hubungan sastra dan gendhing. Ajaran-ajaran mengenai hubungan kosmis, yakni antara manusia dengan Tuhan. Menyatukan sastra dan bunyi gendhing.

Di lingkungan karaton Mataram, Sultan Agung membentuk bahasa standar yang disebut bahasa Bagongan, digunakan oleh para bangsawan dan pejabat Mataram untuk menghilangkan kesenjangan di antara para bangsawan dan keluarga raja. Bahasa itu diciptakan untuk membentuk persatuan antara pejabat karaton.

Pengaruh politik feodal Sultan Agung menjadikan diberlakukannya penggunaan tingkatan bahasa di wilayah Jawa Barat, ditandai dengan penciptaan bahasa yang disempurnakan yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Lamun sira tinitah bupati anggea ambek kasudarman den dadi surya padhane sumadya lwir ramu mungwing cala lumawan ening mwang kadi ta samudra pamotireng tuwuh rehing amawi santana wruhanira lwir warsa taru rata nglih mangsaning labuh kapat

Serat Nitipraja karya Sultan Agung

Namun warisan utama Sultan Agung terletak pada reformasi administrasi yang ia lakukan di wilayah otoritasnya. Ia menciptakan struktur administrasi yang inovatif dan rasional.[13] Dia menciptakan "provinsi" dengan menunjuk orang sebagai Adipati sebagai kepala wilayah Kadipaten, khususnya wilayah-wilayah di bagian barat Jawa, di mana Mataram menghadapi Belanda di Batavia. Sebuah kabupaten seperti Karawang, misalnya, diciptakan ketika Sultan Agung mengangkat pangeran Kertabumi sebagai adipati pertamanya pada 1636.

Di masa ketika Belanda menguasai Nusantara, mereka mempertahankan struktur administrasi yang diwarisi oleh Sultan Agung. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda di Nusantara, oleh mereka kabupaten disebut regentschappen. Gelar bupati umumnya terdiri atas nama resmi, misalnya "Sastradiningrat" dalam kasus Karawang, didahului oleh "Raden Aria Adipati", maka "Raden Aria Adipati Sastradiningrat" (disingkat menjadi RAA Sastradiningrat). Kata adipati bertahan dalam sistem pemerintahan kolonial.

Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia mempertahankan istilah Kabupaten tetapi membubarkan residen pada tahun 1950-an, sehingga kabupaten menjadi subdivisi administratif langsung di bawah provinsi. Undang-undang tentang otonomi daerah yang diundangkan pada tahun 1999 memberikan otonomi tingkat tinggi kepada kabupaten, bukan kepada provinsi. Warisan Sultan Agung juga diakui oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini.

Sultan Agung dihormati di Jawa secara kontemporer baik perjuangannya membela tanah air, warisan tradisi atau budaya yang ia sumbangkan untuk negara. Di era presiden Soeharto ia dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Sepanjang hidupnya Hanyakrakusuma menikah dengan tiga istri permaisuri dan beberapa istri selir. Istri permaisuri Hanyakrakusuma yaitu Ratu Kulon I / Ratu Mas Tinumpak dari Cirebon, Ratu Kulon II / Ratu Wetan dari Batang, dan Ratu Kidul. Istri selir Hanyakrakusuma yang memberinya keturunan yaitu Mas Ayu Wangen, Mas Ayu Sekarrini, Mas Ayu Sulanjari, Mas Ayu Sulanjani, Raden Ayu Kadipaten, Rara Pilih, dan Rara Sariyah.

Dari pernikahan-pernikahannya Hanyakrakusuma memiliki 12 orang anak. Sesuai urutan kelahiran, anak-anaknya yaitu:

  1. Raden Mas Kasim / Pangeran Demang Tanpanangkil, anak dari Mas Ayu Wangen.
  2. Raden Mas Hina / Raden Mas Hindu / Pangeran Rangga Kajiwan, anak dari Mas Ayu Sekarrini.
  3. Raden Ajeng Jenab / Raden Ayu Winongan, anak dari Mas Ayu Wangen.
  4. Raden Mas Rarangin, anak dari Mas Ayu Sulanjari.
  5. Raden Mas Paranging, anak dari Mas Ayu Sulanjani.
  6. Raden Ajeng Wegang, anak dari Mas Ayu Sulanjani.
  7. Raden Mas Sarip Mustapa / Pangeran Ngabehi Loring Pasar, anak dari Raden Ayu Kadipaten.
  8. Raden Mas Kaseliran, anak dari Rara Pilih.
  9. Raden Mas Syah Wawrat / Pangeran Tumenggung Pajang / Panembahan Purbaya II / Pangeran Tumenggung Mataram, anak dari Ratu Kulon I.
  10. Raden Mas Sayidin / Raden Mas Jabus / Raden Mas Rageh / Pangeran Adipati Anom Mataram / Amangkurat I, anak dari Ratu Kulon II.
  11. Raden Ajeng Riwangan / Raden Ajeng Dilah / Raden Ayu Wiramantri, anak dari Rara Sariyah.
  12. Raden Mas Timur / Raden Mas Alit / Pangeran Harya Mataram / Pangeran Harya Danupaya, anak dari Ratu Kulon II.

Dalam budaya populer

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Said, Julinar & Wulandari, Triana (1995). Ensiklopedi Pahlawan Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  2. ^ Hariyanto (2018). "Gerakan Dakwah Sultan Agung: Arti Penting Perubahan Gelar Sultan Agung Terhadap Gerakan Dakwah di Jawa pada Tahun 1613 M - 1645 M". Jurnal Al-Bayan. 24 (1): 129–130. 
  3. ^ Jalaludin, Ghulam, Z., dan Ghofur, A. (2021). "Analisis Wacana Strategi Dakwah Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo". Dakwatuna: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam. 7 (1): 64. ISSN 2443-0617. 
  4. ^ a b Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Palgrave. 
  5. ^ Ooi, Keat Gin (2004). Southeast Asia: A Historical Encyclopedia. ABC-CLIO. 
  6. ^ Septriani, L. D., Wahyuni, A., dan Purnomo, B. (2020). "Analisis Karakter Cinta Tanah Air melalui Novel Berjudul Sultan Agung: Tonggak Kokoh Bumi Mataram" (PDF). Literacy : Jurnal Ilmiah Sosial. 2 (2): 66. 
  7. ^ Sekretaris Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (2017). Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (PDF). Yogyakarta: Biro Tata Pemerintah, Sekretaris Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. hlm. 17. 
  8. ^ Maharsi (2016). "Sultan Agung: Simbol Kejayaan Kasultanan Islam Jawa" (PDF). Jurnal Riset Daerah. XV (2): 2475. 
  9. ^ Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 60. 
  10. ^ "Mataram, Historical kingdom, Indonesia". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 4 Agustus 2020. 
  11. ^ Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 61. 
  12. ^ Sumarsam. Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java. Chicago: University of Chicago Press, 1995. Page 20.
  13. ^ Bertrand, Romain, Etat colonial, noblesse et nationalisme à Java, Paris, 2005

Kepustakaan

[sunting | sunting sumber]
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • Pogadaev, V. A. Sultan Agung (1591 - 1645). The Ruler of the Javanese Kingdom; Kris – the sacred weapon of Java; On the Pirates Ship. Istorichesky Leksikon. XVII vek (Historical Lexicon. XVII Century). Moscow: “Znanie”, 1998, p. 20 - 26.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
Sultan Agung dari Mataram
Lahir: 1593 Meninggal: 1645
Gelar
Didahului oleh:
Anyakrawati
Sultan Mataram
1613 ‒ 1645
Diteruskan oleh:
Amangkurat I