Kesultanan Palembang
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Melayu Islam di Sumatra yang berpusat di Kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang. Kesultanan ini diproklamirkan oleh Sri Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam, seorang bangsawan Palembang pada tahun 1659,[1] dan dihapuskan keberadaannya oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.
Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Prancis mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen terdiri dari Tiongkok, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.
Kekuasaan
Kesultanan yang pernah berkuasa dari tahun 1659 - 7 Oktober 1823[2] ini merupakan Kesultanan terbesar di Sumatera Bahagian Selatan. Daerah Kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam ini sekarang mencakup Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu (dulu Bangka Hulu), Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Jambi dan Provinsi Lampung.[3] Diluar Sumatera, Kasultanan ini juga menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Banten,[4] Kesultanan Demak[5] dan Kerajaan Blambangan[6] di Banyuwangi. Sedangkan dalam Kesultanan Kubu, Kesultanan Palembang Darussalam menikah dengan Yang dipertuan Besar Kubu I, Sayyid Idrus melakukan pernikahan dengan putri Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikrama[7]. Dalam Tarsilah Kesultanan Brunei Darussalam, disebutkan bahwa Tumenggung Mancanegara (Pangeran Manchu Negoro) yang merupakan kakek dari Sultan Abdurrahman, pendiri kesultanan Palembang Darussalam adalah isteri dari Sultan Brunei, Sultan Abdul Jalilul Akbar, dengan masa periode pemerintahan 1598-1659.[8]
Pendirian
Berdasarkan kisah Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan[9] disebutkan seorang tokoh Anak brawijaya sebagai bupati Palembang turut serta menaklukan Bali bersama dengan Gajah Mada Mahapatih Majapahit pada tahun 1343. Sejarawan Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman.[10] Begitu juga dalam Nagarakretagama, nama Palembang telah disebutkan sebagai daerah jajahan Majapahit serta Gajah Mada dalam sumpahnya yang terdapat dalam Pararaton juga telah menyebutkan Palembang sebagai sebuah kawasan yang akan ditaklukannya.
Selanjutnya berdasarkan kronik Tiongkok nama Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Chou-Ju-Kua dirujuk kepada Palembang, dan kemudian sekitar tahun 1513, Tomé Pires seorang petualang dari Portugis menyebutkan Palembang, telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk kepada kesultanan Demak serta turut serta menyerang Malaka yang waktu itu telah dikuasai oleh Portugis. Kemudian pada tahun 1596, Palembang juga ditaklukan oleh VOC Seterusnya nama tokoh yang dirujuk memimpin kesultanan Palembang dari awal adalah Sri Susuhunan Abdurrahman tahun 1659. Walau sejak tahun 1601 telah memiliki hubungan dengan VOC dari yang mengaku Sultan Palembang.[11]
Ekonomi
Situasi di Palembang mengalami naik turun setelah kejatuhan Kerajaan Palembang Pada masa Pangeran Sedo Ing Rejek Jamaluddin Mangkurat VI (1652 - 1659). Palembang muncul kembali dalam wujud Kesultanan Palembang dan kondisi perkenomiannya yang kembali bangkit pada abad ke-16 berkat pengiriman hasil panen lada oleh petani lada dari Minang ke pasar Palembang melalui sungai Musi. Hal itu berhasil menarik perhatian pembeli lada dari Cina, Portugis, Belanda dan Inggris.[12]
Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan hubungan dagang terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga berkuasa atas wilayah kepulauan Bangka Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangankan sejak abad ke-18.[13]
Ulama di Masa Kesultanan Palembang
Syekh Abdus Somad Al-Falimbani[14]
Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani adalah seorang tokoh sufi penulis kitab-kitab sufi yang berasal dari Palembang.[15] Abdus Shamad lahir pada 1116 H (1704) M dan wafat pada 1203 H (1789 M) dalam usia 85 tahun,[15] di Palembang.[butuh rujukan] Tentang nama lengkap Syeikh Al-Falimbani, yang tercatat dalam sejarah, ada tiga versi nama. Yang pertama, seperti yang diungkapkan dalam Ensiklopedia Islam, dia bernama Abdus Samad Al-Jawi Al-Falembani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Falembani. Sementara versi terakhir, tulisan Rektor UIN Jakarta itu, bahawa apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap Syeikh Al-Falembani ialah Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi. Dari ketiga nama itu yang diyakini sebagai nama Abdul Samad, Azyumardi berpendapat bahawa nama terakhirlah yang disebut Syeikh Abdul Samad.
Perbedaan pendapat mengenai nama ulama ini dapat difahami mengingat sejarah panjangnya sebagai pengembara, baik di dalam negeri maupun luar negeri, dalam menuntut ilmu. Apabila dilihat latar belakangnya, ketokohan Al-Falembani sebenarnya tidak jauh berbeda dari ulama-ulama Nusantara lainnya, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Abdurrauf as-Singkili, Yusuf Al-Makasari.
Dari Persegi silsilah, nasab Syeikh Al-Falembani berketurunan Arab, dari sebelah ayah. Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad Al-Mahdani, ayah Al-Falembani, adalah ulama yang berasal dari Yaman yang dilantikmenjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang diperisterikan oleh Syeikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya menikahi Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di Kedah.
Masagus Abdul Hamid (Kyai Marogan)[16]
Kyai Marogan adalah seorang ulama yang berasal dari Palembang. Kyai Marogan lahir pada tahun 1082 M dan wafat pada tahun 1091 M dalam usia 89 tahun, di Palembang. Pada usia muda, Kiai Marogan dikenal giat berbisnis di bidang saw-mill atau perkayuan. Beliau memiliki dua buah pabrik penggergajian kayu. Bakat beliau ini diperoleh dari ibunya yang berdarah Tionghoa. Berkat suksesan dalam bisnis kayu ini membuat Kiai Marogan untuk berangkat ke tanah suci dan dan sepulangnya dari tanah suci beliau menjalankan kegiatan penyebaran dakwah di pedalaman Sumatra Selatan.
Dari hasil bisnis usaha kayunya Kiai Marogan mampu mendirikan sejumlah masjid yang dipergunakan sebagai pusat kajian dan dakwah. Banyak ajaran Kiai Marogan yang masih dilantunkan oleh sebagian penduduk Palembang, di antaranya adalah sebuah dzikir: “La ilaha Illallahul Malikul Haqqul Mubin Muhammadur Rasulullah Shadiqul Wa’dul Amin”, yang artinya “Tiada Tuhan Selain Allah, Raja Yang Benar dan Nyata, Muhammad adalah Rasulullah Yang Jujur dan Amanah.”
Dzikir yang diamalkan oleh Kiai Marogan di atas, ternyata berasal dari hadis yang berbunyi:
"Dari Sayyidina Ali Ra Karramallahu wajhahu berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa setiap hari membaca la laha illallahul malikul haqqul mubin maka bacaan itu akan menjadi keamanan dari kefakiran dan menjadi penenteram dari rasa takut dalam kubur." (HR. Abu Nu'aim dan Ad-Dailami).
Konon, amalan zikir ini selalu dibaca oleh Kiai Marogan beserta murid-murid beliau dalam perjalanan di atas perahu. Sambil mengayuh perahu, beliau menyuruh murid-murid beliau untuk mengucapkan zikir tersebut berulang-ulang sepanjang perjalanan dengan suara lantang.
Selain amalan dzikir ini, Kyai Marogan juga memiliki karomah, diantaranya:
- Ikan dalam Buah Kelapa,
- Dapat Menahan Perahu Agar Tak Karam,
- Ikan Mati Hidup Kembali, dll.
Dari Persegi silsilah, nasab Kyai Marogan berketurunan Arab, dari sebelah ayah. Masagus H. Mahmud Kanang bin Masagus Taruddin , ayah Kyai Marogan, adalah ulama yang merupakan keturunan Sultan Palembang Darussalam yang bernama Susuhanan Abdurrahman yang nasabnya sampai Rasululllah. Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Keturunan Tionghoa yang bernama Perawati.
Kiagus Muhammad Saleh (Kyai Saleh Lateng Banyuwangi)[17]
Kyai Saleh Lateng adalah seorang ulama yang datuknya (Kiagus Abdurrahman) berasal dari Kesultanan Palembang Darussalam. Kyai Saleh Lateng lahir pada tanggal 7 Maret 1862 M di Banyuwangi, Jawa Timur. Ketika kecil, Kyai Saleh belajar mengaji pada kedua orang tuanya hingga sampai usia 15 tahun. Kemudian, beliau pergi menimba ilmu di beberapa Pondok Pesantren di Kyai Mas Ahmad, Kebon Dalem, Surabaya. Tak Lama kemudian, beliau melanjutkan mondok ke Syaikhona Khalil Bangkalan, Madura.
Kyai Saleh memiliki banyak murid yang tidak hanya murid itu datang ke Kyai Saleh untuk menimba ilmu agama, bahkan banyak pemuda yang datang ke Kyai Saleh untuk Mempelajari ilmu kanuragan. Kyai Saleh juga pernah berguru ke Tuan Guru Muhammad Said, Jembrana, Bali untuk menimba Ilmu Agama, bahkan untuk mendalami Ilmu Agama, Kyai Saleh rela pergi ke Tanah Suci Mekkah untuk meneruskan pelajaran Ilmu Agamanya.
Setelah usia 38 Tahun, Kyai Saleh pulang ke kampung halamannya di Lateng untuk menyebarkan pemikiran agamanya hingga ke pelosok Banyuwangi. Dulunya Banyuwangi terkenal sebagai daerah yang penuh dengan pertikaian, namun dengan pencerahan terus menerus dari Kyai Saleh perkelahian itu dapat disingkirkan dan beliau juga telah membuat insaf bromocorah.
Kyai Saleh pernah mengikuti Jihad di Surabaya melawan Belanda bersama santrinya. Bahkan, beliau juga anti terhadap Belanda, Hal itu dapat dibuktikan dari sikap Kyai Saleh yang melarang keluarganya meniru kebiasaan Belanda, seperti memakai jas, celana, serta sekolah di sekolah Belanda.[18]
Van Der Plass yang notabenenya ialah Residen Belanda di Banyuwangi pernah mendatangi Kyai Saleh untuk memberikan bantuan terhadap pondoknya, Namun Kyai Saleh menolaknya dengan mentah-mentah. Beliau juga merupakan pencetus berdirinya Departemen Agama, karena Kyai Saleh saat itu men yumbang buku buatannya, yaitu Kitab Mu’jamul Buldan kepada Departemen Agama dan hingga saat ini masih menjadi rujukan.
Kyai Saleh Lateng merupaasabkan tipikal kyai penggerak. Beliau memegang peranan startegis dalam mengkonsolidasi jaringan ulama-santri untuk berdakwah dan mengawal kemerdekaan Indonesia. Kyai Saleh Lateng juga menjadi kyai penting pada masa awal pendirian Nahdlatul Ulama, bersama Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Kyai Wahab Chasbullah, Kyai Bisri Syansuri dan beberapa kyai lainnya di penjuru Nusantara.
Pada awalnya, Kyai Saleh Lateng menggerakkan Sarekat Islam. Hal ini merupakan hal yang lumrah, karena pada awal abad 20, pergerakan Sarekat Islam menjadi gerbong bagi para kyai-santri untuk menyuarakan kemerdekaan dan mengorganisasi diri. Meski pada akhirnya para kyai memisahkan diri dari pergerakan Sarekat Islam. Hal ini juga terjadi pada Kyai Wahab Chasbullah, yang pernah menjadi penggerak Sarekat Islam sewaktu mengaji di Hijaz. Ketika kembali ke tanah air, Kyai Wahab Chasbullah membentuk organisasi sendiri dengan merangkul kyai santri, dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathan, hingga kemudian terbentuklah Nahdlatul Ulama.
Kyai Saleh Lateng, yang pada awalnya menggerakkan Sarekat Islam di Banyuwangi, kemudian menjadi tokoh penting dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bahkan, pada 1913, Kyai Saleh Lateng memimpin Rapat Umum Sarekat Islam di Kawedanan Glenmore Banyuwangi. Dengan demikian, peranan Kyai Saleh dalam menggerakkan jaringan Islam di awal abad 20, diakui memiliki kontribusi penting. Ketika Komite Hijaz dibentuk, Kyai Saleh Lateng bergabung bersama barisan kyai. Ikatan emosional ketika mengaji di beberapa pesantren, terutama pesantren Bangkalan dan Makkah, menambah kekuatan komunikasi antara Kyai Saleh dengan beberapa kyai lainnya.
Ketika masa awal pendirian Nahdlatul Ulama, yakni pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926, Kyai Saleh Lateng ditunjuk oleh Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy'ari dan Kyai Wahab Chasbullah menjadi anggota muassis-mukhtasar (formatur) pendirian Nahdlatul Ulama.
Pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi yang dipimpin oleh Kyai Saleh Lateng, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU dengan pengurus antara lain: Ketua H.M. Thohir Bakri; Wakil Ketua Abdullah Oebayd; Sekretaris H. Achmad Barawi dan Abdus Salam (tanggal 24 April itulah yang kemudian dikenal sebagai tanggal kelahiran Gerakan Pemuda Ansor).
Kyai Saleh Lateng menghembuskan napas terakhir pada malam Rabu, 29 Dzulqo'dah 1371 H/ 20 Agustus 1952 pada usia 93 tahun. Jenazahnya dikebumikan di sebelah musholla (Langgar), tempat Kyai Saleh Lateng biasa memberikan pengajian kepada santri-santrinya. Pada tahun 1956, DPRD Kabupaten Banyuwangi memberikan keputusan penggunaan nama Kyai Saleh Lateng untuk sebuah ruas jalan. Keputusan DPRD Banyuwangi ini untuk menghormati perjuangan dan pengabdian Kyai Saleh Lateng dalam mendidik warga sekaligus berjuang untuk negeri.
Peperangan
Para Penguasa Palembang (1455-1823)[19]
No | Periode | Nama Penguasa | Foto | Keterangan |
---|---|---|---|---|
- | 1455-1659 | |||
1 | 1659-1704 | (Pendiri Kesultanan Palembang Darussalam)
Kyai Mas Endi, Pangeran Arya Kesuma Abdurrohim Sultan Palembang Darussalam I (Pertama) Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam Bin Pangeran Sedo Ing Pesarean |
||
2 | 1704-1709 | Sultan Palembang Darussalam Ke-II
Sultan Muhammad Mansyur Jayo ing Lago Bin Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam |
||
3 | 1714-1724 | Sultan Palembang Darussalam Ke-III
Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno Bin Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam |
||
4 | 1724-1758 | Sultan Palembang Darussalam Ke-IV
Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo Bin Sultan Muhammad Mansyur Jayo ing Lago |
||
5 | 1758-1776 | Sultan Palembang Darussalam Ke-V
Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo Bin Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo |
||
6 | 1776-1803 | Sultan Palembang Darussalam Ke-VI
Sultan Muhammad Bahauddin bin Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo |
Angka Romawi dalam buatan Versi Belanda tapi yang ada dalam Sejarah dan Stambom Kesultanan Palembang Darussalam adalah Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin Bin Sultan Muhammad Baha'udhin(Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin dalam Versi Belanda disebut : SMB II ) | |
7 | 1803-1821 | Sultan Palembang Darussalam Ke-VII
Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin Bin Sultan Muhammad Bahauddin (Versi manuskrib Belanda menyebut Sultan Mahmud Badaruddin II ,SMB II) |
Angka Romawi sebagai penanda saja karena ada nama yang sama, tidak mengubah nama, misal Sultan Mahmud Baaruddin I. Dalam kaidah Bahasa Indonesia angka romawi (I) tersebut dibaca ke dua atau ke -1. | |
8 | 1813-1817 | Sultan Palembang Darussalam Ke-VIII
Sultan Susuhunan Husin Dhiauddin Bin Sultan Muhammad Bahauddin (Versi Inggris/Belanda Menyebut : Sultan Ahmad Najamuddin II) |
||
9 | 1819-1821 | Sultan Palembang Darussalam Ke-IX
(Versi Inggris/Belanda menyebut Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu Bin Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin |
||
10 | 1821-1823 | Sultan Palembang Darussalam Ke-X
Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom Bin Sultan Susuhunan Husin Dhiauddin |
||
7 Oktober 1823 | Menurut Catatan dari trah zuriat Pangeran Ratu:Kesultanan Palembang Darussalam (Vakum) 7 Oktober 1823 karena tidak mau takluk pada kolonial Belanda dan juga menolak untuk diangkat menjadi Sultan boneka oleh penjajah, dan 4 Sultan Palembang Darussalam dibuang yaitu Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin Bin Sultan Muhammad Bahauddin dan Putra Mahkota Sultan Muhamad Tjing Djamaludin wangsa martaradja wijaya negara yg sebelumnya bergelar Pangeran Achmad Bolonson wangsa Martaradja Wijaya Negara Pangeran Ratu Ibn Susuhunan Mahmud Badaroeddin pada tanggal 4 Syawal 1236 H dibuang ke Manado, Kemudian Bulan Jumaidil akhir 1240 Sultan Suhunan Husin Dhiauddin Bin Sultan Muhammad Bahauddin dibuang Kolonial Belanda Ke Batavia yg sekarang kota jakarta, Serta Tahun 1241 H, Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom Bin Sultan Susuhunan Husin Dhiauddin ditangkap dan di Buang oleh Kolonial Belanda ke Banda, Kemudian dibuang lagi ke Manado, sampai sekarang Makam Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom belum ditemukan | |||
11 | 2006 - sekarang | Sultan Palembang Darussalam Ke-XI
Sri Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin Bin Raden Haji Muhammad Harun |
Peninggalan
-
Benteng Kuto Besak
-
Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo
-
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
-
Tampak depan masjid KH. Kiagus Muhammad Saleh (Kyai Saleh Lateng Banyuwangi)
-
Gapura menuju pesantren dan masjid bersejarah KH. Kiagus Muhammad Saleh (Kyai Saleh Lateng Banyuwangi)
-
Koin Pitis peninggalan Kesultanan Palembang
Rujukan
- ^ Bruun, M.C. (1822). Universal geography, or A description of all the parts of the world. hlm. 441.
- ^ Kisah Berdiri dan Hancurnya Kesultanan Palembang Darussalam di Indephedia
- ^ Bincang-Bincang bersama SMB IV di RRI Net Palembang
- ^ Hubungan Kesultanan Banten dengan Kesultanan Palembang Darussalam
- ^ Hubungan Kesultanan Demak dengan Kesultanan Palembang Darussalam
- ^ Kyai Saleh Lateng Islamkan Kerajaan Blambangan
- ^ Hubungan Kesultanan Kubu dengan Kesultanan Palembang Darussalam
- ^ Hubungan Brunei Darussalam dengan Kesultanan Palembang Darussalam
- ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, (1996), Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
- ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
- ^ Poesponegoro, M.D. Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. hlm. 46.
- ^ Reid, Anthony (2014). Sumatera Tempo Doeloe. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 146. ISBN 979-3731-94-X.
- ^ Ricklefs, M.C. A history of modern Indonesia since c. 1300. hlm. 139.
- ^ Abdus Samad Al-Palimbani di Wikipedia Bahasa Indonesia
- ^ a b Samsul Munir Amin (2008). Karomah para kiai. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 311–. ISBN 978-979-8452-49-9.
- ^ Kyai Marogan di Laduni.id
- ^ Kyai Saleh Lateng di Wikipedia Bahasa Indonesia
- ^ (Latief, 1995)
- ^ Soetadji, Nanang S. (1996). “Kesultanan Palembang” Perang Palembang Melawan VOC. Palembang: Pemerintah Kotamadya Palembang. hlm. 27–30.
Bacaan Lanjut
- Bruun, M.C. (1822). Universal geography, or A description of all the parts of the world. Edinburgh: Balfour & Clarke.
- Andaya, B.W. (1993). To live as brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1489-4.
- Ricklefs, M.C. (1993). A history of modern Indonesia since c. 1300. California: Stanford University Press. ISBN 0-8047-2194-7.
- Poesponegoro, M.D. (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-409-8.
Pranala luar
- (Indonesia) Bahasa Jawa, Arab, dan Melayu di Palembang
- (Indonesia) Palembang Sebuah Negeri yang Hilang (Refleksi Hari Jadi Palembang ke-1319) Diarsipkan 2007-03-10 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Benteng Kuta Besak Diarsipkan 2007-03-12 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja Al-Hajj (Sultan Palembang 2003-Kini) Diarsipkan 2021-04-16 di Wayback Machine.