Lompat ke isi

Legitimasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ilustrasi legitimasi

Legitimasi adalah penerimaan dan pengakuan atas kewenangan yang diberikan oleh masyarakat kepada pimpinan yang telah diberikan kekuasaan.[1] Sumber legitimasi telah berubah dari sudut pandang kekuatan fisik dan militer menjadi dukungan dari masyarakat secara masif.[2] Organisasi yang memperoleh legitimasi akan memperoleh dukungan sumber daya dari lingkungannya.[3] Sumber legitimasi yang utama adalah tradisi, karisma, atau instrumen rasional.[4] Legitimasi terbentuk melalui komunitas yang memiliki keinginan dan tujuan bersama yang perwujudannya dalam bentuk kekuasaan.[5]

Organisasi yang memiliki sumber legitimasi akan memperoleh dukungan dari lingkungan sekitarnya. Dampaknya, organisasi akan mengalami peningkatan dalam perolehan sumber daya.[3] Legitimasi secara umum bersumber dari tiga hal yaitu tradisi, karisma, atau instrumen rasional. Sumber tradisi berarti bahwa legitimasi diperoleh sebagai akibat dari adanya kekuasaan yang dimiliki melalui tradisi. Sementara sumber instrumen rasional berarti legitimasi diperoleh dari aturan legal rasional yang membentuk kekuasaan.[4]

Sumber legitimasi atas kekuasaan telah berubah dari kekuatan fisik dan militer menjadi dukungan penuh dari masyarakat, khususnya pada legitimasi poltiik. Efektivitas pengelolaan kekuasaan selalu memerlukan legitimasi agar kekuasaan dapat menjadi kewenangan. Perubahan sumber legitimasi dapat terjadi karena perkembangan pemikiran-pemikiran kritis dalam bidang filsafat dan politik. Klaim atas kewenangan kekuasaan tidak lagi mengutamakan kekuatan fisik dari militer maupun keyakinan atas feodalisme dan teokrasi. Peralihan sumber legitimasi ini merupakan akibat dari adanya kritik rasional filsafaf yang pengungkap berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan. Sumber legitimasi atas kekuasaan telah mempertimbangkan etika dari segi politik, sosiologi, hukum dan filsafat.[6]

Legitimasi pengetahuan

[sunting | sunting sumber]

Kekuasaan merupakan salah satu sumber kebenaran yang dibangun melalui ilmu dan pengetahuan. Hubungan antara kekuasaan dan ilmu selalu berkaitan satu sama lain dengan kondisi sebanding. Penguasaan ilmu pengetahuan meningkatkan peluang perolehan kekuasaan. Legitimasi pengetahuan dapat diperoleh dengan jumlah metode yang digunakan untuk memperolehnya. Semakin banyak metode yang dapat membuktikan suatu pengetahuan maka legitimasinya semakin tinggi.[7]

Legitimasi kekuasaan

[sunting | sunting sumber]

Legitimasi kekuasaan merupakan legitimasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh penguasa negara.[8] Tingkat legitimasi kekuasaan ditentukan oleh etika politik. Pertimbangan yang diberikan dalam etika poliitik terhadap legitimasi kekuasaan adalah mengenai sumber moral yang digunakan oleh penguasa dalam melaksanakan kewenangan atas kekuasaan yang diberikan kepadanya. Selain itu, etika politik juga mengatur bentuk pertanggungjawaban penguasa terhadap masyarakat yang berkaitan dengan legitimasi kekuasaan.[9]

Legitimasi ideologi

[sunting | sunting sumber]

Legitimasi ideologi dibentuk oleh sekelompok individu yang memiliki kepercayaan mengenai cara hidup manusia dan pengaturannya dalam masyarakat. Pembentukan legitimasi ideologi memerlukan bantuan dari kekuasaan yang menjadi milik sekelompok individu tersebut. Legitimasi ideologi dapat memanfaatkan agama maupun ideologi lainnya. Legitimasi ideologi hanya dapat terjadi jika masyarakat dipimpin dengan asumsi bahwa kemimpinan harus memiliki ideologi tertentu. Sementara bagi kelompok masyarakat yang tidak memperdulikan jenis ideologi yang digunakan oleh negaranya, mereka tidak diberi kekuasaan dan hanya menuruti segala kebijakan yang dibentuk oleh kelompok yang menguasai negara dengan ideologi.[10]

Legitimasi politik

[sunting | sunting sumber]

Legitimasi politik dibentuk oleh kekuasaan lembaga legislatif dan kekuasaan lembaga eksekutif. Tingkat legitimasi politik dipengaruhi dan mempengaruhi hukum yang membentuk kekuasaan politik. Pada negara demokrasi, legitimasi poltik merupakan hasil dari kehendak rakyat yang merupakan bentuk kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum. Tujuan dari legitimasi politik di negara demokrasi sebagai bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam kewarganegaraan.[11]

Kekuasaan politik dapat memperoleh legitimasi politik dengan mematuhi etika politik.[12] Legitimasi politik dapat diwujudkan melalui pemisahan kekuasaan dengan pembentukan parlemen. Model legitimasi politik ini mulai berkembang sejak abad ke-19 sebagai bentuk perwakilan pemerintah. Kewenangan parlemen untuk menetapkan undang-undang yang berlaku bagi masyarakat merupakan bentuk legitimasi bagi kekuasaan eksekutif dan kehakiman. Legitimasi politik dengan pembentukan parlemen mengurangi legitimasi lembaga legislatif. Selain itu, fungsi negara beralih ke legitimasi tradisi birokrasi yang bersifat teknokrasi.[13]

Partai politik

[sunting | sunting sumber]

Partai politik berperan sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat yang mempertahankan legitimasi kewenangan pemerintah. Krisis legitimasi atas kewenangan pemerintah dapat dihilangkan jika partai politik memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Krisis legitimasi ini umumnya terbentuk dari perubahan struktur sosial di dalam masyarakat. Peran partai politik sebagai agen yang menghubungkan antara masyarakat dan pemerintah dikaji dalam teoris situasi historik.[14]

Kekerasan

[sunting | sunting sumber]

Kekerasan dapat menjadi salah satu metode dalam pembentukan legitimasi di suatu negara. Pelakunya adalah para pemimpin negara yang menguasai aparatur sipil negara yang meliputi personil militer dan polisi. Tujuan pengadaan kekerasan umumnya digunakan untuk legitimasi terhadap suatu tatanan sosial atau politik tertentu. Pertentangan dengan kelompok kekerasan lainnya dilakukan dengan menggabungkan tindakan negosiasi, delegasi tugas, pencaplokan, pemberangusan atau pemusanahan. Negara yang menjadi agen kekerasan umumnya bertujuan hanya untuk memperoleh kekuasaan dengan sifat yang dominan.[15]

Penerapan

[sunting | sunting sumber]

Kekuasaan negara

[sunting | sunting sumber]

Negara merupakan suatu organisasi kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki oleh negara dapat diperoleh jika warga negara memberikan legitimasi atas kekuasaan tersebut. Legitimasi ini dapat diberikan jika pemerintah suatu negara dibentuk bersama oleh warga negara. Selain itu, pemerintah suatu negara juga memperoleh legitimasi selama setiap keputusan yang dihasilkannya sebagai bentuk kewenangan yang diberikan kepadanya sesuai pula dengan keinginan warga negaranya.[16]

Rekayasa publik

[sunting | sunting sumber]

Rekayasa publik dapat dibuat menggunakan ilmu sebagai legitimasi konseptual. Sistem politik yang dapat menghasilkan rekayasa publik adalah sistem demokrasi. Potensi rekayasa publik pada masa modern dapat terjadi melalui rekayasa politik karena demokrasi identik dengan ilmu modern dan politik modern. Dasar teori dan konsep ideal dari demokrasi dibentuk oleh ilmu politik modern. Rekayasa publik sebagai bagian dari rekayasa politik demokrasi terbentuk sebagai hasil dari produk ilmu politik modern.[17]

Gerakan sosial

[sunting | sunting sumber]

Gerakan sosial dapat memperoleh legitimasi secara tidak langsung dari teori-teori gerakan sosial. Legitimasi ini dibentuk oleh para pemikir sosialisme melalu perspektif mengenai gerakan sosial. Pembentukan legitimasi atas gerakan sosial dilakukan melalui penerbitan jurnal ilmiah dengan popularitas yang tinggi.[18]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Ramlan, Surbakti (2007). Memahami Ilmu Politik (PDF). Jakarta: Grasindo. hlm. 92. 
  2. ^ Firmanzah (2008). Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 21. ISBN 978-979-461-680-2. 
  3. ^ a b Duryat, M., Abdurohim, S., dan Permana, A. (2021). Mengasah Jiwa Kepemimpinan: Peran Organisasi Kemahasiswaan. Indramayu: Penerbit Adab. hlm. 19. ISBN 978-623-6233-61-0. 
  4. ^ a b Maliki, Zainuddin (2018). Sosiologi Politik: Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 11. ISBN 979-420-721-7. 
  5. ^ Haboddin, Muhtar (2017). Memahami Kekuassan Politik. Malang: UB Press. hlm. 56. ISBN 978-602-432-177-2. 
  6. ^ Karianga, Hendra (2017). Carut-marut Pengelolaan Keuangan Daerah di Era Otonomi Daerah: Perspektif Hukum dan Politik. Jakarta: Kencana. hlm. 189. ISBN 978-602-422-199-7. 
  7. ^ Wiradnyana, Ketut (2018). Michel Foucault: Arkeologi Pengetahuan dan Pengetahuan Arkeologi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 59. ISBN 978-602-433-612-7. 
  8. ^ Ramiyanto dan Karyadin (2020). Ilmu Negara. Sleman: Deepublish. hlm. 51. ISBN 978-623-02-0637-5. 
  9. ^ Suadi, Amran (2019). Filsafat Hukum: Refleksi Filsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, dan Etika. Jakarta: Kencana. hlm. 146. ISBN 978-623-218-070-3. 
  10. ^ Magnis-Suseno, Franz (2016). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 360. ISBN 978-602-03-3470-7. 
  11. ^ Mustofa, Syahrul (2019). Yudisialiasi Politik: Pertempuran dan Pergeseran Kekuasaan Politik dan Hukum dalam Judicial Review. Guepedia. hlm. 15. ISBN 978-623-229-120-1. 
  12. ^ Sulaiman (2016). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi (PDF). Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh. hlm. 31. ISBN 978-602-1620-46-5. 
  13. ^ Isharyanto (2016). Ilmu Negara (PDF). Karanganyar: Oase Pustaka. hlm. 154–155. ISBN 978-602-6259-57-8. 
  14. ^ Taufikurrahman (2017). Moh., Afandi, ed. Delegitimasi Partai Politik atas Hasil Sistem Pemilu Proporsional Terbuka. Pamekasan: Duta Media Publishing. hlm. 43. ISBN 978-602-6546-20-3. 
  15. ^ Wilson, Ian Douglas (2019). Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru. Diterjemahkan oleh Suryana, Mirza Jaka. Tangerang Selatan: CV. Marjin Kiri. hlm. 8. ISBN 978-979-1260-83-1. 
  16. ^ Thalib, Abdul Rasyid (2006). Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. PT Citra Aditya Bakti. hlm. 85. ISBN 979-414-936-5. 
  17. ^ Yuliantoro, M. Najib (2016). Setyawibawa, FX., ed. Ilmu dan Kapital: Sosiologi Ilmu Pengetahuan Pierre Bourdieu (PDF). Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius. hlm. 103–104. ISBN 978-979-21-4583-0. 
  18. ^ Rusmanto, Joni (2012). Gerakan Sosial: Sejarah Perkembangan Teori antara Kekuatan dan Kelemahannya (PDF). Sidoarjo: Zifatama Publishing. hlm. 24. ISBN 978-602-18597-8-0. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
  • (Prancis) Terry Olson, Paul Cassia, Le droit international, le droit européen et la hiérarchie des normes, Presses Universitaires de France, Mars 2006. ISBN 2-13-055494-6