Aroha

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Aroha adalah upacara keluarga (soa) untuk memperingati roh-roh leluhur dan dilakukan bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad.[1] Tradisi ini adalah salah satu tradisi adat pra-Islam yang berkembang dan bertahan hingga kini di kalangan masyarakat Muslim Ambon. Aroha dirayakan oleh hampir seluruh kampung yang beragama Islam di Maluku Tengah. Namun, perayaan terpenting dilakukan oleh oleh penduduk Negeri Lima di Leihitu serta Rohomoni, Kabauw, Kailolo, dan Pelauw. Empat negeri yang terakhir tergabung dalam satu konfederasi atau perserikatan tradisional (uli) yang disebut Uli Hatuhaha. Uli Hatuhaha berkedudukan di Haruku Bagian Utara dan terkenal dengan sufisme serta sinkretisme Islam dengan adatnya yang kuat.[2]

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Istilah aroha berasal dari kata "ruh" (Arab: روح) yang bermakna jiwa, nyawa, roh, atau spirit.[3] Soulisa dalam tulisannya menyebutkan bahwa asal kata aroha adalah arwah, bentuk jamak dari kata "ruh".[4] Ada pula yang menyebutkan bahwa aroha berasal dari kata aroho yang dalam bahasa Tana dialek Hatuhaha berarti pergi ke jalan (roh).[5] Roh dalam konteks ini mengacu pada roh-roh leluhur (nenek moyang) dan roh Nabi Muhammad.[6][7] Di Kailolo aroha dikenal dengan nama lain yaitu manian. Manian berasal dari kata kemenyan atau menyan. Dinamai manian karena dalam perayaan terdapat serangkaian pembakaran dupa yang menghasilkan wangi-wangian.[6] Masih di Kailolo, aroha juga dikenal dengan nama maningkamu alias kumpul basudara.[8]

Sejarah dan Islamisasi Aroha[sunting | sunting sumber]

Pengayauan dalam Budaya Ambon[sunting | sunting sumber]

Perburuan kepala atau pengayauan serta pengorbanan manusia adalah hal yang biasa bagi masyarakat Ambon di masa lalu. Hal tersebut adalah bagian yang tak terpisahkan dari adat dan telah ada sejak dahulu. Upacara pengorbanan manusia untuk menyenangkan dan menghormati roh leluhur disebut sebagai mata huwil. Upacara itu kini tidak lagi dilakukan. Jejak perburuan kepala, pengorbanan manusia, dan kanibalisme masih terdapat dalam cerita lisan masyarakat Leitimur, khususnya cerita tentang terbentuknya pela antarnegeri yang umumnya berjenis pela keras dan diangkat sebelum kedatangan orang Portugis.[9]

Budaya mengayau khususnya di Ambon-Lease diperkirakan sudah hilang tak lama sebelum Portugis datang ke Maluku Tengah.[9] Kedatangan agama Islam diperkirakan sebagai salah satu faktor penyebab ditinggalkannya budaya tersebut. Walaupun demikian, pasukan Muslim dari Leihitu dalam perang dengan Portugis selalu melakukan pengayauan terhadap orang Portugis yang tertangkap.[9] Masuknya Kristen khususnya Protestan yang dikenalkan oleh Belanda juga turut mempercepat hilangnya praktik perburuan kepala. Agama Kristen pula yang menyebabkan penduduk Tuhaha menghentikan praktik pengayauan yang biasa dilakukan saat penyelenggaraan tutu baileo.[9]

Baileo Tuhaha adalah salah satu yang paling indah dan terawat di Maluku Tengah. Pada zaman dahulu diperlukan empat buah kepala manusia yang ditempatkan di pintu depan dan pintu belakang Baileo Tuhaha. Kepala yang dipersembahkan untuk roh leluhur itu diambil dari beberapa negeri tetangga seperti Ihamahu dan Sirisori.[10] Masuknya Belanda dan penginjilan memaksa masyarakat Tuhaha mengalihkan persembahan kepala yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Kristen ke persembahan kelapa. Kelapa yang dipersembahkan tetap diambil dari Ihamahu dan Sirisori. Apabila dalam perjalanan pulang mengayau kelapa pasukan Tuhaha bertemu orang yang tidak dikenal, orang tersebut akan dibunuh dan kepala dibawa sebagai tambahan persembahan.[10]

Islamisasi Maluku Tengah dan Islamisasi Aroha[sunting | sunting sumber]

Islamisasi Maluku Bagian Tengah didukung oleh Kesultanan Ternate. Penduduk Ambon Bagian Utara, Jazirah Huamual, dan Haruku Bagian Utara (Hatuhaha) memeluk Islam secara sadar tanpa paksaan. Syahadat (Bahasa Arab: الشهادة asy-syahādah audio) yang berbunyi ʾašhadu ʾal lā ilāha illa l-Lāh wa ʾašhadu ʾanna muḥammadar rasūlu l-Lāh yang berarti saya bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul (utusan) Allah diterima sepenuhnya sebagai pernyataan dan tanda untuk meniadakan penyembahan berhala atau kuasa-kuasa lain yang disembah oleh leluhur mereka.[11] Meskipun demikian, Allah selaku Tuhan Islam rupanya mewarisi beberapa atribut dewa langit yang dikenal orang Ambon sebagai Upu Lanite yang posisinya digantikan oleh Allah. Diwarisinya atribut dewa tersebut membuat kedudukan Allah bagi sebagian masyarakat Islam Ambon khususnya Hatuhaha menjadi berlawanan dengan dogma Islam. Hal ini dikarenakan masyarkat percaya bahwa nasib mansia tidak sepenuhnya berada di tangan Allah karena nenek moyang tetap memiliki kuasa atas kehidupan sosial seperti memberikan berkah bagi yang masih hidup dan memberikan hukuman atas pelanggaran adat.[11]

Pengayauan dan pengorbanan manusia untuk memuja nenek moyang sudah dihentikan oleh masyarakat Ambon. Namun, pemujaan terselubung terhadap nenek moyang masih ada dalam wujud tradisi aroha yang berakar dari mata huwil.[11] Perayaan ini mengalami Islamisasi dengan merayakannya pada hari yang sama dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad, menambahkan pembacaan kisah hidup Rasulullah, ayat suci Alquran, disertai tahlilan.[11]

Waktu Pelaksanaan[sunting | sunting sumber]

Aroha diselenggarakan bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah.[4] Acara yang dirayakan pada hari maulid adalah puncak dari serangkaian pemujaan roh leluhur yang telah digelar beberapa hari sebelum 12 Rabiul Awal.[12] Puncak acara biasanya berlangsung selama tiga hari dari tanggal 10 hingga 12 Rabiul Awal.[13]

Tujuan Perayaan[sunting | sunting sumber]

Perayaan aroha umumnya bertujuan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad.[14] Selain itu aroha di Hatuhaha dirayakan dengan tujuan untuk mengenang kematian Nabi Muhammad, menghormati leluhur, termasuk para wali, ulama, dan pendakwah yang telah menyiarkan ajaran Islam kepada penduduk Hatuhaha.[15][14]

Bagi masyarakat Negeri Lima aroha dirayakan untuk memperkuat solidaritas sosial masyarakat. Aroha dirayakan sebagai pemenuhan kebutuhan akan keselamatan dan ketenteraman hidup dan merupakan bentuk upacara keagamaan yang memiliki kekuatan simbolis atau tindakan, sekaligus sebagai wujud ekspresi jiwa yang menjalin hubungan vertikal dengan penghuni dunia gaib (Allah dan roh leluhur).[16] Perayaan aroha diyakini memiliki kandungan nilai yang penting bagi kehidupan masyarakat Negeri Lima karena membawa keselamatan hidup. Arti penting tersebut menyebabkan tradisi yang berakar dari masyarakat Ambon pra-Islam ini masih tetap dilaksanakan hingga saat ini.[17]

Di Kailolo, aroha dirayakan sebagai sarana mempererat silaturrahmi antarmasyarakat dan saling berbagi rezeki. Saling berbagi rezeki diwujudkan melalui saling berbagi makanan dan kudapan tertentu antarfam yang satu dengan yang lain. Makanan dan kudapan yang dibuat oleh satu fam berbeda dengan fam yang lain sehingga masyarakat dapat saling mencicipi.[18]

Pelaksanaan[sunting | sunting sumber]

Sehari sebelum perayaan, persiapan dimulai dan seluruh negeri dibersihkan. Tiap fam atau matarumah keesokan harinya menggelar perayaan di rumah tua, rumah pusaka nenek moyang mereka. Seluruh anggota empat generasi dalam suatu fam akan bertemu di rumah tua. Dalam pertemuan itu terdapat hidangan yang disajikan yang menyimbolkan manusia. Roh nenek moyang diundang datang serta tamu-tamu dan kerabat dari fam lain yang masih terikat hubungan perkawinan.[19]

Aroha adalah pertemuan tahunan yang mempertemukan seluruh keluarga besar dilakukan untuk memperkuat ikatan persaudaraan. Bukan hanya antarsesama hidup melainkan dengan leluhur yang sudah meninggal. Oleh karena itu disimbolkan melalui keharusan semua perempuan dewasa untuk turun ke sungai mencuci beras (ketan). Tiap fam membawa dupa gaharu dan atau kemenyan yang rupa-rupa baunya. Percampuran pelbagai macam bau menyimbolkan persatuan dan sekaligus dipersembahkan kepada roh leluhur.[19]

Setelah acara diadakan di rumah tua, maka pusat perayaan dipindahkan ke kuburan nenek moyang. Di kuburan telah berdiri miniatur rumah panggung atau bubungan yang berbentuk seperti baileo. Pihak fam atau keluarga akan membersihkan area sekitar kuburan, memperbaiki atap bubungan, dan meletakkan sesaji yang terdiri dari pelita menyala, bunga, dan makanan. Mereka pergi ke kuburan mengenakan pakaian khusus yang telah disucikan dan mengakhiri acara dengan mengadakan makan bersama di kuburan.[19] Megingat pentingnya kehadiran nenek moyang dalam acara ini, tak heran jika aroha acap disebut sebagai pesta nenek moyang. Apabila aroha terjadi pada hari Jumat dan sedang dirayakan yang waktu yang bersamaan dengan salat Jumat, salat akan dilewatkan dan masjid akan dikunci.[20]

Aroha di Kailolo[sunting | sunting sumber]

Aroha di Kailolo dikenal oleh masyarakatnya sebagai manian. Sebagian besar masyarakat Kailolo bahkan menyakini bahwa manian yang mereka selenggarakan setahun sekali berbeda dari aroha yang dirayakan di negeri-negeri Islam lain baik di Hatuhaha maupun di Maluku pada umumnya. Aroha di Kailolo tidak mesti diadakan pada tanggal 12 Rabiul Awal melainkan tanggal berapa pun dalam bulan yang dikenal sebagai bulan maulid tersebut. Pelaksanaannya pun bervariasi antarfam. Fam Tuanany yang berkedudukan sebagai tua negeri atau tuan tanah akan merayakan aroha lebih dulu dibanding fam lain. Setelah acara di rumah tua fam Tuanany diadakan, acara yang sama berturut-turut akan digelar di rumah tua fam Tuanaya, Usemahu, Tuasamu, Tuaputty, dan berakhir di rumah tua fam Marasabessy. Acara yang diadakan di rumah tua Marasabessy dianggap sebagai acara puncak.[21]

Perayaan di Kailolo mengharuskan semua masyarakat di negeri itu untuk mengadakan pembacaan barzanji dan diadakan pula aha'u gur atau dulang keluarga yang berupa penceritaan asal-usul suatu fam secara lengkap dan detail. Dalam perayaan juga diadakan tahlilan. Namun, tahlilan terlarang bagi anggota fam yang merayakan aroha di rumah tua mereka karena tahlilan tersebut dibuka bagi anggota dari fam lain sebagai bentuk silaturrahmi dan solidaritas.[8] Hidangan khas aroha di negeri ini adalah manian hala totuwi dan manian bunga lilin. Manian hala totuwi secara harafiah bermakna makanan jasad atau makanan yang sebenarnya. Makanan tersebut terbuat dari beras atau beras ketan yang dimasak dengan santan kental. Sementara itu, manian bunga lilin adalah makanan roh atau makanan kiasan berupa bunga-bunga yang memiliki wangi-wangian yang khas dan dupa.[22]

Aroha di Negeri Lima[sunting | sunting sumber]

Tradisi aroha di Negeri Lima dikenal dengan nama aroha lumatau dati. Lumatau dati adalah tanah petuanan suatu negeri yang di dalamnya terdapat hutan serta hasil hutan yang dapat dipanen. Aroha adalah tradisi turun temurun di Negeri Lima yang wajib dilaksanakan oleh generasi sekarang. Hal ini terjadi karena generasi sekarang memakan dan menikmati hasil dari tanah yang telah diwariskan oleh leluhur.[23]

Di Negeri Lima aroha dapat dilakukan setelah tanggal 12 Rabiul Awal. Namun, keberkahan yang akan didapat kurang banyak bila dibandingkan dengan yang dirayakan pada tanggal 12 Rabiul Awal. Sebelum aroha dilakukan masyarakat akan membersihkan ruangan di dalam rumah tua dan menghiasi ruangan tersebut dengan berbagai macam peralatan berupa ambal dan kain siratal (kain putih panjang) yang ditaruh di atas ambal. Makna dari penggunaan kain siratal adalah peserta yang mengikuti dan terlibat dalam acara aroha akan mendapat syafaat dan diberkahi di hari kiamat nanti. Di sudut ruangan ditaruh beberapa gelas yang diisi air putih yang belum dididihkan serta tungku kecil pembakaran kemenyan yang disebut madapahan. Pembakaran kemenyan bukanlah tradisi Islam, tetapi sudah diadopsi dan dianggap sebagai bagian budaya sendiri.[23]

Tidak ada diskriminasi gender dalam pelaksanaan aroha di Negeri Lima. Perempuan-perempuan juga terlibat aktif terutama dalam hal menyediakan makanan untuk tamu maupun keluarga sendiri. Perempuan di negeri ini berkedudukan sebagai mahina ulu dan mahina kalu. Mahina ulu adalah istri dari laki-laki anggota suatu fam dan mahina kalu adalah perempuan yang sudah menikah maupun belum menikah yang merupakan anggota fam yang sama dengan si laki-laki.[23]

Hidangan Khas[sunting | sunting sumber]

Tradisi aroha dijalankan secara beramai-ramai oleh masyarakat. Dalam praktiknya, masyarakat dibimbing oleh pemuka adat mengenai kewajiban yang harus ditanggung oleh masing-masing fam atau matarumah yang ada di negeri tersebut termasuk soal hidangan yang harus disajikan saat aroha diselenggarakan.[24] Hidangan khas aroha dikenal dengan nama sananama yang terdiri dari makanan dan kudapan seperti juadah, bouspirit, pau meit, halua kenari, cucur, dan kuah campuran santan dan gula aren. Hidangan tersebut umumnya dibuat dari hasil-hasil kebun seperti sagu, pisang, kelapa, aren, dan umbi-umbian, beras ketan, daging ayam, dan hasil tangkapan laut.[24]

Hidangan khas aroha berfungsi sebagai simbol yang mewakili bagian-bagian tubuh manusia kecuali masakan yang terbuat dari (daging) ayam dan pisang. Masakan dari daging ayam yang sebelumnya telah dikurbankan melambangkan jiwa atau roh, sedangkan olahan pisang melambangkan persatuan warga.[25] Juadah yang terbuat dari beras ketan, dikenal pula sebagai bokol melambangkan paru-paru manusia. Bouspirit atau papananan melambangkan limpa, pau meit melambangkan usus (dalam istilah lokal di Hatuhaha disebut sebagai taliporo), halua kenari dan kue cucur melambangkan jantung, dan kuah santan-gula melambangkan darah.[24][19] Dalam praktiknya saat ini, bukan hanya hidangan khas yang menyimbolkan tubuh dan jiwa manusia yang disajikan. Beragam jenis buah-buahan tropis yang banyak dihasilkan di daerah Maluku Tengah dan sembilan bahan pokok juga disajikan. Hal ini mungkin berkaitan dengan kegembiraan menyambut roh leluhur dan merayakan kelahiran Rasulullah. Buah-buahan dan sembilan bahan pokok itu diletakkan di atas papan lebar yang bentuknya menyerupai pintu.[8]

Kontroversi[sunting | sunting sumber]

Sejak tahun 1930an, Maluku mulai banyak didatangi oleh ulama dan cendekiawan Muslim dari luar Maluku. Sebagian daripada ulama dan cendekiawan tersebut memiliki afilisasi dengan gerakan pemurnian Islam seperti Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1912. Kedatangan yang awalnya diterima karena persamaan akidah akhirnya menuai kebencian dan pertentangan dari masyarakat Muslim lokal. Para pemurni Islam menyerang keyakinan dan praktik-praktik yang dirayakan oleh orang Islam Ambon sebagai bidah. Padahal keyakinan dan praktik tersebut telah hidup lama dalam masyarakat yang merayakannya. Salah satu contoh praktik yang ditentang para pemurni Islam adalah aroha yang dianggap sebagai puncak dari penyembahan roh leluhur. Semakin keras pertentangan dari para ulama pendatang, reaksi dan ketersinggungan orang Islam Ambon yang merayakannya juga semakin besar.[12]

Saat ini terdapat perbedaan pendapat terkait perayaan aroha. Pendapat pertama menentang aroha dan segala bentuk bidah yang dianggap mengotori akidah dan nilai-nilai Islam. Kelompok yang mendukung pendapat pertama ini membawa dalil dari Alquran dan Hadis. Pendapat kedua menilai aroha sebagai keagamaan yang sah-sah saja untuk dilakukan asal tidak digunakan untuk menyembah roh leluhur dan mengeramatkan kuburan. Pendapat kedua mengaitkan aroha dengan Maulid Nabi Muhammad. Ada pula pendapat ketiga yang menganggap bahwa roh leluhur dan wali yang menyiarkan agama Islam memiliki tempat yang spesial dan oleh karena itu diperingati bersamaan dengan Maulid Nabi Muhammad.[26]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Bartels 2017, hlm. 389.
  2. ^ Handoko 2017, hlm. 11 dan 21.
  3. ^ Bartels 2003, hlm. 5.
  4. ^ a b Soulisa, hlm. 2.
  5. ^ Karepesina 2018, hlm. 9.
  6. ^ a b Bartels 2017, hlm. 309.
  7. ^ Polman 1983, hlm. 189.
  8. ^ a b c Marasabessy, hlm. 3.
  9. ^ a b c d Bartels 2017, hlm. 53.
  10. ^ a b Bartels 2017, hlm. 54.
  11. ^ a b c d Bartels 2017, hlm. 307.
  12. ^ a b Bartels 2017, hlm. 331.
  13. ^ Soulisa, hlm. 7.
  14. ^ a b Karepesina 2018, hlm. 4.
  15. ^ Rumahuru 2012, hlm. 313.
  16. ^ Soulisa, hlm. 2 dan 3.
  17. ^ Soulisa, hlm. 3.
  18. ^ Marasabessy, hlm. 5.
  19. ^ a b c d Bartels 2017, hlm. 308.
  20. ^ Bartels 2017, hlm. 321.
  21. ^ Marasabessy, hlm. 5 dan 7.
  22. ^ Marasabessy, hlm. 7.
  23. ^ a b c Soulisa, hlm. 10.
  24. ^ a b c Karepesina 2018, hlm. 5.
  25. ^ Karepesina 2018, hlm. 65.
  26. ^ Soulisa, hlm. 9.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Bartels, Dieter (2017). Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid I: Kebudayaan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). ISBN 9786024241506. 
  • Karepesina, Retni K. (2018). Islam Hatuhaha; Studi Tentang Ritual Aroha di Negeri Kabauw Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah (Tesis S-1). Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon. 
  • Polman, Katrien (1983). The Central Moluccas: An Annotated Bibliography. Dordrecht, Belanda dan Cinnaminson, AS: Foris Publications. ISBN 9789067650465.