Aswatama
अश्वत्थामा | |
---|---|
Tokoh Mahabharata | |
Nama | Aswatama |
Ejaan Dewanagari | अश्वत्थामा |
Ejaan IAST | Aśvatthāmā |
Nama lain | Droni, Droniyana, Acaryanandana, Acaryaputra |
Gelar | maharathi |
Kitab referensi | Mahabharata, Purana |
Kediaman | Hastinapura; Panchala |
Golongan | ciranjiwi |
Kasta | brahmana |
Senjata | panah, Narayanastra, Brahmastra |
Ayah | Drona |
Ibu | Krepi |
Dalam wiracarita Mahabharata, Aswatama (Dewanagari: अश्वत्थामा; IAST: Aśvatthāmā ) alias Droni (Dewanagari: द्रौनि; IAST: Drauni ) adalah seorang brahmana-kesatria, putra Drona dengan Krepi. Mahabharata menceritakannya sebagai putra kesayangan Drona. Dalam mitologi Hindu, ia dikenal sebagai salah satu dari tujuh ciranjiwi (makhluk abadi), yang dikutuk untuk hidup selamanya tanpa memiliki rasa cinta, setelah melakukan pembunuhan terhadap lima putra Pandawa dan mencoba menggugurkan janin yang dikandung oleh Utari, istri Abimanyu.
Mahabharata mendeskripsikan Aswatama sebagai lelaki bertubuh tinggi, dengan kulit gelap, bermata hitam, dan dilekati oleh sebuah permata di dahinya. Sebagaimana Bisma, Drona, Krepa, Karna, dan Arjuna, ia merupakan seorang ahli ilmu perang dan dipandang sebagai salah satu kesatria ulung pada masanya.[1] Aswatama juga menyandang gelar maharathi, dan merupakan salah satu jenderal andalan Korawa dalam perang Kurukshetra.[2] Setelah perang di Kurukshetra berakhir, hanya ia bersama Kertawarma dan Krepa yang menjadi penyintas dari pihak Korawa. Oleh karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu kemah Pandawa saat tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta.
Seperti halnya Resi Parasurama dan Resi Byasa, Aswatama juga dikenal sebagai resi terkemuka. Menurut mitologi Hindu, Aswatama akan menjabat sebagai penyandang gelar wyasa pada mahayuga ke-29, di manwantara ke-7. Aswatama juga akan menjabat sebagai salah satu resi di antara tujuh resi agung (Saptaresi) pada manwantara ke-8.[3]
Arti nama
Menurut Mahabharata, Aswatama berarti "bersuara [seperti] kuda".[4][5][6] Ia diberi nama demikian karena tangisannya saat lahir seperti suara ringkikan kuda.[7] Ia juga dikenal sebagai Acaryanandana (आचार्यनन्दन; Ācāryanandana), yang artinya "[anak] kesayangan guru", dan Acaryaputra (आचार्यपुत्र; Ācāryaputra), arti harfiahnya "putra guru".
Masa muda dan pendidikan
Aswatama merupakan putra dari pasangan Bagawan Drona dengan Krepi, adik Krepa (pendeta agung Hastinapura pada masa pemerintahan para raja Dinasti Kuru). Ia terlahir dengan sebuah batu permata (mani) yang melekat di dahinya. Saat kecil ia hidup dalam kemiskinan; Mahabharata mendeskripsikan bahwa keluarga Aswatama bahkan tidak mampu menyediakan susu, minuman yang lazim pada masyarakat saat itu. Demi memberikan kehidupan yang lebih layak kepada Aswatama, Drona mencoba mencari bantuan kepada teman lamanya yang bernama Drupada, tetapi berujung pada permusuhan karena Drupada menghina status sosial Drona.
Status sosial keluarganya mengalami perubahan setelah Drona diangkat sebagai guru kerajaan oleh keluarga Dinasti Kuru di Hastinapura. Ia mengenyam ilmu militer bersama dengan para pangeran Dinasti Kuru, yaitu seratus Korawa (putra Dretarastra, Raja Hastinapura) dan lima Pandawa (putra Pandu, adik Dretarastra: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa). Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Di antara para pangeran Kuru, ia berteman baik dengan Duryodana, putra sulung Dretarastra. Mereka berdua memiliki kecemburuan kepada Pandawa. Duryodana merasa bahwa Yudistira adalah penghalangnya dalam mewarisi takhta Hastinapura, sementara bakat Arjuna membuat Aswatama iri karena merasa bahwa kasih sayang ayahnya telah terbagi, sebab Arjuna adalah murid kesayangan Drona.[8]
Dalam rangka menyelesaikan pendidikan para pangeran Kuru, Drona memerintahkan para Korawa untuk melakukan tugas akhir, yaitu mengalahkan Drupada, Raja Panchala, dan membawanya hidup-hidup ke hadapan Drona. Setelah para Korawa gagal melaksanakan tugasnya, Drona mengutus Arjuna dan saudara-saudaranya untuk menunaikan tugas tersebut. Arjuna berhasil membawa Drupada ke hadapan Drona. Drona menjelaskan bahwa dendamnya kepada Drupada telah berakhir pada saat itu juga. Ia juga membagi kerajaan Panchala menjadi dua wilayah, dan mengangkat Aswatama sebagai raja di sebagian wilayah Panchala tersebut.
Perang Kurukshetra
Saat perang di antara Pandawa dan Korawa meletus, Aswatama memihak kepada Korawa. Keputusannya memaksa Drona untuk bergabung dengan Korawa. Untuk membangkitkan semangat pasukan Korawa setelah dipukul mundur, ia memanggil senjata Narayanastra yang dahsyat. Mengetahui hal tersebut, Kresna membuat sebuah taktik dan karenanya senjata itu berhasil diatasi. Ia juga memanggil senjata Agneyastra untuk menyerang Arjuna, tetapi berhasil ditumpas dengan senjata Brahmastra. Pertarungannya dengan Bima dalam Bharatayuddha berakhir secara "skakmat".
Kematian Drona
Pada pertempuran di hari ke-10, Drona diangkat sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa, menggantikan Bisma yang telah kalah. Drona berjanji bahwa ia akan menangkap Yudistira dan membawanya ke hadapan Duryodana, tetapi janji itu senantiasa gagal ditunaikan. Duryodana pun mulai mencela Drona, yang menyebabkan Aswatama marah. Akhirnya timbul perselisihan antara Duryodana dengan Aswatama.
Kresna menyadari bahwa mustahil bagi para Pandawa untuk mengalahkan Drona yang bersenjata lengkap. Sebagai penasihat, ia menyarankan agar Yudistira dan para Pandawa membuat kesan seolah-olah Aswatama gugur dalam pertempuran. Menurut Kresna, hal itu akan menjatuhkan semangat tempur Drona, sehingga ia akan lebih mudah untuk dikalahkan. Kresna pun menyuruh Bima untuk membunuh seekor gajah perang yang bernama Aswatama, lalu berseru setelah berhasil membunuhnya. Hal itu dilakukan dengan baik oleh Bima.
Saat mendengar bahwa "Aswatama mati", Drona segera bertanya kepada Yudistira, orang yang ia ketahui tidak pernah berbohong. Yudistira pun menyatakan bahwa Aswatama telah mati, tetapi bukan Aswatama putra Drona. Menurut salah satu versi Mahabharata, Yudistira mengucapkan kalimat seutuhnya dan sejelas mungkin, tetapi klausa terakhir tersamarkan oleh suara genderang dan terompet yang bertalu-talu, sehingga klausa yang didengar oleh Drona hanya "Aswatama mati" saja. Menurut versi lain, Yudistira mengucapkan bahwa Aswatama mati, tetapi diikuti dengan bisikan bahwa bukan Aswatama putra Drona. Setelah mendengar bahwa "Aswatama mati", Drona langsung merasa lemas dan tidak melanjutkan pertempuran. Ia segera duduk dalam posisi asanas. Melihat Drona sudah tak bersemangat lagi, Drestadyumna, panglima tertinggi pihak Pandawa bergegas mengambil pedangnya, kemudian memenggal leher Drona.
Senjata Narayanastra
Setelah mengetahui bahwa ayahnya terbunuh karena suatu tipuan, Aswatama pun murka. Ia mengeluarkan senjata Narayanastra untuk memusnahkan Pandawa. Pengeluaran senjata tersebut diiringi dengan tiupan angin kencang, sambaran petir, dan kemunculan jutaan anak panah yang siap menyasar setiap orang bersenjata di kubu Pandawa. Hal tersebut menggentarkan pihak Pandawa, sampai akhirnya Kresna menyuruh semua orang di kubu Pandawa untuk menjatuhkan senjata dan bersikap menyerah kepada Narayanastra. Sebagai awatara Wisnu (Narayana), Kresna tahu bahwa Narayanastra hanya menyerang orang-orang yang bersenjata saja. Setelah semua orang di kubu Pandawa menjatuhkan senjata, Narayanastra pun kehilangan target serangannya, lalu kembali kepada Aswatama. Saat pertempuran berlanjut kembali, Duryodana menyuruh Aswatama agar mengeluarkan Narayanastra sekali lagi, tetapi Aswatama menerangkan bahwa apabila senjata tersebut dipakai lagi, maka pemakainyalah yang akan menjadi sasaran.
Menurut versi Mahabharata terjemahan Kisari Mohan Ganguli, senjata Narayanastra berhasil memusnahkan satu aksohini laskar Pandawa. Setelah menggunakan Narayanastra, pertempuran sengit antara kedua belah pihak berlanjut kembali. Aswatama mengalahkan Drestadyumna dalam pertarungan langsung, tetapi gagal untuk membunuhnya karena Satyaki dan Bima segera menolongnya.[9] Setelah pertempuran berlanjut, Aswatama berhasil membunuh Raja Nila dari Mahismati.
Serangan malam
Dalam kitab Sauptikaparwa dikisahkan bahwa pada hari ke-18 (hari berakhirnya berperang), penyintas perang dari pihak Korawa ada tiga orang: Aswatama, Krepa, dan Kertawarma. Setelah perang di hari terakhir usai, mereka mendapati bahwa Duryodana terluka parah setelah berduel dengan Bima. Dalam keadaan sekarat, Duryodana mengangkat Aswatama sebagai panglima tertinggi Korawa, dan memohon agar ia membalaskan dendam Duryodana. Aswatama—yang juga memiliki dendam—berjanji untuk membunuh para perwira pihak Pandawa demi Duryodana setelah perang berakhir secara resmi.
Terinsiprasi dari burung hantu yang menyambar gagak di tengah malam, Aswatama menggagas untuk melakukan serangan pada malam hari. Namun niatnya ditentang oleh Krepa karena itu merupakan perbuatan yang tidak adil. Aswatama pun mengutarakan bahwa peperangan memang tidak adil, dan semua pihak memang tidak adil. Pada akhirnya Krepa dan Kertawarma tetap mengikuti instruksi Aswatama untuk melakukan serangan malam di perkemahan para Pandawa. Di pintu gerbang perkemahan, mereka bertiga dihadang raksasa penjaga. Segala senjata yang diluncurkan Aswatama tidak mampu mengalahkan makhluk itu. Kemudian Aswatama memohon bantuan Dewa Siwa. Sang dewa muncul lalu memberikan kesaktian bagai Rudra kepada Aswatama, yang membuatnya tak terkalahkan dan berhasil merangsek masuk dengan mudah ke perkemahan Pandawa.
Pertama-tama, Aswatama mencari tenda Drestadyumna lalu membunuhnya. Keributan yang terjadi membuat Yudamanyu dan Utamoja bangun lalu bergegas ke tenda Drestadyumna. Namun mereka terbunuh oleh Aswatama yang telah mendapatkan kekuatan dari Siwa. Aswatama juga membunuh Pancakumara (lima putra Pandawa), Srikandi, dan para kesatria yang ada di perkemahan, kemudian mengamuk bagaikan Rudra. Sementara itu, Krepa dan Kertawarma berjaga di gerbang perkemahan, dan membunuh para prajurit yang melarikan diri dari amukan Aswatama.
Setelah melakukan pembantaian di perkemahan Pandawa, ketiga kesatria kembali menghadap Duryodana dan menyatakan bahwa para perwira Panchala (Drestadyumna, Srikandi, Yudamanyu, Utamoja) telah binasa, dan anak-anak para Pandawa telah punah. Duryodana merasa senang mendengarkan berita keberhasilan Aswatama; sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Bisma, Drona, dan Karna untuknya. Tak lama kemudian, Duryodana menghembuskan napas terakhirnya. Aswatama, Krepa, Kertawarma, beserta para prajurit Korawa yang tersisa melaksanakan upacara pembakaran jenazah untuknya.
Konfrontasi terakhir
Pada saat serangan malam, Pandawa sedang tidak berada di perkemahan sehingga selamat dari amukan Aswatama. Seorang kusir kereta Drestadyumna berhasil meloloskan diri dari serangan Krepa dan Kertawarma di pintu gerbang. Ia melaporkan kejadian kepada Yudistira sehingga para Pandawa bergegas kembali ke perkemahan mereka. Ketika kembali, mereka mendapati bahwa perkemahan telah porak poranda. Sementara itu, Aswatama mengungsi ke asrama Resi Byasa setelah menyesali perbuatannya. Pandawa memburu Aswatama hingga ke asrama sang bagawan. Di sana, ia bertarung dengan Arjuna.
Saat pertarungan, Aswatama memanggil senjata Brahmastra. Dengan senjata itu ia menyerang Arjuna dan Arjuna membalasnya dengan mengeluarkan senjata yang sama. Takut akan kehancuran dunia, Resi Byasa menyuruh agar kedua kesatria tersebut menarik senjatanya kembali. Sementara Arjuna berhasil melakukannya, Aswatama yang belum diberi pengetahuan untuk menarik Brahmastra diberi pilihan agar senjata menyerang target lain untuk dihancurkan. Aswatama mengarahkan senjatanya menuju rahim Utari (menantu Arjuna) yang sedang hamil, dengan tujuan memutus garis keturunan Pandawa. Senjata itu berhasil membakar janin Utari, tetapi Kresna menghidupkannya lagi.
Kutukan bagi Aswatama
Pada akhir buku Sauptikaparwa dinyatakan bahwa Kresna mengutuk Aswatama agar menderita kusta dan mengembara di Bumi sampai akhir zaman Kaliyuga. Aswatama juga dipaksa menyerahkan batu permata berharga (mani) yang melekat di dahinya, yaitu permata yang membuatnya tidak takut terhadap segala senjata, penyakit, atau rasa lapar, dan membuatnya tak takut terhadap para dewa, raksasa, detya, dan naga. Setelah permatanya dilepaskan, bekas lekatannya meninggalkan luka di dahinya, yang mengeluarkan darah berbau tidak sedap yang tidak akan pernah berhenti mengalir sampai akhir zaman Kaliyuga.[10]
Di India masa kini, Aswatama telah menjadi legenda urban, dan dipercaya masih hidup serta mengembara ke berbagai kuil Siwa, memohon agar lukanya dapat disembuhkan.[11]
Pewayangan Jawa
Riwayat hidup Aswatama dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sanskerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama.
Dalam pewayangan Jawa, Aswatama juga dikenal sebagai putra Begawan Durna alias Resi Drona dengan Dewi Kripi, putri Prabu Purungaji dari negara Tempuru. Ia berambut dan bertelapak kaki kuda karena ketika awal mengandung dirinya, Dewi Kripi sedang beralih rupa menjadi kuda sembrani, dalam upaya menolong Bambang Kumbayana (Drona) terbang menyeberangi lautan. Aswatama berasal dari padepokan Sokalima. Seperti ayahnya, ia memihak para Korawa saat perang Bharatayuddha. Ketika ayahnya menjadi guru Keluarga Pandawa dan Korawa di Astina (Hastinapura), Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah keprajuritan. Ia memiliki sifat pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Dari ayahnya, Aswatama mendapat pusaka sakti berupa panah bernama Panah Cundamanik.
Pada perang Bharatayuddha, Durna gugur karena terkena siasat oleh para Pandawa. Mereka berbohong bahwa Aswatama telah gugur, tetapi yang dimaksud bukan Aswatama manusia, melainkan seekor gajah perang yang bernama Hastitama (hasti berarti "gajah") namun terdengar seperti Aswatama. Lalu Durna menjadi putus asa setelah ia menanyakan kebenaran kabar tersebut kepada Yudistira yang dikenal tak pernah berbohong. Aswatama merasa kecewa dengan sikap Duryodana yang terlalu membela Salya yang dituduhnya sebagai penyebab gugurnya Karna. Aswatama memutuskan untuk mundur dari perang Bharatayudha. Setelah Perang Bharatayuda berakhir dan keluarga Pandawa pindah dari Amarta (Indraprastha) ke Astina, Aswatama menyelinap ke dalam keraton Astina. Ia berhasil membunuh Drestadyumna (pembunuh ayahnya), Pancawala (putra Puntadewa alias Yudistira), Banowati (janda Duryodana) dan Srikandi. Diceritakan bahwa akhirnya ia mati oleh Bima, karena badannya hancur dipukul Gada Rujakpala.
Lihat pula
Referensi
- ^ K M Ganguly(1883-1896)texts.com/hin/m08/m08020.htm The Mahabharata,Book 8 Karna Parva,SECTION 20 Diarsipkan 2017-02-20 di Wayback Machine. sacred-texts.com,October 2003,Retrieved 2014-02-11
- ^ K M Ganguly(1883-1896). The Mahabharata,Book 5 Udyoga Parva,Section CLXVIII sacred-texts.com,October 2003,Retrieved 2014-02-11
- ^ K M Ganguly(1883-1896). The Mahabharata,Book 13 Anusasana Parva,SECTION CL sacred-texts.com,October 2003,Retrieved 2014-02-11
- ^ http://www.sacred-texts.com/hin/m01/m01132.htm
- ^ http://www.sacred-texts.com/hin/m07/m07193.htm
- ^ http://www.google.co.in/search?hl=en&as_q=&as_epq=horse-voiced&as_oq=&as_eq=&as_nlo=&as_nhi=&lr=&cr=&as_qdr=all&as_sitesearch=http%3A%2F%2Fwww.sacred-texts.com&as_occt=any&safe=images&tbs=&as_filetype=&as_rights=
- ^ http://spokensanskrit.de/index.php?tinput=azvatthAma&direction=SE&script=HK&link=yes&beginning=
- ^ K M Ganguly(1883-1896). The Mahabharata,Book 5 Udyoga Parva,Section CLXVIII sacred-texts.com,October 2003,Retrieved 2013-11-14
- ^ K M Ganguly(1883-1896). The Mahabharatha Book 7: Drona page 478-479 Aswathama defeated Satyaki, Bhima, Drishtadyumna, October 2003, Retrieved 2015-01-13
- ^ K M Ganguly(1883-1896). The Mahabharata,Book 10: Sauptika Parva Section 16 sacred-texts.com,October 2003,Retrieved 2014-07-04
- ^ India.com Staff (4 Juni 2020), Dianne Nongrum, ed., Is Ashwatthama Still Alive Even After 5000 Years?, India.Com
Pranala luar
- (Inggris) Pembalasan dendam Aswatama