Lompat ke isi

Astadasaparwa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 3 Februari 2011 09.49 oleh Alagos (bicara | kontrib)

Astadasaparwa (Sansekerta अष्टदशपर्व) adalah nama bagi 18 kitab Mahabharata, yang terdiri dari:

Bagian-bagian Astadasaparwa

Adiparwa versi Jawa Kuna yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Daerah Tingkat I provinsi Bali

Kitab Adiparwa merupakan kitab pertama dari seri Astadasaparwa yang menceritakan berbagai kisah yang bernafaskan ajaran Hindu. Kisah kepahlawanannya dibumbui oleh ilmu sakti dan mitologi. Pada bagian awal yang diceritakan adalah kisah Maharaja Janamejaya yang menyelenggarakan upacara pengorbanan ular. Upacara yang diselenggarakannya kemudian gagal. Untuk menghibur Sang Raja, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah tentang para leluhur Sang Raja, kemudian beralih kepada cerita pemutaran Mandaragiri, kisah Sang Garuda dan para Naga, kisah Bagawan Dhomya, kisah para Raja besar: Yayati, Bharata, Santanu. Selain itu kitab Adiparwa juga menceritakan kisah kelahiran Rsi Byasa (penyusun kitab Mahabharata), kisah masa kecil Pandawa dan Korawa, kisah para Pandawa mendapatkan Dropadi sebagai istri mereka atas kemenangan Sang Arjuna, kisah Arjuna yang mengasingkan diri ke hutan kemudian menikah dengan Chitrāngadā, Ulupi, dan Subadra, serta kisah lahirnya Abimanyu, putera Arjuna dengan Subadra.

Kitab Sabhaparwa merupakan kitab kedua dari seri Astadasaparwa. Kitab Sabhaparwa menceritakan kisah para Korawa yang mencari akal untuk melenyapkan para Pandawa. Atas siasat licik Sangkuni, Duryodana mengajak para Pandawa main dadu. Taruhannya adalah harta, istana, kerajaan, prajurit, sampai diri mereka sendiri. Dalam permainan yang telah disetel dengan sedemikian rupa tersebut, para Pandawa kalah. Dalam kisah tersebut juga diceritakan bahwa Dropadi ingin ditelanjangi oleh Dursasana karena menolak untuk menyerahkan pakaiannya. Atas bantuan Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan. Pandawa yang sudah kalah wajib untuk menyerahkan segala hartanya, namun berkat pengampunan dari Dretarastra, para Pandawa mendapatkan kebebasannya kembali. Tetapi karena siasat Duryodana yang licik, perjudian dilakukan sekali lagi. Kali ini taruhannya adalah siapa yang kalah harus keluar dari kerajaannya dan mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun. Pada tahun yang ke-13, yang kalah harus hidup dalam penyamaran selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, yang kalah berhak kembali ke kerajaannya. Dalam pertandingan tersebut, para Pandawa kalah sehingga terpaksa mereka harus meinggalkan kerajaannya.

Kitab Wanaparwa merupakan kitab ketiga dari seri Astadasaparwa. Kitab Wanaparwa menceritakan kisah pengalaman para Pandawa bersama Dropadi di tengah hutan. Mereka bertemu dengan Rsi Byasa, seorang guru rohani yang mengajarkan ajaran-ajaran Hindu kepada Pandawa dan Dropadi, istri mereka. Atas saran Rsi Byasa, Arjuna bertapa di gunung Himalaya agar memperoleh senjata sakti yang kelak digunakan dalam Bharatayuddha. Kisah Sang Arjuna yang sedang menjalani masa bertapa di gunung Himalaya menjadi inspirasi untuk menulis Kakawin Arjuna Wiwaha.

Kitab Wirataparwa merupakan kitab keempat dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah penyamaran para Pandawa beserta Dropadi di Kerajaan Wirata. Yudistira menyamar sebagai seorang ahli agama, Bima menyamar sebagai juru masak, Arjuna menyamar sebagai guru tari, Nakula menyamar sebagai penjaga kuda, Sahadewa menyamar sebagai pengembala, dan Dropadi menyamar sebagai penata rias.

Kitab Udyogaparwa merupakan kitab kelima dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan sikap Duryodana yang tidak mau mengembalikan kerajaan para Pandawa yang telah selesai menjalani masa pengasingan, namun sebaliknya ia menantang mereka untuk berperang. Pandawa yang selalu bersabar mengirimkan duta perdamaian ke pihak Korawa, namun usaha mereka tidak membuahkan perdamaian. Sikap para Korawa membuat perang tidak dapat dielakkan. Pandawa dan Korawa mempersiapkan kekuatannya dengan mencari bala bantuan dan sekutu ke seluruh pelosok Bharatawarsha (India Kuno). Sri Kresna mengajukan tawaran kepada Pandawa dan Korawa, bahwa di antara mereka boleh meminta satu pilihan: pasukannya atau tenaganya. Melihat tawaran tersebut, Pandawa yang diwakili Arjuna menginginkan tenaga Sri Kresna sebagai kusir dan penasihat sedangkan Korawa yang diwakili Duryodana memilih pasukan Sri Kresna. Dalam kitab ini juga diceritakan kisah perjalanan Salya – “Sang Raja Madra” – menuju markas Pandawa karena memihak mereka, namun di tengah jalan ia disambut dengan baik oleh Duryodana sehingga Salya mengubah pikirannya dan memihak Korawa karena merasa berhutang kepada Duryodana. Duryodana juga berniat jahat terhadap Sri Kresna namun karena Sri Kresna bukan manusia biasa, maka usahanya tidak berhasil.

Bhagawad Gita, sebuah bab dari kitab Bhismaparwa yang kemudian menjadi kitab tersendiri. Isinya mengenai ajaran-ajaran Agama Hindu yang disampaikan oleh perantara Kresna kepada Arjuna

Kitab Bhismaparwa merupakan kitab keenam dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah dimulainya pertempuran akbar antara pihak Pandawa dan Korawa di sebuah daratan luas yang sangat suci dan keramat bernama Kurukshetra, letaknya di sebelah utara negeri India. Setelah kedua belah pihak sepakat dengan aturan perang, maka kedua belah pihak berkumpul dan memenuhi daratan Kurukshetra, siap untuk berperang. Pihak Korawa dipimpin oleh Bhisma sedangkan pihak Pandawa dipimpin oleh Drestadyumna. Sebelum pertempuran berlangsung, Arjuna dilanda keraguan dan kebimbangan setelah ia melihat para saudara dan kerabatnya berkumpul untuk saling membantai. Arjuna tidak tega untuk membunuh para Korawa, yang masih merupakan saudara. Karena Arjuna dilanda oleh berbagai keraguan, Kresna yang berperan sebagai kusir kereta Arjuna mencoba menyadarkannya dengan memberikan wejangan-wejangan suci yang kemudian dikenal sebagai “Bhagawad Gita”, atau “Nyanyian seorang rohaniwan”. Bhagawad Gita ini menjadi kitab tersendiri yang merupakan intisari dari ajaran-ajaran Veda. Wejangan suci dari Kresna membuat Arjuna bangkit, dan melangsungkan pertempuran. Akhirnya Bhisma yang menjadi panglima perang Korawa, gugur pada hari kesepuluh dengan siasat Arjuna yang menggandeng Srikandi.

Kitab Dronaparwa merupakan kitab ketujuh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Bagawan Drona sebagai panglima perang pasukan Korawa setelah Rsi Bhisma gugur di tangan Arjuna. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Drona ingin menangkap Yudistira hidup-hidup untuk membuat Duryodana senang. Usaha tersebut tidak berhasil karena Arjuna selalu melindungi Yudistira. Pasukan yang dikirim oleh Duryodana untuk membinasakan Arjuna selalu berhasil ditumpas oleh para ksatria Pandawa seperti Bima dan Satyaki. Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan tentang siasat Sri Kresna yang menyuruh agar Bima membunuh gajah bernama Aswatama. Setelah gajah tersebut dibunuh, Bima berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona menanyakan kebenaran ucapan tersebut kepada Yudistira, dan Yudistira berkata bahwa Aswatama mati. Mendengar hal tersebut, Drona kehilangan semangat berperang sehingga meletakkan senjatanya. Melihat hal itu, ia dipenggal oleh Drestadyumna. Setelah kematian Drona, Aswatama, putera Bagawan Drona, hendak membalas dendam. Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu yang terperangkap dalam formasi Cakrawyuha serta gugurnya Gatotkaca dengan senjata sakti panah Konta.

Kitab Karnaparwa merupakan kitab kedelapan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Karna sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur. Setelah Abimanyu dan Gatotkaca gugur, Arjuna dan Bima mengamuk. Mereka banyak membantai pasukan Korawa. dalam kitab ini diceritakan bahwa Bima berhasil membunuh Dursasana dan merobek dadanya untuk meminum darahnya. Salya, Raja Madra, menjadi kusir kereta Karna. Kemudian terjadi pertengkaran antara Salya dengan Karna. Dalam kitab ini diceritakan bahwa roda kereta perang Karna terperosok ke dalam lubang. Karna turun dari kereta dan mencoba untuk mengangkat roda keretanya. Dengan senjata panah pasupati, Arjuna berhasil membunuh Karna yang sedang lengah.

Kitab Salyaparwa merupakan kitab kesembilan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Salya sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Karna yang telah gugur. Salya hanya memimpin selama setengah hari, karena pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Dalam kitab ini diceritakan kisah Duryodana yang ditinggal mati saudara dan sekutunya dan kini hanya ia sendirian sebagai Korawa yang menyerang Pandawa. Semenjak seluruh saudaranya gugur demi memihak dirinya, Duryodana menyesali segala perbuatannya dan berencana untuk menhentikan peperangan. Ia pun bersedia untuk menyerahkan kerajaannya kepada para Pandawa agar mampu meninggalkan dunia fana dengan tenang. Sikap Duryodana tersebut menjadi ejekan bagi para Pandawa. Karena tidak tahan, Duryodana tampil ke medan laga dan melakukan perang tanding menggunakan gada melawan Bima. Dalam pertempuran tersebut, Kresna yang mengetahui kelemahan Duryodana menyuruh Bima agar memukul paha Duryodana. Setelah pahanya terpukul, Duryodana kalah. Namun sebelum ia meninggal, Aswatama yang masih hidup diangkat menjadi panglima perang.

Kitab Sauptikaparwa merupakan kitab kesepuluh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah tiga ksatria dari pihak Korawa yang melakukan serangan membabi buta pada di malam hari, saat tentara Pandawa sedang tertidur pulas. Ketiga ksatria tersebut adalah Aswatama, Krepa, dan Kritawarma. Aswatama yang didasari motif balas dendam membunuh seluruh pasukan Panchala termasuk Drestadyumna, yang membunuh Drona, ayah Aswatama. Selain itu Aswatama juga membunuh Srikandi serta kelima putera Pandawa atau Pancawala. Aswatama kemudian menyesali perbuatannya lalu pergi ke tengah hutan, berlindung di pertapaan Rsi Byasa. Para Pandawa dan Kresna menyusulnya. Kemudian di sana terjadi pertarungan sengit antara Aswatama dengan Arjuna. Rsi Byasa dan Kresna berhasil menyelesaikan pertengkaran tersebut. Kemudian Aswatama menyerahkan seluruh senjata dan kesaktiannya. Ia sendiri mengundurkan diri demi menjadi pertapa.

Kitab Striparwa merupakan kitab kesebelas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah ratap tangis para janda yang ditinggal suaminya di medan perang. Dikisahkan pula Dretarastra yang sedih karena kehilangan putera-puteranya di medan perang, semuanya telah dibunuh oleh Pandawa. Yudistira kemudian mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada arwah leluhur. Dalam kitab ini, Kunti menceritakan asal-usul Karna yang selama ini menjadi rahasia pribadinya.

Kitab Santiparwa merupakan kitab kedua belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah berkumpulnya Dretarastra, Gandari, Pandawa, dan Kresna di Kurukshetra. Mereka sangat menyesali segala perbuatan yang telah terjadi dan hari itu adalah hari tangisan. Yudistira menghadapi masalah batin karena ia merasa berdosa telah membunuh guru dan saudara sendiri. Kemudian Bhisma yang masih terbujur di atas panah memberikan wejangan kepada Yudistira. Ia membeberkan ajaran-ajaran Agama Hindu secara panjang lebar kepadanya. Rsi Byasa dan Kresna turut membujuknya. Mereka semua memberikan nasihat tentang ajaran kepemimpinan dan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh Yudistira.

Kitab Anusasanaparwa merupakan kitab ketiga belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Yudistira yang menyerahkan diri bulat-bulat kepada Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma menjelaskan ajaran Agama Hindu dengan panjang lebar kepadanya, termasuk ajaran kepemimpinan, pemeintahan yang luhur, pelajaran tentang menunaikan kewajiban, tentang mencari kebahagiaan, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma yang sakti mangkat ke surga dengan tenang.

Kitab Aswamedhikaparwa merupakan kitab keempat belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah kelahiran Parikesit yang sebelumnya tewas dalam kandungan karena senjata sakti milik Aswatama. Dengan pertolongan dari Kresna, Parikesit dapat dihidupkan kembali. Kemudian Yudistira melakukan upacara Aswamedha. Untuk menyelenggarakan upacara tersebut, ia melepas seekor kuda. Kuda tersebut mengembara selama setahun dan di belakangnya terdapat pasukan Pandawa yang dipimpin oleh Arjuna. Mereka mengikuti kuda tersebut kemanapun pergi. Kerajaan-kerajaan yang dilalui oleh kuda tersebut harus mau tunduk di bawah kuasa Yudistira jika tidak mau berperang. Sebagian mau tunduk sedangkan yang membangkang harus maju bertarung dengan Arjuna karena menentang Yudistira. Pada akhirnya, para Raja di daratan India mau mengakui Yudistira sebagai Maharaja Dunia.

Kitab Asramawasikaparwa merupakan kitab kelima belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Dretarasta, Gandari, Kunti, Widura dan Sanjaya yang menyerahkan kerajaan sepenuhnya kepada Raja Yudistira sedangkan mereka pergi bertapa ke tengah hutan. Pandawa sempat mengunjungi pertapaan merekja di tengah hutan. Akhirnya, Batara Narada datang ke hadapan para Pandawa, dan mengatakan bahwa hutan tempat Dretarastra, Gandari, Kunti bertapa terbakar oleh api suci mereka sendiri, sehingga mereka wafat dan langsung menuju surga.

Kitab Mosalaparwa merupakan kitab keenam belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah binasanya bangsa Wresni karena kutukan seorang Brahmana. Bangsa Wresni menghancurkan sesamanya dengan menggunakan senjata gada (mosala) setelah lupa diri karena meminum arak yang menyebabkan mereka mabuk. Sehabis pertempuran bangsa Wresni, Baladewa bermeditasi di tengah hutan kemudian mengeluarkan ular suci dari mulutnya, setelah itu ia menghilang mencapai keabadian. Setelah Kresna ditinggal Baladewa dan bangsa Wresni musnah semua, ia pergi ke tengah hutan untuk bertapa. Di dalam hutan, seorang pemburu melihat kaki Kresna bagaikan seekor rusa kemudian menembakkan anak panah. Hal tersebut membuat Kresna mencapai keabadian dan meninggalkan dunia fana. Arjuna sempat mengunjungi Dwarawati, dan ia mendapati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia mengadukan hal tersebut kepada Rsi Byasa, dan Rsi Byasa menasihati para Pandawa agar meninggalkan hal-hal duniawi untuk menempuh hidup sebagai “Sanyasin” (pertapa).

Kitab Prasthanikaparwa merupakan kitab ketujuh belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Pandawa dan Dropadi yang mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi untuk menjadi seorang pertapa. Mereka menyerahkan tahta kepada Parikesit, satu-satunya keturunan mereka yang selamat dari perang Bharatayuddha. Para Pandawa beserta Dropadi berencana untuk berziarah ke gunung Himalaya sebagai akhir hidup mereka. Dalam perjalanan, Dropadi dan satu persatu dari Pandawa bersaudara (Sahadewa, Nakula, Arjuna, Bima) meninggal dalam perjalanan. Hanya Yudistira yang masih hidup dan melanjutkan perjalanannya. Yudistira membiarkan jenazah saudara-saudaranya terkubur di tengah perjalanan tanpa memberikan upacara pembakaran yang layak. Di tengah jalan, Yudistira bertemu dengan seekor anjing, dan anjing tersebut kemudian menjadi teman perjalanannya. Bersama-sama, mereka berdua berhasil mencapai puncak. Sesampainya di puncak, kereta kencana Dewa Indra pun turun ke bumi untuk menjemput Yudistira ke surga.

Kitab Swargarohanaparwa merupakan kitab kedelapan belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan akhir kisah perjalanan suci yang dilakukan oleh Pandawa. Kisahnya diawali dengan penolakan Yudistira yang tidak mau berangkat ke surga jika harus meninggalkan anjing yang setia menemani dalam perjalanannya. Atas ketulusan hati Yudistira, si anjing pun menampakkan wujud aslinya sebagai Dewa Dharma, ayah Yudistira. Dewa Dharma mengatakan bahwa Yudistira telah berhasil melewati ujian yang diberikan kepadanya dengan tenang. Setelah mengetahui yang sebenarnya, Yudistira bersedia berangkat ke surga. Sesampainya di surga, Yudistira terkejut karena tidak menemukan saudara-saudaranya yang saleh, melainkan mendapati bahwa Duryodana beserta sekutunya yang jahat ada di sana. Sang Dewa mengatakan bahwa mereka bisa berada di surga karena gugur di tanah suci Kurukshetra. Yudistira kemudian berangkat ke neraka. Di sana ia mendengar suara saudara-saudaranya yang menyayat agar mau menemani penderitaan mereka. Yudistira yang memilih untuk tinggal di neraka bersama saudara yang saleh daripada tinggal di surga bersama saudara yang jahat membuat para Dewa tersentuh. Tabir ilusi pun dibuka. Dewa Indra menjelaskan bahwa sebenarnya saudara-saudara Yudistira telah berada di surga bersama dengan saudaranya yang jahat. Yudistira pun menyadarinya kemudian hidup berbahagia di surga setelah membuang jasadnya.

Lihat pula