Lompat ke isi

Krepa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Krepa
कृपा
Krepa sebagai tokoh pewayangan Jawa.
Krepa sebagai tokoh pewayangan Jawa.
Tokoh Mahabharata
NamaKrepa
Ejaan Dewanagariकृपा
Ejaan IASTKṛpa
Nama lainSaradwata, Baratacarya, Acarya (arti harfiah: guru)
GelarAcarya
Kitab referensiMahabharata; Purana; Bhagawadgita
KediamanHastinapura
GolonganCiranjiwi
Kastabrahmana
Profesiguru, penasihat
AyahSaradwana
IbuJanapadi
SaudaraKrepi

Krepa (Dewanagari: कृप; ,IASTKṛpa,; pelafalan: [ˈkrəpa]) atau Krepacarya (Dewanagari: कृपाचार्य; ,IASTKṛpācārya,; arti harfiah: Guru Krepa) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putra Resi Saradwana dan Janapadi,[1] dan menjadi penasihat serta guru para pangeran Dinasti Kuru di Hastinapura. Ia memiliki adik perempuan bernama Krepi, yang menikah dengan Drona, yang juga merupakan guru para pangeran Dinasti Kuru.

Krepa juga dikenal sebagai Ciranjiwi, atau "makhluk berumur panjang". Ia merupakan salah satu dari 3 kesatria Korawa yang sintas setelah perang di Kurukshetra berakhir. Ia juga merupakan salah satu resi terkemuka pada era Kaliyuga.[2] Menurut ramalan dalam Purana, Krepa akan menjadi anggota Saptaresi pada manwantara kedelapan.[3]

Kata krepa dalam bahasa Sanskerta berarti 'kasihan' atau 'menyedihkan'. Menurut kitab Mahabharata (ca 700 SM – 400 M), ia dan saudarinya diberi nama "Krepa" dan "Krepi" saat diadopsi oleh Raja Santanu yang merasa kasihan setelah menyaksikan keadaan mereka.[4][5][6][7] Krepa memperoleh gelar "acarya" ('ahli') sebab ia merupakan seorang pemanah ulung.[8][7]

Dalam wiracarita, Krepa juga disebut dengan nama lain, seperti: "Gautama" (arti: keturunan Gotama), "Saradwata", "Saradwanputra" (arti: putra Saradwana), dan "Baratacarya" (arti: guru para keturunan Bharata).[9][6]

Kelahiran dan masa muda

[sunting | sunting sumber]

Menurut kitab Adiparwa (kitab pertama dari 18 jilid Mahabharata), Resi Gotama dan Ahalya memiliki seorang anak laki-laki yang diberi nama Saradwana. Sebaliknya, sejumlah sastra Purana seperti Agnipurana menyebut Saradwana sebagai cucu Gotama.[4][7] Saradwana memiliki semangat yang luar biasa dalam ilmu panahan, dan seiring bertambah usia, ia menjadi pemanah ulung.

Pada suatu ketika ia melakukan pertapaan yang sangat hebat agar bisa menjadi kesatria yang tak tertandingi, tetapi tindakannya malah meresahkan dewata, terutama Indra, raja para dewa. Akhirnya sang dewa mengirim bidadari cantik bernama Janapadi untuk menguji keteguhan hati Saradwana.[5][4] Saat Saradwana melihat sang bidadari, ia pun tak mampu menahan nafsu birahi sehingga mengeluarkan air mani. Malu akan perbuatannya, akhirnya Saradwana mengurungkan niat untuk menjadi kesatria tangguh, lalu bersuluk ke tengah hutan. Air mani yang keluar dari tubuhnya jatuh ke atas gulma, lalu terbagi menjadi dua. Seorang anak lelaki dan perempuan terbentuk dari air mani tersebut.[5][7]

Dalam kitab Mahabharata diceritakan bahwa sebelum memiliki nama, Krepa hidup di hutan bersama dengan adiknya. Suatu ketika Prabu Santanu (seorang raja Dinasti Kuru dari Hastinapura) berburu ke tengah hutan. Di sana ia berjumpa dengan kedua anak tersebut. Karena merasa kasihan dengan keadaan mereka, ia memungut kedua anak tersebut dan memberi mereka nama "Krepa" dan "Krepi".[4][5] Kejadian tersebut diketahui oleh Saradwana yang sedang melakukan pertapaan di tengah hutan. Ia pun pergi ke Hastinapura untuk memberi tahu siapa sebenarnya anak-anak yang telah dipungut Santanu. Kemudian ia mengajarkan Krepa empat cabang Dhanurweda (panahan). Karena kemahiran Krepa dalam ilmu menggunakan senjata, akhirnya ia diangkat menjadi pejabat di Hastinapura dan diberi kepercayaan untuk mendidik para pangeran Kuru (Pandawa dan Korawa).[4][8][7]

Peran dalam Dinasti Kuru

[sunting | sunting sumber]

Buku Adiparwa mengisahkan bahwa Krepa mendidik para pangeran Pandawa, Korawa, dan Yadawa tentang ilmu Dhanurweda.[7] Kemudian, para pangeran Pandawa dan Korawa belajar di bawah bimbingan Drona, yaitu saudara ipar Krepa, sebab Drona ialah suami Krepi. Saat pendidikan para pangeran telah usai, mereka unjuk kebolehan di alun-alun Hastinapura. Pada waktu itu, seorang kesatria tak dikenal bernama Karna muncul dari kerumunan lalu menantang Arjuna. Krepa pun menanyakan asal usul dan keluarga Karna, agar dapat dijadikan permakluman untuk menantang seorang pangeran. Namun pertanyaan yang diajukan Krepa tidak bisa dijawab oleh Karna. Akhirnya Duryodana datang lalu membela Karna. Ia juga mengangkat Karna menjadi raja di Angga.[9]

Dalam buku Sabhaparwa dikisahkan bahwa Krepa menghadiri upacara Rajasuya yang diselenggarakan oleh Yudistira, dan ia memperoleh daksina (persembahan) sebagai tamu kehormatan. Dalam kitab Wirataparwa, Krepa membantu Duryodana, yaitu Korawa sulung, untuk menemukan jejak para Pandawa yang sedang menyamar selama satu tahun di kerajaan Wirata.[9]

Perang Kurukshetra

[sunting | sunting sumber]
Ilustrasi pertempuran antara Krepa (kiri atas) melawan Srikandi (kanan atas) dari naskah Mahabharata dari India (abad ke-17).

Krepa berperang pada pihak Korawa pada saat Bharatayuddha (perang keluarga Bharata) di lapangan Kurukshetra.[7] Kitab Udyogaparwa (jilid ke-6 Mahabharata) menceritakan bahwa Bisma, selaku panglima tertinggi pasukan Korawa, menyebut Krepa sebagai seorang kesatria ulung.[10]

Dalam kitab Bhismaparwa, pada detik-detik sebelum perang dimulai, Yudistira memberi penghormatan kepada Krepa. Krepa berkata bahwa ia tidak bisa dibunuh. Meskipun demikian, hal itu tidak membuat Korawa menang. Krepa juga berkata bahwa kemenangan sesungguhnya berpihak pada tokoh yang benar, yaitu para Pandawa.

Selama peperangan, Krepa bertempur dengan banyak kesatria, meliputi Wrehadksetra, Cekitana, Satyaki, Sadewa, Arjuna, Bima, Drestaketu, dan Wardaksremi. Ia juga mengalahkan Srikandi dan Yudamanyu, serta membinasakan pasukan pengawal Abimanyu, Suketu, dan pangeran dari Kalinda. Dalam kitab Salyaparwa disebutkan bahwa Krepa pernah menasihati Karna untuk berdamai dengan para Pandawa.

Ketika Bharatayuddha berakhir, dari pihak Korawa hanya Krepa, Kertawarma dan Aswatama yang masih hidup. Setelah diangkat sebagai panglima tinggi pasukan Korawa oleh Duryodana, maka Aswatama memutuskan untuk melakukan serangan gerilya ke perkemahan pasukan Pandawa pada malam hari. Meskipun berat hati dengan keputusan Aswatama, pada akhirnya Krepa turut serta membantu. Ia berjaga-jaga di pintu perkemahan bersama Kertawarma; mereka menjagal para prajurit yang mencoba kabur dari serangan Aswatama. Setelah melakukan pembalasan, mereka kabur. Para Pandawa menyusul Aswatama ke tengah hutan, tempat Resi Byasa tinggal. Disana, Aswatama diadili dan dikutuk.

Pascaperang

[sunting | sunting sumber]

Dalam kitab Striparwa disebutkan bahwa Krepa menghadap Dretarastra dan Gandari (orang tua para Korawa) untuk memberitahukan mereka tentang kondisi pascaperang.[11] Dalam Asramawasikaparwa, saat Dretarastra memutuskan untuk berkhalwat ke tengah hutan, Krepa hendak ikut bersamanya. Namun Dretarastra menolaknya, lalu ia memberi saran kepada Yudistira (penguasa kerajaan Kuru yang baru) untuk mengangkat Krepa sebagai dewan penasihat raja. Demikian pula ketika para Pandawa memutuskan untuk berkhalwat dari kehidupan duniawi, Krepa diangkat sebagai salah satu penasihat raja muda Parikesit, cucu Arjuna. Setelah melaksanakan kewajibannya, akhirnya Krepa pensiun lalu mengasingkan diri ke tengah hutan, bertapa di sana untuk menjalani sisa hidupnya.[9]

Keistimewaan

[sunting | sunting sumber]

Menurut kepercayaan Hindu, Krepa—bersama Aswatama, Mahabali, Byasa, Hanoman, Wibisana, Markandeya, dan Parasurama—adalah golongan Ciranjiwi, yaitu "makhluk abadi" yang berumur sangat panjang, sampai akhir Kaliyuga, yakni zaman terakhir di antara empat yuga. Menurut sastra Hindu, Krepa dan Aswatama dikutuk agar hidup abadi dan menderita sepanjang sisa hidupnya karena dosa yang mereka lakukan pada malam hari terakhir perang Kurukshetra.[12]

Menurut kitab Wisnupurana (ca 400 SM – 900 M), Krepa akan menjadi salah satu Saptaresi—tujuh resi terkemuka—pada Manwantara berikutnya, suatu kurun masa yang dimulai dengan era Manu yang baru—leluhur umat manusia—sesuai dengan kosmologi Hindu.[13][14]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Varkey, C.P. (2001). A Pilgrimage ~ Through the Mahabharata. St Pauls BYB. hlm. 22–. ISBN 978-81-7109-497-4. 
  2. ^ K M Ganguly(1883-1896). The Mahabharata,Book 13 Anusasana Parva,SECTION CL sacred-texts.com,October 2003,Retrieved 2014-02-11
  3. ^ Vishnu Purana -Drauni or Asvathama as Next saptarishi Retrieved 2015-02-15
  4. ^ a b c d e Mani 1975, hlm. 418.
  5. ^ a b c d Ganguli 1896, Adi Parva: Sambhava Parva: Section CXXX
  6. ^ a b Gandhi 2004.
  7. ^ a b c d e f g Dalal 2010, hlm. 206.
  8. ^ a b Varkey 2001, hlm. 22.
  9. ^ a b c d Mani 1975, hlm. 419.
  10. ^ Ganguli 1896, Udyoga Parva: Uluka Dutagamana Parva: Section CLXVII
  11. ^ Ganguli 1896 Stri Parva: Jalapradanika Parva: Section XI
  12. ^ Dalal 2010, hlm. 98.
  13. ^ Wilson 1840, Chapter II
  14. ^ Mani 1975, hlm. 485.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]