Zirah
Zirah (bahasa Inggris: Body armor) adalah pakaian atau lapisan pelindung yang dikenakan untuk melindungi tubuh maupun kendaraan dari senjata atau benda yang dapat memberi luka fisik. Istilah zirah identik dengan pakaian perlindungan untuk berperang pada zaman dahulu, meskipun pada masa modern polisi dan tentara juga menggunakan zirah yang lebih ringan dan fleksibel.
Dalam perkembangannya, zirah berkembang dari sekadar pakaian berbahan dasar kulit tebal (misalnya kulit trenggiling), kemudian lempengan logam yang dibentuk sesuai tubuh (misalnya kuiras), sampai yang termaju adalah rompi anti peluru. Saat ini yang dianggap sebagai baju zirah umumnya adalah baju besi. Pembagian jenis baju zirah yang terkenal adalah baju zirah dari jalinan rantai (zirah rantai), berbentuk sisik (zirah sisik), dan lempengan padat (zirah lempeng).
Zirah di Nusantara
Baju zirah juga digunakan di Nusantara. Akan tetapi, tidak semua prajurit memakai baju zirah. Baju zirah umumnya dikenakan oleh raja, bangsawan, dan prajurit yang lebih kaya atau berpangkat tinggi. Catatan awal mengenai baju zirah ada di prasasti Jambu (prasasti Pasir Koleangkak) dari abad ke-5 Masehi:
śrīmān=dātā kṛtajño narapatir=asamo yah purā [tā]r[ū]māya[ṃ] / nāmnā śrīpūrṇṇavarmmā pracuraripuṡarābhedadyavikhyātavarmmo / tasyedam=pādavimbadbadvayam=arinagarotsāda ne nityadakṣam / bhaktānām yandripāṇām=bhavati sukhakaraṃ śalyabhūtaṃ ripūṇām.
“Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin yang tiada taranya — Yang Termashur Sri Purnnawarman — yang sekali waktu (memerintah) di Taruma, dan yang baju zirahnya terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya”.[1]
Kakawin Ramayana (sekitar 870 M), yang merupakan versi Jawa dari epos Ramayana karya Valmiki (sekitar 500 tahun SM), menyebutkan pakaian dan zirah yang mencerminkan zamannya. Seorang anggota keluarga kerajaan disebutkan mengenakan mahkotanya, padaka (kerah, medali, atau pelindung dada), karambalangan (korset atau plastron) dan menggunakan baju besi berlapis emas bahkan dalam pertempuran.[2][3] Kakawin Ramayana juga menyebut istilah watek makawaca, yang berarti pasukan berbaju pelindung (armoured troops).[4]
Sebuah baju zirah, atau lebih tepatnya kuiras,[5] digambarkan pada relief cerita Divyavadana di candi Borobudur. Dalam cerita itu, dikisahkan bahwa Rudrayana mengirim hadiah kepada raja Bimbisara berupa kuirasnya yang terkenal yang tidak hanya memiliki kekuatan ajaib tetapi juga dihiasi dengan permata yang tak ternilai harganya.[6] Kuiras itu digambarkan tanpa lengan dan tampaknya ditutup di depan.[7]
Prasasti Tamblingan Pura Endek I Lempeng Besar I mencatat adanya pembuat baju besi di Bali. Prasasti ini diperkirakan berasal dari tahun 844 saka (922 Masehi). Isi prasasti itu adalah:
...thani anteken ya parmasan ulih juru pande, apan khu tumkap baju besi.
...mereka tidak dikenakan pungutan parmasan oleh juru pande oleh karena mereka membuat baju besi.
Ini berarti orang Tamblingan tidak dikenakan pungutan parmasan oleh juru pandai besi oleh karena mereka membuat baju besi.[8]
Orang Cina mencatat bahwa pakaian perang yang terbuat dari tembaga yang dicetak digunakan negara di pantai barat Kalimantan yang disebut Pu-ni (kemungkinan Brunei). Sebagaimana dicatat Zhao Rugua dalam Zhu Fan Zhi (1170–1231):[9][10]
"... jika mereka bertempur, mereka membawa pedang dan mengenakan baju pelindung. Baju ini dibuat dari tembaga yang dicetak dan berbentuk seperti tabung besar, dan dikenakan pada badan mereka untuk melindungi perut dan punggung."
Menurut Irawan Djoko Nugroho, baju itu di Jawa disebut sebagai kawaca dan digunakan oleh prajurit yang lebih kaya.[Catatan 1] Baju pelindung ini kemungkinan berbentuk seperti tabung panjang dan terbuat dari tembaga yang dicetak.[10] Sebaliknya, infanteri biasa (prajurit profesional, bukan rakyat wajib militer) mengenakan baju zirah sisik yang disebut siping-siping.[4] Jenis baju zirah lain yang digunakan di Jawa era Majapahit adalah waju rante (zirah rantai) dan karambalangan (lapisan logam yang dikenakan di depan dada).[10][11][12] Dalam Kidung Sunda pupuh 2 bait 85 dijelaskan bahwa mantri-mantri (menteri atau perwira) Gajah Mada mengenakan baju besi dalam bentuk zirah rantai atau plastron dengan hiasan emas dan mengenakan pakaian kuning,[13] sedangkan dalam Kidung Sundayana pupuh 1 bait 95 disebutkan bahwa Gajah Mada mengenakan karambalangan berhias timbul dari emas, bersenjata tombak berlapis emas, dan perisai penuh dengan hiasan dari intan berlian.[12][11]
Pasukan elit Sunda di bawah komando patih Anepaken pada saat tragedi Bubat (1357) dicatat mengenakan baju zirah sisik (sisimping atau siping-siping). Sebagaimana ditulis dalam Kidung Sunda:
Jajakanirabagus kadi ring surat, saha watang jininjring, asisimping emas, alancingan hot sabrang, pantes olahe prajurit, wangsya amenak, tus ning Sunda sinaring
Pengawalnya tampan, seperti dalam gambar; mereka memiliki tombak dari kayu jring, mengenakan zirah (sisimping) yang berwarna emas dan celana panjang (lancingan) dari bahan yang bagus. Mereka tahu bagaimana cara menunjukkan diri sebagai pendekar mulia dari keluarga yang baik, bunga pemuda Sunda.[13][5]
Begitu pula pihak Majapahit pada Kidung Sunda, prajurit Jawa dicatat menggunakan siping-siping berwarna emas.[13]
Majapahit memiliki pasukan elit yang disebut Bhayangkara. Tugas utama pasukan ini adalah untuk melindung raja dan kaum bangsawan, namun mereka juga dapat diterjunkan ke pertempuran jika diperlukan. Hikayat Banjar mencatat perlengkapan Bhayangkara di istana Majapahit, termasuk pelindung dan senjatanya:
Maka kaluar dangan parhiasannya orang barbaju-rantai ampat puluh sarta padangnya barkupiah taranggos sakhlat merah, orang mambawa astenggar [senapan sundut] ampat puluh, orang mambawa parisai sarta padangnya ampat puluh, orang mambawa dadap [sejenis perisai][Catatan 2] sarta sodoknya [senjata mirip tombak dengan mata lebar][Catatan 3] sapuluh, orang mambawa panah sarta anaknya sapuluh, yang mambawa tumbak parampukan[Catatan 4] barsulam amas ampat puluh, yang mambawa tameng Bali bartulis air mas ampat puluh.
— Hikayat Banjar, 6.3[14][10]
Xingcha Shenglan (星槎勝覽) yang ditulis oleh Fei Xin sekitar tahun 1436 menyebutkan bahwa Jawa (Majapahit) dilengkapi dengan tentara berbaju zirah dan perlengkapan perang, dan merupakan pusat masyarakat timur.[15][16] Haiguo Guangji (海国广记) dan Shuyu zhouzi lu (殊域周咨錄) mencatat bahwa Jawa sangat luas dan padat penduduknya, serta tentara berbaju zirah dan meriam tangan (火銃—huǒ chòng) milik mereka mendominasi lautan timur.[17][18][19]
Putra Afonso de Albuquerque menyebutkan persenjataan Melaka setelah kejatuhannya pada tahun 1511: Ada senapan matchlock besar (arquebus Jawa), sumpitan beracun, busur, panah, baju berlapis besi (laudeis de laminas), tombak Jawa, dan jenis senjata lainnya.[20][21] Tidak diketahui apakah baju berlapis besi Malaka memang digunakan dalam pertempuran, atau hanya digunakan oleh kaum elit dan bangsawan, atau apakah itu murni pakaian upacara.[22] Rui de Araújo melaporkan bahwa sangat sedikit prajurit Malaka yang menggunakan baju zirah.[23]
Dua komunitas etnis terkait di Sulawesi Selatan, suku Bugis dan Makassar, juga mengadopsi baju besi rantai yang mereka sebut sebagai waju rante atau waju ronte. Zirah ini dibuat oleh untaian cincin besi yang diikatkan satu sama lain, yang membuatnya mirip dengan rajutan.[24] Selama bertahun-tahun peperangan, tentara Bugis dan Makassar, mengenakan zirah rantai dan membawa senapan lontak yang mereka buat sendiri, mendapatkan reputasi yang hebat untuk keganasan dan keberanian mereka.[25]
Pada abad ke-17, kavaleri Jawa umumnya dilengkapi dengan baju rantai, misalnya pada tahun 1678 Kapten Tack bertemu dengan 240 penunggang kuda yang semuanya mengenakan baju besi, yang merupakan penombak dengan baju rantai. Kavaleri Trunajaya terdiri dari sekitar 150 orang bersenjatakan tombak dan kebanyakan dari mereka mengenakan baju rantai. Kapal kerajaan Banten tercatat memiliki pendayung yang mengenakan baju rantai.[26]
Suku Nias membuat baju zirah tradisional mereka yang disebut Baru Öröba.[27] Contoh yang paling awal dari baju pelindung ini terbuat dari kulit buaya. Setelah buaya tidak dapat ditemukan lagi di habitat alaminya di Nias, bahannya diganti dengan logam yang dipalu.[28] Orang Sunda memiliki kata yang disebut kutang, yang dapat diartikan corslet atau breastplate (zirah dada/plastron).[29]
-
Pakaian perang atau baju besi dari sebuah patung candi di Singasari.
-
Baju rantai Melayu.
-
Baju lamina dan kechubong (helm perang) orang Melayu.
-
Prajurit Nias dengan pemuras
-
Detail dari zirah sisik (siping-siping), kemungkinan berasal dari candi Penataran.
Jenis zirah
Zirah non-logam
Bentuk awal zirah, dengan menggunakan kulit yang tebal diharapkan serangan dan goresan ringan dapat diatasi, tetapi sama sekali tidak berguna untuk mengatasi tebasan dan tusukan langsung.
Hoplite Yunani klasik menggunakan linothorax, dibuat dari beberapa lapis kain linen yang di rendam dalam lem untuk mendapatkan sepotong baju yang keras. Meski ada beberapa yang menganggap bahwa baju zirah ini sebenarnya menggunakan lapisan besi di antara lapisan kain.
Zirah rantai
Pada zaman dahulu, jenis zirah rantai adalah baju zirah yang paling fleksibel. Dibuat dari cincin-cincin yang salin sambung dan dijalin hingga seperti kaus, disebut hauberk. Banyak terlihat digunakan oleh orang-orang Gaul (Prancis modern), Keltik, dan Jerman kuno. Pada awal Republik Romawi juga digunakan sebagai seragam standar.
Rantai zirah ini cenderung pecah jika menghadapi tusukan, atau bahkan jika menghadapi tebasan yang cukup kuat. Karena sifatnya yang fleksibel maka pemakainya masih rentan terhadap senjata-senjata tumpul seperti tongkat, gada, atau pentungan.
Saat ini sudah ada mesin untuk membuat dan menyusun cincin-cincin besi yang dijalin menjadi baju zirah jenis ini. Biasanya baju zirah rantai yang menutupi seluruh tubuh beratnya sekitar 35 pon.
Zirah sisik
Ini adalah jenis baju zirah yang digunakan secara luas sebagai baju zirah di Tiongkok, Persia, dan Bizantium. Biasanya dibuat dari potongan logam berbentuk segi empat atau segilima atau bahkan bulat yang dijahit saling bertumpuk satu sama lain ke sepotong kulit.
Kepopuleran baju zirah jenis ini terutama karena menawarkan perlindungan lebih baik terhadap serangan senjata tumpul daripada jalinan rantai. Karena inilah baju zirah ini populer digunakan pada masa Romawi sebagai alternatif baju zirah rantai.
Terdapat literatur yang menyatakan bahwa baju ini rentan terhadap tusukan yang mengarah ke atas, tetapi sangat jarang terjadi tusukan yang melewati(tanpa memecahkan) sisik-sisik baju zirah jenis ini. Bagaimanapun menusuk keatas dengan tepat cukup sulit dilakukan.
Pada masa silam sisik-sisik ini dibuat dari perunggu, besi, atau baja. Ini tergantung pada kondisi geografis pembuat dan juga tujuan pembuat.
Zirah lempeng
Ini adalah baju zirah yang sering diidentikkan dengan ksatria-ksatria eropa. Sebagaimana yang terlihat jika baju zirah ini akan sangat berat jika dibuat melindungi seluruh tubuh. Meski begitu tidak seperti anggapan umum baju zirah ksatria eropa tidak melebihi 45 pon walau dibuat dua lapis dan menutupi seluruh tubuh.
Salah satu baju zirah yang indah adalah baju zirah yunani klasik yang dibentuk menyerupai otot dada dan perut, banyak digunakan oleh petinggi dan bangsawan Yunani dan Romawi. Lorica segmentata adalah baju zirah standar kekaisaran Romawi yang dibentuk dari lempengan-lempengan panjang untuk menutupi dada, perut, dan bahu.
Terrdapat literatur yang menyatakan bahwa pada abad pertengahan akhir baju zirah jenis ini buatan Jerman cenderung lebih banyak memiliki 'paku' dibanding buatan Itali yang lebih mulus. Meski begitu keduanya tetap sebanding.
Pada perang dunia pertama terdapat sepasukan kekaisaran Jerman yang menggunakan baju zirah ini untuk memberikan perlindungan pada badannya, terutama karena belum adanya rompi anti peluru.
Catatan
- ^ Kawaca memiliki dua makna. Yang pertama adalah kemeja yang dikenakan oleh para rohaniawan, yang lainnya berarti baju besi. Lihat Nugroho, Irawan Djoko (2011). hal. 386.
- ^ Dadap memiliki 2 arti: Dalam bahasa Indonesia, ia merujuk pada perisai bulat yang terbuat dari kulit atau rotan (Departemen Pendidikan Nasional (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Dapat diakses secara daring di https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/dadap), sedangkan dalam bahasa Jawa kuno ia merujuk pada pada perisai penangkis panjang dan sempit (lihat Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Old Javanese-English dictionary. The Hague: Martinus Nijhoff. hlm. 345). Dadap di Jawa sepertinya merujuk pada perisai panjang yang cukup berat, mungkin dengan ujung menonjol (Jákl, 2014: 77–78).
- ^ Untuk arti sodok, lihat Gardner, Gerald Brosseau (1936). Keris and Other Malay Weapons Singapore: Progressive Publishing Company. hlm. 85.
- ^ Rampuk kemungkinan berasal dari bahasa Jawa Kuno rampog dan ngrampog, yang artinya “menyerang dalam jumlah besar”. Watang parampogan dalam bahasa Jawa kuno berarti tombak yang digunakan dalam parampogan, yaitu penombakan harimau (rampokan macan). Lihat Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Old Javanese-English dictionary. The Hague: Martinus Nijhoff. h. 1499.
Lihat juga
Referensi
- ^ bpcbbanten (2019-12-23). "Prasasti Jambu (Prasasti Pasir Koleangkak)". Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-02.
- ^ Zoetmulder, P. J. (1982). Old Javanese-English dictionary. The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 9024761786.
- ^ Tjoa-Bonatz, Mai Lin (2019). "JAVA : ARTS AND REPRESENTATIONS. Art historical and Archaeometric Analyses of Ancient Jewellery (7–16th C.) : The Prillwitz Collection of Javanese Gold". Archipel (97): 19–68.
- ^ a b Jákl, Jiří (2014). Literary Representations of War and Warfare in Old Javanese Kakawin Poetry (Tesis). The University of Queensland.
- ^ a b Wales, H. G. Quaritch (1952). Ancient South-East Asian Warfare. London: Bernard Quaritch.
- ^ Krom, N.J. (1900). Barabudur: Archaeological Description Volume I. The Hague: Martinus Nijhoff.
- ^ Foucher, A. (1917). Beginnings of Buddhist Art and Other Essays in Indian and Central Asian Archaeology. London: Humphrey Milford.
- ^ Bagus, A.A. Gde (2013). "Perkembangan Peradaban di Kawasan Situs Tamblingan" (PDF). Forum Arkeologi. 26 (1): 1–16.
- ^ Hirth, Friedrich; Rockhill, William Woodville (1911). Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu Fan Chï. St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences.
- ^ a b c d Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8.
- ^ a b Nugroho, Irawan Djoko (6 August 2018). "Baju Baja Emas Gajah Mada". Nusantara Review. Diakses tanggal 14 August 2019.
- ^ a b Berg, Kindung Sundāyana (Kidung Sunda C), Soerakarta, Drukkerij “De Bliksem”, 1928.
- ^ a b c Berg, C. C., 1927, Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen, BKI LXXXIII : 1-161.
- ^ Ras, Johannes Jacobus, 1968, Hikayat Bandjar. A Study in Malay Historiography. The Hague (Bibliotheca Indonesica, 1)
- ^ Jiang, Sun (2018). 重审中国的“近代”:在思想与社会之间 (Reexamining China's "Modern Times": Between Thought and Society). 社会科学文献出版社 (Social Science Literature Publishing House).
费信《星栏胜览》称爪哇"古名阁婆,地广人稠,实甲兵器械,乃为东洋诸蓄之冲要"。[16]严从简《殊域周咨录》则谓"其国地广人稠,甲兵火统为东洋诸善之雄"。[17]明末张堂《东西洋考》亦说下港(爪哇)"甲兵为诸番之雄"。[18]
- ^ Xin, Fei (1436). Xingcha Shenglan (星槎勝覽, The Overall Survey of the Star Raft). hlm. 25–26.
25 爪哇國(自占城起程,順風二十晝夜可至其國)26 古名闍婆,地廣人稠,實甲兵器械,乃為東洋諸番之衝要。舊傳鬼子魔天,正於此地,與一罔象青面紅身赤髮相合。凡生子百餘,常食啖人血肉。佛書所云鬼國,其中只此地也。人被啖幾盡,忽一曰雷震石裂,中坐一人,眾稱異之,遂為國主,即領兵驅逐罔象,而不為害。後複生齒而安業,乃至今國之移文,後書一千三百七十六年。考之肇啟漢初,傳至我宣德七年。
- ^ Hesheng, Zheng; Yijun, Zheng (1980). 郑和下西洋资料汇编 (A Compilation of Materials on Zheng He's Voyages to the West) Volume 2, Part 1. 齐鲁书社 (Qilu Publishing House).
《海国广记·爪哇制度》有文字,知星历。其国地广人稠,甲兵火铳为东洋诸番之雄。其俗尚气好斗,生子一岁,便以匕首佩之。刀极精巧,名日扒刺头,以金银象牙雕琢人鬼为靶。男子无老幼贫富皆佩,若有争置,即拔刀相刺,盖杀人当时拿获者抵死,逃三日而出,则不抵死矣。
- ^ Congjian, Yan (1583). 殊域周咨錄 (Shuyu Zhouzilu) 第八卷真臘 (Volume 8 Chenla). hlm. 111.
其國地廣人稠,甲兵火銃,為東洋諸番之雄。其俗尚氣好鬥。
- ^ Wenbin, Yan, ed. (2019). 南海文明圖譜:復原南海的歷史基因◆繁體中文版 (Map of South China Sea Civilization: Restoring the Historical Gene of the South China Sea. Traditional Chinese Version). Rúshì wénhuà. hlm. 70. ISBN 9789578784987.
《海國廣記》記載,爪哇「甲兵火銃為東洋諸蕃之冠」。
- ^ The son of Afonso de Albuquerque (1774). Commentários do Grande Afonso Dalbuquerque parte III. Lisboa: Na Regia Officina Typografica. hlm. 144.
- ^ Birch, Walter de Gray (1875). The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, Second Viceroy of India, translated from the Portuguese edition of 1774 volume III. London: The Hakluyt society. hlm. 127.
- ^ Charney, Michael (2012). Iberians and Southeast Asians at War: the Violent First Encounter at Melaka in 1511 and After. In Waffen Wissen Wandel: Anpassung und Lernen in transkulturellen Erstkonflikten. Hamburger Edition. hlm 2.
- ^ Wijaya, Daya Negri (2022). Malacca Beyond European Colonialism (15th–17th centuries) (Tesis). Universidade do Porto. https://hdl.handle.net/10216/141531.
- ^ Hamid, Pananrangi (1990). Senjata Tradisional Daerah Sulawesi Selatan. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
- ^ Tarling, Nicholas (1992). The Cambridge History of Southeast Asia: Volume One, From Early Times to c.1800. Cambridge University Press. ISBN 0521355052.
- ^ Schrieke, Bertram Johannes Otto (1957). Indonesian Sociological Studies, Selected Writings of B. Schrieke Part Two: Ruler and Realm in Early Java. 3. The Hague: W. van Hoeve.
- ^ Yayasan Pustaka Nias. "Warriors Armor "Öröba Si'öli"". Nias Heritage Museum. Diakses tanggal 29 February 2020.
- ^ "Armor (Öroba) | Yale University Art Gallery". artgallery.yale.edu. Diakses tanggal 2020-02-29.
- ^ Crawfurd, John (1852). A Grammar and Dictionary of the Malay Language: With a Preliminary Dissertation, Volume 2. London: Smith, Elder, and co. hlm. 83.