Lompat ke isi

Jalan Malioboro

Koordinat: 7°47′34″S 110°21′57″E / 7.7926455°S 110.365846°E / -7.7926455; 110.365846
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jalan Malioboro
Jalan Malioboro, dengan kompleks pertokoan batik dan kerajinan
Nama lokal ꦢꦭꦤ꧀​ꦩꦭꦶꦪꦧꦫ  (Jawa)
Bagian dari Sumbu Filosofis Yogyakarta
Tipe Jalan protokol
Panjang 2 km (1 mi)
Lebar 25 m (82 ft)
Lokasi Kota Yogyakarta, Indonesia
Koordinat 7°47′34″S 110°21′57″E / 7.7926455°S 110.365846°E / -7.7926455; 110.365846
Utara Jalan Margo Utomo
Selatan Jalan Margo Mulyo

Jalan Malioboro (bahasa Jawa: ꦢꦭꦤ꧀​ꦩꦭꦶꦪꦧꦫ, translit. Dalan Maliabara) adalah nama salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta.

Secara keseluruhan, kawasan Malioboro terdiri atas Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta.

Gambaran umum

Jalan ini menghubungkan Tugu Yogyakarta hingga menjelang kompleks Keraton Yogyakarta. Jalan ini berakhir di Pasar Beringharjo (di sisi timur). Dari titik ini nama jalan berubah menjadi Jalan Achmad Yani. Di sini terdapat bekas kediaman gubernur Hindia-Belanda di sisi barat dan Benteng Vredeburg di sisi timur. Jalan ini juga menjadi batas antara Kemantren Gedongtengen dan Kemantren Danurejan, di mana sisi barat Malioboro adalah wilayah dari kemantren Gedongtengen, dan sisi timur Malioboro adalah wilayah dari kemantren Danurejan.

Pada tanggal 20 Desember 2013 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X nama dua ruas jalan Malioboro dikembalikan ke nama aslinya, Jalan Pangeran Mangkubumi menjadi jalan Margo Utomo, dan Jalan Jenderal Achmad Yani menjadi jalan Margo Mulyo. Dua jalan ini seakan menyatu dengan Malioboro, oleh karena itu kawasan di sekitarnya dikenal dengan "Kawasan Malioboro"[1]. Terdapat beberapa objek bersejarah di kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg, dan Monumen Serangan Umum 1 Maret.

Jalan Malioboro terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual kuliner Jogja seperti gudeg. Jalan ini juga terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekspresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, happening art, pantomim, dan lain-lain.

Penamaan

Setidaknya ada tiga teori terkait asal usul nama Jalan Malioboro. Teori pertama berpendapat bahwa nama Malioboro diambil dari gelar John Churchill sebagai Adipati Marlborough Pertama (1650-1722), jenderal dari Inggris yang paling terkenal pada masanya. Nama ini digunakan untuk benteng pertahanan inggris di Bengkulu yang dinamakan Benteng Marlborough. Namun, teori ini dibantah oleh sejarawan Peter Carey yang mengemukakan bahwa tidak mungkin jalan yang digunakan sebagai jalan utama bagi Kesultanan Yogyakarta berasal dari nama Inggris.[2]

Teori kedua dikemukakan tokoh asal Jogja yang berpendapat nama Malioboro mungkin berasal dari nama penginapan (pesanggrahan) yang digunakan Jayengrana (Amir Hamzah) tokoh utama Cerita Menak yang mengadopsi Hikayat Amir Hamzah.[2]

Teori ketiga berasal dari Peter Carey yang berpendapat nama Malioboro berasal dari bahasa Jawa "maliabara" yang diadopsi dari bahasa Sanskerta "malyabhara" yang berarti "dihiasi karangan bunga".[2] Hal ini berdasarkan teori nama "Ngayogyakarta" berasal dari bahasa Sanskerta "Ayodhya" (bahasa Jawa: Ngayodya), ibu kota kerajaan Rama di epos Ramayana sehingga wajar bila kesultanan menggunakan atau mengadopsi bahasa Sanskerta untuk nama jalan atau nama tempat-tempat lainnya. Secara etimologi, hubungan antara nama jalan "Maliabara" dengan kata dalam bahasa Sanskerta "malyabhara" juga pernah disinggung oleh Profesor C.C. Berg pada kuliah di Universitas Leiden pada 1950–1960-an dan Dr. O.W. Tichelaar dalam sebuah karya ilmiah pada Kongres Orientalis Internasional ke-28 di Canberra, Australia. Maka dari itu, penggunaan nama "Maliabara" yang berasal dari bahasa Sanskerta untuk menamai jalan yang dibangun Hamengkubuwana I, sultan pertama Kesultananan Yogyakarta, setidaknya sejak tahun 1755 cukup masuk akal.[2]

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, jalan ini sempat berubah nama menjadi "Margaraja", yang berarti jalan bagi tamu-tamu kerajaan menuju kediaman raja (keraton).[3]

Pemanfaatan

Era sebelum kemerdekaan

Jalan Malioboro pada awal abad ke-20

Awalnya Jalan Malioboro ditata sebagai sumbu imaginer Utara-Selatan Pantai Parangkusumo - Kraton Yogya - Gunung Merapi. Jalan Malioboro dimulai di dekat area keraton menuju ke arah utara hingga Tugu Yogya. Jalan salah satu elemen terpenting sebagai garis imajiner yang menghubungkan keraton dengan Gunung Merapi yang dianggap sakral sesuai dengan sumbu filosofi kota Yogyakarta.

Jalan Malioboro berfungsi sebagai jalan utama kerajaan (rajamarga) untuk kegiatan seremonial kesultanan. Saat sultan keluar dari istana dalam dan duduk di Sitinggil pada upacara publik, ia dapat melihat langsung Jalan Malioboro hingga Tugu di kejauhan. Antara Jalan Malioboro dan keraton terdapat dua pohon beringin yang diberi pagar persegi (waringin kurung) di Alun-alun Utara. Beringin kembar ini menyimbolkan penyatuan dua hal yang bertolakbelakang (loroning atunggal).[2][4] Adanya tugu di sebelah utara dan beringin kembar di antara jalan utama ibu kota kesultanan memiliki arti simbolis dan filosofis yang kuat yang diciptakan oleh Hamengkubuwana I.[2]

Selain itu, jalan ini juga digunakan saat kunjungan resmi pejabat kolonial Belanda dan Inggris, seperti gubernur jenderal, untuk memasuki keraton Yogyakarta. Jalan ini punya dua fungsi penting: pertama, sebagai bentuk penghormatan kepada pejabat yang berkunjung. Kedua, sebagai cara untuk menetralisir kekuatan pejabat yang berkunjung dengan melewati tugu dan beringin kurung, mengingat pejabat akan lewat dari arah utara jalan ini. Arah utara dalam filosofi Jawa diasosiasikan dengan kegelapan, kematian, dan ilmu hitam.[2]

Pada abad ke-18 di jalan ini bermukim orang-orang dari berbagai etnis, seperti Jawa, Tionghoa, dan Belanda.[5] Menurut Sasmito, sejak 1765 orang-orang Belanda dan Tionghoa menghuni bagian utara kota Yogyakarta, sementara orang Jawa menghuni sisanya. Hal ini terlihat dari bentuk arsitektur pemukiman di dekat bagian selatan Malioboro yang mendapat pengaruh dari arsitektur Tiongkok. Sementara pemukiman di dekat bagian utara Malioboro mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa dan Belanda, sehingga di sekitar Jalan Malioboro dapat terlihat gabungan gaya arsitektur Jawa-Tionghoa-Belanda.[5]

Malioboro mulai ramai pada era kolonial 1790 saat pemerintah Belanda membangun Benteng Vredeburg pada tahun 1790 di ujung selatan jalan ini. Selain membangun benteng, Belanda juga membangun Dutch Club tahun 1822, Kediaman Gubernur Belanda tahun 1830, Bank Java dan Kantor Pos tak lama setelahnya. Setelah itu, Malioboro berkembang kian pesat karena perdagangan antara orang Belanda dengan pedagang Tionghoa. Pada 1887 Jalan Malioboro dibagi menjadi dua dengan didirikannya tempat pemberhentian kereta api yang kini bernama Stasiun Tugu.

Saat pandemi flu Spanyol pada Oktober-November 1918 dan wabah penyakit pada 1932, Jalan Malioboro digunakan untuk arak-arakan keliling kota membawa pusaka kerajaan, Kangjeng Kyai Tunggul Wulung dan Kangjeng Kyai Pare Anom.[2]

Pengaruh Belanda semakin kuat sejak dibangun Benteng Vredeburg hingga 1936 ketika orang Belanda mendominasi pemukiman di dekat benteng dan di sisi selatan stasiun.[5] Pengaruh Tionghoa juga meningkat ketika etnis Tionghoa mendominasi pemukiman di hampir sepanjang jalan ini sekitar tahun 1936.[5]

Era kemerdekaaan-2000

Jalan Malioboro pada malam hari

Jalan Malioboro juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di sisi selatan Jalan Malioboro pernah terjadi pertempuran sengit antara pejuang tanah air melawan pasukan kolonial Belanda yang ingin menduduki Yogya. Pertempuran itu kemudian dikenal dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, yakni keberhasilan pasukan merah putih menduduki Yogya selama enam jam dan membuktikan kepada dunia bahwa angkatan perang Indonesia tetap ada. Setelah kemerdekaan, jalan ini juga digunakan untuk pawai tahunan pasukan garnisun Yogya saat peringkatan Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.[2]

Jalan itu selama bertahun-tahun dua arah, namun pada tahun 1980-an menjadi satu arah saja, dari jalur kereta api (di mana ia memulai) ke selatan - ke pasar Beringharjo, di mana ia berakhir. Hotel terbesar dan tertua di Yogyakarta, Hotel Garuda, terletak di ujung utara jalan, di sisi timur yang berdekatan dengan jalur kereta api. Di sini terdapat bekas kompleks perdana menteri (kepatihan) di sisi timur.

Selama bertahun-tahun pada tahun 1980-an dan kemudian, sebuah iklan rokok ditempatkan di bangunan pertama di sebelah selatan jalur kereta api - atau secara efektif bangunan terakhir di Malioboro, yang mengiklankan rokok Marlboro, tidak diragukan lagi menarik bagi penduduk setempat dan orang asing yang akan melihat kata-kata dengan nama jalan dengan produk asing sedang diiklankan. Jalan ini menjadi pusat komersial yang dipenuhi toko-toko di sepanjang jalan.

2000-sekarang

Jalan Malioboro punya arti penting sebagai salah satu pusat perekonomian, hiburan, wisata, dan kuliner kota Yogyakarta. Penggunaan jalan ini pada umumnya dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima (PKL), pertokoan, penduduk lokal, dan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta.[5]

Pada 2019, pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta membuat grand design untuk melakukan penataan Jalan Malioboro sebagai kawasan semi pedestrian.[6] Pada 2021 pemerintah provinsi DIY telah membangun 37 sarana prasarana dengan total biaya Rp 78 miliar untuk penataan kawasan agar meningkatkan minat wisatawan. Selain itu, pemerintah juga merelokasi PKL di Jalan Malioboro ke Pusat UMKM di depan Pasar Beringhargo dan bekas gedung Dinas Pariwisata DIY yang ditargetkan dimulai Januari 2022.[7]

Budaya populer

Kereta api Malioboro sumber inspirasi dari nama Jalan Malioboro untuk mengangkut penumpang dari Yogyakarta tujuan Malang.

Sebagai jalan legendaris, malioboro juga menjadi daya tarik bagi seniman untuk mengekspresikan karya mereka. Beberapa karya seni terinspirasi dari jalan ini.

Musisi Surakarta, Didi Kempot, membuat lagu asmara yang judulnya diambil dari nama jalan ini, yakni Bangjo Malioboro dan Angin Malioboro. Ada pula Doel Sumbang yang menciptakan lagu Malioboro pada tahun 1988, lagu tersebut mengisahkan tentang perjalanan dua sejoli di jalan Malioboro pada malam hari. Lagu Yogyakarta yang diciptakan oleh Katon Bagaskara pada tahun 1990 dalam album Kedua juga mencitrakan Malioboro pada malam hari, meski tidak disebutkan secara langsung.

Marselli, sutradara film nasional juga mengangkat nama Malioboro dengan memproduksi film Malioboro pada tahun 1989.

Malioboro juga diangkat oleh PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasi VI Yogyakarta menjadi nama kereta, yakni Kereta api Malioboro Ekspres dengan relasi Yogyakarta-Malang pulang pergi.

Referensi

  1. ^ "Nama Jalan Diganti Nama Lama, Dan Akan Dipakai Untuk Nama Jalan Lain". Archived from the original on 2017-11-07. Diakses tanggal 2019-10-19. 
  2. ^ a b c d e f g h i Carey, P. (1984). "Jalan Maliabara ('Garland Bearing Street'): The Etymology and Historical Origins of a much Misunderstood Yogyakarta Street Name". Archipel. 27 (1): 51–62. doi:10.3406/arch.1984.1879. 
  3. ^ "Terdengar Kebarat-baratan, Benarkan Nama Malioboro berasal dari Kata 'Marlborough'?". Diakses tanggal 2022-11-27. 
  4. ^ "Pohon Beringin di Keraton Yogyakarta". www.kratonjogja.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-27. 
  5. ^ a b c d e Septirina, Safiera Nur; Takeo, Ozawa; Satoru, Kaku (2016-07-14). "Conservation of Historical Architecture in Malioboro Street, Yogyakarta City, Indonesia". Procedia - Social and Behavioral Sciences. Conservation of Architectural Heritage (CAH) (dalam bahasa Inggris). 225: 259–269. doi:10.1016/j.sbspro.2016.06.025. ISSN 1877-0428. 
  6. ^ Dishub, Contributor. "Menuju Penataan Kawasan Semi Pedestrian Malioboro". dishub.jogjaprov.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-27. 
  7. ^ (), Pribadi Wicaksono (04-01-2022). Chairunnisa, Ninis, ed. "Yogyakarta Rampungkan Penataan Kawasan Pedestrian Jadi Magnet Wisata Baru". Tempo.co. Diakses tanggal 27-02-2022. 

Daftar pustaka

  • Suyenga, Joan A stroll down Yogyakarta's 'Main Street', pp.165-167 of Oey, Eric (1994) Java 2nd edition Periplus Editions ISBN 962-593-004-3
  • Turner, Peter (1997). Java (1st edition). Melbourne: Lonely Planet. hlm. 215–216. ISBN 0-86442-314-4. 

Pranala luar

Media tentang Jalan Malioboro, Yogyakarta di Wikimedia Commons