Lompat ke isi

Perdagangan internasional zaman Jawa Kuno: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Muhammad Afif (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Muhammad Afif (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
Perdagangan sangat erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat yang bersangkutan. Makin kompleks suatu masyarakat maka makin kompleks pula tata cara perdagangannya.<ref>Ardhika, I Wayan 1999. “Beberapa Pemikiran tentang Studi Perdagangan di Indonesia”. Dalam ''EHPA''. Lembang: tidak diterbitkan</ref> Pada rentang abad IX hingga abad XII, ada dua kerajaan besar di Nusantara yang ikut andil dalam [[Perdagangan internasional|Perdagangan Internasional]] yaitu [[Sriwijaya|Kerajaan Sriwijaya]] dan [[Kerajaan Medang|Kerajaan Mataram]]. Kerjaan Sriwijaya memegang peranan penting dalam perdagangan Asia sekitar pertengahan abad ke VII hingga menjelang abad IX.<ref>{{Cite book|url=https://www.amazon.com/Early-Indonesian-Commerce-Origins-Srivijaya/dp/1597401870|title=Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya|last=Wolters|first=O. W.|date=2001-01-01|publisher=ACLS History E-Book Project|isbn=9781597401876|language=English}}</ref><ref>Wolters, O.W. 1967. Early Indonesian Commerce'': ''A Study of the Origins of Çr vijaya. Ithaca: Cornell University Press.</ref> Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya sering dikunjungi pedagang-pedagang Cina yang akan berlayar ke [[Timur Tengah]] dan [[India]] dan sebaliknya. Sementara itu, Mataram juga sudah dikunjungi pedagang asing namun belum termasuk dalam jalur perdagangan utama.
Perdagangan sangat erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat yang bersangkutan. Makin kompleks suatu masyarakat maka makin kompleks pula tata cara perdagangannya.<ref>Ardhika, I Wayan 1999. “Beberapa Pemikiran tentang Studi Perdagangan di Indonesia”. Dalam ''EHPA''. Lembang: tidak diterbitkan</ref> Pada rentang abad VII hingga abad IX, kerajaan besar di Nusantara yang ikut andil dalam [[Perdagangan internasional|Perdagangan Internasional]] yaitu [[Sriwijaya|Kerajaan Sriwijaya]]. Pada saat itu Kerjaan Sriwijaya memegang peranan penting dalam perdagangan Asia.<ref>{{Cite book|url=https://www.amazon.com/Early-Indonesian-Commerce-Origins-Srivijaya/dp/1597401870|title=Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya|last=Wolters|first=O. W.|date=2001-01-01|publisher=ACLS History E-Book Project|isbn=9781597401876|language=English}}</ref><ref>Wolters, O.W. 1967. Early Indonesian Commerce'': ''A Study of the Origins of Çr vijaya. Ithaca: Cornell University Press.</ref> Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya sering dikunjungi pedagang-pedagang Cina yang akan berlayar ke [[Timur Tengah]] dan [[India]] dan sebaliknya. Sementara itu, [[Kerajaan Medang]] yang berpusat di pedalaman Jawa juga sudah dikunjungi pedagang asing namun belum termasuk dalam jalur perdagangan utama. Selanjutnya, pada abad ke X hingga abad ke XII merupakan masa keemasan perdagangan kerajaan-kerajaan di pulau jawa yang disebut sebagai periode jawa kuno.


== Pola Perdagangan Kerajaan Sriwijaya ==
== Pola Perdagangan Kerajaan Sriwijaya ==
Perdagangan Kerajaan Sriwijaya berkembang lebih dulu daripada Kerajaan Mataram. Hal ini disebabkan perbedaan struktur ekonomi di antara keduanya. Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim yang sangat memperhatikan aktivitas ekonomi di daerah pantai. Kebijakan-kebijakan perdagangan dalam skala besar diatur dan ditentukan oleh kerajaan. Sriwijaya yang terletak di Sumatera juga didukung dengan keberadaan sungai-sungai yang menjadi jalur perdagangan kala itu. Sungai-sungai tersebut dapat dilayari kapal-kapal besar sampai ke pedalaman Sumatera dan lebih besar daripada sungai-sungai di Jawa.<ref>Christie, Jan  Wisseman 1982. Pattern  of Trade  in Western  Indonesia: Ninth through Thirteenth Centuries A.D. London: University of London.</ref> Selain itu, lokasi ibukota Kerajaan Sriwijaya dekat dengan pantai dan berada di daerah aliran [[Sungai Musi]]. Hal ini tentu mempermudah akses dari pusat ke daerah pelabuhan idan membuat kerajaan lebih mudah mengendalikan kegiatan perdagangan di pelabuhan.
Perdagangan Kerajaan Sriwijaya berkembang lebih dulu daripada Kerajaan Medang. Hal ini disebabkan perbedaan struktur ekonomi di antara keduanya. Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim yang sangat memperhatikan aktivitas ekonomi di daerah pantai. Kebijakan-kebijakan perdagangan dalam skala besar diatur dan ditentukan oleh kerajaan. Sriwijaya yang terletak di Sumatera juga didukung dengan keberadaan sungai-sungai yang menjadi jalur perdagangan kala itu. Sungai-sungai tersebut dapat dilayari kapal-kapal besar sampai ke pedalaman Sumatera dan lebih besar daripada sungai-sungai di Jawa.<ref>Christie, Jan  Wisseman 1982. Pattern  of Trade  in Western  Indonesia: Ninth through Thirteenth Centuries A.D. London: University of London.</ref> Selain itu, lokasi ibukota Kerajaan Sriwijaya dekat dengan pantai dan berada di daerah aliran [[Sungai Musi]]. Hal ini tentu mempermudah akses dari pusat ke daerah pelabuhan idan membuat kerajaan lebih mudah mengendalikan kegiatan perdagangan di pelabuhan.


Untuk mengendalikan kegiatan perdagangan di pelabuhan, pemerintah Kerajaan Sriwijaya bertindak sangat tegas terhadap penguasa daerah, terutama daerah yang mempunyai pelabuhan. Hal itu disebutkan dalam beberapa prasasti Sriwijaya seperti [[Prasasti Kota Kapur]] 608 Saka (686 Masehi) dan [[Prasasti Karang Brahi]] yang berisi kutukan yang ditujukan pada keluarga raja bawahan. Hal ini disebabkan sumber devisa kerajaan berasal dari perdagangan dan untuk memastikan hal tersebut berjalan, kerajaan harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan mengawasi pelabuhan sebagai tempat penimbunan barang-barang sebelum dan sesudah diperdagangkan. Namun mendekati abad XII pengendalian jalur perdagangan dan pengawasan pelabuhan tidak berhasil lagi dan beberapa daerah pelabuhan mulai memisahkan diri dari Sriwijaya. Daerah bawahan Sriwijaya seperti [[Semenanjung Malaya]] dan [[Jambi]] mulai mengirim utusan sendiri ke Cina.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/435629543|title=Sejarah nasional Indonesia|last=Djoened.|first=Poesponegoro, Marwati|date=2008|publisher=Balai Pustaka|isbn=979407408X|edition=Ed. pemutakhiran|location=[Jakarta]|oclc=435629543}}</ref>
Untuk mengendalikan kegiatan perdagangan di pelabuhan, pemerintah Kerajaan Sriwijaya bertindak sangat tegas terhadap penguasa daerah, terutama daerah yang mempunyai pelabuhan. Hal itu disebutkan dalam beberapa prasasti Sriwijaya seperti [[Prasasti Kota Kapur]] 608 Saka (686 Masehi) dan [[Prasasti Karang Brahi]] yang berisi kutukan yang ditujukan pada keluarga raja bawahan. Hal ini disebabkan sumber devisa kerajaan berasal dari perdagangan dan untuk memastikan hal tersebut berjalan, kerajaan harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan mengawasi pelabuhan sebagai tempat penimbunan barang-barang sebelum dan sesudah diperdagangkan. Namun mendekati abad XII pengendalian jalur perdagangan dan pengawasan pelabuhan tidak berhasil lagi dan beberapa daerah pelabuhan mulai memisahkan diri dari Sriwijaya. Daerah bawahan Sriwijaya seperti [[Semenanjung Malaya]] dan [[Jambi]] mulai mengirim utusan sendiri ke Cina.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/435629543|title=Sejarah nasional Indonesia|last=Djoened.|first=Poesponegoro, Marwati|date=2008|publisher=Balai Pustaka|isbn=979407408X|edition=Ed. pemutakhiran|location=[Jakarta]|oclc=435629543}}</ref>
== Pola Perdagangan Kerajaan Medang ==
Kerajaan Medang (Kerajaan Mataram Kuna atau Kerajaan Mataram Hindu) merupakan salah satu kerajaan besar yang ada di Nusantara. Kerajaan ini berdiri pada abad ke VIII di daerah Mataram (kini daerah tersebut secara administratif berada di [[Jawa Tengah]] dan [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]]) dan pusat pemerintahannya pindah ke timur pulau jawa (secara administratif daerah tersebut masuk wilayah Provinsi [[Jawa Timur|Jawa Timur)]] pada abad ke X. Ada beberapa teori yang menyebabkan perpindahan ibukota tersebut seperti:
* Akibat bencana [[Mahapralaya]] yang menghancurkan istana Medang.
* Bencana alam seperti letusan [[Gunung Merapi|Merapi]] dan gempa bumi.
* Permusuhan dengan Sriwijaya.
Kerajaan Medang berakhir pada awal abad ke XI. Namun keturunannya bernama [[Airlangga]] yang lolos dari membangun kerajaan baru yaitu [[Kerajaan Kahuripan]] dan menyatakan bahwa Kerajaan Kahuripan adalah kelanjutan Kerajaan Medang.


Kerajaan Medang muncul di pulau [[Jawa]] memiliki sistem birokrasi yang kompleks. [[Prasasti|Prasasti-prasasti]] Kerajaan Medang memberikan berbagai bukti upaya kerajaan untuk mengatur kehidupan rakyatnya di berbagai bidang seperti politik, keagamaan dan ekonomi termasuk di dalamnya kegiatan perdagangan. Pada masa ini pula Kerajaan Medang mengadakan hubungan dagang dengan [[Republik Rakyat Tiongkok|Cina]]. hal itu tertulis dalam berita-berita dari [[Dinasti Tang]] (618-906 M).<ref>Groeneveldt, W.P 1960. ''Historical Notes on Indonesia dan Malaya Compiled from'' ''Chinese Sources''. Bhatara: Jakarta.</ref><ref>{{Cite book|url=https://www.amazon.co.uk/Historical-Indonesia-Compiled-Chinese-Sources/dp/B0007JATDW|title=Historical Notes on Indonesia and Malaya, Compiled from Chinese Sources|last=Groeneveldt|first=W. P.|date=1960|publisher=Djakarta: C V Bhratara, 1960.|language=English}}</ref> Hubungan perdagangan antara Kerajaan Medang dengan Dinasti Tang sangat diperhatikan. Hal itu diwujudkan dengan adanya jabatan Juru Cina yaitu pejabat yang mengurusi orang-orang Cina di Kerajaan Medang.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/224219758|title=Nusa Jawa : silang budaya : kajian sejarah terpadu|last=Denys.|first=Lombard,|date=2000|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=9796054531|edition=Cet. 2|location=Jakarta|oclc=224219758}}</ref> Hasil dari hubungan dengan Cina tersebut dapat dilihat dari tersebarnya keramik-keramik Cina Dinasti Tang di sekitar candi-candi peninggalan Kerajaan Medang yang terl;etak di pedalaman Jawa.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/224219758|title=Nusa Jawa : silang budaya : kajian sejarah terpadu|last=Denys.|first=Lombard,|date=2000|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=9796054531|edition=Cet. 2|location=Jakarta|oclc=224219758}}</ref> Hal ini menunjukkan distribusi barang impor yang sampai ke pedalaman.
== Perdagangan Kerajaan Mataram ==


Hubungan dagang dengan wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa tentu membutuhkan sarana transportasi yang memadai. Berita-berita Cina menunjukkan bahwa sejak masa Kerajaan Medang, orang-orang Jawa sudah berlayar ke pelabuhan-pelabuhan di Cina dengan kapal milik mereka sendiri. Relief kapal di [[Borobudur|Candi Borobudur]] yang dibangun pada abad IX menggambarkan kapal yang sedang berlayar di laut dengan jumlah awak kapal yang cukup banyak. Bentuk kapal tersebut sangat berbeda dengan kapal tipe Cina.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/225524299|title=Sejarah modern awal Asia Tenggara : sebuah pemetaan|last=Anthony.|first=Reid,|date=2004|publisher=LP3ES|isbn=9789793330051|edition=Cet. 1|location=Jakarta|oclc=225524299}}</ref> Pada saat itu, Pulau Jawa yang merupakan daerah kekuasaan Medang juga didatangi orang-orang dari [[Asia Selatan]] dan [[Asia Tenggara]] daratan untuk berdagang seperti ''mpa,'' ''Kli , Haryya, Si ha, Gola, Cwalik , Malyal , Karn nake, R man'' dan ''Kmir''.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/12722180|title=Early tenth century Java from the inscriptions : a study of economic, social, and administrative conditions in the first quarter of the century|last=1939-|first=Jones, Antoinette M. Barrett,|date=1984|publisher=Foris Publications|isbn=9789067650625|location=Dordrecht, Holland|oclc=12722180}}</ref> Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa Kerajaan Medang Kuno telah mengadakan hubungan ekonomi dengan negara-negara lain.
== Pola PerdaganganKerajaan Mataram ==
Kerajaan Mataram muncul di pulau [[Jawa]] memiliki sistem birokrasi yang kompleks. [[Prasasti|Prasasti-prasasti]] Kerajaan Mataram memberikan berbagai bukti upaya kerajaan untuk mengatur kehidupan rakyatnya di berbagai bidang seperti politik, keagamaan dan ekonomi termasuk di dalamnya kegiatan perdagangan. Pada masa ini pula Kerajaan Mataram mengadakan hubungan dagang dengan [[Republik Rakyat Tiongkok|Cina]]. hal itu tertulis dalam berita-berita dari [[Dinasti Tang]] (618-906 M).<ref>Groeneveldt, W.P 1960. ''Historical Notes on Indonesia dan Malaya Compiled from'' ''Chinese Sources''. Bhatara: Jakarta.</ref><ref>{{Cite book|url=https://www.amazon.co.uk/Historical-Indonesia-Compiled-Chinese-Sources/dp/B0007JATDW|title=Historical Notes on Indonesia and Malaya, Compiled from Chinese Sources|last=Groeneveldt|first=W. P.|date=1960|publisher=Djakarta: C V Bhratara, 1960.|language=English}}</ref>


Dalam hal perdagangan Kerajaan Medang membagi daerahnya menjadi dua bagian yaitu pusat agraria di pedalaman Jawa dan pusat perdagangan di daerah timur Pulau Jawa. Prasasti-prasasti yang menunjukkan kegiatan pedagang asing yaitu [[Prasati Kuti]], [[Prasasti Kaladi]] (909 M) dan Prasasti Pal Buhan (927 M) ditemukan di daerah yang kini disebut Jawa Timur.
Hubungan perdagangan antara Kerajaan Mataram dengan Dinasti Tang sangat diperhatikan. Hal itu diwujudkan dengan adanya jabatan Juru Cina yaitu pejabat yang mengurusi orang-orang Cina di Kerajaan Mataram.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/224219758|title=Nusa Jawa : silang budaya : kajian sejarah terpadu|last=Denys.|first=Lombard,|date=2000|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=9796054531|edition=Cet. 2|location=Jakarta|oclc=224219758}}</ref> Pada saat itu, Pulau Jawa yang merupakan daerah kekuasaan Mataram juga didatangi orang-orang dari [[Asia Selatan]] dan [[Asia Tenggara]] daratan seperti ''mpa,'' ''Kli , Haryya, Si ha, Gola, Cwalik , Malyal , Karn nake, R man'' dan ''Kmir''.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/12722180|title=Early tenth century Java from the inscriptions : a study of economic, social, and administrative conditions in the first quarter of the century|last=1939-|first=Jones, Antoinette M. Barrett,|date=1984|publisher=Foris Publications|isbn=9789067650625|location=Dordrecht, Holland|oclc=12722180}}</ref>

Meskipun Kerajaan Mataram berpusat di pedalaman Jawa Tengah, daerah Jawa Timur sudah digunakan untuk perdagangan dengan negara lain. Prasasti-prasasti Jawa Tengah yang menunjukkan kegiatan pedagang asing yaitu [[Prasati Kuti]], [[Prasasti Kaladi]] (909 M) dan Prasasti Pal Buhan (927 M) ditemukan di daerah Jawa Timur. Hasil dari hubungan dengan Cina tersebut dapat dilihat dari tersebarnya keramik-keramik Cina dinasti Tang di sekitar candi-candi di pedalaman Jawa Tengah.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/224219758|title=Nusa Jawa : silang budaya : kajian sejarah terpadu|last=Denys.|first=Lombard,|date=2000|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=9796054531|edition=Cet. 2|location=Jakarta|oclc=224219758}}</ref> Hal ini menunjukkan distribusi barang impor yang sampai ke pedalaman.

Hubungan dagang dengan wilayah-wilayah di seberang pulau tentu membutuhkan sarana transportasi yang memadai. Berita-berita Cina menunjukkan bahwa sejak masa Mataram Kuno Jawa Tengah orang-orang Jawa sudah dapat berlayar sampai ke pelabuhan-pelabuhan di Cina dengan kapal milik mereka sendiri. Relief kapal di [[Borobudur|Candi Borobudur]] yang dibangun pada abad IX menggambarkan kapal yang sedang berlayar di laut dengan jumlah awak kapal yang cukup banyak. Bentuk kapal tersebut sangat berbeda dengan kapal tipe Cina.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/225524299|title=Sejarah modern awal Asia Tenggara : sebuah pemetaan|last=Anthony.|first=Reid,|date=2004|publisher=LP3ES|isbn=9789793330051|edition=Cet. 1|location=Jakarta|oclc=225524299}}</ref> Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa Kerajaan Mataram Kuno telah mengadakan hubungan ekonomi dengan negara-negara lain.


=== Pusat Agraria di Pedalaman Jawa ===
=== Pusat Agraria di Pedalaman Jawa ===
Hal ini sangat berbeda dengan kerajaan Mataram Jawa Tengah yang berpusat di pedalaman. Kerajaan Mataram Jawa Tengah merupakan kerajaan agraris yang mengutamakan pengamanan tata pemerintahan dalam negeri.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/435629543|title=Sejarah nasional Indonesia|last=Djoened.|first=Poesponegoro, Marwati|date=2008|publisher=Balai Pustaka|isbn=979407408X|edition=Ed. pemutakhiran|location=[Jakarta]|oclc=435629543}}</ref> dan pemberian kebebasan penuh pada penguasa daerah. Sementara itu prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi bergerak dari bawah didominasi oleh perdagangan internal antar desa. Pemerintah kerajaan Mataram sendiri tampak belum berminat mengembangkan perdagangan ke luar pulau. Penghasilan kerajaan lebih banyak digunakan dalam pendirian bangunan keagamaan yang megah. Sebaliknya, tidak ditemukan candi yang besar di Pulau Sumatra yang dulu merupakan wilayah kerajaan Sriwijaya.
Hal ini sangat berbeda dengan kerajaan Medang Jawa Tengah yang berpusat di pedalaman. Kerajaan Medang Jawa Tengah merupakan kerajaan agraris yang mengutamakan pengamanan tata pemerintahan dalam negeri.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/435629543|title=Sejarah nasional Indonesia|last=Djoened.|first=Poesponegoro, Marwati|date=2008|publisher=Balai Pustaka|isbn=979407408X|edition=Ed. pemutakhiran|location=[Jakarta]|oclc=435629543}}</ref> dan pemberian kebebasan penuh pada penguasa daerah. Sementara itu prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi bergerak dari bawah didominasi oleh perdagangan internal antar desa. Pemerintah kerajaan Medang sendiri tampak belum berminat mengembangkan perdagangan ke luar pulau. Penghasilan kerajaan lebih banyak digunakan dalam pendirian bangunan keagamaan yang megah. Sebaliknya, tidak ditemukan candi yang besar di Pulau Sumatera yang dulu merupakan wilayah kerajaan Sriwijaya.


=== Pusat Perdagangan di Timur Jawa ===
=== Pusat Perdagangan di Timur Jawa ===
Pada abad X kerajaan pusat kerajaan Mataram berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Setelah perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur, pengaruh perkembangan perdagangan Asia semakin tampak meningkat. Daerah Jawa bagian Timur selama abad VIII sampai dengan abad XIII menunjukkan peningkatan dalam hal aktivitas yang dilakukan sepanjang pantai. Pada periode ini sangat banyak prasasti yang isinya menunjukkan kegiatan perdagangan internasional di sekitar [[Sungai Brantas]], terutama di dekat daerah pantai.<ref>Christie, Jan Wisseman 1982. Pattern  of Trade in Western Indonesia: Ninth through Thirteenth Centuries A.D. London: University of London.</ref>
Pada abad X kerajaan pusat kerajaan Medang berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Setelah perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur, pengaruh perkembangan perdagangan Asia semakin tampak meningkat. Daerah Jawa bagian Timur selama abad VIII sampai dengan abad XIII menunjukkan peningkatan dalam hal aktivitas yang dilakukan sepanjang pantai. Pada periode ini sangat banyak prasasti yang isinya menunjukkan kegiatan perdagangan internasional di sekitar [[Sungai Brantas]], terutama di dekat daerah pantai.<ref>Christie, Jan Wisseman 1982. Pattern  of Trade in Western Indonesia: Ninth through Thirteenth Centuries A.D. London: University of London.</ref>


Perpindahan itu sendiri terjadi pada saat perdagangan di [[Asia]] berusaha bangkit dari depresi.<ref>Christie, Jan Wisseman 1982. Pattern of Trade in Western  Indonesia: Ninth through Thirteenth Centuries A.D. London: University of London.</ref> Pertengahan abad X di Asia ditandai dengan perkembangan perdagangan besar-besaran yang dipelopori antara lain oleh [[Dinasti Song|Dinasti Sung]] (960-1279 M) dan [[Kerajaan Chola|Kerajaan Cola]] di India selatan. Perkembangan ini berpengaruh pada dua kerajaan besar di Asia Tenggara yaitu Sriwijaya dan Jawa yang mempunyai keunggulannya masing-masing. Sriwijaya mempunyai keuntungan dapat memegang kontrol perdagangan transit di [[Selat Malaka]] dan ekspor dari pedalaman Sumatera dan [[Semenanjung Malaya|Semenanjung Malaka]]. Sementara itu Jawa memegang kontrol perdagangan dengan [[Laut Banda]] dan perdagangan ini memberi semacam monopoli dalam perdagangan rempah-rempah dari [[Maluku]] dan kayu cendana dari Timor.<ref>Christie, Jan Wisseman 1993. “Trade and Value in Pre-Majapahit Java”, Indonesia Circle ''No 59 & 60.''</ref>
Perpindahan itu sendiri terjadi pada saat perdagangan di [[Asia]] berusaha bangkit dari depresi.<ref>Christie, Jan Wisseman 1982. Pattern of Trade in Western  Indonesia: Ninth through Thirteenth Centuries A.D. London: University of London.</ref> Pertengahan abad X di Asia ditandai dengan perkembangan perdagangan besar-besaran yang dipelopori antara lain oleh [[Dinasti Song|Dinasti Sung]] (960-1279 M) dan [[Kerajaan Chola|Kerajaan Cola]] di India selatan. Perkembangan ini berpengaruh pada dua kerajaan besar di Asia Tenggara yaitu Sriwijaya dan Jawa yang mempunyai keunggulannya masing-masing. Sriwijaya mempunyai keuntungan dapat memegang kontrol perdagangan transit di [[Selat Malaka]] dan ekspor dari pedalaman Sumatera dan [[Semenanjung Malaya|Semenanjung Malaka]]. Sementara itu Jawa memegang kontrol perdagangan dengan [[Laut Banda]] dan perdagangan ini memberi semacam monopoli dalam perdagangan rempah-rempah dari [[Maluku]] dan kayu cendana dari Timor.<ref>Christie, Jan Wisseman 1993. “Trade and Value in Pre-Majapahit Java”, Indonesia Circle ''No 59 & 60.''</ref>
Baris 56: Baris 57:
Kerajaan Campa menempati daerah [[Vietnam]] tengah dan bagian utara wilayah Vietnam Selatan sekarang. Wilayah ini dikuasai pada sekitar abad IX sampai abad X sebelum terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.<ref>Lafont, P.B 1981. “Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cam dari Abad XVI sd. Abad XX” dalam ''Kerajaan Campa'', Jakarta: PN Balai Pustaka.</ref> Data epigrafis dan arkeologis menunjukkan adanya hubungan politik antara Campa dengan Jawa antara lain terjadinya penyerangan Jawa ke Champa pada tahun 787 M sampai dengan 802 M. Selain itu Jawa juga mempunyai pengaruh dalam kesenian Campa pada masa itu. Pengaruh Jawa di antara lain terdapat di candi Khu’ong-my yaitu hiasan gaya baru berupa daun-daunan rindang yang berbelit-belit.<ref>Coedes, G 1981. “Sejarah Campa dari Awal sampai Tahun 1471”. Dalam ''Kerajaan'' ''Campa''. Jakarta: PN Balai Pustaka.</ref> Letak Campa yang berada di jalur lintasan teknik perunggu yang terbentang dari Cina Utara sampai ke kepulauan Nusantara termasuk Jawa menunjukkan adanya jalur pelayaran maritim pada masa prasejarah dan berkembang menjadi perdagangan pada masa selanjutnya seperti yang disebutkan dalam teks-teks Arab.<ref>Lombard, Denys 1981. "Campa Dipandang dari Selatan" dalam ''Kerajaan Campa'', Jakarta: PN Balai Pustaka.</ref> Selain Campa, di Jawa terdapat juga pedagang dari Khmer ([[Kamboja]]) dan R men (Pegu) yang berada di wilayah [[Myanmar|Birma]].
Kerajaan Campa menempati daerah [[Vietnam]] tengah dan bagian utara wilayah Vietnam Selatan sekarang. Wilayah ini dikuasai pada sekitar abad IX sampai abad X sebelum terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.<ref>Lafont, P.B 1981. “Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cam dari Abad XVI sd. Abad XX” dalam ''Kerajaan Campa'', Jakarta: PN Balai Pustaka.</ref> Data epigrafis dan arkeologis menunjukkan adanya hubungan politik antara Campa dengan Jawa antara lain terjadinya penyerangan Jawa ke Champa pada tahun 787 M sampai dengan 802 M. Selain itu Jawa juga mempunyai pengaruh dalam kesenian Campa pada masa itu. Pengaruh Jawa di antara lain terdapat di candi Khu’ong-my yaitu hiasan gaya baru berupa daun-daunan rindang yang berbelit-belit.<ref>Coedes, G 1981. “Sejarah Campa dari Awal sampai Tahun 1471”. Dalam ''Kerajaan'' ''Campa''. Jakarta: PN Balai Pustaka.</ref> Letak Campa yang berada di jalur lintasan teknik perunggu yang terbentang dari Cina Utara sampai ke kepulauan Nusantara termasuk Jawa menunjukkan adanya jalur pelayaran maritim pada masa prasejarah dan berkembang menjadi perdagangan pada masa selanjutnya seperti yang disebutkan dalam teks-teks Arab.<ref>Lombard, Denys 1981. "Campa Dipandang dari Selatan" dalam ''Kerajaan Campa'', Jakarta: PN Balai Pustaka.</ref> Selain Campa, di Jawa terdapat juga pedagang dari Khmer ([[Kamboja]]) dan R men (Pegu) yang berada di wilayah [[Myanmar|Birma]].
[[Berkas:Jalur perdagangan pasca abad ke XI.jpg|jmpl|Jalur Perdagangan Internasional setelah abad XI]]
[[Berkas:Jalur perdagangan pasca abad ke XI.jpg|jmpl|Jalur Perdagangan Internasional setelah abad XI]]
Keberadaan orang Khmer mulai tampak dalam [[Prasasti Wurudu Kidul]] 922 M. Prasasti Wurudu Kidul menyebutkan seorang warga desa Wurudu Kidul bernama Sang Dhanadi menolak untuk membayar pajak orang asing karena dia bukan seorang Khmer seperti yang dituduhkan.<ref>Dwiyanto, Djoko 1986. “Pengamatan Terhadap Data Kesejarahan dari Prasasti Wanua Tengah III Tahun 908 Masehi”. Dalam ''Pertemuan Ilmiah Arkeologi'' ''IV'', Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.</ref> Isi prasasti tersebut menunjukkan kenyataan bahwa orang Khmer telah menetap di daerah pedalaman Jawa pada periode Mataram Jawa Tengah.
Keberadaan orang Khmer mulai tampak dalam [[Prasasti Wurudu Kidul]] 922 M. Prasasti Wurudu Kidul menyebutkan seorang warga desa Wurudu Kidul bernama Sang Dhanadi menolak untuk membayar pajak orang asing karena dia bukan seorang Khmer seperti yang dituduhkan.<ref>Dwiyanto, Djoko 1986. “Pengamatan Terhadap Data Kesejarahan dari Prasasti Wanua Tengah III Tahun 908 Masehi”. Dalam ''Pertemuan Ilmiah Arkeologi'' ''IV'', Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.</ref> Isi prasasti tersebut menunjukkan kenyataan bahwa orang Khmer telah menetap di daerah pedalaman Jawa pada periode Medang Jawa Tengah.


Negara-negara di Asia Tenggara pada umumnya memiliki komoditi yang hampir sama, terutama hasil bumi. Namun dilihat dari keberadaan para pedagang tersebut di Jawa bahkan dalam waktu yang lama, tidak tertutup kemungkinan terjadi pertukaran barang-barang yang khas dari negeri masing-masing. Hubungan dagang dengan negara-negara Asia Tenggara daratan ini tidak dapat dijelaskan lebih lanjut karena selain prasasti dari masa [[Airlangga]] dan [[Mapanji Garasakan|Mapañji Garasakan]], tidak terdapat data tertulis lainnya.
Negara-negara di Asia Tenggara pada umumnya memiliki komoditi yang hampir sama, terutama hasil bumi. Namun dilihat dari keberadaan para pedagang tersebut di Jawa bahkan dalam waktu yang lama, tidak tertutup kemungkinan terjadi pertukaran barang-barang yang khas dari negeri masing-masing. Hubungan dagang dengan negara-negara Asia Tenggara daratan ini tidak dapat dijelaskan lebih lanjut karena selain prasasti dari masa [[Airlangga]] dan [[Mapanji Garasakan|Mapañji Garasakan]], tidak terdapat data tertulis lainnya.
Baris 178: Baris 179:
Berita-berita asing menyebutkan bahwa di Jawa ditemukan berbagai macam rempah-rempah dan kayu cendana. Salah satunya, yaitu lada tersimpan dalam jumlah yang sangat banyak dan disimpan di gudang-gudang. Selain produk dari Pulau Jawa sendiri diperkirakan rempah-rempah dan kayu cendana tersebut juga didapatkan dari kepulauan di Indonesia Timur yaitu Kepulauan Maluku dan [[Kepulauan Nusa Tenggara|Nusa Tenggara]].
Berita-berita asing menyebutkan bahwa di Jawa ditemukan berbagai macam rempah-rempah dan kayu cendana. Salah satunya, yaitu lada tersimpan dalam jumlah yang sangat banyak dan disimpan di gudang-gudang. Selain produk dari Pulau Jawa sendiri diperkirakan rempah-rempah dan kayu cendana tersebut juga didapatkan dari kepulauan di Indonesia Timur yaitu Kepulauan Maluku dan [[Kepulauan Nusa Tenggara|Nusa Tenggara]].


Kerajaan Mataram di Jawa juga dikenal oleh orang-orang Cina sebagai penghasil barang kerajinan yang berkualitas. Barang-barang tersebut antara lain kain katun, tikar pandan, miniatur rumah dari kayu cendana dan pedang dengan gagang dari cula badak atau emas.<ref>Hirth, Friedrich dan W.W Rockhill (ed.) 1966. Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press</ref>
Kerajaan Medang di Jawa juga dikenal oleh orang-orang Cina sebagai penghasil barang kerajinan yang berkualitas. Barang-barang tersebut antara lain kain katun, tikar pandan, miniatur rumah dari kayu cendana dan pedang dengan gagang dari cula badak atau emas.<ref>Hirth, Friedrich dan W.W Rockhill (ed.) 1966. Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press</ref>


{| class="wikitable"
{| class="wikitable"
Baris 398: Baris 399:


== Upaya-Upaya Kerajaan dalam Memajukan Perdagangan Internasional ==
== Upaya-Upaya Kerajaan dalam Memajukan Perdagangan Internasional ==
Kedatangan pedagang asing ke Pulau Jawa memberi keuntungan bagi kerajaan Mataram yang baru saja memindahkan pusat kekuasaannya tersebut. Pada saat berlabuh ke pantai kapal dagang mereka dikenai biaya berlabuh, kemudian barang dagangan mereka juga dikenai pajak. Jika para pedagang tersebut menetap untuk sementara, mereka masih dikenai pajak untuk orang asing. Pada masa Majapahit, para pedagang Cina selain membayar pajak orang asing, mereka juga harus membayar pajak perdagangan yang dipungut oleh ''juru'' ''daga'' atau ''tuha daga'' (Winarto 2004, 73) dan masih ditambah dengan biaya berlabuh bagi kapal mereka. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa para pedagang asing memberi penghasilan yang lebih besar daripada pedagang pribumi.
Kedatangan pedagang asing ke Pulau Jawa memberi keuntungan bagi kerajaan Medang yang baru saja memindahkan pusat kekuasaannya tersebut. Pada saat berlabuh ke pantai kapal dagang mereka dikenai biaya berlabuh, kemudian barang dagangan mereka juga dikenai pajak. Jika para pedagang tersebut menetap untuk sementara, mereka masih dikenai pajak untuk orang asing. Pada masa Majapahit, para pedagang Cina selain membayar pajak orang asing, mereka juga harus membayar pajak perdagangan yang dipungut oleh ''juru'' ''daga'' atau ''tuha daga'' (Winarto 2004, 73) dan masih ditambah dengan biaya berlabuh bagi kapal mereka. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa para pedagang asing memberi penghasilan yang lebih besar daripada pedagang pribumi.


Keuntungan yang didapatkan tersebut membuat sektor perdagangan menjadi salah satu sumber utama penghasilan kerajaan di samping sektor pertanian. Pentingnya perdagangan dengan negara-negara lain tersebut membuat pemerintah kerajaan sangat memperhatikan bidang ini. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatur kegiatan perdagangan yaitu :
Keuntungan yang didapatkan tersebut membuat sektor perdagangan menjadi salah satu sumber utama penghasilan kerajaan di samping sektor pertanian. Pentingnya perdagangan dengan negara-negara lain tersebut membuat pemerintah kerajaan sangat memperhatikan bidang ini. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatur kegiatan perdagangan yaitu :


=== Meningkatkan Hasil Pertanian sebagai Pendukung Perdagangan ===
=== Meningkatkan Hasil Pertanian sebagai Pendukung Perdagangan ===
Salah satu sebab pertumbuhan perdagangan Kerajaan Mataram tidak secepat Sriwijaya adalah sifat kerajaan yang agraris. Namun hal ini juga menguntungkan. Kerajaan tumbuh lebih stabil karena dasar agrarisnya dan telah mengembangkan suatu birokrasi yang mengandung potensi sebagai pendukung perkembangan ke arah terjadinya suatu negara agraris yang juga berdagang (Poesponegoro dan Notosusanto 1992. 73). Hal ini didukung kondisi Pulau Jawa yang subur dengan adanya beberapa gunung api dan sungai besar. Sejak masa prasejarah Pulau Jawa telah dikenal sebagai daerah pertanian yang penting. Menurut Vavilov seperti yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1985, 11), di dunia terdapat 7 tempat perkembangan pertanian. Salah satunya adalah wilayah Asia Tenggara dalam hal ini termasuk Pulau Jawa.
Salah satu sebab pertumbuhan perdagangan Kerajaan Medang tidak secepat Sriwijaya adalah sifat kerajaan yang agraris. Namun hal ini juga menguntungkan. Kerajaan tumbuh lebih stabil karena dasar agrarisnya dan telah mengembangkan suatu birokrasi yang mengandung potensi sebagai pendukung perkembangan ke arah terjadinya suatu negara agraris yang juga berdagang (Poesponegoro dan Notosusanto 1992. 73). Hal ini didukung kondisi Pulau Jawa yang subur dengan adanya beberapa gunung api dan sungai besar. Sejak masa prasejarah Pulau Jawa telah dikenal sebagai daerah pertanian yang penting. Menurut Vavilov seperti yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1985, 11), di dunia terdapat 7 tempat perkembangan pertanian. Salah satunya adalah wilayah Asia Tenggara dalam hal ini termasuk Pulau Jawa.


Pedagang asing yang berkunjung di Jawa biasanya bermukim sementara untuk menunggu angin yang cocok untuk berlayar. Kemungkinan mereka tinggal di pemukiman penduduk di sekitar pelabuhan dan dijamu dengan makanan lokal seperti yang dikatakan Chau-ju-kua dalam ''Chu fan-chi'' (Hirth dan Rockhill 1966, 77). Selain itu para pedagang juga membutuhkan bahan makanan sebagai bekal perjalanan di kapal. Oleh karena itu bahan makanan seperti beras dan bahan makanan mentah lainnya merupakan hal yang sangat penting. Apalagi hasil alam yang terdapat di Pulau Jawa ini juga sering disebut dalam berita Cina. Pentingnya kedudukan bahan pangan, terutama beras membuat pemerintah cukup memperhatikan sektor pertanian.
Pedagang asing yang berkunjung di Jawa biasanya bermukim sementara untuk menunggu angin yang cocok untuk berlayar. Kemungkinan mereka tinggal di pemukiman penduduk di sekitar pelabuhan dan dijamu dengan makanan lokal seperti yang dikatakan Chau-ju-kua dalam ''Chu fan-chi'' (Hirth dan Rockhill 1966, 77). Selain itu para pedagang juga membutuhkan bahan makanan sebagai bekal perjalanan di kapal. Oleh karena itu bahan makanan seperti beras dan bahan makanan mentah lainnya merupakan hal yang sangat penting. Apalagi hasil alam yang terdapat di Pulau Jawa ini juga sering disebut dalam berita Cina. Pentingnya kedudukan bahan pangan, terutama beras membuat pemerintah cukup memperhatikan sektor pertanian.


Sebagai negara agraris pertanian merupakan sumber utama perekonomian kerajaan Mataram Kuno. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang tepat karena hasil alam sangat tergantung pada pemakaian tenaga dan ketrampilan manusia (Heilbroner 1982, 18). Salah satu bentuk pengelolaan tersebut adalah irigasi. Menurut Mohr seperti yang dikutip oleh Geertz (1983), ada tiga aspek atau fungsi irigasi yaitu :
Sebagai negara agraris pertanian merupakan sumber utama perekonomian kerajaan Medang Kuno. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang tepat karena hasil alam sangat tergantung pada pemakaian tenaga dan ketrampilan manusia (Heilbroner 1982, 18). Salah satu bentuk pengelolaan tersebut adalah irigasi. Menurut Mohr seperti yang dikutip oleh Geertz (1983), ada tiga aspek atau fungsi irigasi yaitu :
# fungsi pengairan yaitu menyediakan air untuk tanah yang menjadi gersang jika kekurangan air
# fungsi pengairan yaitu menyediakan air untuk tanah yang menjadi gersang jika kekurangan air
# fungsi pengontrolan yaitu mengatur persediaan air yang cukup banyak untuk menghindari atau mengendalikan banjir
# fungsi pengontrolan yaitu mengatur persediaan air yang cukup banyak untuk menghindari atau mengendalikan banjir
Baris 415: Baris 416:
Isi Prasasti Kamalagyan menunjukkan bahwa pemerintah kerajaan saat itu yaitu Airlangga melakukan fungsi pengontrolan. Meluapnya Sungai Brantas yang menyebabkan banjir seperti yang disebutkan dalam Prasasti Kamalagyan tampaknya cukup mengganggu lahan pertanian di sekitarnya dan juga berpengaruh pada perdagangan. Banjir ini membuat pendapatan kerajaan menjadi berkurang. Pajak yang biasanya disetorkan sejumlah 17 suwarna 14 masa 4 kupang 4 satak emas setelah terjadi bencana banjir menjadi 10 suwarna emas karena sebagian pendapatan digunakan untuk pembangunan bendungan (Dwiyanto 1992, 101). Namun pembangunan bendungan pada akhirnya juga membawa keuntungan karena sawah akan terlindung dari banjir sehingga pendapatan kerajaan akan bertambah lagi.
Isi Prasasti Kamalagyan menunjukkan bahwa pemerintah kerajaan saat itu yaitu Airlangga melakukan fungsi pengontrolan. Meluapnya Sungai Brantas yang menyebabkan banjir seperti yang disebutkan dalam Prasasti Kamalagyan tampaknya cukup mengganggu lahan pertanian di sekitarnya dan juga berpengaruh pada perdagangan. Banjir ini membuat pendapatan kerajaan menjadi berkurang. Pajak yang biasanya disetorkan sejumlah 17 suwarna 14 masa 4 kupang 4 satak emas setelah terjadi bencana banjir menjadi 10 suwarna emas karena sebagian pendapatan digunakan untuk pembangunan bendungan (Dwiyanto 1992, 101). Namun pembangunan bendungan pada akhirnya juga membawa keuntungan karena sawah akan terlindung dari banjir sehingga pendapatan kerajaan akan bertambah lagi.


Setelah pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur, Jawa Tengah masih merupakan wilayah kekuasan kerajaan Mataram. Daerah ini mungkin dikelola oleh salah satu raja bawahan yang secara rutin mengirimkan upeti ke pusat kerajaan di Jawa Timur. Hal ini diperkuat dengan keterangan dalam ''Chu fan chi'' yang menyebutkan bahwa ''Su-ki-tan'' (Jawa Tengah) merupakan negara bawahan dari ''She-po'', nama yang dikenal oleh Cina sebagai Jawa dan berpusat di Jawa Timur. Daerah ini mempunyai komoditi yang hampir sama dengan ''She-po'' (Friedrich dan Rockhill 1966). Jawa Tengah mempunyai tanah yang lebih subur dari pada Jawa bagian Timur. Kondisi ini sangat menguntungkan karena hasil bumi yang melimpah. Dalam ''Chu fan Chi'' disebutkan bahwa ''Su-ki-tan'' mempunyai pelabuhan dan dapat melakukan perdagangan sendiri dengan negara lain (Hirth dan Rockhill 1966). Meskipun begitu dengan status sebagai negara bawahan, para penguasa daerah tetap akan menyerahkan upeti berupa uang maupun hasil bumi ke pusat kerajaan di Jawa Timur.
Setelah pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur, Jawa Tengah masih merupakan wilayah kekuasan kerajaan Medang. Daerah ini mungkin dikelola oleh salah satu raja bawahan yang secara rutin mengirimkan upeti ke pusat kerajaan di Jawa Timur. Hal ini diperkuat dengan keterangan dalam ''Chu fan chi'' yang menyebutkan bahwa ''Su-ki-tan'' (Jawa Tengah) merupakan negara bawahan dari ''She-po'', nama yang dikenal oleh Cina sebagai Jawa dan berpusat di Jawa Timur. Daerah ini mempunyai komoditi yang hampir sama dengan ''She-po'' (Friedrich dan Rockhill 1966). Jawa Tengah mempunyai tanah yang lebih subur dari pada Jawa bagian Timur. Kondisi ini sangat menguntungkan karena hasil bumi yang melimpah. Dalam ''Chu fan Chi'' disebutkan bahwa ''Su-ki-tan'' mempunyai pelabuhan dan dapat melakukan perdagangan sendiri dengan negara lain (Hirth dan Rockhill 1966). Meskipun begitu dengan status sebagai negara bawahan, para penguasa daerah tetap akan menyerahkan upeti berupa uang maupun hasil bumi ke pusat kerajaan di Jawa Timur.


Para pedagang Cina juga menyebutkan bahwa Jawa menghasilkan produk kerajinan yang berkualitas seperti kerajinan dari emas dan perak.. Kemungkinan itu membuat pemerintah juga memperhatikan sektor industri. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya prasasti yang mengatur kehidupan para pengrajin (''miçra'')
Para pedagang Cina juga menyebutkan bahwa Jawa menghasilkan produk kerajinan yang berkualitas seperti kerajinan dari emas dan perak.. Kemungkinan itu membuat pemerintah juga memperhatikan sektor industri. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya prasasti yang mengatur kehidupan para pengrajin (''miçra'')
Baris 424: Baris 425:
Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo sangat penting artinya dalam perdagangan pada masa Jawa Kuno. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya prasasti yang memuat keterangan tentang perdagangan internasional tersebar di sekitar daerah aliran kedua sungai tersebut.
Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo sangat penting artinya dalam perdagangan pada masa Jawa Kuno. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya prasasti yang memuat keterangan tentang perdagangan internasional tersebar di sekitar daerah aliran kedua sungai tersebut.


Kedua sungai tersebut memegang peranan penting dalam penyebarluasan komoditi, untuk menyeberangkan barang dagangan dari satu tepi ke tepi lainnya, untuk mengangkut dari pedalaman ke pelabuhan pemunggahan (entrepot) dan dari tempat tersebut ke pelabuhan besar di tepi laut. Peranan Sungai Brantas makin besar ketika kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya mulai mengembangkan perdagangan dengan negara-negara lain (Pinardi dan Mambo 1992, 183). Perkembangan tersebut mulai tampak sejak masa kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur, meskipun tidak sebesar pada masa Majapahit.
Kedua sungai tersebut memegang peranan penting dalam penyebarluasan komoditi, untuk menyeberangkan barang dagangan dari satu tepi ke tepi lainnya, untuk mengangkut dari pedalaman ke pelabuhan pemunggahan (entrepot) dan dari tempat tersebut ke pelabuhan besar di tepi laut. Peranan Sungai Brantas makin besar ketika kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya mulai mengembangkan perdagangan dengan negara-negara lain (Pinardi dan Mambo 1992, 183). Perkembangan tersebut mulai tampak sejak masa kerajaan Medang Kuno di Jawa Timur, meskipun tidak sebesar pada masa Majapahit.


Sebagai negara yang mengadakan perdagangan dengan negara lain, hal penting yang dibutuhkan selain komoditi adalah pelabuhan yang memadai. Pelabuhan pantai yang digunakan saat itu adalah Kambang Putih yang terletak di dekat Tuban sekarang (Pinardi dan Mambo, 1993). Selain pelabuhan di pantai para pedagang juga dapat mencapai daerah pedalaman seperti yang disebutkan dalam Prasasti Kamalagyan. Hal ini didukung keberadaan pelabuhan-pelabuhan pedalaman di Sungai Brantas dan bengawan Solo. Data tertulis dari Jawa Timur sebelum abad XIII hanya menyebutkan 2 pelabuhan sungai yaitu Hujung Galuh (Prasasti Kamalagyan) dan Canggu. Canggu lebih banyak disebut dalam data-data tertulis dari masa Majapahit. Namun pelabuhan ini sudah ada pada masa pemerintahan Wisnuwardhana (Mulyana 1979, 62)
Sebagai negara yang mengadakan perdagangan dengan negara lain, hal penting yang dibutuhkan selain komoditi adalah pelabuhan yang memadai. Pelabuhan pantai yang digunakan saat itu adalah Kambang Putih yang terletak di dekat Tuban sekarang (Pinardi dan Mambo, 1993). Selain pelabuhan di pantai para pedagang juga dapat mencapai daerah pedalaman seperti yang disebutkan dalam Prasasti Kamalagyan. Hal ini didukung keberadaan pelabuhan-pelabuhan pedalaman di Sungai Brantas dan bengawan Solo. Data tertulis dari Jawa Timur sebelum abad XIII hanya menyebutkan 2 pelabuhan sungai yaitu Hujung Galuh (Prasasti Kamalagyan) dan Canggu. Canggu lebih banyak disebut dalam data-data tertulis dari masa Majapahit. Namun pelabuhan ini sudah ada pada masa pemerintahan Wisnuwardhana (Mulyana 1979, 62)
Baris 432: Baris 433:
Dari Prasasti Kamalagyan dapat dilihat bahwa pengaturan sungai Brantas dijalankan juga demi kepentingan kaum pedagang baik pedagang lokal maupun pedagang asing supaya mereka dapat berlayar sampai ke hulu yaitu di Hujung Galuh (Pinardi dan Mambo 1993, 180). Hal ini menunjukkan bahwa selain berdagang di pelabuhan pantai para pedagang asing dapat masuk ke daerah pedalaman dan berdagang langsung dengan penduduk sekitarnya.
Dari Prasasti Kamalagyan dapat dilihat bahwa pengaturan sungai Brantas dijalankan juga demi kepentingan kaum pedagang baik pedagang lokal maupun pedagang asing supaya mereka dapat berlayar sampai ke hulu yaitu di Hujung Galuh (Pinardi dan Mambo 1993, 180). Hal ini menunjukkan bahwa selain berdagang di pelabuhan pantai para pedagang asing dapat masuk ke daerah pedalaman dan berdagang langsung dengan penduduk sekitarnya.


Selain menerima para pedagang asing di negeri sendiri, para pedagang Jawa juga pergi ke negara-negara lain untuk menukar barang dagangannya, bahkan pedagang Jawa dapat menjadi perantara dalam perdagangan rempah-rempah. Kedatangan utusan Jawa berkali-kali ke Cina menunjukkan bahwa Jawa sudah mempunyai kapal sendiri sejak kerajaan Mataram masih berpusat di Jawa Tengah.
Selain menerima para pedagang asing di negeri sendiri, para pedagang Jawa juga pergi ke negara-negara lain untuk menukar barang dagangannya, bahkan pedagang Jawa dapat menjadi perantara dalam perdagangan rempah-rempah. Kedatangan utusan Jawa berkali-kali ke Cina menunjukkan bahwa Jawa sudah mempunyai kapal sendiri sejak kerajaan Medang masih berpusat di Jawa Tengah.


Perahu yang terpahat di Borobudur merupakan salah satu petunjuk bahwa kapal-kapal dan pelayaran telah memainkan peran besar dalam segenap urusan Jawa dan Laut Jawa selama berabad-abad sebelum abad XV. Pada waktu itu pelayaran samudra sangat tergantung pada angin musim dan hal ini berlangsung sampai pada masa masuknya Islam ke Indonesia. Angin-angin yang meniup daerah kepulauan memungkinkan pedagang-pedagang untuk bertemu pada saat yang sama di pelabuhan-pelabuhan sekitar Selat Malaka. Waktu yang paling ramai adalah antara bulan Desember sampai dengan Maret (Poesponegoro dan Notosusanto 1992b, 29). Pedagang-pedagang Jawa tentu juga memanfaatkan kekuatan angin tersebut untuk berlayar ke pelabuhan di Sumatra maupun daratan Asia dan sebaliknya.
Perahu yang terpahat di Borobudur merupakan salah satu petunjuk bahwa kapal-kapal dan pelayaran telah memainkan peran besar dalam segenap urusan Jawa dan Laut Jawa selama berabad-abad sebelum abad XV. Pada waktu itu pelayaran samudra sangat tergantung pada angin musim dan hal ini berlangsung sampai pada masa masuknya Islam ke Indonesia. Angin-angin yang meniup daerah kepulauan memungkinkan pedagang-pedagang untuk bertemu pada saat yang sama di pelabuhan-pelabuhan sekitar Selat Malaka. Waktu yang paling ramai adalah antara bulan Desember sampai dengan Maret (Poesponegoro dan Notosusanto 1992b, 29). Pedagang-pedagang Jawa tentu juga memanfaatkan kekuatan angin tersebut untuk berlayar ke pelabuhan di Sumatra maupun daratan Asia dan sebaliknya.
Baris 473: Baris 474:
Berita-berita dari negara lain menyebutkan banyak sekali bajak laut di perairan Nusantara, antara lain di Selat Malaka, Selat Sunda dan Laut Jawa. Oleh karena itu sebuah negara yang terlibat dalam perdagangan laut perlu memiliki angkatan laut. Prasasti Jari 1103 Ç (1181 M) dari masa pemerintahan raja Kroñcaryy dipa menyebutkan seorang ''sen pati sarwajala'' (panglima angkatan laut) (Poesponegoro dan Notosusanto 1992, 348). Selain itu ekspedisi ke Pulau Sumatra yang dilakukan K rtanagara juga menunjukkan keberadaan angkatan laut yang kuat. Meskipun tidak ada bukti langsung tentang pertempuran antara angkatan laut kerajaan dengan para bajak laut, hal ini menunjukkan usaha kerajaan untuk menjaga keamanan perairan di sekitarnya.
Berita-berita dari negara lain menyebutkan banyak sekali bajak laut di perairan Nusantara, antara lain di Selat Malaka, Selat Sunda dan Laut Jawa. Oleh karena itu sebuah negara yang terlibat dalam perdagangan laut perlu memiliki angkatan laut. Prasasti Jari 1103 Ç (1181 M) dari masa pemerintahan raja Kroñcaryy dipa menyebutkan seorang ''sen pati sarwajala'' (panglima angkatan laut) (Poesponegoro dan Notosusanto 1992, 348). Selain itu ekspedisi ke Pulau Sumatra yang dilakukan K rtanagara juga menunjukkan keberadaan angkatan laut yang kuat. Meskipun tidak ada bukti langsung tentang pertempuran antara angkatan laut kerajaan dengan para bajak laut, hal ini menunjukkan usaha kerajaan untuk menjaga keamanan perairan di sekitarnya.


Su-ki-tan yang merupakan daerah bawahan kerajaan Mataram Jawa Timur juga sangat terganggu dengan bajak laut tersebut. Oleh karena itu para pengawas perdagangan mengambil tindakan. Salah satu caranya yaitu dengan menikahi anggota keluarga dari keluarga bajak laut tersebut. Namun usaha ini tidak berhasil karena dengan alasan mengunjungi keluarga yang dinikahi para pejabat, para bajak laut tersebut menjarah kapal-kapal yang lewat (Hirth dan Rockhill 1966, 84).
Su-ki-tan yang merupakan daerah bawahan kerajaan Medang Jawa Timur juga sangat terganggu dengan bajak laut tersebut. Oleh karena itu para pengawas perdagangan mengambil tindakan. Salah satu caranya yaitu dengan menikahi anggota keluarga dari keluarga bajak laut tersebut. Namun usaha ini tidak berhasil karena dengan alasan mengunjungi keluarga yang dinikahi para pejabat, para bajak laut tersebut menjarah kapal-kapal yang lewat (Hirth dan Rockhill 1966, 84).


Peningkatan stabilitas keamanan tidak hanya dilakukan untuk mengatasi bajak laut tetapi juga untuk negara saingan dan negara bawahan. Penguasaan Sriwijaya atas Selat Malaka, bahkan sampai mencegat kapal-kapal yang akan berangkat ke Jawa tentu sangat tidak menguntungkan Jawa. Sementara itu serangan Sriwijaya yang mewarnai perpindahan pusat kerajaan sangat mengganggu kerajaan Mataram sehingga harus beberapa kali berpindah ibu kota, begitu juga dengan pemberontakan raja bawahan. Oleh karena itu raja Mataram perlu meminta bantuan senjata dan kuda perang dari Cina untuk mengatasinya.
Peningkatan stabilitas keamanan tidak hanya dilakukan untuk mengatasi bajak laut tetapi juga untuk negara saingan dan negara bawahan. Penguasaan Sriwijaya atas Selat Malaka, bahkan sampai mencegat kapal-kapal yang akan berangkat ke Jawa tentu sangat tidak menguntungkan Jawa. Sementara itu serangan Sriwijaya yang mewarnai perpindahan pusat kerajaan sangat mengganggu kerajaan Medang sehingga harus beberapa kali berpindah ibu kota, begitu juga dengan pemberontakan raja bawahan. Oleh karena itu raja Medang perlu meminta bantuan senjata dan kuda perang dari Cina untuk mengatasinya.


Dari uraian di atas dapat dilihat adanya hubungan timbal balik antara para pedagang asing dengan pemerintah kerajaan. Pedagang asing yang datang ke Jawa memberi beberapa keuntungan. Namun pemerintah juga juga memberikan beberapa fasilitas untuk menyambut kedatangan para pedagang tesebut. Selain menerima pedagang asing, Jawa juga berdagang ke negara lain. Dalam hal ini hubungan baik dengan negara yang didatangi sangat penting. Salah satunya dengan memberikan hadiah sebagai usaha membina hubungan. Perdagangan ini juga didukung dengan sarana transportasi yang baik, yaitu kapal yang memiliki kemampuan berlayar mengarungi samudra.
Dari uraian di atas dapat dilihat adanya hubungan timbal balik antara para pedagang asing dengan pemerintah kerajaan. Pedagang asing yang datang ke Jawa memberi beberapa keuntungan. Namun pemerintah juga juga memberikan beberapa fasilitas untuk menyambut kedatangan para pedagang tesebut. Selain menerima pedagang asing, Jawa juga berdagang ke negara lain. Dalam hal ini hubungan baik dengan negara yang didatangi sangat penting. Salah satunya dengan memberikan hadiah sebagai usaha membina hubungan. Perdagangan ini juga didukung dengan sarana transportasi yang baik, yaitu kapal yang memiliki kemampuan berlayar mengarungi samudra.

Revisi per 14 Desember 2017 18.52

Perdagangan sangat erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat yang bersangkutan. Makin kompleks suatu masyarakat maka makin kompleks pula tata cara perdagangannya.[1] Pada rentang abad VII hingga abad IX, kerajaan besar di Nusantara yang ikut andil dalam Perdagangan Internasional yaitu Kerajaan Sriwijaya. Pada saat itu Kerjaan Sriwijaya memegang peranan penting dalam perdagangan Asia.[2][3] Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya sering dikunjungi pedagang-pedagang Cina yang akan berlayar ke Timur Tengah dan India dan sebaliknya. Sementara itu, Kerajaan Medang yang berpusat di pedalaman Jawa juga sudah dikunjungi pedagang asing namun belum termasuk dalam jalur perdagangan utama. Selanjutnya, pada abad ke X hingga abad ke XII merupakan masa keemasan perdagangan kerajaan-kerajaan di pulau jawa yang disebut sebagai periode jawa kuno.

Pola Perdagangan Kerajaan Sriwijaya

Perdagangan Kerajaan Sriwijaya berkembang lebih dulu daripada Kerajaan Medang. Hal ini disebabkan perbedaan struktur ekonomi di antara keduanya. Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim yang sangat memperhatikan aktivitas ekonomi di daerah pantai. Kebijakan-kebijakan perdagangan dalam skala besar diatur dan ditentukan oleh kerajaan. Sriwijaya yang terletak di Sumatera juga didukung dengan keberadaan sungai-sungai yang menjadi jalur perdagangan kala itu. Sungai-sungai tersebut dapat dilayari kapal-kapal besar sampai ke pedalaman Sumatera dan lebih besar daripada sungai-sungai di Jawa.[4] Selain itu, lokasi ibukota Kerajaan Sriwijaya dekat dengan pantai dan berada di daerah aliran Sungai Musi. Hal ini tentu mempermudah akses dari pusat ke daerah pelabuhan idan membuat kerajaan lebih mudah mengendalikan kegiatan perdagangan di pelabuhan.

Untuk mengendalikan kegiatan perdagangan di pelabuhan, pemerintah Kerajaan Sriwijaya bertindak sangat tegas terhadap penguasa daerah, terutama daerah yang mempunyai pelabuhan. Hal itu disebutkan dalam beberapa prasasti Sriwijaya seperti Prasasti Kota Kapur 608 Saka (686 Masehi) dan Prasasti Karang Brahi yang berisi kutukan yang ditujukan pada keluarga raja bawahan. Hal ini disebabkan sumber devisa kerajaan berasal dari perdagangan dan untuk memastikan hal tersebut berjalan, kerajaan harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan mengawasi pelabuhan sebagai tempat penimbunan barang-barang sebelum dan sesudah diperdagangkan. Namun mendekati abad XII pengendalian jalur perdagangan dan pengawasan pelabuhan tidak berhasil lagi dan beberapa daerah pelabuhan mulai memisahkan diri dari Sriwijaya. Daerah bawahan Sriwijaya seperti Semenanjung Malaya dan Jambi mulai mengirim utusan sendiri ke Cina.[5]

Pola Perdagangan Kerajaan Medang

Kerajaan Medang (Kerajaan Mataram Kuna atau Kerajaan Mataram Hindu) merupakan salah satu kerajaan besar yang ada di Nusantara. Kerajaan ini berdiri pada abad ke VIII di daerah Mataram (kini daerah tersebut secara administratif berada di Jawa Tengah dan Yogyakarta) dan pusat pemerintahannya pindah ke timur pulau jawa (secara administratif daerah tersebut masuk wilayah Provinsi Jawa Timur) pada abad ke X. Ada beberapa teori yang menyebabkan perpindahan ibukota tersebut seperti:

  • Akibat bencana Mahapralaya yang menghancurkan istana Medang.
  • Bencana alam seperti letusan Merapi dan gempa bumi.
  • Permusuhan dengan Sriwijaya.

Kerajaan Medang berakhir pada awal abad ke XI. Namun keturunannya bernama Airlangga yang lolos dari membangun kerajaan baru yaitu Kerajaan Kahuripan dan menyatakan bahwa Kerajaan Kahuripan adalah kelanjutan Kerajaan Medang.

Kerajaan Medang muncul di pulau Jawa memiliki sistem birokrasi yang kompleks. Prasasti-prasasti Kerajaan Medang memberikan berbagai bukti upaya kerajaan untuk mengatur kehidupan rakyatnya di berbagai bidang seperti politik, keagamaan dan ekonomi termasuk di dalamnya kegiatan perdagangan. Pada masa ini pula Kerajaan Medang mengadakan hubungan dagang dengan Cina. hal itu tertulis dalam berita-berita dari Dinasti Tang (618-906 M).[6][7] Hubungan perdagangan antara Kerajaan Medang dengan Dinasti Tang sangat diperhatikan. Hal itu diwujudkan dengan adanya jabatan Juru Cina yaitu pejabat yang mengurusi orang-orang Cina di Kerajaan Medang.[8] Hasil dari hubungan dengan Cina tersebut dapat dilihat dari tersebarnya keramik-keramik Cina Dinasti Tang di sekitar candi-candi peninggalan Kerajaan Medang yang terl;etak di pedalaman Jawa.[9] Hal ini menunjukkan distribusi barang impor yang sampai ke pedalaman.

Hubungan dagang dengan wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa tentu membutuhkan sarana transportasi yang memadai. Berita-berita Cina menunjukkan bahwa sejak masa Kerajaan Medang, orang-orang Jawa sudah berlayar ke pelabuhan-pelabuhan di Cina dengan kapal milik mereka sendiri. Relief kapal di Candi Borobudur yang dibangun pada abad IX menggambarkan kapal yang sedang berlayar di laut dengan jumlah awak kapal yang cukup banyak. Bentuk kapal tersebut sangat berbeda dengan kapal tipe Cina.[10] Pada saat itu, Pulau Jawa yang merupakan daerah kekuasaan Medang juga didatangi orang-orang dari Asia Selatan dan Asia Tenggara daratan untuk berdagang seperti mpa, Kli , Haryya, Si ha, Gola, Cwalik , Malyal , Karn nake, R man dan Kmir.[11] Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa Kerajaan Medang Kuno telah mengadakan hubungan ekonomi dengan negara-negara lain.

Dalam hal perdagangan Kerajaan Medang membagi daerahnya menjadi dua bagian yaitu pusat agraria di pedalaman Jawa dan pusat perdagangan di daerah timur Pulau Jawa. Prasasti-prasasti yang menunjukkan kegiatan pedagang asing yaitu Prasati Kuti, Prasasti Kaladi (909 M) dan Prasasti Pal Buhan (927 M) ditemukan di daerah yang kini disebut Jawa Timur.

Pusat Agraria di Pedalaman Jawa

Hal ini sangat berbeda dengan kerajaan Medang Jawa Tengah yang berpusat di pedalaman. Kerajaan Medang Jawa Tengah merupakan kerajaan agraris yang mengutamakan pengamanan tata pemerintahan dalam negeri.[12] dan pemberian kebebasan penuh pada penguasa daerah. Sementara itu prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi bergerak dari bawah didominasi oleh perdagangan internal antar desa. Pemerintah kerajaan Medang sendiri tampak belum berminat mengembangkan perdagangan ke luar pulau. Penghasilan kerajaan lebih banyak digunakan dalam pendirian bangunan keagamaan yang megah. Sebaliknya, tidak ditemukan candi yang besar di Pulau Sumatera yang dulu merupakan wilayah kerajaan Sriwijaya.

Pusat Perdagangan di Timur Jawa

Pada abad X kerajaan pusat kerajaan Medang berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Setelah perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur, pengaruh perkembangan perdagangan Asia semakin tampak meningkat. Daerah Jawa bagian Timur selama abad VIII sampai dengan abad XIII menunjukkan peningkatan dalam hal aktivitas yang dilakukan sepanjang pantai. Pada periode ini sangat banyak prasasti yang isinya menunjukkan kegiatan perdagangan internasional di sekitar Sungai Brantas, terutama di dekat daerah pantai.[13]

Perpindahan itu sendiri terjadi pada saat perdagangan di Asia berusaha bangkit dari depresi.[14] Pertengahan abad X di Asia ditandai dengan perkembangan perdagangan besar-besaran yang dipelopori antara lain oleh Dinasti Sung (960-1279 M) dan Kerajaan Cola di India selatan. Perkembangan ini berpengaruh pada dua kerajaan besar di Asia Tenggara yaitu Sriwijaya dan Jawa yang mempunyai keunggulannya masing-masing. Sriwijaya mempunyai keuntungan dapat memegang kontrol perdagangan transit di Selat Malaka dan ekspor dari pedalaman Sumatera dan Semenanjung Malaka. Sementara itu Jawa memegang kontrol perdagangan dengan Laut Banda dan perdagangan ini memberi semacam monopoli dalam perdagangan rempah-rempah dari Maluku dan kayu cendana dari Timor.[15]

Pada saat itu Jawa mulai mengimbangi kekuatan Sriwijaya dalam perdagangan di Asia meskipun letak pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya lebih mudah dijangkau oleh pedagang dari Asia Daratan. Selain karena kemunduran Sriwijaya yang wilayahnya mulai terpecah-pecah, hal ini juga disebabkan karena Jawa mempunyai persediaan barang-barang yang lebih lengkap termasuk rempah-rempah dari Indonesia bagian timur. Kitab Ling-wai Tai-ta menyebutkan bahwa She-po mempunyai komoditi yang terlengkap setelah Ta-shih (Arab) sedangkan San-fo-tsi (Sriwijaya) berada di peringkat ketiga setelah She-po.[16] Pada masa selanjutnya dapat diperkirakan bahwa tujuan utama kedatangan pedagang asing tersebut adalah mencari rempah-rempah.

Mitra Dagang

Data prasasti maupun berita Cina memberi gambaran bahwa sebelum masa Majapahit telah terjadi perdagangan antar desa (lokal), antar wilayah (regional) dan internasional.[17] Dalam hubungan tersebut, jalur darat maupun jalur sungai merupakan sarana penting bagi terlaksananya hubungan antara daerah pedalaman dengan daerah kota, antara kota dan daerah sekitarnya maupun kota satu dengan kota lainnya. Hubungan antar wilayah (regional) dan internasional menggunakan jalur laut sebagai sarana utamanya.[18]

Pulau-pulau di Nusantara

Peta Persebaran Prasasti yang Berhubungan dengan Perdagangan Internasional

Para pedagang dari wilayah Nusantara pada umumnya tidak disebutkan asal daerahnya. Kehadiran mereka di Jawa hanya dapat disimpulkan secara tidak langsung dari sumber-sumber prasasti. Prasasti Gondosuli II (927 M) yang berbahasa Melayu Kuno menyebutkan seorang tokoh bernama da puhawa Glis. Menurut Zoetmulder (1982, 205), puhawa berarti nahkoda atau kapten kapal (mungkin kapal dagang). Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal abad 9 telah ada komunitas pedagang Melayu yang tinggal di pedalaman Jawa Tengah.[19][20]

Hubungan ini mungkin berlanjut sampai saat pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur. Perdagangan antara Jawa dengan pulau-pulau di sekitarnya digambarkan dalam Prasasti Kamalagyan 959 Ç. Di dalamnya disebutkan bahwa setelah bendungan di Kamalagyan dibangun, orang-orang di sekitarnya dapat berperahu ke hulu untuk mengambil barang dagangan di pelabuhan Hujung Galuh. Di pelabuhan ini mereka dapat berdagang dengan para pedagang dari pulau lain (para puh wa para ban ga sa ri dw ntara). Prasasti ini tidak menyebutkan nama daerah asal para pedagang tersebut tetapi mungkin sebagian dari para pedagang tersebut berasal dari pulau-pulau yang terdekat dengan Jawa, antara lain Pulau Sumatera dan Pulau Bali. Jawa pada saat itu kemungkinan sering didatangi pedagang-pedagang dari Pulau Sumatera. Chau-ju-kua mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya berhubungan dengan daerah Jung-ya-lu (Chung-kia-lu) yang ada di Jawa.[21] Namun letak daerah ini belum diketahui secara pasti.

Hubungan Jawa dengan Sriwijaya sudah terjadi sejak lama. Meskipun terjadi hubungan dagang yang berlangsung sejak lama, sumber-sumber tertulis di Jawa lebih memperlihatkan persaingan antara keduanya baik dalam bidang politik maupun perdagangan.[22] Konflik ini dimulai sejak berdirinya kerajaan Sriwijaya dan berlanjut sampai beberapa abad selanjutnya.[23]

Hubungan politik tersebut tampak temuan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa sebagai bukti intervensi Sumatra ke Jawa. Salah satunya yaitu Prasasti Gondosuli 749 Ç (827 M). Prasasti Gondosuli menyebutkan seorang nakhkoda kapal (da puh wa glis) yang memberi persembahan kepada bangunan suci. Isi prasasti tersebut memberikan petunjuk adanya komunitas orang-orang Melayu di Jawa.[24] Jika saat itu pelayaran antara Jawa dan Sumatra sudah biasa dilakukan, hubungan dagang kemungkinan juga sudah terjadi, apalagi mungkin di pelabuhan Sumatera terdapat beberapa barang yang tidak diperoleh di Jawa.

Data-data tertulis tidak pernah menyebutkan hubungan dagang antara Jawa dengan Semenanjung Malaka. Namun berdasarkan catatan orang Portugis dari tahun 1511 M, banyak orang Jawa yang tinggal di Malaka, bahkan ada pedagang Jawa yang bisa memiliki ribuan budak.[25] Keadaan seperti ini tentu tidak dapat berlangsung dengan cepat tetapi melalui hubungan yang berlangsung sejak lama. Ada kemungkinan hubungan tersebut sudah berlangsung sebelum masa Majapahit.

Semantara itu Jawa dan Bali mempunyai hubungan yang berlangsung sejak lama, bahkan pada masa Dharmawangsa Tguh Bali berada di bawah pengaruh Jawa. Selain hubungan politik Jawa dan Bali juga terlibat hubungan ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kesamaan sebutan mata uang dari sejumlah prasasti di Jawa dan Bali seperti mas, masaka, pirak dan sebagainya. Dari penemuan uang kuno di Bali diantaranya ada yang sama dengan uang kuno di Jawa.[26]

Prasasti Sembiran (1056 M) menyebutkan kedatangan saudagar-saudagar dari seberang yang berkumpul di Manasa (ma kana yan hana banyaga sake sabera jong, camenduk i manasa). Para pedagang Jawa mungkin berada di antara para pedagang tersebut. Dengan adanya pengaruh Jawa terhadap Bali, tentu pelayaran antar kedua pulau tersebut merupakan hal yang biasa dilakukan. Selain itu kesamaan ukuran mata uang dapat mempermudah transaksi. Namun tidak ada informasi tentang komoditi yang diperdagangkan.

Berita-berita Cina dari Dinasti Sung sering mengatakan bahwa sebagian barang-barang yang diekspor Jawa merupakan produk dari daerah-daerah jajahannya. Hal ini menunjukkan bahwa Jawa juga berdagang dengan pulau-pulau lain di Nusantara, antara lain perdagangan rempah-rempah dengan kepulauan Maluku dan kayu cendana dengan Nusa Tenggara.[27] Namun belum ada bukti tertulis tentang bagaimana produk-produk tersebut mencapai daerah Asia Tenggara.[28]

Dalam catatan Chau ju-kua disebutkan tentang pala yang dihasilkan di Pulau Huang-ma-chu dan Niu-lun, jajahan Jawa (She-po). Pulau-pulau tersebut adalah Maluku.[29] Karena hanya mendengar informasi dari para pedagang, Chau ju-kua tidak mengetahui secara pasti tantang hal itu. Kepulauan Maluku kemungkinan tidak dijajah Jawa, tetapi kapal-kapal dari Jawa datang ke Maluku untuk mengambil rempah-rempah dan ditukar dengan beras. Jadi hubungan yang terjadi adalah hubungan perdagangan.

Asia Tenggara

Berkas:Jalur Utama Perdagangan Indo Asia Tenggara Sebelum Abad IX.jpg
Jalur Utama Perdagangan Indo Asia Tenggara Sebelum Abad IX

Negara-negara Asia Tenggara yang disebutkan dalam prasasti antara lain Khmer, R n, dan Champa. Negara-negara tersebut mempunyai hubungan dagang dengan Jawa seperti yang ditunjukkan dalam Prasasti Taji (901 M). Prasasti Cane 943 Ç (1021 M), Prasasti Patakan, Prasasti Turun Hyang dan Prasasti Garaman 975 Ç ( 1053 M) juga menyebutkan komunitas orang-orang dari Khmer, R n, dan Champa yang berada di Jawa.

Kerajaan Campa menempati daerah Vietnam tengah dan bagian utara wilayah Vietnam Selatan sekarang. Wilayah ini dikuasai pada sekitar abad IX sampai abad X sebelum terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.[30] Data epigrafis dan arkeologis menunjukkan adanya hubungan politik antara Campa dengan Jawa antara lain terjadinya penyerangan Jawa ke Champa pada tahun 787 M sampai dengan 802 M. Selain itu Jawa juga mempunyai pengaruh dalam kesenian Campa pada masa itu. Pengaruh Jawa di antara lain terdapat di candi Khu’ong-my yaitu hiasan gaya baru berupa daun-daunan rindang yang berbelit-belit.[31] Letak Campa yang berada di jalur lintasan teknik perunggu yang terbentang dari Cina Utara sampai ke kepulauan Nusantara termasuk Jawa menunjukkan adanya jalur pelayaran maritim pada masa prasejarah dan berkembang menjadi perdagangan pada masa selanjutnya seperti yang disebutkan dalam teks-teks Arab.[32] Selain Campa, di Jawa terdapat juga pedagang dari Khmer (Kamboja) dan R men (Pegu) yang berada di wilayah Birma.

Berkas:Jalur perdagangan pasca abad ke XI.jpg
Jalur Perdagangan Internasional setelah abad XI

Keberadaan orang Khmer mulai tampak dalam Prasasti Wurudu Kidul 922 M. Prasasti Wurudu Kidul menyebutkan seorang warga desa Wurudu Kidul bernama Sang Dhanadi menolak untuk membayar pajak orang asing karena dia bukan seorang Khmer seperti yang dituduhkan.[33] Isi prasasti tersebut menunjukkan kenyataan bahwa orang Khmer telah menetap di daerah pedalaman Jawa pada periode Medang Jawa Tengah.

Negara-negara di Asia Tenggara pada umumnya memiliki komoditi yang hampir sama, terutama hasil bumi. Namun dilihat dari keberadaan para pedagang tersebut di Jawa bahkan dalam waktu yang lama, tidak tertutup kemungkinan terjadi pertukaran barang-barang yang khas dari negeri masing-masing. Hubungan dagang dengan negara-negara Asia Tenggara daratan ini tidak dapat dijelaskan lebih lanjut karena selain prasasti dari masa Airlangga dan Mapañji Garasakan, tidak terdapat data tertulis lainnya.

Asia Selatan

Kepulauan nusantara membentang di sebelah timur India sebagai kelanjutan dari daratan Asia Tenggara. Dengan teknologi pelayaran yang telah dikembangkan dalam pelayaran ke Asia Barat, tidak terlalu sulit untuk mengembangkan pelayaran pantai sepanjang pesisir Asia Tenggara menjadi pelayaran samudra yang langsung menyeberangi Samudra Hindia ke Sumatera.[34]

Nama-nama negara di Asia Tenggara sering disebut dalam kitab-kitab kuno di India. Beberapa diantaranya yaitu Suvarnabh mi dan Yavadv pa.[35] Sementara itu prasasti-prasasti di Jawa mulai menyebut nama negara-negara di Asia Selatan mulai dari abad IX seperti yang terdapat pada Prasasti Kuti, Prasati Kaladi dan prasasti Pal buhan.[36] Setelah itu daerah-daerah tersebut muncul lagi dalam prasasti-prasasti Airlangga yaitu ling (Kalingga), rrya (orang-orang India Utara), singhala (Srilanka), pan ikira, rawida (Dravida di India Selatan, malyala (Malayalam, daerah di India Selatan), dan karnnataka (karnnake). Dalam prasasti Garaman yang dikeluarkan tahun 1053 M pada masa pemerintahan Mapañji Garasakan, daftar tersebut bertambah dengan disebutnya daerah Cwalika atau Tamil.[37]

Menurut Wheatley (1966, 186) terdapat dua tipe pedagang India di Asia Tenggara, yang pertama adalah pedagang aristokrat yaitu pedagang besar dan berstatus sosial tinggi. Jumlahnya sedikit dan membangun pemukiman di beberapa daerah di Asia Tenggara. Kelompok ini kemungkinan juga ikut memasukkan kebudayaan Hindu Budha ke wilayah perdagangannya. Tipe yang kedua adalah pedagang yang lebih rendah statusnya dan merupakan mayoritas dalam komunitas pedagang India di Asia Tenggara. Kelompok yang merupakan tipe pedagang keliling yang tidak berpendidikan tinggi ini melakukan pelayaran dari Laut India dan di tempat tujuannya membentuk pemukiman di sekitar pelabuhan.[38]

Kelompok kedua inilah yang paling mungkin sering disebut dalam prasasti-prasasti masa Airlangga. Sebagian besar wilayah asal dari orang-orang Asia Selatan tersebut adalah wilayah India Selatan, yaitu di sepanjang pantai. Selain karena wilayah yang strategis, orang-orang India Selatan lebih mudah berlayar dari pelabuhan ke pelabuhan sebagai pedagang keliling daripada pedagang aristokrat yang sangat mementingkan status.

Pada perkembangan selanjutnya para pedagang dari India tersebut juga ikut berperan menyebarkan agama Islam di Asia Tenggara termasuk di Jawa bersama dengan Arab dan Persia yang dibuktikan dengan keberadaan nisan-nisan kuno di Jawa yang kemungkinan diimpor dari Gujarat atau Cambay. Nisan kuno pada makam Fatimah binti Maemun menggunakan huruf bergaya kufi yang hanya diperoleh dengan cara impor dari Gujarat atau Cambay karena makam –makam di Indonesia biasanya menggunakan tulisan gaya naskh.[39] Berdasarkan angka tahun yang tercantum pada nisan (1082 M), komunitas pedagang tersebut hidup di Jawa pada masa kerajaan Kadiri dan mungkin pertama kali datang pada masa sebelumnya. Namun tidak ada data tertulis yang dapat menjelaskan lebih lanjut.

Cina

Ketika orang-orang Cina mulai memperhatikan daerah selatan, negara pertama yang dikunjungi adalah bagian utara Annam, menyusuri pantainya kemudian sampai di Kamboja dan diteruskan sampai Teluk Siam. Setelah itu mereka sampai di pantai Semenanjung Malaya. Dari pantai Semenanjung Malaya orang-orang Cina mulai mengetahui jalan ke Sumatra dan Jawa.[40] Berdasarkan data arkeologis, hubungan antara Cina dengan Nusantara terjadi dalam waktu yang tidak lama setelah hubungan Cina dengan Asia Daratan yang lebih dulu diketahui.[41]

Pada awalnya raja-raja Cina kurang berminat terhadap wilayah Asia Tenggara karena wilayah ini dianggap wilayah yang kurang beradab yang terletak jauh dari pusat peradaban Cina di utara. Namun dengan tumbuhnya perdagangan maritim dari Asia Barat ke Cina Selatan yang melalui Indonesia, peranan hasil Asia Tenggara , termasuk hasil dari Kepulauan Indonesia dalam hubungannya dengan perdagangan Cina ikut berkembang.[42]

Kegiatan perdagangan Indonesia dengan Cina secara jelas mulai digambarkan dalam berita dari Dinasti Tang. Di Jawa sendiri, nama Cina mulai tercantum dalam Prasasti Kancana 782 Ç.[43] Namun mulai abad X sampai XIII yaitu saat perdagangan Asia sedang ramai, prasasti-prasasti di Jawa tidak ada satupun yang menyebut negara Cina, termasuk prasasti dari masa Airlangga yang sering menyebut negara-negara lain di Asia.[44] Sumber tertulis yang menyebutkan Cina hanya Serat Pararaton dan Kidung Harsawijaya yang isinya lebih menunjukkan konflik dengan tentara Cina.

Sementara itu data arkeologis juga menunjukkan bahwa hubungan antara Jawa dan Cina secara jelas baru berlangsung sekitar abad IX-X M berdasarkan temuan keramik yang berasal dari zaman Dinasti Tang (618 – 906 M) di sepanjang daerah pantai utara Jawa.[45] Meskipun sangat sedikit data tertulis di Jawa yang mengungkap hubungan dagang antara Jawa dan Cina, tetapi berita-berita Cina terutama dari Dinasti Sung dapat menggambarkan hubungan kedua negara ini. Bangsa Cina memandang Asia Tenggara secara keseluruhan sebagai Laut Selatan dan sering menyebut Jawa dengan nama She-p o atau Sho-p u sampai pada periode kekuasaan Mongol, sebutan ini berubah menjadi Chau-wa.[46] Chau ju-kua mengatakan bahwa kerajaan Sho-po atau Jawa dapat ditempuh dalam waktu sekitar satu bulan pelayaran dari Tsuan-chou.[47]

Menjelang abad X pemerintah Cina mulai menganggap negara-negara di Laut Selatan sebagai wilayah yang sangat penting. Hal ini dibuktikan dengan keterangan dalam Kitab Sung-shih. Dalam kitab tersebu dikatakan bahwa pemerintah Cina mengadakan perombakan birokrasi pejabat perdagangan di pelabuhan dan pengiriman duta ke negara-negara tersebut (Asia Tenggara dan Nusantara) dengan tujuan membujuk pedagang-pedagangnya untuk berkunjung ke pelabuhan-pelabuhan di Cina Selatan.[48]

Mulai akhir abad X, Cina merupakan negara yang sangat berpengaruh dalam perdagangan lautan di Asia Tenggara selain India dan negara-negara Timur Tengah. Bagi Jawa sendiri, Cina sangat penting karena negara ini merupakan konsumen terbesar produk-produk dari Asia Tenggara termasuk Jawa.[49] Kedudukan Cina yang sangat penting bagi kelangsungan perdagangan internasional. Oleh karena itu Jawa sangat memperhatikan hubungan baik dengan negara tersebut. Selain alasan ekonomi, Jawa juga mengharapkan perlindungan dari musuh-musuhnya karena Cina merupakan negara besar yang kuat. Hal ini diwujudkan dengan pengiriman utusan dan persembahan yang sering dilakukan oleh-raja-raja Jawa.

Asia Barat

Kapal dagang Arab mulai memasuki perairan Asia Tenggara pada awal abad ke 7 M dan berlanjut pada ratusan abad selanjutnya. Para pedagang Arab sampai di daerah Asia Tenggara dalam usahanya untuk mencari rempah-rempah dan obat-obatan.[50] Sementara itu belum ada data yang membuktikan kedatangan pedagang Arab di Jawa karena prasasti-prasasti di Jawa tidak pernah memuat nama negara-negara di Timur Tengah. Namun perdagangan antara kedua negara ini diperkirakan sudah terjadi pada masa Jawa Kuno. Para pedagang Arab kemungkinan berada di antara para pedagang asing yang datang ke Jawa seperti yang disebutkan Chau-ju-kua.[51]

Berita Cina menunjukkan kedatangan pedagang negara-negara Ta-shi (Arab) ke Pulau Sumatera.[52] Berita dari Arab dari Al-Idrisi juga menyebutkan pulau Sumatera yang disebut dengan Javaga dan juga pulau-pulau di sekitarnya, tetapi tidak ada yang menyebutkan Jawa secara langsung. Namun barang-barang yang sampai ke Jawa dan minat pedagang Arab terhadap rempah-rempah menunjukkan bahwa pedagang Arab juga terlibat perdagangan dengan pedagang Jawa. Mereka bertemu di beberapa pelabuhan besar di Asia Tenggara. Salah satunya yaitu pelabuhan milik Sriwijaya.

Chau-ju-kua dan berita Arab tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat komunitas pedagang Arab di pelabuhan Sriwijaya.[53] Oleh karena itu banyak pedagang Jawa yang pergi ke Sumatra untuk berdagang dengan orang Arab. Menurut De Casparis, para pedagang dari Jawa Timur pergi ke Indonesia bagian Timur untuk menukarkan beras dan produk lainnya dengan rempah-rempah dan kayu cendana. Barang-barang tersebut dibawa ke Sriwijaya dan ditukarkan dengan keramik dari Cina, kain dari India dan wangi-wangian dari negara-negara Arab.[54]

Daerah-daerah Mitra dagang Jawa
No Nama Daerah Sumber Data Tertulis
1 Kalingga (Kli  ) Prasasti Cane, Prasasti Patakan, Prasasti Turun Hyang A, Prasasti Garaman
2 India Utara (  ryya) Prasasti Cane, Prasasti Patakan, Prasasti Turun Hyang A, Prasasti Garaman
3 Singhala (Srilanka) Prasasti Cane, Prasasti Patakan, Prasasti Turun Hyang A
4 Pan ikira Prasasti Cane, Prasasti Patakan
5 D rawida (India Selatan) Prasasti Cane, Prasasti Patakan
6 Campa Prasasti Cane, Prasasti Patakan, Prasasti Turun Hyang A
7 Kmir/ k  mir (Khmer) Prasasti Cane, Prasasti Patakan, Prasasti Garaman
8 Rm  n Prasasti Cane, Prasasti Patakan
9 Karnnataka Prasasti Turun Hyang A, Prasasti Garaman
10 R  mba Prasasti Turun Hyang A
11 Colika Prasasti Garaman
12 Mamba Prasasti Garaman
13 Dahya Prasasti Garaman
14 Bika Prasasti Garaman
15 Cina Berita Dinasti Tang, Berita Dinasti Sung, Kitab Chu-fan-Chi, Berita Dinasti Yuan
16 Arab Berita Dinasti Tang
17 Maluku Kitab Chu-fan-chi

Komoditi Perdagangan

Barang atau komoditi merupakan komponen utama dalam perdagangan. Kedudukannya sangat bergantung pada tingkat kebutuhan dan atau kesulitan dalam pengangkutannya. Jenis barang yang sangat dibutuhkan walaupun ada di tempat yang jauh akan berbeda dengan barang yang kurang dibutuhkan walaupun barang tersebut jaraknya dekat. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan suatu barang akan sangat tergantung pada tingkat kebutuhan barang yang dibutuhkan di masyarakat.[55]

Letak Jawa kalah strategis jika dibandingkan dengan saingan terberatnya yaitu Sriwijaya. Oleh karena itu Jawa lebih mengandalkan komoditi perdagangan. Catatan Chou-ku-fei (1178 M) menyebutkan bahwa Jawa lebih kaya dalam barang-barang mewah dan lebih bervariasi meskipun Sriwijaya merupakan pusat perdagangan yang lebih penting dalam hal barang-barang dari barat. Di dalam bukunya Chou-ku-fei mengatakan itu terjadi bukan hanya karena Jawa itu sendiri kaya, tetapi karena itu juga berfungsi sebagai pusat perdagangan bagi pulau-pulau di sebelah timur.[56]

Prasasti dan naskah di Jawa hampir tidak ada yang menyebutkan barang-barang yang diperdagangkan dengan negara lain. Namun bukti lengkap tentang barang-barang tersebut bisa didapatkan dalam berita-berita asing. Jawa menghasilkan barang-barang yang dapat diekspor tetapi juga membeli barang-barang dari negara lain untuk dijual kembali. Menurut Chau-ju-kua seperti yang dikutip oleh Hirth dan Rockhill (1966) barang-barang tersebut juga didapatkan dari negara-negara jajahannya baik yang terdapat di Pulau Jawa maupun di pulau lain.

Berita-berita Cina banyak yang menyebutkan hasil bumi dari Jawa yang sering ditemui pedagang Cina yang datang ke Jawa. Hasil bumi tersebut antara lain adalah beras, kacang-kacangan dan buah-buahan seperti pepaya, kelapa, pisang, tebu dan talas dan garam. Bahan-bahan makanan tersebut kemungkinan dibeli oleh pedagang-pedagang asing untuk mengisi perbekalan di kapal.[57] Selain bahan makanan di sini juga dihasilkan produk alami yang khusus diperdagangkan seperti barang-barang dari emas dan perak, cula badak, gading, kayu gaharu, kayu cendana, minyak adas manis, buah pinang, belerang dan kayu sapan, kulit penyu, kayu laka dan mutiara.[58] Chau ju-kua juga menyebutkan bahwa Jawa menghasilkan lada, cengkeh, kemukus dan kunyit. Meskipun bukan produk asli Jawa, peran rempah-rempah sangat besar dalam memberi keuntungan. Hal ini disebabkan karena beberapa produk lain seperti kayu gaharu dan kayu laka mempunyai kualitas yang paling jelek jika dibandingkan dengan San-fo-tsi (Sriwiyaya) dan Chen-la (Kamboja).

Berita-berita asing menyebutkan bahwa di Jawa ditemukan berbagai macam rempah-rempah dan kayu cendana. Salah satunya, yaitu lada tersimpan dalam jumlah yang sangat banyak dan disimpan di gudang-gudang. Selain produk dari Pulau Jawa sendiri diperkirakan rempah-rempah dan kayu cendana tersebut juga didapatkan dari kepulauan di Indonesia Timur yaitu Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara.

Kerajaan Medang di Jawa juga dikenal oleh orang-orang Cina sebagai penghasil barang kerajinan yang berkualitas. Barang-barang tersebut antara lain kain katun, tikar pandan, miniatur rumah dari kayu cendana dan pedang dengan gagang dari cula badak atau emas.[59]

Daftar Barang-Barang Ekspor Jawa Abad X-XIII
No Jenis Barang Nama Barang
1 Bahan Makanan Beras
    Buah-buahan
    Garam
    Pinang
    Gula tebu
2 Obat Kapulaga
3 Kayu harum Kayu cendana*
    Kayu gaharu
    Kayu sapan
    Kayu laka
4 Rempah-rempah Lada
    Cengkeh*
    kemukus
    Pala*
    Kunyit
4 Produk Kerajinan Kain katun
    Kain sutra*
    Anyaman rotan*
    Miniatur rumah dari kayu cendana
5 Produk dari Binatang Mutiara
    Kulit Penyu
    Gading
    Cula Badak
6 Hewan Peliharaan Kakaktua
7 Kerajinan dari Logam Pedang
    Pedang impor*
    Perhiasan emas
    Perhiasan perak

Keterangan :

* barang impor yang diekspor kembali 

Barang-barang yang diimpor oleh Jawa juga sangat jarang disebut oleh prasasti. Salah satu prasasti yang menyebutkan barang impor yaitu Prasasti Sara an dari masa Sindok. Di dalamnya disebutkan ken bwat lor atau kain buatan daerah utara diantara benda-benda yang dipersembahkan pada pejabat dalam upacara sima. Selain itu dalam prasasti Turyyan disebutkan wdihan bwat kli atau mungkin dapat diartikan suatu kain yang dibuat di India. Jenis-jenis kain tersebut diperkirakan merupakan barang impor yang bernilai tinggi sehingga hanya diberikan kepada pejabat tinggi kerajaan, termasuk raja. Pakaian-pakaian India dan Cina dibeli oleh kalangan elit yang lebih kaya. Kain India disukai karena warnanya yang cemerlang dan pola-polanya yang indah, serta kedudukannya sebagai barang langka.[60] Kadang-kadang kain dari India juga dibawa sebagai persembahan ke negara Cina.

Berita-berita Cina tidak menyebutkan secara langsung barang-barang asing yang diperdagangkan di Jawa. Namun Chau Ju-Kua menyebutkan bahwa pedagang-pedagang asing melakukan pertukaran dengan menggunakan barang-barang seperti bejana emas dan perak, kain damask (sejenis kain yang tebal) hitam, sinabar, tawas, boraks, arsenik (warangan), keramik, dan barang-barang dari besi dan tembaga.[61] Pada masa Majapahit pedagang Jawa mengimpor bahan pakaian terutama jubah untuk pendeta dan alat-alat upacara, kemungkinan hal ini sudah berlangsung pada masa sebelumnya sejalan dengan berkembangnya agama Hindu dan Budha di Jawa.[62]

Di antara barang-barang impor tersebut, keramik merupakan barang yang banyak disukai di Jawa dan negara di Asia Tenggara lainnya. Permintaan besar-besaran di Asia Tenggara ini tidak hanya dipenuhi oleh Cina saja tetapi juga dari Asia Tenggara sebelah utara (Kamboja dan Vietnam). Pada akhir abad XIII, jumlah keramik impor yang semakin meningkat mulai didatangkan dari tempat pembakaran bertemberatur tinggi di Kamboja dan Vietnam utara. Namun keramik campur kaca berkualitas tinggi dari Cina merupakan barang dagangan utama untuk jarak yang lebih jauh lagi karena dihias dengan indah dan dibakar dengan temperatur yang lebih tinggi daripada tempat pembakaran di Asia Tenggara.[63]

Sistem barter masih digunakan dalam transaksi dengan pedagang asing meskipun orang-orang Jawa sudah dapat membuat mata uang dari potongan emas dan perak. Mata uang Cina juga digunakan dalam transaksi. Hal ini dibuktikan dalam Chu-fan-chi yang menyebutkan adanya pedagang yang menyelundupkan mata uang perunggu dari Cina.[64]

Prasasti Waharu IV dan Prasasti Garaman menyebutkan abdi dalem pujut dan gi. Menurut Zoetmulder , gi merupakan orang-orang berkulit hitam (negro) yang berasal dari Afrika sedangkan pujut mengacu pada orang-orang Negrito.[65] Sementara itu Lombard (2000) mengatakan bahwa Jawa terlibat dalam perdagangan budak-budak Zanggi (Jenggi). Namun hal ini tidak bisa dijelaskan lebih lanjut karena tidak terdapat bukti secara langsung. 

Daftar Barang-Barang Impor Jawa pada abad X – XIII
No Nama Barang Asal
1 Uang kepeng perunggu Cina
2 Keramik Cina, Arab
3 Kain Sutra Cina
4 Kain India, Arab
5 Bejana emas  
6 Bejana perak  
7 Bejana berkaki tiga Arab
8 Sinnabar  
9 Tembaga merah  
10 Tawas  
11 Boraks  
12 Warangan  
13 Kayu cendana Timor
14 Wangi-wangian Arab
15 Rempah-rempah Maluku
16 Timah Sumatra
17 Emas Sumatra
18 Kuda Cina
19 Alat perang Cina

Upaya-Upaya Kerajaan dalam Memajukan Perdagangan Internasional

Kedatangan pedagang asing ke Pulau Jawa memberi keuntungan bagi kerajaan Medang yang baru saja memindahkan pusat kekuasaannya tersebut. Pada saat berlabuh ke pantai kapal dagang mereka dikenai biaya berlabuh, kemudian barang dagangan mereka juga dikenai pajak. Jika para pedagang tersebut menetap untuk sementara, mereka masih dikenai pajak untuk orang asing. Pada masa Majapahit, para pedagang Cina selain membayar pajak orang asing, mereka juga harus membayar pajak perdagangan yang dipungut oleh juru daga atau tuha daga (Winarto 2004, 73) dan masih ditambah dengan biaya berlabuh bagi kapal mereka. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa para pedagang asing memberi penghasilan yang lebih besar daripada pedagang pribumi.

Keuntungan yang didapatkan tersebut membuat sektor perdagangan menjadi salah satu sumber utama penghasilan kerajaan di samping sektor pertanian. Pentingnya perdagangan dengan negara-negara lain tersebut membuat pemerintah kerajaan sangat memperhatikan bidang ini. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatur kegiatan perdagangan yaitu :

Meningkatkan Hasil Pertanian sebagai Pendukung Perdagangan

Salah satu sebab pertumbuhan perdagangan Kerajaan Medang tidak secepat Sriwijaya adalah sifat kerajaan yang agraris. Namun hal ini juga menguntungkan. Kerajaan tumbuh lebih stabil karena dasar agrarisnya dan telah mengembangkan suatu birokrasi yang mengandung potensi sebagai pendukung perkembangan ke arah terjadinya suatu negara agraris yang juga berdagang (Poesponegoro dan Notosusanto 1992. 73). Hal ini didukung kondisi Pulau Jawa yang subur dengan adanya beberapa gunung api dan sungai besar. Sejak masa prasejarah Pulau Jawa telah dikenal sebagai daerah pertanian yang penting. Menurut Vavilov seperti yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1985, 11), di dunia terdapat 7 tempat perkembangan pertanian. Salah satunya adalah wilayah Asia Tenggara dalam hal ini termasuk Pulau Jawa.

Pedagang asing yang berkunjung di Jawa biasanya bermukim sementara untuk menunggu angin yang cocok untuk berlayar. Kemungkinan mereka tinggal di pemukiman penduduk di sekitar pelabuhan dan dijamu dengan makanan lokal seperti yang dikatakan Chau-ju-kua dalam Chu fan-chi (Hirth dan Rockhill 1966, 77). Selain itu para pedagang juga membutuhkan bahan makanan sebagai bekal perjalanan di kapal. Oleh karena itu bahan makanan seperti beras dan bahan makanan mentah lainnya merupakan hal yang sangat penting. Apalagi hasil alam yang terdapat di Pulau Jawa ini juga sering disebut dalam berita Cina. Pentingnya kedudukan bahan pangan, terutama beras membuat pemerintah cukup memperhatikan sektor pertanian.

Sebagai negara agraris pertanian merupakan sumber utama perekonomian kerajaan Medang Kuno. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang tepat karena hasil alam sangat tergantung pada pemakaian tenaga dan ketrampilan manusia (Heilbroner 1982, 18). Salah satu bentuk pengelolaan tersebut adalah irigasi. Menurut Mohr seperti yang dikutip oleh Geertz (1983), ada tiga aspek atau fungsi irigasi yaitu :

  1. fungsi pengairan yaitu menyediakan air untuk tanah yang menjadi gersang jika kekurangan air
  2. fungsi pengontrolan yaitu mengatur persediaan air yang cukup banyak untuk menghindari atau mengendalikan banjir
  3. fungsi pemupukan yaitu menyuburkan tanah dengan zat-zat hara yang diangkutnya.

Fungsi pengairan sangat diperlukan karena kecuali daerah zone depresi, daerah Jawa Timur termasuk kurang subur jika dibandingkan dengan Jawa Tengah. Namun hal ini bisa diatasi dengan adanya sistem irigasi yang teratur (Wulandari 2001, 27). Sistem pengairan di desa-desa diatur oleh seorang hulair yaitu pejabat yang mengurusi pengairan (Nastiti 2003, 178). Beberapa kawasan irigasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran No. 4. Sistem irigasi antara lain diwujudkan dengan pembangunan bendungan seperti yang beberapa kali dilakukan pada masa pemerintahan Sindok.

Isi Prasasti Kamalagyan menunjukkan bahwa pemerintah kerajaan saat itu yaitu Airlangga melakukan fungsi pengontrolan. Meluapnya Sungai Brantas yang menyebabkan banjir seperti yang disebutkan dalam Prasasti Kamalagyan tampaknya cukup mengganggu lahan pertanian di sekitarnya dan juga berpengaruh pada perdagangan. Banjir ini membuat pendapatan kerajaan menjadi berkurang. Pajak yang biasanya disetorkan sejumlah 17 suwarna 14 masa 4 kupang 4 satak emas setelah terjadi bencana banjir menjadi 10 suwarna emas karena sebagian pendapatan digunakan untuk pembangunan bendungan (Dwiyanto 1992, 101). Namun pembangunan bendungan pada akhirnya juga membawa keuntungan karena sawah akan terlindung dari banjir sehingga pendapatan kerajaan akan bertambah lagi.

Setelah pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur, Jawa Tengah masih merupakan wilayah kekuasan kerajaan Medang. Daerah ini mungkin dikelola oleh salah satu raja bawahan yang secara rutin mengirimkan upeti ke pusat kerajaan di Jawa Timur. Hal ini diperkuat dengan keterangan dalam Chu fan chi yang menyebutkan bahwa Su-ki-tan (Jawa Tengah) merupakan negara bawahan dari She-po, nama yang dikenal oleh Cina sebagai Jawa dan berpusat di Jawa Timur. Daerah ini mempunyai komoditi yang hampir sama dengan She-po (Friedrich dan Rockhill 1966). Jawa Tengah mempunyai tanah yang lebih subur dari pada Jawa bagian Timur. Kondisi ini sangat menguntungkan karena hasil bumi yang melimpah. Dalam Chu fan Chi disebutkan bahwa Su-ki-tan mempunyai pelabuhan dan dapat melakukan perdagangan sendiri dengan negara lain (Hirth dan Rockhill 1966). Meskipun begitu dengan status sebagai negara bawahan, para penguasa daerah tetap akan menyerahkan upeti berupa uang maupun hasil bumi ke pusat kerajaan di Jawa Timur.

Para pedagang Cina juga menyebutkan bahwa Jawa menghasilkan produk kerajinan yang berkualitas seperti kerajinan dari emas dan perak.. Kemungkinan itu membuat pemerintah juga memperhatikan sektor industri. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya prasasti yang mengatur kehidupan para pengrajin (miçra)

Memajukan Sarana Transportasi

Bagi seorang pedagang, bila kebutuhan masyarakat tidak dapat dipenuhi atau bahkan tidak tersedia, pedagang akan berusaha untuk memenuhinya dengan berbagai cara, antara lain dengan mencarinya ke tempat di mana barang tersebut dibuat (Ratnawati 1991, 122). Untuk sampai ke tempat barang tersebut, diperlukan sarana transportasi. Sarana transportasi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam perdagangan. Jalur perdagangan yang digunakan untuk membawa pedagang maupun barang dagangannya dapat melewati daratan, laut maupun sungai. Pengangkutan barang dari suatu tempat ke tempat lain memerlukan jalur tertentu, alat transportasi dan organisasi yang mengaturnya. Organisasi yang mengatur tersebut mungkin bersifat teknis maupun politis (Ardhika 1999, 3-4).

Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo sangat penting artinya dalam perdagangan pada masa Jawa Kuno. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya prasasti yang memuat keterangan tentang perdagangan internasional tersebar di sekitar daerah aliran kedua sungai tersebut.

Kedua sungai tersebut memegang peranan penting dalam penyebarluasan komoditi, untuk menyeberangkan barang dagangan dari satu tepi ke tepi lainnya, untuk mengangkut dari pedalaman ke pelabuhan pemunggahan (entrepot) dan dari tempat tersebut ke pelabuhan besar di tepi laut. Peranan Sungai Brantas makin besar ketika kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya mulai mengembangkan perdagangan dengan negara-negara lain (Pinardi dan Mambo 1992, 183). Perkembangan tersebut mulai tampak sejak masa kerajaan Medang Kuno di Jawa Timur, meskipun tidak sebesar pada masa Majapahit.

Sebagai negara yang mengadakan perdagangan dengan negara lain, hal penting yang dibutuhkan selain komoditi adalah pelabuhan yang memadai. Pelabuhan pantai yang digunakan saat itu adalah Kambang Putih yang terletak di dekat Tuban sekarang (Pinardi dan Mambo, 1993). Selain pelabuhan di pantai para pedagang juga dapat mencapai daerah pedalaman seperti yang disebutkan dalam Prasasti Kamalagyan. Hal ini didukung keberadaan pelabuhan-pelabuhan pedalaman di Sungai Brantas dan bengawan Solo. Data tertulis dari Jawa Timur sebelum abad XIII hanya menyebutkan 2 pelabuhan sungai yaitu Hujung Galuh (Prasasti Kamalagyan) dan Canggu. Canggu lebih banyak disebut dalam data-data tertulis dari masa Majapahit. Namun pelabuhan ini sudah ada pada masa pemerintahan Wisnuwardhana (Mulyana 1979, 62)

Pada masa Majapahit seperti yang disebutkan Nagarak rtagama terdapat 33 desa penyeberangan di Sungai Brantas dan 44 desa penyeberangan di Sungai Bengawan Solo (Pigeaud 1960, 110). Beberapa di antaranya kemungkinan juga merupakan pelabuhan dan sudah digunakan sejak sebelum masa Majapahit.

Dari Prasasti Kamalagyan dapat dilihat bahwa pengaturan sungai Brantas dijalankan juga demi kepentingan kaum pedagang baik pedagang lokal maupun pedagang asing supaya mereka dapat berlayar sampai ke hulu yaitu di Hujung Galuh (Pinardi dan Mambo 1993, 180). Hal ini menunjukkan bahwa selain berdagang di pelabuhan pantai para pedagang asing dapat masuk ke daerah pedalaman dan berdagang langsung dengan penduduk sekitarnya.

Selain menerima para pedagang asing di negeri sendiri, para pedagang Jawa juga pergi ke negara-negara lain untuk menukar barang dagangannya, bahkan pedagang Jawa dapat menjadi perantara dalam perdagangan rempah-rempah. Kedatangan utusan Jawa berkali-kali ke Cina menunjukkan bahwa Jawa sudah mempunyai kapal sendiri sejak kerajaan Medang masih berpusat di Jawa Tengah.

Perahu yang terpahat di Borobudur merupakan salah satu petunjuk bahwa kapal-kapal dan pelayaran telah memainkan peran besar dalam segenap urusan Jawa dan Laut Jawa selama berabad-abad sebelum abad XV. Pada waktu itu pelayaran samudra sangat tergantung pada angin musim dan hal ini berlangsung sampai pada masa masuknya Islam ke Indonesia. Angin-angin yang meniup daerah kepulauan memungkinkan pedagang-pedagang untuk bertemu pada saat yang sama di pelabuhan-pelabuhan sekitar Selat Malaka. Waktu yang paling ramai adalah antara bulan Desember sampai dengan Maret (Poesponegoro dan Notosusanto 1992b, 29). Pedagang-pedagang Jawa tentu juga memanfaatkan kekuatan angin tersebut untuk berlayar ke pelabuhan di Sumatra maupun daratan Asia dan sebaliknya.

Teknologi pelayaran tersebut juga didukung dengan sumber daya alam yang paling dibutuhkan yaitu kayu yang sangat melimpah dan mudah didapatkan di Jawa (Reid 2004, 76-77). Dalam beberapa prasasti juga disebutkan pengaturan yang dilakukan oleh kerajaan terhadap berbagai jenis kapal dan perahu. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memperhatikan perkembangan alat transportasi ini.

Mengangkat Pejabat untuk Mengatur Perdagangan dan Keberadaan Orang Asing di Jawa

Kelangkaan barang di suatu daerah merupakan sebab munculnya kegiatan lalu-lalang orang-orang dari suatu daerah ke daerah lain. Orang-orang dari daerah lain inilah yang kemudian disebut oleh masyarakat setempat sebagai orang asing. Kehadiran orang asing dalam suatu masyarakat tentu akan memberikan pengaruh tertentu pada masyarakat yang bersangkutan (Ratnawati 1991, 122). Jika kedatangan orang asing tersebut memberi keuntungan terhadap suatu daerah, maka penguasa daerah tersebut akan melakukan tindakan yang mengatur hubungan dengan orang-orang asing tersebut.

Prasasti dari masa Jawa Kuno sering menyebutkan jabatan tuha daga yang diperkirakan merupakan pejabat yang mengurusi perdagangan. Tuha daga atau juru daga termasuk dalam sa ma ilala drabya haji atau kelompok orang yang menerima gaji dari istana (Dwiyanto 1992, 58). Namun tidak ada yang menyebutkan orang yang khusus menangani perdagangan dengan bangsa lain. Keterangan mengenai hal tersebut didapatkan dari berita Cina yang mengatakan bahwa pejabat pengawas perdagangan di pelabuhan disebut dengan Po-ho dan istrinya disebut Po-ho-pi-ni (Groeneveldt 1960). Jabatan Po-ho ini kemungkinan sama dengan puhawa atau hawa yang sering disebut dalam prasasti dan tugasnya adalah mengawasi kapal-kapal yang berlabuh, termasuk menarik biaya berlabuh kapal-kapal tersebut meskipun puhawa kadang-kadang juga diartikan sebagai nakhkoda kapal.

Selain pejabat perdagangan, terdapat pejabat yang khusus mengurusi orang asing. Beberapa prasasti dari Jawa Tengah maupun Jawa Timur menyebutkan jabatan juru cina dan juru kli . Sebagai bagian dari ma ilala drwya haji, juru cina bertugas mengurusi orang Cina dan juru kli mengurusi orang-orang dari Kli . Selain itu, juru kli dan juru cina juga menarik pajak orang asing dari kedua kelompok tersebut(Winarto 2004, 73).

Meskipun terdapat berbagai macam pedagang asing dari India, tetapi hanya terdapat jabatan juru kli . Hal ini mungkin disebabkan karena orang-orang kli mempunyai kedudukan yang penting atau karena jumlah orang dalam komunitasnya lebih banyak dari pada komunitas orang asing yang lain (Rahardjo 2000, 300). Oleh karena itu diperlukan petugas khusus untuk mengaturnya.

Pedagang asing biasanya menetap sementara untuk menunggu angin yang cocok untuk berlayar. Orang asing yang menetap termasuk dalam wargga kilalan yaitu kelompok orang yang dikenai pajak. Di samping menghasilkan pemasukan bagi kerajaan, pajak orang asing juga merupakan bentuk perlindungan terhadap warga pribumi, khususnya apabila orang asing tersebut berprofesi sebagai pedagang yang berkedudukan di sima. Hal ini juga ditunjukkan oleh Airlangga dengan cara membatasi orang asing yang berada di daerah sima (Dwiyanto 1992, 66).

Namun ada juga yang justru termasuk dalam ma ilala drawya haji, kelompok orang yang bekerja untuk kepentingan raja dan kerajaan yang berdiam di istana dan mendapat gaji dari raja (Ratnawati 1991, 125.). Belum terdapat data tertulis yang menunjukkan alasan pemerintah menggunakan orang-orang asing tersebut sebagai pegawai kerajaan.

Dalam Prasasti Waharu IV dan Prasasti Garaman disebutkan orang-orang pujut, bon an dan gi. Menurut Zoetmulder (1983), mereka adalah orang-orang berkulit hitam yang mungkin dapat digolongkan sebagai abdi dalem palawija pada masa Islam. Menurut Naerssen seperti yang dikutip oleh Kartikaningsih (1992) orang-orang diperoleh dengan cara dibeli atau tawanan pada waktu perang, kemudian dijadikan budak. Kedatangan mereka bersamaan dengan datangnya orang-orang asing yang datang ke Jawa. Budak-budak tersebut dapat diperlakukan sebagai pelayan, seniman ataupun pekerjaan kasar lainnya.

Prasasti Garaman menyebutkan bahwa kelompok orang ini termasuk dalam kelompok pejabat yang dilarang masuk daerah sima (hulun haji, je gi...tan tama ta ya irikanana karaman i garaman...). Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan Jawa juga terlibat dalam perdagangan budak untuk dijadikan pegawai raja.

Menjalin Hubungan Baik dengan Negara Lain

Usaha ini terlihat dalam hubungannya dengan Cina. Dari berita-berita Cina diketahui bahwa Jawa sering mengirimkan utusan ke Cina. Para utusan biasanya membawa barang-barang persembahan yang berupa hasil kerajinan dalam negeri maupun hasil impor dari negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tukar-menukar pengiriman barang berharga bagi para raja mempunyai tujuan politis antara lain untuk menciptakan jalur persahabatan dengan kelompok-kelompok yang dianggap kuat serta berperan dalam jalur perdagangan (Eriawati 1994, 12).

Selain unsur politik pengiriman utusan ini juga dapat dikaitkan dengan hubungan ekonomi antar kedua negara. Barang-barang yang dibawa tersebut sering dianggap sebagai barang-barang komoditi perdagangan. Kecenderungan seperti itu cukup dimaklumi karena hubungan antar negara-negara di laut selatan sebagian diawali dengan adanya pertukaran barang dari jenis komoditi yang tersedia di wilayah Asia Tenggara. Berdasarkan sumber-sumber Cina, dapat dilihat bahwa tukar-menukar (pengiriman barang) antara Cina dengan negara-negara di wilayah laut selatan ini memiliki dua aspek yaitu aspek ekonomi dan politik ( Eriawati 1994, 1-4).

Berita-berita Cina menunjukkan bahwa pengiriman persembahan berupa barang-barang mewah merupakan hal yang umum dilakukan negara-negara Asia Tenggara seperti Sriwijaya, Jawa dan negara Asia Tenggara daratan. Semua negara tersebut bersaing untuk mengajak para pedagang Cina datang ke negaranya karena Cina merupakan negara besar dengan pasaran baik bagi perdagangannya.

Persaingan Jawa dengan Sriwijaya untuk menarik perhatian dari Cina juga sangat tampak. Sriwijaya yang tidak mau kehilangan kedudukan sebagai tempat persinggahan dalam perdagangan di Asia Tenggara mungkin sedikit khawatir dengan peranan pelabuhan-pelabuhan Jawa. Oleh karena itu sejak kerajaan pertama berdiri, negara ini termasuk sering mengirimkan upeti. Bahkan pada masa dinasti Sung, Sriwijaya sudah mempunyai pegawai khusus untuk menulis surat berhuruf Cina pada mengirimkan upeti (Groeneledt 1960, 63).

Para pedagang asing yang datang sendiri juga sering memberikan hadiah kepada raja. Naskah Arjunawijaya yang ditulis pada masa Majapahit menyebutkan tentang saudagar (mungkin berasal dari India) yang memberikan hadiah berupa kain yang berwarna-warni kepada raja (Montana 1988,10), hal ini mungkin juga terjadi pada masa sebelumnya. Pemberian hadiah dilakukan oleh pedagang tersebut untuk menghormati penguasa daerah yang didatanginya. Sebagai balasannya raja akan memberikan izin untuk berdagang di wilayah kerajaannya.

Pemerintah kerajaan memperlakukan para pedagang asing dengan baik. Dalam buku Chu-fan-chi disebutkan bahwa para pedagang asing di sambut di rumah yang bagus dan dijamu dengan berbagai jenis makanan dalam jumlah yang banyak. Dari situ dapat dilihat bahwa selain mengandalkan produk-produk alaminya, digunakan juga sikap yang ramah untuk menarik para pedagang agar datang lagi. Dalam berita Dinasti Sung dicantumkan tentang utusan dari Jawa yang menyebutkan seorang pedagang besar dari Cina yang berasal dari Kien-khi telah datang berulang kali ke Jawa. Hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang Jawa tersebut termasuk dalam upaya mempromosikan daerahnya.

Peningkatan hubungan baik dengan cara pengiriman utusan dan pemberian persembahan menunjukkan salah satu upaya untuk mengawali perdagangan yang sebenarnya (perdagangan dengan sistem pasar). Namun hal ini sebenarnya juga termasuk dalam perdagangan itu sendiri yaitu perdagangan resiprokal di mana dilakukan pengiriman duta atau wakil, dan kegiatan politis di antara penguasa.

Peningkatan Stabilitas Keamanan

Berita-berita dari negara lain menyebutkan banyak sekali bajak laut di perairan Nusantara, antara lain di Selat Malaka, Selat Sunda dan Laut Jawa. Oleh karena itu sebuah negara yang terlibat dalam perdagangan laut perlu memiliki angkatan laut. Prasasti Jari 1103 Ç (1181 M) dari masa pemerintahan raja Kroñcaryy dipa menyebutkan seorang sen pati sarwajala (panglima angkatan laut) (Poesponegoro dan Notosusanto 1992, 348). Selain itu ekspedisi ke Pulau Sumatra yang dilakukan K rtanagara juga menunjukkan keberadaan angkatan laut yang kuat. Meskipun tidak ada bukti langsung tentang pertempuran antara angkatan laut kerajaan dengan para bajak laut, hal ini menunjukkan usaha kerajaan untuk menjaga keamanan perairan di sekitarnya.

Su-ki-tan yang merupakan daerah bawahan kerajaan Medang Jawa Timur juga sangat terganggu dengan bajak laut tersebut. Oleh karena itu para pengawas perdagangan mengambil tindakan. Salah satu caranya yaitu dengan menikahi anggota keluarga dari keluarga bajak laut tersebut. Namun usaha ini tidak berhasil karena dengan alasan mengunjungi keluarga yang dinikahi para pejabat, para bajak laut tersebut menjarah kapal-kapal yang lewat (Hirth dan Rockhill 1966, 84).

Peningkatan stabilitas keamanan tidak hanya dilakukan untuk mengatasi bajak laut tetapi juga untuk negara saingan dan negara bawahan. Penguasaan Sriwijaya atas Selat Malaka, bahkan sampai mencegat kapal-kapal yang akan berangkat ke Jawa tentu sangat tidak menguntungkan Jawa. Sementara itu serangan Sriwijaya yang mewarnai perpindahan pusat kerajaan sangat mengganggu kerajaan Medang sehingga harus beberapa kali berpindah ibu kota, begitu juga dengan pemberontakan raja bawahan. Oleh karena itu raja Medang perlu meminta bantuan senjata dan kuda perang dari Cina untuk mengatasinya.

Dari uraian di atas dapat dilihat adanya hubungan timbal balik antara para pedagang asing dengan pemerintah kerajaan. Pedagang asing yang datang ke Jawa memberi beberapa keuntungan. Namun pemerintah juga juga memberikan beberapa fasilitas untuk menyambut kedatangan para pedagang tesebut. Selain menerima pedagang asing, Jawa juga berdagang ke negara lain. Dalam hal ini hubungan baik dengan negara yang didatangi sangat penting. Salah satunya dengan memberikan hadiah sebagai usaha membina hubungan. Perdagangan ini juga didukung dengan sarana transportasi yang baik, yaitu kapal yang memiliki kemampuan berlayar mengarungi samudra.

Referensi

  1. ^ Ardhika, I Wayan 1999. “Beberapa Pemikiran tentang Studi Perdagangan di Indonesia”. Dalam EHPA. Lembang: tidak diterbitkan
  2. ^ Wolters, O. W. (2001-01-01). Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya (dalam bahasa English). ACLS History E-Book Project. ISBN 9781597401876. 
  3. ^ Wolters, O.W. 1967. Early Indonesian CommerceA Study of the Origins of Çr vijaya. Ithaca: Cornell University Press.
  4. ^ Christie, Jan  Wisseman 1982. Pattern  of Trade  in Western  Indonesia: Ninth through Thirteenth Centuries A.D. London: University of London.
  5. ^ Djoened., Poesponegoro, Marwati (2008). Sejarah nasional Indonesia (edisi ke-Ed. pemutakhiran). [Jakarta]: Balai Pustaka. ISBN 979407408X. OCLC 435629543. 
  6. ^ Groeneveldt, W.P 1960. Historical Notes on Indonesia dan Malaya Compiled from Chinese Sources. Bhatara: Jakarta.
  7. ^ Groeneveldt, W. P. (1960). Historical Notes on Indonesia and Malaya, Compiled from Chinese Sources (dalam bahasa English). Djakarta: C V Bhratara, 1960. 
  8. ^ Denys., Lombard, (2000). Nusa Jawa : silang budaya : kajian sejarah terpadu (edisi ke-Cet. 2). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9796054531. OCLC 224219758. 
  9. ^ Denys., Lombard, (2000). Nusa Jawa : silang budaya : kajian sejarah terpadu (edisi ke-Cet. 2). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9796054531. OCLC 224219758. 
  10. ^ Anthony., Reid, (2004). Sejarah modern awal Asia Tenggara : sebuah pemetaan (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: LP3ES. ISBN 9789793330051. OCLC 225524299. 
  11. ^ 1939-, Jones, Antoinette M. Barrett, (1984). Early tenth century Java from the inscriptions : a study of economic, social, and administrative conditions in the first quarter of the century. Dordrecht, Holland: Foris Publications. ISBN 9789067650625. OCLC 12722180. 
  12. ^ Djoened., Poesponegoro, Marwati (2008). Sejarah nasional Indonesia (edisi ke-Ed. pemutakhiran). [Jakarta]: Balai Pustaka. ISBN 979407408X. OCLC 435629543. 
  13. ^ Christie, Jan Wisseman 1982. Pattern  of Trade in Western Indonesia: Ninth through Thirteenth Centuries A.D. London: University of London.
  14. ^ Christie, Jan Wisseman 1982. Pattern of Trade in Western  Indonesia: Ninth through Thirteenth Centuries A.D. London: University of London.
  15. ^ Christie, Jan Wisseman 1993. “Trade and Value in Pre-Majapahit Java”, Indonesia Circle No 59 & 60.
  16. ^ Wheatley, Paul (1961). The Golden Khersonese: Studies in the Historical Geography of the Malay Peninsula before A.D. 1500. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.
  17. ^ Nastiti, Titi Surti 1988. Perdagangan pada masa Majapahit dalam AHPA Trowulan, Trowulan.
  18. ^ Nastiti, Titi Surti 1988. Perdagangan pada masa Majapahit dalam AHPA Trowulan, Trowulan.
  19. ^ 1958-, Rahardjo, Supratikno, (2002). Peradaban Jawa : dinamika pranata politik, agama, dan ekonomi Jawa kuno (edisi ke-Cet. 1). Jakarta, Indonesia: Komunitas Bambu. ISBN 9789799620118. OCLC 52258359. 
  20. ^ Zoetmulder, P.J 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan.
  21. ^ 1170-1231,, Zhao, Rukuo,; 1845-1927,, Hirth, Friedrich,. Chau Ju-Kua : his work on the Chinese and Arab trade in the twelfth and thirteenth centuries, entitled Chu-fan-chi. [Place of publication not identified]. ISBN 1492979562. OCLC 908704101. 
  22. ^ Purwanti, Retno 1996. “Pasang-Surut Hubungan Jawa-Sumatera antara Abad X-XV Masehi: Kajian Atas Data Arkeologis di Sumatera” dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung. Cipanas: Balai Arkeologi Bandung.
  23. ^ Christie, Jan Wisseman 1982. “Pattern of Trade in Western  Indonesia: Ninth through Thirteenth Centuries A.D”. Disertasi. London: University of London.
  24. ^ Djoened., Poesponegoro, Marwati (2008). Sejarah nasional Indonesia (edisi ke-Ed. pemutakhiran). [Jakarta]: Balai Pustaka. ISBN 979407408X. OCLC 435629543. 
  25. ^ 1939-, Reid, Anthony,; Indonesia., Yayasan Obor (1992-). Asia Tenggara dalam kurun niaga 1450-1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9789794611081. OCLC 422238355. 
  26. ^ Geria, I Made 1991. “Perdagangan pada masa Bali Kuno: Pendekatan Sosio Ekonomi”. Dalam Analisis Sumber Tertulis Masa Klasik. Trowulan. tidak diterbitkan.
  27. ^ Christie, Jan Wisseman 1993. “Trade and Value in Pre-Majapahit Java”, Indonesia Circle No 59 & 60.
  28. ^ Christie, Jan Wisseman 1982. Pattern of Trade in Western Indonesia: Ninth through Thirteenth Centuries A.D. London: University of London.
  29. ^ Hirth, Friedrich dan W.W Rockhill (ed.) 1966. Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press.
  30. ^ Lafont, P.B 1981. “Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cam dari Abad XVI sd. Abad XX” dalam Kerajaan Campa, Jakarta: PN Balai Pustaka.
  31. ^ Coedes, G 1981. “Sejarah Campa dari Awal sampai Tahun 1471”. Dalam Kerajaan Campa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
  32. ^ Lombard, Denys 1981. "Campa Dipandang dari Selatan" dalam Kerajaan Campa, Jakarta: PN Balai Pustaka.
  33. ^ Dwiyanto, Djoko 1986. “Pengamatan Terhadap Data Kesejarahan dari Prasasti Wanua Tengah III Tahun 908 Masehi”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
  34. ^ Poesponegoro, Djoened M. dan Nugroho Notosusanto (ed.) 1992a. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid. II. Jakarta: PN Balai Pustaka
  35. ^ Bhusan., Sarkar, Himansu (1985). Cultural relations between India and southeast Asian countries. New Delhi: Indian Council for Cultural Relations and Motilal Banarsidass. ISBN 8120800540. OCLC 14243563. 
  36. ^ Jones, Antoinette M. Barret 1984. Early Tenth Century Java from the Inscriptions, Foris Publication: Dodrecht-Holland.
  37. ^ 1938-1998., Lombard, Denys, (1996). Nusa Jawa: silang budaya : kajian sejarah terpadu (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9789796054510. OCLC 899043166. 
  38. ^ Wheatley, Paul (1961). The Golden Khersonese: Studies in the Historical Geography of the Malay Peninsula before A.D. 1500. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.
  39. ^ Muarif., Ambary, Hasan ([1998]). Menemukan peradaban : jejak arkeologis dan historis Islam Indonesia (edisi ke-Cet. 1). Ciputat: Logos Wacana Ilmu. ISBN 9796260514. OCLC 42753398. 
  40. ^ Groeneveldt, W.P 1960. Historical Notes on Indonesia dan Malaya Compiled from Chinese Sources. Bhatara: Jakarta.
  41. ^ Wolters, O. W. (2001-01-01). Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya (dalam bahasa english). ACLS History E-Book Project. ISBN 9781597401876.
  42. ^ Eriawati, Yusmaini 1994. “Distribusi Barang Melalui Asia Tenggara yang Berlatar Politis”. Dalam Seminar Evaluasi Data dan Interpretasi Baru Sejarah Indonesia Kuna (Dalam rangka purnabhakti Soekarto Kartoatmodjo), Yogyakarta: Puslit Arkenas.
  43. ^ Denys., Lombard, (2000). Nusa Jawa : silang budaya : kajian sejarah terpadu (edisi ke-Cet. 2). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9796054531. OCLC 224219758. 
  44. ^ Nastiti, Titi Surti 1988. Perdagangan pada masa Majapahit dalam AHPA Trowulan, Trowulan
  45. ^ Pinardi, Slamet dan Winston S.D Mambo 1993. ”Perdagangan pada Masa Majapahit”, dalam 700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai, Surabaya: Disparda Propinsi Jawa Timur.
  46. ^ 1939-, Reid, Anthony,; Indonesia., Yayasan Obor (1992-). Asia Tenggara dalam kurun niaga 1450-1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9789794611081. OCLC 422238355. 
  47. ^ Hirth, Friedrich dan W.W Rockhill (ed.) 1966. Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press.
  48. ^ Wheatley, Paul (1961). The Golden Khersonese: Studies in the Historical Geography of the Malay Peninsula before A.D. 1500. Kuala Lumpur: University of Malaya Press
  49. ^ Christie, Jan Wisseman 1993. “Trade and Value in Pre-Majapahit Java”, Indonesia Circle No 59 & 60.
  50. ^ Wheatley, Paul (1961). The Golden Khersonese: Studies in the Historical Geography of the Malay Peninsula before A.D. 1500. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.
  51. ^ Hirth, Friedrich dan W.W Rockhill (ed.) 1966. Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press.
  52. ^ Hirth, Friedrich dan W.W Rockhill (ed.) 1966. Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press.
  53. ^ Hirth, Friedrich dan W.W Rockhill (ed.) 1966. Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press.
  54. ^ De Casparis, J.G.de 1958. Airlangga. Pidato pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar di Universitas Airlangga, Malang.
  55. ^ Ardhika, I Wayan 1999. “Beberapa Pemikiran tentang Studi Perdagangan di Indonesia”. Dalam EHPA. Lembang: tidak diterbitkan
  56. ^ Christie, Jan Wisseman 1982. Pattern of Trade in Western Indonesia: Ninth through Thirteenth Centuries A.D. London: University of London.
  57. ^ Groeneveldt, W.P 1960. Historical Notes on Indonesia dan Malaya Compiled from Chinese Sources. Bhatara: Jakarta.
  58. ^ Hirth, Friedrich dan W.W Rockhill (ed.) 1966. Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press
  59. ^ Hirth, Friedrich dan W.W Rockhill (ed.) 1966. Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press
  60. ^ 1939-, Reid, Anthony,; Indonesia., Yayasan Obor (1992-). Asia Tenggara dalam kurun niaga 1450-1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9789794611081. OCLC 422238355. 
  61. ^ Hirth, Friedrich dan W.W Rockhill (ed.) 1966. Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press.
  62. ^ Pinardi, Slamet dan Winston S.D Mambo 1993. ”Perdagangan pada Masa Majapahit”, dalam 700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai, Surabaya: Disparda Propinsi Jawa Timur.
  63. ^ Reid, Anthony; Pabotinggi, Mochtar; Yayasan Obor Indonesia (1992). Asia Tenggara dalam kurun niaga 1450-1680 (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9794611077. 
  64. ^ Hirth, Friedrich dan W.W Rockhill (ed.) 1966. Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press.
  65. ^ Jones, Antoinette M. Barret 1984. Early Tenth Century Java from the Inscriptions, Foris Publication: Dodrecht-Holland.