Lompat ke isi

Kimono: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Naval Scene (bicara | kontrib)
Midori (bicara | kontrib)
perbarui
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Gion_Kouta.jpg|thumb|Wanita yang mengenakan kimono]]
[[Berkas:Wedding kimono.jpg|thumb|Pengantin wanita mengenakan kimono yang disebut ''shiromuku'']]
[[Berkas:Uchikake.jpg|thumb|Uchikake bermotif [[burung jenjang]]]]
{{nihongo|'''Kimono'''|着物}} adalah [[pakaian]] tradisional [[Jepang]]. Arti harfiah kimono adalah [[baju]] atau sesuatu yang dikenakan (''ki'' berarti ''pakai'', dan ''mono'' berarti ''barang'').


Pada zaman sekarang, kimono berbentuk seperti huruf "T," mirip [[mantel]] berlengan panjang dan berkerah. Panjang kimono dibuat hingga ke [[pergelangan kaki]]. Wanita mengenakan kimono berbentuk baju terusan, sementara pria mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Sabuk kain yang disebut [[obi (kimono)|obi]] dililitkan di bagian [[perut]]/[[pinggang]], dan diikat di bagian [[punggung]]. Alas kaki sewaktu mengenakan kimono adalah [[zōri]] atau [[geta]].
[[Berkas:Geisha-fullheight.jpg|thumb|180px|Dua ''maiko'' ([[geisha]] yang masih belajar) sedang mengenakan kimono jenis ''Furisode''.]]


Kimono sekarang ini lebih sering dikenakan wanita pada kesempatan istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut ''[[furisode]]''.<ref name=Dalby> {{cite book| last = Dalby | first = Liza | authorlink = Liza Dalby | title = Kimono: Fashioning Culture | publisher = University of Washington Press | year = 2001 | location = Washington, USA | isbn = 0-295-98155-5}}</ref> Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Perempuan yang genap berusia 20 tahun mengenakan ''furisode'' untuk menghadiri ''[[seijin shiki]]''. Pria mengenakan kimono pada pesta [[pernikahan]], [[upacara minum teh]], dan acara formal lainnya. Ketika tampil di luar arena [[sumo]], pesumo profesional diharuskan mengenakan kimono.<ref name="Sharnoff">{{Cite book |author=Sharnoff, Lora |title=Grand Sumo|publisher=Weatherhill |year=1993 |isbn=0-8348-0283-x}}</ref> Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan [[Shichi-Go-San]]. Selain itu, kimono dikenakan pekerja bidang industri jasa dan pariwisata, pelayan wanita rumah makan tradisional (''[[ryōtei]]'') dan pegawai penginapan tradisional (''[[ryokan]]'').
'''''Kimono''''' (bahasa Jepang: 着物 secara harafiah: "sesuatu yang dikenakan seseorang," atau "pakaian") adalah [[pakaian]] nasional [[Jepang]]. Bagi orang Jepang, kimono lebih dikenal dengan sebutan ''Wafuku'' (bahasa Jepang: 和服 secara harafiah: "pakaian Jepang") atau ''Gofuku'' (bahasa Jepang: 呉服 secara harafiah: "pakaian dari zaman Go di Tiongkok") untuk membedakannya dengan pakaian barat (''Yofuku''). Kimono yang dikenal sekarang ini berbentuk seperti huruf "T," berupa mantel berkerah yang panjangnya sampai ke pergelangan kaki. Kimono untuk pria terdiri dari setelan atas-bawah, sedangkan kimono untuk wanita berbentuk baju terusan.


Pakaian [[pengantin]] wanita tradisional Jepang (''hanayome ishō'') terdiri dari ''furisode'' dan ''uchikake'' (mantel yang dikenakan di atas ''furisode''). ''Furisode'' untuk pengantin wanita berbeda dari ''furisode'' untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan untuk ''furisode'' pengantin diberi motif yang dipercaya mengundang keberuntungan, seperti gambar [[burung jenjang]]. Warna ''furisode'' pengantin juga lebih cerah dibandingkan ''furisode'' biasa. ''Shiromuku'' adalah sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupa ''furisode'' berwarna [[putih]] bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna putih.
Cara memakai kimono dalam bahasa Jepangnya disebut ''Kitsuke''. Peraturan dalam memakai kimono sangatlah terinci, mulai dari jenis-jenis kimono yang sesuai dengan acaranya, hingga aksesori yang sesuai dengan jenis kimono tertentu. Belajar mengenakan kimono juga bukan hal yang mudah, sehingga di Jepang banyak terdapat tempat kursus untuk belajar pakai kimono. Di toko-toko juga banyak dijual alat-alat bantu yang memudahkan orang memakai kimono. Walaupun sebetulnya kimono dapat dikenakan sendiri tanpa bantuan orang lain, kebanyakan wanita Jepang masih harus dibantu orang yang profesional sewaktu mengenakan kimono.


Sebagai pembeda dari pakaian Barat (''yōfuku'') yang dikenal sejak [[zaman Meiji]], orang Jepang menyebut pakaian tradisional Jepang sebagai {{nihongo|''wafuku''|和服||pakaian Jepang}}. Sebelum dikenalnya pakaian Barat, semua pakaian yang dipakai orang Jepang disebut kimono. Sebutan lain untuk kimono adalah {{nihongo|''gofuku''|呉服}}. Istilah ini mulanya dipakai untuk menyebut pakaian orang negara [[Dong Wu]] (bahasa Jepang : negara Go) yang datang Jepang dari daratan [[Cina]].
== Membeli Kimono ==
Bahan kain untuk kimono merupakan seni tenun tradisional Jepang yang bernilai seni tinggi. Kimono untuk kesempatan formal dibuat hanya dari bahan kain sutera kelas terbaik dan hanya dijahit dengan tangan (tidak menggunakan [[mesin jahit]]), sehingga harganya menjadi sangat mahal. Kimono juga tidak pernah dijual dalam keadaan sudah jadi, melainkan harus dipesan sesuai dengan ukuran badan pemakainya.


== Kimono wanita ==
Bahan kain untuk kimono haruslah kain yang ditenun dengan sempurna tanpa cacat dan harus dibeli dalam satu gulungan kain dengan tidak memperhitungkan tinggi badan si pembeli. Membeli kimono dimulai dengan memilih bahan kain untuk kimono yang disebut ''Tanmono'' (bahasa Jepang: 反物, secara harafiah: "gulungan kain yang panjangnya 1 Tan"). Jika kebetulan si pemakai kimono bertubuh pendek dan ramping, setelah kimono selesai dijahit nantinya akan banyak bahan kimono yang tersisa. Sisa-sisa bahan kimono bisa dimanfaatkan oleh si pemakai kimono untuk membuat aksesori sewaktu memakai kimono, seperti tas, dompet, atau sandal.
[[Berkas:Kimono2.jpg|thumb|Seorang gadis sedang mengenakan ''[[furisode]]'']]
Kimono wanita terdiri dari beberapa jenis, mulai dari kimono paling formal hingga kimono santai. Pemilihan jenis kimono yang tepat memerlukan pengetahuan mengenai simbolisme dan isyarat terselubung yang dikandung masing-masing jenis kimono. Tingkat formalitas kimono wanita ditentukan oleh pola tenunan dan warna. Kimono bisa menunjukkan umur pemakai, status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri pemakai.


* [[Tomesode]]
Kimono dapat dibeli dengan harga lebih murah pada kesempatan obral bahan kain kimono kelas dua yang disebut ''B-Tan Ichi'' (bahasa Jepang: B反市 secara harafiah: "Pasar kain kelas B") untuk membandingkannya dengan bahan kimono "kelas A" yang tenunannya sempurna tanpa cacat. Walaupun bahan kain yang dibeli mempunyai sedikit cacat, penjahit kimono yang berpengalaman dapat menyembunyikan bagian tenunan yang rusak, sehingga hasil jadinya terlihat hampir sama dengan kimono dari bahan sempurna.
Tomesode adalah kimono yang paling formal, umumnya berwarna [[hitam]] dan hanya dikenakan oleh wanita yang sudah menikah. Tomesode berwarna hitam disebut ''kurotomesode''. Pada tomesode terdapat lambang keluarga (''kamon'') si pemakai. Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Ciri khas tomesode adalah motif yang indah pada ''suso'' (bagian bawah sekitar kaki). Tomesode dikenakan untuk menghadiri resepsi pernikahan, pesta atau acara-acara yang sangat resmi.


* [[Furisode]]
Belakangan ini, di toko-toko banyak dijual kimono impor jenis Yukata yang merupakan hasil jahitan mesin di pabrik. Orang-orang Jepang banyak mengenakan Yukata produk impor yang harganya murah untuk kesempatan santai seperti menyaksikan pesta kembang api.
Furisode adalah kimono formal untuk wanita muda yang belum menikah. Ciri khas furisode adalah bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian. Furisode dikenakan sewaktu menghadiri upacara ''[[seijin shiki]]'', menghadiri resepsi [[pernikahan]] teman, upacara [[wisuda]], atau ''[[hatsumode]]''.


* [[Homongi]]
== Nilai jual kembali ==
{{nihongo|Hōmon-gi|訪問着||arti harfiah: baju untuk berkunjung}} adalah kimono formal untuk wanita yang sudah menikah atau wanita dewasa yang belum menikah. Wanita yang sudah menikah memakai homongi sewaktu menjadi tamu resepsi pernikahan, pesta resmi, sewaktu merayakan [[tahun baru Jepang|tahun baru]] atau [[upacara minum teh]].
Ukuran kimono dapat disesuaikan dengan ukuran badan si pemilik, sehingga sering kimono yang dijahit dari bahan kain berkualitas dijadikan barang warisan keluarga. Kimono bekas pakai juga masih mempunyai nilai jual tinggi. Di Jepang bisa dijumpai toko-toko yang menjual kimono bekas pakai. Pada [[Perang Dunia II]], sewaktu penduduk kota kekurangan pangan, kimono pernah digunakan sebagai alat bayar untuk membeli bahan makanan dan bumbu dapur seperti [[beras]], [[telur]], [[miso]], dan [[gula]].


* [[Iromuji]]
== Peran Kimono dalam Kebudayaan Jepang ==
Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut memiliki lambang keluarga (''kamon''). Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Iromoji dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, [[merah jambu]], [[biru]] muda, atau [[kuning]] muda atau warna-warna lembut. Kimono jenis ini dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan atau upacara minum teh.
Mengingat cara mengenakan kimono yang rumit dan harga kain tradisional untuk kimono yang mahal, kimono hanya dikenakan orang-orang Jepang zaman sekarang, baik pria maupun wanita, serta anak-anak sewaktu menghadiri acara-acara istimewa seperti hari-hari besar setempat atau mengikuti kegiatan seni dan olah raga yang bersifat tradisional.


* [[Tsukesage]]
[[Wanita]] yang sudah genap berusia 20 tahun tidak akan mau melewatkan kesempatan memakai kimono Furisode yang paling indah untuk menghadiri upacara ''Seijin Shiki.'' Begitu pula orang tua dan kakek-nenek merasa berkewajiban untuk mendandani anak-anaknya memakai kimono pada perayaan anak-anak yang berusia 7, 5 dan 3 tahun yang disebut ''Hichi-go-san.'' Selain itu, kimono banyak dikenakan oleh orang-orang yang bergerak dalam bidang industri jasa dan pariwisata, seperti pelayan wanita di restoran khas Jepang (''ryotei'') dan pegawai penginapan khas Jepang (''ryokan'').
Tsukesage adalah kimono semiformal untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitas, kedudukan tsukesage hanya setingkat dibawah hōmon-gi. Kimono jenis ini dikenakan untuk menghadiri upacara minum teh yang tidak begitu resmi, pesta pernikahan, pesta resmi, atau ketika merayakan tahun baru..


* [[Komon]]
== Sejarah ==
Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri khas kimono jenis ini adalah motif sederhana dan berukuran kecil-kecil yang berulang. Komon dikenakan untuk menghadiri pesta [[reuni]], [[makan malam]], bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung.
=== Zaman Jomon dan Zaman Yayoi ===
Pada zaman ini kimono berbentuk baju terusan. Dari penggalian arkeologis tumpukan kulit kerang peninggalan [[zaman Jomon]] ditemukan ''Haniwa'' (barang-barang kecil dari tembikar yang dikubur untuk menemani perjalanan arwah ke alam lain) yang mengenakan pakaian atas yang disebut ''Kantoi'' (貫頭衣).


* [[Tsumugi]]
Menurut ''Gishiwajinden'' (buku sejarah yang ditulis orang Tiongkok mengenai tiga negara), pakaian untuk laki-laki adalah sangatlah sederhana, sehelai kain yang diselempangkan secara horizontal pada badan seperti pakaian pendeta Buddha, dan sehelai kain yang dililitkan di kepala. Pakaian wanita disebut ''Kantoi'' yang berupa sehelai kain yang ditengah-tengahnya dibuat lubang untuk memasukkan kepala dan tali yang digunakan sebagai pengikat di bagian pinggang.
Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, kimono jenis ini boleh dikenakan untuk keluar rumah seperti ketika berbelanja dan berjalan-jalan. Bahan yang dipakai adalah kain hasil tenunan sederhana dari benang [[katun]] atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan kasar. Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di ladang.


* [[Yukata]]
Masih menurut catatan ''Gishiwajinden,'' kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku (sebutan untuk Jepang zaman dulu) "selalu mengenakan pakaian Kantoi berwarna putih." Pakaian rakyat biasa dari serat rami sedangkan orang yang berkedudukan mengenakan kain sutera.
Yukata adalah kimono santai yang dibuat dari kain katun tipis tanpa pelapis untuk kesempatan santai di musim panas.


=== Zaman Makam Kuno ===
== Kimono pria ==
Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap seperti [[hijau]] tua, [[coklat]] tua, [[biru]] tua, dan [[hitam]].
Pakaian pada zaman ini mendapat pengaruh dari daratan Tiongkok, yakni terdiri dari dua potong pakaian: atas dan bawah. ''Haniwa'' mulai mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai di atas ''Kantoi,'' dan rok yang dililitkan di pinggang sebagai bawahannya. ''Haniwa'' yang ditemukan juga ada yang mengenakan celana berpipa lebar seperti ''Hakama'' sebagai bawahannya.
*Kimono paling formal berupa setelan ''montsuki'' berwarna [[hitam]] dengan ''hakama'' dan ''haori''
:Pada bagian punggung ''montsuki'' terdapat lambang keluarga (''kamon'') pemakai. Sewaktu mengenakan ''montsuki'', pria mengenakan [[celana panjang]] yang disebut ''hakama'' dan [[mantel]] yang disebut ''haori''. Montsuki yang dikenakan bersama hakama dan haori juga berfungsi sebagai pakaian pengantin pria. Pakaian jenis ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara sangat resmi, misalnya resepsi pemberian penghargaan dari kaisar/pemerintah atau ''[[seijin shiki]]''.


*Kimono santai yang disebut ''kinagashi''
Jahitan mulai dikenal pada zaman ini. Agar ''Kantoi'' lebih mudah dipakai, di bagian depan dibuatkan bukaan dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit. Baju atas kemudian dibagi menjadi dua jenis kerah, yaitu:
Pria mengenakan ''kinagashi'' ketika keluar rumah pada kesempatan tidak resmi atau sebagai pakaian sehari-hari. Pada ''kinagashi'' tidak terdapat lambang keluarga. Aktor [[kabuki]] mengenakan kinagashi ketika latihan.
* baju atas berkerah datar sampai persis di bawah leher (''Agekubi'')
* baju atas dengan kerah berbentuk huruf "V" (''Tarekubi'') yang dipertemukan di bagian dada.


=== Zaman Nara ===
== Sejarah ==
=== Zaman Jomon dan zaman Yayoi ===
Aristokrat [[zaman Asuka]] yang bernama [[Pangeran Shotoku]] menetapkan dua belas strata jabatan dalam istana kaisar (''Kan-i Junikai'') yang dibeda-bedakan menurut warna hiasan penutup kepala (''Kanmuri''). Di dalam kitab hukum yang disebut ''Taiho ritsuryo,'' juga tercantum peraturan mengenai busana misalnya jenis-jenis pakaian resmi, pakaian pegawai istana, dan pakaian seragam yang dikenakan di dalam istana kaisar.
[[Berkas:ViewsAndCostumesOfJapan.jpg|thumb|Pakaian wanita pada sekitar tahun [[1870]]]]
Kimono [[zaman Jomon]] dan [[zaman Yayoi]] berbentuk seperti baju terusan. Dari situs arkeologi tumpukan kulit kerang asal zaman Jomon]ditemukan ''[[haniwa]]''. Pakaian atas yang dikenakan ''haniwa'' disebut {{nihongo|''kantoi''|貫頭衣}}.


Dalam ''[[Gishiwajinden]]'' (buku sejarah Cina mengenai tiga negara) ditulis tentang pakaian sederhana untuk laki-laki. Sehelai kain diselempangkan secara horizontal pada tubuh pria seperti pakaian [[biksu]], dan sehelai kain dililitkan di kepala. Pakaian wanita dinamakan ''kantoi''. Di tengah sehelai kain dibuat lubang untuk memasukkan kepala. Tali digunakan sebagai pengikat di bagian pinggang.
Pakaian formal untuk pejabat sipil (''Bunkan'') dijahit di bagian bawah ketiak, sedangkan pakaian formal untuk pejabat militer (''Bukan'') tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar bebas dalam bergerak.


Masih menurut ''Gishiwajinden,'' kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku (sebutan untuk Jepang zaman dulu) "selalu mengenakan pakaian kantoi berwarna putih". Serat rami merupakan bahan pakaian untuk rakyat biasa, sementara orang berpangkat mengenakan kain sutera.
Menurut beberapa politikus legendaris yang salah satunya bernama [[Ononoimoko]] yang pernah menjabat sebagai ''Kenzui-shi'' (utusan Jepang untuk Dinasti Sui), busana dan aksesori pada zaman ini banyak dipengaruhi budaya Tiongkok yang mengalir masuk ke Jepang.


=== Zaman Kofun ===
Sejak tahun [[719]], cara memakai kimono untuk pria maupun wanita mengalami perubahan. Bila dilihat dari depan, kerah bagian kanan harus dipertemukan di atas kerah bagian kiri. Cara ini merupakan kebalikan dari cara sebelumnya, yakni kerah bagian kiri harus di atas kerah bagian kanan.
Pakaian [[zaman kofun]] mendapat pengaruh dari daratan Cina, dan terdiri dari dua potong pakaian: pakaian atas dan pakaian bawah. Haniwa mengenakan baju atas seperti [[mantel]] yang dipakai menutupi ''kantoi''. Pakaian bagian bawah berupa [[rok]] yang dililitkan di pinggang. Dari penemuan ''haniwa'' terlihat pakaian berupa celana berpipa lebar seperti ''[[hakama]]''.


Pada [[zaman Kofun]] mulai dikenal pakaian yang dijahit. Bagian depan ''kantoi'' dibuat terbuka dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit agar mudah dipakai. Selanjutnya, baju atas terdiri dari dua jenis kerah:
Kuatnya pengaruh budaya Dinasti Tang juga membuat populer baju berlengan sempit yang disebut ''Kosode'' yang dikenakan sebagai pakaian dalam.
*Kerah datar sampai persis di bawah leher (''agekubi'')
*Kerah berbentuk huruf "V" (''tarekubi'') yang dipertemukan di bagian dada.


=== Zaman Heian ===
=== Zaman Nara ===
Aristokrat [[zaman Asuka]] bernama [[Pangeran Shotoku]] menetapkan dua belas strata jabatan dalam istana kaisar (''kan-i jūnikai'')> Pejabat istana dibedakan menurut warna hiasan penutup kepala (''kanmuri''). Dalam kitab hukum ''[[Taiho Ritsuryo]]'' dimuat peraturan tentang busana resmi, busana pegawai istana, dan pakaian seragam dalam istana. Pejabat sipil (''bunkan'') memakai pakaian formal yang dijahit di bagian bawah ketiak. Pakaian formal untuk pejabat militer tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar pemakainya bebas bergerak. Busana dan aksesori zaman Nara banyak dipengaruhi budaya Cina yang masuk ke Jepang. Pengaruh budaya [[Dinasti Tang]] ikut mempopulerkan baju berlengan sempit yang disebut ''kosode'' untuk dikenakan sebagai pakaian dalam.
Menurut aristokrat bernama [[Sugawara Michizane]], penghapusan ''Kentoshi'' (utusan Jepang untuk [[Dinasti Tang]]) memicu pertumbuhan budaya lokal yang ditandai dengan ketetapan resmi tata cara berbusana dan standarisasi protokol untuk upacara-upacara formal. Sayangnya hal ini berakibat pada semakin rumitnya gaya pakaian zaman Heian. Wanita pada zaman Heian mengenakan pakaian berlapis-lapis yang disebut ''Junihitoe''. Menurut catatan, pakaian formal untuk pejabat militer (''Bukan'') juga kehilangan sifat kepraktisannya.


Pada zaman Nara terjadi perubahan dalam cara mengenakan kimono. Kalau sebelumnya kerah bagian kiri harus berada di bawah kerah bagian kanan, sejak zaman Nara, kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Cara mengenakan kimono dari zaman Nara terus dipertahankan hingga kini. Hanya orang meninggal dipakaikan kimono dengan kerah kiri berada di bawah kerah kanan.
Pada zaman itu, pejabat pria mempunyai tiga jenis pakaian, yaitu:
* pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap yang disebut ''Sokutai''
* pakaian untuk tugas resmi sehari-hari (''Ikan'') yang dibuat sedikit lebih ringan dari ''Sokutai''
* pakaian untuk kesempatan pribadi disebut ''Noshi'' yang sepintas lalu terlihat mirip dengan pakaian jenis ''Ikan''.


=== Zaman Heian ===
Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut ''Suikan'' atau ''Kariginu'' (bahasa Jepang: 狩衣 scara harafiah: "baju berburu"). Di kemudian hari, kaum aristokrat menjadikan ''Kariginu'' sebagai pakaian sehari-hari. Kaum samurai (''Bushi'') juga kemudian menggemari ''Kariginu.''
Menurut aristokrat [[Sugawara Michizane]], penghentian pengiriman utusan Jepang untuk Dinasti Tang (''kentoshi'') memicu pertumbuhan budaya lokal. Tata cara berbusana dan standarisasi protokol untuk upacara-upacara formal mulai ditetapkan secara resmi. Namun ketetapan ini berakibat semakin rumitnya tata busana zaman Heian. Wanita zaman Heian mengenakan pakaian berlapis-lapis yang disebut ''jūnihitoe''. Tidak hanya wanita zaman Heian, pakaian formal untuk militer juga menjadi tidak praktis.


Ada tiga jenis pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:
Kaum samurai mengambil alih kekuasaan dan menjadikan bangsawan istana terasing dari dunia politik. Pakaian yang merupakan simbol status bagi bangsawan istana beralih menjadi simbol status kamu samurai.
*''Sokutai'' (pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap)
*''I-kan'' (pakaian untuk tugas resmi sehari-hari yang sedikit lebih ringan dari ''sokutai'')
*''Noshi'' (pakaian untuk kesempatan pribadi yang terlihat mirip dengan ''i-kan''.


Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut ''suikan'' atau {{nihongo|''kariginu''|狩衣||arti harafiah: baju berburu}}. Di kemudian hari, kalangan aristokrat menjadikan ''kariginu'' sebagai pakaian sehari-hari sebelum diikuti oleh kalangan samurai.
=== Zaman Kamakura dan Zaman Muromachi ===
Kekuasaan pemerintahan beralih ke tangan para samurai di [[zaman Sengoku]]. Prajurit samurai mengenakan pakaian bernama ''Suikan,'' yang perlahan-lahan berubah menjadi pakaian yang disebut ''Hitatare'' yang kemudian pada [[zaman Muromachi]] dijadikan pakaian resmi kaum samurai.


Pada zaman Heian terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh kalangan samurai, dan bangsawan istana dijauhkan dari dunia politik. Pakaian yang dulunya merupakan simbol status bangsawan istana dijadikan simbol status kalangan samurai.
Pada zaman ini muncul kimono yang disebut ''Suo'' (素襖) yang berciri khas lambang keluarga dalam ukuran besar (''Daimon'') di 8 tempat. ''Suo'' adalah sejenis ''Hitatare'' yang tidak menggunakan kain pelapis di dalam.


=== Zaman Kamakura dan zaman Muromachi ===
Penyederhaan pakaian kaum samurai terus berlanjut. Di [[zaman Edo]], pakaian kaum samurai disederhanakan menjadi setelan yang sampai saat ini terkenal dengan sebutan ''Kamishimo''(裃), yang terdiri dari baju atas yang disebut ''Kataginu'' (肩衣) dan celana ''Hakama.''
Pada [[zaman Sengoku]], kekuasaan pemerintahan berada di tangan samurai. Samurai mengenakan pakaian yang disebut ''[[suikan]]''. Pakaian jenis ini nantinya berubah menjadi pakaian yang disebut ''hitatare''. Pada [[zaman Muromachi]], ''hitatare'' merupakan pakaian resmi samurai. Pada zaman Muromachi dikenal kimono yang disebut {{nihongo|''suō''|素襖}}, sejenis ''hitatare'' yang tidak menggunakan kain pelapis dalam. Ciri khas ''suō'' adalah lambang keluarga dalam ukuran besar (''daimon'') di delapan tempat.


Pakaian wanita pada zaman ini juga menjadi lebih sederhana. Rok bawah yang disebut ''Mo'' () berubah menjadi celana ''Hakama,'' sebelum akhirnya menghilang sama sekali dan digantikan oleh kimono model terusan. Sewaktu memakai ''Kosode'' (pakaian dalam), kain yang disebut ''Koshimaki'' dan ''Yumaki'' digunakan sebagai kain penutup pinggang. ''Kosode'' yang lebih panjang dipakai untuk melapisi ''Kosode'' yang berfungsi sebagai pakaian dalam, dengan maksud agar ''Kosode'' yang dikenakan sebagai pakaian dalam terlihat dari luar.
Pakaian wanita juga makin sederhana. Rok bawah yang disebut {{nihongo|''mo''|}} makin pendek sebelum diganti dengan celana ''hakama''. Mode ''mo'' dan ''hakama'' akhirnya hilang sebelum diganti dengan kimono model terusan. Setelah itu dikenal kimono wanita yang disebut ''[[kosode]]''. Wanita mengenakan kosode dengan kain yang dililitkan di pinggang (''koshimaki'') dan/atau ''yumaki''. Mantel panjang yang disebut ''[[uchikake]]'' dipakai setelah memakai kosode.


=== Zaman Edo Periode Awal ===
=== Awal zaman Edo ===
Penyederhaan pakaian samurai berlanjut hingga [[zaman Edo]]. Pakaian samurai zaman Edo adalah setelan berpundak lebar yang disebut {{nihongo|''kamishimo''|裃}. Satu stel kamishimo terdiri dari {{nihongo|''kataginu''|肩衣}} dan celana ''hakama''. Di kalangan wanita, ''kosode'' menjadi semakin populer sebagai simbol budaya orang kota yang mengikuti tren.
Sebagai pakaian yang merupakan simbol budaya orang kota yang mengikuti tren, ''Kosode'' menjadi semakin populer di kalangan masyarakat.


Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung-panggung sandiwara seperti [[Kabuki]]. Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut Nishikie atau [[Ukiyoe]] mendorong semakin banyaknya orang yang bisa melihat gambar-gambar pemeran Kabuki dengan pakaian kimono yang gemerlap. Pakaian orang kota cenderung menjadi semakin mewah untuk meniru pakaian yang dikenakan pemain Kabuki.
Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung sandiwara [[kabuki]]. Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut [[nishikie]] atau [[ukiyo-e]] mendorong makin banyaknya lukisan pemeran kabuki yang mengenakan kimono mahal dan gemerlap. Akibatnya, pakaian orang kota cenderung makin mewah untuk meniru pakaian aktor kabuki.


Untuk mengatasi kecenderungan orang kota yang berpakaian semakin bagus dan menjauhi norma-norma [[Konfusianisme]], pemerintah Bakufu secara bertahap memaksakan ''Kenyakurei,'' yakni norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan ini gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi [[upacara minum teh]] (''Chanoyu'') yang telah berurat berakar juga menjadi sebab kegagalan ''Kenyakurei.'' Upacara minum teh yang dihadiri dengan memakai kimono yang sedapat mungkin harus tampak sederhana ternyata sebetulnya berharga mahal.
Untuk mengatasi kecenderungan orang kota yang berpakaian semakin bagus dan menjauhi norma [[konfusianisme]], pemerintah keshogunan secara bertahap memaksakan ''kenyaku-rei,'' yakni norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan tersebut gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi [[upacara minum teh]] menjadi sebab kegagalan ''kenyaku-rei.'' Orang menghadiri upacara minum teh memakai kimono yang terlihat sederhana namun ternyata berharga mahal.


Pada masa ini mulai dikenal tali pinggang yang disebut ''Kumihimo'' dan gaya mengikat ''Obi'' di punggung yang bertahan hingga zaman sekarang.
Pada zaman ini mulai dikenal tali pinggang yang disebut ''kumihimo'' dan gaya mengikat ''[[obi (kimono)|kimono]]'' di punggung yang bertahan hingga sekarang.


=== Zaman Edo Periode Lanjut ===
=== Akhir zaman Edo ===
Politik isolasi (''Sakoku'') membuat terhentinya impor benang sutera. Industri benang sutera dalam negeri pun tumbuh pesat pada periode ini. Setelah berhasil mengendalikan produksi benang sutera, pemerintah Bakufu kembali berusaha kembali memaksakan cara berpakaian dan gaya potongan rambut yang sesuai dengan kelas-kelas di dalam masyarakat. Kali ini pemerintah Bakufu berhasil memaksakan keinginannya. Bahan pakaian orang kota tidak lagi dibuat dari kain sutera yang dikontrol oleh pemerintah, melainkan dari kain katun atau kain serat rami. Hal ini ternyata menumbuhkan kreativitas masyarakat agar kimono yang dibuat dari kain katun atau serat rami terlihat bagus dipakai.
Politik isolasi (''sakoku'') membuat terhentinya impor benang [[sutra]]. Benang sutra produksi dalam negeri mulai dipakai untuk membuat kimono. Pakaian rakyat dibuat dari kain sutra jenis [[crape]] yang berharga lebih murah. Setelah terjadi [[kelaparan zaman Temmei]] (1783-1788), [[Keshogunan Edo]] pada tahun [[1785]] melarang rakyat untuk mengenakan kimono dari sutra. Pakaian orang kota dibuat dari kain [[katun]] atau kain [[rami]]. Kimono berlengan lebar yang merupakan bentuk awal dari ''[[furisode]]'' menjadi populer di kalangan wanita.


=== Zaman Meiji dan zaman Taisho ===
Pakaian wanita yang disebut ''Tamoto'' (袂) menjadi populer di kalangan rakyat banyak. ''Tamoto'' merupakan bentuk awal dari kimono jenis ''Furisode'' yang dipakai sebagai baju pengantin wanita.
Industri berkembang maju pada [[zaman Meiji]]. Produksi sutra meningkat, dan Jepang menjadi eksportir sutra terbesar. Harga kain sutra tidak lagi mahal, dan mulai dikenal berjenis-jenis kain sutra. Peraturan pemakaian benang sutera dinyatakan tidak berlaku. Kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain. Industri pemintalan benang sutera didirikan di banyak tempat di Jepang. Sesuai pesatnya perkembangan industri pemintalan, berkembang pula industri tekstil yang memakai benang sutera. Produk industri tekstil berupa berjenis-jenis kain sutera seperti ''silk crepe,'' ''rinzu,'' ''omeshi,'' dan ''meisen.''


Teknik pencelupan kain berkembang dengan cepat seiring dengan tersedianya berjenis-jenis kain yang dapat diproses. Pada zaman ini mulai dikenal teknik yang disebut {{nihongo|''yuzen''|友禅}}, yakni teknik menggambar dengan kuas untuk menghasilkan motif (biasanya berbentuk bunga-bunga) di atas kain kimono.
=== Zaman Meiji dan Zaman Taisho ===
Pada [[zaman Meiji]], orang-orang dari golongan bangsawan istana berlomba mengganti kimono dengan pakaian ala Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang-orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika keindahan secara turun temurun tidak menjadi terpengaruh. Orang-orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi asli yang dipelihara sejak zaman Edo.


Kain sutera dengan motif garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus yang sudah populer sejak zaman Edo ternyata masih populer di antara kalangan atas sebagai pakaian terbagus yang cuma dipakai pada kesempatan istimewa. Pada saat yang sama, kain sutera hasil tenunan benang berwarna-warni hasil pencelupan juga disukai banyak orang.
Setelah peraturan pemakaian benang sutera dinyatakan tidak berlaku lagi, kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain. Pada saat yang bersamaan, industri pemintalan benang sutera didirikan di banyak tempat di Jepang. Sesuai pesatnya perkembangan industri pemintalan, berkembang pula industri tekstil yang menggunakan benang sutera. Produk industri tekstil pada zaman ini adalah berjenis-jenis kain sutera seperti ''silk crepe,'' ''rinzu,'' ''omeshi,'' dan ''meisen.''


Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai mengalir ke Jepang, penjahit lokal mulai bisa membuat pakaian Barat. Sejak saat itu, istilah ''wafuku'' mulai dipakai untuk membedakan pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Pada masa-masa awal dikenalnya pakaian Barat di Jepang, kalangan atas mengenakan pakaian Barat yang dipinjam dari toko-toko yang menyewakan pakaian Barat.
Teknik pencelupan kain juga berkembang dengan cepat seiring dengan tersedianya berjenis-jenis kain yang dapat diproses. Pada zaman ini mulai dikenal teknik yang disebut Yuzen (友禅), yakni menggambar dengan kuas untuk menghasilkan motif (biasanya berbentuk bunga-bunga) di atas kain kimono.


Bangsawan istana mulai meninggalkan kimono, dan menggantinya dengan pakaian Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang-orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika keindahan secara turun temurun tidak terpengaruh. Orang-orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi asli yang dipelihara sejak zaman Edo.
Kain sutera dengan motif garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus yang sudah populer sejak zaman Edo ternyata masih populer di antara kalangan atas sebagai pakaian terbagus yang cuma dipakai pada kesempatan istimewa. Pada saat yang sama, kain sutera hasil tenunan benang berwarna-warni hasil pencelupan juga disukai banyak orang.


Pada zaman Meiji, sebagian besar orang laki-laki masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Pakaian ala Barat berupa setelan [[jas]] menjadi populer sebagai pakaian formal pria.
Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai mengalir ke Jepang, penjahit-penjahit lokal mulai bisa membuat pakaian ala Barat. Sejak saat itu, istilah ''Wafuku'' mulai dipakai untuk membedakan pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Pada masa-masa awal orang Jepang mulai mengenakan pakaian ala Barat, orang-orang kalangan atas mengenakan pakaian ala Barat yang dipinjam dari toko-toko yang menyewakan pakaian ala Barat.

Di zaman Meiji, sebagian besar orang laki-laki masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Pakaian ala Barat berupa setelan jas menjadi populer sebagai pakaian formal pria untuk keluar rumah.


[[Seragam militer]] dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer, sedangkan model seragam sekolah anak laki-laki ditiru dari model seragam tentara angkatan darat. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (''stand-up collar'') persis model kerah seragam tentara.
[[Seragam militer]] dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer, sedangkan model seragam sekolah anak laki-laki ditiru dari model seragam tentara angkatan darat. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (''stand-up collar'') persis model kerah seragam tentara.
Baris 102: Baris 114:
Wanita Jepang pada zaman Meiji semuanya masih mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.
Wanita Jepang pada zaman Meiji semuanya masih mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.


Pada [[zaman Taisho]] periode lanjut, seiring dengan kebijakan pemerintah yang memiliterisasi seluruh negeri, seragam anak sekolah perempuan yang selama ini berupa ''Andon Hakama'' (kimono dengan celana ''Hakama'') diganti dengan pakaian ala barat yang disebut ''Serafuku,'' yakni setelan rok dan baju blus yang mirip yang sering dipakai oleh pelaut.
Pada akhir [[zaman Taisho]], seiring dengan kebijakan pemerintah tentang mobilisasi, seragam anak sekolah perempuan yang selama ini berupa ''andon hakama'' (kimono dengan ''hakama'') diganti dengan pakaian Barat yang disebut ''serafuku'' (''sailor fuku''), yakni setelan rok dan baju blus yang mirip yang sering dipakai oleh pelaut.


=== Zaman Showa ===
=== Zaman Showa ===
Di zaman perang, pemerintah membagi-bagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut ''Kokumin fuku,'' sedangkan pemerintah memaksa para wanita untuk memakai ''Monpei'' (celana panjang untuk kerja yang berkaret di bagian pergelangan kaki).
Semasa perang, pemerintah membagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut ''kokumin fuku''. Wanita dipaksa untuk memakai ''monpei'' (celana panjang untuk kerja yang berkaret di bagian pergelangan kaki).


Setelah kekalahan Jepang dalam [[Perang Dunia II]], wanita Jepang kembali mulai mengenakan kimono. Kimono mulai ditinggalkan sesuai tuntutan modernisasi. Dibandingan kerumitan memakai kimono, pakaian Barat lebih praktis untuk dipakai sehari-hari.
Wanita Jepang hampir tidak mempunyai kesempatan untuk memakai kimono sewaktu zaman perang. Walapun begitu, sebenarnya ''Monpei'' bisa dikatakan merupakan salah satu jenis dari ''Hakama,'' semacam celana yang dikenakan bersama kimono.


Hingga pertengahan tahun [[1960-an]], kimono masih banyak dipakai oleh wanita Jepang sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran kimono menjadi terangkat setelah diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan [[wol]]. Kimono dari bahan wol disukai sebagai pakaian untuk kesempatan santai.
[[Perang Dunia II]] berakhir dengan kekalahan Jepang. Wanita Jepang merasa lega karena perang sudah berakhir dan kembali terpikat pada keindahan kimono. Tapi zaman cepat berganti, kimono tidak mungkin menandingi kepopuleran pakaian ala Barat yang praktis untuk dipakai sehari-hari, sehingga jumlah orang Jepang yang memakai kimono menjadi berkurang sedikit demi sedikit.


Setelah kimono tidak lagu populer, pedagang kimono mencoba berbagai macam strategi untuk meningkatkan angka penjualan kimono. Salah satu di antaranya berupa "peraturan mengenakan kimono" yang disebut ''yakusoku''. Dalam peraturan tersebut, kimono jenis tertentu dikatakan hanya cocok dengan aksesori tertentu. Strategi mendikte pembeli akhirnya berakibat pada makin menurunnya minat konsumen untuk membeli kimono. Walaupun pedagang kimono sudah melakukan promosi besar-besaran, di dalam masyarakat Jepang telanjur terbentuk opini bahwa "memakai kimono itu ruwet".
Walaupun demikian, sampai sekitar tahun 1965 masih terlihat banyak sekali wanita Jepang yang memakai kimono sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu kepopuleran kimono menjadi terangkat kembali dengan diperkenalkannya kimono indah berwarna-warni dari bahan [[wol]]. Kimono dari bahan wol disukai wanita Jepang zaman itu sebagai pakaian untuk kesempatan santai.


Hingga tahun 1960-an, kimono masih dipakai pria sebagai pakaian santai di rumah. Gambar pria yang mengenakan kimono di rumah masih bisa dilihat dalam berbagai [[manga]] terbitan tahun 1970-an. Namun sejak tahun 1980-an, kimono tidak dikenakan pria sebagai pakaian di rumah, kecuali sejenis kimono yang disebut {{nihongo|''samue''|作務衣}} sebagai baju kerja para perajin.
Pedagang kimono risau dengan kejatuhan popularitas kimono dari kain sutera yang dianggap tidak praktis untuk pakaian sehari-hari. Demi kelangsungan bisnis, pedagang kimono mencari berbagai macam cara untuk meningkatkan jumlah penjualan barang. Salah satu caranya adalah dengan memasyarakatkan "peraturan mengenakan kimono" yang disebut ''Yakusoku.'' Peraturan yang sengaja dibuat-buat untuk mendikte pembeli bahwa kimono jenis tertentu hanya cocok dengan aksesori tertentu ternyata tidak mengena di hati konsumen. Walaupun pedagang sudah melakukan promosi kimono secara besar-besaran, di dalam masyarakat Jepang telanjur terbentuk opini bahwa "memakai kimono itu ruwet." Orang Jepang pun semakin menjauh dari kimono. Akibatnya, industri tekstil yang menghasilkan bahan kain untuk kimono (''Tanmono'') satu per satu menjadi bangkrut.


== Bisnis kimono ==
Sekarang sudah tidak bisa ditemui lagi laki-laki yang memakai kimono sebagai pakaian sehari-hari di rumah, padahal sampai tahun 1960-an masih banyak terlihat pemandangan laki-laki berkimono di rumah (bahkan masih bisa dilihat pada gambar-gambar [[Manga]] terbitan tahun 1970-an).
Bahan kain kimono adalah hasil dari kesenian tenun tradisional Jepang yang bernilai seni. Kimono untuk kesempatan formal hanya dibuat dari kain [[sutera]] kelas terbaik dan hanya dijahit dengan tangan (tidak memakai [[mesin jahit]]). Oleh karena itu, harga kimono sering menjadi sangat mahal. Kimono umumnya tidak pernah dijual dalam keadaan jadi, melainkan harus dipesan dan dijahit sesuai dengan ukuran badan pemakai.


Sewaktu membeli kain, tinggi badan pemakai tidak diperhitungkan. Bahan kimono dibeli dalam satu gulungan kain yang ditenun dengan sempurna tanpa cacat. Membeli kimono dimulai dengan pemilihan bahan kain kimono yang disebut {{nihongo|''tanmono''|反物||arti harfiah: gulungan kain dengan panjang 1 tan}}. Jika kebetulan pemakai kimono bertubuh pendek dan ramping, setelah kimono selesai dijahit akan banyak bahan kimono yang tersisa. Sisa bahan kimono bisa dimanfaatkan oleh pemilik kimono untuk membuat aksesori pelengkap kimono, seperti [[tas]], [[dompet]], atau [[sandal]].
Saat ini tidak begitu banyak lagi laki-laki Jepang yang memakai kimono, kecuali ''Samue'' (作務衣) yang dipakai sebagai baju kerja.


Kain kimono dapat dibeli dengan harga lebih murah pada kesempatan obral bahan kelas dua yang disebut {{nihongo|''B-tan ichi''|B反市||arti harfiah: pasar kain kelas B) untuk membedakannya dari bahan kimono kelas A yang ditenun sempurna tanpa cacat. Walaupun bahan kain yang dibeli memiliki sedikit cacat, penjahit kimono yang berpengalaman dapat menyembunyikan bagian tenunan yang rusak. Setelah jadi, kimono dari pasar kain kelas B mungkin akan terlihat sama dengan kimono dari bahan sempurna.
== Kimono Wanita ==
Kimono untuk wanita terdiri dari berbagai jenis yang semuanya sarat dengan simbolisme dan isyarat-isyarat terselubung. Pilihan jenis kimono tertentu bisa menunjukkan umur si pemakai, status perkawinan (masih lajang atau sudah menikah), dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri.


Toko pakaian juga menjual [[yukata]] impor berharga murah yang dijahit memakai mesin di pabrik. Yukata jenis ini biasanya dikenakan pada kesempatan santai seperti ketika menyaksikan pesta kembang api.
Jenis-jenis kimono wanita disusun menurut tingkatan formalitas, mulai dari kimono yang paling formal hingga kimono santai:
* [[Tomesode]]
Tomesode adalah jenis kimono yang paling formal, umumnya berwarna hitam dan hanya dikenakan oleh wanita yang sudah menikah. Tomesode yang berwarna hitam disebut Kurotomesode. Pada kimono jenis Tomesode terdapat lambang keluarga (''kamon'') si pemakai. Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Ciri khas Tomesode adalah motif yang indah pada ''suso'' (bagian bawah sekitar kaki). Tomesode dikenakan untuk menghadiri resepsi pernikahan, pesta atau acara-acara yang sangat resmi.

* [[Furisode]]
Furisode adalah kimono formal untuk wanita muda yang belum menikah. Ciri khas Furisode pada bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian. Furisode dikenakan pada waktu menghadiri upacara "Seijin Shiki" (hari menjadi dewasa), menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda atau kunjungan ke [[Jinja|kuil Shinto]] di hari-hari awal Tahun Baru (''Hatsumode'').

* [[Homongi]]
Homongi (bahasa Jepang: 訪問着, secara harafiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk wanita yang sudah menikah atau wanita dewasa yang belum menikah. Homongi dikenakan wanita yang sudah menikah untuk menghadiri resepsi pernikahan, pesta-pesta resmi, [[Tahun baru Jepang|Tahun Baru]], atau [[upacara minum teh]].

* [[Iromuji]]
Iromuji kimono semiformal yang bisa dijadikan kimono formal jika mempunyai lambang keluarga (''kamon''). Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Bahan umumnya tidak bermotif dan berwarna [[merah jambu]], [[biru]] muda, [[kuning]] muda atau warna-warna lembut lainnya. Iromuji dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan atau upacara minum teh.

* [[Tsukesage]]
Tsukesage adalah kimono semi formal untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitasnya, Tsukesage hanya setingkat dibawah Homongi. Tsukesage biasa dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan, pesta resmi, Tahun Baru, atau upacara minum teh yang sifatnya tidak begitu resmi.

* [[Komon]]
Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri khas pada motif sederhana yang kecil-kecil yang berulang. Komon bisa dikenakan untuk menghadiri pesta alumni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung.

* [[Tsumugi]]
Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah, walaupun boleh juga dikenakan untuk keluar rumah seperti berbelanja dan jalan-jalan. Ciri khas Tsumugi pada bahan yang merupakan bahan tenunan sederhana dari katun atau benang sutera kelas rendah yang tebal dan kasar sehingga kimono jenis ini tahan lama. Pada zaman dulu, Tsumugi digunakan untuk bekerja di ladang.

* [[Yukata]]
Yukata adalah jenis kimono santai yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis yang dipakai untuk kesempatan santai di musim panas.

== Pakaian Pengantin Wanita ==
Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (''Hanayome Isho'') terdiri dari ''Furisode'' dan ''Uchikake'' (sejenis mantel yang dikenakan di atas ''Furisode''). Hanayome Isho dikenakan pengantin wanita pada saat upacara dan resepsi [[pernikahan]].

''Furisode'' khusus pengantin yang merupakan bagian dari ''Hanayome Isho'' berbeda dengan ''Furisode'' yang dikenakan wanita muda yang belum menikah. ''Furisode'' khusus pengantin mempunyai motif-motif yang dianggap dapat mengundang keberuntungan seperti [[burung Jenjang]] (burung ''Tsuru''), dan berwarna lebih cerah dibandingkan dengan Furisode biasa.

''Shiromuku'' adalah pakaian pengantin wanita tradisional Jepang yang berupa ''Furisode'' yang berwarna putih bersih dan tidak bermotif.

== Kimono Pria ==
Kimono pria jauh lebih sederhana dibandingkan dengan kimono wanita. Kimono pria didominasi warna-warna gelap seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan hitam.
* Setelan ''Montsuki'' dengan ''Hakama'' dan ''Haori''.
Kimono pria yang paling formal disebut Montsuki yang di bagian punggungnya terdapat lambang keluarga (''Kamon'') si pemakai. Bawahan yang digunakan untuk Montsuki adalah celana panjang ''Hakama,'' sedangkan mantelnya disebut ''Haori.''

Montsuki yang dipakai lengkap dengan Hakama dan Haori juga berfungsi sebagai pakaian pengantin pria. Selain sebagai pakaian pengantin pria, Montsuki lengkap dengan Hakama dan Haori hanya dikenakan pada waktu menghadiri upacara yang sangat resmi, seperti resepsi pemberian penghargaan dari Kaisar/pemerintah.


Kimono yang dijahit dari bahan berkualitas tinggi merupakan benda warisan keluarga. Kimono bekas pakai masih mempunyai nilai jual tinggi, terutama karena ukuran kimono dapat disesuaikan dengan ukuran badan pemilik yang baru. Di Jepang bisa dijumpai toko-toko yang menjual kimono bekas pakai. Pada [[Perang Dunia II]], kimono pernah digunakan sebagai alat pembayaran sewaktu penduduk kota kekurangan pangan. Uangnya dipakai untuk membeli beras, telur, dan bumbu dapur seperti [[miso]], dan [[gula]].
* ''Ki Nagashi''
''Ki Nagashi'' adalah kimono santai untuk dipakai sehari-hari yang dikenakan pria untuk keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Bahannya bisa terbuat dari katun atau bahan campuran. Ki Nagashi banyak dikenakan pemeran Kabuki pada saat latihan atau guru tari tradisional Jepang pada saat mengajar.


== Aksesori dan Pakaian Pelengkap untuk Kimono ==
== Aksesori dan pelengkap ==
* ''[[Hakama]]''
* ''[[Hakama]]''
Hakama adalah semacam celana panjang yang dikenakan pria yang juga terbuat dari bahan berwarna gelap. Hakama berasal dari daratan Tiongkok dan mulai dikenal sejak zaman Asuka. Hakama umumnya dikenakan pendeta kuil [[Shinto]] . Di kalangan olah raga tradisional Jepang seperti Kendo dan Kyudo, Hakama dikenakan baik oleh laki-laki maupun perempuan.
:Hakama adalah celana panjang pria yang dibuat dari bahan berwarna gelap. Celana jenis ini berasal dari daratan Cina dan mulai dikenal sejak [[zaman Asuka]]. Selain dikenakan pendeta [[Shinto]], hakama dikenakan pria dan wanita di kalangan atlet olahraga bela diri tradisional seperti [[kendo]] atau [[kyudo]].
* ''[[Geta (alas kaki)|Geta]]''
* ''[[Geta (alas kaki)|Geta]]''
''Geta'' adalah sandal dari kayu yang dilengkapi dengan hak. ''Geta'' berhak tinggi dan tebal yang dipakai oleh ''Maiko'' disebut ''Pokkuri''
:''Geta'' adalah sandal berhak dari kayu. ''[[Maiko]]'' memakai ''geta'' berhak tinggi dan tebal yang disebut ''pokkuri''
* ''[[Junihitoe]]''
''Junihitoe'' adalah kimono 12 lapis yang dipakai oleh wanita Jepang zaman dulu di istana kaisar.
* ''[[Kanzashi]]''
* ''[[Kanzashi]]''
''Kanzashi'' adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu memakai kimono.
:''Kanzashi'' adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu memakai kimono.
* ''[[Obi (kimono)|Obi]]''
* ''[[Obi (kimono)|Obi]]''
''Obi'' adalah sabuk dari kain yang seperti stagen yang dililitkan ke badan pemakai untuk mengencangkan kimono
:''Obi'' adalah sabuk dari kain yang dililitkan ke tubuh pemakai sewaktu mengencangkan kimono
* ''[[Tabi]]''
* ''[[Tabi]]''
''Tabi'' adalah kaus kaki sepanjang betis yang dibelah dua pada bagian jari kaki untuk memisahkan jempol kaki dengan jari-jari kaki yang lain. ''Tabi'' dipakai sewaktu memakai sandal, walaupun ada Tabi dari kain keras yang dapat dipakai begitu saja seperti sepatu bot.
:''Tabi'' adalah [[kaus kaki]] sepanjang betis yang dipakai sewaktu memakai sandal.
* ''[[Waraji]]''
* ''[[Waraji]]''
''Waraji'' adalah sandal dari anyaman tali jerami.
:''Waraji'' adalah sandal dari anyaman tali jerami.
* ''[[Zori]]''
* ''[[Zōri]]''
''Zori'' adalah sandal tradisional Jepang yang bisa terbuat dari kain atau anyaman sejenis rumput (''Igusa'').
:''Zōri'' adalah sandal tradisional yang dibuat dari kain atau anyaman.


== Lihat pula ==
== Referensi ==
{{reflist}}
*[[Yukata]]


== Pranala luar ==
== Pranala luar ==
{{commons|Category:Kimono}}
{{commons|Category:Kimono}}
*{{en}}[http://www.hanamiweb.com/kimono.html Japanese Kimono - Many photos]
*{{en}} [http://www.hanamiweb.com/kimono.html Tentang kimono]
*{{ja}} [http://www.iz2.or.jp/fukusyoku/ Gambar-gambar kimono dan aksesorinya dari zaman ke zaman (Situs Web Museum Busana di Kyoto) ]
*{{ja}} [http://www.iz2.or.jp/fukusyoku/ Gambar-gambar kimono dan aksesorinya dari zaman ke zaman (Museum Busana di Kyoto) ]

{{jepang-stub}}


{{Link FA|ar}}
{{Link FA|ar}}

Revisi per 7 Juni 2009 09.55

Pengantin wanita mengenakan kimono yang disebut shiromuku
Uchikake bermotif burung jenjang

Kimono (着物) adalah pakaian tradisional Jepang. Arti harfiah kimono adalah baju atau sesuatu yang dikenakan (ki berarti pakai, dan mono berarti barang).

Pada zaman sekarang, kimono berbentuk seperti huruf "T," mirip mantel berlengan panjang dan berkerah. Panjang kimono dibuat hingga ke pergelangan kaki. Wanita mengenakan kimono berbentuk baju terusan, sementara pria mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Sabuk kain yang disebut obi dililitkan di bagian perut/pinggang, dan diikat di bagian punggung. Alas kaki sewaktu mengenakan kimono adalah zōri atau geta.

Kimono sekarang ini lebih sering dikenakan wanita pada kesempatan istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut furisode.[1] Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Perempuan yang genap berusia 20 tahun mengenakan furisode untuk menghadiri seijin shiki. Pria mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara formal lainnya. Ketika tampil di luar arena sumo, pesumo profesional diharuskan mengenakan kimono.[2] Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi-Go-San. Selain itu, kimono dikenakan pekerja bidang industri jasa dan pariwisata, pelayan wanita rumah makan tradisional (ryōtei) dan pegawai penginapan tradisional (ryokan).

Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome ishō) terdiri dari furisode dan uchikake (mantel yang dikenakan di atas furisode). Furisode untuk pengantin wanita berbeda dari furisode untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan untuk furisode pengantin diberi motif yang dipercaya mengundang keberuntungan, seperti gambar burung jenjang. Warna furisode pengantin juga lebih cerah dibandingkan furisode biasa. Shiromuku adalah sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupa furisode berwarna putih bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna putih.

Sebagai pembeda dari pakaian Barat (yōfuku) yang dikenal sejak zaman Meiji, orang Jepang menyebut pakaian tradisional Jepang sebagai wafuku (和服, pakaian Jepang). Sebelum dikenalnya pakaian Barat, semua pakaian yang dipakai orang Jepang disebut kimono. Sebutan lain untuk kimono adalah gofuku (呉服). Istilah ini mulanya dipakai untuk menyebut pakaian orang negara Dong Wu (bahasa Jepang : negara Go) yang datang Jepang dari daratan Cina.

Kimono wanita

Seorang gadis sedang mengenakan furisode

Kimono wanita terdiri dari beberapa jenis, mulai dari kimono paling formal hingga kimono santai. Pemilihan jenis kimono yang tepat memerlukan pengetahuan mengenai simbolisme dan isyarat terselubung yang dikandung masing-masing jenis kimono. Tingkat formalitas kimono wanita ditentukan oleh pola tenunan dan warna. Kimono bisa menunjukkan umur pemakai, status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri pemakai.

Tomesode adalah kimono yang paling formal, umumnya berwarna hitam dan hanya dikenakan oleh wanita yang sudah menikah. Tomesode berwarna hitam disebut kurotomesode. Pada tomesode terdapat lambang keluarga (kamon) si pemakai. Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Ciri khas tomesode adalah motif yang indah pada suso (bagian bawah sekitar kaki). Tomesode dikenakan untuk menghadiri resepsi pernikahan, pesta atau acara-acara yang sangat resmi.

Furisode adalah kimono formal untuk wanita muda yang belum menikah. Ciri khas furisode adalah bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian. Furisode dikenakan sewaktu menghadiri upacara seijin shiki, menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda, atau hatsumode.

Hōmon-gi (訪問着, arti harfiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk wanita yang sudah menikah atau wanita dewasa yang belum menikah. Wanita yang sudah menikah memakai homongi sewaktu menjadi tamu resepsi pernikahan, pesta resmi, sewaktu merayakan tahun baru atau upacara minum teh.

Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut memiliki lambang keluarga (kamon). Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Iromoji dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah jambu, biru muda, atau kuning muda atau warna-warna lembut. Kimono jenis ini dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan atau upacara minum teh.

Tsukesage adalah kimono semiformal untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitas, kedudukan tsukesage hanya setingkat dibawah hōmon-gi. Kimono jenis ini dikenakan untuk menghadiri upacara minum teh yang tidak begitu resmi, pesta pernikahan, pesta resmi, atau ketika merayakan tahun baru..

Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri khas kimono jenis ini adalah motif sederhana dan berukuran kecil-kecil yang berulang. Komon dikenakan untuk menghadiri pesta reuni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung.

Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, kimono jenis ini boleh dikenakan untuk keluar rumah seperti ketika berbelanja dan berjalan-jalan. Bahan yang dipakai adalah kain hasil tenunan sederhana dari benang katun atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan kasar. Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di ladang.

Yukata adalah kimono santai yang dibuat dari kain katun tipis tanpa pelapis untuk kesempatan santai di musim panas.

Kimono pria

Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan hitam.

  • Kimono paling formal berupa setelan montsuki berwarna hitam dengan hakama dan haori
Pada bagian punggung montsuki terdapat lambang keluarga (kamon) pemakai. Sewaktu mengenakan montsuki, pria mengenakan celana panjang yang disebut hakama dan mantel yang disebut haori. Montsuki yang dikenakan bersama hakama dan haori juga berfungsi sebagai pakaian pengantin pria. Pakaian jenis ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara sangat resmi, misalnya resepsi pemberian penghargaan dari kaisar/pemerintah atau seijin shiki.
  • Kimono santai yang disebut kinagashi

Pria mengenakan kinagashi ketika keluar rumah pada kesempatan tidak resmi atau sebagai pakaian sehari-hari. Pada kinagashi tidak terdapat lambang keluarga. Aktor kabuki mengenakan kinagashi ketika latihan.

Sejarah

Zaman Jomon dan zaman Yayoi

Pakaian wanita pada sekitar tahun 1870

Kimono zaman Jomon dan zaman Yayoi berbentuk seperti baju terusan. Dari situs arkeologi tumpukan kulit kerang asal zaman Jomon]ditemukan haniwa. Pakaian atas yang dikenakan haniwa disebut kantoi (貫頭衣).

Dalam Gishiwajinden (buku sejarah Cina mengenai tiga negara) ditulis tentang pakaian sederhana untuk laki-laki. Sehelai kain diselempangkan secara horizontal pada tubuh pria seperti pakaian biksu, dan sehelai kain dililitkan di kepala. Pakaian wanita dinamakan kantoi. Di tengah sehelai kain dibuat lubang untuk memasukkan kepala. Tali digunakan sebagai pengikat di bagian pinggang.

Masih menurut Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku (sebutan untuk Jepang zaman dulu) "selalu mengenakan pakaian kantoi berwarna putih". Serat rami merupakan bahan pakaian untuk rakyat biasa, sementara orang berpangkat mengenakan kain sutera.

Zaman Kofun

Pakaian zaman kofun mendapat pengaruh dari daratan Cina, dan terdiri dari dua potong pakaian: pakaian atas dan pakaian bawah. Haniwa mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai menutupi kantoi. Pakaian bagian bawah berupa rok yang dililitkan di pinggang. Dari penemuan haniwa terlihat pakaian berupa celana berpipa lebar seperti hakama.

Pada zaman Kofun mulai dikenal pakaian yang dijahit. Bagian depan kantoi dibuat terbuka dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit agar mudah dipakai. Selanjutnya, baju atas terdiri dari dua jenis kerah:

  • Kerah datar sampai persis di bawah leher (agekubi)
  • Kerah berbentuk huruf "V" (tarekubi) yang dipertemukan di bagian dada.

Zaman Nara

Aristokrat zaman Asuka bernama Pangeran Shotoku menetapkan dua belas strata jabatan dalam istana kaisar (kan-i jūnikai)> Pejabat istana dibedakan menurut warna hiasan penutup kepala (kanmuri). Dalam kitab hukum Taiho Ritsuryo dimuat peraturan tentang busana resmi, busana pegawai istana, dan pakaian seragam dalam istana. Pejabat sipil (bunkan) memakai pakaian formal yang dijahit di bagian bawah ketiak. Pakaian formal untuk pejabat militer tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar pemakainya bebas bergerak. Busana dan aksesori zaman Nara banyak dipengaruhi budaya Cina yang masuk ke Jepang. Pengaruh budaya Dinasti Tang ikut mempopulerkan baju berlengan sempit yang disebut kosode untuk dikenakan sebagai pakaian dalam.

Pada zaman Nara terjadi perubahan dalam cara mengenakan kimono. Kalau sebelumnya kerah bagian kiri harus berada di bawah kerah bagian kanan, sejak zaman Nara, kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Cara mengenakan kimono dari zaman Nara terus dipertahankan hingga kini. Hanya orang meninggal dipakaikan kimono dengan kerah kiri berada di bawah kerah kanan.

Zaman Heian

Menurut aristokrat Sugawara Michizane, penghentian pengiriman utusan Jepang untuk Dinasti Tang (kentoshi) memicu pertumbuhan budaya lokal. Tata cara berbusana dan standarisasi protokol untuk upacara-upacara formal mulai ditetapkan secara resmi. Namun ketetapan ini berakibat semakin rumitnya tata busana zaman Heian. Wanita zaman Heian mengenakan pakaian berlapis-lapis yang disebut jūnihitoe. Tidak hanya wanita zaman Heian, pakaian formal untuk militer juga menjadi tidak praktis.

Ada tiga jenis pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:

  • Sokutai (pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap)
  • I-kan (pakaian untuk tugas resmi sehari-hari yang sedikit lebih ringan dari sokutai)
  • Noshi (pakaian untuk kesempatan pribadi yang terlihat mirip dengan i-kan.

Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut suikan atau kariginu (狩衣, arti harafiah: baju berburu). Di kemudian hari, kalangan aristokrat menjadikan kariginu sebagai pakaian sehari-hari sebelum diikuti oleh kalangan samurai.

Pada zaman Heian terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh kalangan samurai, dan bangsawan istana dijauhkan dari dunia politik. Pakaian yang dulunya merupakan simbol status bangsawan istana dijadikan simbol status kalangan samurai.

Zaman Kamakura dan zaman Muromachi

Pada zaman Sengoku, kekuasaan pemerintahan berada di tangan samurai. Samurai mengenakan pakaian yang disebut suikan. Pakaian jenis ini nantinya berubah menjadi pakaian yang disebut hitatare. Pada zaman Muromachi, hitatare merupakan pakaian resmi samurai. Pada zaman Muromachi dikenal kimono yang disebut suō (素襖), sejenis hitatare yang tidak menggunakan kain pelapis dalam. Ciri khas suō adalah lambang keluarga dalam ukuran besar (daimon) di delapan tempat.

Pakaian wanita juga makin sederhana. Rok bawah yang disebut mo () makin pendek sebelum diganti dengan celana hakama. Mode mo dan hakama akhirnya hilang sebelum diganti dengan kimono model terusan. Setelah itu dikenal kimono wanita yang disebut kosode. Wanita mengenakan kosode dengan kain yang dililitkan di pinggang (koshimaki) dan/atau yumaki. Mantel panjang yang disebut uchikake dipakai setelah memakai kosode.

Awal zaman Edo

Penyederhaan pakaian samurai berlanjut hingga zaman Edo. Pakaian samurai zaman Edo adalah setelan berpundak lebar yang disebut {{nihongo|kamishimo|裃}. Satu stel kamishimo terdiri dari kataginu (肩衣) dan celana hakama. Di kalangan wanita, kosode menjadi semakin populer sebagai simbol budaya orang kota yang mengikuti tren.

Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung sandiwara kabuki. Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut nishikie atau ukiyo-e mendorong makin banyaknya lukisan pemeran kabuki yang mengenakan kimono mahal dan gemerlap. Akibatnya, pakaian orang kota cenderung makin mewah untuk meniru pakaian aktor kabuki.

Untuk mengatasi kecenderungan orang kota yang berpakaian semakin bagus dan menjauhi norma konfusianisme, pemerintah keshogunan secara bertahap memaksakan kenyaku-rei, yakni norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan tersebut gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara minum teh menjadi sebab kegagalan kenyaku-rei. Orang menghadiri upacara minum teh memakai kimono yang terlihat sederhana namun ternyata berharga mahal.

Pada zaman ini mulai dikenal tali pinggang yang disebut kumihimo dan gaya mengikat kimono di punggung yang bertahan hingga sekarang.

Akhir zaman Edo

Politik isolasi (sakoku) membuat terhentinya impor benang sutra. Benang sutra produksi dalam negeri mulai dipakai untuk membuat kimono. Pakaian rakyat dibuat dari kain sutra jenis crape yang berharga lebih murah. Setelah terjadi kelaparan zaman Temmei (1783-1788), Keshogunan Edo pada tahun 1785 melarang rakyat untuk mengenakan kimono dari sutra. Pakaian orang kota dibuat dari kain katun atau kain rami. Kimono berlengan lebar yang merupakan bentuk awal dari furisode menjadi populer di kalangan wanita.

Zaman Meiji dan zaman Taisho

Industri berkembang maju pada zaman Meiji. Produksi sutra meningkat, dan Jepang menjadi eksportir sutra terbesar. Harga kain sutra tidak lagi mahal, dan mulai dikenal berjenis-jenis kain sutra. Peraturan pemakaian benang sutera dinyatakan tidak berlaku. Kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain. Industri pemintalan benang sutera didirikan di banyak tempat di Jepang. Sesuai pesatnya perkembangan industri pemintalan, berkembang pula industri tekstil yang memakai benang sutera. Produk industri tekstil berupa berjenis-jenis kain sutera seperti silk crepe, rinzu, omeshi, dan meisen.

Teknik pencelupan kain berkembang dengan cepat seiring dengan tersedianya berjenis-jenis kain yang dapat diproses. Pada zaman ini mulai dikenal teknik yang disebut yuzen (友禅), yakni teknik menggambar dengan kuas untuk menghasilkan motif (biasanya berbentuk bunga-bunga) di atas kain kimono.

Kain sutera dengan motif garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus yang sudah populer sejak zaman Edo ternyata masih populer di antara kalangan atas sebagai pakaian terbagus yang cuma dipakai pada kesempatan istimewa. Pada saat yang sama, kain sutera hasil tenunan benang berwarna-warni hasil pencelupan juga disukai banyak orang.

Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai mengalir ke Jepang, penjahit lokal mulai bisa membuat pakaian Barat. Sejak saat itu, istilah wafuku mulai dipakai untuk membedakan pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Pada masa-masa awal dikenalnya pakaian Barat di Jepang, kalangan atas mengenakan pakaian Barat yang dipinjam dari toko-toko yang menyewakan pakaian Barat.

Bangsawan istana mulai meninggalkan kimono, dan menggantinya dengan pakaian Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang-orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika keindahan secara turun temurun tidak terpengaruh. Orang-orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi asli yang dipelihara sejak zaman Edo.

Pada zaman Meiji, sebagian besar orang laki-laki masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Pakaian ala Barat berupa setelan jas menjadi populer sebagai pakaian formal pria.

Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer, sedangkan model seragam sekolah anak laki-laki ditiru dari model seragam tentara angkatan darat. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (stand-up collar) persis model kerah seragam tentara.

Wanita Jepang pada zaman Meiji semuanya masih mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.

Pada akhir zaman Taisho, seiring dengan kebijakan pemerintah tentang mobilisasi, seragam anak sekolah perempuan yang selama ini berupa andon hakama (kimono dengan hakama) diganti dengan pakaian Barat yang disebut serafuku (sailor fuku), yakni setelan rok dan baju blus yang mirip yang sering dipakai oleh pelaut.

Zaman Showa

Semasa perang, pemerintah membagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut kokumin fuku. Wanita dipaksa untuk memakai monpei (celana panjang untuk kerja yang berkaret di bagian pergelangan kaki).

Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, wanita Jepang kembali mulai mengenakan kimono. Kimono mulai ditinggalkan sesuai tuntutan modernisasi. Dibandingan kerumitan memakai kimono, pakaian Barat lebih praktis untuk dipakai sehari-hari.

Hingga pertengahan tahun 1960-an, kimono masih banyak dipakai oleh wanita Jepang sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran kimono menjadi terangkat setelah diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan wol. Kimono dari bahan wol disukai sebagai pakaian untuk kesempatan santai.

Setelah kimono tidak lagu populer, pedagang kimono mencoba berbagai macam strategi untuk meningkatkan angka penjualan kimono. Salah satu di antaranya berupa "peraturan mengenakan kimono" yang disebut yakusoku. Dalam peraturan tersebut, kimono jenis tertentu dikatakan hanya cocok dengan aksesori tertentu. Strategi mendikte pembeli akhirnya berakibat pada makin menurunnya minat konsumen untuk membeli kimono. Walaupun pedagang kimono sudah melakukan promosi besar-besaran, di dalam masyarakat Jepang telanjur terbentuk opini bahwa "memakai kimono itu ruwet".

Hingga tahun 1960-an, kimono masih dipakai pria sebagai pakaian santai di rumah. Gambar pria yang mengenakan kimono di rumah masih bisa dilihat dalam berbagai manga terbitan tahun 1970-an. Namun sejak tahun 1980-an, kimono tidak dikenakan pria sebagai pakaian di rumah, kecuali sejenis kimono yang disebut samue (作務衣) sebagai baju kerja para perajin.

Bisnis kimono

Bahan kain kimono adalah hasil dari kesenian tenun tradisional Jepang yang bernilai seni. Kimono untuk kesempatan formal hanya dibuat dari kain sutera kelas terbaik dan hanya dijahit dengan tangan (tidak memakai mesin jahit). Oleh karena itu, harga kimono sering menjadi sangat mahal. Kimono umumnya tidak pernah dijual dalam keadaan jadi, melainkan harus dipesan dan dijahit sesuai dengan ukuran badan pemakai.

Sewaktu membeli kain, tinggi badan pemakai tidak diperhitungkan. Bahan kimono dibeli dalam satu gulungan kain yang ditenun dengan sempurna tanpa cacat. Membeli kimono dimulai dengan pemilihan bahan kain kimono yang disebut tanmono (反物, arti harfiah: gulungan kain dengan panjang 1 tan). Jika kebetulan pemakai kimono bertubuh pendek dan ramping, setelah kimono selesai dijahit akan banyak bahan kimono yang tersisa. Sisa bahan kimono bisa dimanfaatkan oleh pemilik kimono untuk membuat aksesori pelengkap kimono, seperti tas, dompet, atau sandal.

Kain kimono dapat dibeli dengan harga lebih murah pada kesempatan obral bahan kelas dua yang disebut {{nihongo|B-tan ichi|B反市||arti harfiah: pasar kain kelas B) untuk membedakannya dari bahan kimono kelas A yang ditenun sempurna tanpa cacat. Walaupun bahan kain yang dibeli memiliki sedikit cacat, penjahit kimono yang berpengalaman dapat menyembunyikan bagian tenunan yang rusak. Setelah jadi, kimono dari pasar kain kelas B mungkin akan terlihat sama dengan kimono dari bahan sempurna.

Toko pakaian juga menjual yukata impor berharga murah yang dijahit memakai mesin di pabrik. Yukata jenis ini biasanya dikenakan pada kesempatan santai seperti ketika menyaksikan pesta kembang api.

Kimono yang dijahit dari bahan berkualitas tinggi merupakan benda warisan keluarga. Kimono bekas pakai masih mempunyai nilai jual tinggi, terutama karena ukuran kimono dapat disesuaikan dengan ukuran badan pemilik yang baru. Di Jepang bisa dijumpai toko-toko yang menjual kimono bekas pakai. Pada Perang Dunia II, kimono pernah digunakan sebagai alat pembayaran sewaktu penduduk kota kekurangan pangan. Uangnya dipakai untuk membeli beras, telur, dan bumbu dapur seperti miso, dan gula.

Aksesori dan pelengkap

Hakama adalah celana panjang pria yang dibuat dari bahan berwarna gelap. Celana jenis ini berasal dari daratan Cina dan mulai dikenal sejak zaman Asuka. Selain dikenakan pendeta Shinto, hakama dikenakan pria dan wanita di kalangan atlet olahraga bela diri tradisional seperti kendo atau kyudo.
Geta adalah sandal berhak dari kayu. Maiko memakai geta berhak tinggi dan tebal yang disebut pokkuri
Kanzashi adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu memakai kimono.
Obi adalah sabuk dari kain yang dililitkan ke tubuh pemakai sewaktu mengencangkan kimono
Tabi adalah kaus kaki sepanjang betis yang dipakai sewaktu memakai sandal.
Waraji adalah sandal dari anyaman tali jerami.
Zōri adalah sandal tradisional yang dibuat dari kain atau anyaman.

Referensi

  1. ^ Dalby, Liza (2001). Kimono: Fashioning Culture. Washington, USA: University of Washington Press. ISBN 0-295-98155-5. 
  2. ^ Sharnoff, Lora (1993). Grand Sumo. Weatherhill. ISBN 0-8348-0283-x Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 

Pranala luar

Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA