Lompat ke isi

Kias (fikih)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kias (bahasa Arab: قياس, translit. qiyās, har. 'menggabungkan atau menyamakan') adalah penetapan suatu hukum dan perkara baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.

Dalam Islam, Ijmak dan Kias sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya

Rukun Kias

[sunting | sunting sumber]

Rukun kias ada empat;

Al-ashl (pokok)

Al-ashl ialah sesuatu yang telah ditetapkan ketentuan hukumnya berdasarkan nas,baik berupa Quran maupun Sunnah.

Mengenai rukun ini, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Al-ashl tidak mansukh. Artinya hukum syarak yang akan menjadi sumber pengiasan itu masih berlaku pada masa hidup Rasulullah. Apabila telah dihapuskan ketentuan hukumnya, ia tidak dapat menjadi al-ashl.

2. Hukum syarak. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang hendak ditemukan ketentuan hukumnya melalui kias adalah hukum syarak, bukan ketentuan hukum yang lain.

3. Bukan hukum yang dikecualikan. Jika al-ashl tersebut merupakan pengecualian, tidak dapat menjadi wadah kias.

Al-far'u (cabang)

Al-far'u ialah masalah yang hendak dikiaskan yang tidak ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya.

Mengenai rukun ini, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Sebelum dikiaskan tidak pernah ada nas lain yang menentukan hukumnya.

2. Ada kesamaan antara 'illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat dalam al-far'u.

3. Tidak terdapat dalil qath'i yang kandungannya berlawanan dengan al-far'u.

4. Hukum yang terdapat dalam al-ashl bersifat sama dengan hukum yang terdapat dalam al-far'u.

Hukum Ashl

Hukum Ashl adalah hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nash tertentu, baik dari Quran maupun Sunnah.

Mengenai rukun ini, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Hukum tersebut adalah hukum syara', bukan yang berkaitan dengan hukum aqliyyah atau adiyyah dan/atau lughawiyah.

2. 'Illah hukum tersebut dapat ditemukan, bukan hukum yang tidak dapat dipahami 'illahnya.

3. Hukum ashl tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushshiyyah Rasulullah.

4. Hukum ashl tetap berlaku setelah waftnya Rasulullah, bukan ketentuan hukum yang sudah dibatalkan.

'Illah

'Illah adalah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum.

Mengenai rukun ini, agar dianggap sah sebagai 'illah, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Zhahir, yaitu 'illah mestilah suatu sifat yang jelas dan nyata, dapat disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan yang lain.

2. 'Illah harus mengandung hikmah yang sesuai dengan kaitan hukum dan tujuan hukum. Dalam hal ini, tujuan hukum adalah jelas, yaitu kemaslahatan mukalaf di dunia dan akhirat, yaitu melahirkan manfaat atau menghindarkan kemudaratan.

3. Mundhabithah, yaitu 'illah mestilah sesuatu yang dapat diukur dan jelas batasnya.

4. Mula'im wa munasib, yaitu suatu 'illah harus memiliki kelayakan dan memiliki hubungan yang sesuai antara hukum dan sifat yang dipandang sebagai 'illah.

5. Muta'addiyah, yaitu suatu sifat yang terdapat bukan hanya pada peristiwa yang ada nas hukumnya, tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa lain yang hendak ditetapkan hukumnya.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  • "Usul Fiqh", oleh A. Hanafie, M.A., Cetakan ketiga 1962, halaman 128-140
  • "Ushul Fiqh", oleh Drs. H Abd. Rahman Dahlan, M.A., Cetakan pertama 2010, halaman 162-165