Lompat ke isi

Keris: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Raden bayuaji (bicara | kontrib)
Hulu atau pegangan keris: Penambahan informasi
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 165: Baris 165:
=== ''Hulu'' atau pegangan keris ===
=== ''Hulu'' atau pegangan keris ===
[[Berkas:Semar Kris (alt) 3.jpg|jmpl|Sebuah keris dengan pegangan berbentuk [[Semar]]]]
[[Berkas:Semar Kris (alt) 3.jpg|jmpl|Sebuah keris dengan pegangan berbentuk [[Semar]]]]
Pegangan keris ([[bahasa Jawa]]: ''gaman'', atau hulu keris) ini bermacam-macam motifnya, untuk keris [[Bali]] ada yang bentuknya menyerupai dewa, pedande ([[pendeta]]), raksasa, penari, pertapa hutan dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia dan biasanya bertatahkan batu [[mirah delima]].
Pegangan keris ([[bahasa Jawa]]: ''gaman'', atau deder untuk keris gaya Yogyakarta dan jejeran untuk keris Surakarta) ini bermacam-macam motifnya, untuk keris [[Bali]] ada yang bentuknya menyerupai dewa, pedande ([[pendeta]]), raksasa, penari, pertapa hutan dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia dan biasanya bertatahkan batu [[mirah delima]], dulu sebelum islam masuk, gagang keris Jawa berbentuk seperti patung Dewa-dewa tetapi setelah Islam masuk penggunaan patung dilarang sehingga gagang keris mengalami perombakan, tetapi di Bali masih dilestarikan. Walaupun begitu bentuk gagang patung berbentuk karakter masih ditemukan pada keris Jawa bagi mereka yang menganut kejawen.


Pegangan keris [[Sulawesi]] menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris [[Riau]] Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti [[Aceh]], Bangkinang (Riau), [[Palembang]], [[Sambas]], [[Kutai]], [[Bugis]], [[Luwu]], [[Jawa]], [[Pulau Madura|Madura]] dan [[Sulu]], keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.
Pegangan keris [[Sulawesi]] menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris [[Riau]] Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti [[Aceh]], Bangkinang (Riau), [[Palembang]], [[Sambas]], [[Kutai]], [[Bugis]], [[Luwu]], [[Jawa]], [[Pulau Madura|Madura]] dan [[Sulu]], keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.

Revisi per 6 September 2023 12.02

Keris
Templat:Script/Javanese/Templat:Script/Javanese

Keris terdiri dari tiga bagian; bilah (wilah), gagang (hulu) dan sarung (warangka)
Jenis Belati
Negara asal Jawa, Indonesia
Sejarah pemakaian
Masa penggunaan Kemaharajaan Majapahit, Kerajaan Sunda, Kerajaan Singhasari, Kesultanan Palembang Darussalam, Kesultanan Malaka, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kesultanan Brunei, Semenanjung Malaka, Kepulauan Indonesia[4]
Digunakan oleh Suku Jawa, Suku Bali, Suku Sunda, Suku Melayu, Suku Banjar, Suku Madura, Suku Bugis, Suku Mandar, dan Suku Makassar
Pada perang Pertempuran Genter, Ekspedisi Pamalayu, Invasi Mongol ke Jawa, Perang Bubat, Perang Paregreg, Penyerbuan Batavia, Perang Diponegoro, Revolusi Nasional Indonesia
Sejarah produksi
Varian Kalis, Badik, Kerambit, Chundrik[5]
Spesifikasi
Tipe pedang Pisau tajam bermata ganda besi nikel atau baja
Tipe gagang Gading, tulang, tanduk, kayu atau logam. Terkadang dilapisi dengan emas atau perak dan dihiasi dengan batu permata
Jenis sarung Bingkai kayu yang dilapisi dan dihias dengan gading atau logam (emas, perak, tembaga, besi, kuningan, atau baja)
Keris
Keris ditetapkan sebagai Karya Agung Warisan Budaya Kemanusiaan Lisan dan non bendawi yang berasal dari Indonesia oleh UNESCO.
NegaraIndonesia
KriteriaTraditional
Referensi112
KawasanAsia dan Pasifik
Sejarah Inskripsi
Inskripsi2008 (sesi ke-3)
DaftarRepresentatif

Keris (bahasa Inggris: Kris) adalah senjata khas yang berkelok-kelok atau asimetri yang termasuk dalam golongan senjata tikam yang berasal dari Indonesia. Baik sebagai senjata maupun objek spiritual, keris dihormati dan dianggap memiliki kekuatan yang magis. Awal mula keris diketahui berasal dan menyebar dari pulau Jawa ke seluruh bagian Nusantara dan wilayah Asia Tenggara secara umum.


Keris merupakan senjata tajam golongan belati yang memiliki ragam fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, sering kali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah.

Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel atau peperangan,[6] sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.

Keris telah terdaftar dan diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia yang berasal dari Indonesia sejak 2005.

Asal usul dan fungsi

Asal usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada prasasti dari abad ke-9 Masehi.[butuh rujukan] Namun diperkirakan asal mula penyebutan kata "keris" merupakan singkatan bahasa Jawa dari "Mlungker-mlungker kang bisa ngiris", dalam bahasa Jawa berarti "(kata sinengker, karana, dan aris). Sinengker atau sengkeran mempunyai arti kurungan, karana mempunyai arti jalaran, dan aris mempunyai arti tanpa suloyo" Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung.[butuh rujukan] Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.

Prototype Keris

Penggambaran keris di relief Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah
Relief prajurit ingin menusuk seseorang dengan keris di Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur

Satu panel relief Candi Borobudur (abad ke-9) yang memperlihatkan seseorang memegang benda serupa keris tetapi belum memiliki derajat kecondongan dan hulu/deder nya masih menyatu dengan bilah.

Dari abad yang sama, prasasti Karangtengah di Temanggung, Jawa Tengah berangka tahun 824 Masehi menyebut istilah "keris" dalam suatu daftar peralatan.[7] Prasasti Poh (904 M) menyebut "keris" sebagai bagian dari sesaji yang perlu dipersembahkan.[7] Walaupun demikian, tidak diketahui apakah "keris" itu mengacu pada benda seperti yang dikenal sekarang.

Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.

Awal mula: Pengaruh India-Tiongkok

Ge, belati-kapak dari Tiongkok Kuna (abad V SM sampai III SM), memperlihatkan pamor pada bilahnya.

Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan.[8] Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuno dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan "jembatan" masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris modern), sama dengan belati Dongson,[8] dan menyatu dengan bilahnya.

Keris modern

Sanggar Mpu pembuat keris ditampilkan dalam relief Candi Sukuh.
Keris Majapahit dari era Kemaharajaan Majapahit, item koleksi pameran Rijksmuseum, Belanda

Dari abad ke-15, salah satu relief di Candi Sukuh yang merupakan tempat pemujaan dari masa akhir Majapahit, dengan gamblang menunjukkan seorang empu tengah membuat keris. Relief ini pada sebelah kiri menggambarkan Bhima sebagai personifikasi empu tengah menempa besi, Ganesha di tengah, dan Arjuna tengah memompa tabung peniup udara untuk tungku pembakaran. Dinding di belakang empu menampilkan berbagai benda logam hasil tempaan, termasuk keris.

.... Orang-orang ini [Majapahit] selalu mengenakan pu-la-t'ou (belati? atau beladau?) yang diselipkan pada ikat pinggang. [...], yang terbuat dari baja, dengan pola yang rumit dan bergaris-garis halus pada daunnya; hulunya terbuat dari emas, cula, atau gading yang diukir berbentuk manusia atau wajah raksasa dengan garapan yang sangat halus dan rajin.
— Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan Fai

Catatan Ma Huan dari tahun 1416, anggota ekspedisi Cheng Ho, dalam "Ying-yai Sheng-lan" menyebutkan bahwa orang-orang Majapahit selalu mengenakan (pu-la-t'ou) yang diselipkan pada ikat pinggang. Mengenai kata Pu-la-t'ou ini, meskipun hanya berdasarkan kemiripan bunyi, banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah "belati", dan karena keris adalah senjata tikam sebagaimana belati maka dianggap pu-la-t'ou menggambarkan keris. Tampaknya masih harus dilakukan penelitian apakah betul pada masa majapahit keris disebut "belati" tetapi terdapat deskripsi yang menggambarkann bahwa "belati" ini adalah keris dan teknik pembuatan pamor telah berkembang baik.[9]

Bisa jadi yang dimaksud oleh Ma Huan dengan Pulat'ou adalah "Beladau". Kata "beladau" lebih menyerupai "Pu- La-T'ou" daripada "belati".

...Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh...
Sanghyang siksakandang karesian, Bait XVII

Keris disebutkan dalam naskah Sunda dari tahun 1440 Saka (1518 M), Sanghyang Siksa Kandang Karesian bait XVII, yang menyebutkan bahwa keris adalah senjata Prabu, (raja, golongan ksatriya).[10] Naskah ini membagi senjata dalam masyarakat Kerajaan Sunda ke dalam tiga golongan; senjata untuk prabu (raja, menak, atau golongan ksatriya) adalah pedang, pecut, pamuk, golok, peso teundeut, dan keris; senjata untuk kaum petani adalah kujang, baliung, patik, kored, dan pisau sadap; sementara senjata kaum pendeta adalah kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, dan pakisi.

... setiap laki-laki di Jawa, tidak peduli kaya atau miskin, harus memiliki sebilah keris di rumahnya ... dan tidak ada satu pun laki-laki berusia antara 12 dan 80 tahun bepergian tanpa sebilah keris di sabuknya. Keris diletakkan di punggung, seperti belati di Portugal...
— Tome Pires, Suma Oriental

Tome Pires, penjelajah Portugis dari abad ke-16, menyinggung tentang kebiasaan penggunaan keris oleh laki-laki Jawa.[11] Deskripsinya tidak jauh berbeda dari yang disebutkan Ma Huan seabad sebelumnya.

Berita-berita Portugis dan Prancis dari abad ke-17 telah menunjukkan penggunaan meluas pamor dan pemakaian pegangan keris dari kayu, tanduk, atau gading di berbagai tempat di Nusantara.[12]

Perkembangan fungsi keris

Pada masa kini, keris memiliki fungsi yang beragam dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk keris yang ada.

Keris sebagai elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh prasasti-prasasti dari milenium pertama menunjukkan keris sebagai bagian dari persembahan. Pada masa kini, keris juga masih menjadi bagian dari sesajian. Lebih jauh, keris juga digunakan dalam ritual/upacara mistik atau paranormal. Keris untuk penggunaan semacam ini memiliki bentuk berbeda, dengan pesi menjadi hulu keris, sehingga hulu menyatu dengan bilah keris. Keris semacam ini dikenal sebagai keris sesajian atau "keris majapahit" (tidak sama dengan keris tangguh Majapahit)!.

Pemaparan-pemaparan asing menunjukkan fungsi keris sebagai senjata di kalangan awam Majapahit. Keris sebagai senjata memiliki bilah yang kokoh, keras, tetapi ringan. Berbagai legenda dari periode DemakMataram mengenal beberapa keris senjata yang terkenal, misalnya keris Nagasasra Sabukinten.

Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-resepmasing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Penempatan keris di depan dapat diartikan sebagai kesediaan untuk bertarung. Selain itu, terkait dengan fungsi, sarung keris Jawa juga memiliki variasi utama: gayaman dan ladrang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan dalam upacara-upacara kebesaran.


Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan.[8] Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuno dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan "jembatan" masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris modern), sama dengan belati Dongson,[8] dan menyatu dengan bilahnya.

Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme.[13] Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudhi, arit, dan keris sombro.[7] Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris.[14] Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Buda dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris.

Bahan, pembuatan, dan perawatan

Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris ada dua macam logam adalah logam besi dan logam pamor, sedangkan pesi keris terbuat dari baja. Untuk membuatnya ringan para Empu selalu memadukan bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (nèm-nèman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai logam pamor nikel. Keris masa lalu (keris kuna) yang baik memiliki logam pamor dari batu meteorit yang diketahui memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 di kompleks percandian Prambanan.

Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara ringkas menurut salah satu pustaka.[15] Bilah besi sebagai bahan dasar diwasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya karbon serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua kodhokan seperti roti sandwich, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.

Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur keris yang akan dibuat. Silak waja dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk. Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan dengan diameter pesi.

Tahap terakhir, yaitu penyepuhan, dilakukan agar logam keris menjadi logam besi baja. Pada keris Filipina tidak dilakukan proses ini. Penyepuhan ("menuakan logam") dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam, dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan). Penyepuhan juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam cairan (air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung pengalaman Empu yang membuat). Tindakan penyepuhan harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat bilah keris retak.

Selain cara Penyepuhan yang lazim seperti diatas dalam penyepuhan Keris dikenal pula Sepuh jilat yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijilati dengan lidah, Sepuh Akep yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dikulum dengan bibir beberapa kali dan Sepuh Saru yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijepit dengan alat kelamin wanita (Vagina) Sepuh Saru ini yang terkenal adalah Nyi Sombro, bentuk kerisnya tidak besar tapi disesuaikan.[butuh rujukan]

Pemberian warangan dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya. Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Muharram/Sura, meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah "memandikan" keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah kelapa, hancuran buah mengkudu, atau perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.


Morfologi

Beberapa istilah di bagian ini diambil dari tradisi Jawa, semata karena rujukan yang tersedia.

Keris atau dhuwung terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bilah (wilah atau daun keris), ganja ("penopang"), dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Bagian yang harus ada adalah bilah. Hulu keris dapat terpisah maupun menyatu dengan bilah. Ganja tidak selalu ada, tapi keris-keris yang baik selalu memilikinya. Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau warangka.

Bilah keris merupakan bagian utama yang menjadi identifikasi suatu keris. Pengetahuan mengenai bentuk (dhapur) atau morfologi keris menjadi hal yang penting untuk keperluan identifikasi. Bentuk keris memiliki banyak simbol spiritual selain nilai estetika. Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dalam morfologi keris adalah kelokan (luk), ornamen (ricikan), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (dhapur) keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai keris.

Pengaruh waktu memengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan keris tercermin dari konsep tangguh, yang biasanya dikaitkan dengan periodisasi sejarah maupun geografis, serta empu yang membuatnya.

Hulu atau pegangan keris

Sebuah keris dengan pegangan berbentuk Semar

Pegangan keris (bahasa Jawa: gaman, atau deder untuk keris gaya Yogyakarta dan jejeran untuk keris Surakarta) ini bermacam-macam motifnya, untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai dewa, pedande (pendeta), raksasa, penari, pertapa hutan dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia dan biasanya bertatahkan batu mirah delima, dulu sebelum islam masuk, gagang keris Jawa berbentuk seperti patung Dewa-dewa tetapi setelah Islam masuk penggunaan patung dilarang sehingga gagang keris mengalami perombakan, tetapi di Bali masih dilestarikan. Walaupun begitu bentuk gagang patung berbentuk karakter masih ditemukan pada keris Jawa bagi mereka yang menganut kejawen.

Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau), Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.

Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ), jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan),weteng dan bungkul.

Warangka atau sarung keris

Warangka, atau sarung keris (bahasa Banjar: kumpang), adalah komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Sejalan dengan perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi wrangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading.

Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis warangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian: angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong, dan gandek.

Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi, misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkawinan, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).

Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman, pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.

Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran).

Karena fungsi gandar untuk membungkus, sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok. Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah, dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ), perak, emas. Untuk daerah di luar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis, Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas, disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.

Untuk keris Jawa, menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya, (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat, serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah. Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

Wilah atau bilah keris

Keris Moro (kalis) dari Sulu, bilah tidak dituakan dan tidak berpamor.

Wilah, wilahan, atau bilah adalah bagian utama dari sebuah keris. Wilah keris adalah logam yang ditempa sedemikian rupa sehingga menjadi senjata tajam. Wilah terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola, pinarak, jamang murub, bungkul, kebo tedan, pudak sitegal, dll.

Pada pangkal wilahan terdapat pesi, yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris (ukiran). Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.

Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled, bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut, dungkul, kelap lintah dan sebit rontal.

Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah, dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal (ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13).

Dalam perdagangan keris nama dhapur sering dipermudah sebagai berikut:

1. Keris lurus disebut Jalak 2. Keris Luk 3 disebut Jangkung 3. Keris Luk 5 disebut Pendhawa 4. Keris Luk 7 disebut Sempana atau Sumpana 5. Keris Luk 9 disebut Jigja 6. Keris Luk 11 disebut Sabuk inten atau Carita 7. Keris Luk 13 disebut Sengkelat

Dhapur keris lurus:

1. Panji Anom 2. Jaka Tuwo 3. Bethok 4. Karna Tinandhing 5. Semar Bethak 6. Regol 7. Kebo Teki 8. Jalak Nguwuh 9. Sempani 10. Jamang Murub 11. Tumenggung 12. Tilam Upih 13. Pasopati 14. Condhong Campur 15. Jalak Dhinding 16. Jalak Ngore 17. Jalak Sangu Tumpeng 18. Mendarang 19. Mesem 20. Semar Tinandhu 21 Ron Teki 22. Sujen Ampel 23. Kelap Lintah 24. Yuyu Rumpung 25. Brojol 26. Laler Mengeng 27. Puthut 28. Jalak Sumelang Gandring 29. Mangkurat 30. Mayat Miring 31. Kalam Munyeng 32. Pinarak 33. Marak 34. Jalak Tilamsari 35.Tilamsari 36. Jalak Lola 37. Wora-wari 38. Wora-wari 39. Sinom 40. Kala Misani

Dhapur luk tiga (3) 1. Jangkung Pacar 2. Maesa Soka 3. Maesa Nempuh 4. Mayat 5. Jangkung Pacar 6. Tebu Sauyun 7. Bango Dholok 8. Manglar Munya 9. Campur Bawur 10. Segara Winotan 11. Jangkung Cinarita

Dhapur Luk Lima (5) 1. Sinarasah 2. Pudhak Sategal 3. Pulanggeni 4. Pandhawa 5. Anoman 6. Kebo Dhengen 7. Kalanadhah 8. Pandhawa lare 9. Urap-urap 10. Naga Salira 11. Kebo Dhendheng 12. Pandhawa Cinarita 11. Jangkung Cinarita

Dhapur Luk Tujuh (7) 1. Balebang 2. Murma Malela 3. Crubuk 4. Jaran Goyang 5. Naga-Kras 6. Sempana Punjul 7. Sempana Bungkem 8. Crita Casapta

Dhapur Luk Sembilan (9) 1. Kidang Mas 2. Panji Sekar 3. Sempana 4. Jaruman 5. Jarudheh 6. Paniwen 7. Panimbal 8. Kidang Soka 9. Carang Soka 10. Sabuk Tampar 11. Buto Ijo 12. Sempana Kalenthang 13. Crita Kanawa

Dhapur Luk Sebelas (11) 1. Carita Bungkem 2. Carita Prasaja 3. Carita Kaprabon 4. Carita Daleman 5. Sabuk Inten 6. Cluring Regol 7. Carita Genengan 8. Carita Gandhu 9. Sabuk Tali 10. Jaka Wuru

Dhapur Luk Tigabelas (13) 1. Caluring 2. Sangkelat 3. Johan Mangan Kala 4. Nagasasra 5. Parungsari 6. Kantar 7. Luk Gandhu 8. Sepokal 9. Karawelang 10. Naga Selumen 11. Bima Kurdha

Dhapur Luk 17, 19, 21, 25, dan 29 Luk 17 Ngamper Buta Lancingan Luk 19 Trimurda Kala Tinantang Luk 21 Drajit Trisirah Luk 25 Bima Kurdha Luk 27 Taga Wirun Luk 29 Kalabendu

Keris-keris pusaka keraton hanya sampai berluk13 saja. Keris yang berluk lebih dari 13 disebut keris Kalawijen atau Palawijan, keris kalawija, atau keris tidak lazim dan tidak termasuk Pusaka Keraton.

Pasikutan, tangguh keris, dan perkembangan pada masa kini

Lihat pula artikel Tangguh keris.
Dataran Keris di Melaka, Malaysia.

Yang dimaksud dengan pasikutan adalah "roman" atau kesan emosi yang dibangkitkan oleh wujud suatu keris. Biasanya, personifikasi disematkan pada suatu keris, misalnya suatu keris tampak seperti "bungkuk", "tidak bersemangat", "riang", "tidak seimbang", dan sebagainya.[16] Kemampuan menengarai pasikutan merupakan tahap lanjut dalam mendalami ilmu perkerisan dan membawa seseorang pada panangguhan keris.

Langgam/gaya pembuatan suatu keris dipengaruhi oleh zaman, tempat tinggal dan selera empu yang membuatnya. Dalam istilah perkerisan Jawa, langgam keris menurut waktu dan tempat ini diistilahkan sebagai tangguh. Tangguh dapat juga diartikan sebagai "perkiraan", maksudnya adalah perkiraan suatu keris mengikuti gaya suatu zaman atau tempat tertentu. "Penangguhan" keris pada umumnya dilakukan terhadap keris-keris pusaka, meskipun keris-keris baru dapat juga dibuat mengikuti tangguh tertentu, tergantung keinginan pemilik keris atau empunya.

Tangguh keris tidak bersifat mutlak karena deskripsi setiap tangguh pun dapat bersifat tumpang tindih. Selain itu, pustaka-pustaka lama tidak memiliki kesepakatan mengenai empu-empu yang dimasukkan ke dalam suatu tangguh. Hal ini disebabkan tradisi lisan yang sebelum abad ke-20 dipakai dalam ilmu padhuwungan.

Meskipun tangguh tidak identik dengan umur, tangguh keris (Jawa) yang tertua yang dapat dijumpai saat ini adalah tangguh Buda (atau keris Buda). Keris modern pusaka tertua dianggap berasal dari tangguh Pajajaran, yaitu dari periode ketika sebagian Jawa Tengah masih di bawah pengaruh Kerajaan Galuh. Keris pusaka termuda adalah dari masa pemerintahan Pakubuwana X (berakhir 1939). Selanjutnya, kualitas pembuatan keris terus merosot, bahkan di Surakarta pada dekade 1940-an tidak ada satu pun pandai keris yang bertahan.[17]

Kebangkitan seni kriya keris di Surakarta dimulai pada tahun 1970, dibidani oleh K.R.T. Hardjonagoro (Go Tik Swan) dan didukung oleh Sudiono Humardani,[17] melalui perkumpulan Bawa Rasa Tosan Aji. Perlahan-lahan kegiatan pandai keris bangkit kembali dan akhirnya ilmu perkerisan juga menjadi satu program studi pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (sekarang ISI Surakarta).

Keris-keris yang dibuat oleh para pandai keris sekarang dikenal sebagai keris kamardikan ("keris kemerdekaan"). Periode ini melahirkan beberapa pandai keris kenamaan dari Surakarta[17] seperti KRT. Supawijaya (Surakarta), Pauzan Pusposukadgo (Surakarta), tim pandai keris STSI Surakarta, Harjosuwarno (bekerja pada studio milik KRT Hardjonagoro di Surakarta), Suparman Wignyosukadgo (Surakarta).[18]

Keris legendaris

Catatan

Referensi

  1. ^ "Keris Indonesia". Kebudayaan.kemendikbud.go.id. Diakses tanggal 2020-08-22. 
  2. ^ Top 100 Cultural Wonders of Indonesia. Jakarta: Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia. 2015. ISBN 978-979-1274-66-1. 
  3. ^ Pires, Tomé (1990). The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East. New Delhi: Asian Educational Services. hlm. 179. ISBN 81-206-0535-7. 
  4. ^ Albert G Van Zonneveld (2002). Traditional Weapons of the Indonesian Archipelago. Koninklijk Instituut Voor Taal Land. ISBN 90-5450-004-2. 
  5. ^ James Richardson Logan (1853). The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, Volume 7. Miss. Press. hlm. 281. 
  6. ^ Darmosoegito, Ki. 1992. Bab Dhuwung. Djojobojo. Surabaya. Hal. 16.
  7. ^ a b c Lumintu. 1985. Besi, Baja, dan Pamor Keris. Pusat Keris Jakarta. Jakarta. hal. 4.
  8. ^ a b c d Origin of The Keris. II. Chinese Influence. Laman Old Blades. Malay World Edges Weapons.
  9. ^ Moebirman. 1980.a,Keris Senjata Pusaka. Yayasan Sapta Karya. Jakarta.
  10. ^ "Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian". Wikisource. Wikisource. Diakses tanggal 23 May 2013. 
  11. ^ lihat misalnya pada versi bahasa Inggris dari terbitan 1944 oleh Armando Cortesao (Cortesao A. 2005. Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Francisco Rodriguez. Asian Publishing House. New Delhi. Hal. 179.
  12. ^ Origin of The Keris. IV. The birth of modern keris. Laman Old Blades - Malay World Edged Weapons
  13. ^ Origin of The Keris. III. Keris and Sivaism. Laman Old Blades. Malay World Edges Weapons.
  14. ^ Origin of The Keris. I. Keris Buda. Laman Old Blades. Malay World Edges Weapons.
  15. ^ Harsrinuksmo, B. 1985. Pamor Keris. Pusat Keris Jakarta. Jakarta. Hal. 7–8.
  16. ^ Kusni. 1979. Pakem. Pengetahuan tentang Keris. C.V. Aneka. Semarang. Hal. 91.
  17. ^ a b c Murtidjono. 1991. Besalen-besalen di Surakarta Masa Kini. Dalam:Sarasehan Seni Kriya Keris Jakarta 1991. Kumpulan Makalah. Panitia Pameran dan Sarasehan Seni Kriya Keris Jakarta. Jakarta. Hal. 35–42.
  18. ^ Harsrinuksmo B. 1985. Tanya Jawab Soal Keris. Pusat Keris Jakarta. Jakarta. Hal. 30., dan Jeno Harumbrojo (Yogyakarta)

Pranala luar

  • (Inggris) The Indonesian Kris - UNESCO: Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity - 2008