Lompat ke isi

Fertilisasi in vitro

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Fertilisasi in vitro
Intervensi
Ilustrasi skematik IVF dengan injeksi sperma intrasitoplasmik.
ICD-10-PCS[1]
MeSHD005307

Fertilisasi in vitro atau pembuahan in vitro (bahasa Inggris: in vitro fertilisation, IVF), atau sering disebut bayi tabung, adalah suatu proses pembuahan sel telur oleh sel sperma di luar tubuh sang wanita: in vitro ("di dalam gelas kaca"). Proses ini melibatkan pemantauan dan stimulasi proses ovulasi seorang wanita, mengambil suatu ovum atau sel-sel telur dari ovarium (indung telur) wanita itu dan membiarkan sperma membuahi sel-sel tersebut di dalam sebuah medium cair di laboratorium. Sel telur yang telah dibuahi (zigot) dikultur selama 2–6 hari di dalam sebuah medium pertumbuhan dan kemudian dipindahkan ke rahim wanita yang sama ataupun wanita yang lain, dengan tujuan menciptakan keberhasilan kehamilan.

Teknik-teknik IVF dapat digunakan dalam berbagai jenis situasi, dan merupakan salah satu teknik dalam teknologi reproduksi dengan bantuan untuk penanganan infertilitas. Teknik-teknik IVF juga digunakan dalam surogasi kehamilan, yang dalam kasus ini sel telur yang telah dibuahi ditanam di dalam rahim 'titipan' wanita lain sehingga anak yang dilahirkan secara genetik tidak terkait dengan wanita tersebut. Dalam beberapa situasi, sel-sel sperma atau sel-sel telur donasi dapat digunakan. Sejumlah negara melarang atau sebaliknya melakukan regulasi ketersediaan pengerjaan IVF sehingga menimbulkan wisata fertilitas. Pembatasan atas ketersediaan IVF misalnya karena biaya dan usia untuk menghasilkan suatu kehamilan yang sehat dalam jangka waktu normal. Karena biaya prosedur ini, IVF kebanyakan diupayakan hanya setelah pilihan lain yang lebih murah telah gagal.

Kelahiran seorang "bayi tabung" pertama yang berhasil, yaitu Louise Brown, terjadi pada tahun 1978. Louise Brown dilahirkan sebagai hasil dari siklus alami IVF tanpa stimulasi. Robert G. Edwards mendapat penghargaan Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 2010, fisiolog yang terlibat dalam pengembangan proses ini bersama dengan Patrick Steptoe; Steptoe tidak memenuhi syarat untuk dipertimbangkan karena Penghargaan Nobel tidak diberikan secara anumerta.[1] Dengan donasi sel telur dan IVF, wanita yang melewati masa reproduktifnya atau telah mengalami menopause masih dapat hamil. Adriana Iliescu sempat memegang rekor sebagai wanita tertua yang melahirkan dengan menggunakan IVF dan sel telur dari donasi, ketika ia melahirkan pada tahun 2004 di usianya yang ke-66 tahun, sebelum rekornya terlampaui pada tahun 2006. Setelah menggunakan IVF, dikatakan bahwa banyak pasangan dapat hamil tanpa perawatan kesuburan.[2] Pada tahun 2012, diperkirakan bahwa lima juta anak telah lahir di seluruh dunia menggunakan IVF dan teknik reproduksi berbantu lainnya.[3]


Proses

Pasangan menikah yang dalam waktu tertentu belum juga mendapatkan keturunan, banyak menjadikan bayi tabung sebagai solusi. Program pembuahan dalam tabung ini memang membawa harapan bagi mereka yang mengalami masalah kesuburan. Namun tidak semua orang paham mengenai bayi tabung dan bagaimana proses bayi tabung tersebut.

Secara sederhana, bayi tabung diartikan sebagai proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh ibu. Dalam bahasa Latin bayi tabung dikenal dengan istilah in vitro vertilization, yang berarti 'pembuahan dalam gelas atau tabung.'

Proses bayi tabung sendiri diawali dengan konsultasi dan seleksi pasien, di mana baik suami dan istri akan diperiksa sampai dengan ada indikasi untuk mengikuti program bayi tabung. Jika memang diindikasikan, baru bisa masuk dan mengikuti program bayi tabung.

Proses bayi tabung selanjutnya adalah, melakukan stimulasi atau merangsang indung telur untuk memastikan banyaknya sel telur. Secara alami sel telur memang hanya ada satu, namun dalam program bayi tabung, perlu lebih dari satu sel telur untuk memperoleh embrio.

Proses bayi tabung yang ke tiga adalah, pemantauan pertumbuhan folikel atau cairan berisi sel telur di dalam indung telur melalui ultrasonografi. Pemantauan pertumbuhan folikel ini bertujuan untuk melihat apakah sel telur sudah cukup matang untuk dipanen atau belum. Baru kemudian mematangkan sel telur, dengan cara menyuntikan obat agar siap dipanen.

Proses bayi tabung selanjutnya adalah, melakukan pengambilan sel telur untuk kemudian di proses di laboratorium. Pada hari yang sama, akan dilakukan pengambilan sperma suami. Jika tidak ada masalah, pengambilan dilakukan dengan cara bermasturbasi. Namun bila ditemukan kendala, maka akan dilakukan operasi pengambilan sperma melalui buah zakar.

Setelah proses di atas selesai, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pembuahan atau fertilisasi di dalam media kultur di laboratorium, sehingga menghasilkan embrio. Baru setelah embrio terbentuk, akan dilakukan proses transfer embrio kembali ke dalam rahim agar terjadi kehamilan. Jika ada sisa embrio lebih, maka akan disimpan untuk proses kehamilan berikutnya.

Baru kemudian proses bayi tabung memasuki fase luteal untuk mempertahankan dinding Rahim dengan memberikan Progesterone. Biasanya dokter akan memberi obat selama 15 hari pertama untuk mempertahankan dinding rahim ibu agar terjadi kehamilan. Proses terakhir adalah melakukan pemeriksaan apakah telah terjadi kehamilan atau belum, baik dengan pemeriksaan darah maupun USG.

Sejarah

Pada tahun 1977, Steptoe dan Edwards berhasil melakukan suatu fertilisasi rintisan yang menyebabkan kelahiran bayi pertama yang dikandung menggunakan metode IVF, yaitu Louise Brown pada tanggal 25 Juli 1978, di Rumah Sakit Oldham General, Greater Manchester, Britania Raya.[4][5][6]

Kelahiran sukses bayi tabung yang kedua terjadi di India hanya berselang 67 hari setelah Louise Brown lahir.[7] Bayi perempuan itu, bernama Durga, dikandung in vitro menggunakan metode-metodenya Subhash Mukhopadhyay, seorang dokter dan peneliti dari Kolkata.

Etika

Kesalahan pencampuran

Dalam sejumlah kasus, terjadi kesalahan pencampuran (sel gamet yang salah diidentifikasi, pemindahan embrio yang salah) di laboratorium, yang menyebabkan tindakan hukum terhadap penyedia layanan IVF dan gugatan-gugatan terkait keayahan yang kompleks. Contohnya adalah kasus seorang wanita di California yang menerima embrio pasangan lain dan baru diberitahu tentang kesalahan ini setelah kelahiran putranya.[8] Hal ini menyebabkan banyak otoritas dan klinik individual menerapkan prosedur-prosedur untuk meminimalkan risiko semacam itu. Otoritas Embriologi dan Fertilisasi Manusia di Britania Raya misalnya, mensyaratkan klinik-klinik untuk menggunakan sistem kesaksian ganda, identitas spesimen diperiksa oleh dua orang di setiap titik pemindahan spesimen. Alternatifnya, solusi-solusi teknologi lebih disukai, untuk mengurangi biaya manual tenaga kerja dalam sistem kesaksian ganda, dan untuk mengurangi risiko dengan penggunaan tag RFID bernomor yang dapat diidentifikasi oleh pembaca yang terhubung ke komputer. Komputer tersebut melacak spesimen di seluruh proses dan memperingatkan embriolog jika spesimen yang tidak cocok teridentifikasi. Meskipun penggunaan pelacakan RFID telah meluas di Amerika Serikat,[9] hal ini masih belum diterapkan secara luas. Bagaimanapun, dalam kasus-kasus lain bukan terjadi kesalahan pencampuran embrio atau sel gamet, tetapi penggunaan secara sengaja embrio dari pasangan lain atau donor sel gamet, tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya: baik reseptor maupun donor. Beberapa kasus semacam ini dibawa ke proses hukum dan peradilan.[butuh rujukan]

Skrining atau diagnosis genetik praimplantasi

Kekhawatiran lainnya yaitu bahwa orang akan menyaring sifat tertentu, menggunakan diagnosis genetik praimplantasi (PGD) atau skrining genetik praimplantasi. Sebagai contoh, satu pasangan tunarungu dari Britania, Tom dan Paula Lichy, mengajukan petisi untuk menciptakan seorang bayi tuli menggunakan IVF.[10] Sejumlah etikawan medis sangat kritis terhadap hal ini. Jacob M. Appel menulis bahwa, "dengan sengaja memusnahkan embrio yang buta atau tuli mungkin mencegah cukup banyak penderitaan di masa depan, sementara suatu kebijakan yang memungkinkan orang tua tuli ataupun buta untuk memilih sifat-sifat yang sama secara sengaja akan jauh lebih merepotkan."[11]

Konsep yang dengan tegas mengubah gen ini telah menciptakan konsep Bayi Desainer. Saat ini, PGD dapat mengubah beberapa atribut fisik dan kesehatan; proyeksi kekuatan masa depan PGD dalam kemampuannya untuk menciptakan manusia yang ideal telah menimbulkan banyak masalah etika. Proyeksi dampak-dampak sosial misalnya pengubahan dunia atletik, penciptaan senjata manusia, dan pertukaran otonomi atas kehidupan seseorang karena praseleksi.[12] Selain itu, dengan pandangan yang sangat terbatas akan masa depan, sulit untuk mengubah suatu susunan genetik manusia tanpa mengetahui dampak sepenuhnya. Sebagai contoh, melalui terapi gen, suatu laboratorium mampu membuat tikus mengalami penurunan berat badan, tetapi efek jangka panjang manipulasi gen tersebut menyebabkan gangguan produksi toksin dan terlalu banyak penurunan berat badan.[13]

Otonomi dan kepemilikan jaringan

Bagi mereka yang meyakini bahwa kehidupan manusia dimulai sejak saat pembuahan, keyakinan ini juga mengungkapkan bahwa hak asasi manusia telah diberikan pada saat itu. Apabila hak asasi manusia telah ada dalam tahap embrionik ini, maka terdapat tambahan isu etika yang timbul dari proses manipulasi embrio di dalam ranah kepemilikan jaringan. Dalam jangka panjang, jika ditanamkan atau diimplantasikan ke dalam seorang wanita dan lahir, embrio tersebut menjadi seorang dewasa dan harus hidup dengan modifikasi genetik yang dipilih baginya melalui proses IVF. Dalam keadaan selulernya, tidak mungkin ia memberikan persetujuan kehendak untuk tindakan manipulasi gen. Hal ini menyebabkan pengambilan keputusan dilakukan oleh orang tuanya. Kepemilikan orang tua, yang dianggap sah, atas embrio hanya dalam jangka waktu singkat dan berarti bahwa mereka memegang kendali atas masa depan biologis sang embrio. Persetujuan kehendak atas kepemilikan jaringan telah menjadi isu selama puluhan tahun dan dapat berdampak hukum. Dalam kasus Henrietta Lacks, para peneliti tidak memiliki persetujuan pasien untuk menggunakan jaringannya dalam penelitian genetik, dan hal ini menyebabkan banyak masalah hukum seputar hak keluarganya untuk mendapatkan keuntungan dari penggunaan sel-selnya.[14]

Kaum pria dan IVF

Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan kaum pria memandang diri mereka sebagai kontributor 'pasif'[15] karena kurangnya 'keterlibatan fisik' mereka[16] dalam penggunaan IVF. Meskipun demikian, banyak laki-laki merasa tertekan setelah melihat dampak negatif injeksi hormonal dan intervensi fisik secara terus-menerus pada pasangan mereka.[17] Fertilitas (kesuburan) dipandang sebagai salah satu faktor signifikan dalam persepsi seorang laki-laki mengenai maskulinitasnya, menjadikan banyak laki-laki merahasiakan penggunaan IVF mereka.[17] Dalam kasus-kasus di mana kaum pria tidak menceritakan bahwa ia dan pasangannya sedang menjalani IVF, mereka dilaporkan mengalami olok-olok, terutama oleh laki-laki lain, kendati ada beberapa yang menganggap hal ini sebagai suatu penegasan dukungan dan persahabatan. Bagi yang lainnya, hal ini menyebabkan mereka merasa terisolasi secara sosial.[18] Dibandingkan dengan kaum wanita, kaum pria kurang mengalami penurunan kesehatan mental dalam masa setelah suatu kegagalan penanganan IVF.[19] Bagaimanapun, banyak laki-laki merasa bersalah, kecewa, dan tidak mampu, seraya menyatakan bahwa mereka sekadar mencoba untuk memberikan semacam peneguhan emosional bagi pasangan mereka. [18]

Ketersediaan dan pemanfaatan

Indonesia

Saat ini telah ada 26 klinik yang melayani pengobatan bayi tabung di Indonesia yang tersebar di kota-kota di Jawa, Bali, dan Sumatera. Klinik bayi tabung yang ada di Indonesia ini di bawah pengawasan perkumpulan dokter seminat (PERFITRI - Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia atau IA-IVF Indonesian Assoaciation In Vitro Fertilization) yang bekerja sama dengan Departemen Kesehatan.

Status hukum

Instansi-instansi pemerintah di Tiongkok meloloskan larangan penggunaan IVF pada tahun 2003 bagi wanita yang tidak menikah dan pasangan dengan penyakit-penyakit menular tertentu.[20]

Negara-negara Muslim Sunni umumnya memperbolehkan IVF di antara pasangan-pasangan yang telah menikah selama dilakukan dengan sel sperma dan sel-sel telur mereka masing-masing, tetapi tidak dengan sel-sel telur donor dari pasangan lain. Namun Iran, yang adalah negara Muslim Syi'ah, memiliki suatu skema yang lebih kompleks. Iran melarang donasi sel sperma tetapi mengizinkan donasi sel-sel telur yang telah dibuahi maupun belum dibuahi. Sel-sel telur yang telah dibuahi merupakan donasi dari suatu pasangan menikah kepada pasangan menikah lainnya, sedangkan sel-sel telur yang belum dibuahi merupakan sumbangan dalam konteks nikah mutah atau pernikahan sementara kepada sang ayah.[21]

Kosta Rika melarang sepenuhnya teknologi IVF, Mahkamah Agung negara ini menyatakannya tidak konstitusional karena IVF "melanggar kehidupan".[22] Kosta Rika dikatakan sebagai satu-satunya negara di belahan bumi barat yang sepenuhnya melarang IVF. Suatu proyek undang-undang yang dengan setengah hati dikirim oleh pemerintahan Presiden Laura Chinchilla telah ditolak oleh parlemen. Presiden Chinchilla belum pernah secara terbuka menyatakan posisinya mengenai isu IVF. Namun, mengingat pengaruh besar Gereja Katolik dalam pemerintahannya, setiap perubahan dalam status quo tampaknya sangat tidak mungkin terjadi.[23][24] Kendati kerasnya tentangan keagamaan dan peranan pemerintah Kosta Rika, larangan atas IVF dibatalkan oleh Mahkamah Hak Asasi Manusia Inter-Amerika dalam suatu keputusan pada tanggal 20 Desember 2012. Mahkamah tersebut mengatakan bahwa jaminan perlindungan Kosta Rika sejak dahulu bagi setiap embrio melanggar kebebasan reproduksi pasangan-pasangan infertil karena melarang mereka menggunakan IVF, yang seringkali melibatkan pembuangan embrio-embrio yang tidak ditanamkan dalam rahim pasien.[25] Pada tanggal 10 September 2015, Presiden Luis Guillermo Solís menandatangani sebuah dekret legalisasi fertilisasi in-vitro. Dekret tersebut dimasukkan dalam surat kabar resmi negara pada tanggal 11 September. Para penentang praktik ini sejak saat itu mengajukan gugatan hukum di hadapan Mahkamah Konstitusi Kosta Rika.[26]

Semua pembatasan utama di Australia pada wanita lajang namun infertil untuk menggunakan IVF dicabut pada tahun 2002 setelah pengajuan banding terakhir ke Pengadilan Tinggi Australia ditolak dengan alasan prosedural dalam kasus Leesa Meldrum. Suatu pengadilan federal Victoria telah memutuskan pada tahun 2000 bahwa larangan yang ada atas semua wanita lajang dan lesbian untuk menggunakan IVF merupakan diskriminasi gender.[27] Pemerintah Victoria mengumumkan perubahan dalam hukum IVF pada tahun 2007 dengan menghilangkan pembatasan pada lesbian dan wanita lajang, sehingga menjadikan Australia Selatan satu-satunya negara bagian yang masih mempertahankan batasan tersebut.[28]

Undang-undang federal di Amerika Serikat mencakup skrining kebutuhan dan pembatasan dalam hal donasi, tetapi umumnya tidak berpengaruh pada pasangan intim secara seksual.[29] Namun, dokter mungkin diperlukan untuk menyediakan perawatan karena undang-undang non-diskriminasi, seperti misalnya di California.[30] Negara bagian Tennessee mengusulkan suatu rancangan undang-undang pada tahun 2009 yang akan menetapkan donor IVF sebagai 'adopsi'.[31] Pada sesi yang sama diusulkan rancangan undang-undang lainnya yang membatasi adopsi dari pasangan yang belum menikah dan hidup bersama; kelompok-kelompok aktivis menyatakan bahwa meloloskan rancangan undang-undang yang pertama akan secara efektif menghentikan orang-orang yang belum menikah untuk menggunakan IVF.[32][33] Tak satu pun dari kedua rancangan undang-undang itu lolos.[34][35]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ (Inggris) Moreton, Cole (14 January 2007). "World's first test-tube baby Louise Brown has a child of her own". London: Independent. Diakses tanggal 21 May 2010. The 28-year-old, whose pioneering conception by in-vitro fertilisation made her famous around the world. The fertility specialists Patrick Steptoe and Bob Edwards became the first to successfully carry out IVF by extracting an egg, impregnating it with sperm and planting the resulting embryo back into the mother 
  2. ^ (Inggris) "After IVF, some couples get pregnant without help". Reuters. 2012-05-03. Diakses tanggal 2015-11-05. 
  3. ^ (Inggris) Adamson, G.D.; Tabangin, M.; Macaluso, M.; Mouzon, J. de. "The number of babies born globally after treatment with the assisted reproductive technologies (ART)". Fertility and Sterility. 100 (3). doi:10.1016/j.fertnstert.2013.07.1807. 
  4. ^ (Inggris) "1978: First 'test tube baby' born". BBC. 25 July 1978. Diakses tanggal 13 June 2009. The birth of the world's first "test tube baby" has been announced in Manchester (England). Louise Brown was born shortly before midnight in Oldham and District General Hospital 
  5. ^ (Inggris) Moreton, Cole (14 January 2007). "World's first test-tube baby Louise Brown has a child of her own". The Independent. London. Diakses tanggal 5 May 2010. The 28-year-old, whose pioneering conception by in-vitro fertilisation made her famous around the world.. The fertility specialists Patrick Steptoe and Bob Edwards became the first to successfully carry out IVF by extracting an egg, impregnating it with sperm and planting the resulting embryo back into the mother 
  6. ^ (Inggris) Schulman, Joseph D. (2010) Robert G. Edwards – A Personal Viewpoint, CreateSpace Independent Publishing Platform, ISBN 1456320750.
  7. ^ (Inggris) Is an "Indian Crab Syndrome" Impeding Indian Science? sciencemag.org. Retrieved 20 August 2013
  8. ^ (Inggris) Ayers C (2004). "Mother wins $1m for IVF mix-up but may lose son". Timesonline. 
  9. ^ (Inggris) Swedberg, Claire (15 October 2007). "Reproductive Clinic Uses RFID to Guarantee Parental Identity". RFID Journal. 
  10. ^ (Inggris) Lawson, Dominic (11 March 2008). "Of course a deaf couple want a deaf child". The Independent. London. Diakses tanggal Nov 12, 2009. 
  11. ^ (Inggris) Appel, Jacob (12 March 2009). More 'designer' options. The Winnipeg Sun
  12. ^ (Inggris) Sandel, Michael (2004) The Case Against Perfection, Atlantic Monthly, 293(3), 51-62.
  13. ^ (Inggris) Ahima, R.S. (2003) "Obesity gene therapy: slimming immature rats", Gene Therapy, 10:196–197.
  14. ^ (Inggris) Skloot, Rebecca. (2010). The Immortal Life of Henrietta Lacks. New York: Crown.
  15. ^ (Inggris) Throsby, K, Gill, R 2004, ‘"it’s different for men": masculinity and IVF’, LSE Research Online, Men and Masculinities, vol. 6, no. 4, pp. 340.
  16. ^ (Inggris) Whittaker A 2009, ‘Global technologies and transnational reproduction in Thailand’, Asian Studies Review, vol. 33, no. 3, pp. 324
  17. ^ a b (Inggris) Throsby, K, Gill, R 2004, ‘"it’s different for men": masculinity and IVF’, LSE Research Online, Men and Masculinities, vol. 6, no. 4, pp. 344
  18. ^ a b (Inggris) Throsby, K, Gill, R 2004, ‘"it’s different for men": masculinity and IVF’, LSE Research Online, Men and Masculinities, vol. 6, no. 4, pp. 336
  19. ^ (Inggris) Beutel M, Kupfer J, Kirchmeyer P, Kehde S, Köhn FM, Schroeder-Printzen I, Gips H, Herrero HJ, Weidner W (1999). "Treatment-related stresses and depression in couples undergoing assisted reproductive treatment by IVF or ICSI". Andrologia. 31 (1): 27–35. doi:10.1111/j.1439-0272.1999.tb02839.x. PMID 9949886. 
  20. ^ (Inggris) "China Bars In-Vitro Fertilization for Pregnancy". Redorbit.com. 12 November 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-15. Diakses tanggal 22 May 2012. 
  21. ^ (Inggris) Inhorn, Marcia C. "Islam, IVF and Everyday Life in the Middle East" (PDF). AIME: Anthropology of the Middle East. 1 (1): 37–45. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-07-07. 
  22. ^ (Inggris) "IVF Prohibition In Costa Rica". Ivfcostworldwide.com. Diakses tanggal 22 May 2012. 
  23. ^ (Spanyol) Murillo, Álvaro (12 July 2011) La Costa Rica católica se atasca con la fertilización in vitro. El Pais.
  24. ^ (Inggris) CIDH Extends Deadline For Approval Of Law For In-Vitro Fertilization In Costa Rica. insidecostarica.com. 24 February 2011.
  25. ^ (Inggris) Court strikes down Costa Rican ban on in-vitro fertilization. Associated Press via New York Times (22 December 2012)
  26. ^ (Inggris) Costa Rica Finally Allows In Vitro Fertilisation after 15-Year Ban
  27. ^ (Inggris) Australian court OKs fertility treatment for single women, lesbians by Peter O'Connor (AP, 18 April 2002)
  28. ^ (Inggris) Hoare, Daniel (15 December 2007) Lesbian community welcomes Vic IVF changes. abc.net.au
  29. ^ (Inggris) "21 CFR 1271.90(a)(2)". US Food and Drug Administration. 
  30. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Bob Egelko 2008
  31. ^ (Inggris) "Fiscal Note, HB 2159 – SB 2136, from Tennessee General Assembly Fiscal Review Committee" (PDF). Diakses tanggal 22 May 2012. 
  32. ^ (Inggris) "SB 0078 by Stanley, Bunch. (HB 0605 by DeBerry J, Hensley.)". Wapp.capitol.tn.gov. Diakses tanggal 22 May 2012. 
  33. ^ (Inggris) "Tennessee Seeking To Ban IVF For Unmarried Individuals". Eggdonor.com. 31 March 2009. Diakses tanggal 22 May 2012. 
  34. ^ (Inggris) Jones, Sam (1 November 2008). "Study shows barriers to same-sex adoption hurt children". Outandaboutnewspaper.com. 
  35. ^ (Inggris) "Legislative Update". Tnep.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-02-07. Diakses tanggal 22 May 2012. 

Bacaan lanjutan