Angulimala: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 99: Baris 99:


Sang Buddha memutuskan untuk mendatangi Aṅgulimāla,{{sfn|Malalasekera|1960}} meskipun diperingati oleh para warga desa agar mengurungkan niatnya.{{sfn|Gombrich|2006|p=136}}{{sfn|van Oosten |2008 |page=251 }} Di tengah jalan yang menembus hutan Kosala, mula-mula Aṅgulimāla melihat ibunya.<ref name="Buswell 2013" /> Menurut beberapa versi cerita, ia jadi teringat kembali akan ibunya yang dulu senantiasa menyediakan makanan untuknya.{{sfn|Thompson|2017|p=183}} Namun, setelah melakukan pertimbangan, ia memutuskan untuk menjadikan ibunya sebagai korban ke-1000. Namun saat Sang Buddha juga datang, ia memilih Sang Buddha sebagai pengganti ibunya. Setelah menghunus pedang, ia berlari ke arah Sang Buddha. Meskipun Aṅgulimāla berlari secepat mungkin, ia tak kunjung berhasil menggapai Sang Buddha yang berjalan tenang.<ref name="Buswell 2013" /> Penyebabnya adalah sejumlah [[Ṛddhi|kesaktian]] ({{lang-pi|iddhi|italic=yes}}; {{lang-sa|ṛddhi|italic=yes}}) yang dipakai Buddha untuk menghadapi Aṅgulimāla:{{sfn|Wiltshire |1984|page=91}}{{sfn|Thompson|2015|p=162}} dalam suatu pustaka dinyatakan bahwa Sang Buddha memakai kekuatan tersebut untuk mengendalikan dan meregangkan ruang di antara mereka, sehingga dapat menjaga jarak dengan Aṅgulimāla.{{sfn|Analayo|2008|p=142}} Akhirnya Aṅgulimāla putus asa sehingga ia meminta Sang Buddha untuk berhenti. Sang Buddha kemudian berkata bahwa ia sendiri telah berhenti, dan seharusnya Aṅgulimāla-lah yang berhenti:<ref name="Buswell 2013" />{{sfn|Mathers|2013|page=127}}
Sang Buddha memutuskan untuk mendatangi Aṅgulimāla,{{sfn|Malalasekera|1960}} meskipun diperingati oleh para warga desa agar mengurungkan niatnya.{{sfn|Gombrich|2006|p=136}}{{sfn|van Oosten |2008 |page=251 }} Di tengah jalan yang menembus hutan Kosala, mula-mula Aṅgulimāla melihat ibunya.<ref name="Buswell 2013" /> Menurut beberapa versi cerita, ia jadi teringat kembali akan ibunya yang dulu senantiasa menyediakan makanan untuknya.{{sfn|Thompson|2017|p=183}} Namun, setelah melakukan pertimbangan, ia memutuskan untuk menjadikan ibunya sebagai korban ke-1000. Namun saat Sang Buddha juga datang, ia memilih Sang Buddha sebagai pengganti ibunya. Setelah menghunus pedang, ia berlari ke arah Sang Buddha. Meskipun Aṅgulimāla berlari secepat mungkin, ia tak kunjung berhasil menggapai Sang Buddha yang berjalan tenang.<ref name="Buswell 2013" /> Penyebabnya adalah sejumlah [[Ṛddhi|kesaktian]] ({{lang-pi|iddhi|italic=yes}}; {{lang-sa|ṛddhi|italic=yes}}) yang dipakai Buddha untuk menghadapi Aṅgulimāla:{{sfn|Wiltshire |1984|page=91}}{{sfn|Thompson|2015|p=162}} dalam suatu pustaka dinyatakan bahwa Sang Buddha memakai kekuatan tersebut untuk mengendalikan dan meregangkan ruang di antara mereka, sehingga dapat menjaga jarak dengan Aṅgulimāla.{{sfn|Analayo|2008|p=142}} Akhirnya Aṅgulimāla putus asa sehingga ia meminta Sang Buddha untuk berhenti. Sang Buddha kemudian berkata bahwa ia sendiri telah berhenti, dan seharusnya Aṅgulimāla-lah yang berhenti:<ref name="Buswell 2013" />{{sfn|Mathers|2013|page=127}}
{{blockquote|Angulimala, aku telah berhenti selamanya ({{lang-pi|ṭhita|italic=yes}}), aku bebas dari kekerasan terhadap makhluk hidup ({{lang-pi|daṇḍa|italic=yes}}); tetapi engkau tidak punya pengendalian diri ({{lang-pi|asaññato|italic=yes}}) terhadap makhluk-makhluk hidup; itulah sebabnya aku telah berhenti dan engkau belum.{{sfn|Wiltshire |1984|page=91}}<ref name="samaggi">{{references|url=https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/angulimala-sutta/|title=Angulimala Sutta|publisher=Samaggi Phala}}</ref>
{{blockquote|Angulimala, aku telah berhenti selamanya ({{lang-pi|ṭhita|italic=yes}}), aku bebas dari kekerasan terhadap makhluk hidup ({{lang-pi|daṇḍa|italic=yes}}); tetapi engkau tidak punya pengendalian diri ({{lang-pi|asaññato|italic=yes}}) terhadap makhluk-makhluk hidup; itulah sebabnya aku telah berhenti dan engkau belum.{{sfn|Wiltshire |1984|page=91}}<ref name="samaggi">{{cite web|url=https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/angulimala-sutta/|title=Angulimala Sutta|publisher=Samaggi Phala}}</ref>
}}
}}
Aṅgulimāla bertanya untuk penjelasan lebih lanjut, dan akhirnya Sang Buddha berkata bahwa seorang biksu yang baik harus mengendalikan keinginannya.{{sfn|Thompson|2015|pp=162–3}} Aṅgulimāla terkesima oleh keberanian Sang Buddha,{{sfn|Analayo|2008|p=145}} dan menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.{{sfn|Thompson|2017|p=177}} Setelah mendengarkan khotbah Buddha, akhirnya Aṅgulimāla bertobat, lalu bersumpah untuk meletakkan senjata dan bergabung dengan [[sangha]] Buddha.{{sfn|Gombrich|2006|p=135}}{{sfn|Analayo|2008|pp=142–3}}{{sfn|van Oosten |2008 |page=252 }} Ia [[upasampada|ditahbiskan]] di biara [[Jetawana]].{{sfn|Thompson|2015|p=163}}
Aṅgulimāla bertanya untuk penjelasan lebih lanjut, dan akhirnya Sang Buddha berkata bahwa seorang biksu yang baik harus mengendalikan keinginannya.{{sfn|Thompson|2015|pp=162–3}} Aṅgulimāla terkesima oleh keberanian Sang Buddha,{{sfn|Analayo|2008|p=145}} dan menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.{{sfn|Thompson|2017|p=177}} Setelah mendengarkan khotbah Buddha, akhirnya Aṅgulimāla bertobat, lalu bersumpah untuk meletakkan senjata dan bergabung dengan [[sangha]] Buddha.{{sfn|Gombrich|2006|p=135}}{{sfn|Analayo|2008|pp=142–3}}{{sfn|van Oosten |2008 |page=252 }} Ia [[upasampada|ditahbiskan]] di biara [[Jetawana]].{{sfn|Thompson|2015|p=163}}

Revisi per 21 Februari 2020 13.48

Aṅgulimāla
Ilustrasi Angulimala sedang mencoba mengejar Buddha Gautama.
Nama lainAhiṃsaka, Gagga Mantānīputta
Informasi pribadi
Lahir
AgamaAgama Buddha
KebangsaanIndia
PendidikanTaxila
Kedudukan senior
GuruBuddha Gautama
Terjemahan dari
Aṅgulimāla
Inggrisartinya 'kalung jari' ('ia yang mengenakan jari sebagai kalung')
PaliAṅgulimāla
SanskritAṅgulimāliya, Aṅgulimālya[1]
Tionghoa央掘魔羅
(PinyinYāngjuémóluó)
Myanmarအင်္ဂုလိမာလ
(MLCTS: ʔɪ̀ɴɡṵlḭmàla̰)
Thaiองคุลิมาล, องคุลีมาล
(RTGS: Ongkhuliman)
Khmerអង្គុលីមាល៍
(Ankulimea)
Sinhalaඅංගුලිමාල
Daftar Istilah Buddhis

Aṅgulimāla (Bahasa Pāli; artinya 'kalung jari')[1][2] adalah salah satu tokoh penting dalam agama Buddha, terutama dalam tradisi Buddha Theravāda. Digambarkan sebagai perampok bengis yang sepenuhnya bertobat setelah mengikuti ajaran Sang Buddha, ia menjadi contoh terkemuka dalam hal pertobatan dan menunjukkan kecakapan Sang Buddha sebagai guru. Aṅgulimāla dipandang oleh umat Buddha sebagai pelindung bagi wanita yang sedang melahirkan, dan diasosiasikan dengan fertilitas di Asia Selatan dan Tenggara.

Cerita Aṅgulimāla dapat ditemukan pada sejumlah pustaka berbahasa Pāli, Sanskerta, Tibet, dan Tionghoa. Aṅgulimāla lahir dengan nama Ahiṃsaka. Ia tumbuh sebagai pemuda cerdas di Sawati, dan saat bersekolah, ia menjadi murid kesayangan guru. Karena teman-temannya iri, ia dijebak agar diusir gurunya. Dalam upaya menyingkirkan Aṅgūlimāla, sang guru memberinya misi berbahaya, yaitu mengumpulkan seribu jari manusia sebagai syarat menamatkan pendidikan. Dalam upaya menuntaskan misi tersebut, akhirnya Aṅgulimāla menjadi perampok keji, membunuh banyak orang, dan menyebabkan seluruh warga desa mengungsi. Peristiwa tersebut menyebabkan Raja Pasenadi dari Kosala mengirim tentara untuk menangkapnya. Sementara itu, ibu Aṅgulimāla berniat untuk turun tangan, yang membuatnya nyaris dibunuh oleh Aṅgulimāla. Sang Buddha mencegah hal itu terjadi dengan memakai kesaktian dan ajarannya untuk membawa Aṅgulimāla ke jalan yang benar. Aṅgulimāla kemudian menjadi pengikut Buddha, dan menjadi seorang bhikkhu di bawah bimbingan Sang Buddha, sehingga mengejutkan raja dan masyarakat. Meskipun telah bertobat, para penduduk desa masih marah dengan apa yang telah dilakukan oleh Aṅgulimāla, tetapi keadaan membaik saat Aṅgulimāla menolong seorang ibu yang sedang melahirkan dengan sebuah tindak kebajikan.

Para cendekiawan berteori bahwa Aṅgulimāla adalah bagian dari kultus kekerasan sebelum ia bertobat. Indolog, Richard Gombrich, menyatakan bahwa ia adalah pengikut bentuk awal ajaran Tantra, tetapi klaim tersebut telah dibantah. Umat Buddha menganggap Aṅgulimāla sebagai lambang transformasi spiritual, dan ceritanya adalah sebuah pelajaran bahwa kehidupan setiap orang dapat menjadi lebih baik, bahkan bagi orang-orang yang tampaknya tidak memiliki kemungkinan begitu. Selain itu, cerita Aṅgulimāla menjadi bahan diskusi tentang keadilan dan rehabilitasi di kalangan cendekiawan, dan dipandang oleh teolog John Thompson sebagai contoh bagus dalam mengatasi luka moral, serta etika kepedulian. Aṅgulimāla menjadi subjek film dan sastra, seperti film Thailand yang berjudul Angulimala (2003), dan buku The Buddha and the Terrorist karya Satish Kumar mengadaptasi cerita tersebut sebagai tanggapan tanpa kekerasan terhadap perang melawan terorisme.

Sumber pustaka dan epigrafi

Buddhaghoṣa (komentator dari abad ke-5 M; digambarkan di bagian kanan)

Cerita Aṅgulimāla sangat dikenal dalam tradisi Theravāda.[3] Dua naskah dalam pustaka Buddhis berbahasa Pali mencatat kisah Aṅgulimāla dengan Sang Buddha—dari pertemuan pertama hingga pertobatannya—dan diyakini telah menyajikan versi tertua dari cerita tersebut.[4][5][note 1] Naskah pertama adalah Theragathā—kemungkinan merupakan karya yang tertua[3]—dan yang kedua adalah Sutta Aṅgulimāla dalam Majjhima Nikāya.[7] Kedua naskah tersebut memberikan uraian singkat tentang pertemuan Aṅgulimāla dengan Sang Buddha, dan tak mencatat berbagai kisah latar belakang yang kemudian digabungkan ke dalam cerita tersebut (seperti Aṅgulimāla menyatakan sumpah kepada gurunya).[8][3] Selain naskah-naskah Pāli, kehidupan Aṅgulimāla juga disebutkan dalam naskah berbahasa Tibet dan Tionghoa, yang bermula dari Sanskerta.[8][5] Kumpulan cerita Sanskerta berjudul Saṃyuktāgama dari mazhab Mūlasārwastiwāda kuno, telah diterjemahkan ke dalam dua naskah Tionghoa (pada abad ke-4 sampai ke-5 Masehi) oleh mazhab Sarwāstiwāda dan Kāśyapīya kuno, dan juga memuat berbagai versi dari cerita tersebut.[9][5][10] Sebuah naskah yang diterjemahkan ke bahasa Tionghoa dari naskah Sanskerta Ekottara Agāma oleh mazhab Mahāsaṃghika juga diketahui. Selain itu, tiga naskah Tionghoa lainnya yang berkisah tentang Aṅgulimāla juga ditemukan, yang tak diketahui asal usulnya tapi berbeda dengan tiga naskah Tionghoa pertama.[11]

Selain naskah-naskah kuno tersebut, ada juga kisah tambahan berikutnya, yang muncul dalam komentar tentang Majjhima Nikāya yang diatributkan kepada Buddhaghosa (abad ke-5 M), dan komentar tentang Theragathā yang diatributkan kepada Dhammapāla (abad ke-6 M).[8] Dua komentar tersebut tampaknya tidak dibuat sendiri-sendiri: Dhammapāla tampaknya telah menyalin atau hampir menafsirkan tulisan Buddhaghosa, meskipun menambahkan penjelasan tentang sejumlah inkonsistensi.[4][5] Kisah terawal tentang kehidupan Aṅgulimāla menekankan sifat kejamnya dan—bertolak belakang dengan hal tersebut—sifat damai Sang Buddha. Kisah-kisah berikutnya dimaksudkan untuk menambahkan detail dan mengklarifikasi hal-hal yang tak sesuai dengan ajaran Buddha.[12]

Sebagai contoh, suatu masalah yang mungkin menimbulkan pertanyaan adalah perubahan mendadak dari seorang pembunuh menjadi murid tercerahkan—kisah-kisah berikutnya mencoba untuk menjelaskan hal tersebut.[13] Namun, kisah-kisah berikutnya juga mencantumkan berbagai mukjizat dengan sejumlah detail peristiwa yang cenderung mengalihkan maksud utama cerita.[14] Pustaka-pustaka Pāli kuno (bahasa Pali: sutta) tak menjelaskan alasan atas tindakan Aṅgulimāla, selain kekejaman belaka.[15] Sejumlah naskah pada masa berikutnya menunjukkan usaha para cendekiawan untuk "memperbaiki" karakter Aṅgulimāla, menjadikannya tampak sebagai manusia yang pada dasarnya baik tapi terjebak oleh keadaan, daripada sekadar pembunuh keji semata.[16][17] Selain sutta dan paritta, ada pula kisah-kisah Jātaka, Milindapañhā, dan sebagian peraturan bagi biksu dan biksuni yang berkaitan dengan Aṅgulimāla, serta kronik Mahāwaṃsa pada masa berikutnya.[18]

Naskah-naskah pada masa berikutnya dalam berbagai bahasa yang berkaitan dengan kehidupan Aṅgulimāla meliputi naskah Awadāna berjudul Sataka,[19] serta kumpulan cerita berikutnya yang berjudul Kisah tentang Orang Bijaksana dan Orang Dungu, yang tersedia dalam bahasa Tibet dan Tionghoa.[20] Ada pula catatan perjalanan para peziarah Tionghoa yang menyebut Aṅgulimāla secara singkat.[21] Selain uraian kehidupan Aṅgulimāla, terdapat pustaka Mahāyāna berjudul Sūtra Aṅgulimālīya, yang berisi ceramah Buddha Gautama kepada Aṅgulimāla. Ini adalah salah satu Sūtra Tathāgatagarbha, sekelompok pustaka yang menjelaskan tentang sifat kebuddhaan.[1][22] Terdapat sūtra lain dengan judul yang sama, merujuk kepada naskah Tionghoa, yang dipakai untuk mendukung pantangan umat Buddha dalam mengkonsumsi minuman beralkohol. Namun, naskah tersebut tak ditemukan.[23] Selain bukti tekstual, bukti epigrafi kuno juga ditemukan. Salah satu relief kuno yang menggambarkan Aṅgulimāla dibuat sekitar abad ke-3 SM.[24]

Cerita

Kelahiran sebelumnya

Berbagai pustaka mengisahkan kehidupan masa lampau sebelum Aṅgulimāla bertemu Buddha Gautama. Pada kehidupan sebelumnya, ia lahir sebagai raja pemakan manusia yang berubah menjadi yaksa (bahasa Pali: yakkha, sejenis siluman; Sanskerta: yakṣa),[25][26] yang tercatat dalam sejumlah pustaka dengan nama Saudāsa.[27] Saudāsa mulai gemar menyantap daging manusia setelah dihidangkan daging jenazah bayi. Setelah ketagihan, rakyatnya mulai mengkhawatirkan keselamatan anak-anak mereka sehingga ia diusir dari kerajaannya sendiri.[28][note 2] Setelah berubah menjadi siluman, Saudāsa bertemu seorang dewa yang berjanji dapat memulihkan status Saudāsa sebagai raja jika ia berhasil mengurbankan seratus raja.[26] Ketika 99 raja telah dikurbankan, raja ke-100 yang bernama Sutasoma berhasil mengubah pikiran Saudāsa, menjadikannya orang yang religius dan membuatnya berhenti melakukan tindak kekerasan. Dalam pustaka, Sutasoma diidentifikasikan sebagai bakal Buddha Gautama,[26][27] dan Saudāsa sebagai bakal dari Aṅgulimāla.[29]

Namun menurut Ekottara Agāma, pada kehidupan sebelumnya, Aṅgulimāla adalah seorang putra mahkota yang bersifat baik sehingga membuat iri para musuhnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir di tangan musuh-musuhnya, ia bersumpah akan membalas dendam, dan mencapai Nirwana di bawah bimbingan seorang guru, pada kehidupan berikutnya. Versi tersebut kesannya memberikan pembenaran atas tindak pembunuhan yang dilakukan Aṅgulimāla.[30]

Masa muda

Reruntuhan Taxila, sekarang Pakistan.

Menurut sebagian besar pustaka, Aṅgulimāla lahir di Sāwatī,[27][note 3] dalam keluarga brahmana (agamawan) dari klan Gagga. Ayahnya bernama Bhaggava, seorang pendeta yang mengabdi pada Raja Pasenadi, penguasa Kosala sedangkan ibunya bernama Mantānī.[19] Menurut kitab-kitab ulasan, sejumlah pertanda yang mengiringi kelahiran anak tersebut (senjata-senjata mengeluarkan cahaya dan kemunculan "rasi bintang maling" di langit)[19] memberi isyarat bahwa ia akan menjadi penjahat.[25][31] Saat ayahnya menafsirkan pertanda-pertanda tersebut, sang raja bertanya apakah anak tersebut akan menjadi perampok tunggal atau memimpin kelompok penjahat. Setelah Bhaggava menjawab bahwa ia akan menjadi perampok tunggal, raja memutuskan untuk membiarkannya hidup.[31]

Buddhaghosa menyatakan bahwa sang ayah menamai anaknya Ahiṃsaka, yang artinya 'orang tak berbahaya'.[19] Ini berasal dari kata ahiṃsa (tanpa kekerasan), karena tak ada orang yang tersakiti pada masa kelahirannya, meskipun ada pertanda-pertanda buruk.[1] Menurut ulasan dari Dhammapāla, awalnya ia dinamai Hiṃsaka ('orang berbahaya') oleh sang raja yang khawatir, tapi nama tersebut kemudian diganti.[19]

Saat dewasa, Ahiṃsaka menjadi orang yang tampan, cerdas, dan berperilaku baik.[25][9] Orangtuanya menyekolahkannya ke Taxila untuk belajar di bawah bimbingan para guru terkemuka. Di sana, ia unggul dalam pelajaran dan menjadi murid kesayangan gurunya, serta mendapatkan hak-hak khusus di rumah gurunya. Namun, murid-murid yang lain menjadi iri dengan kemampuan Ahiṃsaka dan berusaha agar ia dimusuhi guru.[19] Akhirnya, mereka menuduh Ahiṃsaka menggoda istri gurunya.[25] Karena tak berniat atau tak dapat menyerang Ahiṃsaka secara langsung,[note 4] sang guru berkata bahwa pendidikan Ahiṃsaka sebenarnya hampir selesai, tapi ia harus memberikan tanda terima kasih kepada gurunya, sebelum sang guru menyatakan kelulusannya. Sebagai pembayaran, sang guru meminta seribu jari manusia, masing-masing diambil dari orang yang berbeda, karena berpikir bahwa Aṅgulimāla pasti terbunuh dalam upaya memenuhi permintaan yang mengerikan itu.[19][9][note 5] Menurut Buddhaghosa, Ahiṃsaka menentangnya, dengan berkata bahwa ia berasal dari keluarga baik-baik, tapi sang guru membujuknya.[35] Namun menurut sumber lain, Ahiṃsaka tak menentang perintah gurunya.[25]

Dalam versi lain diceritakan bahwa istri gurunya berniat untuk menggoda Ahiṃsaka. Karena Ahiṃsaka menolak, ia menjadi tak senang dan berkata kepada suaminya bahwa Ahiṃsaka telah berusaha untuk menggodanya. Kemudian kisah tersebut berlanjut ke jalan cerita yang sama.[1][9]

Hidup sebagai perampok

Setelah diperintahkan oleh gurunya, akhirnya Aṅgulimāla menjadi seorang penyamun, berdiam di ngarai di tengah hutan bernama Jālinī, untuk mengintai orang-orang berlalu lalang, lalu membunuh atau melukai mereka.[37][19][25] Ia masyhur akan kecakapannya dalam membegal para korbannya.[38] Setelah orang-orang menghindari jalur tersebut, ia memasuki pemukiman dan menyeret warga dari rumah mereka untuk dibunuh. Akhirnya seluruh warga mengungsi.[19][35] Ia tak pernah merampas baju atau perhiasan dari para korbannya, melainkan hanya jari-jari mereka saja.[35] Sebagai pengingat berapa jumlah korban yang didapatkan, ia menguntai jari-jari tersebut lalu menggantungnya di pohon. Namun, karena sisa daging pada jari-jari tersebut menjadi incaran burung-burung, ia mengenakannya seperti sebuah "kalung". Akhirnya ia dikenal sebagai Aṅgulimāla, yang artinya 'kalung jari'.[1][35] Dalam beberapa relief, ia digambarkan mengenakan hiasan kepala dari jari, bukan kalung.[39]

Bertemu Sang Buddha

Lukisan di sebuah wihara di Sravasti, India, yang menggambarkan Aṅgulimāla sedang mencoba mengejar Buddha Gautama.

Para penduduk desa yang masih hidup akhirnya mengungsi dari wilayah tersebut, dan mengeluh kepada Pasenadi, raja Kosala.[40][41] Pasenadi menanggapinya dengan mengirim 500 prajurit untuk memburu Aṅgulimāla.[42] Sementara itu, orang tua Aṅgulimāla mendengar kabar bahwa Pasenadi memburu seorang penjahat. Karena Aṅgulimāla lahir dengan pertanda-pertanda buruk, mereka berpikir bahwa yang diburu pasti dia. Kendati ayahnya tidak mau ikut campur,[note 6] ibunya tetap cemas.[40][41][note 7] Karena mengkhawatirkan keselamatan putranya, ia memutuskan untuk menemukan Aṅgulimāla, agar dapat memberi tahu niat sang raja, serta mengajak putranya pulang.[43][25] Melalui mata batin (bahasa Pali: abhiñña), Sang Buddha mengetahui bahwa Aṅgulimāla telah menjagal 999 orang, dan bersusah payah mendapatkan yang ke-1000.[44][note 8] Jika Sang Buddha mendatangi Aṅgulimāla pada hari itu, Aṅgulimāla akan menjadi biksu, lalu meraih abhiñña.[44] Namun, jika Aṅgulimāla malah membunuh ibunya, sang ibu akan menjadi korban ke-1000, sementara Aṅgulimāla tak akan terselamatkan,[1][41] karena menurut ajaran Buddha, pembunuhan terhadap ibu sendiri diyakini sebagai salah satu dari lima macam karma terburuk yang dapat dilakukan seseorang.[46][47]

Sang Buddha memutuskan untuk mendatangi Aṅgulimāla,[19] meskipun diperingati oleh para warga desa agar mengurungkan niatnya.[15][48] Di tengah jalan yang menembus hutan Kosala, mula-mula Aṅgulimāla melihat ibunya.[1] Menurut beberapa versi cerita, ia jadi teringat kembali akan ibunya yang dulu senantiasa menyediakan makanan untuknya.[49] Namun, setelah melakukan pertimbangan, ia memutuskan untuk menjadikan ibunya sebagai korban ke-1000. Namun saat Sang Buddha juga datang, ia memilih Sang Buddha sebagai pengganti ibunya. Setelah menghunus pedang, ia berlari ke arah Sang Buddha. Meskipun Aṅgulimāla berlari secepat mungkin, ia tak kunjung berhasil menggapai Sang Buddha yang berjalan tenang.[1] Penyebabnya adalah sejumlah kesaktian (bahasa Pali: iddhi; Sanskerta: ṛddhi) yang dipakai Buddha untuk menghadapi Aṅgulimāla:[38][5] dalam suatu pustaka dinyatakan bahwa Sang Buddha memakai kekuatan tersebut untuk mengendalikan dan meregangkan ruang di antara mereka, sehingga dapat menjaga jarak dengan Aṅgulimāla.[50] Akhirnya Aṅgulimāla putus asa sehingga ia meminta Sang Buddha untuk berhenti. Sang Buddha kemudian berkata bahwa ia sendiri telah berhenti, dan seharusnya Aṅgulimāla-lah yang berhenti:[1][51]

Angulimala, aku telah berhenti selamanya (bahasa Pali: ṭhita), aku bebas dari kekerasan terhadap makhluk hidup (bahasa Pali: daṇḍa); tetapi engkau tidak punya pengendalian diri (bahasa Pali: asaññato) terhadap makhluk-makhluk hidup; itulah sebabnya aku telah berhenti dan engkau belum.[38][52]

Aṅgulimāla bertanya untuk penjelasan lebih lanjut, dan akhirnya Sang Buddha berkata bahwa seorang biksu yang baik harus mengendalikan keinginannya.[53] Aṅgulimāla terkesima oleh keberanian Sang Buddha,[54] dan menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.[55] Setelah mendengarkan khotbah Buddha, akhirnya Aṅgulimāla bertobat, lalu bersumpah untuk meletakkan senjata dan bergabung dengan sangha Buddha.[56][57][58] Ia ditahbiskan di biara Jetawana.[43]

Pertobatan dan kematian

Ilustrasi Aṅgulimāla meletakkan senjata di hadapan Sang Buddha, menunjukkan pertobatannya. Lukisan di sebuah wihara di Hat Yai, Thailand Selatan.

Sementara itu, Raja Pasenadi masih berniat untuk membunuh Aṅgulimāla. Mula-mula ia mengunjungi Sang Buddha dan para pengikutnya di Jetavana.[11] Ia menjelaskan keperluannya kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha menanyakan bagaimana tanggapan sang raja apabila ia mendapati bahwa Aṅgulimāla telah bertobat dan menjadi biksu. Sang raja berkata bahwa ia akan menghormati Aṅgulimāla dan menanggung kehidupannya di wihara. Lalu Sang Buddha menyatakan bahwa Aṅgulimāla sedang duduk dengan jarak beberapa kaki darinya—dengan rambut dan jenggot yang telah dipotong—sebagai anggota sangha Buddha. Dengan perasaan takjub bercampur senang, sang raja memanggil Aṅgulimāla dengan nama klan dan ibunya (bahasa Pali: Gagga Mantānīputta) dan menyumbangkan jubah kepadanya. Namun, Aṅgulimāla tidak mau menerima hadiah tersebut, karena sedang menjalankan pengendalian diri.[19][9]

Pada akhirnya, sang raja mengampuni Aṅgulimāla. Pernyataan tersebut diakui oleh ahli agama Buddha André Bareau yang mengamati bahwa terdapat kesepakatan tak tertulis untuk tidak saling turut campur antara Sang Buddha dengan para raja dan penguasa pada masa itu.[59]

Kemudian, Aṅgulimāla melihat seorang wanita muda yang mengalami kesulitan saat melahirkan.[note 9] Aṇgulimāla merasa tergerak, dan memahami rasa sakit serta belas kasihan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya saat masih menjadi perampok.[60][58][45] Ia mendatangi Sang Buddha dan menanyakan apakah ia dapat mengurangi penderitaan wanita tersebut. Sang Buddha menganjurkan Aṅgulimāla untuk pergi mendatangi wanita tersebut dan berkata:

Saudari, sejak saya terlahir di dalam kelahiran mulia, saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga Anda sejahtera dan bayi Anda sejahtera![52]

Aṅgulimāla menekankan bahwa ini akan menjadi ketidakbenaran baginya untuk berkata demikian, sehingga Sang Buddha menanggapinya dengan kalimat berbeda:

Saudari, sejak saya terlahir dengan kelahiran mulia, saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga Anda sejahtera dan bayi Anda sejahtera!.[52][1]

Di sini Sang Buddha menekankan tekad Angulimala yang memilih untuk menjadi seorang biksu,[1] menyatakannya sebagai kelahiran kedua yang bertolak belakang dengan kehidupan sebelumnya sebagai perampok.[61][15] Jāti artinya kelahiran, tapi kata tersebut juga diberi keterangan dalam ulasan pustaka berbahasa Pāli sebagai klan atau garis keturunan (bahasa Pali: gotta). Sehingga, kata jāti disini juga merujuk kepada garis perguruan para Buddha, yaitu komunitas sangha.[62]

Setelah Aṅgulimāla melakukan "tindak kebajikan" tersebut, sang wanita melahirkan anaknya dengan selamat. Paritta tersebut kemudian menjadi salah satu paritta perlindungan, yang umumnya disebut paritta Aṅgulimāla.[63][64] Sejumlah sangha senantiasa membacakan paritta tersebut saat memberkati wanita hamil di negara-negara berpenganut Theravāda,[65][66] dan kerap menghafalkannya sebagai bagian dari pelatihan sangha.[49] Maka, Aṅgulimāla sering dipandang sebagai "pelindung" persalinan oleh para pengikut Buddha. Perubahan dari seorang pembunuh menjadi orang yang memberikan perlindungan atas kelahiran merupakan transformasi besar.[7]

Peristiwa tersebut membantu Aṅgulimāla menemukan kedamaian.[60] Setelah menunjukkan tindak kebajikan, ia dianggap "memberikan kehidupan daripada kematian bagi penduduk"[60] dan masyarakat mulai menerimanya serta berderma makanan.[67]

Namun, beberapa orang masih tak dapat melupakan bahwa ia bertanggung jawab atas kematian orang-orang yang mereka cintai. Dengan tongkat dan batu, mereka menyerangnya saat ia meminta-minta sumbangan. Dalam kondisi kepala berdarah, jubah luar robek, dan pata (mangkuk amal) pecah, Aṅgulimāla berhasil kembali ke wihara. Sang Buddha menasihati Aṅgulimāla agar menerima siksaan tersebut dengan ikhlas hati; ia menyatakan bahwa Aṅgulimāla sudah merasakan akibat dari karma yang seharusnya dapat membuatnya terlahir di neraka.[19][1][68] Sebagai murid tercerahkan, batin Aṅgulimāla tetap tenang dan tak tergoyahkan.[1] Menurut ajaran Buddha, murid-murid tercerahkan tidak dapat membuat karma baru, tapi masih dapat merasakan akibat dari karma lama yang pernah mereka lakukan.[69][58] Hasil karma tak terhindarkan, bahkan Sang Buddha pun tak dapat menghentikannya.[70]

Setelah memperbolehkan Aṅgulimāla bergabung dengan sangha, Sang Buddha mengeluarkan aturan yang berlaku sejak saat itu, yaitu melarang diterimanya penjahat sebagai biksu dalam sangha.[19][71] Buddhaghosa menyatakan bahwa Aṅgulimāla meninggal tak lama setelah menjadi biksu.[19][71] Setelah kematiannya, sebuah diskusi timbul di kalangan biksu tentang alam kehidupan apakah yang dicapai oleh Aṅgulimāla. Saat Sang Buddha menyatakan bahwa Aṅgulimāla telah mencapai Nirwana, hal tersebut mengejutkan beberapa biksu. Mereka terkejut dan bertanya bagaimana mungkin seseorang yang membunuh banyak orang masih bisa mencapai pencerahan. Sang Buddha menjawab bahwa bahkan setelah melakukan banyak kejahatan, seeorang masih memiliki kemungkinan untuk berubah menjadi lebih baik dan meraih pencerahan.[72]

Analisis

Stupa Angulimala, bagian dari biara Jetawana di Srawasti, Uttar Pradesh, India

Sejarah

Pemberian kenang-kenangan kepada seorang guru merupakan hal yang lazim pada zaman India Kuno. Terdapat contoh dalam "Pauṣyaparwa"[note 10] dari wiracarita Mahābharatha. Diceritakan bahwa seorang guru menugaskan muridnya yang bernama Utangka untuk pergi setelah Utangka menyatakan bahwa dirinya layak untuk dipercaya, serta menguasai ajaran Weda dan Dharmashastra. Utangka berkata kepada gurunya:

"Apakah yang dapat saya lakukan untuk menyenangkan hatimu (Sanskerta: kiṃ te priyaṃ karavāni), karena pernah dikatakan: Barang siapa menjawab tanpa [selaras dengan] darma, dan barang siapa yang bertanya tanpa [selaras dengan] darma, maka yang terjadi: seseorang mati atau seseorang memicu permusuhan."

Indolog Friedrich Wilhelm menyatakan bahwa kalimat yang sama tercantum dalam Manusmerti (II:111) dan dalam Wisnusmerti. Menurut ajaran berbasis Weda, dengan berpamitan kepada guru serta berjanji untuk melakukan apapun yang guru mau, dapat memberikan pencerahan atau pencapaian semacam itu. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila Aṅgulimāla diceritakan mau melaksanakan perintah kejam dari gurunya—meskipun sebenarnya ia orang baik dan murah hati—dengan pemikiran bahwa pada akhirnya ia akan meraih pencapaian tertinggi.[73]

Ilustrasi Xuan Zang, peziarah dari Tiongkok (602–64 M). Gagasan bahwa Aṅgulimāla adalah bagian dari kultus kekerasan dikemukakan olehnya.

Indolog Richard Gombrich menyatakan bahwa kisah Aṅgulimāla adalah pertemuan historis antara Sang Buddha dan seorang pengikut ajaran tantra aliran Saiwa atau Sakta.[74] Gombrich menarik kesimpulan tersebut atas dasar sejumlah inkonsistensi dalam manuskrip yang mengindikasikan adanya pengubahan,[75] serta penjelasan kurang memuaskan tentang perilaku Aṅgulimāla yang diuraikan oleh para penafsir.[76][77] Ia menyatakan bahwa terdapat beberapa rujukan lain dalam kanon Pāli yang tampaknya mengindikasikan keberadaan para pengikut Siwa, Kāli, dan dewa-dewi lainnya yang berkaitan dengan ritual berdarah-darah ajaran tantra.[78] Inkonsistensi tekstual yang ditemukan dapat dijelaskan melalui teori tersebut.[79]

Gagasan bahwa Aṅgulimāla adalah bagian dari kultus kekerasan dikemukakan oleh peziarah Tionghoa Xuan Zang (602–64 M). Dalam catatan perjalanannya, Xuan Zang menyatakan bahwa Aṅgulimāla diajari oleh gurunya bahwa ia akan lahir di alam Brahma jika berhasil membunuh seorang Buddha. Sebuah manuskrip Tionghoa kuno memberikan penjelasan serupa, menyatakan bahwa guru dari gurunya Aṅgulimāla memberikan ajaran kejam tersebut, untuk mencapai keabadian.[80] Pernyataan Xuan Zang kemudian dikembangkan oleh orang-orang Barat yang menerjemahkan catatan perjalanan Xuan Zang pada awal abad ke-20, tapi sebagian berdasarkan pada kesalahan terjemahan.[81][82] Bagaimanapun, Gombrich merupakan cendekiawan modern yang pertama kali mengemukakan gagasan tersebut. Namun, pernyataannya bahwa praktik tantra telah ada sebelum selesainya penyusunan kitab-kitab Buddhis (dua sampai tiga abad Sebelum Masehi) bertolak belakang dengan pengetahuan umum. Konsensus ilmiah menetapkan kebangkitan kultus tantra perdana pada masa sekitar seribu tahun kemudian, dan tak ada bukti kuat yang ditemukan—baik bukti tertulis atau lainnya—tentang praktik tantra berdarah pada masa sebelumnya.[77][83] Meskipun Gombrich berpendapat bahwa ada praktik antinomianis lain yang serupa (bertentangan dengan norma moral)—yang hanya disebutkan sekali saja dalam kitab suci Buddha dan tak dapat ditemukan di luar kitab tersebut[84]—cendekiawan kajian agama Buddha, Mudagamuwa dan Von Rospatt menyatakannya sebagai contoh yang keliru. Mereka juga mempermasalahkan argumen metrikal Gomrich, sehingga tidak sependapat dengan hipotesis Gomrich terkait Aṅgulimāla. Meskipun demikian, mereka menganggap ada kemungkinan bahwa praktik kekerasan yang dilakukan Angulimāla merupakan salah satu jenis kultus bersejarah.[85] Cendekiawan kajian agama Buddha L. S. Cousins juga mengungkapkan keraguan terhadap teori Gombrich.[86]

Dalam terjemahan Tionghoa dari Damamūkāwadāna oleh Hui-chiao,[87] demikian pula dalam temuan-temuan arkeologis,[27] Aṅgulimāla diidentifikasikan dengan Raja Kalmasapada atau Saudāsa dalam mitologi Hindu, yang dikenal sejak zaman Weda. Manuskrip kuno seringkali menceritakan kehidupan Saudāsa sebagai kehidupan Aṅgulimāla sebelumnya, dan kedua tokoh tersebut menghadapi masalah untuk menjadi seorang brahmana yang baik.[27]

Dalam kajiannya tentang seni rupa di wilayah Gandhāra, arkeolog Maurizio Taddei berteori bahwa cerita Aṅgulimāla mungkin mengacu pada sebuah mitologi India tentang seorang yaksa yang hidup di alam liar. Dalam banyak penggambaran, Aṅgulimāla mengenakan hiasan kepala, yang dikatakan oleh Taddei sebagai contoh ikonografi Dionisian. Namun, sejarawan seni rupa Pia Brancaccio berpendapat bahwa hiasan kepala adalah penanda khas India untuk figur yang berkaitan dengan alam liar atau perburuan.[39] Ia sependapat dengan Taddei bahwa penggambaran Aṅgulimāla— khususnya di Gandhāra—dalam banyak hal mengingatkan pada tema Dionisian dalam mitologi dan seni rupa Yunani, dan nampaknya memang sangat dipengaruhi.[88] Namun, Brancaccio berpendapat bahwa hiasan kepala adalah penanda khas India, yang dipakai oleh para seniman untuk memberi ciri bahwa Aṅgulimāla berasal dari suku pedalaman, ditakuti oleh umat Buddha awal yang sebagian besar masyarakat urban.[89]

Ajaran

Di kalangan umat Buddha, Aṅgulimāla adalah salah satu cerita paling terkenal.[56] Tak hanya pada masa kini: pada zaman kuno, dua peziarah asal Tionghoa yang datang dari India membuat laporan berisi cerita tersebut, serta memberitahukan tempat-tempat yang mereka kunjungi yang berkaitan dengan kehidupan Aṅgulimāla.[43] Dari sudut pandang umat Buddha, cerita Aṅgulimāla dijadikan contoh bahwa orang bertabiat buruk sekalipun dapat mengatasi kesalahan mereka dan kembali ke jalan yang benar.[90] Sejumlah tafsiran memakai cerita tersebut sebagai contoh karma baik dapat mengatasi karma buruk.[19] Umat Buddha menganggap Aṅgulimāla sebagai simbol transformasi menyeluruh[25] dan sebagai contoh bahwa ajaran Buddha dapat mengubah orang yang tampaknya tidak memungkinkan.[91] Umat Buddha mengangkat cerita Aṅgulimāla sebagai contoh tindakan welas asih (bahasa Pali: karuṇa) dan kekuatan adikodrati (bahasa Pali: iddhi) dari Sang Buddha.[19] Pertobatan Aṅgulimāla dikutip sebagai pengakuan akan kecakapan Sang Buddha sebagai guru,[10] dan contoh kemanjuran dari ajaran Buddha (darma).[92]

Melalui jawabannya, Sang Buddha menghubungkan gagasan 'menahan diri dari kekerasan' (bahasa Pali: avihiṃsa) dengan henti, yang menjadi sebab dan akibat dari tiadanya kekerasan. Selain itu, cerita tersebut mengilustrasikan bahwa terdapat kekuatan spiritual dalam sikap henti tersebut, saat Sang Buddha digambarkan tak mampu dikejar Aṅgulimāla yang penuh kekerasan. Meskipun itu dijelaskan sebagai akibat dari pencapaian adikodrati Sang Buddha, makna yang mendalam adalah bahwa "… 'orang yang berhenti secara spiritual' dapat bergerak lebih cepat ketimbang orang yang 'aktif secara konvensional'". Dengan kata lain, pencapaian spiritual hanya memungkinkan melalui tindakan tanpa kekerasan.[38] Selain itu, 'henti' tersebut merujuk kepada gagasan Buddhis tentang kebebasan dari jerat karma: selama seseorang tak dapat menghindari hukum karma yang kekal, setidaknya seseorang dapat memperkecil karma dengan cara tidak melakukan kekerasan. Pustaka-pustaka menguraikan hal ini sebagai bentuk "diam", bertolak belakang dengan hukum karma yang berkesinambungan.[93]

Perilaku

Raja Pasenadi menanam sebuah Pohon Bodhi untuk menghormati Sang Buddha.

Cerita Aṅgulimāla menggambarkan bagaimana para penjahat dapat terpengaruh oleh lingkungan psikososial dan lingkungan fisik mereka.[94] Psikolog analitis Dale Mathers berteori bahwa Ahiṃsaka mulai membunuh karena harga dirinya telah runtuh. Ia tak lagi diapresiasi sebagai orang yang bertalenta dalam hal akademik. Sikapnya dapat disimpulkan bahwa "Aku tak memiliki harga diri; maka dari itu aku bisa membunuh. Jika aku membunuh, itu membuktikan bahwa aku tak memiliki harga diri".[51] Dalam menyimpulkan kehidupan Aṅgulimāla, Mathers menulis, "ia adalah ... seorang figur yang menjembatani pemberian dan pencabutan nyawa."[95] Senada dengan hal tersebut—merujuk kepada konsep psikologi tentang luka moral—teolog John Thompson mendeskripsikan Aṅgulimāla sebagai seseorang yang dikhianati oleh sosok berpengaruh tapi memutuskan untuk memulihkan prinsip moralnya yang terkikis beserta masyarakat yang menjadi korbannya.[96] Para korban luka moral memerlukan seorang penyembuh dan komunitas yang berjuang bersama-sama tapi melakukannya dengan cara yang aman; dalam hal serupa, Aṅgulimāla dapat pulih dari luka moralnya karena Sang Buddha menjadi pemandu spiritualnya, serta komunitas biksu (sangha) yang menuntun hidup dalam kedisiplinan, sabar menghadapi kesukaran.[97] Thompson kemudian berpendapat bahwa cerita Aṅgulimāla dapat dipakai sebagai terapi naratif[96] dan mendeskripsikan etika yang terdapat dalam cerita sebagai pertanggungjawaban yang menginspirasi. Cerita tersebut bukan tentang diselamatkan, tetapi lebih kepada menyelamatkan seseorang dengan bantuan dari orang lain.[98]

Ahli etika David Loy menulis secara ekstensif tentang cerita Aṅgulimāla dan implikasinya terhadap sistem keadilan. Ia meyakini bahwa dalam etika Buddhis, satu-satunya alasan mengapa seorang pelanggar/penjahat dihukum adalah untuk memperbaiki tingkah laku mereka. Jika seorang penjahat seperti Aṅgulimāla telah sadar untuk mengubah perilakunya sendiri, maka tak ada alasan untuk menghukumnya, bahkan sebagai pengelakan. Selain itu, Loy berpendapat bahwa cerita Aṅgulimāla tak mengandung bentuk keadilan restoratif maupun transformatif, sehingga cerita tersebut dianggap sebagai contoh keadilan yang "cacat".[99] Di sisi lain, mantan politikus dan ahli kesehatan masyarakat Mathura Shrestha mendeskripsikan cerita Aṅgulimāla "mungkin merupakan konsep pertama dari keadilan transformatif", merujuk kepada pertobatan Aṅgulimāla dari kehidupan lamanya sebagai perampok, dan pemaafan yang ia terima dari para kerabat korban.[100] Sebagai penulis soal hukuman mati, cendekiawan Damien Horigan menyatakan bahwa rehabilitasi adalah tema utama dari cerita Aṅgulimāla, dan rehabilitasi yang telah disaksikan merupakan alasan Raja Pasenadi tidak menghukum Aṅgulimāla.[101]

Dalam ritual pra-kelahiran di Sri Lanka, saat Sutta Aṅgulimāla dibacakan untuk wanita hamil, merupakan suatu adat istiadat di sana untuk menaruh benda-benda sebagai lambang kesuburan dan reproduksi di sekeliling wanita tersebut, yang berbahan baku dari pohon kelapa beserta periuk tanah liat.[102] Para cendekiawan menekankan bahwa dalam mitologi di Asia Tenggara, terdapat kaitan antara sosok haus darah dengan tema fertilitas.[60][103] Penumpahan darah dapat ditemukan dalam tindak kekerasan dan juga kelahiran anak, yang menjelaskan mengapa Aṅgulimāla digambarkan sebagai pembunuh sekaligus penyembuh yang berkenaan dengan kelahiran.[103]

Terkait cerita saat Sang Buddha bertemu Aṅgulimāla, tokoh feminis Liz Wilson menyimpulkan bahwa cerita tersebut adalah contoh kerja sama dan saling ketergantungan antara lawan jenis: Sang Buddha dan ibu Aṅgulimāla sama-sama mencoba untuk menghentikannya.[104] Hal senada diungkapkan Thompson, bahwa kaum ibu memainkan peran penting dalam cerita tersebut, merujuk pada bagian saat sang ibu berusaha untuk menghentikan Aṅgulimāla, serta pertolongan Aṅgulimāla terhadap seorang ibu yang akan melahirkan. Selain itu, baik Sang Buddha maupun Aṅgulimāla mengambil peran keibuan dalam cerita tersebut.[105] Meskipun banyak cerita India kuno yang menghubungkan kaum wanita dengan sifat-sifat bebal dan lemah, cerita Aṅgulimāla mengakui sifat-sifat kewanitaan, dan Sang Buddha bertindak sebagai penasehat bijak untuk menerapkan sifat-sifat tersebut dengan cara yang konstruktif.[106] Meskipun demikian, Thompson tak menganggap cerita tersebut menganjurkan feminisme, tetapi lebih berpendapat bahwa cerita tersebut mengandung etika kepedulian yang feminis, yang berakar kepada agama Buddha.[92]

Dalam budaya modern

Satish Kumar

Sepanjang sejarah agama Buddha, cerita Aṅgulimāla telah digambarkan ke dalam berbagai bentuk kesenian,[10] beberapa di antaranya dapat ditemukan di museum dan situs cagar budaya Buddha. Dalam budaya modern, Aṅgulimāla masih memainkan peran penting.[22] Pada tahun 1985, biksu Theravāda kelahiran Inggris, Ajahn Khemadhammo mendirikan Angulimala, sebuah organisasi pelayanan kapelan Buddhis di penjara di Inggris.[107][108] Organiasi tersebut diakui oleh pemerintah Inggris sebagai perwakilan resmi dari agama Buddha dalam segala urusan terkait sistem penjara di Inggris, dan menyediakan kapelan, layanan konseling, ajaran agama Buddha, dan meditasi kepada para tahanan di seluruh Inggris, Wales, dan Skotlandia.[107] Nama organisasi tersebut merujuk kepada kekuatan transformasi yang dicontohkan dalam cerita Aṅgulimāla.[25][22] Menurut situs web organisasi tersebut, "Cerita Angulimala mengajarkan kita bahwa peluang meraih pencerahan dapat terjadi dalam keadaan yang sangat ekstrem, bahwa orang-orang mampu dan melakukan perubahan, serta bahwa orang-orang sangat dipengaruhi oleh persuasi dan yang lebih penting ialah percontohan."[109]

Dalam budaya populer, legenda Aṅgulimāla telah meraih perhatian luas. Cerita tersebut telah menjadi subjek utama dari sekurang-kurangnya tiga film.[22] Pada 2003, sutradara asal Thailand, Suthep Tannirat berupaya merilis film berjudul Angulimala. Namun, lebih dari 20 organisasi Buddha konservatif di Thailand melayangkan protes karena film tersebut dianggap menyimpang dari ajaran dan sejarah agama Buddha, serta menampilkan pengaruh Hindu dan teisme yang tak ditemukan dalam kitab-kitab Buddhis.[110][111][112] Badan penyensoran film Thai menolak permintaan untuk mencekal film tersebut, dengan alasan bahwa film tersebut tak menyimpang dari ajaran Buddha. Mereka menyatakan bahwa sutradara telah memotong dua adegan berunsur kekerasan.[113][114] Kelompok-kelompok konservatif merasa tak senang dengan penggambaran Aṅgulimāla sebagai pembunuh brutal, tanpa menampilkan cerita yang menjelaskan mengapa ia menjadi penjahat semacam itu. Namun, Tannirat membela dirinya sendiri dengan berpendapat bahwa meskipun ia mengabaikan penafsiran dari ulasan para cendekiawan, ia mengikuti sumber-sumber Buddhis terdahulu secara pasti.[112] Pilihan Tannirat untuk memakai sumber sejarah awal saja, alih-alih cerita populer dari ulasan para cendekiawan, merupakan hal yang menimbulkan protes tersebut.[22][115]

Aṅgulimāla juga menjadi subjek karya sastra.[116] Pada tahun 2006, aktivis perdamaian Satish Kumar menulis kembali cerita Aṅgulimāla dalam buku pendeknya The Buddha and the Terrorist. Buku tersebut membahas tentang perang melawan terorisme, dengan mereka ulang dan memadukan berbagai cerita tentang Aṅgulimāla, yang dideskripsikan sebagai teroris.[116] Buku tersebut mempertegas cerita saat Sang Buddha menerima Aṅgulimāla dalam sangha, yang secara efektif menghindarkan hukuman dari Raja Pasenadi. Dalam buku Kumar, tindakan tersebut berujung pada kemarahan masyarakat, yang menuntut penahanan Aṅgulimāla dan Sang Buddha. Pasenadi mengadakan pengadilan terbuka di hadapan warga desa dan dewan kerajaan, agar majelis dapat memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap kedua terdakwa. Namun pada akhirnya, majelis memutuskan untuk membebaskan keduanya, setelah Aṅgulimāla mengakui kejahatannya dan Pasenadi memberi pidato yang menegaskan pengampunan alih-alih hukuman.[116] Pelintiran cerita tersebut memberikan pemahaman berbeda terhadap Aṅgulimāla, yang tindak kekerasannya berujung pada pengadilan, serta masyarakat yang lebih adil dan tanpa kekerasan.[117] Sebagai penulis tentang pustaka Buddhis dan ulasan buku Kumar, Thompson membayangkan bahwa ahiṃsa dalam agama Buddha mungkin memiliki pemahaman yang berbeda menurut konteks yang berbeda, dan seringkali tak berarti diam secara pasif, atau tanpa kekerasan sebagaimana pemahaman pada umumnya.[118][92]

Catatan penjelas

  1. ^ Sebagai perbandingan, hingga 1994, para cendekiawan memperkirakan Sang Buddha hidup antara abad ke-5 dan ke-4 SM.[6]
  2. ^ Kisah tentang penyantapan jenazah bayi hanya ditemukan dalam satu kisah versi Tionghoa, dan ditulis untuk mengkritik praktik semacam itu yang terjadi di Tiongkok pada abad ke-5.[28]
  3. ^ Menurut dua teks Tionghoa kuno, Aṅgulimāla lahir di Magadha atau Aṅga, dan Raja Pasenadi sama sekali tak disebutkan.[9][11]
  4. ^ Dhammapāla menyatakan bahwa Ahiṃsaka "sekuat tujuh gajah", sementara pustaka lain menyatakan bahwa sang guru khawatir reputasinya akan jatuh jika diketahui bahwa ia membunuh murid.[32][33]
  5. ^ Beberapa versi cerita menyebut ratusan jari, sementara sumber lain menyebut ribuan.[32][34] Dhammapāla menyatakan bahwa Aṅgulimāla diwajibkan untuk mengambil seribu jari dari tangan kanan saja,[35] tampaknya tak menyadari bahwa itu dapat dicapai dengan membunuh 200 orang,[35] atau dengan mengambil jari-jari dari jenazah.[12] Di sisi lain, Buddhaghosa menyatakan bahwa Angulimāla dikisahkan "membunuh seribu kaki," dan hanya mengumpulkan jari-jari sebagai alat bantu agar hitungannya akurat.[36]
  6. ^ Buddhaghosa berkata bahwa ia tak peduli, sementara Dhammapāla berkata bahwa ia meyakini bahwa ia "tak berguna untuk putra semacam itu".[41]
  7. ^ Ahli agama Buddha André Bareau dan teolog John Thompson berpendapat bahwa kisah ibunya yang berniat untuk ikut campur merupakan tambahan pada cerita aslinya, tapi cendekiawan kajian Asia Monika Zin menyatakan bahwa ibunya telah muncul dalam seni rupa Buddhis awal.[32][43]
  8. ^ Namun, menurut beberapa versi, Sang Buddha mendengar tentang Aṅgulimāla dari para biarawan, yang datang untuk mengumpulkan amal dan melihat para penduduk desa yang berkeluh kesah di istana Pasenadi.[45]
  9. ^ Penggalan kisah ini tak muncul dalam seluruh versi Tripitaka.[9]
  10. ^ Pausyaparwa, Mahābharatha jilid 1 (Adiparwa), bagian ke-3.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n Buswell, Robert E. Jr.; Lopez, Donald S. Jr. (2013). "Aṅgulimāla". Princeton Dictionary of Buddhism (PDF). Princeton University Press. ISBN 978-0-691-15786-3. 
  2. ^ Gombrich 2006, hlm. 135 n.1.
  3. ^ a b c Thompson 2015, hlm. 161.
  4. ^ a b Gombrich 2006, hlm. 137.
  5. ^ a b c d e Thompson 2015, hlm. 162.
  6. ^ Norman, K.R. (1994). A Philological Approach to Buddhism: The Bukkyō Dendō Kyōkai Lectures (PDF). School of Oriental and African Studies, University of London. hlm. 39. 
  7. ^ a b Wilson 2016, hlm. 285.
  8. ^ a b c Wilson 2016, hlm. 288.
  9. ^ a b c d e f g Zin 2005, hlm. 707.
  10. ^ a b c Analayo 2008, hlm. 135.
  11. ^ a b c Bareau 1986, hlm. 655.
  12. ^ a b Thompson 2017, hlm. 176.
  13. ^ Bareau 1986, hlm. 654.
  14. ^ Analayo 2008, hlm. 147.
  15. ^ a b c Gombrich 2006, hlm. 136.
  16. ^ Gombrich 2006, hlm. 141.
  17. ^ Kosuta 2017, hlm. 36.
  18. ^ Thompson 2015, hlm. 161–2.
  19. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Malalasekera 1960.
  20. ^ Analayo 2008, hlm. 140.
  21. ^ Brancaccio 1999, hlm. 105.
  22. ^ a b c d e Thompson 2015, hlm. 164.
  23. ^ Wang-Toutain, Françoise (1999). "Pas de boissons alcoolisées, pas de viande : une particularité du bouddhisme chinois vue à travers les manuscrits de Dunhuang" [No alcoholic beverages, no meat: one particular characteristic of Chinese Buddhism, seen through the manuscripts of Dunhuang]. Cahiers d'Extrême-Asie (dalam bahasa Prancis). 11 (1): 101–2, 105, 112–5. doi:10.3406/asie.1999.1151. 
  24. ^ Zin 2005, hlm. 709.
  25. ^ a b c d e f g h i Wilson 2016, hlm. 286.
  26. ^ a b c Barrett 2004, hlm. 180.
  27. ^ a b c d e Zin 2005, hlm. 706.
  28. ^ a b Barrett 2004, hlm. 181.
  29. ^ Wilkens, Jens (2004). "Studien Zur Alttürkischen Daśakarmapathāvadānamālā (2): Die Legende Vom Menschenfresser Kalmāṣapāda" [Studies of the Old Turkish Daśakarmapathāvadānamālā (2): The Legend of the Man-eater Kalmāṣapāda]. Acta Orientalia Academiae Scientiarum Hungaricae (dalam bahasa Jerman). 57 (2): 169. JSTOR 23658630. 
  30. ^ Bareau 1986, hlm. 656–7.
  31. ^ a b Gombrich 2006, hlm. 138.
  32. ^ a b c Zin 2005, hlm. 708.
  33. ^ Gombrich 2006, hlm. 138–9.
  34. ^ Analayo 2008, hlm. 141.
  35. ^ a b c d e f Gombrich 2006, hlm. 139.
  36. ^ Gombrich 2006, hlm. 142.
  37. ^ Lamotte, Etienne (1988). History of Indian Buddhism: From the Origins to the Saka Era. Université catholique de Louvain, Institut orientaliste. hlm. 22. ISBN 906831100X. 
  38. ^ a b c d Wiltshire 1984, hlm. 91.
  39. ^ a b Brancaccio 1999, hlm. 108–12.
  40. ^ a b Wilson 2016, hlm. 293–4.
  41. ^ a b c d Gombrich 2006, hlm. 140.
  42. ^ Loy 2009, hlm. 1246.
  43. ^ a b c d Thompson 2015, hlm. 163.
  44. ^ a b Wilson 2016, hlm. 298 n.30.
  45. ^ a b Bareau 1986, hlm. 656.
  46. ^ Kosuta 2017, hlm. 40–1.
  47. ^ Analayo 2008, hlm. 146.
  48. ^ van Oosten 2008, hlm. 251.
  49. ^ a b Thompson 2017, hlm. 183.
  50. ^ Analayo 2008, hlm. 142.
  51. ^ a b Mathers 2013, hlm. 127.
  52. ^ a b c "Angulimala Sutta". Samaggi Phala. 
  53. ^ Thompson 2015, hlm. 162–3.
  54. ^ Analayo 2008, hlm. 145.
  55. ^ Thompson 2017, hlm. 177.
  56. ^ a b Gombrich 2006, hlm. 135.
  57. ^ Analayo 2008, hlm. 142–3.
  58. ^ a b c van Oosten 2008, hlm. 252.
  59. ^ Thompson 2015, hlm. 166–7.
  60. ^ a b c d Langenberg, Amy Paris (2013). "Pregnant Words: South Asian Buddhist Tales of Fertility and Child Protection". History of Religions. 52 (4): 351. doi:10.1086/669645. JSTOR 10.1086/669645. 
  61. ^ Wilson 2016, hlm. 293.
  62. ^ Wilson 2016, hlm. 297–8 n.24.
  63. ^ Swearer, D.K. (2010). The Buddhist World of Southeast Asia (PDF). SUNY Press. hlm. 253. ISBN 978-1-4384-3251-9. 
  64. ^ Buswell, Robert E. Jr.; Lopez, Donald S. Jr. (2013). "Aṅgulimāla, Paritta, Satyāvacana" (PDF). Princeton Dictionary of Buddhism. Princeton University Press. ISBN 978-0-691-15786-3. 
  65. ^ Appleton, Naomi (2013). Jataka Stories in Theravada Buddhism: Narrating the Bodhisatta Path. Ashgate Publishing. hlm. 141. ISBN 978-1-4094-8131-7. 
  66. ^ Eckel, Malcolm David (2001). "Epistemological Truth". Dalam Neville, Robert Cummings. Religious Truth: A Volume in the Comparative Religious Ideas. Albany: SUNY Press. hlm. 67–8. ISBN 0-7914-4777-4. 
  67. ^ Parkum, Virginia Cohn; Stultz, J. Anthony (2012). "The Aṅgulimāla Lineage: Buddhist Prison Ministries". Dalam Queen, Christopher S. Engaged Buddhism in the West. Wisdom Publications. ISBN 978-0-86171-841-2. 
  68. ^ Harvey, Peter (2010). "Buddhist Perspectives on Crime and Punishment". Dalam Powers, John; Prebish, Charles S. Destroying Mara Forever: Buddhist Ethics Essays in Honor of Damien Keown. Snow Lion Publications. ISBN 978-1-55939-788-9. 
  69. ^ Loy, David R. (2008). "Awareness Bound and Unbound: Realizing the Nature of Attention". Philosophy East and West. 58 (2): 230. JSTOR 20109462. 
  70. ^ Attwood, Jayarava (2014). "Escaping the Inescapable: Changes in Buddhist Karma" (PDF). Journal of Buddhist Ethics. 21: 522. ISSN 1076-9005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 May 2018. 
  71. ^ a b Kosuta 2017, hlm. 42.
  72. ^ van Oosten 2008, hlm. 252–3.
  73. ^ Prüfung und Initiation im Buche Pausya und in der Biographie des Nāropa [Test and Initiation in the Book Pauṣya and in the Biography of Nāropa] (dalam bahasa Jerman). Wiesbaden. 1965. hlm. 11. 
  74. ^ Gombrich 2006, hlm. 151.
  75. ^ Gombrich 2006, hlm. 144–51.
  76. ^ Gombrich 2006, hlm. 136, 141.
  77. ^ a b Mudagamuwa & Von Rospatt 1998, hlm. 170.
  78. ^ Gombrich 2006, hlm. 155–62.
  79. ^ Gombrich 2006, hlm. 152–4.
  80. ^ Brancaccio 1999, hlm. 105–6.
  81. ^ Mudagamuwa & Von Rospatt 1998, hlm. 177 n.25.
  82. ^ Analayo 2008, hlm. 143–4 n.42.
  83. ^ Gombrich 2006, hlm. 152 n.7, 155.
  84. ^ Gombrich 2006, hlm. 152, 156.
  85. ^ Mudagamuwa & Von Rospatt 1998, hlm. 172–3.
  86. ^ Cousins, L. S. (24 December 2009). "Review of Richard F. Gombrich: How Buddhism began: the conditioned genesis of the early teachings, 1996". Bulletin of the School of Oriental and African Studies. 62 (2): 373. doi:10.1017/S0041977X00017109. 
  87. ^ Malalasekera, G.P.; Weeraratne, W.G., ed. (2003). "Aṅgulimāla". Encyclopaedia of Buddhism. 1. Pemerintah Sri Lanka. hlm. 628. OCLC 2863845613. 
  88. ^ Brancaccio 1999, hlm. 112–4.
  89. ^ Brancaccio 1999, hlm. 115–6.
  90. ^ Harvey 2013, hlm. 266.
  91. ^ Jerryson, Michael (2013). "Buddhist Traditions and Violence". Dalam Juergensmeyer, Mark; Kitts, Margo; Jerryson, Michael. The Oxford Handbook of Religion and Violence. Oxford University Press. hlm. 58. ISBN 978-0-19-975999-6. 
  92. ^ a b c Thompson 2017, hlm. 188.
  93. ^ Wiltshire 1984, hlm. 95.
  94. ^ Kangkanagme, Wickrama; Keerthirathne, Don (27 July 2016). "A Comparative Study of Punishment in Buddhist and Western Educational Psychology". The International Journal of Indian Psychology. 3 (4/57): 36. 
  95. ^ Mathers 2013, hlm. 129.
  96. ^ a b McDonald, Joseph (2017). "Introduction". Dalam McDonald, Joseph. Exploring Moral Injury in Sacred Texts. Jessica Kingsley Publishers. hlm. 29. ISBN 978-1-78450-591-2. 
  97. ^ Thompson 2017, hlm. 182.
  98. ^ Thompson 2017, hlm. 189.
  99. ^ Loy 2009, hlm. 1247.
  100. ^ Shrestha, Mathura P. (9 January 2007). "Human Rights including Economic, Social and Cultural Rights: Theoretical and Philosophical Basis". Canada Foundation for Nepal. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 May 2018. Diakses tanggal 4 May 2018. 
  101. ^ Horigan, D. P. (1 January 1996). "Of Compassion and Capital Punishment: A Buddhist Perspective on the Death Penalty". The American Journal of Jurisprudence. 41 (1): 282. doi:10.1093/ajj/41.1.271. 
  102. ^ Van Daele, W. (2013). "Fusing Worlds of Coconuts: The Regenerative Practice in Precarious Life-Sustenance and Fragile Relationality in Sri Lanka". The South Asianist. 2 (2): 100, 102–3. ISSN 2050-487X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 May 2018. 
  103. ^ a b Wilson 2016, hlm. 289.
  104. ^ Wilson 2016, hlm. 295–6.
  105. ^ Thompson 2017, hlm. 184.
  106. ^ Thompson 2017, hlm. 185–6.
  107. ^ a b Fernquest, Jon (13 April 2011). "Buddhism in UK prisons". Bangkok Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 May 2018. Diakses tanggal 2 May 2018 – via Bangkok Post Learning. 
  108. ^ Harvey 2013, hlm. 450.
  109. ^ "The Story of Angulimala". Angulimala, the Buddhist Prison Chaplaincy. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 July 2018. Diakses tanggal 3 May 2018. 
  110. ^ Parivudhiphongs, Alongkorn (9 April 2003). "Angulimala awaits fate". Asia Africa Intelligence Wire. 
  111. ^ "Plea against movie to go to Visanu". Asia Africa Intelligence Wire. 11 April 2003. 
  112. ^ a b Ngamkham, Wassayos (2 April 2003). "Movie based on Buddhist character needs new title". Bangkok Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 April 2003. 
  113. ^ "Buddhist groups want King to help impose ban on movie". Asia Africa Intelligence Wire. 9 April 2003. 
  114. ^ Ngamkham, Wassayos (10 April 2003). "Censors allow film to be shown". Asia Africa Intelligence Wire. 
  115. ^ Thompson 2017, hlm. 175 n.15.
  116. ^ a b c Thompson 2015, hlm. 168.
  117. ^ Thompson 2015, hlm. 169.
  118. ^ Thompson 2015, hlm. 172–3.

Daftar pustaka

Pranala luar