Geger Sepehi
Geger Sepehi | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Pojok Beteng Lor Wetan yang menjadi saksi Geger Sepehi, telah dibangun kembali pada 2020. | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Kesultanan Yogyakarta |
Dibantu oleh: Kadipaten Mangkunagaran | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Kekuatan | |||||||
~7.000 | <1.000 | ||||||
Korban | |||||||
Tentara Keraton: Tidak diketahui |
|
Geger Sepehi atau Geger Sepoy adalah peristiwa penyerbuan Keraton Yogyakarta yang dilakukan oleh Inggris pada tanggal 19-20 Juni 1812 untuk menggulingkan Sultan Hamengkubuwana II yang menolak bekerjasama dengan pemerintahan kolonial yang baru. Nama sepehi berasal dari pasukan Sepoy yang dipekerjakan oleh Inggris untuk menyerang keraton. Penyerbuan ini melibatkan 1.200 prajurit Inggris dan Sepoy serta dibantu oleh 800 prajurit Legiun Mangkunegaran.[2]
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Setelah Belanda takluk dan meninggalkan wilayah Hindia Belanda di bawah kekuasaan Inggris dalam Penyerbuan Jawa 1811, Hamengkubuwana II kembali menduduki takhta Kesultanan Yogyakarta. Sementara itu, Hamengkubuwana III kembali menjadi putra mahkota serta membuat perdamaian dengan ayahnya pada tanggal 5 November 1811. Namun, kedatangan Inggris ditentang oleh Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta, yang mengadakan perjanjian rahasia untuk melawan Inggris. Ketegangan yang memuncak membuat John Crawfurd (residen Inggris di Yogyakarta) menghubungi puttra mahkota melalui perantaraan Pangeran Diponegoro.
Pihak Inggris bermaksud untuk mengangkat putra mahkota kembali menjadi sultan karena memiliki sikap lebih ramah dan penurut dibandingkan ayahnya yang kaku. Di lain pihak, Hamengkubuwana II bermaksud membujuk Inggris untuk mengganti kedudukan putra mahkota kepada Mangkudinigrat. Putra mahkota sendiri dikisahkan dalam Babad Bedhahing Ngayogyakarta atau Babad Ngengreng karya Bendara Pangeran Harya Panular dan tinjauan Residen Valck tidak berniat merebut kekuasaan meskipun keselamatan dirinya terancam oleh ayahnya. Oleh karena itu, dirinya masih berada di lingkungan keraton pada saat Inggris menyerbu.[3][4]
Sementara itu, di pihak pasukan sepehi muncul rasa curiga bahwa Inggris bersiap meninggalkan Jawa tanpa membawa mereka pulang dan akan menjual pasukan sepehi ke pemerintah Belanda yang akan kembali berkuasa untuk menjamin keselamatan mereka ketika kembali menguasai Jawa.
Menurut bukti yang diberikan kepada Inggris oleh patih Surakarta, Sosroadiningrat II, mulai saat itulah tumbuh sebuah hubungan yang erat antara garnisun sepehi di Surakarta dan Pakubuwana IV. Pakubuwana IV berhasil dibujuk untuk menggunakan pasukan sepehi yang tidak puas untuk memenuhi ambisi politiknya sendiri, yaitu menghancurkan Yogyakarta dan mengembalikan supremasi politik Surakarta di Jawa Tengah bagian selatan.[5] Legiun Mangkunegaran dari Kadipaten Mangkunegaran turut terlibat dalam konflik di pihak Inggris.[4]
Jalan peperangan
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 13 Juni 1812, 1.000 orang pasukan Inggris (setengahnya Sepoy) memasuki Benteng Vrederburg secara diam-diam di malam hari. Raffles tiba di Yogyakarta pada tanggal 17 Juni 1812. Keesokan harinya pada pukul lima pagi, keluarga Pangeran Natakusuma mengungsi ke benteng, sementara pengikutnya memakai kain putih di lengan kiri sebagai tanda pengenal bagi Inggris. Pada hari itu, pasukan penyergap yang dipimpin Raden Harya Sindureja berhasil menyergap pasukan kavaleri Inggris dan menjadi satu-satunya kesuksesan pasukan keraton dalam menghadapi Inggris.[6]
Pada hari yang sama, Raffles mengultimatum Sultan untuk menyerahkan kedudukan kepada putra mahkota yang selanjutnya ditolak oleh sultan. Pada tanggal 19 Juni 1812, pasukan Inggris mulai membombardir keraton sebagai peringatan, tetapi sultan mengabaikannya. Terjadi insiden pada bastion timur laut, saat meriam Kyai Nagarunting meledak ketika ditembakkan, mengakibatkan beberapa pengawaknya (anggota brigade (bregada) Setabel, pasukan artileri keraton) mengalami luka bakar. Sebuah gudang amunisi yang dijaga anggota brigade Bugis juga dilaporkan meledak terkena peluru meriam Inggris. Pertempuran utama terjadi pada tanggal 20 Juni 1812 yang dimenangkan oleh Inggris. Pada saat fajar keesokan harinya, pasukan Inggris menggunakan tangga-tangga bambu yang disiapkan Kapitan Tionghoa Tan Jin Sing untuk masuk ke dalam keraton. Selain itu, terjadi pula penembakan terhadap plengkung Tarunasura dan pintu Pancasura yang memperparah penyerbuan. Penyerangan tersebut mengakibatkan banyak keluarga Keraton Yogyakarta yang tewas, antara lain salah satu dari ketiga menantu sultan (KRT Sumadiningrat, panglima pasukan keraton) dan Ratu Kedaton. Saat pasukan Inggris berhasil mengepung kedhaton (pusat keraton), Sultan Hamengkubuwana II menyerah dengan berpakaian serba putih. Seluruh perhiasan di tubuh sultan dan rombongannya dilucuti oleh pasukan Inggris.[7]
Berdasarkan Babad Bedhah ing Yogyakarta, sebuah babad yang ditulis pada pertengahan Juni 1812 hingga pertengahan Mei 1816, penjarahan keraton berlangsung selama lebih dari empat hari. Babad ini menceritakan bagaimana arus barang jarahan terus mengalir tanpa henti menuju ke kediaman residen yang diangkut menggunakan gerobak-gerobak yang ditarik sapi dan digotong portir. Pasukan Inggris menjarah keraton dan mengambil naskah-naskah yang tersimpan untuk dibawa ke Inggris. Jumlah naskah-naskah yang dibawa diperkirakan lebih dari 7000 buah. Naskah-naskah tersebut bervariasi, mula dari daftar kepemilikan tanah hingga manuskrip istana.[8][5] Selain itu, perhiasan, keris, perangkat alat musik di dalam keraton diangkut ke kediaman residen menggunakan pedati dan kuli-kuli panggul. Namun, saat pengangkatan Hamengkubuwana III, pusaka keris dikembalikan lagi kepada keraton.
Dampak
[sunting | sunting sumber]Kerugian material dan immaterial
[sunting | sunting sumber]Dampak dari peristiwa Geger Sepehi ini sangat merugikan Kesultanan Yogyakarta. Keraton dirampok dan dijarah oleh orang-orang Inggris. Selain kehilangan harta, keraton juga kehilangan naskah berharga. Tidak hanya itu, uang perbendaharaan milik keraton juga dikuasai dan diambil oleh Raffles. Beberapa literatur menuliskan bahwa uang yang diambil adalah sebesar 500.000 Gulden.[2]
Hingga saat ini sebagian besar naskah, pusaka, dan barang-barang Keraton Yogyakarta yang dijarah Inggris belum dikembalikan ke Indonesia. Inggris disebut enggan mengembalikan karena menganggap Indonesia belum mampu merawatnya. Di sisi lain, pihak Keraton Yogyakarta terus berupaya untuk melobi pemerintah Britania Raya guna mengembalikan aset-aset berharga tersebut.[8]
Perpecahan internal di Keraton Yogya
[sunting | sunting sumber]Meski sebelumnya telah ada bibit-bibit perpecahan di antara kalangan internal keraton, tetapi penyerbuan Inggris membuat peta persaingan semakin jelas. Terdapat dua kubu yang saling bersaing, yakni kubu pendukung HB II atau Sultan Sepuh (kasepuhan) dan kubu pendukung HB III (karajan). Setelah kejatuhan keraton, Mangkudiningrat dari kubu kasepuhan memerintahkan serangan mematikan ke kediaman Tan Jin Sing di mana pejabat-pejabat karajan berlindung. Serangan itu menewaskan Patih Kadipaten, Raden Ngabehi Joyosentiko yang digadang-gadang akan menjadi perdana menteri (patih dalem), dan melukai Tan Jin Sing.[9]
Setelah perang berakhir, putra mahkota kembali diangkat sebagai Hamengkubuwana III dalam upacara penobatan pada 21 Juni 1812. Dalam upacara penobatan itu juga dibacakan pengumuman resmi Raffles yang disertai peringatan dan ancaman bagi kubu kasepuhan yang dianggap sebagai pengkhianat negara. Raffles juga secara resmi mengundangnya untuk "kembali mendiami keraton". Padahal, pada saat itu penjarahan masih berlangsung dan hanya Kadipaten yang bisa ditempati oleh HB III sementara menunggu bagian keraton lain bisa ditempati lagi.[10]
Pada tanggal 22 Juni 1812, Raffles mengumumkan pengambilalihan wilayah Kedu dan sepertiga wilayah mancanagara timur Keraton Yogya sebagai upah untuk membiayai operasi militer Inggris. Ia juga menunjuk Pangeran Natakusuma sebagai pemangku kepangeranan otonom dengan gelar Paku Alam I yang menguasai wilayah Pakualaman. Pembentukan Pakualaman menunjukkan pembelahan politis Yogyakarta sekaligus balas jasa Inggris atas bantuan Natakusuma terhadap penguasa kolonial di Jawa.[11]
Pengasingan HB II
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 3 Juli 1812, Sultan HB II dan kedua putranya, yaitu Pangeran Mangkudiningrat dan Pangeran Mertasana, dipindahkan ke Semarang dan selanjutnya diasingkan ke Pulau Pinang di Malaysia.[4]
Era baru hubungan dengan pemerintah kolonial
[sunting | sunting sumber]Serangan ini juga menjadi titik balik yang menandai era baru dalam hubungan politik antara pemerintah penjajah di Batavia dengan keraton di Jawa Tengah bagian selatan. Keseimbangan kekuatan menjadi bergeser dan jatuh ke tangan pemerintah Hindia Belanda. Sejak saat itu seorang gubernur-jenderal tidak perlu takut terhadap penguasa setempat. Perjanjian yang diberlakukan oleh Raffles pada 1 Agustus 1812 melucuti kekuasan militer Keraton selamanya. Delapan belas bulan kemudian, tepatnya pada 6 Desember 1813, terjadi pengangkatan jabatan penting yaitu diangkatnya seorang Kapitan Cina Yogyakarta bernama Tan Jin Sing sebagai bupati di Keraton Yogyakarta dengan gelar Raden Tumenggung Secodiningrat.[5] Ia mendapat tanah jabatan 800 cacah yang sebagian besar di Lowanu, sebelah timur Bagelen. Salah satu alasan pengangkatannya adalah jasa-jasanya kepada Inggris. Ini merupakan kali pertama seorang keturunan Tionghoa, dapat menduduki jabatan tinggi, yakni bupati di Yogyakarta.[12]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Carey 2014, hlm. 164.
- ^ a b Safitri 2019, hlm. 48.
- ^ Carey 2014, hlm. 149-163.
- ^ a b c Carey 2014.
- ^ a b c Carey 2022.
- ^ Carey 2014, hlm. 163-164.
- ^ Carey 2014, hlm. 164-167.
- ^ a b "Sultan Minta Belanda-Inggris Serahkan Salinan Ulang Naskah Kuno DIY". National Geographic Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-29. Diakses tanggal 2022-04-01.
- ^ Carey 2017, hlm. 180-181.
- ^ Carey 2017, hlm. 181-183.
- ^ Carey 2017, hlm. 183.
- ^ Carey 2017, hlm. 197.
Daftar Pustaka
[sunting | sunting sumber]- Carey, Peter (2014). Karim, Mulyawan, ed. Takdir: Riwayat Pangeran Diponogoro, 1785-1855. Diterjemahkan oleh Bambang Murtianto, Th. (edisi ke-5). Jakarta: Kompas Media Nusantara. ISBN 978-602-412215-7.
- Carey, Peter (2017). Mulyawan, Karim, ed. Takdir: riwayat Pangeran Diponogoro, 1785-1855. Diterjemahkan oleh Murdianto, Th. Bambang; Laksono, P.M. Jakarta: Kompas Media Nusantara. ISBN 9786232411821.
- Safitri, Ilmiawati (2019). "Keraton Yogyakarta Masa Lampau dan Masa Kini: Dinamika Suksesi Raja-Raja Jawa dan Politik Wacana "Raja Perempuan"". Indonesian Historical Studies. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. 3 (1). ISSN 2579-4213. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2021-01-28.
- Carey, P. B. R.; A. Noor, Farish (2022). Ras, kuasa, dan kekerasan kolonial di Hindia Belanda, 1808-1830. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-481-656-8. OCLC 1348391104. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-03. Diakses tanggal 2022-11-14.