Sutardjo Kertohadikusumo
Mas Sutardjo Kertohadikusumo | |
---|---|
Gubernur Jawa Barat ke-1 | |
Masa jabatan 18 Agustus 1945 – Desember 1945 | |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu tidak ada, jabatan baru | |
Wakil Ketua I Komite Nasional Indonesia Pusat | |
Masa jabatan 29 Agustus 1945 – Februari 1950 | |
Presiden | Soekarno |
Ketua KNIP | Kasman Singodimedjo |
Ketua Dewan Pertimbangan Agung ke-3 | |
Masa jabatan 1948–1950 | |
Presiden | Soekarno |
Ketua Umum Palang Merah Indonesia ke-2 | |
Masa jabatan 1946–1948 | |
Pengganti BPH Bintoro | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Mas Sutardjo Kertohadikusumo 22 Oktober 1892 Kunduran, Blora, Jawa Tengah |
Meninggal | 20 Desember 1976 Jakarta Indonesia | (umur 84)
Sunting kotak info • L • B |
Mas Sutardjo Kertohadikusumo (22 Oktober 1892 – 20 Desember 1976) adalah gubernur pertama Jawa Barat. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi.
Mula-mula ia mengenyam pendidikan formal di ELS (Europeesche Lagere School). Setelah lulus, ia melanjutkan ke STOVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaar), sekolah yang khusus mendidik para calon pegawai pamong praja. Di sinilah ia mulai berkenalan dengan dunia pergerakan dan organisasi.
Saat berusia 19 tahun, Soetardjo terpilih sebagai ketua salah satu cabang Boedi Oetomo sampai tahun 1911, tapi jabatannya itu harus ditinggalkan karena setamat sekolah ia bekerja di kantor Asisten Residen di Blora.
Belum genap setahun di kantor tersebut, ia diangkat menjadi Pembantu Juru Tulis di kantor Residen Rembang. Kariernya sebagai ambtenaar terus menanjak. Dua tahun kemudian ia menjabat sebagai asisten wedana di onderdistrik Bogorejo di daerah Blora. Saat bertugas di posisi ini, kondisi masyarakat di wilayahnya tengah menderita karena diisap para tengkulak dan lintah darat. Ia kemudian mendirikan koperasi untuk mengurangi ketergantungan rakyat kepada para pelaku ekonomi yang menindas tersebut.
Nadi kehidupannya yang digaji oleh pemerintah kolonial tak membuat Soetardjo terlena. Ia bersama pangreh praja pribumi lain mendirikan Persatoean Pegawai Bestuur Bumipoetera (PPBB) yang aktif mengusahakan kemajuan rakyat dan daerah.
Warsa 1930, saat Sukarno diadili di Landraad Bandung karena dituding hendak memberontak kaum kolonial, Soetardjo—waktu itu anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Bandung dan peserta kursus kepemimpinan yang diselenggarakan partai tersebut—ditunjuk untuk menulis kesaksian tentang kegiatan kursus kepemimpinan sebagai klarifikasi atas tuduhan yang menyeret Sukarno dkk ke meja hijau.
Lewat PPBB, ia kemudian menjadi anggota Volksraad dan cukup vokal di dewan perwakilan rakyat tersebut. Pada 20 Desember 1920, ia mengusulkan agar pengurus pusat PPBB mengeluarkan mosi untuk menanggapi rencana penghapusan OSVIA di Madiun oleh pemerintah kolonial.
“Sebagai pengurus PPBB, Soetardjo memiliki pandangan yang sangat revolusioner. Gagasannya adalah untuk mendukung organisasi-organisasi pergerakan yang non-kooperatif. Ia memiliki tujuan untuk memulai perjuangannya dengan mengganti istilah bumiputra dengan istilah Indonesia,” tulis Djoko Marihandono dkk Soetardjo Kartohadikoesoemo (2016).
Sepak terjang Soetardjo selama menjadi anggota Volksraad terus berlanjut. Pada Rapat Volksraad tanggal 7 Agustus 1931, ia menyoroti kemunduran pembatik di Kota Lasem akibat situasi ekonomi yang menentu dan buruknya pelayanan dari aparat pemerintah setempat. Kondisi ini pun diperburuk oleh keberpihakan para pejabat Eropa yang dianggap mengistimewakan para pembatik keturunan Cina dan tak memperhatikan aspirasi-aspirasi pembatik bumiputra.
Dalam masa reses persidangan Volksraad, Soetardjo pun tak berdiam diri. Ia memperlihatkan keberpihakannya kepada kaum bumiputra, salah satunya menghadiri rapat umum PPBB pada 27 Agustus 1931 di Gedung Kesenian Batavia di Gondangdia.
Pada rapat tersebut ia mengusulkan pembentukan sebuah dana beasiswa (studiefond), pembentukan bank priyayi, dan pengumpulan dana yang dapat disalurkan untuk kepentingan bumiputra lain.[1]
Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, tetapi ia tidak berkantor di Bandung, melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia penggagas Petisi Sutarjo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) Belanda. Petisi ini diajukan karena ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan politik Gubernur Jenderal De Jonge. Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua DPA.
Rujukan
- ^ "Soetardjo Kartohadikoesoemo, Gubernur Pertama Jawa Barat". tirto.id. Diakses tanggal 2019-09-22.
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Posisi baru | Gubernur Jawa Barat 1945 |
Diteruskan oleh: Datuk Djamin |
Didahului oleh: RAA Wiranatakusuma |
Ketua Dewan Pertimbangan Agung 1948–1950 |
Diteruskan oleh: Soekarno |
Jabatan lain | ||
Didahului oleh: Mohammad Hatta |
Ketua Umum Palang Merah Indonesia 1946–1948 |
Diteruskan oleh: BPH Bintoro |