Muhammadiyah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 5 Juni 2023 11.41 oleh Rahman Wardantz (bicara | kontrib) (Membalikkan revisi 23626888 oleh Rahman Wardantz (bicara))
Persyarikatan Muhammadiyah
محمدية
Berkas:Muhammadiyah.svgPersyarikatan Muhammadiyah
Bendera Persyarikatan Muhammadiyah
Tanggal pendirian18 November 1912; 111 tahun lalu (1912-11-18)
PendiriK.H. Ahmad Dahlan
Didirikan diYogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Hindia Belanda
TipeOrganisasi keagamaan
TujuanSosial-keagamaan, ekonomi, pendidin, dan kesehatan
Kantor pusat
Wilayah layanan
Asia Tenggara
Jumlah anggota
60.000.000 kader
Haedar Nashir
Sekretaris Jenderal
Abdul Mu’ti
AfiliasiModernisme Islam (Islam Sunni)[2]
Situs webmuhammadiyah.or.id

Muhammadiyah (Arab: محمدية, translit. muḥammadiyyah, har. 'pengikut Muhammad'); secara resmi bernama Persyarikatan Muhammadiyah, adalah sebuah organisasi Islam non-pemerintah di Indonesia dan salah satu yang terbesar di negara itu.[3] Muhammadiyah atau Moehammadijah adalah nama gerakan Islam yang lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah). Pendiri Muhammadiyah adalah seorang kyai yang dikenal alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan, yang sebelumnya atau nama kecilnya bernama Muhammad Darwisy.[4]

Muhammadiyah menganjurkan dibukanya keran ijtihad sebagai bentuk penyesuaian detail hukum Islam dengan perkembangan jaman dengan Ideologi mengedepankan Pancasila di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini merupakan antitesis dari pemikiran kebanyakan muslim di masa kolonial yang mencukupkan diri dengan ijtihad ulama 4 mazhab dan menutup diri dari kemungkinan pembaharuan ijtihad.[5]

Muhammadiyah memainkan peran penting dalam perluasan doktrin teologis salafi di Indonesia.[6] Salafiyah merupakan gerakan reformasi di dalam Islam Sunni.[7]. Sejak didirikan, Muhammadiyah telah mengadopsi platform reformis yang memadukan pendidikan agama dan pendidikan modern,[8] terutama sebagai cara untuk mempromosikan mobilitas Muslim ke atas menuju komunitas 'modern' dan untuk memurnikan Islam Indonesia dari praktik sinkretis lokal.[8] Sebagai organisasi modernis, Muhammadiyah masih terus mendukung budaya lokal dan mempromosikan toleransi beragama di Indonesia, sementara beberapa perguruan tinggi sebagian besar dimasuki oleh non-Muslim, terutama di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua. Kelompok ini juga menjalankan rantai besar rumah sakit amal,[3] dan mengoperasikan 162 perguruan tinggi hingga saat ini.[9]

Pada tahun 2019, Muhammadiyah dianggap sebagai organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia dengan 60 juta anggota.[5] Meskipun para pemimpin dan anggota Muhammadiyah sering terlibat aktif dalam membentuk politik di Indonesia meskipun Muhammadiyah bukanlah sebuah partai politik. Muhammadiyah lebih mengabdikan dirinya untuk kegiatan sosial dan pendidikan.[10][11]

Sejarah

Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1937-1943, duduk: (dari kiri ke kanan) KH. Faried Ma'ruf, KH. Mas Mansur, H. Hasyim. Berdiri: (dari kiri ke kanan) H. Moehadie, HA. Hamid, RH. Durie, H. Abdullah, KH. Ahmad Badawi, H. Basiran Noto.
Poster Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 8–16 Mei 1931 menampilkan sosok Pangeran Diponegoro
Pusat Dakwah Muhammadiyah di Jakarta
Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta

Pada tanggal 18 November 1912 (8 Zulhijah 1330 H), Ahmad Dahlan—pejabat pengadilan Keraton Yogyakarta[12][13] dan seorang Ulama Muslim terpelajar lulusan dari Makkah—mendirikan organisasi Muhammadiyah di Kampung Kauman, Yogyakarta. Ada beberapa motif yang melatarbelakangi berdirinya gerakan ini. Di antara yang penting adalah keterbelakangan masyarakat Muslim, banyaknya muslim yang masih menyukai klenik dan banyaknya Kristenisasi di kawasan penduduk miskin. Ahmad Dahlan, yang banyak dipengaruhi oleh reformis Mesir Muhammad Abduh, menganggap modernisasi dan pemurnian agama dari praktik sinkretis sangat vital dalam reformasi agama. Oleh karena itu, sejak awal Muhammadiyah sangat perhatian dalam memelihara tauhid dan menyempurnakan monoteisme di masyarakat.

Dari tahun 1913 hingga 1918, Muhammadiyah mendirikan lima sekolah Islam. Pada tahun 1919 sebuah sekolah menengah Islam, Hooge School Muhammadiyah didirikan.[14] Dalam mendirikan sekolah, Muhammadiyah menerima bantuan yang signifikan dari Boedi Oetomo, sebuah gerakan nasionalis penting di Indonesia pada paruh pertama abad kedua puluh, yang menyediakan guru.[15] Muhammadiyah pada umumnya menghindari politik. Tidak seperti mitra tradisionalisnya, Nahdlatul Ulama dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Muhammadiyah tidak pernah membentuk partai politik. Sejak didirikan, ia telah mengabdikan dirinya untuk kegiatan pendidikan dan sosial.

Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui salat istikharah (Darban, 2000: 34).[16] Pada masa kepemimpinan Kyai Dahlan (1912–1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatra Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatra Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.

Pada tahun 1925, dua tahun setelah wafatnya KH. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah hanya memiliki 4.000 anggota tetapi telah membangun 55 sekolah dan dua klinik di Surabaya dan Yogyakarta.[17] Setelah Abdul Karim Amrullah memperkenalkan organisasi kepada etnis Minangkabau, sebuah komunitas Muslim yang dinamis, Muhammadiyah berkembang pesat. Pada tahun 1938, organisasi tersebut mengklaim 250.000 anggota, mengelola 834 masjid, 31 perpustakaan, 1.774 sekolah, dan 7.630 ulama. Pedagang Minangkabau menyebarkan organisasi ke seluruh Indonesia.[18]

Selama pergolakan dan kekerasan politik 1965–1966, Muhammadiyah menyatakan bahwa pemusnahan Partai Komunis Indonesia merupakan Perang Jihad, pandangan yang didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya.[19] (Lihat juga: Pembantaian di Indonesia 1965–1966). Selama peristiwa seputar jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998, beberapa bagian Muhammadiyah mendesak pimpinan untuk membentuk sebuah partai. Oleh karena itu, pimpinan, termasuk ketua Muhammadiyah, Amien Rais, mendirikan Partai Amanat Nasional. Meski mendapat dukungan besar dari anggota Muhammadiyah, partai ini tidak memiliki hubungan resmi dengan Muhammadiyah. Pimpinan Muhammadiyah mengatakan anggota organisasinya bebas untuk bersekutu dengan partai politik pilihan mereka, asalkan partai tersebut memiliki nilai-nilai yang sama dengan Muhammadiyah.[20]

Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha K.H. Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang menurut anggapannya, banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam penerbitan majalah Suara Muhammadiyah pada 1915,[21][22] pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hogere School Moehammadijah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Moehammadijah (sekarang dikenal dengan Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta khusus laki-laki, yang bertempat di Jalan Letjend S. Parman 68, Patangpuluhan, Wirobrajan dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta khusus perempuan, di Suronatan Yogyakarta yang keduanya sekarang menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah) yang bertempat di Yogyakarta dan dibawahi langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Muhammadiyah Masa ke Masa

Periode Kepemimpinan Ahmad Dahlan

Selama empat dekade dari 1901 sampai tahun 1942, Pemerintah kolonial Hindia Belanda melaksanakan Politik Etis atau Politik Balas Budi. Kebijakan ini terdiri dari tiga fokus: irigasi, emigrasi, dan edukasi.

Terbukanya ruang bagi pribumi untuk mengikuti pendidikan atau menyelenggarakan pendidikan perlahan dimanfaatkan oleh Muhammadiyah.

Pada Rapat Anggota Muhammadiyah tanggal 17 Juli 1920 di Gedung Pengurus Utama (Hoofdbestuur) Muhammadiyah Kauman, Yogyakarta, Kiai Dahlan membentuk empat departemen pertama di Muhammadiyah beserta pemangku amanahnya, yakni Bagian Tabligh yang diketuai oleh Haji Fachruddin, Bagian Taman Pustaka dengan Haji Mochtar, Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem dengan Haji Syujak dan Bagian Sekolahan dengan Kyai Hisyam.

Memperoleh amanah di bidang sekolahan, Kiai Hisyam saat itu langsung menyampaikan visinya terkait target memajukan pendidikan bangsa dan pendidikan Muhammadiyah di masa depan.

“Saya akan membawa kawan-kawan kita pengurus bagian sekolahan berusaha memajukan pendidikan dan pengajaran sampai dapat menegakkan gedung universiteit Muhammadiyah yang megah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan maha-maha guru Muhammadiyah guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya."[1]

Periode Kepemimpinan K.H. Ibrahim (1923 – 1932)

Sebelum Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan kepada para sahabatnya agar tongkat kepemimpinan Muhammadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim, adik ipar KHA. Dahlan. Mula-mula K.H. Ibrahim yang terkenal sebagai ulama besar menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat itu. Namun, atas desakan sahabat-sahabatnya agar amanat pendiri Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya dia bisa menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja‘, 1933: 232).[2]

Pada masa ini Muhammadiyah makin berkembang dan meluas hingga luar Jawa. Lalu terbentuk Majelis Tarjih, mengadakan penelitian pengembangan hukum-hukum agama. Para pemuda mendapat bentuk organisasi yang nyata. Beridiri Nasyiyatul Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah.

Pada tahun 1923, Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah kemudian digantikan Sutan Mansur. Sutan Mansur juga memimpin Muhammadiyah Cabang Pekajangan, Kedung Wuni, dan tetap aktif mengadakan tabligh dan menjadi guru agama.

Pada akhir 1925, Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di ranah Minang, Hoofdbestuur Muhammadiyah mengutus Sutan Mansur untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di bumi Minangkabau. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami perkem­bangan pesat.[3]

Pada tahun 1927, Fakhruddin dan Sutan Mansur melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui kebijaksanaan dan kepiawaiannya dengan cara mendekati raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi montir, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe.

Pada tahun 1929, Muhammadiyah berhasil mendirikan Cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai.

Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muham­madiyah.

Pada 1932, Muhammadiyah telah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 HIS dan 25 Schakelschool.

Periode Kepemimpinan K.H. Hisyam (1932 – 1936)

Kyai Haji Hisyam dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah salah satu murid langsung K.H. Ahmad Dahlan, yang juga adalah seorang abdi dalem ulama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ia memimpin Muhamadiyah hanya selama tiga tahun. Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.

Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarah­kan pada masalah pendidikan dan penga­jaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.

Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Qur’an Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Bijbel.  

Kebijakan K.H. Hisyam dalam memimpin Muhammadiyah saat itu diarahkan pada moder­nisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang ingin putra-putrinya mendapatkan pendidikan umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.

Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah K.H. Hisyam mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima bantuan keuangan dari pemerintah kolonial, walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebab­kan K.H. Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarikat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif. Namun, Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah itu merupakan hasil pajak yang diperas dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak, maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah Kristen yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.

Di sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupa­kan lembaga pendidikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan. Berkat jasa-jasa K.H. Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, ia mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde van Oranje Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.[4]

Periode Kepemimpinan K.H. Mas Mansur (1936 – 1942)

Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada Oktober 1937, Mas Mansur resmi ditunjuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Di bawah kepemimpinan Mas Mansur, Persyarikatan Muhammadiyah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik dalam dakwah, pendidikan, kaderisasi, maupun dalam pergerakan nasional.

Setelah menjadi Ketua PB Muhammadiyah, Mas Mansur mulai melakukan gebrakan politik yaitu dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Selain didominasi oleh aktivis Muhammadiyah, dalam MIAI juga ada Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasbullah yang keduanya tokoh Nahdlatul Ulama (NU).

Pada tahun 1938, Mas Mansur memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Sukiman Wiryasanjaya. Menurut sebagian kalangan, pendirian ini dilakukan sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).

Pada 19 Maret 1939, Mas Mansur dan R. Wiwoho mewakili partai tersebut untuk mendirikan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) bersama kaum pergerakan kebangsaan di Jakarta.

Sebagai organisasi federasi partai politik, GAPI secara aktif menuntut kepada Hindia Belanda untuk menerapkan pemerintahan demokratis bagi Indonesia. Berdasarkan anggaran dasar organisasinya, GAPI memiliki tujuan untuk: Menyatukan partai politik Indonesia dalam perjuangan kedaulatan pemerintahan Indonesia; Demokratisasi pemerintahan Indonesia; Mencegah konflik antar partai politik Indonesia dalam melakukan perjuangan kemerdekaan.

Mas Mansur pernah menolak tawaran menjadi Ketua Hod van Islamietische Zaken, yaitu lembaga yang bertugas memberikan nasihat-nasihat keagamaan Islam kepada Pemerintah Hindia Belanda. Meski akan memperoleh gaji sebesar seribu gulden setiap bulan, setara gaji bupati kala itu, ia tetap tegak pada pendirian tidak ingin menjadi alat pemerintahan penjajah. [5]

Dalam periode ini dirumuskan “Masalah Lima” mengenai dunia, agama, qiyas, sabilillah dan ibadah. Dan disusun pula “Langkah Dua Belas”:

Sukarno aktif menjadi Ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah dan Direktur Sekolah Menengah Muhammadiyah Bengkulu ketika menjalani pengasingan dari Ende ke Bengkulu pada 14 Februari 1938.

Sukarno mendebat penggunaan tabir di suatu rapat Muhammadiyah Bengkulu pada bulan Januari 1939. Sikap protes Sukarno ditunjukkan dengan cara walk out (meninggalkan) rapat tersebut.

Dalam protesnya, Sukarno menganggap penggunaan tabir melambangkan cara pandang Islam yang mundur. Tabir sendiri adalah pembatas perempuan dan laki-laki yang membuat jamaah perempuan tidak dapat melihat penceramaah atau jamaah lain dari lawan jenis.

pasca kejadian itu, Sukarno bertemu dengan tokoh Muhammadiyah Haji Syudjak dan Samaun Bakri. Keduanya sepakat dengan pandangan Sukarno. Haji Syudjak sendiri menyebut tabir memang tidak diperlukan dalam rapat Muhammadiyah, karena Kiai Ahmad Dahlan pun berpendapat demikian.

Protes Sukarno terhadap masalah tabir nyatanya karena Sukarno menaruh harapan besar untuk agar Muhammadiyah berhasil mengangkat umat dari pandangan kolot yang membelenggu untuk maju. Pada wawancara dengan koresponden Surat Kabar Antara yang dimuat di Surat Kabar Pandji Islam tahun itu, Sukarno berkata:

“… Saya adalah murid dari Historische School van Marx. Hal tabir itu saya pandang historisch pula, zuiver onpersoonlijk (bukan hal personal). Tampaknya seperti soal kecil, soal kain yang remeh. Tapi pada hakekatnya, soal mahabesar dan mahapenting, soal yang mengenai segenap maatsschappelijke positie (posisi sosial) kaum perempuan. Saya ulangi: tabir ialah simbol dari perbudakan kaum perempuan! Meniadakan perbudakan itu adalah pula satu historische plicht (tugas sejarah)!”

Tak cukup dengan uraian dari Haji Syudjak yang dikenal sebagai periwayat KH. Ahmad Dahlan, Sukarno meminta ketegasan soal hukum Islam dan pandangan Muhammadiyah ke tokoh Muhammadiyah lain yang juga sahabatnya, Kiai Haji Mas Mansur.

Dalam pandangannya Sukarno menganggap perintah Allah menundukkan pandangan (ghaddul bashar) sudah cukup sebagai pedoman dalam relasi muamalah laki-laki dan perempuan sehingga tidak perlu tambahan seperti tabir yang justru membuat perempuan terkungkung.

Surat Terbuka Sukarno bertajuk “Minta Hukum yang Pasti dalam Soal ‘Tabir” dimuat dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi (1959).

Kejadian lain pada periode ini, Pada Mei tahun 1940, Kasman singodimejo masuk penjara setelah meneriakkan kalimat “Untuk Indonesia Merdeka!” di ujung pidato dalam Konferensi Muhammadiyah se-Jawa Barat di Bogor.

Ketika Jepang menggantikan kekuasaan Belanda atas Nusantara, tepatnya pada tanggal 16 April 1943, dibentuklah organisasi yang bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Lapangan Ikada, Jakarta.

Mas Mansoer bersama dengan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantoro ditunjuk sebagai pimpinan PUTERA yang kemudian dikenal dengan sebutan Empat Serangkai.  Keempat tokoh ini dianggap Jepang sebagai kelompok yang paling berpengaruh di Indonesia.

Keterlibatannya dalam Empat Serangkai mengharuskan Mas Mansoer pindah ke Jakarta, sehingga Ketua PB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Kepemimpinan Ki Bagus Hadi Kusumo (1944-1955)

Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah adalah pada saat terjadi pergo­lakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II. Kendati Ki Bagus Hadikusuma menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muham­madiyah ketika diminta oleh Mas Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi Ketua PB Muhammadiyah ketika Mas Mansur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942.[6]

Pada 10 November 1943, Ki Bagus Hadikusumo, Soekarno dan Moh. Hatta mendapatkan undangan menghadap Kaisar Jepang. Kunjungan tiga delegasi Indonesia ke Jepang tersebut berjalan selama 17 hari. Pertemuan utamanya dilakukan untuk mempercepat proses kemerdekaan Indonesia.

Setelah sampai di Jepang, tiga utusan Indonesia ini diminta mengikuti sembahyang di Kuil upacara termulia bersama Kaisar Jepang. Salah satu rukun upacara sakral itu adalah harus meminum air sake (arak) dalam cangkir.

Ki Bagus Hadikusumo tidak mau minum sakai [sake, red] karena ajaran agama Islam mengharamkan minuman keras. Kemudian, Ki Bagus Hadikusumo menumpahkan arak itu ke lantai (karena tangannya gemetar). Tentu saja hadirin menjadi berdebar-debar, termasuk pembesar-pembesar militer Jepang,

Kekhawatiran hadirin tentu saja berkaitan dengan sikap keras prajurit Jepang untuk memenggal siapa pun yang menolak perintah. Apalagi yang ditolak Ki Bagus bukan permintaan biasa, melainkan dari seorang Kaisar.

Ki Bagus Hadikusumo menjelaskan alasannya menolak minum sake kepada Kaisar dan pejabat militer Jepang.

Atas kepandaiannya memberi penjelasan, Kaisar Hirohito pun tidak marah dan merasa takjub sehingga menghadiahkan cangkir dan cawan yang dipakai tempat Sake kepada Ki Bagus Hadikusumo.

Tak hanya mendapatkan hadian cawan, Ki Bagus Hadikusumo bersama Soekarno dan Hatta mendapatkan kehormatan untuk bertemu langsung dan berjabatan tangan dengan Kaisar.

Ki Bagus, Soekarno dan Hatta juga mendapatkan penghargaan Bintang Ratna Suci dari Kaisar. Soekarno mendapatkan lencana kelas dua (Kun Nito Juiho-Sho), sementara Ki Bagus Hadikusumo dan Hatta mendapatkan lencana kelas tiga (Kun Santo Juiho-Sho).[7]

Ki Bagus Hadikusuma gigih menentang instruksi “Sei Kerei” dari Jepang. Sei Kerei adalah membungkukkan badan ke arah timur (Negeri Jepang) menghormati Dewa Matahari, sebagai “Dewa penitis para Kaisar Jepang”. Upacara ini wajib dilakukan para siswa setiap pagi.

Melalui debat yang seru dengan Pemerintah Jepang,  akhirnya pemerintah Jepang memberikan dispensasi. Khusus bagi semua sekolah Muhammadiyah untuk tidak melakukan upacara Sei Kerei. Ki Bagus Hadikusumo juga tercatat sebagai anggota Chuo Sangiin (Dewan Penasehat Pusat) buatan Jepang.

Memasuki masa orde lama awal, Persyarikatan Muhammadiyah masih berada dibawah kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo.

Muhammadiyah ikut mendirikan Pasukan Hizbullah Sabilillah, Majelis Syurau Muslimin Indonesia (Masjumi) pengganti MIAI, dan mendirikan Asykar Perang Sabil (APS). Ketika opsir Jepang mewakili Indonesia bagian Timur minta penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang sudah disepakati untuk pembukaan UUD 1945, dan mengancam akan memisahkan diri dari RI, maka ki Bagus Hadikusuma mencarikan solusi dengan mengganti dengan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pada Sidang kedua BPUPKI 10-17 Juli 1945, salah satu hal yang menyita perhatian adalah upaya Ki Bagus untuk meminta Ketua Panitia UUD Ir. Soekarno mengubah frasa dalam bagian akhir naskah preambul Pernyataan Kemerdekaan yang berbunyi  “Dengan berdasar kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk diperjelas menjadi “Berdasar kepada Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam” atau dihilangkan sama sekali. Soekarno bergeming untuk menerima usulan Ki Bagus yang disampaikan beberapa kali.[8]

Sambil menggebrak meja, anggota BPUPKI lainnya Abdul Kahar Muzakir mendukung pernyataan Ki Bagus agar potensi mudharat atas kalimat tersebut dipertimbangkan sebaik mungkin. Tujuan Ki Bagus semata demi menjaga rasa keadilan di antara umat beragama dan menjaga persatuan bangsa Indonesia, selain menghindari kesan yang tidak baik dan adanya infiltrasi dari agen-agen musuh meski pada akhirnya, usulan tersebut tidak diterima dan perdebatan diakhiri pada 16 Juli 1945, demikian yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (1995).

Bagaimanapun Ki Bagus tetaplah murid KH Ahmad Dahlan yang ingin memperjuangkan aspirasi hukum Islam di dalam negara sebagaimana yang telah dilakukannya dewan Priestraad Hindia-Belanda, meneruskan perjuangan gurunya. Dirasa tidak ada jalan lain untuk meninggikan kedudukan Hukum Islam, Ki Bagus akhirnya menerima tujuh kata yang pada awalnya tidak disepakatinya tersebut dan berusaha mempertahankannya. Konsekuensi yang tidak diinginkannya justru datang satu hari setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia menjelang penetapan UUD oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.

Pernyataan tersebut dianggap menusuk hati orang non-muslim meskipun salah satu anggota Panitia Sembilan yang beragama Kristen, AA Maramis tidak merasa demikian dan mengganggap wajar bagi Indonesia yang 90 persen penduduknya adalah umat Islam. Tidak tanggung-tanggung, ancaman yang diberikan jika pemerintah tidak menghapus kalimat tersebut adalah lepasnya wilayah timur dari Republik Indonesia. Dalam suasana yang genting sehari setelah Kemerdekaan, kunci utama untuk memperbolehkan tujuh kata yang telah disepakati apakah boleh dihapus atau tidak adalah Ki Bagus Hadikusumo.

Soekarno mengutus Hatta dan Mr. Teuku Mohammad Hasan untuk menemui Ki Bagus yang pada akhirnya pulang dengan tangan kosong, menyusul demikian KH Wahid Hasyim yang bernasib sama. Ki Bagus pada akhirnya luluh setelah Kasman Singodimedjo datang membujuk dalam bahasa Jawa halus.

“Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?”, “Kiai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang, tenteram, diridhai Allah swt,” dan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu pun dihapus.[9]

Pada Sidang Tanwir 1951 di Yogyakarta, diputuskan antara lain, Muhammadiyah tetap konsisten tidak akan berubah menjadi partai politik, “Sekali Muhammadiyah Tetap Muhammadiyah”. Selain itu juga menetapkan batas-batas otonomi Aisyiyah.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tahun 1945, masalah utama yang tersisa adalah pengakuan kedaulatan. Tanpa pengakuan dari negara lain yang telah berdaulat, proklamasi sebuah bangsa dianggap tidak berkekuatan hukum di mata internasional, hanya dianggap main-main belaka.

Memenuhi kebutuhan itu, tiga tokoh Muhammadiyah yakni Haji Agus Salim (ketua), H.M. Rasjidi, A. R Baswedan bertandang ke dunia Arab sebagai tim delegasi Pemerintah Indonesia. Selain tiga nama tersebut, turut bergabung Nazir St. Pamuntjak dan Abdul Kadir sebagai anggota. Misi diplomatik yang dilakukan selama April-Juli 1947 itu berhasil menggaet dukungan dari Mesir, Suriah, Lebanon, Arab Saudi, dan Yaman. [10]

Pada Sidang Tanwir di Bandung tahun 1952, ditetapkan mempertahankan Muhammadiyah menjadi anggota Istimewa Partai Masjumi, dan mengadakan peremajaan dilingkungan Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di Solo, 1953, diputuskan anggota Muhammadiyah hanya boleh memasuki partai yang berdasarkan Islam.

Kasman menyesal karena tidak terwujudnya janji yang dia jaminkan kepada Ketua PP Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo saat merayunya mau menghapus tujuh kata Piagam Jakarta.

Soekarno sendiri menjanjikan akan mengakomodir kembali tujuh kata itu dalam sidang MPR pada Februari 1946. Hingga Ki Bagus wafat pada 4 November 1954, janji tersebut belum terwujud meski Kasman menagih secara keras pada Sidang Konstituante 2 Desember 1957, termasuk hingga wafatnya Soekarno pada tahun 1970.

“Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” ucap Kasman sambil menangis di depan anggota Muhammadiyah Lukman Harun.[11]

Periode Kepemimpinan AR Sutan Mansur (1953-1959)

Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau lebih dikenal sebagai AR Sutan Mansur terpilih sebagai Ketua Pusat Pimpinan (PP) Muhammadiyah ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953. Tiga tahun berikutnya yakni pada Kongres ke-33 di Yogyakarta, dia terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah. Lantas pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah sampai 1980.

Tercatat selama masa kepemimpinannya dua periode (1953-1959) dia berhasil merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup usaha-usaha menanamkan dan mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadlu, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi dengan penuh tanggung jawab, memberikan contoh dan suri tauladan kepada umat, konsolidasi administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya manusia, serta membentuk kader handal.

Dalam bidang fikih, Sutan Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah (hukum agama yang tidak pokok). Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan pendapat yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia tidak mengikat anggota Muhammadiyah.[23]

Periode Kepemimpinan H.M. Yunus Anies (1959 – 1962)

Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat Islam. Ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam kondisi demikian itu, Yunus Anis kemudian diminta oleh berbagai kalangan, termasuk A.H. Nasution, agar bersedia menjadi anggota DPR GR yang sedang disusun Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR GR sebenarnya mengundang banyak kritik dari tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, sebab disadari Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi, serta bertindak secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun, kritik itu dijawabnya dengan ungkapan sederhana: bahwa keterlibatannya dalam DPR GR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, melainkan untuk kepentingan jangka panjang. Yakni, mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya kembali UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kemudian menyulut timbulnya berbagai macam peristiwa politik yang tidak sehat. Tak sedikit manuver dan intrik dilakukan oleh partai politik, terutama Partai Komunis Indonesia yang sangat membahayakan bagi instabilitas kondisi politik Tanah Air saat itu. Dalam situasi seperti itulah Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muham­madiyah periode 1959-1962 pada Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta.

Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh K.H. Faqih Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.[12]

Periode K.H. Ahmad Badawi (1962 – 1968)

K.H. Ahmad Badawi dipilih dalam Muktamar ke-35 di Jakarta tahun 1962. Muhammadiyah berjuang keras untuk mempertahankan eksistensinya agar tidak dibubarkan. Karena waktu itu politik dikuasai oleh PKI dan Bung Karno tahun 1965.[24]

Citra politik Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut, karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu berhadapan dengan adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.

Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis. Muham­madiyah sendiri kurang leluasa dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama. Akhirnya, Muhammadiyah mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa Muham­madiyah hanya mampu mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang kurang mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.

Kebijakan Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan Presiden Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama. Perlu diperhatikan bahwa kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan untuk mencari muka Muhammadiyah di mata Presiden. KHA. Badawi sangat bijak dan pintar dalam melobi Presiden dengan nuansa agamis. KHA. Badawi tidak menjilat atau menjadi antek Soekarno, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia memiliki prinsip agama yang kuat, sehingga Muhammadiyah mengamanatkan kepadanya untuk mendekati Soekarno. Kedekatan ini juga dirasakan oleh Soekarno, bahwa dirinya sangat memerlukan nasehat-nasehat agama. Oleh karenanya, bila KHA. Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara bijak, Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan para menterinya pun diminta turut memperhatikan fatwa Kiai Badawi.

Bagi Muhammadiyah, keadaan ini sangat menguntungkan. Fitnahan terhadap Muhammadiyah yang terus jalan harus diimbangi dengan upaya mengikisnya. Soekarno sendiri sadar bahwa Muhammadiyah pada masa itu senafas dan seirama dengan Masyumi, namun ia tetap membutuhkan kehadiran Muhammadiyah. Bahkan Soekarno sepertinya semakin menyukainya untuk balance of power policy (PP. Muhammadiyah, t.t., halaman 6). Iktikad baik Soekarno ini menunjukkan bahwa dirinya sangat memerlukan kehadiran Muham­madiyah untuk mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan PKI yang dirasanya lebih dekat.

Nasehat-nasehat politik yang diberikan Badawi sangat berbobot dipandang dari kacamata Islam. Secara relatif KHA. Badawi bisa mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret terlalu jauh oleh pengaruh komunis yang menggerogoti­nya. Siraman rohani kepada Soekarno disampaikan oleh Kiai Badawi tidak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana ada kesempatan, Kiai Badawi memberikan nasehatnya kepada Presiden.[13]

Pada saatnya berhadapan dengan PKI, KHA Badawi dengan tegas menyatakan bahwa “Membubarkan PKI adalah ibadah”. Pada saat PKI berontak tahun 1965, Muhammadiyah telah siap menghadapinya dengan Tapak Suci (1963) dan pasukan KOKAM (1964), sehingga Muhammadiyah ikut aktif bersama pemerintah yang anti komunis untuk menumpas G.30 S/PKI.

Oleh pemerintah Muhammadiyah diberikan fungsi politik dapat duduk dalam DPR GR dan MPRS, dan para fungsionarisnya juga ada yang didudukkan dalam eksekutif. Namun kemudian, setelah situasi mereda, Muhammadiyah kembali pada khittahnya semula sebagai organisasi sosial keagamaan.

Periode K.H. Faqih Usman (1968-1971)

K.H Faqih Usman dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta untuk periode 1968-1971. Namun, jabatan itu sempat diemban hanya beberapa hari saja, karena ia segera dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober 1968. Selanjutnya kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh Abdul Rozak Fachruddin yang masih sangat muda.[14]

Periode K.H. Abdur Rozak Fachrudin (1968 – 1990)

Pak AR menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak tahun 1968 setelah di-fait accomply untuk menjadi Pejabat Ketua PP Muhammadiyah sehubungan dengan wafatnya K.H. Faqih Usman. Dalam Sidang Tanwir di Ponorogo (Jawa Timur) pada tahun 1969, akhirnya Pak AR dikukuhkan menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Makassar pada tahun 1971. Sejak saat itu ia terpilih secara berturut-turut dalam empat kali Muktamar Muhammadiyah berikutnya untuk periode 1971-1974, 1974-1978, 1978-1985 dan terakhir 1985-1990.[15]

Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tanggal 16-20 Desember 1981 di Yogyakarta, Muhammadiyah mendukung penuh kebijakan pemerintah yang melarang pembuatan dan penjualan minuman keras.[16]

Periode K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA (1990 – 1995)

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta tahun 1995, Azhar Basyir terpilih sebagai Ketua Muhammadiyah menggantikan KH AR Fakhruddin. Berkenaan dengan dimensi tasawuf dalam Muhammadiyah, Azhar Basyir menyatakan bahwa Muhammadiyah juga menganut tasawuf, seperti yang ditulis Buya Hamka dalam buku Tasauf Modern. Menurutnya, orang dapat saja melakukan kegiatan yang berorientasi dunia tanpa meninggalkan dzikir.

Dapatlah dikata, Azhar Basyir merupakan sosok perpaduan ulama dan intelektual. Oleh karenanya, Muhammadiyah di bawah kepemimpinannya cukup intens memunculkan kegiatan yang berbentuk pengajian dan kajian dalam mengurai berbagai persoalan keummatan dan pemikiran keislaman.

Periode Amien Rais (1990 – 1995)

Periode Buya Syafii Maarif (1998 – 2005)

Buya Syafii Maarif menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama tujuh tahun dari 1998-2005.

Periode Din Syamsudin (2005 – 2015)

Periode Haedar Nashir (2015 – 2024)

Musyawarah penetapan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah oleh 13 anggota formatur terpilih akhirnya selesai. Hasilnya, Haedar Nashir terpilih sebagai ketua umum PP Muhammadiyah periode 2015-2020.[17]

Juli 2018

  • 14 Juli 2018, peletakan batu pertama pembangunan gedung dakwah Muhammadiyah Banyumas yang baru, serta gedung utama SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto. [18]

September 2018

  • 12 September 2018, PP Muhammadiyah melawat ke Tiongkok bertemu dengan Menteri Urusan Agama Tiongkok Wang Zuo An. Wang Zuo An sangat tertarik sekali bisa menjalin kerjasama dalam program keagamaan dan pendidikan dengan Muhammadiyah. [19]
  • 23 September 2018, terjadi pengeroyokan sekelompok suporter di area Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), [20] Haedar Nashir menyampaikan : "Hukum harus ditegakkan dengan keras dan tegas. Aparat kepolisian jangan ragu-ragu bertindak meskipun menghadapi kerumunan massa yang anarki, harus berani tegas seperti ketika menghadapi teroris. Pihak PSSI dan Kemenpora juga perlu mengambil langkah tegas dan berani agar mampu memutus matarantai kekerasan sadis di dunia sepakbola Tanah Air. Bila perlu sesuai kewenangan bekukan Liga Indonesia dan Klub yang melibatkan suporter-suporter anarkis itu." disampaikan tanggal 25 September 2018. [21]
  • Muhammadiyah menyampaikan duka atas bencana gempa bumi yang terjadi di Donggala, Palu, dan daerah lainnya di Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Barat (Sulbar) pada Jumat 28 September 2018. [22]

Oktober 2018

  • 10-11 Oktober 2018, Haedar Nashir, Abdul Mu'ti dan Ketua Umum PP 'Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini menghadiri VI Congress of the Leaders of World & Traditional Religions yang diselenggarakan di Kazakhsztan.[23]
  • 14 Oktober 2018, Muhammadiyah bersilaturahim dengan Refat Chubarov, Ketua Majelis Rakyat Tartar Crimea. Refat menyampaikan bahwa telah terjadi intimidasi terhadap muslim Crimea, seperti pembatasan dalam menjalankan ibadah. Bukan hanya itu, mereka juga distigma bahwa muslim Crimea merupakan muslim yang keras dan radikal. Sehingga terjadi pengucilan terhadap mereka. Masalah ini telah berbuntut panjang dan menyalakan semangat perjuangan. Hingga sekarang, masih ada 14 organisasi Islam yang masih memperjuangkan Crimea untuk tetap integral dengan wilayah Ukraina pasca referandum Crimea yang digelar pada tahun 2014 silam, oleh Majelis Umum Persyarikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam kesempatan itu, Refat berharap Indonesia dan Muhammadiyah bisa menyuarakan aspirasi mereka ke mata dunia. Mereka percaya dengan Indonesia karena telah berpengalaman dalam menangani permasalahan dunia Islam serta berhasil melakukan resolusi konflik. Muhammadiyah telah menerima saran dan juga keinginan muslim Crimea untuk dikembalikan pada wilayah Ukraina. Dan berjanji akan menyampaikan masalah yang terjadi kepada pemerintah Indonesia. Muhammadiyah siap membantu anak-anak muslim di sana untuk mendapatkan beasiswa belajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah yang ada di Indonesia.[24]
  • 19 Oktober 2018, Muhammadiyah silaturahim dengan Walikota dan Wakil Walikota Castlefranco.[25]
  • 22 Oktober 2018, terjadi Kasus pembakaran bendera bertuliskan lafadz Laa Ilaaha Illa Allah di Garut menimbulkan reaksi penentangan cukup meluas di tanah air. Beragam pandangan disertai sejumlah aksi bermunculan di daerah. Pro dan kontra pun terjadi di ruang publik. Muhammadiyah sungguh prihatin atas masalah ini dan tidak ingin persoalan ini terus meluas menjadi masalah nasional yang menyebabkan retak di tubuh bangsa. Muhammadiyah percaya umat Islam maupun seluruh masyarakat Indonesia tetap mampu menjaga keutuhan nasional. Muhammadiyah menghimbau agar seluruh umat Islam dan warga bangsa dapat menahan diri dengan tetap bersikap tenang dan tidak berlebihan dalam menghadapi masalah yang sensitif ini. Dan menghimbau kepada warga dan seluruh jajaran di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah agar tidak melakukan aksi-aksi massa dalam merespons masalah pembakaran bendera tersebut. Sebaiknya ikut serta dalam menciptakan suasana tenang, damai, dan kebersamaan untuk terwujudnya kemaslahatan umat dan bangsa. Seraya tetap giat dalam usaha-usaha membimmbing, memberdayakan, dan memajukan masyarakat. Termasuk terus aktif dalam memobilisasi dana dan kerelawanan untuk penangunggalangan bencana dan pasca bencana di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah.[26]

November 2018

  • 19 November 2018, Peresmian Masjid Ki Bagus Hadikusumo dan peletakan batu pertama pembangunan gedung tower 15 lantai Universitas Muhammadiyah Lamongan.[27]

Desember 2018

Juli 2019

  • 12 Juli 2019, Muhammadiyah lawatan ke Negeri Perlis Malaysia, dalam rangka membahas pendirian universitas di Malaysia. Dalam kesempatan itu, bertemu dan diterima oleh Istri Raja Muda Perlis di istana.⁣ Melalui kunjungan ini terbangun kerja sama dengan pemerintah Negeri Perlis dalam bidang pendidikan dan dakwah. Dan membangun landasan untuk mendirikan Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Perlis.⁣[28]
  • 18 Juli 2019, Muhammadiyah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) antara PP Muhammadiyah dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI. Kerjasama ini diharapkan akan menghasilkan Lembaga Pusat Kajian Anti Korupsi di setiap Perguruan Tinggi Muhammadiyah seluruh Indonesia yang akan melaksanakan program jangka panjang dalam menjaga budaya anti korupsi dan melakukan kajian dan pemantauan terhadap pelaksanaan pembangunan yang bersih dari praktek dan perilaku korupsi di Indonesia.[29]
  • 22 Juli 2019, Muhammadiyah menerima kunjungan persahabatan Duta Besar Jepang untuk Republik Indonesia, Masafumi Ishii.⁣ Pertemuan ini membahas perluasan dan pengembangan kerjasama yang selama ini telah terjalin. Terutama kerjasama dengan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Selain itu, kerjasama dalam program pemberdayaan masyarakat dan ekonomi juga akan dilakukan.[30]
  • 24 Juli 2019, Muhammadiyah menerima Gus Sholah bersama Istri di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta. Pertemuan ini dalam rangka konferensi pers pembuatan film Jejak Langkah Dua Ulama, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari yang digagas oleh LSBO PP Muhammadiyah bersama Pondok Pesantren Tebuireng.[31]

Agustus 2019

  • 14 Agustus 2019, Muhammadiyah berdiskusi dengan Mas Eross Candra tentang aransemen musik lagu Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Graha Suara Muhammadiyah. Kemudian menyambut tamu dari Jombang, Kiai Solahuddin Wahid atau Gus Solah yang bersilaturahim ke rumah. Membincangkan dinamika keumatan dan kebangsaan.

September 2019

  • 15-16 September 2019, Haedar Nashir menghadiri dan menyampaikan speech dalam International Meeting "Peace With No Borders: Religions and Cultures in Dialogue" di Madrid. Forum yang dihadiri perwakilan pemuka agama di dunia ini diinisiasi oleh Community of Sant'Egidio.⁣⁣⁣⁣ Melalui forum ini Muhammadiyah mendorong aktualisasi nilai-nilai moral universal tentang hidup damai bagi semua tanpa dikskirminasi dan kekerasan. Selain itu juga dibtuhkan perluasan gerakan sosial-keagamaan yang mewujudkan nilai-nilai perdamaian dan hidup bersama tanpa diskriminasi sebagai praktik dan contoh hidup beragama dalam masyarakat.⁣⁣ Penting juga mewujudkan nilai-nilai perdamaian dan hidup tanpa diskriminasi sebagai etika sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat yang membentuk etika global, serta mendorong setiap negara dan pemerintahan untuk memperkuat komitmen pada penegakkan hak asasi manusia, antara lain menjamin setiap orang untuk memperoleh perlakuan yang adil dan damai tanpa diskriminasi dan kekerasan dalam segala bentuk masyarakat.⁣ Hadir dalam forum tersebut Prof Din Syamsuddin, Noordjannah Djohantini, dan Abdul Mu’ti.[32]
  • 19 September 2019, Diterima Grand Mufti Republik Lebanon, Sheikh Abdul Latif Derian di Gedung Fatwa Lebanon. Pertemuan ini membahas kerjasama untuk memperkuat hubungan persaudaraan antara Muhammadiyah dengan Darul Fatwa Lebanon melalui amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. Selain itu juga mengundang Sheikh Abdul Latif untuk menghadiri Muktamar Muhammadiyah ke 48 yang akan digelar pada Juli tahun 2020 di Surakarta.[33]
  • 25 September 2019, Menyikapi aksi mahasiswa Indonesia di Jakarta dan sejumlah daerah, PP Muhammadiyah menghargai aksi mahasiswa Indonesia yang secara murni memperjuangkan aspirasi rakyat berkaitan dengan Undang-Undang KPK hasil revisi dan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kontroversial seperti RUU KUHP, Pertanahan, Minerba, dan lain-lain sebagai wujud panggilan nurani kecendekiaan selaku insan kampus. Karenanya aksi tersebut harus betul-betul dijaga agar tetap pada tujuan semula dan berjalan dengan damai, tertib, taat aturan, dan tidak menjadi anarkis. Kepada aparat kepolisian dan keamanan hendaknya menjalankan tugas sebagaimana mestinya dan tidak melakukan tindakan-tindakan represif atau kekerasan dalam bentuk apapun sehingga semakin tercipta suasana yang kondusif. Para pejabat negara dan elite bangsa hendaknya mengedepankan sikap yang positif dan seksama serta tidak melontarkan opini-opini atau pendapat yang dapat memanaskan suasana. Pemerintah dan DPR telah menunjukkan langkah yang tepat dengan menunda pembahasan RUU yang kontroversial tersebut sebagai bentuk kepekaan terhadap aspirasi rakyat. Khusus kepada DPR-RI hendaknya penundaan sejumlah RUU tersebut bukanlah sekadar prosesnya tetapi harus menyangkut perubahan substansi atau isi agar benar-benar sejalan dengan aspirasi terbesar masyarakat serta mempertimbangkan kepentingan utama bangsa. Kepada masyarakat luas dan semua pihak hendaknya menahan diri dan tetap menjaga suasana kehidupan kebangsaan yang aman, damai. Media sosial hendaknya dijadikan sarana interaksi hidup damai dan keluhuran akal budi sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang relijius dan berkeadaban luhur, serta tidak dijadikan media menyebarkan hoaks dan segala bentuk provokasi yang dapat merugikan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di negeri tercinta ini.[34]
  • 26 September 2019, Pimpinan Pusat Muhammadiyah berdukacita dan sangat menyesalkan atas meninggalnya kader IMM, Randi dalam aksi mahasiswa di Kendari. Kejadian tersebut harus diusut dan ditindak secara hukum dengan tegas dan berat karena menyangkut nyawa anak manusia dan warga negara yang mestinya dilindungi. Kejadian yang tidak diharapkan ini harus diusut tuntas dan diselesaikan secara hukum dengan tegas dan seadil-adilnya. Peristiwa ini menjadi perhatian dan keprihatinan semua pihak, agar aksi mahasiswa dan gerakan demonstransi harus ditangani dengan sebaik-baiknya dan tidak boleh ada kekerasan dalam bentuk apa pun, apalagi yang menyangkut anak bangsa. PP Muhammadiyah melakukan langkah-langkah yang diperlukan ke berbagai pihak. Termasuk berkomunikasi dan mendesak pihak kepolisian Republik Indonesia untuk mengusut tuntas dan dilakukan investigasi yang objektif, serta diambil langkah hukum yang tegas dan seadil-adilnya secara terbuka atas peristiwa tersebut.⁣⁣ Semua jajaran di lingkungan Persyarikatan harus tetap terkonsolidasi dengan baik, menjaga suasana tenang dan kondusif, merekat kebersamaan, serta tidak mengambil sikap atau langkah sendiri-sendiri dengan tetap mengikuti garis kebijakan Pimpinan Pusat.⁣⁣[35]

Oktober 2019

  • 15 Oktober 2019, Duta Besar Amerika Serikat untuk Republik Indonesia, H.E Joseph R Donovan Jr bersilaturahim ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah.⁣ Dalam pertemuan persahabatan ini. Bercerita mengenai toleransi dan perdamaian, Donovan mengatakan bahwa Muhammadiyah contoh yang paling tepat bagi dunia dalam kerja mempromosikan nilai-nilai toleransi dan perdamaian.[36]

Desember 2019

  • 16 Desember 2019, MPR RI meminta masukan dan saran terkait rencana amandemen terbatas UUD 1945, Muhammadiyah setuju jika amandemen terbatas UUD 1945 sebagai penguatan Garis Besar Halauan Negara (GBHN), namun harus mengutamakan pengkajian yang mendalam dan tidak tergesa-gesa.[37]

Januari 2020

  • 7 Januari 2020, meresmikan gedung Fakultas Kedokteran UHAMKA.[38]
  • 11 Januari 2020, meresmikan gedung Zam-Zam RSI Muhammadiyah Tegal. ⁣⁣[39]
  • 15 Januari 2020, Meresmikan gedung Abu Bakar SD Al Kautsar, meresmikan Masjid Al Hidayah, dan meletakan batu pertama pembangunan asrama SPEAM Putra di Pasuruan.[40]
  • 16 Januari 2020, Menerima silaturahim Menteri Perhubungan Republik Indonesia Budi Karya Sumadi di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng Jakarta Pusat.[41]
  • 19 Januari 2020, meresmikan Gedung Dakwah Muhammadiyah Banyumas dan juga pencanangan nama jalan KH Ahmad Dahlan yang terletak di kabupaten Banyumas, berdekatan dengan gedung kampus utama Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP).⁣⁣⁣[42]
  • 29 Januari 2020, meresmikan gedung KH Ahmad Dahlan RS Muhammadiyah Ponorogo.[43]

Maret 2020

  • 16 Maret 2020, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan prihatin atas wabah Covid-19 yang oleh World Health Organization (WHO) dinyatakan sebagai pandemi yang menjadi masalah global. Pemerintah Indonesia melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyatakan wabah Covid-19 sebagai bencana non-alam. Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan wabah tersebut sebagai kejadian luar biasa yang harus segera dilakukan pencegahan dan tindakan secara sungguh-sungguh, masif, dan terkoordinasi dengan baik. Muhammadiyah mendorong agar pemerintah melibatkan semua pihak untuk bekerjasama dan bersinergi dengan disertai langkah sosialisasi dan kebijakan yang terbuka dan komprehensif. [44]
  • 14 Mei 2020, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan Tuntunan Salat Idulfitri Dalam Kondisi Darurat Pandemi Covid-19. [45] 4 Juni 2020, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan Tuntunan dan Panduan Menghadapi Pandemi dan Dampak Covid-19.[46]

Juni 2020

  • 7 Juni 2020, Sehubungan dengan akan dimulainya Tahun Pelajaran Baru 2020/2021, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah menginstruksikan agar Majelis Dikdasmen PWM/PDM/PCM untuk melakukan persiapan Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah/Madrasah/Pesantren Muhammadiyah sesuai Pedoman Penyelenggaraan Sekolah/Madrasah/Pesantren Muhammadiyah pada masa pandemi COVID-19.[47]

Juni 2020

  • 24 Juni 2020, PP Muhammadiyah menyampaikan Tuntunan Ibadah Puasa Arafah, Iduladha, Kurban dan Protokol Ibadah Kurban pada Masa Pandemi Covid-19. [48]

September 2020

Berdasarkan kajian Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) pada 12 September 2020, Pandemi Covid-19 di Indonesia sampai saat ini belum menunjukkan penurunan, sebaliknya terdapat eskalasi penularan yang melaju. [49]

Merujuk pada pandangan Majelis Tarjih dan Tajdid bahwa situasi kehidupan masih berada dalam darurat Covid-19 yang meniscayakan mencegah kerusakan atau mafsadat didahulukan daripada mementingkan kemaslahatan.

Maka 14 September 2020, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan Edaran Tentang Pembelajaran/Perkuliahan di Amal Usaha Muhammadiyah Bidang Pendidikan dalam Kondisi Darurat Covid-19.[50]

Setelah memasuki bulan  ke-10 pandemi Covid-19 berdasarkan kondisi darurat  yang  telah  ditetapkan  oleh  Pemerintah  pada  bulan  April  2020  melalui  Keputusan Presiden  Nomor  12  Tahun  2020  tentang  Penetapan  Bencana  Non  Alam  Penyebaran  Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional.

Kondisi  pandemi  di  Indonesia  pada  Januari 2021 terus menunjukkan peningkatan kasus positif. Pada kurun waktu 6–13  Januari 2021 dilaporkan bahwa terdapat penambahan kasus di atas 8.000 per hari. Bahkan pada tanggal 8, 9,12  dan  13  Januari  2021  penambahan  kasus  terkonfirmasi  positif  harian  lebih  dari  10.000 dengan puncak kasus tertinggi pada tanggal 13  Januari 2021 sebanyak 11.278  kasus  konfirmasi positif.  Ini  merupakan  periode  dengan  penambahan  kasus  positif  harian  tertinggi  selama pandemi  Covid-19  sejak  2  Maret  2020.  Akumulasi  kasus  positif  Covid-19  di  Indonesia  pada tanggal  13  Januari  2021  mencapai  858.043  dan  akumulasi  angka  kematian  akibat  Covid-19 mencapai 24.951 jiwa.

Pemerintah  menerapkan  kebijakan  Pemberlakuan  Pembatasan  Kegiatan  Masyarakat (PPKM)  di  Jawa  dan  Bali  pada  tanggal  11–25  Januari  2021  yang  disampaikan  oleh  Menteri Koordinator  Bidang  Perekonomian  sekaligus  Ketua  Komite  Penanganan  Covid-19  dan Pemulihan  Ekonomi  Nasional  (KPC-PEN),  Airlangga  Hartarto,  dalam  konferensi  pers  Rabu (6/1/2021). Pelaksanaan kebijakan tersebut berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021 kepada seluruh kepala daerah di Jawa dan Bali.

Kebijakan  tersebut  diberlakukan  seiring  dengan  Kondisi  pandemi  yang  masih  membutuhkan  kewaspadaan  tinggi  tersebut  berpengaruh  pada tingginya tingkat keterisian rumah sakit (bed occupation rate) untuk Intensive Care Unit (ICU) dan ruang isolasi yang sudah mencapai lebih dari 90%. Demikian juga angka kematian tenaga kesehatan  di  Indonesia  yang  memprihatinkan.  Hingga  akhir  Desember  2020,  Ikatan  Dokter Indonesia (IDI) melaporkan bahwa  ada 504 petugas medis dan kesehatan  yang  wafat dengan rincian  237  dokter,  15  dokter  gigi,  171  perawat,  64  bidan,  7  apoteker,  dan  10  tenaga laboratorium medik.

Menanggapi itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menginstruksikan segenap warga, pimpinan, dan kader Muhammadiyah perlu memberikan keteladanan dalam Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), Pembatasan kegiatan di lingkungan Persyarikatan, Melaksanakan secara daring segala kegiatan  Persyarikatan,  majelis,  lembaga,  dan  ortom  selama  PPKM  dilaksanakan, Sedapat  mungkin  dilaksanakan  di  rumah  masing-masing, Menahan  diri  agar  tidak  keluar  rumah, tidak  menerima  tamu,  dan  tetap  mematuhi  protokol  kesehatan. [51]

Sehubungan  dengan  pelaksanaan  program  vaksinasi  dengan  ini  Pimpinan  Pusat Muhammadiyah  menyampaikan Tuntunan Vaksinasi untuk Pencegahan Covid-19. [52]

Doktrin

Doktrin sentral Muhammadiyah adalah Islam Sunni (ahlussunnah wal-jama'ah). Namun, organisasi ini menekankan otoritas al-Qur'an dan Hadis sebagai hukum Islam tertinggi yang berfungsi sebagai dasar yang sah dari interpretasi keyakinan agama dan praktik. Ini kontras dengan praktik tradisional dengan ditanamkannya hukum syariah dalam mazhab-mazhab agama oleh para ulama. Fokus utama gerakan Muhammadiyah adalah untuk meningkatkan rasa tanggung jawab moral masyarakat, menyucikan iman mereka ke Islam yang benar. Secara teologis, Muhammadiyah menganut doktrin Salafiyah; menyerukan secara langsung kembali ke al-Qur'an dan Sunnah dan pemahaman para imam-imam Salaf (generasi awal), termasuk eponim dari empat Mazhab Sunni. Ini menganjurkan pemurnian iman dari berbagai adat istiadat setempat yang mereka anggap sebagai bentuk takhayul, sesat, dan syirik. Muhammadiyah secara langsung menelusuri warisan keilmuannya pada ajaran Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M / 1354 H), Muhammad bin 'Abdul Wahhab (w. 1792 / 1206 H), dan para teolog abad pertengahan seperti Ahmad Ibnu Taimiyyah (w. 1328 M / 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 1350 / 751 H).[25][26]

Muhammadiyah sangat menentang sinkretisme Islam dengan animisme (pemujaan roh) pada zaman sejarah penyebaran Islam di Nusantara dan tidak mengakui unsur Hindu-Buddha dan kepercayaan lokal yang tersebar di kalangan masyarakat dari masa pra-Islam. Muhammadiyah juga menentang tradisi Sufisme yang memungkinkan seorang pemimpin sufi menjadi otoritas formal atas umat Islam. Pada tahun 2006, organisasi tersebut dikatakan telah "belok tajam ke arah Islam yang lebih konservatif" di bawah kepemimpinan Din Syamsuddin ketua Majelis Ulama Indonesia.[27] Namun, beberapa faksi Muhammadiyah cenderung mendukung gerakan modernis dari Muhammad 'Abduh daripada Doktrin Salafi dari Rasyīd Rîdá; yang dideskripsikan sebagai "kaku dan konservatif".[28]

Aktivitas

Muhammadiyah tercatat sebagai organisasi Reformisme adalah keyakinan bahwa perubahan secara bertahap melalui serta di dalam institusi yang ada, secara pasti dapat mengubah sistem ekonomi dan struktur politik fundamental masyarakat. Kegiatan utamanya adalah pengamalan dan pendidikan agama. Ia telah membangun sekolah Islam modern, berbeda dari pesantren tradisional. Beberapa sekolahnya juga terbuka untuk non-Muslim.[29] Pada tahun 2006 ada sekitar 5.754 sekolah milik Muhammadiyah.[30]

Muhammadiyah juga berfungsi sebagai organisasi amal yang terlibat dalam pelayanan kesehatan. Pada 2016, memiliki beberapa ratus klinik dan rumah sakit nirlaba di seluruh Indonesia.[3] Pada 2006, aktif mengkampanyekan bahaya flu burung di Indonesia.[31]

Organisasi

Kelembagaan

  1. Pimpinan Pusat, Kantor pengurus pusat Muhammadiyah awalnya berada di Yogyakarta. Namun pada tahun 1970, komite-komite pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan berpindah ke kantor di ibu kota Jakarta.[32] Struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2010–2015 terdiri dari lima orang penasihat, seorang ketua umum yang dibantu dua belas orang ketua lainnya, seorang sekretaris umum dengan dua anggota, seorang bendahara umum dengan seorang anggotanya.
  2. Pimpinan Wilayah, setingkat provinsi, terdapat 33 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.
  3. Pimpinan Daerah, setingkat kabupaten/kota.
  4. Pimpinan Cabang, setingkat kecamatan.
  5. Pimpinan Ranting, setingkat pedesaan/kelurahan/dusun.
  6. Pimpinan Cabang Istimewa, untuk luar negeri.

Pembantu Pimpinan Persyarikatan

  1. Majelis
    • Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT)
    • Majelis Tabligh (MT)
    • Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (DIKTILITBANG)
    • Majelis Pendidikan Dasar, Menengah dan Pendidikan Nonformal (MPDM-NF)
    • Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPK-SDI)
    • Majelis Pembinaan Kesejahteraan Sosial (MPKS)
    • Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata (MEBP)
    • Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM)
    • Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU)
    • Majelis Pustaka dan Informasi (MPI)
    • Majelis Lingkungan Hidup (MLH)
    • Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (MHH)
    • Majelis Pendayagunaan Wakaf (MPW)
  2. Lembaga
    • Lembaga Pengembangan Cabang/Ranting dan Pembinaan Masjid (LPCR-PM)
    • Lembaga Pengembangan Pesantren (LPP)
    • Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS)
    • Lembaga Pembina dan Pengawasan Keuangan (LPPK)
    • Lembaga Seni Budaya (LSB)
    • Lembaga Resiliensi Bencana (LRB) / Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC)
    • Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu)
    • Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP)
    • Lembaga Pengembangan Olahraga (LPO)
    • Lembaga Hubungan dan Kerja Sama International (LHKSI)
    • Lembaga Dakwah Komunitas (LDK)
    • Lembaga Pemeriksaan Halal dan Kajian Halalan Thayyiban (LPH-KHT)
    • Lembaga Pembinaan Haji dan Umrah (LPHU)
  3. Biro
    • Biro Pengembangan Organisasi (BPO)
    • Biro Pengelolaan Keuangan (BPK)
    • Biro Komunikasi dan Pelayanan Umum (BKPU)

Organisasi otonom

Muhammadiyah juga memiliki beberapa organisasi otonom, yaitu:[33]

  1. 'Aisyiyah (Wanita Muhammadiyah)
  2. Pemuda Muhammadiyah (PM)
  3. Nasyiatul Aisyiyah (NA/Puteri Muhammadiyah)
  4. Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)
  5. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
  6. Hizbul Wathan (Gerakan kepanduan)
  7. Tapak Suci Putera Muhammadiyah (Perguruan silat/Putera Muhammadiyah)

Komunitas/Gerakan Kultural

  1. Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM), Pemuda Muhammadiyah
  2. Kader Hijau Muhammadiyah (KHM)
  3. Eco Bhinneka Muhammadiyah
  4. Mahasiswa Relawan Siaga Bencana (Maharesigana) Diarsipkan 2022-07-03 di Wayback Machine., Universitas Muhammadiyah Malang
  5. Relawan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
  6. Mahasiswa Tanggap Bencana (Matana), Universitas Muhammadiyah Surabaya
  7. Search & Rescue Mapala Muhammadiyah Indonesia (SARMMI)
  8. Green Muhammadiyah

Badan Khusus

  • Pusat Syiar Digital Muhammadiyah (PSDM)
  • Muhammadiyah Aid
  • Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC)
    Peta negara-negara yang terdapat Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah

Cabang Istimewa Luar Negeri

  • Benua Asia
    1. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Pakistan (2004)
    2. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Iran (2005)
    3. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Malaysia (2007)
    4. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Jepang (2008)
    5. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Irak (2009)
    6. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Yordania (2010)
    7. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Taiwan (2014)
    8. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Tiongkok (2015)
    9. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Korea Selatan (2016)
    10. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Arab Saudi (2017)
    11. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah India (2018)
    12. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Yaman (2019)
    13. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Thailand (2021)
    14. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Kuwait (2022)
    15. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Timor Leste (2023)
  • Benua Eropa
    1. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Belanda (2006)
    2. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Jerman Raya (2007)[a]
    3. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Prancis (2007)
    4. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Inggris Raya (2009)
    5. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Rusia (2012)
    6. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Turki (2016)
    7. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Spanyol (2020)
    8. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Hungaria (2021)
  • Benua Afrika
    1. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Mesir (2002)
    2. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Sudan (2006)
    3. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Libya (2007)
    4. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Tunisia (2015)
    5. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Maroko (2018)
  • Benua Amerika
    1. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Amerika Serikat (2008)
  • Benua Australia & Oseania
    1. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Australia (2007)
    2. Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Selandia Baru (2023)

Sister Organisasi (SO)

  1. Muhammadiyah Filipina
  2. Muhammadiyah Vietnam
  3. Muhammadiyah Kamboja
  4. Muhammadiyah Nigeria
  5. Muhammadiyah Uganda
  6. Muhammadiyah Singapura
  7. Muhammadiyah Mauritius
  8. Muhammadiyah Laos
  9. Muhammadiyah Brunei Darussalam
  10. Muhammadiyah Lebanon

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Amal usaha

  • Pendidikan[35]
    1. Sekolah luar biasa (SLB) Muhammadiyah berjumlah 71.
    2. TK/TPQ Muhammadiyah berjumlah 22.000.
    3. SD/MI Muhammadiyah berjumlah 2604.
    4. SMP/MTs Muhammadiyah berjumlah 1772.
    5. SMA/SMK/MA Muhammadiyah berjumlah 1143.
    6. Pondok Pesantren Muhammadiyah berjumlah 440.
    7. Perguruan Tinggi Muhammadiyah berjumlah 173.
  • Kesehatan:
    1. Rumah Sakit Umum dan Bersalin Muhammadiyah/Aisyiyah berjumlah 120.
    2. Balai Kesehatan Ibu dan Anak berjumlah 57.
    3. Balai Kesehatan Masyarakat berjumlah 120.
    4. Balai Pengobatan berjumlah 122.
    5. Apotek berjumlah 154.
    6. Klinik Kesehatan 248.
    7. Rehabilitasi Cacat 82.
  • Sosial
    1. Panti Asuhan 384.
    2. Panti Jompo 54.
    3. Balai Kesejahteraan Sosial berjumlah 23.
    4. Santunan (keluarga, wreda/manula, kematian) berjumlah 30.
    5. BPKM (Balai Pendidikan dan Keterampilan Muhammadiyah) berjumlah 378.
  • Ekonomi
    1. Baitut Tamwil Muhammadiyah berjumlah 132.
    2. Perusahaan 27.
    3. Koperasi/Bank Syari'ah Muhammadiyah berjumlah 762.
  • Agama
    1. Masjid berjumlah 11.473.
    2. Musholla berjumlah 8.725.

Catatan

Referensi

  1. ^ a b www.muhammadiyah.or.id. "Kantor"
  2. ^ Nashir M. Si, Dr. H Haidar (2015). MUHAMMADIYAH: A REFORM MOVEMENT. Jl. A Yani Pabelan Tromol Pos 1 Kartasura Surakarta 57102 Jawa Tengah – Indonesia: Muhammadiyah University Press. hlm. 94. ISBN 978-602-361-013-6. From aqidah standpoints, Muhammadiyah may adhere Salafi , as stated by Tarjih in Himpinan Putusan Tarjih (wy: 11), that Muhammadiyah promotes the belief principles referring to the Salaf (al-fi rqat al-najat min al-Salaf). 
  3. ^ a b c A. Jalil Hamid, Tackle the rising cost of living longer . New Straits Times, 30 October 2016. Accessed 1 November 2016.
  4. ^ Nashir, Haedar (2016). Muhammadiyah Gerakan Pembaruan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. hlm. 15. ISBN 978-979-3708-76-8. 
  5. ^ a b "Muhammadiyah". Div. of Religion and Philosophy, St. Martin College, UK. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-14. Diakses tanggal 2008-08-28. 
  6. ^ Muhtaroom, Ali (August 2017). "STUDY OF INDONESIAN MOSLEM RESPONSES ON SALAFYSHIA ISLAMIC EDUCATION TRANSNATIONAL INSTITUTION". Ilmia Islam Futuria. 17 (1): 73–95 – via Research Gate. organizations such as Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad has an important role in the development of Salafism in Indonesia. 
  7. ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/05/12/7-perbedaan-islam-dan-islam-syiah/
  8. ^ a b Abu Zayd, Nasr (2006). Reformation of Islamic Thought. Amsterdam University Press. ISBN 9789053568286. Diakses tanggal 20 April 2016. 
  9. ^ Pieternella van Doorn-Harder, WOMEN SHAPING ISLAM: Reading the Qu'ran in Indonesia, pg .95. Champaign: University of Illinois Press, 2010. ISBN 9780252092718
  10. ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/04/20/muhammadiyah-2/
  11. ^ https://rasindogroup.com/muhammadiyah/
  12. ^ Burhani (2005), hlm. 101.
  13. ^ Alfian (1989). hlm. 152.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  14. ^ "Short History of Persyarikatan Muhammadiyah". Muhammadiyah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-19. Diakses tanggal 2006-08-10. 
  15. ^ Burhani (2010), hlm. 65-66
  16. ^ "Sejarah Singkat". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-01-04. Diakses tanggal 2015-01-04. 
  17. ^ Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan. hlm. 356. 
  18. ^ Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan. hlm. 357. 
  19. ^ Ricklefs (1991), hal. 288.
  20. ^ "Muhammadiyah Makes Overtures to Islamists". Indonesia Matters. Diakses tanggal 2006-08-10. 
  21. ^ Administrator (2015-07-04). "Seabad 'Soeara Moehammadijah'". Tempo.co. Diakses tanggal 2020-10-22. 
  22. ^ Muhammad Yuanda Zara. "Suara Muhammadiyah dan Jurnalisme Kaum Modernis". tirto.id. Diakses tanggal 2020-10-22. 
  23. ^ https://wiki-indonesia.club/wiki/Ahmad_Rasyid_Sutan_Mansur
  24. ^ http://sekolahmuonline.blogspot.com/2018/03/muhammadiyah-dari-masa-ke-masa.html
  25. ^ "Muhammadiyah Itu Golongan Ahlus Sunnah was Salafiyyah" [Muhammadiyah The Ahlus Sunnah was Salafiyyah]. Pwmu. 3 November 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 October 2021. 
  26. ^ Muhtaroom, Ali (August 2017). "STUDY OF INDONESIAN MOSLEM RESPONSES ON SALAFYSHIA ISLAMIC EDUCATION TRANSNATIONAL INSTITUTION". Ilmia Islam Futuria. 17 (1): 73–95 – via Research Gate. the development ofSalafi in Indonesia has inspired the emergence of anumber of organizations reformers of modern Islam in Indonesia. Organizationssuchas Muhammadiyah, Al-Irsyad,shared similar intentions to purify faith with the call back to the Quran and Sunnah, and leave many traditional customs that are claimed to be contaminated by heresy,tahayyul, and superstition... For Muhammadiyah, the purification of faith and the return to the Quran and Sunnah is an obligation... Muhammadiyah doctrine theology agrees with salafi, namely puritanist by going back to Al-Quran and As-Sunnah... 
  27. ^ In Indonesia, Islam loves democracy| Michael Vatikiotis | New York Times |6 February 6, 2006
  28. ^ NASHIR, M. Si, DR. H. HAIDAR (2015). MUHAMMADIYAH: A REFORM MOVEMENT. Jl. A Yani Pabelan Tromol Pos 1 Kartasura Surakarta 57102, Jawa Tengah – Indonesia: Muhammadiyah University Press. hlm. 94. ISBN 978-602-361-013-6. 
  29. ^ "USINDO Roundtable With the Muhammadiyah and Aisyiyah Delegation". The US-Indonesian Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal August 13, 2006. Diakses tanggal 2006-08-10. 
  30. ^ "Muhammadiyah urged Governot to Set Model School". Tribun Timur. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2006-08-10. 
  31. ^ "Muhammadiyah to help campaign on danger of avian flu". Antara. Diakses tanggal 2006-08-10. [pranala nonaktif permanen]
  32. ^ "Profil Muhammadiyah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-04. Diakses tanggal 2022-02-07. 
  33. ^ "Autonomous Organizations". Muhammadiyah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2006-08-10. 
  34. ^ "Profil - PCIM Jerman Raya | Muhammadiyah". jerman-raya.muhammadiyah.or.id. Diakses tanggal 2023-03-12. 
  35. ^ "Pusat Data Muhammadiyah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-11-26. Diakses tanggal 2011-11-15. 

Bacaan lanjutan

Lihat pula

Pranala luar