Lompat ke isi

Perang Salib Pertama

Dengarkan artikel ini
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 27 September 2021 23.14 oleh 36.72.214.71 (bicara)

Perang Salib Pertama dimenangkan oleh togon di kampung halamanya togon krn togon jago bla bla bla bla dst.

Perang Salib I dimaklumkan pada tanggal 27 November 1095 oleh Paus Urbanus II dengan tujuan utama menanggapi suatu permohonan dari Kaisar Bizantium Alexios I Komnenos, yang mana mengajukan permintaan agar para relawan dari barat datang untuk membantunya menghalau kaum Turki Seljuk dari Anatolia. Suatu tujuan tambahan segera menjadi sasaran utama, yaitu penaklukan kembali oleh kaum Kristen atas kota suci Yerusalem dan Tanah Suci serta membebaskan kaum Kristen Timur dari kekuasaan kaum Muslim.

Selama perang salib, para ksatria, petani, dan hamba dari banyak negara Eropa Barat melakukan perjalanan darat dan laut, pertama ke Konstantinopel dan kemudian menuju Yerusalem. Setelah tiba di Yerusalem, para tentara salib melancarkan serangan atas kota tersebut dan merebutnya pada bulan Juli 1099. Mereka juga mendirikan negara-negara tentara salib yaitu: Kerajaan Yerusalem, County Tripoli, Kepangeranan Antiokhia, dan County Edessa.

Perang Salib Pertama kemudian dilanjutkan dengan Perang Salib Kedua sampai Kesembilan. Peristiwa ini juga merupakan langkah besar pertama menuju pembukaan kembali perdagangan internasional sejak jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat. Karena Perang Salib Pertama utamanya berkaitan dengan Yerusalem, suatu kota yang tidak berada di bawah kekuasaan kaum Kristen selama 461 tahun, dan bala tentara salib menolak untuk mengembalikan tanah tersebut ke dalam kendali Kekaisaran Bizantium, maka status Perang Salib Pertama sebagai sesuatu yang sifatnya defensif atau agresif masih menjadi kontroversi.

Asal mula

Pada umumnya asal mula Perang-perang Salib, dan khususnya Perang Salib Pertama, diperdebatkan secara luas di kalangan sejarawan. Perang-perang Salib paling sering dikaitkan dengan situasi sosial dan politik di Eropa pada abad ke-11, timbulnya suatu gerakan reformasi di dalam kepausan, juga konfrontasi keagamaan dan politik antara Kekristenan dan Islam di Eropa dan Timur Tengah. Kekristenan telah menyebar di seluruh Eropa, Afrika, dan Timur Tengah pada Abad Kuno Akhir, tetapi pada awal abad ke-8 kekuasaan kaum Kristen di Eropa dan Anatolia menjadi terbatas setelah berbagai penaklukan oleh kaum Muslim.

Kekhalifahan Umayyah telah menaklukkan Suriah, Mesir, dan Afrika Utara dari Kekaisaran Bizantium yang didominasi kaum Kristen, serta Hispania dari Kerajaan Visigoth.[2] Di Afrika Utara, Kekhalifahan Umayyah kemudian runtuh dan sejumlah kerajaan Muslim yang lebih kecil bermunculan, misalnya Aghlabiyyah yang menyerang Italia pada abad ke-9. Pisa, Genoa, dan Kepangeranan Catalunya mulai bertempur melawan berbagai kerajaan Muslim agar dapat menguasai Cekungan Mediterania, ditunjukkan dengan kampanye Mahdiya tahun 1087 serta pertempuran di Mallorca dan Sardinia.[3]

Pada dasarnya, antara tahun 1096 dan 1011, bangsa Yunani Bizantium mengalami perang salib ini setibanya di Konstantinopel dalam tiga gelombang terpisah.

Pada awal musim panas tahun 1096, kelompok besar pertama yang sulit dikendalikan tiba di pinggiran Konstantinopel. Gelombang ini dikabarkan tidak disiplin dan tidak memiliki perlengkapan layaknya suatu pasukan sebagaimana dicatat dalam Perang Salib Rakyat. Kelompok pertama ini sering disebut sebagai Perang Salib Rakyat atau Petani, dipimpin oleh Peter sang Pertapa dan Gautier Sans-Avoir serta tidak mengetahui ataupun menghormati keinginan-keinginan Kaisar Bizantium Alexios I Komnenos.

Gelombang kedua juga tidak berada di bawah komando sang Kaisar dan terdiri dari sejumlah pasukan dengan para komandan mereka masing-masing. Secara keseluruhan, kelompok ini dan gelombang pertama diperkirakan berjumlah 60.000.[4][5]

Gelombang kedua dipimpin oleh Hugues I, Comte Vermandois, saudara Raja Philippe I dari Prancis. Selain itu dalam gelombang kedua juga ada Raymond IV, Comte Toulouse, dan pasukan dari Provença. "Adalah gelombang kedua para tentara salib ini yang kemudian melintasi Asia Kecil, merebut Antiokhia pada tahun 1098 dan akhirnya merebut Yerusalem pada tanggal 15 Juli 1099."[6]

Gelombang ketiga, yang mana terdiri atas kontingen-kontingen dari Lombardia, Prancis, dan Bavaria, tiba di Yerusalem pada awal musim panas tahun 1101.[7]

Situasi di Eropa

Di pinggiran barat Eropa dan dalam menghadapi ekspansi kaum Islam, Reconquista di Semenanjung Iberia masih terus berlangsung pada abad ke-11; hal ini sesekali merupakan isu ideologis, sebagaimana dibuktikan oleh Kodeks Vigilanus yang disusun pada tahun 881.[8] Pada abad ke-11 semakin banyak ksatria dari luar, kebanyakan dari Prancis, yang datang ke Iberia untuk membantu kaum Kristen dalam upaya-upaya mereka.[9][note 1] Sesaat menjelang Perang Salib Pertama, Paus Urbanus II telah mendorong kaum Kristen Iberia agar merebut kembali Tarragona dengan menggunakan banyak retorika dan simbolisme yang sama seperti yang digunakan kemudian untuk berkhotbah mengenai perang salib kepada orang-orang Eropa.[10]

Jantung Eropa Barat dipandang telah dilakukan stabilisasi setelah Kristenisasi bangsa Hongaria, Viking, dan Saxon sampai akhir abad ke-10. Namun pemecahan Kekaisaran Karoling menimbulkan suatu kelas prajurit seluruhnya yang kini hanya sedikit melakukan sesuatu selain saling bertengkar sendiri.[11] Kekerasan acak yang dilakukan oleh kelas kesatria ini secara teratur dikutuk oleh gereja tersebut, dan untuk menanggapinya dibuat penetapan Perdamaian dan Gencatan Senjata demi Allah (Peace and Truce of God) untuk melarang pertempuran pada hari-hari tertentu sepanjang tahun. Pada saat yang sama, kepausan yang berorientasi pada pembaharuan itu terlibat konflik dengan para Kaisar Romawi Suci, sehingga mengakibatkan Kontroversi Penobatan. Para Paus seperti Paus Gregorius VII membenarkan peperangan berikutnya untuk melawan para pedukung kaisar dalam aspek teologis. Kemudian hal ini menjadi dapat diterima bagi sang Paus untuk memanfaatkan para kesatria atas nama dunia Kristen, bukan hanya terhadap musuh-musuh politik Kepausan tersebut, tetapi juga terhadap Al-Andalus, atau, secara teoretis, terhadap Dinasti Seljuk di timur.[12]

Di sebelah timur Eropa terdapat Kekaisaran Bizantium, terdiri dari kaum Kristen yang telah lama menggunakan suatu ritus Ortodoks tersendiri; Gereja Ortodoks Timur dan Katolik Roma telah mengalami perpecahan sejak tahun 1054. Para sejarawan berpendapat bahwa keinginan untuk memaksakan otoritas Gereja Roma di wilayah timur mungkin menjadi salah satu tujuan perang salib ini,[13] kendati Urbanus II—yang mana mengawali Perang Salib Pertama—tidak pernah menyebut tujuan demikian dalam surat-suratnya mengenai praktik perang salib. Bangsa Turki Seljuk saat itu telah mengambil alih hampir seluruh Anatolia setelah kekalahan Bizantium dalam Pertempuran Manzikert tahun 1071. Bagaimanapun penaklukan mereka dilakukan satu demi satu dan dipimpin oleh para panglima perang semi-independen, bukan oleh sang sultan. Suatu keruntuhan yang dramatis atas posisi kekaisaran pada malam menjelang Konsili Clermont membawa Bizantium menuju ambang kehancuran.[14] Pada pertengahan tahun 1090-an, wilayah Kekaisaran Bizantium utamanya hanya sebatas Eropa bagian Balkan dan pinggiran barat laut Anatolia; mereka menghadapi musuh-musuhnya dari bangsa Norman di barat serta bangsa Turki di timur.[15] Sebagai tanggapan atas kekalahan di Manzikert dan berbagai kehilangan selanjutnya yang dialami Bizantium di Anatolia pada tahun 1074, Paus Gregorius VII memanggil milites Christi ("para prajurit Kristus") agar pergi untuk membantu Bizantium. Panggilan ini kebanyakan diabaikan dan bahkan ditentang.[16] Alasannya adalah walaupun kekalahan di Manzikert mengejutkan, namun hanya memiliki arti penting yang terbatas dan tidak menyebabkan kesulitan-kesulitan besar bagi Kekaisaran Bizanium, setidaknya dalam jangka pendek.[17]

Situasi di Timur Tengah

Kekhalifahan Umayyah dengan wilayah terluasnya.

Sampai kedatangan para tentara salib, kaum Bizantium terus berjuang melawan orang Seljuk dan dinasti Turki lainnya demi penguasaan atas Anatolia dan Suriah. Orang Seljuk, yang mana merupakan kaum Muslim Sunni yang ortodoks, sebelumnya memerintah Kesultanan Seljuk Raya, namun saat berlangsungnya Perang Salib Pertama telah terbagi-bagi menjadi beberapa negara kecil setelah wafatnya Malik-Shah I pada tahun 1092.

Malik-Shah digantikan oleh Kılıç Arslan I di Kesultanan Rûm di Anatolia, dan di Suriah oleh Tutuş I—yang kemudian wafat pada tahun 1095—saudaranya. Para putra Tutuş, yaitu Fahrülmülk Rıdvan dan Dukak berturut-turut mewarisi Aleppo dan Damaskus; mereka selanjutnya membagi-bagi Suriah di antara para amir yang saling bermusuhan, serta Kürboğa, atabeg dari Mosul.[18]

Mesir dan banyak daerah Palestina berada dalam kendali Kekhalifahan Fatimiyah penganut Syi'ah Arab, yang mana wilayahnya lebih kecil secara signifikan sejak kedatangan orang Seljuk. Peperangan antara Fatimiyah dan Seljuk menyebabkan gangguan yang sangat besar bagi kaum Kristen setempat dan para peziarah dari Barat. Kekhalifahan Fatimiyah, yang mana secara nominal berada di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Musta'li namun sesungguhnya berada di bawah kendali Wazir Al-Afdhal Syahansyah, telah kehilangan Yerusalem karena direbut Kesultanan Seljuk pada tahun 1073 (kendati beberapa catatan yang lebih lama menyebutkan tahun 1076).[19] Mereka merebutnya kembali pada tahun 1098 dari Dinasti Artuqid, suatu suku bangsa Turki Seljuk yang lebih kecil, sesaat sebelum kedatangan para tentara salib.[20]

Catatan

  1. ^ Bangsa Norman yang dipimpin oleh Roger I dari Tosny tiba pada tahun 1018. Bantuan-bantuan lainnya dari luar untuk Aragon: Perang Barbastro pada tahun 1063; Moctadir dari Zaragoza mengkhawatirkan adanya suatu ekspedisi dengan bantuan asing pada tahun 1067; Ebles II dari Roucy merencanakan satu di antaranya pada tahun 1073; Guillaume VIII, Adipati Aquitaine, dikirim kembali dari Aragon pada tahun 1090; suatu pasukan Prancis datang membantu Sancho Ramírez pada tahun 1087 setelah Kastilia dikalahkan dalam Pertempuran Zallaqah; Centulle V dari Bigorre berada di Lembah Tena pada tahun 1088; dan terdapat suatu komponen Prancis yang utama dalam "perang salib" yang dilangsungkan terhadap Zaragoza oleh Pedro I dari Aragon dan Navarra pada tahun 1101.[9]

Referensi

  1. ^ Nicolle 2003, hlm. 21 and 32.
  2. ^ Tyerman 2006, hlm. 51–54.
  3. ^ H .E. J. Cowdrey (1977), "The Mahdia campaign of 1087" The English Historical Review 92, pp. 1–29.
  4. ^ Hindley, Geoffrey (2004). The Crusades: Islam and Christianity in the Struggle for World Supremacy. Carrol & Graf. ISBN 0-7867-1344-5.
  5. ^ Runciman, Steven (1952). A History of the Crusades, vol. II: The Kingdom of Jerusalem and the Frankish East, 1100–1187 (repr. Folio Society, 1994 ed.). Cambridge University Press.
  6. ^ Harris, Jonathan (2006), "Byzantium and the Crusades",, London: Hambledon Continuum, p. 54.
  7. ^ Harris, Jonathan (2006), "Byzantium and the Crusades", London: Hambledon Continuum, pp. 53–55. ISBN 1-85285-501-0
  8. ^ R. A. Fletcher (1987), "Reconquest and Crusade in Spain c. 1050–1150," Transactions of the Royal Historical Society, Fifth Series, 37, p. 34.
  9. ^ a b Lynn H. Nelson (1979), "The Foundation of Jaca (1077): Urban Growth in Early Aragon," Speculum, 53 p. 697 note 27.
  10. ^ Riley-Smith 2005, hlm. 7.
  11. ^ Asbridge 2004, hlm. 3–4.
  12. ^ Riley-Smith 1991, hlm. 5–8.
  13. ^ Asbridge 2004, hlm. 17.
  14. ^ Frankopan 2012, hlm. 57–71
  15. ^ Treadgold 1997, hlm. 8 Graph 1
  16. ^ Asbridge 2004, hlm. 15–20
  17. ^ Frankopan 2012, hlm. 97–99
  18. ^ Holt 1989, hlm. 11, 14–15.
  19. ^ Gil 1997, hlm. 410, 411 note 61.
  20. ^ Holt 1989, hlm. 11–14.

Sumber

Artikel ini tersedia dalam versi lisan
Dengarkan versi lisan dari artikel ini
(2 bagian, 33 menit)
Ikon Wikipedia Lisan
Berkas-berkas suara berikut dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal
Error: tidak ada parameter tanggal yang diberikan
, sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.

Sumber utama

Sumber utama daring

Sumber tambahan

Bibliografi