Lompat ke isi

Serangga dalam budaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 20 Juni 2018 04.49 oleh Adeninasn (bicara | kontrib) (hapus dobel)
"Serangga Spanyol", Lytta vesicatoria telah diketahui memiliki senyawa medis, kegunaan aprodisiak, dan senyawa lainnya.

Peran serangga dalam budaya membentang di berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang dianalisis secara akademis maupun yang lebih umum.

Secara akademis, interaksi serangga dan masyarakat telah diperlakukan sebagiannya sebagai entomologi budaya, di mana kebanyakan berhubungan dengan masyarakat "maju", dan merupakan bagian dari etnoentomologi, yang kebanyakan berhubungan dengan masyarakat "primitif"; meskipun lemah dalam pembedaannya, serta tidak berdasarkan pada teori. Kedua disiplin akademis mengeksplorasi kesejajaran, hubungan dan pengaruh serangga terhadap populasi manusia, dan juga sebaliknya. Disiplin-disiplin ini berakar pada ilmu antropologi, sejarah alam, dan entomologi, yaitu sebuah kajian tentang serangga. Penggunaan serangga lainnya di dalam budaya, seperti biomimikri, tidak dipelajari pada disiplin akademis ini.

Secara umum, serangga digunakan secara luas, baik untuk tujuan praktis maupun simbolis. Di sisi lain, sikap terhadap serangga sering kali negatif, dan upaya ekstensif telah dilakukan untuk membunuh mereka. Meluasnya penggunaan insektisida telah gagal memusnahkan hama serangga, tetapi berakibat resisten terhadap bahan kimia yang biasa digunakan pada ribuan spesis serangga.

Penggunaan praktis misalnya di dalam bidang (entomofagi) makanan, obat-obatan, sutra tekstil yang bernilai, zat warna seperti karmin; di dalam sains, serangga jenis lalat buah merupakan model organisme penting yang dipelajari pada ilmu genetika, serta pada bidang peperangan, di mana serangga berhasil digunakan di Perang Dunia Kedua yang menyebarkan penyakit pada penduduk lawan. Satu serangga, seperti lebah madu yang menyediakan madu, serbuk sari, royal jelly, propolis dan senyawa melittin yaitu peptida anti-inflamasi; yang larvanya dijadikan makanan di beberapa masyarakat tertentu. Penggunaan serangga secara medis misalnya dalam terapi belatung bagi luka debridement. Lebih dari seribu kelompok protein telah diidentifikasi pada air liur serangga pemakan darah, yang digunakan sebagai obat-obatan dengan manfaat sebagai antikoagulan, vasodilator, antihistamin dan obat bius.

Penggunaan simbolis yang berperan dalam seni, musik (dengan banyaknya lagu yang menampilkan serangga), juga pada film, sastra, agama, serta mitologi. Kostum serangga digunakan dalam produksi teater yang dipakai di dalam pesta dan karnaval.

Konteks

Entomologi budaya dan ethnoentomologi

"Kumbang khas yang ditemukan di Simunjon, Borneo": Alfred Russel Wallace pelopor ethnoentomologi.

Ethnoentomologi telah berkembang dari abad ke-19 dengan karya awal yang ditulis oleh Alfred Russel Wallace (1852) dan Henry Walter Bates (1862). Karya klasik Hans Zinsser yang berjudul Rats, Lice and History (1935) menunjukkan bahwa serangga merupakan kekuatan penting dalam sejarah manusia. Penulis seperti William Morton Wheeler, Maurice Maeterlinck, dan Jean Henri Fabre menggambarkan bahwa kehidupan serangga dan pengkomunikasian maksudnya kepada manusia dengan "imajinasi dan kecerdasan". Karya Frederick Simon Bodenheimer yang berjudul Insects as Human Food (1951) telah menarik perhatian pada cakupan serta entomofagi potensial, dan menunjukkan aspek-aspek positif dari serangga. Makanan merupakan topik yang paling banyak dikaji di dalam ethnoentomologi, yang diikuti dengan obat-obatan dan pembiakan serangga.[1]

Melawan serangga: sebuah pesawat terbang pertanian yang digunakan dengan bahan insektisida yang rendah dengan umpan kumbang akar jagung.

Di tahun 1968, Erwin Schimitschek [de] mengklaim entomologi budaya merupakan sebuah cabang kajian serangga, di dalam sebuah ulasan tentang peran serangga yang digunakan di dalam cerita rakyat dan juga di dalam budaya termasuk di dalam agama, makanan, obat-obatan, dan seni.[2] Di tahun 1984, Charles Hogue menutupi bidang ini di dalam bahasa Inggris dari tahun 1994 hingga 1997, kemudian majalah The Cultural Entomology Digest Hogue menyajikannya sebagai sebuah forum yang membahas bidang ini.[3][4] Hogue berpendapat bahwa, "Manusia menghabiskan energi intelektualnya dalam tiga wilayah aktivitas dasar, yaitu: bertahan hidup, pembelajaran praktis (seperti aplikasi teknologi); menemukan pengetahuan murni lewat proses mental secara induktif (misalnya sains); dan mengejar pencerahan untuk mencecap kenikmatan dengan pelatihan estetika yang mengacu pada bidang "humaniora". Entomologi telah lama menaruh perhatian pada (entomologi ekonomi) yang digunakan untuk bertahan hidup dan kajian ilmiah (entomologi akademis), tetapi cabang investigasi yang menaruh perhatian pada pengaruh serangga (dan Arthropoda terrestrial lainnya, seperti arachnida dan myriapoda) di dalam sastra, bahasa, musik, seni, sejarah interpretasi, agama, dan rekreasi telah dikenal sebagai bidang khusus di dalam karya Schimitschek.[2][5][6] Hogue membuat batasan pada bidang ini dan berkata bahwa, "Narasi sejarah ilmu pengetahuan dari entomologi bukanlah merupakan bagian dari entomologi budaya, sementara pengaruh serangga di dalam sejarah secara umum dapat dianggap sebagai entomologi budaya."[7] Dia menambahkan, "Karena istilah "budaya" didefinisikan secara sempit, di mana beberapa aspek secara normal dimasukkan di dalam kajian masyarakat yang dikecualikan."[7]

Darrell Addison Posey mencatat bahwa batasan antara entomologi budaya dan ethnoentomologi merupakan hal yang sulit digambarkan, dengan mengutip Hogue sebagai entomologi budaya yang membatasi pengaruh serangga pada "esensi kemanusiaan yang diekspresikan di dalam seni dan humaniora". Posey mencatat lebih lanjut bahwa anthropologi budaya biasanya terikat pada kajian yang telah "maju", terindustrialisasi, dengan masyarakat literer, di mana ethnoentomologi mempelajari "tentang masyarakat 'primitif' atau 'belum beradab' secara entomologis". Posey menyatakan bahwa bagian artifisial, yang lengkap dengan pembenaran yang tidak bias antara kami/mereka.[1] Brian Morris mengkritisi hal serupa dengan cara para anthropolog memperlakukan sikap non-Barat terhadap alam sebagai monadik dan spiritualis, yang kontras dengan "gaya gnostik" dengan perlakuan penyederhanaan terhadap Barat sebagai sikap yang mekanistik, yang seringkali terjadi di abad ke-17. Morris menganggap hal ini sebagai "tidak berguna, jika tidak menyesatkan", dan sebagai gantinya menawarkan penelitiannya sendiri ke dalam cara-cara yang beragam bahwa masyarakat Malawi terkait dengan serangga dan binatang-binatang lainnya yang "pragmatis, intelektual, realis, praktis, estetis, simbolis and sakramen."[8]

Kegunaan serangga di dalam ekosistem

Proses polinasi yang dilakukan oleh lebah pada tanaman alpukat yang merupakan bagian dari kegunaan serangga di dalam ekosistem.

Badan Millennium Ecosystem Assessment (MEA) melaporkan di tahun 2005, bahwa definisi pelayanan ekosistem yang memberikan manfaat bagi manusia yang diperoleh dari ekosistem, serta membedakannya pada empat kategori, pada penetuan, regulasi, dukungan, serta budaya. Sebuah prinsip mendasar di mana beberapa spesis arthropoda yang telah dipelajari secara baik akan pengaruhnya terhadap manusia (misalnya lebah madu, semut, nyamuk, dan laba-laba). Namun, serangga menawarkan manfaat dan hasil ekologis.[9] Masyarakat Xerces misalnya memperhitungkan dampak ekonomi pada empat pelayanan ekologis yang diberikan oleh serangga diantaranya: proses polinasi, rekreasi (misalnya "pentingnya kumbang di dalam kegiatan berburu, memancing, dan observasi satwa liar, seperti pengamatan burung"), penguburan kotoran, dan pengontrolan hama. Nilainya diperkirakan telah mencapai $153 milyar (2, 186 juta rupiah) di seluruh dunia.[10] Sebagai halnya E. O. Wilson, yaitu seorang ahli semut[11] mengamati bahwa, "Jika seluruh umat manusia menghilang, maka dunia akan melakukan regenerasi pada keadaan makmur yang setimbang yang pernah ada di sepuluh tahun yang lalu. Jika serangga punah, maka lingkungan akan mengalami kekacauan."[12] Sebuah segmen televisi Nova pada Layanan Penyiaran Publik di Amerika membingkai hubungan antara serangga dengan konteks urban, dengan menyatakan bahwa, "Kita manusia seringkali berpikir bahwa kita lah yang menjalankan dunia. Tetapi bahkan di pusat-pusat kota besar kita, sebuah musuh adidaya ... makhluk kecil ini hidup di sekeliling kita dengan jumlah yang sangat banyak, dan bahkan kita tidak pernah melihat mereka. Tetapi dengan beragam cara, merekalah yang menjalankan pertunjukkan.[13] Koran The Washington Post menyatakan bahwa, "Kita adalah makhluk terbang yang buta di berbagai aspek kelestarian lingkungan, dan itulah sebabnya kita juga terkejut ketika sebuah spesis seperti lebah madu mulai menyerang, atau serangga yang tidak kita inginkan, seperti nyamuk harimau Asia atau semut api muncul di tengah-tengah kita. Dengan kata lain, mulailah berpikir tentang kumbang-kumbang ini."[14]

Hama dan propaganda

Ketika Perang melawan kumbang kentang, Organisasi Young Pioneers Jerman Timur didesak untuk mengumpulkan dan membunuh kumbang Colorado.

Sikap manusia terhadap serangga seringkali negatif, serta diperkuat dengan pengaruh sensasionalisme dalam media.[15] Hal ini telah menghasilkan sebuah masyarakat yang mencoba memusnahkan serangga dari kehidupan sehari-hari.[16] Sebagai contoh, hampir 75 juta pon dari berbagai jenis insektisida diproduksi dan dijual tiap tahunnya, yang digunakan di rumah-rumah dan kebun-kebun di Amerika. Pendapatan tahunan dari penjualan insektisida kepada pemilik rumah lebih dari $450 juta di tahun 2004. Kurang lebih satu juta spesis serangga telah dideskripsikan sejauh ini, di mana tidak lebih dari seribu spesis dianggap sebagai hama serius dan kurang dari sepuluh ribu (sekitar 1%) jenisnya merupakan hama musiman.[16] Tetapi tidak satu spesis serangga pun telah dibasmi secara permanen dengan penggunaan pestisida, dan sebagai gantinya, minimal seribu spesis telah mengembangkan resistensi lapangan terhadap pestisida, dan bahaya ekstensif telah selesai dalam memberikan manfaat kepada serangga termasuk diantaranya adalah lebah madu sebagai pelaku peran di dalam proses polinasi.[17]

Selama Perang Dingin, negara-negara Pakta Warsawa meluncurkan perang melawan kumbang kentang, serta mencela pengenalan spesis kumbang tersebut dari Amerika kepada CIA, dan mengutuk spesis tersebut di dalam poster-poster propaganda, serta menyuruh anak-anak mengumpulkan kumbang-kumbang tersebut dan membunuh mereka.[18]

Penggunaan praktis

Sebagai makanan

Ulat Witchetty digunakan sebagai makanan oleh aborigin Australia.

Entomofagi adalah makan serangga. Banyak serangga digunakan sebagai kuliner penyedap makanan di beberapa masyarakat di seluruh dunia, dan karya Frederick Simon Bodenheimer yang betjudul Insects as Human Food (1951) menarik perhatian pada lingkup dan potensi entomofagi, tetapi praktik ini jarang terjadi dan bahkan tabu di masyarakat lain. Terkadang serangga dianggap cocok hanya untuk masyarakat miskin di dunia ketiga, tetapi pada tahun 1975 Victor Meyer-Rochow menyarankan supaya serangga dapat membantu meringankan kekurangan pangan global di masa depan dan mengadvokasi sebuah perubahan sikap barat terhadap budaya di mana serangga dihargai sebagai makanan.[19] P.J. Gullan and P.S. Cranston merasa bahwa obat untuk hal ini mungkin memasarkan hidangan serangga sebagai makanan yang eksotis dan mahal sehingga dapat diterima. Mereka juga mencatat bahwa beberapa masyarakat di sub-Sahara Afrika lebih menyukai ulat dibandingkan daging sapi, seperti halnya Chakravorty et al. (2011)[20] tunjukkan bahwa serangga makanan (sangat dihargai di India Utara-Timur) yang harganya lebih mahal daripada daging. Hal ekonomis seperti biaya mengumpulkan serangga makanan dan uang yang diperoleh melalui penjualan serangga tersebut, telah dipelajari dengan latar Laos oleh Meyer-Rochow dkk. (2008).[21] Di Meksiko, larva semut dan telur pengebor air Corixid dicari sebagai suatu bentuk kaviar oleh ahlu gastronomi. Di Guangdong, kumbang air memiliki harga cukup tinggi supaya serangga-serangga ini dapat diternakkan. Khususnya harga yang tinggi yang diambil di Thailand untuk serangga air raksasa Lethocerus indicus.[22]

Serangga-serangga yang digunakan sebagai makanan diantaranya larva lebah madu dan pupa,[23][24] ulat mopani,[25] ulat sutera,[26] ulat Maguey,[27] ulat Witchetty,[28] jangkrik,[29] belalang[30] dan uir-uir.[31] Di Thailand, terdapat 20.000 petani memelihara jangkrik yang dipanen sekitar 7.500 ton per tahun.[32]

Di bidang kedokteran

Serangga tentara yang digunakan oleh suku Maya sebagai benang alami, di mana jahitannya dapat menutup luka dengan kuat.

Serangga telah digunakan secara medis pada budaya di seluruh dunia, yang seringkali sesuai dengan dogma benda hayati. Dengan demikian, femur belalang yang bentuknya menyerupai hepar manusia, seringkali digunakan sebagai obat penyakit hepar oleh masyarakat adat Meksiko.[33] Dogma ini telah diterapkan di dalam Pengobatan Tradisional Cina (atau disingkat TCM) serta di dalam Ayurveda. TCM menggunakan arthropoda untuk berbagai tujuan; misalnya, kelabang digunakan untuk mengobati tetanus, kejang, dan sawan,[34] sementara Semut Hitam Gunung Cina atau Polyrhachis vicina, digunakan sebagai obat semua penyakit, terutama oleh para orang tua, dan ekstraknya diuji sebagai agen anti-kanker.[35] Pengobatan Ayurveda menggunakan serangga jenis Termite untuk kondisi-kondisi seperti bisul, penyakit reumatik, anemia, dan nyeri. Larva penambang daun Jatropha digunakan dengan cara direbus untuk menginduksi laktasi, menurunkan demam, dan menenangkan saluran pencernaan.[20][36] Sebaliknya, obat serangga tradisional dari Afrika merupakan obat lokal dan tidak berbentuk.[36] Masyarakat adat Amerika Tengah biasanya menggunakan berbagai macam serangga sebagai obat. Suku Maya misalnya, menggunakan gerombolan Semut tentara sebagai benang jahit.[37] Racun yang dihasilkan Semut pemanen merah biasa digunakan untuk menyembuhkan penyakit reumatik, arthritis, dan poliomielitis melalui reaksi kekebalan tubuh yang dihasilkan akibat sengatannya.[37] Pupa rebus silkworm diambil untuk mengobati penyakit apoplexy, afasia, bronkhitis, radang paru-paru, sawan, pendarahan, serta beser. [33]

Produk-produk lebah madu digunakan secara medis dalam apitherapy di Asia, Eropa, Afrika, Australia, dan Amerika, meskipun faktanya lebah madu tidak diperkenalkan di Amerika hingga peristiwa kolonisasi oleh Spanyol dan Portugal. Sejauh ini, produk-produk tersebut merupakan produk serangga medis yang paling umum; baik secara historis maupun yang ada hingga saat ini, dan madu-madu ini merupakan produk yang seringkali direkomendasikan.[36] Produk serangga ini juga diterapkan pada kulit untuk mengobati jaringan parut yang tumbuh dengan cepat, mengobati ruam, dan luka bakar,[38] selain itu digunakan juga sebagai tapal mata untuk mengobati infeksi.[20] Madu ini diambil untuk mengobati masalah pencernaan, yang juga digunakan sebagai pemulihan kesehatan secara umum. Madu diambil panas-panas untuk mengobati pilek, batuk, infeksi tenggorokan, laryngitis, tuberculosis, dan penyakit paru-paru.[33] Apitoxin (venom lebah madu) diaplikasikan langsung melalui sengatannya untuk meredakan radang sendi, reumatik, polyneuritis, dan asthma.[33] Propolis, campuran resin, lilin yang dikumpulkan oleh lebah madu yang kemudian digunakan sebagai insulator sarang dan sealant, seringkali dikonsumsi oleh para wanita menopause karena memiliki kandungan hormon yang tinggi, dan konon memiliki khasiat antibiotik, anestesi, dan anti-inflamasi.[33] Royal jelly juga digunakan untuk mengobati anaemia, ulkus gastrointestinal, arteriosclerosis, tekanan darah rendah dan tekanan darah tinggi, serta menghambat libido seksual.[33] Terakhir, lebah roti, atau lebah pollen, umumnya dimakan sebagai pemulihan kesehatan, dan dikenal dapat membantu mengobati infeksi internal dan eksternal.[33] Salah satu peptida utama di dalam venom lebah seperti Melittin, merupakan senyawa yang berpotensi mengobati inflamasi pada penderita Rheumatoid arthritis dan Multiple sclerosis.[39]

Peningkatan infeksi resistensi antibiotik telah memicu penelitian farmasi untuk sumber daya baru, termasuk penelitian tentang arthropoda.[40]

Terapi Maggot misalnya menggunakan larva blowfly untuk membersihkan luka debridement.[41] Jenis arthropoda ini mengeluarkan senyawa allantoin, yang digunakan dalam mengobati infeksi tulang, Osteomyelitis.

Senyawa Cantharidin yaitu minyak penyebab blister yang ditemukan pada beberapa keluarga kumbang yang telah dijelaskan oleh nama umum yang tersamar kumbang Spanyol, diterima oleh FDA di tahun 2004 telah digunakan di dalam pengobatan kutil dan masalah kulit lainnya. Ketika zaman Yunani dan Romawi Kuno, digunakan juga sebagai senyawa aprodisiak di beberapa masyarakat. Kajian di dalam kultur jaringan dan model binatang telah menunjukkan sifat perlawanan terhadap tumor.

Serangga penghisap darah seperti caplak, pikat, dan nyamuk menyuntikkan beberapa senyawa bioaktif ke dalam mangsanya. Serangga ini telah lama digunakan oleh para praktisi Kedokteran Timur dalam pencegahan pembekuan darah atau trombosis, menawarkan kemungkinan aplikasi di dalam kedokteran ilmiah.[42] Lebih dari 1.280 keluarga protein dihubungkan dengan saliva dari organisme penghisap darah, termasuk diantaranya inhibitor agregasi platelet, ADP, asam arachidonik, trombin, PAF, antikoagulan, vasodilator, vasokonstriktor, antihistamin, bloker kanal natrium, inhibitor pelengkap, pembentuk pori, inhibitor angiogenesis, anestesi, AMP dan molekul pengenalan pola mikroba, serta parasit peningkat atau aktivator.[39][43][44][45] Ixolaris yaitu inhibitor jaringan terbukti dapat memblokir pertumbuhan tumor primer dan angiogenesis di dalam model glioblastoma.[46]

Serangga jenis arachnid digunakan di dalam pengobatan tradisional, di mana racunnya dipelajari sebagai faktor bioaktif. Pada tahun 1993 Margatoxin disintesis dari racun kalajengking kulit Amerika Tengah menjadi Centruroides margaritatus. Peptida ini secara selektif menghambat VGKCs, dan telah dipatenkan oleh Merck, dengan potensi khasiat di dalam pencegahan neointimal hyperplasia, penyebab umum gagal jantung.[47]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Posey, Darrell Addison (1986). "Topics And Issues In Ethnoentomology With Some Suggestions For The Development Of Hypothesis-Generation And Testing In Ethnobiology" (PDF). Journal of Ethnobiology. 6 (1): 99–120. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 1 August 2014. 
  2. ^ a b Schimitschek, E. (1968). "Insekten als Nahrung, Brauchtum, Kult und Kultur". Dalam Helmcke J.G.; Stark D.; Wermuth H. Handbuch der Zoologie. 4. Berliner Akademie Verlag. hlm. 1–62. 
  3. ^ Hogue, Charles. "Cultural Entomology". Diakses tanggal 22 July 2012. 
  4. ^ "Who? What? Why?". Cultural Entomology Digest. Diakses tanggal 22 July 2012. 
  5. ^ Schimitschek, E. (1961). "Die Bedeutung der Insekten für Kultur und Wirtschaft des Menschen in Vergangenheit und Gegenwart". Istanbul Universitesi. 908:: 1–48. 
  6. ^ Hogue, Charles (January 1987). "Cultural Entomology". Annual Review of Entomology. 32: 181–199. doi:10.1146/annurev.en.32.010187.001145. 
  7. ^ a b Hogue, Charles. "Cultural Entomology". Cultural Entomology Digest. Diakses tanggal 22 July 2012. 
  8. ^ Morris, 2006.
  9. ^ Millennium Ecosystem Assessment (2005). Ecosystems and human well-being : synthesis (PDF). Washington, DC: Island Press. ISBN 1-59726-040-1. Diakses tanggal 7 August 2014. 
  10. ^ Lyman Kirst, Marian (29 Dec 2011). "Insect – the neglected 99%". High Country News. Diakses tanggal 22 July 2012. 
  11. ^ "Edward O. Wilson Biography". Biography.com. Diakses tanggal 6 January 2017. 
  12. ^ Wilson, E.O. (2006). The Creation: An Appeal to Save Life on Earth. Norton. 
  13. ^ "Little Creatures Who Run the World". Nova. PBS Airdate: August 12, 1997. 
  14. ^ Higgins, Adrian (30 June 2007). "Saving Earth From the Ground Up". June 30, 2007. The Washington Post. Diakses tanggal 22 July 2012. 
  15. ^ Kellert, S. R. (1993). "Values and perceptions of invertebrates". Conservation Biology. 7 (4): 845–855. doi:10.1046/j.1523-1739.1993.740845.x. 
  16. ^ a b Meyer, John (2006). "Chapter 18: Insects As Pests". North Carolina State University. Diakses tanggal 22 July 2012. 
  17. ^ Miller G.T. (2004). Sustaining the Earth (edisi ke-6th). Thompson Learning. hlm. 211–216. 
  18. ^ Sindelar, Daisy. "What's Orange and Black and Bugging Ukraine?". Radio Free Europe / Radio Liberty. Diakses tanggal 18 May 2014. 
    Ukraine's Reins Weaken as Chaos Spreads, The New York Times (4 May 2014)
  19. ^ Meyer-Rochow, Victor Benno (1975). "Can insects help to ease the problem of world food shortage?". ANZAAS Journal: "Search". 6 (7): 261–262. 
  20. ^ a b c Chakravorty, J., Ghosh, S., and V.B. Meyer-Rochow. (2011). Practices of entomophagy and entomotherapy by members of the Nyishi and Galo tribes, two ethnic groups of the state of Arunachal Pradesh (North-East India). Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine 7(5)
  21. ^ Meyer-Rochow V.B., Nonaka K., Boulidam S (2008) More feared than revered: Insects and their impacts on human societies (with specific data on the importance of entomophagy in a Laotian setting. Entomologie Heute 20: 3–25
  22. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama GullanCranston2009
  23. ^ Holland, Jennifer (14 May 2013). "U.N. Urges Eating Insects: 8 Popular Bugs to Try". National Geographic. Diakses tanggal 16 July 2015. 
  24. ^ Haris, Emmaria (6 December 2013). "Sensasi Rasa Unik Botok Lebah yang Menyengat (Unique taste sensation botok with stinging bees)" (dalam bahasa Indonesian). Sayangi.com. Diakses tanggal 22 June 2015. 
  25. ^ "Worms! A look at Zimbabwe's favorite snack: mopane worms". New York Daily News. 25 January 2013. Diakses tanggal 10 July 2016. 
  26. ^ Robinson, Martin; Bartlett, Ray; Whyte, Rob. Korea (2007). Lonely Planet publications, ISBN 1-74104-558-4, ISBN 978-1-74104-558-1. page 63
  27. ^ Tang, Philip. "The 10 tastiest insects and bugs in Mexico". Lonely Planet. Diakses tanggal 10 July 2016. 
  28. ^ Isaacs, Jennifer (2002). Bush Food: Aboriginal Food and Herbal Medicine. Frenchs Forest, New South Wales: New Holland Publishers (Australia). hlm. 190–192. ISBN 1-86436-816-0. 
  29. ^ Bray, Adam (24 August 2010). "Vietnam's most challenging foods". CNN: Travel. Diakses tanggal 2 June 2015. 
  30. ^ Kenyon, Chelsie. "Chapulines". Diakses tanggal 31 March 2015. 
  31. ^ Fromme, Alison (2005). "Edible Insects". Smithsonian Zoogoer. Smithsonian Institution. 34 (4). Diarsipkan dari versi asli tanggal November 11, 2005. Diakses tanggal 26 April 2015. 
  32. ^ Hanboonsong, Yupa; Tasanee, Jamjanya (2013-03-01). "Six-legged livestock" (PDF). FAO. Patrick B. Durst. Food and Agriculture Organization. Diakses tanggal 10 July 2016. 
  33. ^ a b c d e f g Ramos-Elorduy de Concini, J. and J.M. Pino Moreno. (1988). The utilization of insects in the empirical medicine of ancient Mexicans. Journal of Ethnobiology, 8(2), 195–202.
  34. ^ http://tcm.health-info.org/Herbology.Materia.Medica/wugong-properties.htm
  35. ^ http://news.bbc.co.uk/2/hi/health/1809450.stm
  36. ^ a b c Srivastava, S.K., Babu, N., and H. Pandey. (2009). Traditional insect bioprospecting—As human food and medicine. Indian Journal of Traditional Knowledge, 8(4): 485–494.
  37. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Meksiko
  38. ^ Feng, Y., Zhao, M., He, Z., Chen, Z., and L. Sun. (2009). Research and utilization of medicinal insects in China. Entomological Research, 39: 313–316.
  39. ^ a b Ratcliffe, N.A. et al. Insect Biochemistry and Molecular Biology, 41 (2011) 747e769
  40. ^ Dossey, A.T., 2010. Insects and their chemical weaponry: new potential for drug discovery. Nat. Prod. Rep 27, 1737e1757.
  41. ^ Sun, Xinjuan; Jiang, Kechun; Chen, Jingan; Wu, Liang; Lu, Hui; Wang, Aiping; Wang, Jianming (2014). "A systematic review of maggot debridement therapy for chronically infected wounds and ulcers". International Journal of Infectious Diseases. 25: 32–7. doi:10.1016/j.ijid.2014.03.1397. PMID 24841930. 
  42. ^ Yang, X., Hu, K., Yan, G., et al., 2000. Komponen fibrinogenolitik di Tabanid, bahan obat tradisional Cina dan sifat-sifatnya. J. Southwest Agric. Univ. 22, 173e176 (Cina).
  43. ^ Ribeiro, J.M.C., Arca, B., 2009. From sialomes to the sialoverse: an insight into salivary potion of blood-feeding insects. Adv. Insect Physiol. 37, 59e118.
  44. ^ Francischetti, I.M.B., Mather, T.N., Ribeiro, J.M.C., 2005. Tick saliva is a potent inhibitor of endothelial cell proliferation and angiogenesis. Thromb. Haemost. 94, 167e174.
  45. ^ Maritz-Olivier, C., Stutzer, C., Jongejan, F., et al., 2007. Tick anti-hemostatics: targets for future vaccines and therapeutics. Trends Parasitol. 23, 397e407.
  46. ^ Carneiro-Lobo, T.C., Konig, S., Machado, D.E., 2009. Ixolaris, a tissue factor inhibitor, blocks primary tumor growth and angiogenesis in a glioblastoma model. J. Thromb. Haemost. 7, 1855e1864.
  47. ^ E. M. Costa-Neto, An. Acad. Bras. Cienc., 2005, 77 (1), 33–43.

Bacaan lanjut

Pranala luar

Templat:Serangga dalam budaya Templat:Makhluk hidup dalam budaya

Templat:Entomologi