Lompat ke isi

Keris: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
BeHa (bicara | kontrib)
rapikan+interwiki
k Mengembalikan suntingan oleh 103.210.35.25 (bicara) ke revisi terakhir oleh AABot
Tag: Pengembalian
 
(416 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Short description|Senjata tradisional dan spiritual Indonesia}}
'''Keris''' adalah sejenis pedang pendek yang berasal dari pulau [[Jawa]], [[Indonesia]]. Keris purba telah digunakan antara abad ke-9 dan 14. Selain digunakan sebagai [[senjata]], keris juga sering dianggap memiliki [[kekuatan supranatural]]. Keris terbagi menjadi tiga bagian yaitu mata, hulu, dan sarung. Beberapa jenis keris memiliki mata pedang yang berkelok-kelok. Senjata ini sering disebut-sebut dalam berbagai legenda tradisional, seperti [[keris Mpu Gandring]] dalam legenda [[Ken Arok]] dan [[Ken Dedes]].
{{Infobox weapon
| name = Keris<br />{{bold|{{Script|Java|ꦏꦼꦫꦶꦱ꧀}}}}/{{bold|{{Script|Java|ꦮꦁꦏꦶꦔꦤ꧀}}}}
| native_name = ꦏꦼꦫꦶꦱ꧀/ꦮꦁꦏꦶꦔꦤ꧀
| native_name_lang = jav
| image = Kris and scabbard.jpg
| image_size = 297px
| caption = Keris terdiri dari tiga bagian; bilah ({{transl|jv|wilah}}), gagang ({{transl|jv|hulu}}) dan sarung ({{transl|jv|warangka}})
| origin = [[Jawa]], [[Indonesia]]
* [[Jawa Tengah]]
* [[Jawa Timur]]
* [[Daerah Istimewa Yogyakarta|D.I Yogyakarta]]<ref name="Detik - Keris">{{Cite news|title=Keris Indonesia|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/keris-indonesia/|website=Kebudayaan.kemendikbud.go.id|language=id-ID|access-date=2020-08-22}}</ref><ref name="Cultural Wonders of Indonesia">{{cite book|title=Top 100 Cultural Wonders of Indonesia|publisher=[[Ministry of Education and Culture (Indonesia)|Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia]]|year=2015|location=Jakarta |isbn=978-979-1274-66-1}}</ref><ref name="Suma">{{cite book |last=Pires |first=Tomé |title=The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East |publisher=Asian Educational Services |year=1990 |location=New Delhi |page=179 |url=https://books.google.com/books?id=h82D-Y0E3TwC&q=demak&pg=PA184 |isbn=81-206-0535-7}}</ref>
| type = [[Belati]]
<!-- Type selection -->| is_bladed = Yes
<!-- Service history -->| service = [[Majapahit|Kemaharajaan Majapahit]], [[Kerajaan Sunda]], [[Singhasari|Kerajaan Singhasari]], [[Kesultanan Palembang Darussalam]], [[Kesultanan Malaka]], [[Kesultanan Demak]], [[Kesultanan Mataram]], [[Kasunanan Surakarta Hadiningrat]], [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]], [[Kesultanan Brunei]], [[Semenanjung Malaka]], [[Nusantara|Kepulauan Indonesia]]<ref>{{cite book|author=Albert G Van Zonneveld|title=Traditional Weapons of the Indonesian Archipelago|year=2002|publisher=Koninklijk Instituut Voor Taal Land|isbn=90-5450-004-2}}</ref>
| used_by = [[Suku Jawa]], [[Suku Bali]], [[Suku Sunda]], [[Suku Melayu]], [[Suku Banjar]], [[Suku Madura]], [[Suku Bugis]], [[Suku Mandar]], [[Suku Toraja]], [[Suku Kutai]] dan [[Suku Makassar]]
| wars = [[Pertempuran Genter]], [[Ekspedisi Pamalayu]], [[Invasi Mongol ke Jawa]], [[Perang Bubat]], [[Perang Paregreg]], [[Penyerbuan di Batavia|Penyerbuan Batavia]], [[Perang Jawa|Perang Diponegoro]], [[Revolusi Nasional Indonesia]]
<!-- Production history -->
| designer =[[Suku Jawa]]
| design_date =
| manufacturer =
| unit_cost =
| production_date =
| number =
| variants = Kalis, [[Badik]], [[Kerambit]], Chundrik<ref>{{cite book|author=James Richardson Logan|title=The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, Volume 7|year=1853|publisher=Miss. Press|page=281}}</ref>
<!-- General specifications -->| spec_label =
| weight =
| length =
| part_length =
| width =
| height =
| diameter =
| crew = <!-- Bladed weapon specifications -->
| blade_type = Pisau tajam bermata ganda [[besi]] [[nikel]]<nowiki> atau baja</nowiki>
| hilt_type = [[Gading]], tulang, tanduk, kayu atau logam. Terkadang dilapisi dengan [[emas]] atau [[perak]]<nowiki> dan dihiasi dengan batu permata</nowiki>
| sheath_type = Bingkai kayu yang dilapisi dan dihias dengan gading atau logam (emas, perak, tembaga, besi, kuningan, atau [[baja]])
| head_type =
| haft_type =
}}
{{Infobox intangible heritage
| Image = [[File:Kris display.jpg|300px]]
| Caption = Keris ditetapkan sebagai Karya Agung Warisan Budaya Kemanusiaan Lisan dan non bendawi yang berasal dari [[Indonesia]] oleh [[UNESCO]].
| ICH = Keris
| State Party = Indonesia
| Type =
| Criteria = Traditional
| ID = 112
| Region = APA
| Year = 2008
| Session = 3
| List = Representatif
| Link = https://ich.unesco.org/en/RL/indonesian-kris-00112
| Below = [[File:Unesco Cultural Heritage logo.svg|100px]]
| Note = Keris ({{lang-en|Kris}}) adalah senjata khas yang berkelok-kelok atau asimetri yang termasuk dalam golongan senjata tikam yang berasal dari Indonesia. Baik sebagai senjata maupun objek spiritual, keris dihormati dan dianggap memiliki kekuatan yang magis. Awal mula keris diketahui berasal dan menyebar dari pulau [[Jawa]] ke seluruh bagian Nusantara dan wilayah Asia Tenggara secara umum.
}}
{{Budaya Indonesia}}


'''Keris''' merupakan senjata tajam golongan [[belati]] dari suku [[Suku Jawa|Jawa]] yang memiliki ragam fungsi [[budaya]] yang dikenal di kawasan [[Indonesia|Nusantara]] bagian [[Waktu Indonesia Barat|barat]] dan [[Waktu Indonesia Tengah|tengah]]. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, sering kali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki [[pamor keris|pamor]] (''damascene''), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah.
Keris sendiri sebenarnya adalah senjata khas yang digunakan oleh daerah-daerah yang memiliki rumpun [[Melayu]] atau bangsa Melayu. Pada saat ini, Keberadaan Keris sangat umum dikenal di daerah [[Indonesia]] terutama di daerah pulau [[Jawa]] dan [[Sumatra]], [[Malaysia]], [[Brunei]] dan [[Filipina]] khususnya di daerah Filipina selatan (Pulau [[Mindanao]]). Namun, bila dibandingkan dengan Indonesia dan Malaysia, keberadaan keris dan pembuatnya di Filipina telah menjadi hal yang sangat langka dan bahkan hampir punah.


Keris bagi orang Jawa adalah senjata pamungkas/terakhir setelah pedang, tombak, dan panah. Sejatinya keris bukanlah senjata utama dalam peperangan tetapi juga senjata yang disukai untuk dibawa pergi kemanapun.
Tata cara penggunaan keris juga berbeda di masing-masing daerah. Di daerah [[Jawa]] dan [[Sunda]] misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang. Sementara di Sumatra, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan.
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel atau peperangan,<ref name=darmosoegito>Darmosoegito, Ki. 1992. ''Bab Dhuwung''. Djojobojo. Surabaya. Hal. 16.</ref> sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini dan penggunaan perkembangan keris dari waktu ke waktu orang Jawa mengubahnya menjadi benda yang memiliki filosofi pengajaran hidup bagi pemiliknya, sebagai identitas diri, pesan moral, simbol cerminan diri, ketentraman, kesabaran, harapan/impian keinginan, serta pengingat diri atau pagar nasihat bagi pemiliknya agar selalu damai tenang hatinya tidak mudah emosi, harus selalu berjiwa bersih dan bersahaja, semua itu di tuangkan ke dalam simbol simbol yang terdapat di setiap bentuk keris dan rupa rupa pamor keris. Keris juga merupakan benda [[aksesori]] (''ageman'') dalam ber[[busana]], memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi [[estetika]]nya.


Keris telah terdaftar dan diakui oleh [[UNESCO]] sebagai [[Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia|Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia]] yang berasal dari [[Indonesia]] sejak 2005.
Sebenarnya keris sendiri memiliki berbagai macam bentuk, ada yang bermata berkelok kelok (7, 9 bahkan 13), ada pula yang bermata lurus seperti di daerah Sumatera. Selain itu masih ada lagi keris yang memliki kelok tunggal seperti halnya [[rencong]] di [[Aceh]] atau [[Badik]] di [[Sulawesi]].


== Asal usul dan fungsi ==
==Bagian-bagian keris==


Asal usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada prasasti Taji Ponorogo dari abad ke-10 Masehi. . Ada banyak teori yang mencoba menjelaskan asal muasal keris di nusantara. [[:en:Gerald Gardner|G.B. Gardner]] dalam bukunya '''Keris and Other Malay Weapon''' keris dianggap sebagai pengembangan dari senjata tikam prasejarah'''.''' Namun diperkirakan asal mula penyebutan kata "keris" merupakan singkatan bahasa [[Jawa]] dari ''"Mlungker-mlung'''ker''' kang bisa ngi'''ris'''"'', dugaan bentuk keris berkelok/mlungker adalah pengembangan desain dari bentukan keris yang awalnya lurus, yang diilhami dari seekor ular yang sedang melata karena bagi orang Jawa ular adalah hewan yang disakralkan mengingat orang Jawa pada saat itu mengutamakan dewa Siwa yang berkalung ular.
Sebagian ahli [[tosan aji]] mengelompokkan keris sebagai senjata tikam, sehingga bagian utama dari sebilah keris adalah '''wilah''' (bilah) atau bahasa awamnya adalah seperti mata pisau. Tetapi karena keris mempunyai kelengkapan lainnya, yaitu '''wrangka''' (sarung) dan bagian '''pegangan keris''' atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya disebut '''keris'''.


Sedangkan keris yang lurus adalah perkembangan dari bentuk kadga yaitu bentuk paling awal keris. dalam bahasa [[Jawa]] berarti "(kata sinengker, karana, dan aris). Sinengker atau sengkeran mempunyai arti kurungan, karana
mempunyai arti jalaran, dan aris mempunyai arti tanpa suloyo" Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di [[relief]] [[candi]] atau [[patung]]. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa [[prasasti]] dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.


=== Prototipe Keris ===
'''Pegangan keris'''
[[Berkas:Borobudur Keris.jpg|jmpl|180px|Penggambaran keris di relief [[Candi Borobudur]], [[Kabupaten Magelang|Magelang, Jawa Tengah]]]]
[[Berkas:RA 34200118.JPG|jmpl|180px|Relief prajurit ingin menusuk seseorang dengan keris di [[Candi Penataran]], [[Kabupaten Blitar|Blitar, Jawa Timur]]]]
Satu panel relief Candi Borobudur (abad ke-9) yang memperlihatkan seseorang memegang benda serupa keris tetapi belum memiliki derajat kecondongan dan hulu/deder nya masih menyatu dengan bilah.
Pada catatan Prasasti Ponorogo berangka tahun 823 saka, atau 901 M menyebutkan 392 orang hadir untuk upacara penghormatan Sang Hyang Vatu Sima (Dewa Harimau Batu). Dalam upacara disembelih 6 ekor kerbau untuk para warga. Hadir pula warga dari 7 desa tetangga. Semua warga dan tamu undangan diberi hadiah berupa makanan beraneka ragam dari daging hingga ikan laut, keris, kain, dan emas. Dalam acara tersebut diadakan tari-tarian, makan bersama, kemudian doa pengusiran roh jahat oleh Pandita. Keris-keris yang sangat banyak tersebut ditempa oleh para empu Ponorogo zaman Wengker.<ref>{{Cite web|last=News|first=Ponorogo|date=13 Juli 2023|title=Sudah Ada Sejak 1000 Tahun Lalu, Ternyata Pusat Keris ada di Ponorogo|url=https://ponorogo.pikiran-rakyat.com/seputar-ponorogo/pr-3136877022/sudah-ada-sejak-1000-tahun-lalu-ternyata-pusat-keris-ada-di-ponorogo?page=all|website=PonorogoNews|access-date=22-02-2024}}</ref>
Dari abad yang sama, [[prasasti Karangtengah]] di [[Kabupaten Temanggung|Temanggung, Jawa Tengah]] berangka tahun 824 Masehi menyebut istilah "keris" dalam suatu daftar peralatan.<ref name="lumintu">Lumintu. 1985. ''Besi, Baja, dan Pamor Keris''. Pusat Keris Jakarta. Jakarta. hal. 4.</ref> [[Prasasti Poh]] (904 M) menyebut "keris" sebagai bagian dari sesaji yang perlu dipersembahkan.<ref name="lumintu" /> Walaupun demikian, tidak diketahui apakah "keris" itu mengacu pada benda seperti yang dikenal sekarang.


Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di [[relief]] [[candi]] atau [[patung]]. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa [[prasasti]] dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.
Pegangan keris ini bermacam-macam motifnya , untuk keris [[Bali]] ada yang bentuknya menyerupai patung dewa, patung [[pedande]], patung raksaka, patung penari , pertapa, hutan ,dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia .


=== Keris modern ===
Pegangan keris [[Sulawesi]] menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris [[Riau]] Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti [[Aceh]], Bangkinang (Riau) , [[Palembang]], [[Sambas]], [[Kutai]], [[Bugis]], [[Luwu]], [[Jawa]], [[Madura]] dan [[Sulu]], keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.
[[Berkas:Keris Relief at Sukuh Temple.jpg|jmpl|180px|ka|Sanggar Mpu pembuat keris ditampilkan dalam relief [[Candi Sukuh]]. ]]
[[Berkas:Kris Majapahit, AK-MAK-270.jpg|jmpl|180px|Keris Majapahit dari era [[Majapahit|Kemaharajaan Majapahit]], item koleksi pameran [[Rijksmuseum]], [[Belanda]]]]
Dari abad ke-15, salah satu relief di [[Candi Sukuh]] yang merupakan tempat pemujaan dari masa akhir Majapahit, dengan gamblang menunjukkan seorang empu tengah membuat keris. Relief ini pada sebelah kiri menggambarkan [[Bima (Mahabharata)|Bhima]] sebagai personifikasi empu tengah menempa besi, [[Ganesa|Ganesha]] di tengah, dan [[Arjuna]] tengah memompa tabung peniup udara untuk tungku pembakaran. Dinding di belakang empu menampilkan berbagai benda logam hasil tempaan, termasuk keris.


<blockquote>.... Orang-orang ini [Majapahit] selalu mengenakan ''pu-la-t'ou'' (belati? atau beladau?) yang diselipkan pada ikat pinggang. [...], yang terbuat dari baja, dengan pola yang rumit dan bergaris-garis halus pada daunnya; hulunya terbuat dari emas, cula, atau gading yang diukir berbentuk manusia atau wajah raksasa dengan garapan yang sangat halus dan rajin.<br>— Ma Huan, ''Ying-yai Sheng-lan Fai''</blockquote>
Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari ''sirah wingking'' ( kepala bagian belakang ) , ''jiling, cigir, cetek, bathuk'' (kepala bagian depan) ,''weteng'' dan ''bungkul''.


Catatan [[Ma Huan]] dari tahun 1416, anggota ekspedisi [[Cheng Ho]], dalam "Ying-yai Sheng-lan" menyebutkan bahwa orang-orang Majapahit selalu mengenakan (''pu-la-t'ou'') yang diselipkan pada ikat pinggang.
Mengenai kata Pu-la-t'ou ini, meskipun hanya berdasarkan kemiripan bunyi, banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah "belati", dan karena keris adalah senjata tikam sebagaimana belati maka dianggap pu-la-t'ou menggambarkan keris. Tampaknya masih harus dilakukan penelitian apakah betul pada masa majapahit keris disebut "belati" tetapi terdapat deskripsi yang menggambarkann bahwa "belati" ini adalah keris dan teknik pembuatan pamor telah berkembang baik.<ref>Moebirman. 1980.a,Keris Senjata Pusaka. Yayasan Sapta Karya. Jakarta.</ref>


Bisa jadi yang dimaksud oleh Ma Huan dengan Pulat'ou adalah "Beladau". Kata "beladau" lebih menyerupai "Pu- La-T'ou" daripada "belati".
'''Wrangka atau Rangka'''


<blockquote>...Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh...<br>— ''Sanghyang siksakandang karesian, Bait XVII''</blockquote>
Wrangka, rangka atau sarung keris adalah bagian (kelengkapan) keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, karena bagian wrangka inilah yang secara langsung dilihat oleh umum . Wrangka yang mula-mula (sebagian besar) dibuat dari bahan kayu (jati , cendana, timoho , kemuning, dll) , kemudian sesuai dengan perkembangan zaman maka terjadi perubahan fungsi wrangka (sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya ). Kemudian bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan [[gading]].


Keris disebutkan dalam naskah [[Suku Sunda|Sunda]] dari tahun 1440 Saka (1518 M), [[Sanghyang Siksa Kandang Karesian]] bait XVII, yang menyebutkan bahwa keris adalah senjata Prabu, (raja, golongan [[ksatriya]]).<ref>{{cite web
Secara garis besar terdapat dua macam wrangka, yaitu jenis '''wrangka ladrang''' yang terdiri dari bagian-bagian : ''angkup, lata, janggut, gandek, godong'' (berbentuk seperti daun), ''gandar, ri'' serta ''cangkring''. Dan jenis lainnya adalah jenis '''wrangka gayaman''' (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat ''angkup, godong'' dan ''gandek''.
|url =http://id.wikisource.org/wiki/Sanghyang_Siksakandang_Karesian
|title =Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian
|website =Wikisource
|publisher =Wikisource
|accessdate =23 May 2013
}}</ref> Naskah ini membagi senjata dalam masyarakat [[Kerajaan Sunda]] ke dalam tiga golongan; senjata untuk prabu (raja, ''menak'', atau golongan ksatriya) adalah [[pedang]], pecut, pamuk, [[golok]], ''peso teundeut'', dan keris; senjata untuk kaum petani adalah [[kujang]], baliung, ''patik'', ''kored'', dan pisau sadap; sementara senjata kaum pendeta adalah kala katri, ''peso raut'', ''peso dongdang'', ''pangot'', dan ''pakisi''.


<blockquote>... setiap laki-laki di Jawa, tidak peduli kaya atau miskin, harus memiliki sebilah keris di rumahnya ... dan tidak ada satu pun laki-laki berusia antara 12 dan 80 tahun bepergian tanpa sebilah keris di sabuknya. Keris diletakkan di punggung, seperti belati di [[Portugal]]...
Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkawinan, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk [[(stagen)]] pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ).
<br>— Tome Pires, ''Suma Oriental''</blockquote>
Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).


[[Tome Pires]], penjelajah [[Portugis]] dari abad ke-16, menyinggung tentang kebiasaan penggunaan keris oleh laki-laki Jawa.<ref>lihat misalnya pada versi bahasa Inggris dari terbitan 1944 oleh Armando Cortesao (Cortesao A. 2005. ''Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Francisco Rodriguez''. Asian Publishing House. New Delhi. [http://books.google.com/books?id=h82D-Y0E3TwC&lpg=PR1&ots=dSmg9RfFDG&dq=tome%20pires&hl=de&pg=PA179#v=onepage&q&f=false Hal. 179].</ref> Deskripsinya tidak jauh berbeda dari yang disebutkan Ma Huan seabad sebelumnya.
'''Dalam perang''', yang digunakan adalah keris wrangka gayaman , pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.


Berita-berita Portugis dan [[Prancis]] dari abad ke-17 telah menunjukkan penggunaan meluas pamor dan pemakaian pegangan keris dari kayu, tanduk, atau [[gading]] di berbagai tempat di Nusantara.<ref>[http://old.blades.free.fr/keris/introduction/origin/history4.htm Origin of The Keris. IV. The birth of modern keris.] Laman ''Old Blades - Malay World Edged Weapons''</ref>
Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut '''gandar''' atau ''antupan'' ,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran ) .


=== Perkembangan fungsi keris ===
Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut '''pendok''' . Bagian [[pendok]] ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak, emas . Untuk daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja [[Bugis]] , [[Goa]], [[Palembang]], Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.
Pada masa kini, keris memiliki fungsi yang beragam dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk keris yang ada.


Keris sebagai elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh prasasti-prasasti dari milenium pertama menunjukkan keris sebagai bagian dari persembahan. Pada masa kini, keris juga masih menjadi bagian dari sesajian. Lebih jauh, keris juga digunakan dalam ritual/upacara mistik atau paranormal. Keris untuk penggunaan semacam ini memiliki bentuk berbeda, dengan ''pesi'' menjadi hulu keris, sehingga hulu menyatu dengan bilah keris. Keris semacam ini dikenal sebagai keris sesajian atau "keris majapahit" (tidak sama dengan keris tangguh Majapahit)!.
Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) ''pendok bunton'' berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya , (2) ''pendok blewah'' (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat , serta (3) ''pendok topengan'' yang belahannya hanya terletak di tengah . Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).


Pemaparan-pemaparan asing menunjukkan fungsi keris sebagai senjata di kalangan awam Majapahit. Keris sebagai senjata memiliki bilah yang kokoh, keras, tetapi ringan. Berbagai legenda dari periode [[Kesultanan Demak|Demak]]–[[Kesultanan Mataram|Mataram]] mengenal beberapa keris senjata yang terkenal, misalnya [[Keris Pusaka Nagasasra Sabuk Inten|keris Nagasasra Sabukinten]].


Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Bagi orang [[Jawa]] misalnya disebut Udhonorogo Pakerisan ( Etika berbusana dalam pemakaian keris), keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai, posisi keris di belakang ada banyak macam tetapi yang paling utama sebagai berikut :
'''Wilah'''


1. Ngogleng
[[Wilah]] atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut [[dapur]], atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur ''jangkung mayang'', ''jaka lola'' , ''pinarak'', ''jamang murub'', ''bungkul'' , ''kebo tedan'', ''pudak sitegal'', dll.


Posisi pertama kerap disebut Ngogleng, dimana keris akan dimasukkan ke dalam lipatan kedua dan ketiga sabuk stagen yang kerap ada dalam pakaian adat Jawa. Sementara gagangnya biasanya akan condong ke sebelah kanan.
Pada pangkal wilahan terdapat '''pesi''' , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut ''paksi'', di Riau disebut ''puting'', sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut ''punting''.
Posisi Ngogleng kerap dikenakan oleh abdi dalem dan masyarakat umum. Mereka meletakkan keris di bagian belakang dengan posisi tersebut saat menghadiri acara resmi yang bersifat formal juga ketika dalam masa damai.


2. Kureban
Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut '''ganja''' (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya ''aring''). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya [[tosan aji]] mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan ''lingga'' dan ''yoni'', dimana [[ganja]] mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut ''sirah cecak'', bagian lehernya disebut ''gulu meled'' , bagian perut disebut ''wetengan'' dan ekornya disebut ''sebit ron''. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, ''wilut'' , ''dungkul'' , ''kelap lintah'' dan ''sebit rontal''.


Jika Ngogleng membuat gagang keris condong ke kanan, posisi Kureban justru menjadikannya menghadap ke kiri. Ketika memakai keris dengan posisi seperti ini, maka orang tersebut biasanya sedang menghadiri acara duka cita.
'''Luk''', adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu ''gasal'' ( '''ganjil''') dan '''tidak pernah genap''', dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris ''kalawija'' ,atau keris tidak lazim .


3. Satriya Keplayu


Adalah posisi keris di belakang tengah tegak lurus adalah ketika seseorang sedang beraktivitas yang membutuhkan banyak gerakgerak, juga ketika sedang menghadap raja.
==Sejarah==
Asal keris yang kita kenal saat ini masih belum terjelaskan betul. [[Relief]] [[candi]] di Jawa lebih banyak menunjukkan ksatria-ksatria dengan senjata yang lebih banyak unsur India-nya.


Untuk penempatan di bagian depan yaitu Nyothe adalah posisi yang dilakukan oleh seorang ulama/ resi atau dia adalah seorang spiritualis, penempatan di depan ataupun di samping juga bisa diartikan sebagai siap siaga ketika sedang berperang atau bertarung.
===Keris Budha dan pengaruh India-Tiongkok===
Kerajaan-kerajaan awal Indonesia sangat terpengaruh oleh budaya Budha dan Hindu. Candi di Jawa tengah adalah sumber utama mengenai budaya zaman tersebut. Yang mengejutkan adalah sedikitnya penggunaan keris atau sesuatu yang serupa dengannya. Relief di Borobudur tidak menunjukkan pisau belati yang mirip dengan keris.


Untuk orang [[Bali]] keris diletakkan di punggung belakang, sedangkan orang Jawa [[Kabupaten Ponorogo|Ponorogo]], [[Bugis]] dan [[Melayu]] keris ditempatkan di depan.
Dari penemuan arkeologis banyak ahli yang setuju bahwa proto-keris berbentuk pisau lurus dengan bilah tebal dan lebar. Salah satu keris tipe ini adalah keris milik keluarga Knaud, didapat dari Sultan Paku Alam V. Keris ini relief di permukaannya yang berisi epik [[Ramayana]] dan terdapat tahun Jawa 1264 ([[1342]] Masehi), meski ada yang meragukan penanggalannya.


<!-- Keris memiliki dua macam bentuk, misalnya ada yang bilahnya berkelok-kelok (selalu ber[[bilangan|bilang]] ganjil) memiliki arti bahwa hidup itu memiliki tantangan, jalan yang berkelok kelok adalah arti dari perjuangan hidup. ada pula yang berbilah lurus memiliki arti spiritualis yaitu tegak lurus kepada sang Pencipta. Orang Jawa menganggap perbedaan bentuk ini memiliki efek [[esoterisme|esoteri]] yang berbeda. -->
Pengaruh kebudayaan Tiongkok mungkin masuk melalui kebudayaan ''Dongson'' (Vietnam) yang merupakan penghubung antara kebudayaan Tiongkok dan [[dunia Melayu]]. Terdapat keris sajen yang memiliki bentuk gagang manusia sama dengan belati ''Dongson''.


<!-- Senjata ini sering disebut-sebut dalam berbagai legenda tradisional, seperti [[keris Mpu Gandring]] dalam legenda [[Ken Arok]] dan [[Ken Dedes]].
===Keris "Modern"===
-->
Keris yang saat ini kita kenal adalah hasil proses evolusi yang panjang. Keris modern yang dikenal saat ini adalah belati penusuk yang unik. Keris memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) dan Kerajaan Mataram baru (abad ke-17-18).


Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan [[logam]] dapat ditelusuri sebagai pengaruh [[India]], khususnya [[Siwa]]isme.<ref name="old.blades.free.fr">[http://old.blades.free.fr/keris/introduction/origin/history3.htm Origin of The Keris. III. Keris and Sivaism.] Laman ''Old Blades. Malay World Edges Weapons''.</ref> Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan [[ikonografi]] India yang menampilkan "wesi aji" seperti [[trisula]], ''[[kudhi]]'', [[arit]], dan keris ''sombro''.<ref name="lumintu"/> Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-[[Singasari]] dikenal sebagai "keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris.<ref name="Origin of The Keris. I. Keris Buda">[http://old.blades.free.fr/keris/introduction/origin/history1.htm Origin of The Keris. I. Keris Buda.] Laman ''Old Blades. Malay World Edges Weapons''.</ref> Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Buda dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris.
== Keris Pusaka terkenal ==

== Bahan, pembuatan, dan perawatan ==
[[Berkas:Aksesoris Pengantin Pria Melayu.jpg|jmpl|Aksesoris Pengantin Pria Melayu yang memakai keris]]
Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris ada dua macam logam adalah logam [[besi]] dan logam pamor, sedangkan pesi keris terbuat dari [[baja]]. Untuk membuatnya ringan para Empu selalu memadukan bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (''nèm-nèman'', dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai logam pamor [[nikel]]. Keris masa lalu (''keris kuna'') yang baik memiliki logam pamor dari batu [[meteorit]] yang diketahui memiliki kandungan [[titanium]] yang tinggi, di samping nikel, [[kobal]], [[perak]], [[timah putih]], [[kromium]], [[antimonium]], dan [[tembaga]]. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 di [[kompleks percandian Prambanan]].

Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara ringkas menurut salah satu pustaka.<ref>Harsrinuksmo, B. 1985. ''Pamor Keris''. Pusat Keris Jakarta. Jakarta. Hal. 7–8.</ref>
Bilah besi sebagai bahan dasar di''wasuh'' atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya [[karbon]] serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut ''saton''. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut ''kodhokan''. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua ''kodhokan'' seperti roti ''sandwich'', diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan ''ganja''. Tahap berikutnya adalah membentuk ''pesi'', ''bengkek'' (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.

Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (''ricikan'') dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta [[bor]], sesuai dengan ''dhapur'' keris yang akan dibuat. ''Silak waja'' dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk.
Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan dengan diameter pesi.

Tahap terakhir, yaitu penyepuhan, dilakukan agar logam keris menjadi logam besi baja. Pada keris Filipina tidak dilakukan proses ini. ''Penyepuhan'' ("menuakan logam") dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran [[belerang]], [[garam]], dan perasan [[jeruk nipis]] (disebut ''kamalan''). ''Penyepuhan'' juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam cairan ([[air]], air garam, atau minyak kelapa, tergantung pengalaman Empu yang membuat). Tindakan ''penyepuhan'' harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat bilah keris retak.

Selain cara Penyepuhan yang lazim seperti diatas dalam penyepuhan Keris dikenal pula Sepuh jilat yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijilati dengan lidah, Sepuh Akep yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dikulum dengan bibir beberapa kali dan Sepuh Saru yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijepit dengan alat kelamin wanita (Vagina) Sepuh Saru ini yang terkenal adalah Nyi Sombro, bentuk kerisnya tidak besar tapi disesuaikan.<ref>{{Cite book|last=Jati|first=I Nyoman|date=2021|url=https://www.google.co.id/books/edition/Ensiklopedi_Upakara/KGJMEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Selain+cara+Penyepuhan+yang+lazim+seperti+diatas+dalam+penyepuhan+Keris+dikenal+pula+Sepuh+jilat+yaitu+pada+saat+logam+Keris+membara+diambil+dan+dijilati+dengan+lidah,+Sepuh+Akep+yaitu+pada+saat+logam+Keris+membara+diambil+dan+dikulum+dengan+bibir+beberapa+kali+dan+Sepuh+Saru+yaitu+pada+saat+logam+Keris+membara+diambil+dan+dijepit+dengan+alat+kelamin+wanita+(Vagina)+Sepuh+Saru+ini+yang+terkenal+adalah+Nyi+Sombro,+bentuk+kerisnya+tidak+besar+tapi+disesuaikan.&pg=PA306&printsec=frontcover|title=Ensiklopedi Upakara Edisi Lengkap|location=Bali|publisher=Nilacakra|isbn=978-623-5609-16-4|pages=306|url-status=live}}</ref>

Pemberian ''warangan'' dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya. Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan [[Muharram]]/[[Sura]], meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah "memandikan" keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan [[karat]] pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah [[kelapa]], hancuran buah [[mengkudu]], atau perasan [[jeruk nipis]]). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak [[melati]] atau minyak [[cendana]] yang diencerkan pada minyak kelapa.

<!-- Pemerhati dan kolektor keris lebih sering menggolongkan keris sebagai ''keris kuna'' dan ''keris baru''. Keris kuna dibuat sebelum abad ke-19, pembuatannya menggunakan bahan bijih logam mentah yang diambil dari sumber alam dan [[meteorit]] (karena belum ada pabrik peleburan bijih logam), sehingga logam yang dipakai masih mengandung banyak jenis logam campuran lainnya, seperti bijih besinya mengandung [[titanium]], dll. Keris baru ( setelah abad ke-19 ) biasanya hanya menggunakan bahan besi, baja dan nikel dari hasil peleburan biji besi, atau besi bekas ( per ''sparepart'' kendaraan, besi jembatan, besi rel kereta api dll ) yang rata-rata adalah olahan pabrik, sehingga kemurniannya terjamin atau sedikit sekali kemungkinannya mengandung logam jenis lainnya.
Misalkan penelitian Haryono Arumbinang, Sudyartomo dan Budi Santosa ( sarjana nuklir [[BATAN Yogjakarta]] ) pada era 1990, menunjukkan bahwa sebilah keris dengan tangguh [[Tuban]], dapur [[Tilam Upih]] dan pamor [[Beras Wutah]] ternyata mengandung [[besi]] (fe), [[arsenikum]] (warangan )dan Titanium (Ti), menurut peneliti tersebut bahwa keris tersebut adalah "keris kuno", karena unsur logam titanium, baru ditemukan sebagai unsur logam mandiri pada sekitar tahun 1940, dan logam yang kekerasannya melebihi baja namun jauh lebih ringan dari besi, banyak digunakan sebagai alat transportasi modern (pesawat terbang, pesawat luar angkasa) ataupun roket, jadi pada saat itu teknologi tersebut belum hadir di Indonesia. Titanium banyak diketemukan pada batu [[meteorit]] dan pasir besi biasanya berasal dari daerah Pantai Selatan dan juga [[Sulawesi]]. Dari 14 keris yang diteliti, rata-rata mengandung banyak logam campuran jenis lain seperti [[cromium]], [[stanum]], [[stibinium]], [[perak]], [[tembaga]] dan [[seng]], sebanyak 13 keris tersebut mengandung titanium dan hanya satu keris yang mengandung [[nikel]]. -->
<!-- Sumber: Disarikan dari hasil Sarasehan Pameran Seni Tosan Aji, ''Bentara Budaya Jakarta'', Budiarto Danujaya, Jakarta, 1999 -->

<!-- Selain keris, masih terdapat sejumlah senjata tikam lain di wilayah Nusantara, seperti [[rencong]] dari [[Aceh]],sewar, tumbuk lada, badik, dan taji ayam (sumatera),[[badik]] dari [[Sulawesi]] serta [[kujang]] dari [[Jawa Barat]]. Keris dibedakan dari senjata tikam lain terutama dari bentuk bilahnya. keris adalah senjata dengan tajam pada dua sisi, terdiri dari dua bagian yaitu bilah (beserta peksinya) serta ganja, memiliki kecondongan tertentu dari ganjanya, bilah keris tidak dibuat dari logam tunggal yang dicor tetapi merupakan campuran berbagai logam minimal 2 jenis logam,yang ditempa berlapis-lapis. Akibat teknik pembuatan ini, keris memiliki[[pamor keris|pamor]] pada bilahnya.
orang awam sering mengira bahwa pamor hanya ada pada keris, sebenarnya teknik pembuatan pamor bukan hanya terdapat pada keris tetapi juga ada pada pedang, tombak dan berbagai senjata tusuk seperti badik, kujang dan taji/lawi ayam, teknik pembuatan dengan menggabungkan beberapa logam (minimal 2 jenis logam)yang ditempa berlapis-lapis juga bukan monopoli keris karena juga diterapkan pada pembuatan pedang, badik dan tosan aji lain, jadi bukan pamor dan teknik tempa lipat beberapa logam yang membedakan keris dengan senjata lain melainkan terdapatnya dua bagian bilah dan ganja, dan adanya kecondongan bilah dari ganja yang membuat keris khas. -->

== Morfologi ==
{{Unreferenced section}}
Beberapa istilah di bagian ini diambil dari tradisi Jawa, semata karena rujukan yang tersedia.

Keris atau ''dhuwung'' terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bilah (''wilah'' atau daun keris), ''ganja'' ("penopang"), dan hulu keris (''ukiran'', pegangan keris). Bagian yang harus ada adalah bilah. Hulu keris dapat terpisah maupun menyatu dengan bilah. ''Ganja'' tidak selalu ada, tapi keris-keris yang baik selalu memilikinya. Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau ''warangka''.

Bilah keris merupakan bagian utama yang menjadi identifikasi suatu keris. Pengetahuan mengenai bentuk (''dhapur'') atau morfologi keris menjadi hal yang penting untuk keperluan identifikasi. Bentuk keris memiliki banyak simbol spiritual selain nilai estetika. Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dalam morfologi keris adalah kelokan (''luk''), ornamen (''ricikan''), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (''dhapur'') keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai keris.

Pengaruh waktu memengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan keris tercermin dari konsep ''tangguh'', yang biasanya dikaitkan dengan periodisasi sejarah maupun geografis, serta empu yang membuatnya.

=== ''Hulu'' atau pegangan keris ===
[[Berkas:Semar Kris (alt) 3.jpg|jmpl|Sebuah keris dengan pegangan berbentuk [[Semar]]]]
Pegangan keris ([[bahasa Jawa]]: ''gaman'', atau deder untuk keris gaya Yogyakarta dan jejeran untuk keris Surakarta) ini bermacam-macam motifnya, untuk keris [[Bali]] ada yang bentuknya menyerupai dewa, pedande ([[pendeta]]), raksasa, penari, pertapa hutan dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia dan biasanya bertatahkan batu [[mirah delima]], dulu sebelum islam masuk, gagang keris Jawa berbentuk seperti patung Dewa-dewa tetapi setelah Islam masuk penggunaan patung dilarang sehingga gagang keris mengalami perombakan, tetapi di Bali masih dilestarikan. Walaupun begitu bentuk gagang patung berbentuk karakter masih ditemukan pada keris Jawa bagi mereka yang menganut kejawen.

Pegangan keris [[Sulawesi]] menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris [[Riau]] Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti [[Aceh]], Bangkinang (Riau), [[Palembang]], [[Sambas]], [[Kutai]], [[Bugis]], [[Luwu]], [[Jawa]], [[Pulau Madura|Madura]] dan [[Sulu]], keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.

Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari ''sirah wingking'' ( kepala bagian belakang ), ''jiling, cigir, cetek, bathuk'' (kepala bagian depan),''weteng'' dan ''bungkul''.

=== ''Warangka'' atau sarung keris ===

Warangka, atau sarung keris (bahasa Banjar: ''kumpang''), adalah komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari [[kayu]] (yang umum adalah [[jati]], [[cendana]], timoho, dan [[kemuning]]). Sejalan dengan perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi wrangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan [[gading]].

Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis '''warangka ladrang''' yang terdiri dari bagian-bagian: ''angkup, lata, janggut, gandek, godong'' (berbentuk seperti daun), ''gandar, ri'' serta ''cangkring''. Dan jenis lainnya adalah jenis '''wrangka gayaman''' (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat ''angkup, godong'', dan ''gandek''.

Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi, misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkawinan, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk ''(stagen)'' pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).

Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman, pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.

Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut '''gandar''' atau ''antupan'',maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran).

Karena fungsi gandar untuk membungkus, sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut '''pendok'''. Bagian ''pendok'' ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah, dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ), perak, emas. Untuk daerah di luar Jawa ( kalangan raja-raja [[Bugis]], [[Goa]], [[Palembang]], Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas, disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.

Untuk keris Jawa, menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) ''pendok bunton'' berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya, (2) ''pendok blewah'' (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat, serta (3) ''pendok topengan'' yang belahannya hanya terletak di tengah. Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

=== ''Wilah'' atau bilah keris ===
[[Berkas:Kalis seko kris moro sword 1a.JPG|jmpl|180px|Keris Moro (kalis) dari Sulu, bilah tidak dituakan dan tidak berpamor.]]

Wilah, wilahan, atau bilah adalah bagian utama dari sebuah keris. Wilah keris adalah logam yang ditempa sedemikian rupa sehingga menjadi senjata tajam. Wilah terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut [[dapur]], atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur ''jangkung mayang'', ''jaka lola'', ''pinarak'', ''jamang murub'', ''bungkul'', ''kebo tedan'', ''pudak sitegal'', dll.

Pada pangkal wilahan terdapat '''pesi''', yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris (ukiran). Pesi ini panjangnya antara 5&nbsp;cm sampai 7&nbsp;cm, dengan penampang sekitar 5&nbsp;mm sampai 10&nbsp;mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut ''paksi'', di Riau disebut ''puting'', sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut ''punting''.

Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut '''ganja''' (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya ''aring''). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya [[tosan aji]] mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan ''lingga'' dan ''yoni'', dimana [[ganja]] mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut ''sirah cecak'', bagian lehernya disebut ''gulu meled'', bagian perut disebut ''wetengan'' dan ekornya disebut ''sebit ron''. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, ''wilut'', ''dungkul'', ''kelap lintah'' dan ''sebit rontal''.

'''Luk''', adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah, dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu ''gasal'' ('''ganjil''') dan '''tidak pernah genap''', dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13).

Dalam perdagangan keris nama dhapur sering dipermudah sebagai berikut:

1. Keris lurus disebut Jalak
2. Keris Luk 3 disebut Jangkung
3. Keris Luk 5 disebut Pendhawa
4. Keris Luk 7 disebut Sempana atau Sumpana
5. Keris Luk 9 disebut Jigja
6. Keris Luk 11 disebut Sabuk inten atau Carita
7. Keris Luk 13 disebut Sengkelat

Dhapur keris lurus:

1. Panji Anom 2. Jaka Tuwo 3. Bethok 4. Karna Tinandhing 5. Semar Bethak 6. Regol 7. Kebo Teki 8. Jalak Nguwuh 9. Sempani 10. Jamang Murub 11. Tumenggung 12. Tilam Upih 13. Pasopati 14. Condhong Campur 15. Jalak Dhinding 16. Jalak Ngore 17. Jalak Sangu Tumpeng 18. Mendarang 19. Mesem 20. Semar Tinandhu 21 Ron Teki 22. Sujen Ampel 23. Kelap Lintah 24. Yuyu Rumpung 25. Brojol 26. Laler Mengeng 27. Puthut 28. Jalak Sumelang Gandring 29. Mangkurat 30. Mayat Miring 31. Kalam Munyeng 32. Pinarak 33. Marak 34. Jalak Tilamsari 35.Tilamsari 36. Jalak Lola 37. Wora-wari 38. Wora-wari 39. Sinom 40. Kala Misani

Dhapur luk tiga (3)
1. Jangkung Pacar 2. Maesa Soka 3. Maesa Nempuh 4. Mayat 5. Jangkung Pacar 6. Tebu Sauyun 7. Bango Dholok 8. Manglar Munya 9. Campur Bawur 10. Segara Winotan 11. Jangkung Cinarita

Dhapur Luk Lima (5)
1. Sinarasah 2. Pudhak Sategal 3. Pulanggeni 4. Pandhawa 5. Anoman 6. Kebo Dhengen 7. Kalanadhah 8. Pandhawa lare 9. Urap-urap 10. Naga Salira 11. Kebo Dhendheng 12. Pandhawa Cinarita 11. Jangkung Cinarita

Dhapur Luk Tujuh (7)
1. Balebang 2. Murma Malela 3. Crubuk 4. Jaran Goyang 5. Naga-Kras 6. Sempana Punjul 7. Sempana Bungkem 8. Crita Casapta

Dhapur Luk Sembilan (9)
1. Kidang Mas 2. Panji Sekar 3. Sempana 4. Jaruman 5. Jarudheh 6. Paniwen 7. Panimbal 8. Kidang Soka 9. Carang Soka 10. Sabuk Tampar 11. Buto Ijo 12. Sempana Kalenthang 13. Crita Kanawa

Dhapur Luk Sebelas (11)
1. Carita Bungkem 2. Carita Prasaja 3. Carita Kaprabon 4. Carita Daleman 5. Sabuk Inten 6. Cluring Regol 7. Carita Genengan 8. Carita Gandhu 9. Sabuk Tali 10. Jaka Wuru

Dhapur Luk Tigabelas (13)
1. Caluring 2. Sangkelat 3. Johan Mangan Kala 4. Nagasasra 5. Parungsari 6. Kantar 7. Luk Gandhu 8. Sepokal 9. Karawelang 10. Naga Selumen 11. Bima Kurdha

Dhapur Luk 17, 19, 21, 25, dan 29
Luk 17 Ngamper Buta Lancingan
Luk 19 Trimurda Kala Tinantang
Luk 21 Drajit Trisirah
Luk 25 Bima Kurdha
Luk 27 Taga Wirun
Luk 29 Kalabendu

Keris-keris pusaka keraton hanya sampai berluk13 saja. Keris yang berluk lebih dari 13 disebut keris Kalawijen atau Palawijan, keris ''kalawija'', atau keris tidak lazim dan tidak termasuk Pusaka Keraton.

== ''Pasikutan'', tangguh keris, dan perkembangan pada masa kini ==
:''Lihat pula artikel [[Tangguh keris]]''.
[[Berkas:Alor Gajah Square.JPG|jmpl|Dataran Keris di [[Melaka]], [[Malaysia]].]]

Yang dimaksud dengan ''pasikutan'' adalah "roman" atau kesan emosi yang dibangkitkan oleh wujud suatu keris. Biasanya, personifikasi disematkan pada suatu keris, misalnya suatu keris tampak seperti "bungkuk", "tidak bersemangat", "riang", "tidak seimbang", dan sebagainya.<ref>Kusni. 1979. ''Pakem. Pengetahuan tentang Keris''. C.V. Aneka. Semarang. Hal. 91.</ref> Kemampuan menengarai ''pasikutan'' merupakan tahap lanjut dalam mendalami ilmu perkerisan dan membawa seseorang pada ''panangguhan'' keris.

Langgam/gaya pembuatan suatu keris dipengaruhi oleh zaman, tempat tinggal dan selera empu yang membuatnya. Dalam istilah perkerisan Jawa, langgam keris menurut waktu dan tempat ini diistilahkan sebagai ''tangguh''. Tangguh dapat juga diartikan sebagai "perkiraan", maksudnya adalah perkiraan suatu keris mengikuti gaya suatu zaman atau tempat tertentu. "Penangguhan" keris pada umumnya dilakukan terhadap keris-keris pusaka, meskipun keris-keris baru dapat juga dibuat mengikuti tangguh tertentu, tergantung keinginan pemilik keris atau empunya.

Tangguh keris tidak bersifat mutlak karena deskripsi setiap tangguh pun dapat bersifat tumpang tindih. Selain itu, pustaka-pustaka lama tidak memiliki kesepakatan mengenai empu-empu yang dimasukkan ke dalam suatu tangguh. Hal ini disebabkan tradisi lisan yang sebelum abad ke-20 dipakai dalam ilmu ''padhuwungan''.

Meskipun tangguh tidak identik dengan umur, tangguh keris (Jawa) yang tertua yang dapat dijumpai saat ini adalah ''tangguh Buda'' (atau keris Buda). Keris pusaka tertua dianggap dan masih dugaan yaitu dari tangguh Pajajaran, yaitu dari periode ketika bagian paling barat Jawa Tengah masih di bawah pengaruh [[Kerajaan Galuh]] ini pun sebenarnya bukan keris melainkan senjata kadga dan tidak bisa menjadi acuan pula sebab sebelum hindu masuk, Jawa sudah memiliki senjata senjata asli pribumi sendiri, dan kadga sezaman dengan Kerajaan Mataram kuno dilihat dari arca dwarapala pada candi Sewu yang dibagian pinggang belakang membawa kadga. Keris pusaka termuda adalah dari masa pemerintahan [[Pakubuwana X]] (berakhir 1939). Selanjutnya, kualitas pembuatan keris terus merosot, bahkan di Surakarta pada dekade 1940-an tidak ada satu pun pandai keris yang bertahan.<ref name=Murtidjono>Murtidjono. 1991. Besalen-besalen di Surakarta Masa Kini. Dalam:''Sarasehan Seni Kriya Keris Jakarta 1991. Kumpulan Makalah.'' Panitia Pameran dan Sarasehan Seni Kriya Keris Jakarta. Jakarta. Hal. 35–42.</ref>

Kebangkitan seni kriya keris di Surakarta dimulai pada tahun 1970, dibidani oleh K.R.T. [[Hardjonagoro]] (Go Tik Swan) dan didukung oleh Sudiono Humardani,<ref name=Murtidjono/> melalui perkumpulan ''Bawa Rasa Tosan Aji''. Perlahan-lahan kegiatan pandai keris bangkit kembali dan akhirnya ilmu perkerisan juga menjadi satu program studi pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (sekarang [[ISI Surakarta]]).

Keris-keris yang dibuat oleh para pandai keris sekarang dikenal sebagai ''keris kamardikan'' ("keris kemerdekaan"). Periode ini melahirkan beberapa pandai keris kenamaan dari Surakarta<ref name=Murtidjono/> seperti KRT. Supawijaya (Surakarta), Pauzan Pusposukadgo (Surakarta), tim pandai keris STSI Surakarta, Harjosuwarno (bekerja pada studio milik KRT Hardjonagoro di Surakarta), Suparman Wignyosukadgo (Surakarta).<ref name=Harsri>Harsrinuksmo B. 1985. ''Tanya Jawab Soal Keris.'' Pusat Keris Jakarta. Jakarta. Hal. 30., dan Jeno Harumbrojo (Yogyakarta)</ref>

== Keris legendaris ==
* [[Keris Mpu Gandring]]
* [[Keris Mpu Gandring]]
* [[Keris Pusaka Setan Kober]]
* [[Keris Pusaka Setan Kober]]
* [[Keris Kyai Sengkelat]]
* [[Senjata tradisional|Keris Rakian Naga Batu Handak]]
* [[Senjata tradisional|Keris Blambangan]]
* [[Keris Pusaka Nagasastra Sabuk Inten]]
* [[Keris Kyai Carubuk]]
* [[Keris Kyai Carubuk]]
* [[Keris Kyai Condong Campur]]
* [[Keris Kyai Condong Campur]]


== Catatan ==
[[Kategori:Keris]]
{{Reflist|group=n}}

== Referensi ==
{{reflist|2}}

== Pranala luar ==
{{commonscat}}
* {{en}} [https://www.youtube.com/watch?v=uUBIkjRgO9c&ab_channel=UNESCO The Indonesian Kris] - UNESCO: Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity - 2008

{{Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia di Indonesia}}
{{Senjata Indonesia}}
{{Authority control}}


[[de:Kris]]
[[Kategori:Keris| ]]
[[Kategori:Senjata tradisional Indonesia]]
[[en:Kris]]
[[Kategori:Mahakarya Warisan Budaya Lisan dan Takbenda Manusia]]
[[fr:Kriss]]
[[fy:Kris]]
[[Kategori:Belati]]
[[Kategori:Reka cipta Indonesia]]
[[it:Kriss]]
[[Kategori:Budaya Indonesia]]
[[ms:Keris]]
[[nl:Kris (wapen)]]
[[pl:Kris]]

Revisi terkini sejak 1 Agustus 2024 08.17

Keris
ꦏꦼꦫꦶꦱ꧀/ꦮꦁꦏꦶꦔꦤ꧀

Keris terdiri dari tiga bagian; bilah (wilah), gagang (hulu) dan sarung (warangka)
Jenis Belati
Negara asal Jawa, Indonesia
Sejarah pemakaian
Masa penggunaan Kemaharajaan Majapahit, Kerajaan Sunda, Kerajaan Singhasari, Kesultanan Palembang Darussalam, Kesultanan Malaka, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kesultanan Brunei, Semenanjung Malaka, Kepulauan Indonesia[4]
Digunakan oleh Suku Jawa, Suku Bali, Suku Sunda, Suku Melayu, Suku Banjar, Suku Madura, Suku Bugis, Suku Mandar, Suku Toraja, Suku Kutai dan Suku Makassar
Pada perang Pertempuran Genter, Ekspedisi Pamalayu, Invasi Mongol ke Jawa, Perang Bubat, Perang Paregreg, Penyerbuan Batavia, Perang Diponegoro, Revolusi Nasional Indonesia
Sejarah produksi
Perancang Suku Jawa
Varian Kalis, Badik, Kerambit, Chundrik[5]
Spesifikasi
Tipe pedang Pisau tajam bermata ganda besi nikel atau baja
Tipe gagang Gading, tulang, tanduk, kayu atau logam. Terkadang dilapisi dengan emas atau perak dan dihiasi dengan batu permata
Jenis sarung Bingkai kayu yang dilapisi dan dihias dengan gading atau logam (emas, perak, tembaga, besi, kuningan, atau baja)
Keris
Keris ditetapkan sebagai Karya Agung Warisan Budaya Kemanusiaan Lisan dan non bendawi yang berasal dari Indonesia oleh UNESCO.
NegaraIndonesia
KriteriaTraditional
Referensi112
KawasanAsia dan Pasifik
Sejarah Inskripsi
Inskripsi2008 (sesi ke-3)
DaftarRepresentatif

Keris (bahasa Inggris: Kris) adalah senjata khas yang berkelok-kelok atau asimetri yang termasuk dalam golongan senjata tikam yang berasal dari Indonesia. Baik sebagai senjata maupun objek spiritual, keris dihormati dan dianggap memiliki kekuatan yang magis. Awal mula keris diketahui berasal dan menyebar dari pulau Jawa ke seluruh bagian Nusantara dan wilayah Asia Tenggara secara umum.


Keris merupakan senjata tajam golongan belati dari suku Jawa yang memiliki ragam fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, sering kali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah.

Keris bagi orang Jawa adalah senjata pamungkas/terakhir setelah pedang, tombak, dan panah. Sejatinya keris bukanlah senjata utama dalam peperangan tetapi juga senjata yang disukai untuk dibawa pergi kemanapun. Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel atau peperangan,[6] sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini dan penggunaan perkembangan keris dari waktu ke waktu orang Jawa mengubahnya menjadi benda yang memiliki filosofi pengajaran hidup bagi pemiliknya, sebagai identitas diri, pesan moral, simbol cerminan diri, ketentraman, kesabaran, harapan/impian keinginan, serta pengingat diri atau pagar nasihat bagi pemiliknya agar selalu damai tenang hatinya tidak mudah emosi, harus selalu berjiwa bersih dan bersahaja, semua itu di tuangkan ke dalam simbol simbol yang terdapat di setiap bentuk keris dan rupa rupa pamor keris. Keris juga merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.

Keris telah terdaftar dan diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia yang berasal dari Indonesia sejak 2005.

Asal usul dan fungsi

[sunting | sunting sumber]

Asal usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada prasasti Taji Ponorogo dari abad ke-10 Masehi. . Ada banyak teori yang mencoba menjelaskan asal muasal keris di nusantara. G.B. Gardner dalam bukunya Keris and Other Malay Weapon keris dianggap sebagai pengembangan dari senjata tikam prasejarah. Namun diperkirakan asal mula penyebutan kata "keris" merupakan singkatan bahasa Jawa dari "Mlungker-mlungker kang bisa ngiris", dugaan bentuk keris berkelok/mlungker adalah pengembangan desain dari bentukan keris yang awalnya lurus, yang diilhami dari seekor ular yang sedang melata karena bagi orang Jawa ular adalah hewan yang disakralkan mengingat orang Jawa pada saat itu mengutamakan dewa Siwa yang berkalung ular.

Sedangkan keris yang lurus adalah perkembangan dari bentuk kadga yaitu bentuk paling awal keris. dalam bahasa Jawa berarti "(kata sinengker, karana, dan aris). Sinengker atau sengkeran mempunyai arti kurungan, karana mempunyai arti jalaran, dan aris mempunyai arti tanpa suloyo" Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.

Prototipe Keris

[sunting | sunting sumber]
Penggambaran keris di relief Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah
Relief prajurit ingin menusuk seseorang dengan keris di Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur

Satu panel relief Candi Borobudur (abad ke-9) yang memperlihatkan seseorang memegang benda serupa keris tetapi belum memiliki derajat kecondongan dan hulu/deder nya masih menyatu dengan bilah.

Pada catatan Prasasti Ponorogo berangka tahun 823 saka, atau 901 M menyebutkan 392 orang hadir untuk upacara penghormatan Sang Hyang Vatu Sima (Dewa Harimau Batu). Dalam upacara disembelih 6 ekor kerbau untuk para warga. Hadir pula warga dari 7 desa tetangga. Semua warga dan tamu undangan diberi hadiah berupa makanan beraneka ragam dari daging hingga ikan laut, keris, kain, dan emas. Dalam acara tersebut diadakan tari-tarian, makan bersama, kemudian doa pengusiran roh jahat oleh Pandita. Keris-keris yang sangat banyak tersebut ditempa oleh para empu Ponorogo zaman Wengker.[7]

Dari abad yang sama, prasasti Karangtengah di Temanggung, Jawa Tengah berangka tahun 824 Masehi menyebut istilah "keris" dalam suatu daftar peralatan.[8] Prasasti Poh (904 M) menyebut "keris" sebagai bagian dari sesaji yang perlu dipersembahkan.[8] Walaupun demikian, tidak diketahui apakah "keris" itu mengacu pada benda seperti yang dikenal sekarang.

Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.

Keris modern

[sunting | sunting sumber]
Sanggar Mpu pembuat keris ditampilkan dalam relief Candi Sukuh.
Keris Majapahit dari era Kemaharajaan Majapahit, item koleksi pameran Rijksmuseum, Belanda

Dari abad ke-15, salah satu relief di Candi Sukuh yang merupakan tempat pemujaan dari masa akhir Majapahit, dengan gamblang menunjukkan seorang empu tengah membuat keris. Relief ini pada sebelah kiri menggambarkan Bhima sebagai personifikasi empu tengah menempa besi, Ganesha di tengah, dan Arjuna tengah memompa tabung peniup udara untuk tungku pembakaran. Dinding di belakang empu menampilkan berbagai benda logam hasil tempaan, termasuk keris.

.... Orang-orang ini [Majapahit] selalu mengenakan pu-la-t'ou (belati? atau beladau?) yang diselipkan pada ikat pinggang. [...], yang terbuat dari baja, dengan pola yang rumit dan bergaris-garis halus pada daunnya; hulunya terbuat dari emas, cula, atau gading yang diukir berbentuk manusia atau wajah raksasa dengan garapan yang sangat halus dan rajin.
— Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan Fai

Catatan Ma Huan dari tahun 1416, anggota ekspedisi Cheng Ho, dalam "Ying-yai Sheng-lan" menyebutkan bahwa orang-orang Majapahit selalu mengenakan (pu-la-t'ou) yang diselipkan pada ikat pinggang. Mengenai kata Pu-la-t'ou ini, meskipun hanya berdasarkan kemiripan bunyi, banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah "belati", dan karena keris adalah senjata tikam sebagaimana belati maka dianggap pu-la-t'ou menggambarkan keris. Tampaknya masih harus dilakukan penelitian apakah betul pada masa majapahit keris disebut "belati" tetapi terdapat deskripsi yang menggambarkann bahwa "belati" ini adalah keris dan teknik pembuatan pamor telah berkembang baik.[9]

Bisa jadi yang dimaksud oleh Ma Huan dengan Pulat'ou adalah "Beladau". Kata "beladau" lebih menyerupai "Pu- La-T'ou" daripada "belati".

...Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh...
Sanghyang siksakandang karesian, Bait XVII

Keris disebutkan dalam naskah Sunda dari tahun 1440 Saka (1518 M), Sanghyang Siksa Kandang Karesian bait XVII, yang menyebutkan bahwa keris adalah senjata Prabu, (raja, golongan ksatriya).[10] Naskah ini membagi senjata dalam masyarakat Kerajaan Sunda ke dalam tiga golongan; senjata untuk prabu (raja, menak, atau golongan ksatriya) adalah pedang, pecut, pamuk, golok, peso teundeut, dan keris; senjata untuk kaum petani adalah kujang, baliung, patik, kored, dan pisau sadap; sementara senjata kaum pendeta adalah kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, dan pakisi.

... setiap laki-laki di Jawa, tidak peduli kaya atau miskin, harus memiliki sebilah keris di rumahnya ... dan tidak ada satu pun laki-laki berusia antara 12 dan 80 tahun bepergian tanpa sebilah keris di sabuknya. Keris diletakkan di punggung, seperti belati di Portugal...
— Tome Pires, Suma Oriental

Tome Pires, penjelajah Portugis dari abad ke-16, menyinggung tentang kebiasaan penggunaan keris oleh laki-laki Jawa.[11] Deskripsinya tidak jauh berbeda dari yang disebutkan Ma Huan seabad sebelumnya.

Berita-berita Portugis dan Prancis dari abad ke-17 telah menunjukkan penggunaan meluas pamor dan pemakaian pegangan keris dari kayu, tanduk, atau gading di berbagai tempat di Nusantara.[12]

Perkembangan fungsi keris

[sunting | sunting sumber]

Pada masa kini, keris memiliki fungsi yang beragam dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk keris yang ada.

Keris sebagai elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh prasasti-prasasti dari milenium pertama menunjukkan keris sebagai bagian dari persembahan. Pada masa kini, keris juga masih menjadi bagian dari sesajian. Lebih jauh, keris juga digunakan dalam ritual/upacara mistik atau paranormal. Keris untuk penggunaan semacam ini memiliki bentuk berbeda, dengan pesi menjadi hulu keris, sehingga hulu menyatu dengan bilah keris. Keris semacam ini dikenal sebagai keris sesajian atau "keris majapahit" (tidak sama dengan keris tangguh Majapahit)!.

Pemaparan-pemaparan asing menunjukkan fungsi keris sebagai senjata di kalangan awam Majapahit. Keris sebagai senjata memiliki bilah yang kokoh, keras, tetapi ringan. Berbagai legenda dari periode DemakMataram mengenal beberapa keris senjata yang terkenal, misalnya keris Nagasasra Sabukinten.

Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Bagi orang Jawa misalnya disebut Udhonorogo Pakerisan ( Etika berbusana dalam pemakaian keris), keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai, posisi keris di belakang ada banyak macam tetapi yang paling utama sebagai berikut :

1. Ngogleng

Posisi pertama kerap disebut Ngogleng, dimana keris akan dimasukkan ke dalam lipatan kedua dan ketiga sabuk stagen yang kerap ada dalam pakaian adat Jawa. Sementara gagangnya biasanya akan condong ke sebelah kanan. Posisi Ngogleng kerap dikenakan oleh abdi dalem dan masyarakat umum. Mereka meletakkan keris di bagian belakang dengan posisi tersebut saat menghadiri acara resmi yang bersifat formal juga ketika dalam masa damai.

2. Kureban

Jika Ngogleng membuat gagang keris condong ke kanan, posisi Kureban justru menjadikannya menghadap ke kiri. Ketika memakai keris dengan posisi seperti ini, maka orang tersebut biasanya sedang menghadiri acara duka cita.

3. Satriya Keplayu

Adalah posisi keris di belakang tengah tegak lurus adalah ketika seseorang sedang beraktivitas yang membutuhkan banyak gerakgerak, juga ketika sedang menghadap raja.

Untuk penempatan di bagian depan yaitu Nyothe adalah posisi yang dilakukan oleh seorang ulama/ resi atau dia adalah seorang spiritualis, penempatan di depan ataupun di samping juga bisa diartikan sebagai siap siaga ketika sedang berperang atau bertarung.

Untuk orang Bali keris diletakkan di punggung belakang, sedangkan orang Jawa Ponorogo, Bugis dan Melayu keris ditempatkan di depan.


Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme.[13] Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudhi, arit, dan keris sombro.[8] Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris.[14] Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Buda dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris.

Bahan, pembuatan, dan perawatan

[sunting | sunting sumber]
Aksesoris Pengantin Pria Melayu yang memakai keris

Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris ada dua macam logam adalah logam besi dan logam pamor, sedangkan pesi keris terbuat dari baja. Untuk membuatnya ringan para Empu selalu memadukan bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (nèm-nèman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai logam pamor nikel. Keris masa lalu (keris kuna) yang baik memiliki logam pamor dari batu meteorit yang diketahui memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 di kompleks percandian Prambanan.

Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara ringkas menurut salah satu pustaka.[15] Bilah besi sebagai bahan dasar diwasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya karbon serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua kodhokan seperti roti sandwich, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.

Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur keris yang akan dibuat. Silak waja dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk. Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan dengan diameter pesi.

Tahap terakhir, yaitu penyepuhan, dilakukan agar logam keris menjadi logam besi baja. Pada keris Filipina tidak dilakukan proses ini. Penyepuhan ("menuakan logam") dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam, dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan). Penyepuhan juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam cairan (air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung pengalaman Empu yang membuat). Tindakan penyepuhan harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat bilah keris retak.

Selain cara Penyepuhan yang lazim seperti diatas dalam penyepuhan Keris dikenal pula Sepuh jilat yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijilati dengan lidah, Sepuh Akep yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dikulum dengan bibir beberapa kali dan Sepuh Saru yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijepit dengan alat kelamin wanita (Vagina) Sepuh Saru ini yang terkenal adalah Nyi Sombro, bentuk kerisnya tidak besar tapi disesuaikan.[16]

Pemberian warangan dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya. Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Muharram/Sura, meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah "memandikan" keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah kelapa, hancuran buah mengkudu, atau perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.


Morfologi

[sunting | sunting sumber]

Beberapa istilah di bagian ini diambil dari tradisi Jawa, semata karena rujukan yang tersedia.

Keris atau dhuwung terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bilah (wilah atau daun keris), ganja ("penopang"), dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Bagian yang harus ada adalah bilah. Hulu keris dapat terpisah maupun menyatu dengan bilah. Ganja tidak selalu ada, tapi keris-keris yang baik selalu memilikinya. Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau warangka.

Bilah keris merupakan bagian utama yang menjadi identifikasi suatu keris. Pengetahuan mengenai bentuk (dhapur) atau morfologi keris menjadi hal yang penting untuk keperluan identifikasi. Bentuk keris memiliki banyak simbol spiritual selain nilai estetika. Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dalam morfologi keris adalah kelokan (luk), ornamen (ricikan), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (dhapur) keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai keris.

Pengaruh waktu memengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan keris tercermin dari konsep tangguh, yang biasanya dikaitkan dengan periodisasi sejarah maupun geografis, serta empu yang membuatnya.

Hulu atau pegangan keris

[sunting | sunting sumber]
Sebuah keris dengan pegangan berbentuk Semar

Pegangan keris (bahasa Jawa: gaman, atau deder untuk keris gaya Yogyakarta dan jejeran untuk keris Surakarta) ini bermacam-macam motifnya, untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai dewa, pedande (pendeta), raksasa, penari, pertapa hutan dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia dan biasanya bertatahkan batu mirah delima, dulu sebelum islam masuk, gagang keris Jawa berbentuk seperti patung Dewa-dewa tetapi setelah Islam masuk penggunaan patung dilarang sehingga gagang keris mengalami perombakan, tetapi di Bali masih dilestarikan. Walaupun begitu bentuk gagang patung berbentuk karakter masih ditemukan pada keris Jawa bagi mereka yang menganut kejawen.

Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau), Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.

Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ), jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan),weteng dan bungkul.

Warangka atau sarung keris

[sunting | sunting sumber]

Warangka, atau sarung keris (bahasa Banjar: kumpang), adalah komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Sejalan dengan perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi wrangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading.

Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis warangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian: angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong, dan gandek.

Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi, misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkawinan, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).

Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman, pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.

Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran).

Karena fungsi gandar untuk membungkus, sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok. Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah, dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ), perak, emas. Untuk daerah di luar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis, Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas, disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.

Untuk keris Jawa, menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya, (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat, serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah. Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

Wilah atau bilah keris

[sunting | sunting sumber]
Keris Moro (kalis) dari Sulu, bilah tidak dituakan dan tidak berpamor.

Wilah, wilahan, atau bilah adalah bagian utama dari sebuah keris. Wilah keris adalah logam yang ditempa sedemikian rupa sehingga menjadi senjata tajam. Wilah terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola, pinarak, jamang murub, bungkul, kebo tedan, pudak sitegal, dll.

Pada pangkal wilahan terdapat pesi, yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris (ukiran). Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.

Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled, bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut, dungkul, kelap lintah dan sebit rontal.

Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah, dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal (ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13).

Dalam perdagangan keris nama dhapur sering dipermudah sebagai berikut:

1. Keris lurus disebut Jalak 2. Keris Luk 3 disebut Jangkung 3. Keris Luk 5 disebut Pendhawa 4. Keris Luk 7 disebut Sempana atau Sumpana 5. Keris Luk 9 disebut Jigja 6. Keris Luk 11 disebut Sabuk inten atau Carita 7. Keris Luk 13 disebut Sengkelat

Dhapur keris lurus:

1. Panji Anom 2. Jaka Tuwo 3. Bethok 4. Karna Tinandhing 5. Semar Bethak 6. Regol 7. Kebo Teki 8. Jalak Nguwuh 9. Sempani 10. Jamang Murub 11. Tumenggung 12. Tilam Upih 13. Pasopati 14. Condhong Campur 15. Jalak Dhinding 16. Jalak Ngore 17. Jalak Sangu Tumpeng 18. Mendarang 19. Mesem 20. Semar Tinandhu 21 Ron Teki 22. Sujen Ampel 23. Kelap Lintah 24. Yuyu Rumpung 25. Brojol 26. Laler Mengeng 27. Puthut 28. Jalak Sumelang Gandring 29. Mangkurat 30. Mayat Miring 31. Kalam Munyeng 32. Pinarak 33. Marak 34. Jalak Tilamsari 35.Tilamsari 36. Jalak Lola 37. Wora-wari 38. Wora-wari 39. Sinom 40. Kala Misani

Dhapur luk tiga (3) 1. Jangkung Pacar 2. Maesa Soka 3. Maesa Nempuh 4. Mayat 5. Jangkung Pacar 6. Tebu Sauyun 7. Bango Dholok 8. Manglar Munya 9. Campur Bawur 10. Segara Winotan 11. Jangkung Cinarita

Dhapur Luk Lima (5) 1. Sinarasah 2. Pudhak Sategal 3. Pulanggeni 4. Pandhawa 5. Anoman 6. Kebo Dhengen 7. Kalanadhah 8. Pandhawa lare 9. Urap-urap 10. Naga Salira 11. Kebo Dhendheng 12. Pandhawa Cinarita 11. Jangkung Cinarita

Dhapur Luk Tujuh (7) 1. Balebang 2. Murma Malela 3. Crubuk 4. Jaran Goyang 5. Naga-Kras 6. Sempana Punjul 7. Sempana Bungkem 8. Crita Casapta

Dhapur Luk Sembilan (9) 1. Kidang Mas 2. Panji Sekar 3. Sempana 4. Jaruman 5. Jarudheh 6. Paniwen 7. Panimbal 8. Kidang Soka 9. Carang Soka 10. Sabuk Tampar 11. Buto Ijo 12. Sempana Kalenthang 13. Crita Kanawa

Dhapur Luk Sebelas (11) 1. Carita Bungkem 2. Carita Prasaja 3. Carita Kaprabon 4. Carita Daleman 5. Sabuk Inten 6. Cluring Regol 7. Carita Genengan 8. Carita Gandhu 9. Sabuk Tali 10. Jaka Wuru

Dhapur Luk Tigabelas (13) 1. Caluring 2. Sangkelat 3. Johan Mangan Kala 4. Nagasasra 5. Parungsari 6. Kantar 7. Luk Gandhu 8. Sepokal 9. Karawelang 10. Naga Selumen 11. Bima Kurdha

Dhapur Luk 17, 19, 21, 25, dan 29 Luk 17 Ngamper Buta Lancingan Luk 19 Trimurda Kala Tinantang Luk 21 Drajit Trisirah Luk 25 Bima Kurdha Luk 27 Taga Wirun Luk 29 Kalabendu

Keris-keris pusaka keraton hanya sampai berluk13 saja. Keris yang berluk lebih dari 13 disebut keris Kalawijen atau Palawijan, keris kalawija, atau keris tidak lazim dan tidak termasuk Pusaka Keraton.

Pasikutan, tangguh keris, dan perkembangan pada masa kini

[sunting | sunting sumber]
Lihat pula artikel Tangguh keris.
Dataran Keris di Melaka, Malaysia.

Yang dimaksud dengan pasikutan adalah "roman" atau kesan emosi yang dibangkitkan oleh wujud suatu keris. Biasanya, personifikasi disematkan pada suatu keris, misalnya suatu keris tampak seperti "bungkuk", "tidak bersemangat", "riang", "tidak seimbang", dan sebagainya.[17] Kemampuan menengarai pasikutan merupakan tahap lanjut dalam mendalami ilmu perkerisan dan membawa seseorang pada panangguhan keris.

Langgam/gaya pembuatan suatu keris dipengaruhi oleh zaman, tempat tinggal dan selera empu yang membuatnya. Dalam istilah perkerisan Jawa, langgam keris menurut waktu dan tempat ini diistilahkan sebagai tangguh. Tangguh dapat juga diartikan sebagai "perkiraan", maksudnya adalah perkiraan suatu keris mengikuti gaya suatu zaman atau tempat tertentu. "Penangguhan" keris pada umumnya dilakukan terhadap keris-keris pusaka, meskipun keris-keris baru dapat juga dibuat mengikuti tangguh tertentu, tergantung keinginan pemilik keris atau empunya.

Tangguh keris tidak bersifat mutlak karena deskripsi setiap tangguh pun dapat bersifat tumpang tindih. Selain itu, pustaka-pustaka lama tidak memiliki kesepakatan mengenai empu-empu yang dimasukkan ke dalam suatu tangguh. Hal ini disebabkan tradisi lisan yang sebelum abad ke-20 dipakai dalam ilmu padhuwungan.

Meskipun tangguh tidak identik dengan umur, tangguh keris (Jawa) yang tertua yang dapat dijumpai saat ini adalah tangguh Buda (atau keris Buda). Keris pusaka tertua dianggap dan masih dugaan yaitu dari tangguh Pajajaran, yaitu dari periode ketika bagian paling barat Jawa Tengah masih di bawah pengaruh Kerajaan Galuh ini pun sebenarnya bukan keris melainkan senjata kadga dan tidak bisa menjadi acuan pula sebab sebelum hindu masuk, Jawa sudah memiliki senjata senjata asli pribumi sendiri, dan kadga sezaman dengan Kerajaan Mataram kuno dilihat dari arca dwarapala pada candi Sewu yang dibagian pinggang belakang membawa kadga. Keris pusaka termuda adalah dari masa pemerintahan Pakubuwana X (berakhir 1939). Selanjutnya, kualitas pembuatan keris terus merosot, bahkan di Surakarta pada dekade 1940-an tidak ada satu pun pandai keris yang bertahan.[18]

Kebangkitan seni kriya keris di Surakarta dimulai pada tahun 1970, dibidani oleh K.R.T. Hardjonagoro (Go Tik Swan) dan didukung oleh Sudiono Humardani,[18] melalui perkumpulan Bawa Rasa Tosan Aji. Perlahan-lahan kegiatan pandai keris bangkit kembali dan akhirnya ilmu perkerisan juga menjadi satu program studi pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (sekarang ISI Surakarta).

Keris-keris yang dibuat oleh para pandai keris sekarang dikenal sebagai keris kamardikan ("keris kemerdekaan"). Periode ini melahirkan beberapa pandai keris kenamaan dari Surakarta[18] seperti KRT. Supawijaya (Surakarta), Pauzan Pusposukadgo (Surakarta), tim pandai keris STSI Surakarta, Harjosuwarno (bekerja pada studio milik KRT Hardjonagoro di Surakarta), Suparman Wignyosukadgo (Surakarta).[19]

Keris legendaris

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Keris Indonesia". Kebudayaan.kemendikbud.go.id. Diakses tanggal 2020-08-22. 
  2. ^ Top 100 Cultural Wonders of Indonesia. Jakarta: Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia. 2015. ISBN 978-979-1274-66-1. 
  3. ^ Pires, Tomé (1990). The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East. New Delhi: Asian Educational Services. hlm. 179. ISBN 81-206-0535-7. 
  4. ^ Albert G Van Zonneveld (2002). Traditional Weapons of the Indonesian Archipelago. Koninklijk Instituut Voor Taal Land. ISBN 90-5450-004-2. 
  5. ^ James Richardson Logan (1853). The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, Volume 7. Miss. Press. hlm. 281. 
  6. ^ Darmosoegito, Ki. 1992. Bab Dhuwung. Djojobojo. Surabaya. Hal. 16.
  7. ^ News, Ponorogo (13 Juli 2023). "Sudah Ada Sejak 1000 Tahun Lalu, Ternyata Pusat Keris ada di Ponorogo". PonorogoNews. Diakses tanggal 22-02-2024. 
  8. ^ a b c Lumintu. 1985. Besi, Baja, dan Pamor Keris. Pusat Keris Jakarta. Jakarta. hal. 4.
  9. ^ Moebirman. 1980.a,Keris Senjata Pusaka. Yayasan Sapta Karya. Jakarta.
  10. ^ "Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian". Wikisource. Wikisource. Diakses tanggal 23 May 2013. 
  11. ^ lihat misalnya pada versi bahasa Inggris dari terbitan 1944 oleh Armando Cortesao (Cortesao A. 2005. Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Francisco Rodriguez. Asian Publishing House. New Delhi. Hal. 179.
  12. ^ Origin of The Keris. IV. The birth of modern keris. Laman Old Blades - Malay World Edged Weapons
  13. ^ Origin of The Keris. III. Keris and Sivaism. Laman Old Blades. Malay World Edges Weapons.
  14. ^ Origin of The Keris. I. Keris Buda. Laman Old Blades. Malay World Edges Weapons.
  15. ^ Harsrinuksmo, B. 1985. Pamor Keris. Pusat Keris Jakarta. Jakarta. Hal. 7–8.
  16. ^ Jati, I Nyoman (2021). Ensiklopedi Upakara Edisi Lengkap. Bali: Nilacakra. hlm. 306. ISBN 978-623-5609-16-4. 
  17. ^ Kusni. 1979. Pakem. Pengetahuan tentang Keris. C.V. Aneka. Semarang. Hal. 91.
  18. ^ a b c Murtidjono. 1991. Besalen-besalen di Surakarta Masa Kini. Dalam:Sarasehan Seni Kriya Keris Jakarta 1991. Kumpulan Makalah. Panitia Pameran dan Sarasehan Seni Kriya Keris Jakarta. Jakarta. Hal. 35–42.
  19. ^ Harsrinuksmo B. 1985. Tanya Jawab Soal Keris. Pusat Keris Jakarta. Jakarta. Hal. 30., dan Jeno Harumbrojo (Yogyakarta)

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
  • (Inggris) The Indonesian Kris - UNESCO: Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity - 2008