Jizyah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jizyah atau jizya (Arab: جزْية; Bahasa Turki Utsmaniyah: cizye) adalah pajak per kapita yang diberikan oleh penduduk non-Muslim pada suatu negara di bawah peraturan Islam. Sebagai imbalannya, pihak non-Muslim yang membayar Jizyah kepada negara dibiarkan untuk mempraktikkan ibadah mereka, untuk menikmati sejumlah kebebasan komunal tertentu, berhak mendapatkan keamanan dan perlindungan negara atas agresi dari luar, juga pembebasan dari wajib militer (Jihad) dan Zakat yang dikenakan hanya kepada umat muslim.[1][2] Tujuannya adalah sebagai bentuk perlindungan bagi penduduk dari negeri yang kalah dalam perang. Perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap harta, keyakinan, kehormatan, kemuliaan dan perolehan hak-hak sebagai rakyat dalam pemerintahan Islam oleh umat muslim. Jizyah merupakan bukti perjanjian perdamaian dan perlindungan antara umat muslim yang memenangkan peperangan di suatu negeri yang bukan muslim.[3] Istilah jizyah ada pada Qur'an At-Taubah:29.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Khalid bin Walid dan penduduk Quss An-Nathif[sunting | sunting sumber]

Khalid bin Walid dan penduduk Quss An-Nathif telah menetapkan perjanjian perlindungan dengan pembayaran jizyah. Aturan perjanjian ini adalah pembayaran jizyah hanya dilakukan jika Khalid bin Walid dan pasukannya dapat melindungi penduduk Quss An-Nathif. Jika Khalid bin Walid dan pasukannya tidak dapat melindungi penduduk Quss An-Nathif, maka pembayaran jizyah tidak dilakukan hingga mereka mampu melindungi penduduk.[3]

Pemberlakuan[sunting | sunting sumber]

Jizyah bukan bentuk eksploitasi dari umat muslim kepada penduduk dari suatu negeri yang ditaklukkan. Pemberlakuan jizyah tidak bersifat eksploitasi dan serakah. Kewajiban untuk membayar jizyah hanya berlaku kepada para kombatan dan penduduk yang mampu untuk bekerja. Pembayaran jizyah juga dalam nilai yang terhitung sedikit. Pembayaran dibagi menjadi tiga tingkatan. Bagi orang kaya, jizyah yang dibayarkan sebanyak 48 dirham dalam setahun. Ini merupakan pembayaran jizyah dengan tingkatan tertinggi. Tingkatan menengah diberlakukan kepada para pedagang dan petani. Jumlah jizyah yang dibayarkan sebesar 24 dirham dalam setahun. Tingkatan terendah diberlakukan kepada para pekerja yang memiliki pekerjaan profesional. Pembayaran jizyah bagi mereka hanya 12 dirham.[4] Jizyah tidak diwajibkan kepada penduduk yang terbebani olehnya. Kelompok penduduk ini meliputi fakir, anak kecil, perempuan, pendeta dan agamawan, serta orang yang mengalami kecacatan dan menderita suatu penyakit.[5]

Hak yang diperoleh[sunting | sunting sumber]

Dalam dunia militer Islam, Jizyah sama dengan uang pengganti wajib militer bagi penduduk yang bukan warga negara resmi. Selain memperoleh perlindungan dari umat muslim, penduduk yang membayar jizyah juga dibebaskan dari wajib militer. Sebaliknya, kafir zimmi akan dibebaskan dari jizyah jika ia dengan sukarela mengikuti wajib militer.[5]

Pengembalian[sunting | sunting sumber]

Jizyah harus dikembalikan jika pasukan muslim tidak lagi dapat memberikan perlindungan kepada penduduk suatu negeri yang bukan muslim. Pengembalian jizyah pernah dilakukan oleh para pemimpin pasukan umat muslim antara lain Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Khalid bin Walid mengembalikan jizyah kepada penduduk Homs, sedangkan Abu Ubaidah bin al-Jarrah mengembalikan jizyah kepada penduduk Damaskus. Pada peperangan yang terjadi di wilayah Syam, para pemimpin pasukan muslim mengembalikan jizyah kepada para penduduknya karean harus meninggalkan wilayah tersebut.[3]

Dianggap tak lagi berlaku[sunting | sunting sumber]

Ulama Al Azhar Mesir Dr. Abdul Halim Manshur mengatakan bahwa alasan mendasar kewajiban pajak jizyah bagi non-Muslim adalah sebagai pengganti dari kewajiban non-Muslim untuk membela dan menjaga negara Islam, karena tugas membela dan menjaga negara Islam di masa lalu tidak dibebankan kepada non-Muslim melainkan hanya dibebankan kepada umat Islam. Jika melihat situasi zaman sekarang, jizyah tidak lagi bisa dibebankan kepada non-Muslim di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, karena di era modern kewajiban membela negara tidak hanya dibebankan kepada umat Islam melainkan kepada seluruh warga negara dengan berbagai latar belakang agama. Ia menegaskan bahwa sistem negara di era modern yang mengedepankan asas kesetaraan antara Islam dan non-Islam maka hukum penarikan pajak jizyah tidak bisa lagi diterapkan.[6]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ John Louis Esposito, Islam the Straight Path, Oxford University Press, 15 Jan, 1998, hal. 34.
  2. ^ Ali, Abdullah Yusuf (1991). The Holy Quran. Madinah: King Fahd Holy Qur-an Printing Complex, hal. 507
  3. ^ a b c Khaththab 2019, hlm. 81.
  4. ^ Khaththab 2019, hlm. 81-82.
  5. ^ a b Khaththab 2019, hlm. 82.
  6. ^ Tholhah, Muhammad (23 Februari 2020). "Ketika Ulama Mesir Menolak Seruan Menarik Pajak Jizyah untuk Non-Muslim". NU. Diakses tanggal 29 April 2024. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Khaththab, Mahmud Syait (2019). Rasulullah Sang Panglima: Meneladani Strategi dan Kepemimpinan Nabi dalam Berperang. Sukoharjo: Pustaka Arafah. ISBN 978-602-6337-06-1. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]