Lompat ke isi

Wilayah Kesultanan Banjar: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 45: Baris 45:
# Wilayah [[Kerajaan Sukadana|Tanah Sukadana]] (serta cabangnya [[Kerajaan Tayan]], [[Kerajaan Meliau]], [[Kerajaan Sanggau]], [[Kerajaan Sekadau]] serta [[Kerajaan Mempawah]]). Kerajaan Sukadana/Tanjungpura diperintah oleh Dinasti Majapahit. Kesultanan Sukadana menjadi vazal sejak era Kerajaan Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden Saradewa/Giri Mustika alias Sułtan Muhammad Safi ad-Din dengan Putri Gilang/Dayang Gilang cucu Sultan Mustainbillah pada sekitar tahun 1638 maka sebagai hadiah perkawinan Sukadana/Matan dibebaskan dari membayar upeti dan dianugerahi daerah Jelai oleh Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Pada tahun [[1661]] Sukadana/Matan di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai daerah perlindungan Kesultanan Banjar. Kemudian Sukadana dianggap sebagai vazal [[Kesultanan Banten]] setelah kalah dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700 (dimana Landak dibantu Banten-VOC), kemudian Banten menyerahkan Landak (vazal Banten) dan Tanah Sukadana (sebagian besar Kalbar) kepada VOC-Belanda pada [[26 Maret]] [[1778]], kemudian digabungkan dalam Karesidenan Sambas.
# Wilayah [[Kerajaan Sukadana|Tanah Sukadana]] (serta cabangnya [[Kerajaan Tayan]], [[Kerajaan Meliau]], [[Kerajaan Sanggau]], [[Kerajaan Sekadau]] serta [[Kerajaan Mempawah]]). Kerajaan Sukadana/Tanjungpura diperintah oleh Dinasti Majapahit. Kesultanan Sukadana menjadi vazal sejak era Kerajaan Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden Saradewa/Giri Mustika alias Sułtan Muhammad Safi ad-Din dengan Putri Gilang/Dayang Gilang cucu Sultan Mustainbillah pada sekitar tahun 1638 maka sebagai hadiah perkawinan Sukadana/Matan dibebaskan dari membayar upeti dan dianugerahi daerah Jelai oleh Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Pada tahun [[1661]] Sukadana/Matan di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai daerah perlindungan Kesultanan Banjar. Kemudian Sukadana dianggap sebagai vazal [[Kesultanan Banten]] setelah kalah dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700 (dimana Landak dibantu Banten-VOC), kemudian Banten menyerahkan Landak (vazal Banten) dan Tanah Sukadana (sebagian besar Kalbar) kepada VOC-Belanda pada [[26 Maret]] [[1778]], kemudian digabungkan dalam Karesidenan Sambas.
# Wilayah terluar di barat adalah [[Kerajaan Sambas|Tanah Sambas]]. Menurut Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan terakhir kalinya Dipati/Panembahan Sambas mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu '''si Misim''' dan '''si Giwang''' kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan ([[1595]]-[[1642]]). Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah protektorat VOC-Belanda. Intan '''Si Misim''' kemudian dipersembahkan kepada [[Sultan Agung]], raja Mataram pada tahun [[1641]] yang merupakan kiriman yang terakhir kepada pemerintahan di Jawa ([[Kesultanan Mataram]]). Semula [[Kerajaan Sambas]] diperintah oleh Dinasti [[Majapahit]] yang bergelar Pangeran Adipati Sambas, selanjutnya mulai tahun [[1675]] Tanah Sambas diperintah oleh Dinasti [[Brunei]] dimana penguasanya mengambil gelar yang lebih tinggi ''Sultan'' maka dinamakan [[Kesultanan Sambas]] dan mulai tahun [[1855]] digabungkan ke dalam Hindia Belanda sebagai ibukota dari Karesidenan Sambas, yang membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.<ref>[http://books.google.co.id/books?id=-Xb1s6ObxGgC&lpg=PA383&dq=borneo%20selatan&pg=PA381#v=onepage&q=borneo%20selatan&f=false {{id}} Bernard Dorléans, Orang Indonesia dan orang Prancis: dari abad XVI sampai dengan abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2006, ISBN 979910050X, 9789799100504]</ref>
# Wilayah terluar di barat adalah [[Kerajaan Sambas|Tanah Sambas]]. Menurut Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan terakhir kalinya Dipati/Panembahan Sambas mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu '''si Misim''' dan '''si Giwang''' kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan ([[1595]]-[[1642]]). Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah protektorat VOC-Belanda. Intan '''Si Misim''' kemudian dipersembahkan kepada [[Sultan Agung]], raja Mataram pada tahun [[1641]] yang merupakan kiriman yang terakhir kepada pemerintahan di Jawa ([[Kesultanan Mataram]]). Semula [[Kerajaan Sambas]] diperintah oleh Dinasti [[Majapahit]] yang bergelar Pangeran Adipati Sambas, selanjutnya mulai tahun [[1675]] Tanah Sambas diperintah oleh Dinasti [[Brunei]] dimana penguasanya mengambil gelar yang lebih tinggi ''Sultan'' maka dinamakan [[Kesultanan Sambas]] dan mulai tahun [[1855]] digabungkan ke dalam Hindia Belanda sebagai ibukota dari Karesidenan Sambas, yang membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.<ref>[http://books.google.co.id/books?id=-Xb1s6ObxGgC&lpg=PA383&dq=borneo%20selatan&pg=PA381#v=onepage&q=borneo%20selatan&f=false {{id}} Bernard Dorléans, Orang Indonesia dan orang Prancis: dari abad XVI sampai dengan abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2006, ISBN 979910050X, 9789799100504]</ref>
== Wilayah ==
Kesultanan Banjar merupakan penerus dari kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan dengan wilayah inti meliputi 5 negeri besar yaitu Kuripan (Amuntai), Daha (Nagara-Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum (Tanjung). Selanjutnya Kesultanan Banjar bertindak sebagai wakil Kesultanan Demak di Kalimantan, sedangkan Demak adalah penerus Majapahit. Menurut Hikayat Banjar sejak jaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas ([[Kerajaan Sambas kuno]]) sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri Karasikan ([[Kepulauan Sulu]]) lebih kurang sama dengan wilayah Borneo-Belanda. Dahulu kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung dengan tanjung lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap takluk kepada kerajaan bandar yang ada di hilir misalnya suku Biaju (rumpun Dayak Barito) merupakan bagian dari rakyat kerajaan Banjar bahkan menjadi tentara kerajaan yang handal. Kerajaan Banjar tidak pernah mengklaim Kalimantan bagian utara, dan sejauh ini juga belum pernah ditemukan catatan bahwa Kesultanan Banjar mengirim upeti kepada Kesultanan Brunei sebagai penguasa wilayah utara Kalimantan. Suku Banjar merupakan kelompok masyarakat Melayu yang terbanyak di Kalimantan, bahkan jika dibanding dengan suku Brunei. Kesultanan Banjar mengalami masa kejayaan pada abad ke-17, yang pada masa itu belum banyak suku pendatang yang mendominasi seperti saat ini seperti suku Jawa, Bugis, Mandar, Arab dan Cina.

Teritorial Kerajaan Banjar pada abad ke 14-17 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :
# [[Negara Agung]]
# [[Mancanegara]]
# [[Daerah Pesisir]] (daerah terluar)

Wilayah kerajaan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di [[Martapura]] dan berakhir pada titik luar dari negeri [[Kerajaan Sambas kuno|Sambas]] sampai ke negeri [[Kerajaan Tidung kuno|Karasikan]]. Terminologi wilayah [[Tanah Seberang]], tidak ada dalam Kesultanan Banjar, karena tidak memiliki jajahan di luar pulau, walaupun orang Banjar juga merantau sampai keluar pulau Kalimantan.<ref>[http://banua-raya.blogspot.com/2009/04/migrasi-orang-banjar-di-kalimantan.html Migrasi Orang Banjar di Kalimantan Catatan kecil pola migrasi antar kawasan]</ref>

Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas hindu yang merupakan keturunan Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada saat memerintah Panembahan Sambas hindu ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan [[Kesultanan Sambas]] yang didirikan oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya [[Kesultanan Sambas]] hingga seterusnya [[Kesultanan Sambas]] adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu dikuasai / dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan lainnya diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada dibawah Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar Kamaluddin).

Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan [[Sultan Banjar]].

* Sejak dipindahkan ibukota ke Daerah Martapura ([[Distrik Martapura|Martapura]], [[Distrik Riam Kanan|Riam Kanan atau Kayu Tangi]], [[Distrik Riam Kiwa|Riam Kiwa]]) maka [[kota Martapura]] sebagai '''Kota Raja''' merupakan wilayah/ring pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.

* Wilayah teritorial/ring kedua, '''Negara Agung''' terdiri dari :
# Tanah Laut atau Laut Darat terdiri :
## [[Distrik Satui|Satui]]
## [[Distrik Pleihari|Tabunio]]. Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
## [[Distrik Maluka|Maluka]], daerah yang dikuasai Inggris pada 1815 – 1816 yaitu [[Maluka Baulin, Kurau, Tanah Laut|Maluka]], [[Liang Anggang, Bati-Bati, Tanah Laut|Liang Anggang]], [[Kurau, Tanah Laut|Kurau]] dan Pulau Lamai.
# Daerah Banjar Lama (Kuin) dan Pulau Tatas (Banjarmasin). Pulau Tatas diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826, sedangkan Banjar Lama (Kuin) sampai perbatasan daerah Margasari masih tetap sebagai wilayah kesultanan sampai 1860.
# [[Distrik Margasari|Margasari]]. Wilayah kerajaan sampai 1860.
# [[Distrik Benua Empat|Banua Ampat]] artinya ''banua nang empat'' yaitu [[Banua Padang]], [[Banua Halat]], [[Parigi, Bakarangan, Tapin|Banua Parigi]] dan [[Gadung, Bakarangan, Tapin|Banua Gadung]]. Wilayah kesultanan sampai 1860.
# [[Distrik Amandit|Amandit]]. Wilayah kerajaan sampai 1860.
# [[Distrik Labuan Amas|Labuan Amas]]. Wilayah kerajaan sampai 1860.
# [[Distrik Batang Alai|Alay]]. Wilayah kerajaan sampai 1860.
# [[Banua Lima]] artinya ''lalawangan nang lima'' yaitu [[Distrik Negara|Negara]], [[Distrik Alabio|Alabio]], [[Amuntai|Sungai Banar]], [[Distrik Amuntai|Amuntai]] dan [[Distrik Kelua|Kalua]]. Wilayah kerajaan sampai 1860.
# [[Distrik Bakumpai|Muarabahan]] (atau Pulau Bakumpai yaitu tebing barat [[sungai Barito]] dari muara hingga kuala Mengkatip). Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826 bersama daerah [[Pulau Burung]].
# [[Tanah Dusun]] yaitu daerah hulu sungai [[Barito]]. Pada [[13 Agustus]] [[1787]] Tanah Dusun Atas diserahkan kepada VOC-Belanda tetapi daerah [[Mengkatip]] (Dusun Bawah) dan [[Tamiang Layang]] (Dusun Timur) dan sekitarnya tetap sebagai wilayah inti Kesultanan Banjar hingga dihapuskan oleh Belanda tahun 1860.

* Teritorial/ring ketiga, yaitu '''Mancanegara''', dengan tambahan kedua daerah ini merupakan wilayah asal Kesultanan Banjar sebelum pemekaran yang terdiri dari :
** Wilayah Barat (Kalimantan Tengah, sungai Jelai, Lawai): yaitu [[Kerajaan Kotawaringin]] (termasuk [[landschap Djelei|Jelai]] dan [[Kumai, Kotawaringin Barat|Kumai]]), [[Distrik Pembuang|Pembuang]], [[Distrik Sampit|Sampit]], [[Distrik Mendawai|Mendawai]] kelak dijadikan [[Afdeling Sampit]]. Juga wilayah [[Tanah Dayak]], yaitu daerah suku Dayak Ngaju/Ot Danum beserta semua daratan yang takluk kepadanya (yaitu semua daerah pedalaman yang tidak termasuk wilayah kerajaan lain). Semua daerah ini dan Lawai (Kabupaten Melawi) diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
** Wilayah Timur (Kalimantan Tenggara) : yaitu Kerajaan Tanah Bumbu yang didirikan Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah, dalam perkembangannya Kerajaan Tanah Bumbu dibagi ke dalam beberapa divisi atau negeri yaitu Cengal (Pamukan), Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan (Kelumpang), Cantung, Buntar-Laut dan Batulicin. Belakangan Buntar-Laut digabung/dianeksasi oleh Cantung pada tahun 1846. Di selatan Kerajaan Tanah Bumbu adalah wilayah Kerajaan Tanah Kusan yang dahulu didirikan Sultan Amir bin Sultan Muhammad, yang dalam perkembangannya terbagi menjadi [[Kerajaan Pagatan|negeri Pagatan]] dan [[Kerajaan Kusan|negeri Kusan]] (1845). Belakangan dibentuk pula negeri [[Kerajaan Pulau Laut|Laut-Pulau]] dan [[Kerajaan Sabamban|negeri Sabamban]]. Daerah ini diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya [[Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe]] dengan 11 swapraja yang meliputi [[Kesultanan Pasir]] dan wilayah Tanah Bumbu ([[Sabamban]], [[Kerajaan Kusan|Kusan]], [[Kerajaan Pagatan|Pagatan]], [[Kerajaan Batulicin|Batu Licin]], [[Kerajaan Pulau Laut|Pulau Laut dengan Pulau Sebuku]], [[Kerajaan Bangkalaan|Bangkalaan]], [[Kerajaan Cantung|Cantung dengan Buntar-Laut]], [[Kerajaan Sampanahan|Sampanahan]], [[Kerajaan Manunggul|Manunggul]], [[Kerajaan Cengal|Cengal]]). Semua kerajaan ini termasuk ke dalam [[Borneo Timur]] di bawah Asisten Residen yang berkedudukan di Samarinda sejak tahun 1846.

* Teritorial/ring keempat, adalah '''Pesisir''' yaitu daerah terluar, maka dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan [[Provinsi Borneo]] pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan [[Tamjidullah I]] dengan VOC pada [[20 Oktober]] [[1756]] untuk menaklukan kembali daerah yang melepaskan diri yaitu Sanggau, Sintang, Lawai, Pasir, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir terdiri dari :<br />
** '''Pesisir Timur''' disebut ''tanah yang di atas angin'' meliputi kawasan timur Kalimantan dan jika digabung dengan kawasan selatan Kalimantan menjadi '''Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur Borneo''' pada masa kolonial Hindia Belanda.
# Wilayah [[Kesultanan Pasir|Tanah Paser]]. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787.
# Wilayah [[Kesultanan Kutai|Tanah Kutai]]. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826. Tahun [[1844]] Sultan Kutai mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
# Wilayah [[Kesultanan Berau|Tanah Berau]] (sejak 1810-an terbagi menjadi [[Kesultanan Gunung Tabur|Gunung Tabur]] dan [[Kesultanan Sambaliung|Tanjung]]) serta daerah Berau yang melepaskan diri yaitu [[Kesultanan Bulungan|Bulungan]] dan [[Kerajaan Tidung kuno|Tidung]]. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826.
# Wilayah terluar di timur yaitu '''Karasikan''' ([http://books.google.co.id/books?id=ITLRpPrrcykC&lpg=PA39&dq=orang%20banjar%20sulu&pg=PA39#v=onepage&q=orang%20banjar%20sulu&f=true Buranun/Kerajaan Sulu kuno]). Karasikan artinya daerah yang berpasir (karasik = pasir).
** '''Pesisir Barat''' disebut ''tanah yang di bawah angin'' meliputi kawasan barat Kalimantan yang kemudian menjadi Karesidenan '''Borneo Barat''' pada masa kolonial Hindia Belanda.
# Wilayah '''Batang Lawai''' atau hulu [[sungai Kapuas]] ([[Kerajaan Sintang|Tanah Sintang]] dan [[Lawai]]).<ref>[http://books.google.co.id/books?id=KK4WAQAAIAAJ&dq=tajan&pg=PA570#v=onepage&q=tajan&f=true {{nl}} Perhimpunan Ilmu Alam Indonesia, Madjalah ilmu alam untuk Indonesia. Indonesian journal for natural science, Volume 2, 1851]</ref> Wilayah Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-anak sungai Melawi dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai Katingan yang bermuara ke laut Jawa dilanjutkan perjalanan laut menuju sungai Barito di Banjarmasin. [[Kerajaan Sintang]] dan Lawai ([[Kabupaten Melawi]]) dan Jelai termasuk daerah yang diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826. Lawai sebelumnya sudah diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
# Wilayah [[Kerajaan Sukadana|Tanah Sukadana]] (serta cabangnya [[Kerajaan Tayan]], [[Kerajaan Meliau]], [[Kerajaan Sanggau]], [[Kerajaan Sekadau]] serta [[Kerajaan Mempawah]]). Kerajaan Sukadana/Tanjungpura diperintah oleh Dinasti Majapahit. Kesultanan Sukadana menjadi vazal sejak era Kerajaan Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden Saradewa/Giri Mustika alias Sułtan Muhammad Safi ad-Din dengan Putri Gilang/Dayang Gilang cucu Sultan Mustainbillah pada sekitar tahun 1638 maka sebagai hadiah perkawinan Sukadana/Matan dibebaskan dari membayar upeti dan dianugerahi daerah Jelai oleh Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Pada tahun [[1661]] Sukadana/Matan di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai daerah perlindungan Kesultanan Banjar. Kemudian Sukadana dianggap sebagai vazal [[Kesultanan Banten]] setelah kalah dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700 (dimana Landak dibantu Banten-VOC), kemudian Banten menyerahkan Landak (vazal Banten) dan Tanah Sukadana (sebagian besar Kalbar) kepada VOC-Belanda pada [[26 Maret]] [[1778]], kemudian digabungkan dalam Karesidenan Sambas.
# Wilayah terluar di barat adalah [[Kerajaan Sambas|Tanah Sambas]]. Menurut Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan terakhir kalinya Dipati/Panembahan Sambas mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu '''si Misim''' dan '''si Giwang''' kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan ([[1595]]-[[1642]]). Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah protektorat VOC-Belanda. Intan '''Si Misim''' kemudian dipersembahkan kepada [[Sultan Agung]], raja Mataram pada tahun [[1641]] yang merupakan kiriman yang terakhir kepada pemerintahan di Jawa ([[Kesultanan Mataram]]). Semula [[Kerajaan Sambas]] diperintah oleh Dinasti [[Majapahit]] yang bergelar Pangeran Adipati Sambas, selanjutnya mulai tahun [[1675]] Tanah Sambas diperintah oleh Dinasti [[Brunei]] dimana penguasanya mengambil gelar yang lebih tinggi ''Sultan'' maka dinamakan [[Kesultanan Sambas]] dan mulai tahun [[1855]] digabungkan ke dalam Hindia Belanda sebagai ibukota dari Karesidenan Sambas, yang membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.<ref>[http://books.google.co.id/books?id=-Xb1s6ObxGgC&lpg=PA383&dq=borneo%20selatan&pg=PA381#v=onepage&q=borneo%20selatan&f=false {{id}} Bernard Dorléans, Orang Indonesia dan orang Prancis: dari abad XVI sampai dengan abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2006, ISBN 979910050X, 9789799100504]</ref>




Pada abad ke-18 Pangeran [[Tamjidullah I]] berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan [[Pangeran Nata Dilaga]] sebagai Sultan yang pertama sebagai '''Panembahan Kaharudin Khalilullah'''. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya '''Susuhunan Nata Alam''' pada tahun [[1772]]. Putera dari '''Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah''' yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun [[1757]], dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan '''Kapten Hoffman''' dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke [[Sri Langka]] pada tahun [[1787]]. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun [[1826]] diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan [[Sultan Adam]], berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan [[Putra Mahkota]] dan [[Mangkubumi]], yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya [[Perang Banjar]].
Pada abad ke-18 Pangeran [[Tamjidullah I]] berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan [[Pangeran Nata Dilaga]] sebagai Sultan yang pertama sebagai '''Panembahan Kaharudin Khalilullah'''. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya '''Susuhunan Nata Alam''' pada tahun [[1772]]. Putera dari '''Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah''' yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun [[1757]], dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan '''Kapten Hoffman''' dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke [[Sri Langka]] pada tahun [[1787]]. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun [[1826]] diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan [[Sultan Adam]], berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan [[Putra Mahkota]] dan [[Mangkubumi]], yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya [[Perang Banjar]].

Revisi per 16 Oktober 2010 08.29

Wilayah Kesultanan Banjar adalah wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar.

Kesultanan Banjar merupakan penerus dari kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan dengan wilayah inti meliputi 5 negeri besar yaitu Kuripan (Amuntai), Daha (Nagara-Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum (Tanjung). Selanjutnya Kesultanan Banjar bertindak sebagai wakil Kesultanan Demak di Kalimantan, sedangkan Demak adalah penerus Majapahit. Menurut Hikayat Banjar sejak jaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas (Kerajaan Sambas kuno) sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri Karasikan (Kepulauan Sulu) lebih kurang sama dengan wilayah Borneo-Belanda. Dahulu kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung dengan tanjung lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap takluk kepada kerajaan bandar yang ada di hilir misalnya suku Biaju (rumpun Dayak Barito) merupakan bagian dari rakyat kerajaan Banjar bahkan menjadi tentara kerajaan yang handal. Kerajaan Banjar tidak pernah mengklaim Kalimantan bagian utara, dan sejauh ini juga belum pernah ditemukan catatan bahwa Kesultanan Banjar mengirim upeti kepada Kesultanan Brunei sebagai penguasa wilayah utara Kalimantan. Suku Banjar merupakan kelompok masyarakat Melayu yang terbanyak di Kalimantan, bahkan jika dibanding dengan suku Brunei. Kesultanan Banjar mengalami masa kejayaan pada abad ke-17, yang pada masa itu belum banyak suku pendatang yang mendominasi seperti saat ini seperti suku Jawa, Bugis, Mandar, Arab dan Cina.

Teritorial Kerajaan Banjar pada abad ke 14-17 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :

  1. Negara Agung
  2. Mancanegara
  3. Daerah Pesisir (daerah terluar)

Wilayah kerajaan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari negeri Sambas sampai ke negeri Karasikan. Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada dalam Kesultanan Banjar, karena tidak memiliki jajahan di luar pulau, walaupun orang Banjar juga merantau sampai keluar pulau Kalimantan.[1]

Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas hindu yang merupakan keturunan Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada saat memerintah Panembahan Sambas hindu ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan Sambas yang didirikan oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas hingga seterusnya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu dikuasai / dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan lainnya diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada dibawah Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar Kamaluddin).

Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.

  • Wilayah teritorial/ring kedua, Negara Agung terdiri dari :
  1. Tanah Laut atau Laut Darat terdiri :
    1. Satui
    2. Tabunio. Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
    3. Maluka, daerah yang dikuasai Inggris pada 1815 – 1816 yaitu Maluka, Liang Anggang, Kurau dan Pulau Lamai.
  2. Daerah Banjar Lama (Kuin) dan Pulau Tatas (Banjarmasin). Pulau Tatas diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826, sedangkan Banjar Lama (Kuin) sampai perbatasan daerah Margasari masih tetap sebagai wilayah kesultanan sampai 1860.
  3. Margasari. Wilayah kerajaan sampai 1860.
  4. Banua Ampat artinya banua nang empat yaitu Banua Padang, Banua Halat, Banua Parigi dan Banua Gadung. Wilayah kesultanan sampai 1860.
  5. Amandit. Wilayah kerajaan sampai 1860.
  6. Labuan Amas. Wilayah kerajaan sampai 1860.
  7. Alay. Wilayah kerajaan sampai 1860.
  8. Banua Lima artinya lalawangan nang lima yaitu Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua. Wilayah kerajaan sampai 1860.
  9. Muarabahan (atau Pulau Bakumpai yaitu tebing barat sungai Barito dari muara hingga kuala Mengkatip). Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826 bersama daerah Pulau Burung.
  10. Tanah Dusun yaitu daerah hulu sungai Barito. Pada 13 Agustus 1787 Tanah Dusun Atas diserahkan kepada VOC-Belanda tetapi daerah Mengkatip (Dusun Bawah) dan Tamiang Layang (Dusun Timur) dan sekitarnya tetap sebagai wilayah inti Kesultanan Banjar hingga dihapuskan oleh Belanda tahun 1860.
  • Teritorial/ring ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan kedua daerah ini merupakan wilayah asal Kesultanan Banjar sebelum pemekaran yang terdiri dari :
    • Wilayah Barat (Kalimantan Tengah, sungai Jelai, Lawai): yaitu Kerajaan Kotawaringin (termasuk Jelai dan Kumai), Pembuang, Sampit, Mendawai kelak dijadikan Afdeling Sampit. Juga wilayah Tanah Dayak, yaitu daerah suku Dayak Ngaju/Ot Danum beserta semua daratan yang takluk kepadanya (yaitu semua daerah pedalaman yang tidak termasuk wilayah kerajaan lain). Semua daerah ini dan Lawai (Kabupaten Melawi) diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
    • Wilayah Timur (Kalimantan Tenggara) : yaitu Kerajaan Tanah Bumbu yang didirikan Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah, dalam perkembangannya Kerajaan Tanah Bumbu dibagi ke dalam beberapa divisi atau negeri yaitu Cengal (Pamukan), Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan (Kelumpang), Cantung, Buntar-Laut dan Batulicin. Belakangan Buntar-Laut digabung/dianeksasi oleh Cantung pada tahun 1846. Di selatan Kerajaan Tanah Bumbu adalah wilayah Kerajaan Tanah Kusan yang dahulu didirikan Sultan Amir bin Sultan Muhammad, yang dalam perkembangannya terbagi menjadi negeri Pagatan dan negeri Kusan (1845). Belakangan dibentuk pula negeri Laut-Pulau dan negeri Sabamban. Daerah ini diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dengan 11 swapraja yang meliputi Kesultanan Pasir dan wilayah Tanah Bumbu (Sabamban, Kusan, Pagatan, Batu Licin, Pulau Laut dengan Pulau Sebuku, Bangkalaan, Cantung dengan Buntar-Laut, Sampanahan, Manunggul, Cengal). Semua kerajaan ini termasuk ke dalam Borneo Timur di bawah Asisten Residen yang berkedudukan di Samarinda sejak tahun 1846.
  • Teritorial/ring keempat, adalah Pesisir yaitu daerah terluar, maka dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan Provinsi Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan Tamjidullah I dengan VOC pada 20 Oktober 1756 untuk menaklukan kembali daerah yang melepaskan diri yaitu Sanggau, Sintang, Lawai, Pasir, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir terdiri dari :
    • Pesisir Timur disebut tanah yang di atas angin meliputi kawasan timur Kalimantan dan jika digabung dengan kawasan selatan Kalimantan menjadi Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda.
  1. Wilayah Tanah Paser. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787.
  2. Wilayah Tanah Kutai. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826. Tahun 1844 Sultan Kutai mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
  3. Wilayah Tanah Berau (sejak 1810-an terbagi menjadi Gunung Tabur dan Tanjung) serta daerah Berau yang melepaskan diri yaitu Bulungan dan Tidung. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826.
  4. Wilayah terluar di timur yaitu Karasikan (Buranun/Kerajaan Sulu kuno). Karasikan artinya daerah yang berpasir (karasik = pasir).
    • Pesisir Barat disebut tanah yang di bawah angin meliputi kawasan barat Kalimantan yang kemudian menjadi Karesidenan Borneo Barat pada masa kolonial Hindia Belanda.
  1. Wilayah Batang Lawai atau hulu sungai Kapuas (Tanah Sintang dan Lawai).[2] Wilayah Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-anak sungai Melawi dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai Katingan yang bermuara ke laut Jawa dilanjutkan perjalanan laut menuju sungai Barito di Banjarmasin. Kerajaan Sintang dan Lawai (Kabupaten Melawi) dan Jelai termasuk daerah yang diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826. Lawai sebelumnya sudah diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
  2. Wilayah Tanah Sukadana (serta cabangnya Kerajaan Tayan, Kerajaan Meliau, Kerajaan Sanggau, Kerajaan Sekadau serta Kerajaan Mempawah). Kerajaan Sukadana/Tanjungpura diperintah oleh Dinasti Majapahit. Kesultanan Sukadana menjadi vazal sejak era Kerajaan Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden Saradewa/Giri Mustika alias Sułtan Muhammad Safi ad-Din dengan Putri Gilang/Dayang Gilang cucu Sultan Mustainbillah pada sekitar tahun 1638 maka sebagai hadiah perkawinan Sukadana/Matan dibebaskan dari membayar upeti dan dianugerahi daerah Jelai oleh Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Pada tahun 1661 Sukadana/Matan di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai daerah perlindungan Kesultanan Banjar. Kemudian Sukadana dianggap sebagai vazal Kesultanan Banten setelah kalah dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700 (dimana Landak dibantu Banten-VOC), kemudian Banten menyerahkan Landak (vazal Banten) dan Tanah Sukadana (sebagian besar Kalbar) kepada VOC-Belanda pada 26 Maret 1778, kemudian digabungkan dalam Karesidenan Sambas.
  3. Wilayah terluar di barat adalah Tanah Sambas. Menurut Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan terakhir kalinya Dipati/Panembahan Sambas mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu si Misim dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan (1595-1642). Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah protektorat VOC-Belanda. Intan Si Misim kemudian dipersembahkan kepada Sultan Agung, raja Mataram pada tahun 1641 yang merupakan kiriman yang terakhir kepada pemerintahan di Jawa (Kesultanan Mataram). Semula Kerajaan Sambas diperintah oleh Dinasti Majapahit yang bergelar Pangeran Adipati Sambas, selanjutnya mulai tahun 1675 Tanah Sambas diperintah oleh Dinasti Brunei dimana penguasanya mengambil gelar yang lebih tinggi Sultan maka dinamakan Kesultanan Sambas dan mulai tahun 1855 digabungkan ke dalam Hindia Belanda sebagai ibukota dari Karesidenan Sambas, yang membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.[3]

Pada abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun 1757, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada tahun 1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.

Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinjaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah : [4]

  1. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
  2. Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah itu seperti tersebut dalam Pasal 4 :
    1. Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
    2. Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Mantuil,
    3. Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
    4. Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah.
    5. Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak.
    6. Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan.
    7. Tanah Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya.
    8. Tanah Mandawai.
    9. Sampit
    10. Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya
    11. Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
    12. Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan ke Timur sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan.
    13. Negeri-negeri di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
  3. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
  4. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
  5. Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu menjangan. Padang perburuan itu, meliputi :
    1. Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
    2. Padang Bajingah
    3. Padang Penggantihan
    4. Padang Munggu Basung
    5. Padang Taluk Batangang
    6. Padang Atirak
    7. Padang Pacakan
    8. Padang Simupuran
    9. Padang Ujung Karangan
  6. Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.

Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdautat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan. Pada tahun 1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan pemerintahan regent yang berkedudukan masing-masing di Martapura (Pangeran Jaya Pemenang) dan di Amuntai (Raden Adipati Danu Raja). Adat istiadat sembah menyembah tetap berlaku hingga meninggalnya Pangeran Suria Winata, Regent Martapura saat itu. Jabatan regent di daerah ini akhirnya dihapuskan pada tahun 1884. Berkas:Hindia Belanda 1930.gif


Catatan kaki

  1. ^ Migrasi Orang Banjar di Kalimantan Catatan kecil pola migrasi antar kawasan
  2. ^ (Belanda) Perhimpunan Ilmu Alam Indonesia, Madjalah ilmu alam untuk Indonesia. Indonesian journal for natural science, Volume 2, 1851
  3. ^ (Indonesia) Bernard Dorléans, Orang Indonesia dan orang Prancis: dari abad XVI sampai dengan abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2006, ISBN 979910050X, 9789799100504
  4. ^ (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965