Deklarasi Balfour
Deklarasi Balfour | |
---|---|
Dibuat | 2 November 1917 |
Lokasi | British Library |
Penulis | Walter Rothschild, Arthur Balfour, Leo Amery, Lord Milner |
Penandatangan | Arthur James Balfour |
Tujuan | Mengukuhkan dukungan dari Pemerintah Inggris untuk pendirian "kediaman nasional" bagi bangsa Yahudi di Palestina, dengan dua syarat |
Deklarasi Balfour adalah pernyataan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris pada tahun 1917 selama Perang Dunia I, yang mengumumkan dukungannya terhadap pendirian "rumah nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina yang saat itu, merupakan wilayah Utsmaniyah dengan populasi Yahudi minoritas. Deklarasi tersebut dimuat dalam sebuah surat tertanggal 2 November 1917 dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour kepada Lord Rothschild, seorang pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk disampaikan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia. Teks deklarasi tersebut dipublikasikan di media pada tanggal 9 November 1917.
Segera setelah deklarasi perang terhadap Kekaisaran Ottoman pada bulan November 1914, Kabinet Perang Inggris mulai mempertimbangkan masa depan Palestina; dalam waktu dua bulan, sebuah memorandum diedarkan ke Kabinet oleh anggota Kabinet Zionis, Herbert Samuel, yang mengusulkan dukungan terhadap ambisi Zionis untuk mendapatkan dukungan dari orang-orang Yahudi dalam perang yang lebih luas. Sebuah komite dibentuk pada bulan April 1915 oleh Perdana Menteri Inggris H.H. Asquith untuk menentukan kebijakan mereka terhadap Kekaisaran Ottoman, termasuk Palestina. Asquith, yang mendukung reformasi pasca-perang Kekaisaran Ottoman, mengundurkan diri pada bulan Desember 1916; penggantinya, David Lloyd George, lebih memilih untuk memisahkan diri dari Kekaisaran. Negosiasi pertama antara Inggris dan Zionis terjadi pada sebuah konferensi pada 7 Februari 1917 yang dihadiri oleh Sir Mark Sykes dan para pemimpin Zionis. Diskusi-diskusi selanjutnya berujung pada permintaan Balfour, pada 19 Juni, agar Rothschild dan Chaim Weizmann menyerahkan rancangan deklarasi publik. Rancangan lebih lanjut dibahas oleh Kabinet Inggris selama bulan September dan Oktober, dengan masukan dari orang-orang Yahudi Zionis dan anti-Zionis tetapi tanpa perwakilan dari penduduk lokal di Palestina.
Pada akhir 1917, menjelang Deklarasi Balfour, perang yang lebih luas telah mencapai jalan buntu, dengan dua sekutu Inggris yang belum sepenuhnya terlibat: Amerika Serikat belum menderita korban, dan Rusia berada di tengah-tengah revolusi dengan kaum Bolshevik yang mengambil alih pemerintahan. Kebuntuan di Palestina selatan dipecahkan oleh Pertempuran Beersheba pada tanggal 31 Oktober 1917. Perilisan deklarasi akhir disahkan pada 31 Oktober; diskusi Kabinet sebelumnya telah merujuk pada manfaat propaganda yang dirasakan di antara komunitas Yahudi di seluruh dunia untuk upaya perang Sekutu.
Kata-kata pembuka dari deklarasi tersebut merupakan ekspresi publik pertama yang menunjukkan dukungan terhadap Zionisme oleh sebuah kekuatan politik besar. Istilah "rumah nasional" tidak memiliki preseden dalam hukum internasional, dan secara sengaja dibuat samar-samar mengenai apakah yang dimaksud dengan negara Yahudi. Batas-batas Palestina yang dimaksud tidak dijelaskan, dan pemerintah Inggris kemudian menegaskan bahwa kata-kata "di Palestina" berarti bahwa rumah nasional Yahudi tidak dimaksudkan untuk mencakup seluruh wilayah Palestina. Paruh kedua dari deklarasi tersebut ditambahkan untuk memuaskan para penentang kebijakan tersebut, yang telah mengklaim bahwa hal itu akan merugikan posisi penduduk lokal Palestina dan mendorong antisemitisme di seluruh dunia dengan "mencap orang Yahudi sebagai orang asing di tanah air mereka". Deklarasi tersebut menyerukan perlindungan hak-hak sipil dan agama bagi orang-orang Arab Palestina, yang merupakan mayoritas penduduk setempat, dan juga hak-hak dan status politik komunitas Yahudi di negara-negara lain di luar Palestina. Pemerintah Inggris mengakui pada tahun 1939 bahwa keinginan dan kepentingan penduduk setempat seharusnya diperhitungkan, dan pada tahun 2017 mengakui bahwa deklarasi tersebut seharusnya menyerukan perlindungan terhadap hak-hak politik warga Arab Palestina.
Deklarasi tersebut memiliki banyak konsekuensi jangka panjang. Deklarasi ini sangat meningkatkan dukungan populer untuk Zionisme dalam komunitas Yahudi di seluruh dunia, dan menjadi komponen inti dari Mandat Inggris untuk Palestina, dokumen pendirian Mandat Palestina. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan munculnya Israel dan dianggap sebagai penyebab utama konflik Israel-Palestina yang sedang berlangsung, yang sering digambarkan sebagai konflik yang paling sulit diselesaikan di dunia. Kontroversi masih terjadi di sejumlah bidang, seperti apakah deklarasi tersebut bertentangan dengan janji-janji sebelumnya yang dibuat oleh Inggris kepada Sharif dari Mekkah dalam korespondensi McMahon-Hussein.
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Dukungan awal pemerintah Inggris
[sunting | sunting sumber]Dukungan politik yang mula-mula diberikan pemerintah Inggris terhadap pertambahan jumlah pemukim Yahudi di Palestina didasarkan atas beberapa kalkulasi geopolitik.[1][i] Dukungan awal ini dipelopori Lord Palmerston, dan pertama kali disuarakan pada tahun-tahun permulaan era 1840-an,[3] sesudah pemerintahan Suriah dan Palestina diserobot Muhammad Ali Pasya, Gubernur Mesir yang ingin lepas dari Kesultanan Utsmaniyah.[4][5] Prancis kian meluaskan pengaruhnya di Palestina maupun negeri-negeri lain di Timur Tengah, dan perannya selaku pelindung komunitas-komunitas Kristen Katolik mulai menguat, sementara Rusia sudah disegani sebagai pelindung komunitas-komunitas Kristen Ortodoks Timur di kawasan yang sama. Situasi seperti ini membuat Inggris tidak punya ruang lingkup pengaruh di Timur Tengah,[4] dan oleh karena itu perlu menemukan atau menciptakan suatu kaum yang dapat mereka "ayomi" di kawasan itu.[6] Pertimbangan-pertimbangan politik tersebut didukung oleh sentimen Kristen Injili yang bersimpati terhadap "kepulangan orang Yahudi" ke Palestina, yakni sentimen yang diusung anasir-anasir kalangan elit politik Inggris pada pertengahan abad ke-19, teristimewa Lord Shaftesbury.[ii] Kementerian Luar Negeri Inggris secara aktif mendorong orang Yahudi untuk beremigrasi ke Palestina, misalnya melalui imbauan-imbauan Charles Henry Churchill, yang disampaikan lewat surat dalam rentang waktu 1841-1842, kepada Moses Montefiore, pemimpin komunitas Yahudi Inggris.[8][a]
Ikhtiar-ikhtiar semacam ini bersifat pradini,[8] dan tidak membuahkan hasil.[iii] Hanya 24.000 orang Yahudi yang bermukim di Palestina menjelang kemunculan Zionisme di kalangan komunitas Yahudi sedunia pada dua dasawarsa terakhir abad ke-19.[10] Perubahan mendadak geopolitik akibat meletusnya Perang Dunia I membuat kalkulasi-kalkulasi awal, yang sempat dibiarkan terbengkalai, menjadi titik tolak pembaharuan taksiran-taksiran stategis maupun tawar-menawar politik atas kawasan Timur Tengah dan Timur Jauh.[5]
Zionisme purwa
[sunting | sunting sumber]Gerakan Zionisme muncul menjelang akhir abad ke-19 sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan antisemit dan nasionalis eksklusioner di Eropa.[11][iv][v] Nasionalisme romantis di Eropa Tengah dan Eropa Timur turut membantu kelahiran Haskalah, sebuah gerakan "Pencerahan Yahudi", yang menimbulkan perpecahan di dalam komunitas Yahudi. Perpecahan ini mengakibatkan sebagian golongan menganggap Yahudi sebagai agama mereka, sementara sebagian lainnya menganggap Yahudi sebagai suku-bangsa atau bangsa mereka.[11][12] Pogrom-pogrom anti-Yahudi yang terjadi pada rentang waktu 1881–1884 di Kekaisaran Rusia mendorong penguatan identitas golongan yang kedua. Dari golongan ini muncul organisasi-organisasi perintis yang disebut Hobebei Tsion (Pencinta Sion), risalah Swa-Emansipasi yang ditulis oleh Leon Pinsker, dan gelombang pertama imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Palestina yang secara retrospektif diberi nama "Aliyah Pertama".[14][15][12]
Pada 1896, seorang wartawan Yahudi berkewarganegaraan Austria-Hungaria bernama Theodor Herzl menerbitkan risalah berjudul Der Judenstaat ("Negara Yahudi" atau "Negara Orang Yahudi") yang menjadi kemudian landasan Zionisme politik. Dalam risalah ini, ia mengemukakan bahwa satu-satunya solusi bagi "masalah Yahudi" di Eropa, termasuk antisemitisme yang kian marak, adalah menciptakan sebuah negara bagi orang Yahudi.[16][17] Setahun kemudian, Theodor Herzl mendirikan Organisasi Zionis. Pada penyelenggaraan kongres pertamanya, Organisasi Zionis mengamanatkan pembentukan "kediaman bagi bangsa Yahudi di Palestina di bawah naungan hukum publik". Usulan langkah-langkah pelaksanaan amanat ini mencakup tindakan mempromosikan pemukiman orang Yahudi di Palestina, mengorganisasikan orang Yahudi di diaspora, mempertebal perasaan dan keinsyafan sebagai orang Yahudi, serta berancang-ancang untuk mendapatkan izin-izin yang diperlukan dari pemerintah.[17] Theodor Herzl wafat pada tahun 1904, 44 tahun sebelum lahirnya Negara Israel, negara Yahudi yang ia gagas. Sampai akhir hayatnya, ia tak kunjung mendapatkan kekuasaan politik yang diperlukan untuk menjalankan rencana-rencananya.[10]
Chaim Weizmann, pemimpin kaum Zionis yang kelak menjadi Presiden Organisasi Zionis Sedunia dan Presiden Israel yang pertama, hijrah dari Swiss ke Inggris pada tahun 1904. Ia berjumpa dengan Arthur Balfour dalam suatu pertemuan yang diatur oleh Charles Dreyfus, wakil konstituen Yahudi dalam tim kampanye Arthur Balfour. Pertemuan ini berlangsung sesudah Arthur Balfour meletakkan jabatan perdana menteri dan baru saja mulai berkampanye dalam rangka menghadapi Pemilihan Umum Inggris tahun 1906.[18][vi] Sebelum itu pada tahun yang sama, Arthur Balfour berhasil memperjuangkan rancangan Undang-Undang Warga Asing dalam sidang parlemen dengan pidato-pidatonya yang berapi-api tentang perlunya membendung gelombang imigrasi pengungsi Yahudi dari Kekaisaran Rusia ke Inggris.[20][21] Dalam pertemuan ini, ia menanyakan alasan keberatan Chaim Weizmann terhadap Rancangan Uganda tahun 1903 yang justru didukung oleh Theodor Herzl, yakni rencana penyerahan sebagian dari wilayah protektorat Inggris di Afrika Timur untuk dijadikan wilayah otonom orang Yahudi. Rancangan Uganda ditawarkan kepada Theodor Herzl oleh Joseph Chamberlain, Menteri Urusan Tanah Jajahan dalam kabinet Arthur Balfour, selepas berkunjung ke Afrika Timur pada tahun 1903.[vii] Menyusul kematian Theodor Herzl, rancangan ini ditolak lewat pemungutan suara dalam Kongres Zionis yang ketujuh pada tahun 1905,[viii] sesudah dua tahun menjadi pokok perdebatan sengit di dalam Organisasi Zionis.[24] Chaim Weizmann menjawab pertanyaan Arthur Balfour dengan mengemukakan keyakinannya bahwa kecintaan orang Yahudi terhadap Yerusalem sebanding dengan kecintaan orang Inggris terhadap kota London.[b]
Pada bulan Januari 1914, Chaim Weizmann berjumpa dengan Baron Edmond de Rothschild, anggota keluarga besar Rothschild cabang Prancis dan salah seorang penganjur utama gerakan Zionisme,[26] untuk membicarakan proyek pembangunan Universitas Ibrani di Yerusalem.[26] Kendati bukan bagian dari Organisasi Zionis Sedunia, Baron Edmond de Rothschild telah berjasa mendanai pembentukan koloni-koloni tani Yahudi Aliyah Pertama dan mengalihkannya kepada Asosiasi Kolonisasi Yahudi pada tahun 1899.[27] Tidak percuma Chaim Weizmann berkenalan dengan Baron Edmond de Rothschild karena beberapa bulan kemudian, putra sang baron, James de Rothschild, minta dipertemukan dengan Chaim Weizmann pada tanggal 25 November 1914. James de Rothschild berharap Chaim Weizmann bersedia membantunya memengaruhi orang-orang di lingkungan pemerintahan Inggris yang ia anggap dapat menerima rencana pendirian "Negara Yahudi" di Palestina.[c][29] Melalui istri James de Rothschild, Dorothy de Rothschild, Chaim Weizmann berkenalan dengan Rózsika Rothschild, yang kemudian mengenalkannya kepada keluarga besar Rothschild cabang Inggris, teristimewa suaminya, Charles Rothschild, dan abang iparnya, Walter Rothschild, seorang ahli zoologi dan mantan anggota parlemen Inggris.[30] Nathan Rothschild, Baron Rothschild yang pertama, kepala keluarga besar Rothschild cabang Inggris, menjaga jarak aman dengan Zionisme, tetapi ia wafat pada bulan Maret 1915, dan gelar kebangsawanannya diwarisi oleh Walter Rothschild.[30][31]
Sebelum pencanangan Deklarasi Balfour, sekitar 8.000 dari 300.000 warga Yahudi Inggris adalah anggota organisasi kaum Zionis.[32][33] Di peringkat global, per 1913 (tahun data termutakhir prapencanangan Deklarasi Balfour), kira-kira 1% dari jumlah orang Yahudi sedunia adalah anggota organisasi kaum Zionis.[34]
Palestina di bawah pemerintah Turki Utsmaniyah
[sunting | sunting sumber]Terhitung sampai tahun 1916, sudah empat abad lamanya Palestina menjadi bagian dari Kesultanan Utsmaniyah atau Kesultanan Utsmaniyah.[36] Nyaris sepanjang kurun waktu empat abad ini, orang Yahudi menjadi kaum minoritas di Palestina, yakni sekitar 3% saja dari keseluruhan populasi. Umat Islam merupakan bagian terbesar dari populasi Palestina, disusul oleh umat Kristen.[37][38][39][ix]
Pemerintah Turki Utsmaniyah di Istambul mulai memberlakukan pembatasan-pembatasan terhadap imigrasi orang Yahudi ke Palestina menjelang akhir tahun 1882 setelah menyaksikan Aliyah Pertama yang berawal pada permulaan tahun itu.[41] Meskipun imigrasi orang Yahudi sedikit banyak menimbulkan ketegangan dengan populasi lokal Palestina, terutama dengan golongan saudagar dan pemuka masyarakat, pada tahun 1901, Gerbang Agung (pemerintah pusat Turki Utsmaniyah) memberi orang Yahudi hak yang sama dengan orang Arab untuk membeli tanah di Palestina, dan persentase orang Yahudi dari jumlah populasi Palestina pun meningkat menjadi 7% pada tahun 1914.[42] Pada waktu yang sama, seiring kian meningkatnya rasa tidak percaya terhadap Aliyah Kedua dan Kaum Muda Turki, yakni kaum nasionalis Turki yang telah berhasil menguasai pemerintahan Turki Utsmaniyah pada tahun 1908, gerakan nasionalisme Arab serta nasionalisme Palestina pun semakin bertumbuh, dan semangat anti-Zionisme menjadi unsur pemersatu di Palestina.[42][43] Para sejarawan tidak tahu apakah kekuatan-kekuatan penggerak ini pada akhirnya akan tetap menimbulkan konflik andaikata Deklarasi Balfour tidak pernah ada.[x]
Perang Dunia I
[sunting | sunting sumber]1914–1916: Diskusi-diskusi pendahuluan antara pemerintah Inggris dan kaum Zionis
[sunting | sunting sumber]Pada bulan Juli 1914, meletus perang di Eropa antara kubu Entente Tiga (Inggris, Prancis, Rusia) dan kubu Kekaisaran Sentral (Jerman, Austria-Hungaria, Turki Utsmaniyah).[45]
Kabinet pemerintahan Inggris pertama kali membahas Palestina dalam rapat tanggal 9 November 1914, empat hari sesudah Inggris memaklumkan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah. Wilayah Kesultanan Utsmaniyah ketika itu mencakup pula Mutasarifat Yerusalem, yakni daerah yang kerap disebut Palestina.[46] Dalam rapat tersebut, Menteri Keuangan Inggris David Lloyd George "mengungkit perihal akhir takdir Palestina".[47] David Lloyd George adalah pemilik firma hukum Lloyd George, Roberts and Co, yang sudah sejak satu dasawarsa sebelumnya menjalin hubungan kerja sama dengan Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia dalam penyusunan Rancangan Uganda.[48] David Lloyd George menjadi Perdana Menteri Inggris pada waktu pencanangan Deklarasi Balfour, dan menjadi pejabat yang bertanggung jawab atas terbitnya deklarasi tersebut.[49]
Usaha-usaha politik Chaim Weizmann mengalami kemajuan pesat.[d] Pada tanggal 10 Desember 1914, ia berjumpa dengan Herbert Samuel, anggota kabinet pemerintahan Inggris dan seorang Yahudi sekuler yang sudah mempelajari Zionisme.[51] Herbert Samuel merasa tuntutan-tuntutan Chaim Weizmann terlampau bersahaja.[e] Selang dua hari kemudian, Chaim Weizmann sekali lagi bertatap muka dengan Arthur Balfour setelah terakhir kali bertemu pada tahun 1905. Arthur Balfour sudah berada di luar lingkungan pemerintahan semenjak kekalahannya dalam pemilihan umum tahun 1906, tetapi masih menjadi anggota senior Partai Konservatif yang kala itu menjadi Kubu Oposisi Resmi.[f]
Sebulan kemudian, Herbert Samuel mengedarkan sebuah memorandum bertajuk Masa Depan Palestina kepada kolega-koleganya di kabinet. Memorandum ini berisi pernyataan yang berbunyi: "Saya yakin bahwa solusi bagi masalah Palestina yang sangat dapat diterima oleh para pemimpin dan pendukung gerakan Zionisme di seluruh dunia adalah aneksasi Palestina oleh Kekaisaran Inggris".[54] Herbert Samuel membahas isi selembar salinan dari memorandumnya ini dengan Nathan Rothschild pada bulan Februari 1915, sebulan sebelum Nathan Rothschild wafat.[31] Memorandum ini merupakan dokumen resmi pertama yang memuat pengajuan permintaan dukungan bagi orang Yahudi sebagai salah satu prasyarat perang.[55]
Sejumlah diskusi lebih lanjut menyusul kemudian, termasuk pertemuan-pertemuan pendahuluan dalam kurun waktu 1915–1916 antara Lloyd George, yang diangkat menjadi menteri urusan kelengkapan perang pada bulan Mei 1915,[56] dan Chaim Weizmann, yang diangkat menjadi penasihat ilmiah untuk kementerian tersebut pada bulan September 1915.[57][56] Tujuh belas tahun kemudian, dalam Kenang-Kenangan Perang yang ditulisnya, Lloyd George menyebut pertemuan-pertemuan tersebut sebagai "sumber dan cikal bakal" Deklarasi Balfour. Pernyataan Lloyd George ini telah dibantah para sejarawan.[g]
1915–1916: Komitmen-komitmen awal Inggris terkait Palestina
[sunting | sunting sumber]Menjelang akhir tahun 1915, Komisaris Tinggi Inggris untuk Mesir, Henry McMahon, bersurat-suratan sebanyak sepuluh kali dengan Syarif Mekah, Husain bin Ali Alhasyimi. Melalui surat-suratnya Henry McMahon berjanji kepada Husain bin Ali Alhasyimi untuk mengakui kemerdekaan bangsa Arab "di dalam wilayah dengan tapal-tapal batas yang diusulkan Syarif Mekah" sebagai imbalan atas kesediaan Husain bin Ali Alhasyimi untuk mengobarkan pemberontakan melawan Kesultanan Utsmaniyah. Kawasan yang dikecualikan dari wilayah yang dijanjikan tersebut adalah "sebagian wilayah Suriah" yang terletak di sebelah barat "Distrik Damsyik, Distrik Hums, Distrik Hamah, dan Distrik Halab".[67][i] Selama beberapa dasawarsa pasca-Perang Dunia I, ruang lingkup kawasan pesisir yang dikecualikan ini menjadi pokok perdebatan sengit[69] karena Palestina terletak di sebelah barat daya Damsyik dan tidak disebutkan secara gamblang.[67]
Bangsa Arab bangkit memberontak melawan Kesultanan Utsmaniyah pada tanggal 5 Juni 1916,[70] dengan berpegang pada mufakat quid pro quo yang dicapai lewat hubungan surat-menyurat antara Henry McMahon dan Husain bin Ali Alhasyimi.[71] Meskipun demikian, kurang dari tiga pekan sebelum pemberontakan meletus, pemerintah Inggris, pemerintah Prancis, dan pemerintah Rusia diam-diam telah menyepakati Persetujuan Sykes–Picot, yang kemudian hari disebut Arthur Balfour sebagai "metode yang sepenuhnya baru" untuk memecah-belah kawasan Timur Tengah, manakala kesepakatan tahun 1915 "tampaknya sudah lekang dari ingatan orang".[j]
Kesepakatan antara Inggris dan Prancis ini dirundingkan pada akhir tahun 1915 dan awal tahun 1916 antara Sir Mark Sykes dan François Georges-Picot. Pokok-pokok kesepakatan utama masih berbentuk draf dalam memorandum bersama yang diterbitkan pada tanggal 5 Januari 1916.[73][74] Mark Sykes adalah anggota Parlemen Inggris dari Partai Konservatif yang berhasil menduduki posisi yang cukup berpengaruh terhadap kebijakan Inggris terkait Timur Tengah, mulai sejak diangkat menjadi anggota Panitia De Bunsen dan menggagas pembentukan Biro Arab pada tahun 1915.[75] François Georges-Picot adalah diplomat Prancis yang pernah menjadi konsul jenderal di Beirut.[75] Isi kesepakatan mereka adalah penetapan batas-batas ruang lingkup pengaruh dan kekuasaan di Asia Barat yang diusulkan untuk dibentuk andaikata Entente Tiga berhasil mengalahkan Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Dunia I.[76][77] Sejumlah besar kawasan yang didiami bangsa Arab dibagi-bagi menjadi bakal wilayah administratif Inggris dan bakal wilayah administratif Perancis. Palestina diusulkan untuk dijadikan wilayah internasional,[76][77] dengan bentuk administrasi pemerintahan yang akan ditetapkan sesudah berkonsultasi dengan Rusia dan Husain bin Ali Alhasyimi.[76] Draf bulan Januari ini mengetengahkan kepentingan-kepentingan umat Kristen maupun umat Islam, dan menyebutkan pula bahwa "anggota-anggota komunitas Yahudi di seluruh dunia memiliki keprihatinan yang sungguh-sungguh dan sentimental terhadap masa depan negeri itu."[74][78][k]
Sebelum memorandum bersama ini diterbitkan, belum ada negosiasi aktif dengan kaum Zionis, tetapi Mark Sykes sudah menginsafi keberadaan Zionisme, dan berhubungan baik dengan Moses Gaster – mantan Presiden Federasi Zionis Inggris[80] – dan boleh jadi sudah pernah membaca memorandum kabinet tahun 1915 yang disusun oleh Herbert Samuel.[78][81] Pada tanggal 3 Maret, ketika Mark Sykes dan François Georges-Picot masih berada di Petrograd, Lucien Wolf, sekretaris Panitia Gabungan untuk Luar Negeri (panitia bentukan organisasi-organisasi Yahudi untuk memperjuangkan kepentingan orang Yahudi di luar negeri), mengajukan draf pernyataan jaminan kepada Kementerian Luar Negeri Inggris. Pernyataan jaminan ini disiapkan agar sewaktu-waktu dapat diterbitkan Blok Sekutu untuk mendukung aspirasi-aspirasi orang Yahudi. Isi draf tersebut adalah sebagai berikut:
Bilamana Palestina sudah tercakup di dalam ruang lingkup pengaruh Inggris atau Prancis seusai perang, maka pemerintah Inggris atau Prancis sekali-kali tidak boleh menyepelekan nilai sejarah negeri itu bagi komunitas Yahudi. Masyarakat Yahudi harus dapat hidup aman sentosa, menikmati kebebasan sipil dan beragama, hak-hak politik yang setara dengan masyarakat lain, kemudahan-kemudahan yang berpatutan dalam urusan imigrasi dan kolonisasi, serta keistimewaan-keistimewaan warga kotapraja di kota-kota dan koloni-koloni tempat tinggal mereka jika dipandang perlu.
Pada tanggal 11 Maret, telegram-telegram [l] dikirimkan atas nama Sir Edward Grey kepada duta-duta besar Inggris di Rusia dan Prancis. Telegram-telegram ini berisi pemberitahuan yang harus disampaikan kepada pihak-pihak yang berwenang di Rusia dan Prancis. Pernyataan jaminan termasuk dalam isi pemberitahuan, demikian pula pernyataan berikut ini:
Rancangan ini dapat saja dibuat lebih menarik di mata mayoritas orang Yahudi andaikata mereka dijanjikan bahwa apabila seiring berlalunya waktu masyarakat koloni Yahudi di Palestina sudah cukup kuat untuk menghadapi masyarakat Arab maka mereka dapat dibenarkan untuk mengambil alih penanganan urusan-urusan dalam negeri Palestina (kecuali atas Yerusalem dan tempat-tempat suci).
Sesudah membaca telegram ini, Mark Sykes pun berdiskusi dengan François Georges-Picot. Ia mengusulkan (dengan merujuk kepada memorandum Herbert Samuel[m]) pembentukan sebuah negara kesultanan bangsa Arab di bawah perlindungan Prancis dan Inggris, beberapa cara mengatur kewenangan atas tempat-tempat suci, dan pendirian sebuah badan usaha untuk membeli tanah bagi masyarakat koloni Yahudi, yang nantinya akan menjadi warga negara kesultanan tersebut dengan hak-hak yang setara dengan orang Arab.[n]
Tak lama sesudah pulang dari Petrograd, Mark Sykes memberi arahan kepada Herbert Samuel, yang kemudian memberi arahan kepada Moses Gaster, Chaim Weizmann, dan Nahum Sokolow dalam sebuah pertemuan. Catatan tertanggal 16 April dalam buku harian Moses Gaster berisi uraian sebagai berikut: "Kami ditawari wilayah kondominium Prancis-Inggris di Palest[ina]. Penguasanya berbangsa Arab demi menjaga perasaan orang Arab, tetapi di dalam undang-undang dasarnya termaktub sebuah piagam untuk kaum Zionis yang mendapuk Inggris sebagai penjamin dan pihak akan mendukung kami setiap kali timbul pergesekan... Tawaran ini pada praktiknya merupakan realisasi paripurna dari program Zionis kami. Meskipun demikian, kami bersiteguh meminta piagam yang bersifat nasional, kebebasan berimigrasi, serta otonomi dalam negeri, dan pada saat yang sama juga hak-hak kewarganegaraan penuh bagi [tidak terbaca] dan orang-orang Yahudi di Palestina."[83] Mark Sykes sendiri menganggap butir-butir Persetujuan Sykes-Picot sudah basi, bahkan sebelum ditandatangani. Dalam sepucuk surat pribadi yang ia tulis pada bulan Maret 1916, Mark Sykes mengungkapkan hasil penalarannya bahwa "kaum Zionislah yang kini menjadi kunci situasi".[xii][85] Baik Prancis maupun Rusia ternyata tidak menyukai isi draf pernyataan jaminan, dan Lucien Wolf akhirnya diberitahu pada tanggal 4 Juli bahwa "sekarang bukanlah saat yang tepat untuk mengeluarkan pernyataan apapun." [86]
Ikhtiar-ikhtiar semasa Perang Dunia I ini, termasuk Deklarasi Balfour, kerap ditelaah bersamaan oleh para sejarawan karena adanya potensi ketidakselarasan, baik yang nyata maupun yang terbayang, antara satu ikhtiar dengan ikhtiar lain, khususnya dalam hal rencana pengaturan Palestina.[87] Meminjam kata-kata Profesor Albert Hourani, pendiri Pusat Kajian Timur Tengah di St Antony's College, Oxford, "perdebatan seputar tafsir kesepakatan-kesepakatan ini adalah perdebatan yang tidak bakal berkesudahan, karena kesepakatan-kesepakatan ini memang sengaja disusun sedemikian rupa sehingga dapat memunculkan lebih dari satu macam tafsir."[88]
1916–1917: Perubahan di lingkungan pemerintahan Inggris
[sunting | sunting sumber]Dari sudut pandang politik Inggris, Deklarasi Balfour lahir lantaran Perdana Menteri Herbert Henry Asquith beserta kabinetnya digantikan oleh Perdana Menteri Lloyd George beserta kabinetnya pada bulan Desember 1916. Sekalipun Herbert Henry Asquith dan Lloyd George sama-sama berasal dari Partai Liberal dan sama-sama membentuk kabinet pemerintahan koalisi di masa perang, Lloyd George dan menteri luar negerinya, Arthur Balfour, ingin agar wilayah Kesultanan Utsmaniyah dipecah-belah seusai perang, sementara Herbert Henry Asquith dan menteri luar negerinya, Sir Edward Grey, ingin agar Kesultanan Utsmaniyah cukup direformasi saja.[89][90]
Dua hari sesudah menjabat, Lloyd George menyampaikan kepada Jenderal Robertson, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Kekaisaran Inggris, bahwa ia menginginkan kemenangan besar, lebih bagus lagi kalau Yerusalem juga dapat direbut, demi menciptakan kesan yang mampu memukau opini publik Inggris.[91] Lloyd George lantas bergegas menggelar rapat kabinet perang guna merencanakan "kampanye militer lebih lanjut ke dalam wilayah Palestina begitu Al Arisy berhasil diamankan."[92] Tekanan dari Lloyd George terhadap Jenderal Robertson yang bersikap ragu-ragu menghasilkan perebutan daerah Sinai yang selanjutnya disatukan kembali dengan wilayah Mesir, jajahan Inggris. Dengan merebut Al Arisy pada bulan Desember 1916 dan Rafah pada bulan Januari 1917, pasukan Inggris akhirnya sampai di tapal batas selatan wilayah Kesultanan Utsmaniyah.[92] Situasi buntu di kawasan selatan Palestina bermula setelah pasukan Inggris dua kali gagal merebut Gaza antara tanggal 26 Maret sampai tanggal 19 April.[93] Kegiatan kampanye militer di Sinai dan Palestina tertahan untuk sementara waktu, dan pasukan Inggris baru dapat bergerak memasuki wilayah Palestina pada tanggal 31 Oktober 1917.[94]
1917: Negosiasi resmi Inggris dengan kaum Zionis
[sunting | sunting sumber]Menyusul pergantian kabinet pemerintahan Inggris, Mark Sykes diangkat menjadi Sekretaris Kabinet Perang yang bertanggung jawab menangani urusan-urusan Timur Tengah. Kendati sudah kenal baik dengan Moses Gaster,[xiii] Mark Sykes berusaha untuk bertemu dengan pemimpin-pemimpin kaum Zionis lainnya semenjak bulan Januari 1917. Pada akhir bulan itu, ia sudah berkenalan dengan Chaim Weizmann dan rekan seperjuangannya, Nahum Sokolow, wartawan sekaligus eksekutif Organisasi Zionis Sedunia yang hijrah ke Inggris pada permulaan Perang Dunia I.[xiv]
Dengan mengaku bertindak atas nama pribadi, Mark Sykes mengadakan serangkaian diskusi mendalam dengan jajaran pimpinan kaum Zionis pada tanggal 7 Februari 1917.[o] Hubungan yang pernah terjalin antara Inggris dengan "orang Arab" lewat surat-menyurat turut dibahas dalam pertemuan ini. Menurut catatan Nahum Sokolow, Mark Sykes mengemukakan bahwa "orang Arab menegaskan kalau bahasa harus dijadikan tolok ukur [dalam menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa di Palestina] dan [berdasarkan tolok ukur tersebut] dapat saja mengklaim seantero wilayah Suriah dan Palestina. Kendati demikian, orang Arab bisa diatur, apalagi jika mereka mendapat dukungan dari orang Yahudi dalam urusan-urusan lain."[97][98][p] Sampai dengan saat itu kaum Zionis belum tahu apa-apa tentang Persetujuan Sykes–Picot, meskipun sudah curiga.[97] Salah satu sasaran yang hendak dicapai Mark Sykes adalah menggerakkan Zionisme untuk menjadikan Inggris sebagai negara yang berwenang mengatur urusan luar negeri Palestina, sehingga ada alasan untuk membela diri jika digugat Prancis.[100]
Akhir 1917: Perkembangan Perang Dunia I
[sunting | sunting sumber]Selagi Kabinet Perang Inggris sibuk menggelar rapat-rapat pembahasan yang kelak melahirkan Deklarasi Balfour, Perang Dunia I telah sampai pada tahap buntu. Di Front Barat, Blok Sentral mula-mula unggul pada musim semi tahun 1918,[101] sebelum akhirnya diungguli Blok Sekutu untuk seterusnya sejak bulan Juli 1918.[101] Sekalipun sudah memaklumkan perang terhadap Jerman pada musim semi tahun 1917, Amerika Serikat belum ditimpa kerugian akibat perang sehingga tidak melibatkan diri secara aktif. Ketika korban-korban pertama berjatuhan di pihak Amerika Serikat pada tanggal 2 November 1917,[102] Presiden Woodrow Wilson masih saja berharap dapat menghindari pengerahan kontingen-kontingen besar prajurit ke medan perang.[103] Angkatan bersenjata Rusia diketahui terusik oleh revolusi yang tengah melanda Rusia dan peningkatan dukungan terhadap faksi Bolsyewik. Kendati demikian, Pemerintahan Sementara Rusia yang dikepalai Aleksander Kerenski masih melibatkan diri dalam peperangan. Rusia baru menarik diri sesudah revolusi mencapai tahap paripurna pada tanggal 7 November 1917.[104]
Persetujuan
[sunting | sunting sumber]April sampai Juni: Diskusi-diskusi Blok Sekutu
[sunting | sunting sumber]Arthur Balfour melangsungkan pertemuan dengan Chaim Weizmann di kantor Kementerian Luar Negeri Inggris pada tanggal 22 Maret 1917. Dua hari kemudian, Chaim Weizmann mengungkapkan bahwa pertemuan tersebut adalah "kali pertama saya berbincang secara mendalam dengan beliau".[105] Dalam pertemuan ini, Chaim Weizmann mengemukakan bahwa kaum Zionis lebih suka jika Palestina dijadikan wilayah protektorat Inggris alih-alih wilayah protektorat Amerika Serikat, wilayah protektorat Prancis, atau wilayah administrasi internasional. Arthur Balfour menyambut baik pernyataan ini, tetapi mewanti-wanti bahwa "bisa saja timbul masalah dengan Prancis dan Italia".[105]
Arah kebijakan Pracis sehubungan dengan Palestina pada khususnya dan Negeri Syam pada umumnya menjelang pencanangan Deklarasi Balfour mula-mula sejalan dengan butir-butir Persetujuan Sykes-Picot, tetapi mulai simpang siur sejak tanggal 23 November 1915 setelah Prancis mengendus adanya pembicaraan antara Inggris dan Syarif Mekah.[106] Sebelum tahun 1917, hanya Inggris yang bertempur di tapal batas selatan Kesultanan Utsmaniyah, mengingat Mesir jajahan Inggris memang berbatasan langsung dengan wilayah Kesultanan Utsmaniyah, lagipula Prancis masih disibukkan oleh pertempuran Front Barat yang berlangsung di negaranya.[107][108] Italia, yang mulai melibatkan diri dalam Perang Dunia I sesudah menandatangani Perjanjian London pada bulan April 1915, baru ikut turun tangan di Timur Tengah sesudah mencapai kesepakatan dengan Prancis dan Inggris dalam konferensi yang diselenggarakan di Saint-Jean-de-Maurienne pada bulan April 1917. Dalam konferensi ini, Lloyd George mengemukakan gagasan menjadikan Palestina sebagai negara protektorat Inggris , tetapi gagasan ini "ditanggapi dengan sangat dingin" oleh Prancis maupun Italia.[109][110][q] Pada bulan Mei dan Juni 1917, Prancis dan Italia menurunkan detasemen-detasemennya untuk membantu Inggris yang sedang giat memperbesar kekuatan tempurnya dalam rangka mempersiapkan diri untuk menyerang Palestina sekali lagi.[107][108]
Pada awal bulan April, Mark Sykes dan François Georges-Picot sekali lagi ditunjuk menjadi negosiator utama. Kali ini keduanya diutus ke Timur Tengah selama sebulan penuh untuk melakukan pembicaraan-pembicaraan lebih lanjut dengan Syarif Mekah dan pemimpin-pemimpin Arab lainnya.[111][r] Pada tanggal 3 April 1917, Mark Sykes menemui Lloyd George, Lord Curzon, dan Maurice Hankey untuk menerima surat tugas sehubungan dengan misi yang diembannya, yakni berusaha agar Prancis tidak menarik dukungannya sekaligus berusaha agar "tidak mencelakai pergerakan kaum Zionis maupun peluangnya untuk berkembang di bawah pengayoman Inggris , tidak membuat janji politik apapun dengan orang Arab, khususnya janji politik yang berkaitan dengan Palestina".[113] Sebelum bertolak ke Timur Tengah, François Georges-Picot, melalui Mark Sykes, mengundang Nahum Sokolow ke Paris untuk menatar para pejabat pemerintah Prancis agar paham akan Zionisme.[114] Mark Sykes, yang sudah melapangkan jalan lewat surat-menyurat dengan François Georges-Picot,[115] tiba beberapa hari sesudah Nahum Sokolow sampai ke Paris. Sebelum Mark Sykes tiba, Nahum Sokolow telah menemui François Georges-Picot dan pejabat-pejabat pemerintah Prancis lainnya, dan berhasil meyakinkan Kementerian Luar Negeri Prancis untuk menerima, sebagai bahan kajian, sebuah pernyataan sasaran-sasaran kaum Zionis "sehubungan dengan kumudahan-kemudahan kolonisasi, otonomi komunal, hak-hak berbahasa, dan pembentukan sebuah badan usaha Yahudi berpiagam pemerintah."[116] Mark Sykes melanjutkan perjalanannya ke Italia dan melangsungkan pertemuan dengan Duta Besar Inggris maupun wakil pemerintah Inggris di Vatikan untuk sekali lagi melapangkan jalan bagi Nahum Sokolow.[117]
Nahum Sokolow diberi kesempatan audiensi dengan Paus Benediktus XV pada tanggal 6 Mei 1917.[118] Menurut catatan jalannya audiensi yang ditulis Nahum Sokolow, yakni satu-satunya keterangan tentang pertemuan tersebut yang diketahui oleh para sejarawan, Sri Paus secara umum mengungkapkan simpati dan dukungannya terhadap proyek kaum Zionis.[119][xv] Pada tanggal 21 Mei 1917, Angelo Sereni, ketua Panitia Paguyuban-Paguyuban Bani Israel,[s] memperkenalkan Nahum Sokolow kepada Sidney Sonnino, Menteri Luar Negeri Italia. Ia juga diberi kesempatan bertatap muka dengan Paolo Boselli, Perdana Menteri Italia. Atas arahan Sidney Sonnino, sekretaris jenderal Kementerian Luar Negeri Italia mengirim sepucuk surat yang, kendati tidak dapat mengungkapkan pandangan pribadinya mengenai kebajikan-kebajikan sebuah program yang berkaitan dengan semua negara anggota Blok Sekutu, "secara umum" menyatakan bahwa ia tidak menentang klaim-klaim sah orang Yahudi.[125] Dalam perjalanan pulangnya, Nahum Sokolow sekali lagi berjumpa dengan pejabat-pejabat Prancis dan berhasil mendapatkan selembar surat tertanggal 4 Juni 1917 dari Kepala Bagian Urusan Politik Kementerian Luar Negeri Prancis Jules Cambon, yang berisi pernyataan simpati terhadap perjuangan kaum Zionis.[126] Surat ini tidak dipublikasikan, tetapi disimpan di kantor Kementerian Luar Negeri Inggris.[127][xvi]
Sesudah Amerika Serikat melibatkan diri dalam Perang Dunia I pada tanggal 6 April, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour memimpin rombongan Misi Balfour ke Washington D.C. dan New York, tempat ia singgah selama sebulan, dari pertengahan bulan April sampai pertengahan bulan Mei. Selama melawat ke Amerika Serikat, ia menyempatkan diri untuk berdiskusi tentang Zionisme dengan Louis Brandeis, seorang tokoh Zionis terkemuka dan sekutu dekat Presiden Woodrow Wilson yang telah diangkat menjadi salah seorang Hakim Agung Amerika Serikat setahun sebelumnya.[t]
Juni dan Juli: Keputusan untuk menyusun sebuah deklarasi
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 13 Juni 1917, Kepala Bagian Urusan Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Inggris Ronald Graham telah dapat memastikan bahwa ketiga politikus paling relevan – Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, dan Wakil Parlementer Menteri Luar Negeri Lord Robert Cecil – semuanya menghendaki agar Inggris mendukung pergerakan kaum Zionis.[u] Pada hari yang sama, Chaim Weizmann menyurati Ronald Graham untuk memperjuangkan dikeluarkannya sebuah deklarasi terbuka.[v][131][132]
Dalam suatu pertemuan pada tanggal 19 Juni, Arthur Balfour meminta Lord Rothschild dan Chaim Weizmann untuk mengajukan suatu rumusan deklarasi.[133] Sepanjang beberapa minggu berikutnya, panitia negosiasi kaum Zionis menyiapkan selembar draf deklarasi yang terdiri atas 143 patah kata, tetapi Mark Sykes, Ronald Graham, maupun Lord Rothschild menilai draf tersebut terlalu menjurus ke hal-hal yang sensitif.[134] Di lain pihak, Kementerian Luar Negeri Inggris juga menyiapkan selembar draf, yang digambarkan pada tahun 1961 oleh Harold Nicolson, selaku orang yang terlibat langsung dalam penyusunannya, sebagai usulan penciptaan "suaka bagi orang-orang Yahudi yang menjadi korban penindasan".[135][136] Draf yang disusun oleh Kementerian Luar Negeri Inggris ditolak mentah-mentah oleh kaum Zionis sehingga tidak jadi dipakai. Tak selembar pun salinan draf ini dapat ditemukan di kumpulan arsip Kementerian Luar Negeri Inggris .[135][136]
Sesudah berdiskusi lebih lanjut dengan pihak kementerian, Lord Rothschild akhirnya merevisi draf yang disiapkan kaum Zionis sehingga menjadi lebih singkat, hanya mengandung 46 patah kata, dan mengirimkannya kepada Arthur Balfour pada tanggal 18 Juli.[134] Draf ini diterima Kementerian Luar Negeri Inggris dan diajukan kepada kabinet untuk dipertimbangkan secara resmi.[137]
September dan Oktober: Persetujuan dari Amerika Serikat dan Kabinet Perang Inggris
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 31 Oktober 1917, Kabinet Perang Inggris memutuskan untuk mengeluarkan deklarasi. Keputusan ini diambil sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi dalam empat kali rapat kabinet perang (termasuk rapat tanggal 31 Oktober) yang digelar dalam tempo dua bulan.[137] Demi membantu memperlancar diskusi, Sekretariat Kabinet Perang Inggris dipimpin oleh Maurice Hankey dan dibantu para Sekretaris Pembantu[138][139] – terutama Mark Sykes dan Leo Amery, rekan separtai Mark Sykes di Parlemen Inggris yang juga pro-Zionis – mengumpulkan perspektif-perspektif pihak luar untuk diajukan kepada kabinet perang. Perspektif-perspektif pihak luar tersebut mencakup pandangan-pandangan para pejabat pemerintahan, pandangan-pandangan para sekutu dalam Perang Dunia I – teristimewa pandangan Presiden Woodrow Wilson – serta pernyataan-pernyataan pandangan resmi yang diajukan pada bulan Oktober oleh enam orang tokoh pimpinan kaum Zionis dan empat orang pemuka masyarakat Yahudi non-Zionis.[137]
Sebelum mengeluarkan deklarasi, para pejabat Inggris dua kali meminta persetujuan President Amerika Serikat Woodrow Wilson. Ketika pertama kali dimintai persetujuannya pada tanggal 3 September, President Woodrow Wilson menolak dengan alasan waktunya belum tepat. Ia baru memberikan persetujuan setelah diminta untuk kedua kalinya pada tanggal 6 Oktober.[140]
Petikan-petikan dari notula keempat rapat Kabinet Perang Inggris berikut ini memperlihatkan faktor-faktor utama yang menjadi bahan pertimbangan para menteri:
- 3 September 1917: "Menanggapi anjuran agar urusan ini sebaiknya ditangguhkan dulu, [Arthur Balfour] mengemukakan bahwa urusan ini sudah lama sekali ditahan-tahan Kementerian Luar Negeri. Ada organisasi yang sangat kuat dan antusias, khususnya di Amerika Serikat, yang gigih memperjuangkan urusan ini, serta mengemukakan keyakinannya bahwa Blok Sekutu akan sangat terbantu jika dapat menarik ketulusan dan kesungguhan orang-orang tersebut ke pihak kita. Jika tidak berbuat apa-apa, maka kita berisiko putus hubungan secara langsung dengan mereka, jadi situasi ini perlu dihadapi."[141]
- 4 Oktober 1917: "... [Arthur Balfour] mengemukakan bahwa pemerintah Jerman sedang berusaha keras menarik simpati gerakan Zionisme. Kendati ditentang oleh sejumlah hartawan Yahudi di negara itu, gerakan Zionisme didukung oleh mayoritas warga Yahudinya, setidaknya di Rusia dan Amerika, dan mungkin sekali di negara-negara lain ... Tuan Balfour selanjutnya membaca selembar pernyataan yang sangat simpatik dari pemerintah Prancis kepada kaum Zionis, lalu menegaskan bahwa ia tahu Presiden Woodrow Wilson benar-benar mendukung gerakan itu."[142]
- 25 Oktober 1917: "... sekretaris mengemukakan bahwa ia telah didesak oleh Kementerian Luar Negeri untuk mengangkat permasalahan Zionisme, suatu keputusan pendahuluan atas permasalahan ini dianggap sangat penting."[143]
- 31 Oktober 1917: "[Arthur Balfour] berkesimpulan semua orang kini setuju bahwa, ditinjau dari sudut pandang yang murni bersifat diplomatik dan politik, sudah sepatutnya dikeluarkan sebuah deklarasi yang mendukung aspirasi-aspirasi kaum nasionalis Yahudi. Mayoritas orang Yahudi di Rusia dan Amerika, maupun di seluruh dunia, kini tampaknya mendukung Zionisme. Jika kita dapat mengeluarkan sebuah deklarasi yang mendukung cita-cita tersebut, maka kita harus mampu melanjutkan kegiatan propaganda yang sangat berguna itu di Rusia dan Amerika."[144]
Penyusunan draf
[sunting | sunting sumber]Deklasifikasi arsip pemerintah Inggris telah memungkinkan para ahli untuk mengetahui keseluruhan proses penyusunan draf Deklarasi Balfour. Dalam bukunya yang terbit pada tahun 1961 dan kerap dijadikan sumber rujukan, Leonard Stein membeberkan empat draft terdahulu Deklarasi Balfour.[145]
Kegiatan penyusunan draf berawal dari petunjuk yang diberikan Chaim Weizmann kepada tim penyusun draf Zionis mengenai tujuan-tujuannya melalui sepucuk surat tertanggal 20 Juni 1917, sehari sesudah pertemuannya dengan Lord Rothschild dan Arthur Balfour. Ia mengusulkan agar deklarasi tersebut harus memuat penegasan dari pemerintah Inggris akan "keyakinan, kemauan, atau niatnya untuk mendukung kehendak kaum Zionis menciptakan kediaman nasional di Palestina; menurut hemat saya, soal kekuasaan suzeranitas tidak perlu disinggung-singgung karena dapat mengganggu hubungan baik antara Inggris dan Prancis; deklarasi ini harus merupakan deklarasi Zionis."[89][146]
Sebulan sesudah menerima draf ringkas yang diajukan Lord Rothschild pada tanggal 12 Juli, Arthur Balfour mengusulkan sejumlah amandemen yang lebih bersifat teknis.[145] Amandemen-amandemen yang lebih substantif termuat dalam dua draf berikutnya, yakni draf yang diajukan pada akhir bulan Agustus oleh Alfred Milner, salah seorang dari kelima anggota mula-mula kabinet perang Lloyd George dengan jabatan menteri tanpa portofolio,[xvii] dan draf yang diajukan pada awal bulan Oktober oleh Alfred Milner dan Leo Amery. Dalam draf yang diajukan pada akhir bulan Agustus, cakupan geografi disusutkan dari seluruh Palestina menjadi "di Palestina", sementara dalam draf yang diajukan pada awal bulan Oktober, tercantum tambahan dua "klausa pengaman".[145]
Daftar draf Deklarasi Balfour yang diketahui beserta perubahan dari draf ke draf | ||
---|---|---|
Draf | Teks | Perubahan |
Draf awal dari kaum Zionis Bulan Juli 1917[147] |
Pemerintahan Sri Baginda, sesudah mempertimbangkan sasaran-sasaran Organisasi Zionis, menerima prinsip pengakuan Palestina menjadi kediaman nasional bangsa Yahudi, dan hak bangsa Yahudi untuk membangun kehidupan berbangsa di Palestina di bawah perlindungan yang akan dibentuk saat perdamaian disepakati sesudah perang dimenangkan. Pemerintahan Sri Baginda, demi terwujudnya prinsip ini, memandang penting pemberian otonomi dalam negeri kepada bangsa Yahudi di Palestina, kebebasan berimigrasi bagi bangsa Yahudi, dan pembentukan sebuah Badan Usaha Kolonisasi Nasional Yahudi untuk menangani usaha pemukiman kembali serta pengembangan ekonomi negeri itu. |
|
Draf Lord Rothschild Tanggal 12 Juli 1917[147] |
1. Pemerintahan Sri Baginda menerima Prinsip bahwa Palestina harus direkonstitusi menjadi tanah air bangsa Yahudi. 2. Pemerintahan Sri Baginda akan berusaha sekuat dayanya untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan mendiskusikan metode-metode dan cara-cara yang diperlukan dengan Organisasi Zionis.[145] |
1. Pemerintahan Sri Baginda [*] menerima prinsip 2. Pemerintahan Sri Baginda [*] akan berusaha sekuat dayanya untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan mendiskusikan metode-metode dan cara-cara yang diperlukan dengan Organisasi Zionis. |
Draf Arthur Balfour Pertengahan bulan Agustus 1917 |
Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa Palestina harus direkonstitusi menjadi tanah air bangsa Yahudi, dan akan berusaha sekuat daya untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan Organisasi Zionis kepadanya.[145] | |
Draf Alfred Milner Akhir bulan Agustus 1917 |
Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa segala macam peluang harus dibuka bagi pembentukan tanah air bangsa Yahudi, dan akan berusaha sekuat dayanya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini serta akan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan organisasi-organisasi kaum Zionis kepadanya.[145] | Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa |
Draf Alfred Milner dan Leo Amery Tanggal 4 Oktober 1917 |
Pemerintahan Sri Baginda memandang baik pembentukan Palestina sebagai tanah air ras Yahudi, dan akan berusaha sekuat dayanya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini, dengan keinsyafan bahwa tak satu pun langkah pelaksanaannya akan mencederai hak-hak sipil dan beragama komunitas non-Yahudi di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati di negara manapun oleh para Yahudi yang sudah puas dengan kewarganegaraan yang dimilikinya saat ini.[145] | Pemerintahan Sri Baginda |
Versi akhir | Pemerintahan Sri Baginda memandang baik pembentukan Palestina sebagai tanah air bangsa Yahudi, dan akan berusaha sekuat daya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini, dengan keinsafan bahwa tak satu pun langkah pelaksanaannya akan mencederai hak-hak sipil dan beragama komunitas non-Yahudi di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati orang Yahudi di negara manapun. | Pemerintahan Sri Baginda memandang baik pembentukan Palestina sebagai tanah air |
Penulis-penulis terkemudian telah memperdebatkan siapa sesungguhnya "tokoh utama" dalam penyusunan Deklarasi Balfour. Dalam bukunya, The Anglo-American Establishment, yang terbit tahun 1981 sesudah ia wafat, Carroll Quigley, profesor sejarah di Universitas Georgetown, memaparkan pandangannya bahwa Lord Milnerlah yang berjasa menyusun Deklarasi Balfour.[xviii] Baru-baru ini, William D. Rubinstein, Profesor Sejarah Zaman Modern di Universitas Aberystwyth, Wales, mengemukakan bahwa Leo Amerylah penyusun utama Deklarasi Balfour.[150] Sahar Huneidi mengungkap dalam bukunya bahwa William Ormsby-Gore, dalam laporan yang ia susun untuk diserahkan kepada John Shuckburgh, mengaku telah menyusun draf akhir Deklarasi Balfour bersama-sama dengan Leo Amery.[151]
Pokok-pokok penting
[sunting | sunting sumber]Versi deklarasi yang telah disepakati, satu kalimat yang hanya terdiri dari 67 kata,[152] dikirim pada tanggal 2 November 1917 dalam sebuah surat singkat dari Balfour kepada Walter Rothschild, untuk dikirim ke Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia.[153] Deklarasi tersebut berisi empat klausul, dimana dua klausul pertama berjanji untuk mendukung "pendirian sebuah rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina", diikuti dengan dua klausul "perlindungan"[154][155] sehubungan dengan "hak-hak sipil dan agama dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina", dan "hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh orang-orang Yahudi di negara manapun juga".[153]
"Rumah nasional bagi bangsa Yahudi" vs negara Yahudi
[sunting | sunting sumber]"Kata-kata dalam dokumen ini dipilih dengan sangat cermat, dan frasa kabur 'kediaman nasional bagi orang Yahudi' dapat dianggap lumayan tidak mengkhawatirkan... Namun kekaburan makna frasa tersebut telah menjadi sumber masalah sedari awal. Orang-orang berjabatan tinggi telah menggunakan bahasa yang sangat longgar dengan penuh perhitungan untuk menyampaikan maksud yang berbeda dari maksud yang dapat dipahami dari kata-kata tersebut menurut tafsir yang lebih moderat. President Woodrow Wilson menghilangkan segala keraguan terkait maksud kata-kata tersebut dengan mengedepankan pemahamannya sendiri, ketika berbicara kepada para pemuka masyarakat Yahudi di Amerika pada bulan Maret 1919. 'Saya semakin yakin bahwa bangsa-bangsa sekutu, dengan dukungan bulat dari pemerintah dan rakyat kami, setuju bahwa di Palestina harus diasaskan sebuah persemakmuran Yahudi,' ujarnya.[w] Mendiang Presiden Roosevelt pernah menyatakan bahwa perihal 'Palestina harus dijadikan sebuah Negara Yahudi' sepatutnya dijadikan salah satu syarat perdamaian Blok Sekutu. Tuan Winston Churchill sudah berwacana tentang 'Negara Yahudi' dan Tuan Bonar Law sudah mengemukakan perihal 'pengembalian Palestina kepada orang Yahudi' dalam sidang parlemen." [157][x]
Laporan Komisi Palin, bulan Agustus 1920[159]
Istilah "rumah nasional" sengaja dibuat rancu,[160] tidak memiliki nilai hukum atau preseden dalam hukum internasional,[161] sehingga maknanya tidak jelas jika dibandingkan dengan istilah lain seperti "negara".[161] Istilah ini sengaja digunakan sebagai pengganti "negara" karena adanya penentangan terhadap program Zionis di dalam Kabinet Inggris.[161] Menurut sejarawan Norman Rose, para arsitek utama deklarasi tersebut merenungkan bahwa sebuah Negara Yahudi akan muncul pada waktunya, sementara Komisi Kerajaan Palestina menyimpulkan bahwa kata-kata tersebut merupakan "hasil kompromi antara para Menteri yang merenungkan pendirian akhir dari sebuah Negara Yahudi dan yang tidak."[162][xix]
Interpretasi terhadap kata-kata tersebut telah diupayakan dalam korespondensi yang mengarah ke versi final deklarasi. Sebuah laporan resmi kepada Kabinet Perang yang dikirim oleh Sykes pada 22 September mengatakan bahwa Zionis tidak ingin "mendirikan sebuah Republik Yahudi atau bentuk negara apa pun di Palestina atau di bagian mana pun di Palestina", melainkan lebih memilih suatu bentuk protektorat seperti yang diatur dalam Mandat Palestina.[y] Sebulan kemudian, Curzon membuat sebuah memorandum[165] yang diedarkan pada tanggal 26 Oktober 1917 di mana ia membahas dua pertanyaan, yang pertama mengenai makna frasa "Rumah Nasional untuk ras Yahudi di Palestina"; ia mencatat bahwa ada beberapa pendapat yang berbeda, mulai dari negara yang sepenuhnya berdiri sendiri sampai ke pusat spiritual bagi orang-orang Yahudi.[166]
Bagian pers Inggris berasumsi bahwa negara Yahudi dimaksudkan bahkan sebelum Deklarasi difinalisasi.[xx] Di Amerika Serikat pers mulai menggunakan istilah "Rumah Nasional Yahudi", "Negara Yahudi", "republik Yahudi" dan "Persemakmuran Yahudi" secara bergantian.[166]
Ahli perjanjian internasional, David Hunter Miller yang hadir pada konferensi dan kemudian mengkompilasikan sebuah dokumen ringkasan 22 volume, menyediakan sebuah laporan kepada Seksi Intelijen dari Delegasi Amerika untuk Konferensi Perdamaian Paris Tahun 1919 yang memberikan rekomendasi "bahwa akan dibentuk sebuah negara terpisah di Palestina", dan "itu akan menjadi kebijakan dari Liga Bangsa-Bangsa untuk mengakui bahwa Palestina sebagai sebuah Negara Yahudi sesegera mungkin, setelah pada faktanya itu merupakan sebuah Negara Yahudi".[168] [169] Laporan ini lebih lanjutnya menyarankan bahwa sebuah Negara Palestina Independen dibawah Mandat Liga Bangsa-Bangsa melalui Inggris dapat dibentuk. Pemukiman yahudi dapat diizinkan dan didukung di negaranya dan tempat-tempat suci di negara ini akan berada dibawah kendali Liga Bangsa-Bangsa.[169] Memang the Inquiry, kemudiannya memberikan keterangan positif tentang kemungkinan dibentuknya negara Yahudi yang nantinya akan dibuat di Palestina jika kebutuhan data demografinya telah ada.[169]
Sejarawan Matthew Jacobs kemudian menuliskan bahwa pendekatan AS terhambat dikarenkan oleh "kurangnya pengetahuan khusus tentang wilayah tersebut" dan "seperti pekerjaan Inquiry di Timur Tengah, laporannya atas Palestina sangatlah cacat" dan " diperkirakan merupakan hasil tertentu dari konflik". Dia kemudian mengutip Miller, menuliskan tentang sebuah laporan atas sejarah dan pengaruh dari Zionis, " sangat tidak memadai dari sisi manapun dan harus dianggap tidak lebih dari sebagai bahan untuk laporan-laporan di masa depan".[170]
Lord Robert Cecil pada tanggal 2 Desember 1918, memastikan dalam sebuah pertemuan bahwa pemerintah sepenuhnya memaksudkan bahwa "Judea adalah untuk Yahudi."[168] Yair Auron berpendapat bahwa Cecil, yang dulunya merupakan Wakil Sekretaris Untuk Urusan Luar Negeri yang mewakili Pemerintah Inggris pada perayaan Federasi Zionis Inggris, menyatakan "kemungkinan telah melampaui arahannya" dan berkata (dia mengutip Stein) "harapan kami adalah Negara-negara Arab untuk bangsa Arab, Armenia untuk bangsa Armenia dan Yudea adalah untuk bangsa Yahudi".[171]
Pada bulan Oktober, Neville Chamberlain ketika memimpin sebuah pertemuan Zionis mendiskusikan sebuah "Negara Zionis Baru".[168] Pada waktu itu, Chamberlain merupakan Anggota Parlemen daerah pemilihan Ladywood, Birmingham; memanggil kembali peristiwa tersebut pada Tahun 1939, setelah Chamberlain menyetujui Buku Putih 1939, Badan Telegraf Yahudi mencatat bahwa perdana menteri telah memiliki "mengalami perubahan pikiran yang nyata dalam 21 tahun intervensi"[172], setahun kemudian pada perayaan Deklarasi yang kedua kalinya, Jenderal Jan Smuts mengatakan bahwa "akan menebus janjinya ... dan negara Yahudi yang besar pada akhirnya akan bangkit."[168] Dalam nada yang sama, Churchill beberapa bulan kemudian menyatakan:
Jika memungkinkan, akan dibentuk dalam kehidupan kita sebuah Negara Yahudi yang terletak di tepi Negara Yordania dibawah perlindungan Inggris yang mungkin terdiri dari tiga atau empat juta orang yahudi, sebuah peristiwa yang akan menjadi sejarah dunia yang dari setiap sudut pandang akan bermanfaat.[173]
Pada tanggal 22 Juni 1921 saat pertemuan dengan Kabinet Imperial, Churchill ditanya oleh Perdana Menteri Arthur Meighen tentang makna dari rumah nasional. Churchill menjawab "Jika dalam perjalanan bertahun-tahun mereka(para Yahudi) menjadi mayoritas di negara ini, mereka secara alami akan mengambil alih ... pro rata dengan Arab. Kami membuat permintaan yang sama bahwa kami tidak akan membuat orang Arab meninggalkan tanahnya atau menyerang hak-hak politik dan sosialnya".[174]
Merespon Curzon pada bulan Januari 1919, Balfour menulis "Weizmann tidak pernah mengajukan sebuah klaim kepada Pemerintahan Palestina Yahudi. Seperti sebuah klaim yang dalam pendapat saya jelas tidak dapat diterima dan secara pribadi saya tidak berfikir kita seharusnya melangkah lebih jauh dari deklarasi aslinya yang saya buat untuk Tuan Rothschild." [175] Dalam bulan Februari 1919, Prancis mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa tidak akan menjadi sebuah penentangan dalam menempatkan Palestina dibawah Perwalian Inggris dan Pembentukan sebuah Negara Yahudi. Freidman lebih lanjut mencatat bahwa sikap Prancis terus berubah[168]; Yehuda Blum, ketika mendiskusikan "perilaku tidak bersahabat Prancis terhadap pergerakan nasional Yahudi" mencatat bahwa isi dari laporan yang dibuat oleh Robert Vansittart (seorang pemimpin dari Delegasi Inggris dalam Konfrensi Perdamaian Paris) terhadap Curzon pada bulan November 1920 yang berbunyi :
(Prancis) telah menyetujui Rumah Nasional Yahudi (menggunakan huruf kapital dalam sumbernya), bukan sebuah Negara Yahudi. Mereka meyakini bahwa kami mengarahkan langsung menuju yang terakhir (maksudnya mengarahkan pada Negara Yahudi), dan hal yang paling terakhir yang mereka lakukan adalah memperluas negara disebabkan mereka menolak kebijakan kami [176].
Menteri Luar Negeri Yunani mengatakan kepada editor organisasi Pro-Israel Salonica Jewish bahwa " dalam upaya pembentukan Negara Yahudi, telah dilakukan pertemuan di Yunani dengan rasa simpati yang tulus.... Sebuah Palestina Yahudi akan menjadi sekutu Yunani"[168]. Di Swiss, dalam sejumlah catatan para sejarawan termasuk Prof. Tobler, Forel-Yvorne dan Rogaz, mendukung ide untuk membentuk negara Yahudi dengan salah satu dari mereka menyebut bahwa pembentukan itu sebagai "sebuah hak suci dari orang yahudi". Ketika di Jerman, para pejabat dan banyak jurnalis mengambil makna dari Deklarasi tersebut bahwa Inggris mendukung pembentukan sebuah negara untuk para orang yahudi.[168] Pejabat pemerintah Inggris, termasuk Churchill, memperjelas bahwa Deklarasi ini tidak bermaksud untuk mengubah keseluruhan daerah Palestina menjadi sebuah Rumah Nasional Yahudi, "tetapi seperti sebuah rumah yang harus dibentuk di Palestina"[xxi]. Amir Faisal, Raja Suriah dan Irak, membuat sebuah pernyataan perjanjian resmi tertulis bersama Pemimpin Zionis Chaim Weizmann, yang dirancang oleh T.E. Lawrence, dimana mereka akan mencoba untuk membangun sebuah hubungan damai dengan bangsa Arab dan Yahudi di Palestina[177]. Perjanjian antara Faisal dan Weizmann 3 Januari 1919 tersebut berumur pendek untuk kerja sama Arab-Yahudi dalam pengembangan tanah air Yahudi di Palestina. Faisal memang memperlakukan Palestina secara berbeda dalam perwakilannya di Konferensi Perdamaian pada 6 Februari 1919 dengan mengatakan "Palestina, karena sifatnya yang universal, (harus) dibiarkan di satu sisi untuk pertimbangan bersama semua pihak yang terkait" [178][179]. Perjanjian itu tidak pernah dilaksanakan. Dalam surat berikutnya yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh Lawrence untuk tanda tangan Faisal, dia menjelaskan:
Kami merasa bahwa bangsa Arab dan Yahudi adalah saudara se-ras, telah menderita akibat penindasan serupa di tangan kekuatan yang lebih kuat dari diri mereka sendiri, dan secara kebetulan bahagia telah mampu mengambil langkah pertama menuju pencapaian cita-cita nasional mereka bersama. Kami orang Arab, terutama yang terpelajar di antara kami, dengan simpati terdalam melihat gerakan Zionis ... Kami akan melakukan yang terbaik, sejauh yang kami ketahui, untuk membantu mereka melalui hal tersebut. Kami akan mengucapkan selamat datang kepada orang-orang Yahudi.
Ketika surat tersebut diajukan kepada Komisi Shaw di tahun 1929, Rustam Haidar berbicara kepada Amir Faisal di Baghdad dan membalas "bahwa ia tidak ingat kalau sudah pernah menulis hal semacam itu" [180]. Pada bulan Januari 1930, Haidar menulis pada sebuah koran di Baghdad bahwa Amir Faisal "menemukan bahwa itu lebih aneh daripada menjadikan itu sebuah masalah yang dikaitkan kepadanya karena ia tidak ada waktu untuk mempertimbangkan dalam mengizinkan bangsa lain untuk berbagi tanah air di sebuah negara arab".
Cakupan rumah nasional "di Palestina"
[sunting | sunting sumber]Pernyataan bahwa tanah air seperti itu akan ditemukan "di Palestina" daripada "dari Palestina" juga disengaja.[181] Usulan draf deklarasi yang terkandung dalam surat Rothschild tanggal 12 Juli kepada Balfour mengacu pada prinsip "bahwa Palestina harus dibentuk kembali sebagai Rumah Nasional orang-orang Yahudi." [182] Dalam teks terakhir, setelah amandemen Lord Milner, kata "dibentuk kembali" dihapus dan kata "itu" diganti dengan "dalam". [183] [184]
Dengan demikian, teks ini menghindari penetapan keseluruhan Palestina sebagai Rumah Nasional orang-orang Yahudi, yang mengakibatkan kontroversi di tahun-tahun mendatang mengenai ruang lingkup yang dimaksud, khususnya sektor Zionisme Revisionis , yang mengklaim keseluruhan Palestina Wajib dan Emirat Transyordania sebagai Tanah Air Yahudi [183] Hal ini diklarifikasi oleh Buku Putih Churchill tahun 1922, yang menulis bahwa "ketentuan deklarasi yang dimaksud tidak mempertimbangkan bahwa Palestina secara keseluruhan harus diubah menjadi Rumah Nasional Yahudi, tetapi bahwa Rumah tersebut harus didirikan 'di Palestina." [185]
Deklarasi tersebut tidak memasukkan batas geografis apapun untuk Palestina.[186] Setelah perang berakhir, tiga dokumen – deklarasi, Korespondensi Hussein-McMahon dan Perjanjian Sykes-Picot – menjadi dasar negosiasi untuk menetapkan batas-batas Palestina.[187]
Hak-hak sipil dan keagamaan komunitas non-Yahudi di Palestina
[sunting | sunting sumber]"Namun, jika persyaratan ketat dari Pernyataan Balfour dipatuhi ... hampir tidak diragukan lagi bahwa Program Zionis ekstrem harus dimodifikasi secara besar-besaran. Karena "rumah nasional bagi orang-orang Yahudi" tidak sama dengan membuat Palestina menjadi sebuah Negara Yahudi; juga tidak dapat mendirikan Negara Yahudi seperti itu tanpa pelanggaran berat atas "hak-hak sipil dan keagamaan komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina." Fakta itu muncul berulang kali dalam konferensi Komisi dengan perwakilan Yahudi, bahwa para Zionis menantikan perampasan total penduduk Palestina non-Yahudi saat ini, dengan berbagai bentuk pembelian."
Laporan Komisi King–Crane Commission , Agustus 1919 [188]
Klausul pengamanan pertama deklarasi tersebut merujuk pada perlindungan hak-hak sipil dan agama non-Yahudi di Palestina. Klausul tersebut telah disusun bersama dengan perlindungan kedua oleh Leo Amery dalam konsultasi dengan Lord Milner, dengan maksud untuk "melakukan langkah yang wajar untuk menemui para penentang, baik Yahudi maupun pro-Arab, tanpa merusak substansi dari deklarasi yang diusulkan".[189] [190]
Kaum "non-Yahudi" merupakan 90% dari populasi Palestina; [191] dalam kata-kata Ronald Storrs , Gubernur Militer Inggris di Yerusalem antara tahun 1917 dan 1920, komunitas mengamati bahwa mereka "tidak begitu banyak disebut, baik sebagai orang Arab, Muslim atau Kristen, tetapi disatukan di bawah kategori negatif dan definisi yang memalukan tentang 'Komunitas Non-Yahudi' dan diturunkan ke ketentuan yang lebih rendah". [192] [193] Komunitas juga mencatat bahwa tidak ada referensi untuk melindungi "status politik" atau hak politik mereka, seperti yang ada dalam perlindungan selanjutnya terkait dengan orang Yahudi di negara lain. [192] [193]Perlindungan ini sering dikontraskan dengan komitmen terhadap komunitas Yahudi, dan selama bertahun-tahun berbagai istilah digunakan untuk menyebut kedua kewajiban ini sebagai pasangan;[194] [195] pertanyaan yang sangat panas adalah apakah kedua kewajiban ini memiliki "bobot yang sama", dan pada tahun 1930 status yang sama ini dikonfirmasi oleh Komisi Mandat Permanen dan oleh pemerintah Inggris dalam kertas putih Passfield .[196]
Balfour menyatakan pada Februari 1919 bahwa Palestina dianggap sebagai kasus pengecualian di mana, mengacu pada penduduk setempat, "kami dengan sengaja dan berhak menolak untuk menerima prinsip penentuan nasib sendiri ," [197] meskipun ia menganggap bahwa kebijakan tersebut memberikan penentuan nasib sendiri kepada orang Yahudi.[198] Avi Shlaim menganggap deklarasi ini sebagai "kontradiksi terbesar".[199] Prinsip penentuan nasib sendiri ini telah dideklarasikan dalam berbagai kesempatan setelah deklarasi – Empat Belas Poin Januari 1918 dari Presiden Wilson , Deklarasi McMahon ke Tujuh pada bulan Juni 1918, Deklarasi Anglo-Prancis November 1918 ,yang telah membentuk sistem mandat . , Frederic Maugham [200] Dalam memo Agustus 1919, Balfour mengakui ketidakkonsistenan di antara pernyataan-pernyataan ini, dan selanjutnya menjelaskan bahwa Inggris tidak berniat berkonsultasi dengan penduduk Palestina yang ada.[201] Hasil dari konsultasi Komisi Penyelidikan Raja-Bangau Amerika yang sedang berlangsung tentang penduduk setempat – yang telah ditarik oleh Inggris – dirahasiakan selama tiga tahun hingga laporan tersebut bocor pada tahun 1922.[202] Pemerintah Inggris selanjutnya telah mengakui hal ini kekurangan, khususnya komite tahun 1939 yang dipimpin oleh Lord Chancellor , yang menyimpulkan bahwa pemerintah tidak "bebas mengatur Palestina tanpa memperhatikan keinginan dan kepentingan penduduk Palestina", [203] dan pernyataan bulan April 2017 oleh Menteri Luar Negeri Inggris Baroness Anelay yang diakui pemerintah bahwa "Deklarasi seharusnya menyerukan perlindungan hak politik komunitas non-Yahudi di Palestina, khususnya hak mereka untuk menentukan nasib sendiri." [204]
Hak dan status politik orang Yahudi di negara lain
[sunting | sunting sumber]Klausul pengamanan kedua adalah komitmen bahwa tidak ada yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak komunitas Yahudi di negara lain di luar Palestina. [205] Rancangan asli Rothschild, Balfour, dan Milner tidak menyertakan kerangka pengaman ini, yang disusun bersama dengan kerangka pengaman sebelumnya pada awal Oktober, [205] untuk mencerminkan tentangan dari anggota komunitas Anglo-Yahudi yang berpengaruh. [205] Lord Rothschild mengambil pengecualian atas ketentuan tersebut atas dasar bahwa hal itu mengandaikan kemungkinan bahaya bagi non-Zionis, yang dia bantah.[206]
The Conjoint Foreign Committee of the Board of Deputies of British Jewish and the Anglo-Jewish Association menerbitkan surat di The Times pada 24 Mei 1917 berjudul Views of Anglo-Jewry , ditandatangani oleh presiden kedua organisasi tersebut, David Lindo Alexander dan Claude Montefiore , yang menyatakan pandangan mereka bahwa: "pendirian kewarganegaraan Yahudi di Palestina, yang didasarkan pada teori tunawisma ini, pasti memiliki efek di seluruh dunia yang mencap orang Yahudi sebagai orang asing di tanah air mereka, dan merongrong posisi mereka yang diperoleh dengan susah payah sebagai warga negara dan warga negara dari tanah ini." [207] Ini diikuti pada akhir Agustus oleh Edwin Montagu, seorang Yahudi anti-Zionis yang berpengaruh dan Sekretaris Negara untuk India , dan satu-satunya anggota Yahudi dari Kabinet Inggris, yang menulis dalam memorandum Kabinet bahwa: "Kebijakan Pemerintah Yang Mulia adalah anti-Semit dan akan membuktikan dasar bagi anti-Semit di setiap negara di dunia.
Baca juga
[sunting | sunting sumber]- Proposal untuk negara Yahudi
- Mandat Britania untuk Palestina (instrumen hukum)
- Sejarah diplomatik Perang Dunia I
Catatan
[sunting | sunting sumber]Kutipan pendukung primer
[sunting | sunting sumber]- ^ Moses Montefiore adalah orang Yahudi terkaya di Inggris, dan pemimpin Dewan Perwakilan Umat Yahudi Inggris. Surat pertama yang dikirimkan Charles Henry Churchill pada tahun 1841, dimaksudkan untuk mengatalisasi ketertarikan terhadap emigrasi orang Yahudi ke Palestina. Dalam surat ini, Charles Henry Churchill mengemukakan bahwa, "misalkan anda dan kolega-kolega anda secara bersama-sama serta bersungguh-sungguh mencurahkan minat pada perkara penting ini, yakni perihal pemulihan negara kuno anda, maka saya melihat (dengan mendasarkan opini-opini saya pada sikap terkini pemerintah dalam hubungan luar negeri dengan Kesultanan Utsmaniyah) bahwa hanya selaku kawula Gerbang Agung sajalah anda sekalian dapat mulai mengupayakan tempat berpijak di Palestina."[8]
- ^ Menurut memoar Weizmann, isi perbincangan mereka adalah sebagai berikut: "Tuan Balfour, misalkan saya menawarkan Paris alih-alih London kepada Tuan, apakah Tuan akan terima tawaran saya?" Beliau bangkit berdiri, menatap saya, lalu menjawab, "Tapi Dr. Weizmann, kami punya London." "Itu benar," kata saya, "tapi kami dulu punya Yerusalem sewaktu London masih rawa-rawa." Beliau ... mengutarakan dua hal yang terus terngiang-ngiang dalam ingatan saya. Yang pertama adalah, "banyakkah orang Yahudi yang sepikiran dengan anda?" Saya jawab, "saya yakin bahwa saya menyuarakan isi benak jutaan orang Yahudi yang tidak akan pernah Tuan jumpai dan yang tidak dapat menyuarakan sendiri pendapat mereka." ... Menanggapi ucapan saya ini, beliau berkata, "jika betul demikian, kalian dapat menjadi kekuatan besar suatu hari nanti." Tak lama sebelum saya pamit, Balfour berkata, "Saya heran. Orang-orang Yahudi yang saya jumpai agak berbeda." Saya jawab, "Tuan Balfour, yang Tuan jumpai itu jenis orang Yahudi yang keliru".[25]
- ^ Weizmann menjabarkan jalannya pertemuan ini dalam catatannya sebagai berikut: "[James] beranggapan bahwa aspirasi-aspirasi orang Yahudi terkait Palestina akan ditanggapi dengan sangat baik di lingkungan pemerintahan, yang akan mendukung proyek semacam itu, dilihat dari sudut padangan kemanusiaan maupun dari sudut pandang politik Inggris. Pembentukan komunitas Yahudi yang kuat di Palestina akan dipandang sebagai sebuah aset politik yang bernilai tinggi. Oleh karena itu ia beranggapan bahwa tuntutan-tuntutan yang ujung-ujungnya cuma meminta dukungan terhadap usaha kolonisasi orang Yahudi di Palestina sesungguhnya terlampau bersahaja dan tidak cukup mampu menggugah para negarawan Inggris. Orang semestinya meminta sesuatu yang lebih besar daripada itu dan yang mengarah kepada pembentukan Negara Yahudi."[28] Gutwein menafsirkan diskusi ini sebagai berikut: "Anjuran James agar kaum Zionis tidak terhenti pada tuntutan pemukiman orang Yahudi di Palestina saja, tetapi meradikalisasi tuntutan-tuntutan mereka akan sebuah negara Yahudi, mencerminkan kontrasnya sikap politik antara golongan reformis, yang sedianya akan mendukung pemukiman orang Yahudi di Palestina sebagai bagian dari usaha reorganisasi Kesultanan Utsmaniyah, dan golongan radikal, yang memandang negara Yahudi sebagai alat pemecah-belah Kesultanan Utsmaniyah. Sekalipun James menegaskan bahwa tuntutan akan sebuah negara Yahudi akan membantu usaha mendapatkan dukungan para negarawan Inggris, jika menilik penentangan Asquith dan Grey terhadap tuntutan ini, agaknya isi penyampaian James yang kurang tepat kalau tidak dapat dikatakan menyesatkan itu dimaksudkan untuk membujuk Weizmann, yang sama artinya dengan membujuk kaum Zionis, untuk membantu golongan radikal dan Lloyd George."[28]
- ^ Memurut memoir Weizmann: "Masuknya Turki ke kancah peperangan dan isi pidato perdana menteri di Balai Gilda merupakan dorongan tambahan yang mempercepat usaha penjajakan... Tanpa disangka-sangka muncul kesempatan untuk membahas permasalahan-permasalahan orang Yahudi dengan Tuan Charles Prestwich Scott (Editor surat kabar Manchester Guardian)… Tuan Scott, yang saya yakini sudah sangat teliti dan penuh simpati mencurahkan perhatiannya terhadap keseluruhan permasalahan tersebut, cukup berbaik hati berjanji akan menyampaikan soal ini kepada Tuan Lloyd George... Karena kebetulan harus memenuhi beberapa janji pertemuan yang sudah telanjur dibuat, Tuan Lloyd George menyarankan agar saya menemui Tuan Herbert Samuel, dan wawancara pun dilangsungkan di kantornya. [Catatan kaki: 10 Desember 1914]"[50]
- ^ Menurut memoar Weizmann: "Beliau yakin bahwa tuntutan-tuntutan saya terlampau bersahaja, bahwasanya perkara-perkara besar harus dilaksanakan di Palestina; beliau sendiri akan berhijrah dan berharap orang-orang Yahudi segera berhijrah begitu situasi militer telah dibereskan... Orang Yahudi harus rela berkorban. Ia pun siap untuk berkorban. Ketika itulah saya memberanikan diri untuk menanyakan, dari segi apa rencana-rencana Tuan Samuel lebih ambisius dibanding rencana saya. Tuan Samuel tidak begitu suka untuk mebincangkan rencana-rencananya, karena lebih senang untuk membiarkan rencana-rencana tersebut tetap 'cair', tetapi ia menyarankan agar orang Yahudi membangun jalur-jalur kereta api, pelabuhan-pelabuhan, sebuah universitas, jaringan persekolahan, dan lain-lain... Ia juga berpikir bahwa mungkin Haikal dapat dibangun kembali, sebagai lambang persatuan orang Yahudi, tentunya dalam bentuk yang sudah dimordenisasi."[52]
- ^ Menurut memoar Weizmann: "Atas saran Baron James, saya menjumpai Sir Philip Magnus. Lama saya berbincang dengan beliau, dan beliau mengungkapkan kesediaan beliau untuk bekerja sama, asalkan tidak sampai menyinggung pihak lain... Saya meminta opini Sir Philip mengenai manfaat dan mudarat melakukan temu wicara dengan Tuan Balfour, dan beliau beranggapan bahwa wawancara dengan Tuan Balfour tentu akan sangat menarik sekaligus bermanfaat... Dalam salah satu kunjungan saya ke London, saya menyurati Tuan Balfour dan berhasil membuat janji temu wicara dengan beliau pada hari Sabtu, pekan yang sama, pukul 12 siang di reumah beliau.[Catatan kaki: 12 Desember 1914] Saya berbicara kepada beliau dengan cara yang sama ketika berbicara dengan Tuan Samuel, tetapi keseluruhan perbincangan kami malah menjadi lebih bersifat akademis ketimbang praktis."[53]
- ^ Weizmann diminta menciptakan cara baru untuk memproduksi aseton guna menekan biaya produksi kordit.[49] Anggapan umum bahwa peran ini mempengaruhi keputusan untuk mencanangkan Deklarasi Balfour sudah dianggap "mengada-ada",[58] "dongeng", "mitos",[59] dan "hasil khayalan [Lloyd George] belaka".[60] Dalam Kenang-Kenangan Perang yang memunculkan mitos ini, Lloyd George memaparkan sebagai berikut: "Namun pada musim semi tahun 1915, posisi di pasar aseton Amerika sudah sangat mengkhawatirkan... Menurut hasil pantauan kita atas segala macam keperluan yang mungkin timbul, dalam waktu singkat dapat diketahui secara jelas bahwa pasokan alkohol kayu untuk kegiatan manufaktur aseton nyata-nyata tidak cukup untuk memenuhi permintaan yang kian meningkat, khususnya pada tahun 1916... Ketika sedang mondar-mandir mencari solusi untuk mengatasi kesulitan ini, saya berpapasan dengan mendiang Charles Prestwich Scott, Editor surat kabar Manchester Guardian... Saya diberitahu tentang Profesor Weizmann, dan yang bersangkutan saya undang ke London untuk bertatap muka dengan saya... Ia sanggup memproduksi aseton melalui suatu proses fermentasi pada skala laboratorium, tetapi masih perlu waktu untuk memastikan bahwa proses tersebut dapat dilakukan pada skala pabrik. Beberapa minggu kemudian, ia mendatangi saya dan memberitahukan bahwa "masalah sudah terpecahkan."... Ketika kesulitan-kesulitan kita sudah teratasi berkat kejeniusan Dr. Weizmann, saya sampaikan kepadanya, 'anda sudah sangat berjasa bagi negara, jadi saya harus minta Perdana Menteri mengajukan rekomendasi kepada Sri Baginda agar berkenan menganugerahkan satu dua penghargaan untuk anda.' Ia berkata, 'saya tidak mengharapkan apa-apa.' 'Tapi adakah sesuatu yang dapat kami perbuat untuk menunjukkan pengakuan kami terhadap jasa-jasa anda yang begitu besar bagi negara?' tanya saya. 'Ada', jawabnya, 'saya mohon kiranya Tuan sudi melakukan sesuatu untuk bangsa saya.' Ia kemudian menjelaskan aspirasi-aspirasinya tentang repatriasi orang Yahudi ke tanah suci yang sudah mereka gembar-gemborkan itu. Itulah sumber dan cikal bakal deklarasi terkenal mengenai Kediaman Nasional bagi orang Yahudi di Palestina. Begitu saya menjadi perdana menteri, urusan ini saya bahas tuntas dengan Tuan Balfour, yang ketika itu menjabat sebagai menteri luar negeri. Selaku seorang ilmuwan, ia benar-benar terkesan mendengar penuturan saya tentang pencapaian-pencapaian Dr. Weizmann. Kami begitu tidak sabaran saat itu untuk menghimpun dukungan orang Yahudi di negara-negara netral, terutama di Amerika. Dr. Weizmann pun diperkenalkan dengan menteri luar negeri, dan perkenalan ini menjadi awal dari hubungan baik yang kelak melahirkan, lewat penelaahan yang lama dan saksama, Deklarasi Balfour yang terkenal itu..."[61]
- ^ Dalam sepucuk surat tertanggal 27 Februari 1916, jelang keberangkatannya ke Rusia, Sykes berkabar kepada Samuel sebagai berikut: "saya baca memorandum [tahun 1915 yang anda susun] dan sudah hafal isinya."[65] Sehubungan dengan tapal-tapal batas, Sykes memberikan penjelasannya sebagai berikut: "Dengan dikecualikannya Hebron dan daerah di sisi timur Sungai Yordan, berkurang pula pokok bahasan yang harus dibicarakan dengan kaum Muslim, karena Mesjid Umar ketika itu menjadi satu-satunya pokok bahasan mahapenting yang perlu dibicarakan dengan mereka, dan semakin mempertegas pemutusan perhubungan dengan kaum badawi, yang tidak pernah menyeberangi sungai itu selain untuk berbisnis. Dalam benak saya, tujuan utama Zionisme adalah merealisasikan cita-cita penciptaan pusat kebangsaan, bukannya tapal-tapal batas maupun luas wilayah."[66]
- ^ Baca isi surat asli tertanggal 25 Oktober 1915 di sini. George Antonius – orang pertama yang menerbitkan surat-surat tersebut secara utuh – menyebut surat ini sebagai "surat terpenting di antara semua surat yang dialamatkan Henry McMahon kepada Syarif Mekah, dan dapat dianggap sebagai dokumen internasional terpenting dalam sejarah pergerakan nasional Arab... masih dirujuk sebagai bukti utama yang melandasi dakwaan bangsa Arab bahwa Inggris telah mencederai janjinya kepada mereka."[68]
- ^ Dalam memo yang ia keluarkan pada bulan Agustus 1919, Arthur Balfour mengemukakan bahwa, "pada tahun 1915, Syarif Mekahlah yang dipercaya untuk menetapkan tapal-tapal batas, dan tidak ada batasan apa pun yang diberlakukan atas kebebasannya untuk mengambil keputusan dalam urusan ini, selain dari beberapa rancangan yang bertujuan melindungi kepentingan-kepentingan Prancis di Suriah Barat dan Kilikia. Pada tahun 1916, semuanya ini tampaknya sudah lekang dari ingatan orang. Persetujuan Sykes–Picot tidak menyebut-menyebut Syarif Mekah, dan sejauh berkaitan dengan lima dokumen kita, sudah tidak terdengar lagi kabar tentang dirinya semenjak saat itu. Sebuah metode yang sepenuhnya baru diadopsi oleh Prancis dan Inggris, yang bersama-sama merumuskan rancangan-rancangan ala kadarnya dari wilayah tersebut dalam Persetujuan Sykes–Picot, yakni rancangan-rancangan yang sampai sejauh ini tidak diterima secara gamblang maupun diganti secara gamblang oleh negara-negara Blok Sekutu dan negara-negara mitranya."[72]
- ^ Sykes telah membincangkan urusan ini dengan Picot. Ia mengusulkan pembentukan sebuah negara kesultanan bangsa Arab di Palestina di bawah naungan Prancis dan Inggris. Ia mendapat teguran resmi dari Grey, Buchanan harus memberitahu Sykes 'untuk melupakan bahwa memorandum kabinet Tuan Samuel ada menyinggung mengenai wilayah protektorat Inggris dan saya sampaikan kepada Tuan Samuel waktu itu bahwa wilayah protektorat Inggris memang hal yang mustahil terwujud dan Sir M. Sykes mestinya tidak menyinggungnya tanpa menjelaskan kemustahilannya'.[79]
- ^ Isi telegram yang ditujukan kepada Sazonov dapat dibaca di [82]
- ^ Dalam rangka memastikan mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak oleh kaum Zionis, saya berpedoman pada telegram dari anda serta ingatan saya akan isi memorandum Tuan Samuel kepada kabinet pada bulan Maret 1915. Dalam telegram dikatakan bahwa rezim internasional bukan bentuk yang tepat dan dalam memorandum dikatakan bahwa dominion Prancis juga bukan bentuk yang tepat. Di lain pihak [? Prancis terlewatkan] [jika sikap Picot betul-betul mencerminkan sikap pemerintah Prancis] tidak akan pernah setuju kalau Inggris yang berkuasa untuk sementara waktu maupun menyelenggarakan pemerintahan sementara di Palestina, sekalipun kita iming-imingi Siprus sebagai hadiah dan mengangkat orang Prancis menjadi gubernur atas Yerusalem, Betlehem, Nasaret, dan Yafo. Tampaknya hal ini tidak dapat mereka terima dengan lapang dada, dan tindakan mengungkit hal ini tampaknya cuma membangkitkan segala kenangan buruk yang mengesalkan hati mereka mulai dari masalah Jeanne d'Arc sampai ke masalah Fasyoda
- ^ Sykes mendapat teguran resmi dari Grey, Buchanan harus menyuruh Sykes 'untuk melupakan bahwa memorandum kabinet Tuan Samuel ada menyinggung mengenai wilayah protektorat Inggris dan saya sampaikan kepada Tuan Samuel waktu itu bahwa wilayah protektorat Inggris memang hal yang mustahil terwujud dan Sir M. Sykes mestinya tidak menyinggungnya tanpa menjelaskan kemustahilannya'.[79]
- ^ Pada tahun 1919, Nahum Sokolow menggambarkan jalannya pertemuan tersebut sebagai berikut: "Tanggal 7 Februari 1917 merupakan sebuah titik balik dalam sejarah... Pada permulaan tahun 1917, Sir Mark Sykes menjalin keakraban dengan Dr. Weizmann serta penulis sendiri, dan diskusi-diskusi yang dilakukan beliau dengan Dr. Weizmann akhirnya bermuara pada pertemuan tanggal 7 Februari 1917, yang menandai awal dari negosiasi-negosiasi resmi. Selain Sir Mark Sykes, orang-orang yang ikut hadir dalam pertemuan ini adalah Lord Rothschild, Tuan Herbert Bentwich, Tuan Joseph Cowen, Dr. M. Gaster (yang rumahnya dijadikan tempat pertemuan), Tuan James de Rothschild, Tuan Harry Sacher, Yang Terhormat Tuan Herbert Samuel Anggota Parlemen, Dr. Chaim Weizmann, dan penulis sendiri. Perbincangan membuahkan hasil yang memuaskan, dan diputuskan untuk meneruskan ikhtiar ini."[96]
- ^ Sykes juga memberitahu kaum Zionis bahwa ia akan mengadakan pertemuan dengan Picot esok hari dan Sokolow ditunjuk Rothschild untuk ikut menghadiri pertemuan tersebut yang menurut rencana akan dilangsungkan di rumah Sykes. Sokolow berhasil memaparkan perjuangan kaum Zionis dan mengungkapkan keinginannya akan sebuah wilayah protektorat Inggris kendati Picot menolak membahas soal ini. Sehari sesudahnya, Sokolow dan Picot melangsungkan pertemuan sendiri di kantor Kedutaan Prancis. Dalam pertemuan ini, Picot mengatakan bahwa "ia sendiri yang akan mengatur agar fakta-fakta tentang Zionisme dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang tepat dan ia akan berusaha sekuat daya untuk mendapatkan simpati dalam bentuk apa saja bagi gerakan tersebut selama masih sejalan dengan pendirian Prancis dalam permasalahan ini."[99]
- ^ Setelah meninjau kembali konferensi ini pada tanggal 25 April, kabinet perang "cenderung berpandangan bahwa cepat atau lambat Persetujuan Sykes-Picot mesti dikaji ulang... Tidak ada tindakan apapun yang sekarang harus diambil sehubungan dengan hal ini".[109]
- ^ Sykes selaku Kepala Pejabat Politik untuk Pasukan Ekspedisioner Mesir dan Picot selaku Haut-Commissaire Français pour Les Territoires Occupés en Palestine et en Syrie (Komisaris Tinggi untuk [bakal] Wilayah-Wilayah Pendudukan di Palestina dan Suriah), masing-masing menerima surat tugas mereka pada tanggal 3 April dan 2 April.[112][113] Rencananya Sykes dan Picot akan tiba di Timur Tengah pada akhir bulan April, dan melanjutkan pembicaraan sampai akhir bulan Mei.[111]
- ^ Panitia Paguyuban Bani Israel (bahasa Italia: Comitato delle università israelitiche) kini bernama Serikat Komunitas Yahudi Italia (bahasa Italia: Unione delle comunità ebraiche italiane, disingkat UCEI)
- ^ Pada tahun 1929, pimpinan Zionis Jacob de Haas menulis sebagai berikut: "Pada bulan Mei 1917, menjelang kedatangan Misi Balfour ke Amerika Serikat, President Wilson berusaha meluangkan banyak waktu untuk membicarakan prospek-prospek kaum Zionis terkait Palestina, dan kesempatan ini tidak disia-siakan. Dalam resepsi resmi pertama yang digelar President Wilson untuk menyambut Tuan Balfour, si tamu agung menyebut Brandeis sebagai orang yang ingin ia ajak berbicara empat mata. Ketika berada di Washington, Tuan Balfour merangkum pendiriannya dalam satu kalimat, "saya seorang Zionis." Kendati Balfour dan Brandeis hanya bertemu bilamana sempat, tokoh-tokoh Zionis lainnya bertemu dan membincangkan permasalahan Palestina dengan semua anggota rombongan misi Inggris yang pengertian baiknya perlu ditumbuhsuburkan menurut anggapan Zionis. Tindakan ini dipandang perlu karena ketika itu pembentukan wilayah mandat Amerika untuk Palestina, yakni kebijakan yang tidak disukai Brandeis, tak henti-hentinya dibahas oleh media massa Eropa."[128]
- ^ Ronald Graham mengemukakan dalam surat yang ia kirim kepada Lord Hardinge, Wakil Permanen Menteri Luar Negeri (jabatan pegawai negeri sipil atau pegawai negeri bukan menteri yang paling senior di kantor Kementerian Luar Negeri) pada tanggal 13 Juni 1917 sebagai berikut: "Tampaknya karena simpati terhadap pergerakan kaum Zionis, yang sudah diungkapkan oleh Perdana Menteri, Tuan Balfour, Lord R. Cecil, dan pejabat-pejabat lainnya, kita harus bersungguh-sungguh mendukung pergerakan kaum Zionis, sekalipun sampai dengan kebijakan kaum Zionis terumuskan secara lebih jelas dukungan kita mestilah bersifat umum. Oleh karena itu kita harus memetik segala macam keuntungan politik sebanyak mungkin dari hubungan kita dengan Zionisme, dan tidak diragukan lagi bahwa keuntungan tersebut nantinya sangat besar, teristimewa di Rusia, tempat satu-satunya sarana untuk menjangkau orang Yahudi dari kalangan proletariat adalah Zionisme, yang keanggotaannya meliputi sebagian besar warga Yahudi di negara itu."[129]
- ^ Weizmann mengemukakan dalam suratnya sebagai berikut: "Dari segala segi tampaknya pemerintah Inggris sudah harus mengungkapkan rasa simpati dan dukungannya terhadap klaim-klaim kaum Zionis atas Palestina. Sesungguhnya pemerintah Inggris hanya perlu mengonfirmasi pandangan yang sudah sering kali diungkapkan kepada kita oleh para petinggi maupun wakil-wakil rakyat yang duduk dalam pemerintahan, dan yang sudah hampir tiga tahun lamanya melandasi negosiasi-negosiasi kita"[130]
- ^ Pada tanggal 16 April 1919, sebagai jawaban atas permohonan para Utusan Perdamaian Amerika untuk mengklarifikasi pandangan-pandangannya yang diberitakan dalam surat kabar, Woodrow Wilson menegaskan, "tentu saja saya tidak menggunakan kata-kata yang dikutip dalam lampiran, dan kata-kata tersebut pun tidak disebut sebagai kata-kata saya. Namun saya memang mengutarakan maksud yang diungkapkan dengan kalimat 'diasaskan sebuah persemakmuran Yahudi' dalam kutipan tersebut, meskipun kalimat itu sedikit melenceng dari apa yang ada dalam benak saya ketika itu. Saya hanya bermaksud untuk menegaskan persetujuan yang sudah kita tunjukkan terhadap sikap pemerintahan Inggris sehubungan dengan masa depan Palestina'.[156]
- ^ Schmidt mengutip pendapat Stein bahwa "pandangan-pandangan Bonar Law perihal kaum Sionis tidaklah diketahui orang", putra dan penulis biografinya pun demikian.[158]
- ^ Memorandum resmi Sykes yang memberikan umpan balik pada pertemuan tersebut mencatat sebagai berikut: A. Apa yang tidak diinginkan oleh Zionis: I. Untuk memiliki kekuasaan politik khusus di kota tua Yerusalem itu sendiri atau kontrol atas Tempat Suci Kristen atau Muslim; II. Untuk mendirikan Republik Yahudi atau bentuk negara lainnya di Palestina atau atau di bagian Palestina mana pun; III. Untuk menikmati hak khusus apa pun yang tidak dinikmati oleh penduduk Palestina lainnya; B. Apa yang diinginkan Zionis: I. Pengakuan penduduk Yahudi di Palestina sebagai unit nasional, federasi dengan [lainnya] kesatuan nasional di Palestina; II. Pengakuan hak pemukim Yahudi yang bonafid untuk dimasukkan ke dalam kesatuan nasional Yahudi di Palestina" [164]
Catatan penjelas dan sudut pandang cendekiawan
[sunting | sunting sumber]- ^ Renton menjelaskannya sebagai berikut: "Salah satu aspek krusial dari penggambaran Deklarasi Balfour sebagai produk belas kasihan Inggris seperti ini, apabila dibandingkan dengan realpolitik, adalah bahwasanya Inggris memiliki rasa peduli yang alami dan mengakar terhadap hak-hak orang Yahudi, terutama terhadap pemulihan bangsa mereka, yang sudah mendarah daging dalam kebudayaan dan sejarah Inggris. Dengan penyajian seperti ini, Deklarasi Balfour dibuat tampak sebagai peristiwa yang muncul secara alami, seakan-akan sudah ditakdirkan Tuhan. Dengan demikian, Zionisme ditampilkan bukan semata-mata sebagai telos sejarah bangsa Yahudi melainkan juga sejarah bangsa Inggris. Kecenderungan sejarah nasionalis dan sejarah Zionis untuk berkembang menuju satu titik takdir dan penebusan membuka ruang, yang memang perlu ada, bagi penjelasan semacam itu. Dengan demikian diciptakanlah mitos 'proto-Zionisme' Inggris, yang sudah begitu lama memengaruhi historiografi Deklarasi Balfour, sekadar untuk memenuhi kebutuhan para juru propaganda Zionis yang bekerja bagi pemerintah Inggris."[2]
- ^ Donald Lewis mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Pokok pikiran dari karya tulis ini adalah bahwasanya dengan menginsafi [filosemitisme Kristen dan Zionisme Kristen] sajalah seseorang dapat memahami pengaruh agama dan kebudayaan yang bahu-membahu menciptakan suatu iklim opini di kalangan elit politik di Inggris yang mendukung Deklarasi Balfour."[7]
- ^ Sehubungan dengan rancangan-rancangan Eropa untuk mendorong umat Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Yahudi berimigrasi ke Palestina, Schölch mengemukakan bahwa "dari sekian banyak proyek dan usaha kolonisasi itu, hanya dua yang berhasil, yakni usaha-usaha pemukiman Serikat Haikal sejak tahun 1868 dan usaha-usaha pemukiman para imigran Yahudi sejak tahun 1882."[9]
- ^ LeVine dan Mossberg menjabarkan pokok pikiran ini sebagai berikut: "Cikal bakal Zionisme bukanlah agama Yahudi maupun tradisi, melainkan antisemitisme dan nasionalisme. Cita-cita Revolusi Prancis, yang secara perlahan-lahan menyebar ke seluruh penjuru Eropa, pada akhirnya mencapai daerah Tapal Batas Permukiman di Kekaisaran Rusia dan turut membantu kelahiran Haskalah, atau gerakan Pencerahan Yahudi. Kemunculan Haskalah mengakibatkan perpecahan permanen di kalangan umat Yahudi sedunia, yakni perpecahan antara golongan yang berpegang teguh pada halakah atau visi agama-sentris dari jati diri mereka dan golongan yang mengadopsi sebagian dari retorika rasial pada masa itu serta membuat orang Yahudi menjadi sebuah bangsa. Keadaan ini dibantu oleh gelombang pogrom di Eropa Timur yang mengakibatkan dua juta orang Yahudi terpaksa mengungsi ke tempat lain; kebanyakan mengungsi ke Amerika, tetapi ada pula yang memutuskan untuk mengungsi ke Palestina. Penggerak di balik semua ini adalah gerakan Hobebei Tsion, yang sejak tahun 1882 bergiat mengembangkan suatu jati diri Ibrani yang berbeda dari keyahudian sebagai sebuah agama."[12]
- ^ Gelvin mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Kenyataan bahwa nasionalisme Palestina berkembang lebih kemudian daripada Zionisme, dan memang berkembang sebagai tanggapan terhadap Zionisme, sama sekali tidak mengecilkan nasionalisme Palestina maupun membuatnya tidak seabsah Zionisme. Semua gerakan nasionalisme muncul sebagai penentangan terhadap 'pihak lain'. Apa lagi alasan perlunya menjabarkan jati diri anda? Dan semua nasionalisme disifatkan oleh apa yang ditentangnya. Sebagaimana yang sudah kita ketahui, Zionisme itu sendiri muncul sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan antisemit dan nasionalis eksklusioner di Eropa. Jadi keliru jika kita menilai Zionisme lantaran satu dan lain hal tidak seabsah antisemitisme atau nasionalisme-nasionalisme Eropa tersebut. Lagi pula Zionisme itu sendiri juga disifatkan oleh penentangannya terhadap warga pribumi Palestina. Baik slogan 'pendaulatan tanah' maupun slogan 'pendaulatan tenaga kerja', yang menjadi unsur pokok dari tuntutan dominan Zionisme di Yisyub, tercipta sebagai hasil konfrontasi kaum Zionis dengan bangsa Palestina selaku 'pihak lain'."[13]
- ^ Defries mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Kendati enggan, Balfour sudah menyetujui usaha-usaha permulaan Chamberlain untuk menolong orang Yahudi mencari wilayah untuk dijadikan sebuah permukiman Yahudi. Menurut penulis biografinya, ia sudah cukup tertarik pada gerakan Zionisme menjelang akhir tahun 1905 sampai-sampai mengizinkan kepala hubungan konstituen Yahudi dalam partainya, Charles Dreyfus, untuk mengatur pertemuan dengan Weizmann. Mungkin sekali hatinya tergelitik oleh penolakan Kongres Zionis terhadap tawaran 'Uganda'. Agaknya mustahil Balfour 'teryakinkan untuk berubah' mendukung Zionisme lantaran pertemuan ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh Weizmann dan digembar-gemborkan oleh penulis biografi Balfour. Balfour baru saja meletakkan jabatan perdana menteri ketika berjumpa dengan Weizmann."[19]
- ^ Rovner mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Pada musim semi tahun 1903, menteri berusia enam puluh enam tahun yang rewel dalam urusan kerapian berpakaian itu baru saja pulang dari lawatannya ke tanah jajahan Inggris di Afrika... Entah bagaimana caranya sehingga gagasan itu tercetus dalam benaknya, yang jelas Chamberlain menerima Herzl di kantornya cuma beberapa minggu seusai pogrom-pogrom di Kisyinyew. Dengan tatapan yang tajam menembus lensa monokelnya, ia menawarkan bantuan kepada Herzl. "Saya sudah menemukan tanah untuk anda dalam penjalanan lawatan saya," kata Chamberlain kepada Herzl, "yaitu Uganda. Memang letaknya tidak di pesisir, tetapi semakin masuk ke pedalaman semakin bagus iklimnya, bahkan cocok bagi orang Eropa… lalu terbersit dalam pikiran saya, sepertinya ini tanah yang tepat untuk Dr. Herzl." "[22]
- ^ Rovner mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Pada sore hari keempat penyelenggaraan kongres, Nordau yang sudah terlihat lelah mengajukan tiga resolusi ke hadapan dewan delegasi, yakni (1) bahwasanya Organisasi Zionis mengarahkan seluruh usaha pemukiman di masa yang akan datang semata-mata ke Palestina; (2) bahwasanya Organisasi Zionis berterima kasih kepada pemerintah Inggris atas tawaran wilayah otonom di Afrika Timur; dan (3) bahwasanya orang Yahudi yang menyatakan kesediaannya untuk mendukung Program Basel sajalah yang dibenarkan menjadi anggota Organisasi Zionis." Zangwill berkeberatan… Ketika Nordau menegaskan bahwa kongres berhak untuk meloloskan resolusi-resolusi tersebut, Zangwill pun berang. "Anda akan didakwa di hadapan pengadilan sejarah," katanya menantang Nordau… Mulai sekitar pukul 1:30 lewat tengah hari, pada hari Minggu tanggal 30 Juli 1905, seorang Zionis dimaknai sebagai orang yang mengusung Program Basel dan satu-satunya "tafsir sah" dari program tersebut yang membatasi kegiatan pemukiman di Palestina saja. Zangwill dan para pendukungnya tidak dapat menerima "tafsir sah" dari Nordau yang mereka yakini akan mengakibatkan penelantaran massa Yahudi dan visi Herzl. Salah seorang teritorialis mengklaim Usisykin beserta para pemilik hak suara yang sehaluan dengannya sudah nyata-nyata "mengubur Zionisme politik"."[23]
- ^ Yonathan Mendel mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: Persentase orang Yahudi di Palestina sebelum kebangkitan Zionisme dan gelombang-gelombang aliyah tidak dapat dipastikan angkanya, tetapi mungkin sekali berkisar antara 2 sampai 5 persen. Menurut catatan-catatan Kesultanan Utsmaniyah, pada tahun 1878, jumlah keseluruhan penduduk di kawasan yang kini menjadi wilayah Israel/Palestina berjumlah 462.465 jiwa pada tahun 1878. Jumlah keseluruhan ini terdiri atas 403.795 jiwa (87%) umat Islam, 43.659 jiwa (10%) umat Kristen, dan 15.011 jiwa (3%) umat Yahudi (dikutip dalam Alan Dowty, Israel/Palestine, Cambridge: Polity, 2008, hlm. 13). Baca juga Mark Tessler, A History of the Israeli–Palestinian Conflict (Bloomington, IN: Indiana University Press, 1994), hlmn. 43 dan 124.[40]
- ^ Schneer mengemukakan bahwa: "Deklarasi Balfour tidak dengan sendirinya merupakan sumber masalah di sebuah negeri yang sebelumnya kurang lebih damai, tetapi Deklarasi Balfour juga bukanlah sekadar papan penunjuk arah belaka di sebuah jalan yang tak bersimpang menuju jurang. Tak seorang pun dapat menduga jalan sejarah Palestina andaikata Deklarasi Balfour tidak pernah ada. Apa yang sudah terjadi adalah akibat dari adanya kekuatan-kekuatan dan faktor-faktor yang sama sekali tidak terduga."[44]
- ^ Kedourie menjelaskan pernyataan Buku Putih Churchill tahun 1922 sebagai berikut: "... dusta bahwa pemerintah 'senantiasa' menganggap rancangan Henry McMahon mencakup Wilayet Beirut dan Sanjaq Yerusalem, karena nyatanya dalil ini tidak lebih lama umurnya daripada memorandum Hubert Winthrop Young yang terbit pada bulan November 1920"[63]
- ^ Sekembalinya dari Petrograd, sesudah menerima teguran resmi, Sykes menyurati Sir Arthur Nicholson katanya, "dari isi telegram anda, saya khawatir sudah menyusahkan anda sehubungan dengan Picot & Palestina. Namun percayalah, belum ada kerugian apa-apa, P sedang senang-senangnya menikmati puri barunya di Armenia, dan S[azonow] kelihatannya gembira dapat lepas dari keharusan untuk menangani orang Armenia dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang sanggup ia tolong. Menurut hemat saya, kaum Zionislah yang kini menjadi kunci situasi-masalahnya adalah bagaimana caranya agar mereka dapat merasa puas?...." Isi surat selengkapnya dapat dibaca di [84]
- ^ Menurut penuturan banyak pihak, antara lain Schneer, peran serta Gaster dalam memunculkan Deklarasi Balfour telah disepelekan orang. Para ahli, termasuk James Renton, sudah mengusahakan agar peran sertanya kembali dihargai.[95]
- ^ Sykes diperkenalkan dengan Weizmann and Sokolow oleh James Aratoon Malcolm, pengusaha Inggris keturunan Armenia, dan L. J. Greenberg, editor surat kabar mingguan The Jewish Chronicle.[89]
- ^ Dalam History of Zionism yang ditulisnya, Sokolow mengemukakan bahwa ia menjumpai para kardinal dan beraudiensi dengan Sri Paus, tetapi tidak memerinci lebih lanjut.[120] Sokolow menulis tiga laporan mengenai isi pembicaraannya dengan Sri Paus. Satu laporan tulis tangan dalam bahasa Prancis, yang dijadikan acuan oleh Minerbi "karena pembicaraan tersebut mungkin sekali berlangsung dalam dalam bahasa Prancis dan karena laporan tersebut ditulis tangan sendiri oleh Sokolow segera sesudah pertemuan berakhir"[121][122] dan dua laporan lainnya "diketik dalam bahasa Italia beberapa hari seusai audiensi".[121][122] Kreutz, mengikuti Stein, mewanti-wanti bahwa laoran-laporan itu "tentu saja tidak boleh dianggap sebagai sebuah catatan verbatim"[123][124] Minerbi menerjemahkannya sebagai berikut: "Sokolow: Hati saya benar-benar tersentuh bila mengenang kembali peristiwa-peristiwa bersejarah itu. Memang sudah sepatutnya demikian. Izinkanlah saya untuk menambahkan bahwa Roma yang dulu membinasakan Yudea sudah mendapatkan balasan yang setimpal. Roma sudah tiada, sementara orang Yahudi bukan saja masih hidup sampai sekarang, melainkan juga masih cukup berdaya untuk mengklaim kembali negeri mereka. Sri Paus: Ya, ya, memang sudah ditakdirkan demikian; sudah kehendak Tuhan... Sri Paus:...Tetapi hal-ihwal tempat-tempat suci adalah persoalan yang sangat penting bagi kami. Hak-hak suci harus tetap lestari. Kami akan mengatur hal ini dengan Gereja maupun negara-negara Adidaya. Anda harus menghormati hak-hak ini seutuh-utuhnya... Hak-hak ini sudah setua ratusan tahun, dijamin dan dilestarikan oleh semua pemerintahan."
- ^ Sekalipun surat tersebut sudah diserahkan Sokolow kepada Ronald Graham, Picot dipanggil ke London pada akhir bulan Oktober untuk menghadiri rapat kabinet dan menjelaskan pendirian Prancis dalam hal pergerakan kaum Zionis. Kaufman mengutip pendapat Stein bahwa mungkin saja dokumen tersebut tidak diteruskan kepada Lord Balfour dan mungkin pula Lord Barfour lupa akan keberadaan surat itu. Selain itu Kaufman juga mengutip pendapat Verete bahwa dokumen tersebut mungkin sekali sudah hilang.[127]
- ^ Milner dijadikan anggota kabinet karena pernah bertugas sebagai Komisaris Tinggi untuk Kawasan Selatan Afrika semasa Perang Boer II, perang berskala besar terakhir yang melibatkan Inggris sebelum meletusnya Perang Dunia I
- ^ Quigley menulis sebagai berikut: "Deklarasi yang selama ini disebut sebagai Deklarasi Balfour semestinya disebut "Deklarasi Milner" karena sesungguhnya Milnerlah yang menyusunnya, dan rupa-rupanya Milner pula yang paling gigih memperjuangkannya dalam rapat kabinet perang. Fakta ini baru diungkap kepada publik pada tanggal 21 Juli 1937. Ketika itu William Ormsby-Gore, atas nama pemerintah Inggris, mengemukakan di hadapan sidang Majelis Rakyat Jelata bahwa, "draf yang mula-mula diajukan oleh Lord Balfour bukanlah draft akhir yang disetujui kabinet perang. Draf yang disetujui kabinet perang dan kemudian disetujui pula oleh pemerintah negara-negara Blok Sekutu serta pemerintah Amerika Serikat... dan akhirnya terwujud dalam Mandat Liga Bangsa-Bangsa, sesungguhnya disusun oleh Lord Milner. Draf akhir memang harus dikeluarkan atas nama Menteri Luar Negeri, tetapi penyusunnya adalah Lord Milner."[149]
- ^ Norman Rose menjelaskan sebagai berikut:"Disana tidak ada keraguan tentang apa yang ada dalam pikiran ketua perancang Deklarasi Balfour. Buktinya tak terbantahkan. Semua membayangkan, dalam suatu waktu, akan muncul negara Yahudi. Untuk Zionis, itu adalah langkah pertama yang akan mengarah ke negara Yahudi. Namun bagi Weizmann – seorang Anglophile yang telah dikonfirmasi – dan kepemimpinan Zionis di sana terbukti memiliki dampak yang merugikan. Ketika Inggris berusaha untuk mendamaikan kewajiban mereka yang berbeda-beda, maka dimulailah bagi kaum Zionis suatu periode yang penuh janji tetapi juga frustrasi yang hebat. Seorang yang sinis mencatat bahwa proses pengurangan Deklarasi Balfour dimulai pada 3 November 1917."[163]
- ^ The Daily Chronicle, pada 30 Maret 1917, menganjurkan menghidupkan kembali "Palestina Yahudi" dan membangun "negara Zionis ... di bawah perlindungan Inggris."[167]. The New Europe, pada 12, 19, dan 26 April 1917, menulis tentang " a Jewish State," seperti yang dilakukan surat kabar lainnya, termasuk Liverpool Courier (24 April), The Spectator (5 Mei), dan Glasgow Herald.[167] Beberapa surat kabar Inggris menulis bahwa adalah kepentingan Inggris untuk mendirikan kembali "Negara Yahudi" atau "Negara Yahudi". Di antaranya adalah Methodist Times, The Manchester Guardian, The Globe, dan The Daily News.(29 Mei).[167]
- ^ Ketika ditanya pada tahun 1922 apa makna dari pengembangan Rumah Nasional Yahudi di Palestina, Churchill menjawab "Pertanyaan itu mungkin dapat dijawab bahwa bukan pengenaan kewarganegaraan Yahudi atas penduduk Palestina secara keseluruhan, tetapi pengembangan lebih lanjut dari komunitas Yahudi yang ada ... agar dapat menjadi pusat di mana orang-orang Yahudi sebagai keseluruhan dapat mengambil, atas dasar agama dan ras, suatu kepentingan dan kebanggaan ... bahwa ia harus tahu bahwa itu di Palestina sebagai hak dan bukan penderitaan ... bahwa keberadaan Rumah Nasional Yahudo di Palestina harus dijamin dalam hubungan internasional"
Kutipan
[sunting | sunting sumber]- ^ Renton 2007, hlm. 2.
- ^ Renton 2007, hlm. 85.
- ^ Schölch 1992, hlm. 44.
- ^ a b Stein 1961, hlm. 5–9.
- ^ a b Liebreich 2004, hlm. 8–9.
- ^ Schölch 1992, hlm. 41.
- ^ Lewis 2014, hlm. 10.
- ^ a b c Friedman 1973, hlm. xxxii.
- ^ Schölch 1992, hlm. 51.
- ^ a b Cleveland & Bunton 2016, hlm. 229.
- ^ a b Cohen 1989, hlm. 29–31.
- ^ a b c LeVine & Mossberg 2014, hlm. 211.
- ^ Gelvin 2014, hlm. 93.
- ^ Rhett 2015, hlm. 106.
- ^ Cohen 1989, hlm. 31–32.
- ^ Cohen 1989, hlm. 34–35.
- ^ a b Rhett 2015, hlm. 107–108.
- ^ Weizmann 1949, hlm. 93–109.
- ^ Defries 2014, hlm. 51.
- ^ Klug 2012, hlm. 199–210.
- ^ Hansard, Aliens Bill: HC Deb 02 Mei 1905 jld 145 cc768-808; dan Aliens Bill, HC Deb 10 Juli 1905 jld 149 cc110-62
- ^ Rovner 2014, hlm. 51–52.
- ^ Rovner 2014, hlm. 81.
- ^ Rovner 2014, hlm. 51–81.
- ^ Weizmann 1949, hlm. 111.
- ^ a b Lewis 2009, hlm. 73–74.
- ^ Penslar 2007, hlm. 138–139.
- ^ a b Gutwein 2016, hlm. 120–130.
- ^ Schneer 2010, hlm. 129–130: "Baron James memohon dengan sangat kepadanya..."
- ^ a b Schneer 2010, hlm. 130.
- ^ a b Cooper 2015, hlm. 148.
- ^ Stein 1961, hlm. 66–67.
- ^ Schneer 2010, hlm. 110.
- ^ Fromkin 1990, hlm. 294.
- ^ Tamari 2017, hlm. 29.
- ^ Cleveland & Bunton 2016, hlm. 38.
- ^ Quigley 1990, hlm. 10.
- ^ Friedman 1973, hlm. 282.
- ^ Della Pergola 2001, hlm. 5 dan Bachi 1974, hlm. 5
- ^ Mendel 2014, hlm. 188.
- ^ Friedman 1997, hlm. 39–40.
- ^ a b Tessler 2009, hlm. 144.
- ^ Neff 1995, hlm. 159–164.
- ^ Schneer 2010, hlm. 14.
- ^ Schneer 2010, hlm. 32.
- ^ Büssow 2011, hlm. 5.
- ^ Reid 2011, hlm. 115.
- ^ Defries 2014, hlm. 44.
- ^ a b Lewis 2009, hlm. 115–119.
- ^ Weizmann 1983, hlm. 122.
- ^ Huneidi 2001, hlm. 79–81.
- ^ Weizmann 1983, hlm. 122b.
- ^ Weizmann 1983, hlm. 126.
- ^ Kamel 2015, hlm. 106.
- ^ Huneidi 2001, hlm. 83.
- ^ a b Billauer 2013, hlm. 21.
- ^ Lieshout 2016, hlm. 198.
- ^ Defries 2014, hlm. 50.
- ^ Cohen 2014, hlm. 47.
- ^ Lewis 2009, hlm. 115.
- ^ Lloyd George 1933, hlm. 50.
- ^ Posner 1987, hlm. 144.
- ^ Kedourie 1976, hlm. 246.
- ^ Kattan 2009, hlm. xxxiv (Peta 2), dan hlm. 109.
- ^ Kamel 2015, hlm. 109.
- ^ Sanders 1984, hlm. 347.
- ^ a b Huneidi 2001, hlm. 65.
- ^ Antonius 1938, hlm. 169.
- ^ Huneidi 2001, hlm. 65–70.
- ^ Kattan 2009, hlm. 103.
- ^ Kattan 2009, hlm. 101.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaBalfour1919
- ^ Kedourie 2013, hlm. 66.
- ^ a b Dockrill & Lowe 2002, hlm. 539–543, isi memorandum bersama selengkapnya.
- ^ a b Ulrichsen & Ulrichsen 2014, hlm. 155–156.
- ^ a b c Schneer 2010, hlm. 75–86.
- ^ a b Khouri 1985, hlm. 8–10
- ^ a b Kedourie 2013, hlm. 81.
- ^ a b Lieshout 2016, hlm. 196.
- ^ Halpern 1987, hlm. 48, 133.
- ^ Rosen 1988, hlm. 61.
- ^ Jeffries 1939, hlm. 112-114.
- ^ Friedman 1973, hlm. 119-120.
- ^ Kedourie, Elie (1970). "Sir Mark Sykes and Palestine 1915-16". Middle Eastern Studies. 6 (3): 340–345. doi:10.1080/00263207008700157. JSTOR 4282341.
- ^ Dockrill & Lowe 2001, hlm. 228–229.
- ^ Lieshout 2016, hlm. 189.
- ^ Shlaim 2005, hlm. 251–270.
- ^ Hourani 1981, hlm. 211.
- ^ a b c Gutwein 2016, hlm. 117–152.
- ^ Mathew 2013, hlm. 231–250.
- ^ Woodward 1998, hlm. 119–120.
- ^ a b Woodfin 2012, hlm. 47–49.
- ^ Grainger 2006, hlm. 81–108.
- ^ Grainger 2006, hlm. 109–114.
- ^ Renton 2004, hlm. 149.
- ^ Sokolow 1919, hlm. 52.
- ^ a b Schneer 2010, hlm. 198.
- ^ Stein 1961, hlm. 373; Stein mengutip isi catatan Sokolow yang tersimpan di Pusat Arsip Zionis.
- ^ Schneer 2010, hlm. 200.
- ^ Schneer 2010, hlm. 198–200.
- ^ a b Zieger 2001, hlm. 97–98.
- ^ Zieger 2001, hlm. 91.
- ^ Zieger 2001, hlm. 58.
- ^ Zieger 2001, hlm. 188–189.
- ^ a b Schneer 2010, hlm. 209.
- ^ Brecher 1993, hlm. 642–643.
- ^ a b Grainger 2006, hlm. 66.
- ^ a b Wavell 1968, hlm. 90–91.
- ^ a b Lieshout 2016, hlm. 281.
- ^ Grainger 2006, hlm. 65.
- ^ a b Schneer 2010, hlm. 227–236.
- ^ Laurens 1999, hlm. 305.
- ^ a b Lieshout 2016, hlm. 203.
- ^ Schneer 2010, hlm. 210.
- ^ Schneer 2010, hlm. 211.
- ^ Schneer 2010, hlm. 212.
- ^ Schneer 2010, hlm. 214.
- ^ Schneer 2010, hlm. 216.
- ^ Friedman 1973, hlm. 152.
- ^ Sokolow 1919, hlm. 52–53.
- ^ a b Minerbi 1990, hlm. 63–64, 111.
- ^ a b Minerbi 1990, hlm. 221; mengutip CZA Z4/728 untuk versi bahasa Prancisnya dan CZA A18/25 untuk versi bahasa Italianya..
- ^ Stein 1961, hlm. 407.
- ^ Kreutz 1990, hlm. 51.
- ^ Manuel 1955, hlm. 265–266.
- ^ Kedourie 2013, hlm. 87.
- ^ a b Kaufman 2006, hlm. 385.
- ^ de Haas 1929, hlm. 89–90.
- ^ Friedman 1973, hlm. 246.
- ^ Weizmann 1949, hlm. 203.
- ^ Palestina dan Deklarasi Balfour, Risalah Kabinet, Januari 1923
- ^ Rhett 2015, hlm. 16.
- ^ Friedman 1973, hlm. 247.
- ^ a b Rhett 2015, hlm. 27.
- ^ a b Rhett 2015, hlm. 26.
- ^ a b Stein 1961, hlm. 466.
- ^ a b c Hurewitz 1979, hlm. 102.
- ^ Adelson 1995, hlm. 141.
- ^ Hansard, [http://hansard.millbanksystems.com/written_answers/1917/mar/14/war-cabinet Kabinet Perang Inggris : HC Deb 14 Maret 1917 jld. 91 cc1098-9W
- ^ Lebow 1968, hlm. 501.
- ^ Hurewitz 1979, hlm. 103.
- ^ Hurewitz 1979, hlm. 104.
- ^ Hurewitz 1979, hlm. 105.
- ^ Hurewitz 1979, hlm. 106.
- ^ a b c d e f g h i Stein 1961, hlm. 664: "Apendiks: Urutan draf dan teks akhir Deklarasi Balfour"
- ^ Lieshout 2016, hlm. 219.
- ^ a b Halpern 1987, hlm. 163.
- ^ Rhett 2015, hlm. 24.
- ^ Quigley 1981, hlm. 169.
- ^ Rubinstein 2000, hlm. 175–196.
- ^ Huneidi 1998, hlm. 33.
- ^ Caplan 2011, hlm. 62.
- ^ a b Gelvin 2014, hlm. 82ff.
- ^ Kattan 2009, hlm. 60–61.
- ^ Bassiouni & Fisher 2012, hlm. 431.
- ^ Talhami 2017, hlm. 27.
- ^ Hansard, [1]: HC Deb 27 April 1920 jilid 128 cc1026-7
- ^ Schmidt 2011, hlm. 69.
- ^ Palin Commission 1920, hlm. 9.
- ^ Makovsky 2007, hlm. 76, "Definisi dari Rumah Nasional sengaja dibuat ambigu.".
- ^ a b c Gelvin 2014, hlm. 82ff.
- ^ Palestine Royal Commission 1937, hlm. 24.
- ^ Rose, & 2010 hlm18.
- ^ Strawson & 2009, hlm. 33.
- ^ a b Curzon 1917.
- ^ a b Lieshout 2016, hlm. 225–257.
- ^ a b c Friedman & 1973, hlm.312.
- ^ a b c d e f g Friedman 1973, hlm. 313.
- ^ a b c Miller, David Hunter (1924). My Diary at the Conference of Paris. New York: Appeal Printing Co. hlm. 263–264, vol 4.
- ^ Jacobs 2011, hlm. 191.
- ^ Auron 2017, hlm. 278.
- ^ "Chamberlain, in 1918, Envisaged Jewish State Linked to U.S. or Britain". Jewish Telegraphic Agency (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-06-28.
- ^ Alexander, Edward (2012). The State of the Jews: A Critical Appraisal. Routledge. hlm. 225–226. ISBN 978-1-412-84614-1.
- ^ Johnson 2013, hlm. 441.
- ^ Lieshout 2016, hlm. 387.
- ^ Blum, Yehuda (2008). "The Evolution of Israel's Boundaries". Jerusalem Center for Public Affairs (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-06-30.
- ^ Sekulow, Jay. Unholy Alliance: The Agenda Iran, Russia, and Jihadists Share for Conquering the World, Simon and Schuster (2016) pp. 29–30
- ^ Friedman 1973, hlm. 92.
- ^ Lawrence, Prince Faisal and T. E. (1919). Arab Memorandum to the Paris Peace Conference.
- ^ Allawi 2014, hlm. 215.
- ^ Gelvin, James L. (2005). The Israel-Palestine conflict : one hundred years of war. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-85289-0. OCLC 59879560.
- ^ Stein, Leonard (1983). The Balfour Declaration. Jerusalem: Magnes Press, Hebrew University. ISBN 965-223-448-6. OCLC 24429177.
- ^ a b Stein, Leonard (1983). The Balfour Declaration. Jerusalem: Magnes Press, Hebrew University. ISBN 965-223-448-6. OCLC 24429177.
- ^ Britain, Palestine and empire : the mandate years. Rory Miller. London: Routledge. 2016. ISBN 978-1-315-57000-6. OCLC 950471440.
- ^ Caplan, Neil (2010). The Israel-Palestine conflict : contested histories. Chichester, U.K.: Wiley-Blackwell. ISBN 978-1-4443-5786-8. OCLC 795523267.
- ^ Biger, Gideon (2004). The boundaries of modern Palestine, 1840-1947. London: Routledge. ISBN 0-203-30952-9. OCLC 57046544.
- ^ Biger, Gideon (2004). The boundaries of modern Palestine, 1840-1947. London: Routledge. ISBN 0-203-30952-9. OCLC 57046544.
- ^ Bickerton, Ian J. (2014). A History of the Arab-Israeli Conflict. Carla L. Klausner (edisi ke-7th ed). Old Tappan: Taylor and Francis. ISBN 978-1-315-50940-2. OCLC 959149829.
- ^ Bickerton, Ian J. (2014). A History of the Arab-Israeli Conflict. Carla L. Klausner (edisi ke-7th ed). Old Tappan: Taylor and Francis. ISBN 978-1-315-50940-2. OCLC 959149829.
- ^ In War and Peace. Washington, D.C.: Joseph Henry Press. 2002-10-07. ISBN 978-0-309-08411-6.
- ^ "Hunt, Sir Rex (Masterman), (29 June 1926–11 Nov. 2012), HM Diplomatic Service, retired; Civil Commissioner, Falkland Islands, 1982–Sept. 1985, and High Commissioner, British Antarctic Territory, 1980–85 (Governor and Commander-in-Chief, Falkland Islands, 1980–82; Governor, Oct. 1985)". Who Was Who. Oxford University Press. 2007-12-01.
- ^ a b Davidson, Lawrence (1985-01). "Zionism: Riding in on Imperial Coattails: The High Walls of Jerusalem. . Ronald Sanders". Journal of Palestine Studies. 14 (2): 162–163. doi:10.1525/jps.1985.14.2.00p0138g. ISSN 0377-919X.
- ^ a b Hardie, Frank (1980). Britain and Zion : the fateful entanglement. Irwin M. Herrman. Belfast: Blackstaff. ISBN 0-85640-229-X. OCLC 7465401.
- ^ Commission., League of Nations. Permanent Mandates (1924). Report on the work of the fifth (extraordinary) session of the commission (held at Geneva from October 23rd to November 6th, 1924), submitted to the council. OCLC 79023726.
- ^ "Australian Government, Parliamentary Statement by the Prime Minister on the Joint Defence Facilities, November 22, 1988, Unclassified, Hansard". U.S. Intelligence on Asia, 1945-1991. Diakses tanggal 2023-01-29.
- ^ Geddes, Charles L. (1991). A Documentary History of the Arab-Israeli Conflict (dalam bahasa Inggris). Praeger. ISBN 978-0-275-93858-1.
- ^ Friedman, Isaiah. The Question of Palestine: British-Jewish-Arab Relations, 1914-1918 (dalam bahasa Inggris). Transaction Publishers. ISBN 978-1-4128-3868-9.
- ^ Speeches on Zionism / by Earl of Balfour. Ed. by Israel Cohen. With a foreword by Sir Herbert Samuel (dalam bahasa Jerman). 1928.
- ^ Yet more adventures with Britannia : personalities, politics, and culture in Britain. William Roger Louis, Harry Ransom Humanities Research Center. London: I.B. Tauris. 2005. ISBN 1-84511-082-X. OCLC 61127238.
- ^ Maluwa, Tiyanjana (2013-11-29). Law, Politics and Rights: Essays in Memory of Kader Asmal (dalam bahasa Inggris). Martinus Nijhoff Publishers. ISBN 978-90-04-24900-4.
- ^ Lewis, Geoffrey (2009). Balfour and Weizmann : the Zionist, the zealot and the emergence of Israel. London: Continuum. ISBN 978-1-4411-6469-8. OCLC 676698429.
- ^ The Middle East and the United States : a historical and political reassessment. David W. Lesch (edisi ke-4th ed). Boulder, Colo.: Westview Press. 2007. ISBN 978-0-8133-4349-5. OCLC 70630407.
- ^ Khouri, Fred J. (1985). The Arab-Israeli dilemma (edisi ke-3rd ed). Syracuse, N.Y.: Syracuse University Press. ISBN 0-8156-2339-9. OCLC 12673355.
- ^ "Palestinians threaten to sue the British Government over creation of Israel". The Independent (dalam bahasa Inggris). 2017-04-26. Diakses tanggal 2023-01-29.
- ^ a b c Schneer, Jonathan (2010). The Balfour Declaration : the origins of the Arab-Israeli conflict (edisi ke-1st ed). New York: Random House. ISBN 978-1-4000-6532-5. OCLC 440563034.
- ^ Ingrams, Doreen (2009). Palestine papers, 1917-1922 : seeds of conflict (edisi ke-Pbk. ed). London: Eland. ISBN 978-1-906011-38-3. OCLC 416283185.
- ^ Lieshout, R. H. (2016). Britain and the Arab Middle East : World War I and its aftermath. London. ISBN 978-1-78453-583-4. OCLC 956478443.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]Karya yang dikhususkan
[sunting | sunting sumber]- Adelson, Roger (1995). London and the Invention of the Middle East: Money, Power, and War, 1902–1922. Yale University Press. ISBN 978-0-300-06094-2.
- Allawi, Ali A. (2014). Faisal I of Iraq. Yale University Press. hlm. 216–. ISBN 978-0-300-19936-9.
- Antonius, George (1938). The Arab Awakening: The Story of the Arab National Movement. Hamish Hamilton. ISBN 978-0-7103-0673-9.
- Bachi, Roberto (1974). The Population of Israel (PDF). Institute of Contemporary Jewry, Hebrew University of Jerusalem. hlm. 133, 390–394. OCLC 7924090.
- Barr, James (2011). A Line in the Sand: Britain, France and the Struggle that Shaped the Middle East. Simon & Schuster. hlm. 60. ISBN 978-1-84983-903-7.
- Bassiouni, M. Cherif; Fisher, Eugene M. (2012). "Thee Arab-Israeli Conflict – Real and Apparent Issues: An Insight Into Its Future from the Lessons of the Past". St. John's Law Review. 44 (3). ISSN 0036-2905.
- Berman, Aaron (1992). Nazism, the Jews and American Zionism, 1933-1988. Wayne State University Press. ISBN 0-8143-2232-8.
- Biger, Gideon (2004). The Boundaries of Modern Palestine, 1840–1947. Psychology Press. ISBN 978-0-7146-5654-0.
- Billauer, Barbara P. (2013). "Case-Studies in Scientific Statecraft: Chaim Weizmann and the Balfour Declaration - Science, Scientists and Propaganda" (PDF). SSRN Electronic Journal. doi:10.2139/ssrn.2327350.
- Brysac, Shareen Blair; Meyer, Karl E. (2009). Kingmakers: The Invention of the Modern Middle East. W. W. Norton. ISBN 978-0-393-34243-7.
- Brecher, Frank W. (1987). "Woodrow Wilson and the Origins of the Arab-Israeli Conflict". American Jewish Archives. 39 (1): 23–47. ISSN 0002-905X.
- Brecher, F.W. (1993). "French Policy toward the Levant". Middle Eastern Studies. 29 (4): 641–663. doi:10.1080/00263209308700971.
- Büssow, Johann (2011). Hamidian Palestine: Politics and Society in the District of Jerusalem 1872–1908. BRILL. ISBN 978-90-04-20569-7.
- Ciani, Adriano E. (2011). "1". The Vatican, American Catholics and the Struggle for Palestine, 1917–58: A Study of Cold War Roman Catholic Transnationalism (Tesis Ph.D.). Electronic Thesis and Dissertation Repository. http://ir.lib.uwo.ca/cgi/viewcontent.cgi?article=1501&context=etd.
- Cohen, Michael; Kolinsky, Martin (3 April 2013). Demise of the British Empire in the Middle East: Britain's Responses to Nationalist Movements, 1943–55. Routledge. ISBN 978-1-136-31375-2.
- Cohen, Michael J (2014). Britain's Moment in Palestine: Retrospect and Perspectives, 1917–1948. Routledge. ISBN 978-1-317-91364-1.
- Cooper, John (16 July 2015). The Unexpected Story of Nathaniel Rothschild. Bloomsbury Publishing. ISBN 978-1-4729-1708-9.
- Davidson, Lawrence (2002). "The Past as Prelude: Zionism and the Betrayal of American Democratic Principles, 1917–48". Journal of Palestine Studies. 31 (3): 21–35. doi:10.1525/jps.2002.31.3.21. ISSN 0377-919X.
- Defries, Harry (2014). Conservative Party Attitudes to Jews 1900–1950. Routledge. hlm. 51. ISBN 978-1-135-28462-6.
- Della Pergola, Sergio (2001). "Demography in Israel/Palestine: Trends, Prospects, Policy Implications" (PDF). International Union for the Scientific Study of Population, XXIV, General Population Conference, Salvador de Bahia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-12-02. Diakses tanggal 2017-10-30.
- De Waart, P.J.I.M (1994). Dynamics of Self-determination in Palestine: Protection of Peoples as a Human Right. BRILL. hlm. 271. ISBN 978-90-04-09825-1.
- Domnitch, Larry (2000). The Jewish Holidays: A Journey Through History. Jason Aronson. ISBN 978-0-7657-6109-5.
- Dugard, John (2013). "A Tale of Two Sacred Trusts: Namibia and Palestine". Law, Politics and Rights: 285–305. doi:10.1163/9789004249004_011. ISBN 9789004249004.
- Friedman, Isaiah (1997). Germany, Turkey, and Zionism 1897–1918. Transaction Publishers. ISBN 978-1-4128-2456-9.
- Friedman, Isaiah (2000). Palestine, a Twice-Promised Land: The British, the Arabs & Zionism : 1915–1920. Transaction Publishers. ISBN 978-1-4128-3044-7.
- Friedman, Isaiah (1973). The Question of Palestine: British-Jewish-Arab Relations, 1914–1918. Transaction Publishers. ISBN 978-1-4128-3868-9.
- Friedman, Menachem (2012). "Israel as a Theological Dilemma". Dalam Baruch Kimmerling. Israeli State and Society, The: Boundaries and Frontiers. State University of New York Press. ISBN 978-1-4384-0901-6.
- Fromkin, David (1990). A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the Modern Middle East. Avon Books. ISBN 978-0-380-71300-4.
- Garfield, Brian (2007). The Meinertzhagen Mystery: The Life and Legend of a Colossal Fraud. Potomac Books Inc. ISBN 978-1-59797-041-9.
- Gelvin, James L. (1999). "The Ironic Legacy of the King-Crane Commission". Dalam David W. Lesch. The Middle East and the United States. Westview Press. ISBN 978-0-8133-4349-5.
- Gilmour, David (1996). "The Unregarded Prophet: Lord Curzon and the Palestine Question". Journal of Palestine Studies. 25 (3): 64. doi:10.2307/2538259. JSTOR 2538259.
- Glass, Joseph B. (2002). From New Zion to Old Zion: American Jewish Immigration and Settlement in Palestine, 1917–1939. Wayne State University Press. ISBN 0-8143-2842-3.
- Grainger, John D. (2006). The Battle for Palestine, 1917. Boydell Press. ISBN 978-1-84383-263-8.
- Grief, Howard (2008). The Legal Foundation and Borders of Israel Under International Law: A Treatise on Jewish Sovereignty Over the Land of Israel. Mazo Publishers. hlm. 731. ISBN 9789657344521.
- Gutwein, Danny (2016). "The Politics of the Balfour Declaration: Nationalism, Imperialism and the Limits of Zionist-British Cooperation". Journal of Israeli History. 35 (2): 117–152. doi:10.1080/13531042.2016.1244100.
- Haiduc-Dale, Noah (2013). Arab Christians in British Mandate Palestine: Communalism and Nationalism, 1917-1948: Communalism and Nationalism, 1917-1948. Edinburgh University Press. ISBN 978-0-7486-7604-0.
- Halpern, Ben (1987). A Clash of Heroes : Brandeis, Weizmann, and American Zionism: Brandeis, Weizmann, and American Zionism. Oxford University Press, USA. ISBN 978-0-19-536489-7.
- Hardie, Frank; Herrman, Irwin M. (1980). Britain and Zion: the fateful entanglement. Blackstaff. ISBN 978-0-85640-229-6.
- Helmreich, William (1985). The Third Reich and the Palestine Question. University of Texas Press. ISBN 978-1-351-47272-2.
- Hourani, Albert (1981). The Emergence of the Modern Middle East. University of California Press. ISBN 978-0-520-03862-2.
- Huneidi, Sahar (2001). A Broken Trust: Sir Herbert Samuel, Zionism and the Palestinians. I.B.Tauris. hlm. 84. ISBN 978-1-86064-172-5.
- Ingrams, Doreen (2009). Palestine papers: 1917–1922: seeds of conflict. Eland. ISBN 978-1-906011-38-3.
- Kattan, Victor (June 2009). From Coexistence to Conquest: International Law and the Origins of the Arab-Israeli Conflict, 1891–1949. Pluto Press. ISBN 978-0-7453-2579-8.
- Kaufman, Edy (2006). "The French pro-Zionist declarations of 1917–1918". Middle Eastern Studies. 15 (3): 374–407. doi:10.1080/00263207908700418.
- Kedourie, Elie (1976). In the Anglo-Arab Labyrinth: The McMahon-Husayn Correspondence and Its Interpretations 1914–1939. Routledge. ISBN 978-1-135-30842-1.
- Klug, Brian (2012). Being Jewish and Doing Justice: Bringing Argument to Life. Vallentine Mitchell. ISBN 978-0-85303-993-8.
Also online at: [2]
- Kreutz, Andrej (1990). Vatican Policy on the Palestinian-Israeli Conflict. Greenwood Press. hlm. 196. ISBN 0313268290.
- Lebow, Richard Ned (1968). "Woodrow Wilson and the Balfour Declaration". The Journal of Modern History. 40 (4): 501–523. doi:10.1086/240237. JSTOR 1878450.
- Lewis, Donald (2014). The Origins of Christian Zionism: Lord Shaftesbury And Evangelical Support For A Jewish Homeland (PDF). Cambridge University Press. ISBN 978-1-107-63196-0. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-10-12. Diakses tanggal 2017-10-30.
- Lewis, Geoffrey (31 May 2009). Balfour and Weizmann: The Zionist, the Zealot and the Emergence of Israel. A&C Black. ISBN 978-1-84725-040-7.
- Liebreich, Freddy (2004). Britain's Naval and Political Reaction to the Illegal Immigration of Jews to Palestine, 1945–1949. Routledge. ISBN 978-1-135-76694-8.
- Lieshout, Robert H. (2016). Britain and the Arab Middle East: World War I and its Aftermath. I.B.Tauris. ISBN 978-1-78453-583-4.
- Kamel, Lorenzo (2015). Imperial Perceptions of Palestine: British Influence and Power in Late Ottoman Times. British Academic Press. ISBN 978-1-78453-129-4.
- Makovsky, Michael (2007). Churchill's Promised Land: Zionism and Statecraft. Yale University Press. ISBN 0-300-11609-8.
- Manuel, Frank E. (1955). "The Palestine Question in Italian Diplomacy". The Journal of Modern History. 27 (3): 263–280. doi:10.1086/237809.
- Mathew, William M. (2013). "The Balfour Declaration and the Palestine Mandate, 1917–1923: British Imperialist Imperatives". British Journal of Middle Eastern Studies. Routledge. 40 (3): 231–250. doi:10.1080/13530194.2013.791133.
- Mathew, William M. (2011). "War-Time Contingency and the Balfour Declaration of 1917: An Improbable Regression" (PDF). Journal of Palestine Studies. 40 (2): 26–42. doi:10.1525/jps.2011.xl.2.26. JSTOR 10.1525/jps.2011.xl.2.26.
- Minerbi, Sergio I. (1990). The Vatican and Zionism:Conflict in the Holy Land, 1895–1925. Oxford University Press. hlm. 253. ISBN 978-0-19-505892-5.
- Neff, Donald (1995). "The Palestinians and Zionism: 1897 -1948". Middle East Policy. 4 (1): 156–174. doi:10.1111/j.1475-4967.1995.tb00213.x.
- Nicosia, Francis R. (5 May 2008). Zionism and Anti-Semitism in Nazi Germany. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-88392-4.
- Posner, Steve (1987). Israel Undercover:Secret Warfare and Hidden Diplomacy in the Middle East. Syracuse University Press. ISBN 978-0-8156-5203-8.
- Quigley, John (2010). The Statehood of Palestine: International Law in the Middle East Conflict. Cambridge University Press. ISBN 978-1-139-49124-2.
- Reid, Walter (1 September 2011). Empire of Sand: How Britain Made the Middle East. Birlinn. ISBN 978-0-85790-080-7.
- Reinharz, Jehuda (1988). "Zionism in the USA on the Eve of the Balfour Declaration". Studies in Zionism. 9 (2): 131–145. doi:10.1080/13531048808575933.
- Renton, James (2007). The Zionist Masquerade: The Birth of the Anglo-Zionist Alliance 1914–1918. Palgrave Macmillan. ISBN 978-0-230-54718-6.
- Renton, James (2004). "Reconsidering Chaim Weizmann and Moses Gaster in the Founding Mythology of Zionism". Dalam Berkowitz, Michael. Nationalism, Zionism and ethnic mobilization of the Jews in 1900 and beyond [electronic resource]. BRILL. hlm. 129–151. ISBN 978-90-04-13184-2.
- Renton, James (2016). "Flawed Foundations: The Balfour Declaration and the Palestine Mandate". Dalam Miller, Rory. Britain, Palestine and Empire: The Mandate Years. Routledge. hlm. 15–37. ISBN 978-1-317-17233-8.
- Rhett, Maryanne A. (19 November 2015). The Global History of the Balfour Declaration: Declared Nation. Routledge. ISBN 978-1-317-31276-5.
- Rose, Norman (2010). A Senseless, Squalid War: Voices from Palestine, 1890s to 1948. Pimlico. ISBN 978-1-84595-079-8.
- Rosen, Jacob (1988). "Captain Reginald Hall and the Balfour Declaration". Middle Eastern Studies. Taylor & Francis. 24 (1): 56–67. JSTOR 4283222.
- Rovner, Adam (2014). In the Shadow of Zion: Promised Lands Before Israel. New York University Press. ISBN 978-1-4798-1748-1.
- Rubinstein, William (2000). "The Secret of Leopold Amery". Historical Research. Institute of Historical Research. 73 (181, June 2000): 175–196. doi:10.1111/1468-2281.00102.
- Said, Edward W. (1979). The Question of Palestine. Vintage Books. ISBN 978-0-679-73988-3.
- Sanders, Ronald (January 1984). The High Walls of Jerusalem: A History of the Balfour Declaration and the Birth of the British Mandate for Palestine. Holt, Rinehart and Winston. ISBN 978-0-03-053971-8.
- Schneer, Jonathan (2010). The Balfour Declaration: The Origins of the Arab-Israeli Conflict. Random House. ISBN 978-1-4000-6532-5.
- Schölch, Alexander (1992). "Britain in Palestine, 1838-1882: The Roots of the Balfour Policy". Journal of Palestine Studies. 22 (1): 39–56. doi:10.2307/2537686. JSTOR 2537686.
- Shlaim, Avi (2009). Israel and Palestine: Reappraisals, Revisions, Refutations. Verso. ISBN 978-1-84467-366-7.
- Shlaim, Avi (2005). "The Balfour Declaration and its Consequences". Dalam Louis, Wm. Roger. Yet More Adventures with Brittania: Personalities, Politics and Culture in Britain. I.B.Tauris. hlm. 251–270. ISBN 978-1-84511-082-6.
- Sorek, Tamir (2015). Palestinian Commemoration in Israel: Calendars, Monuments, and Martyrs. Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-9520-3.
- Smith, Charles D. (1 June 2011). "The Historiography of World War I and the Emergence of the Contemporary Middle East". Dalam Israel Gershoni; Amy Singer; Y. Hakan Erdem. Middle East Historiographies: Narrating the Twentieth Century. University of Washington Press. ISBN 978-0-295-80089-9.
- Strawson, John (2009). Partitioning Palestine: Legal Fundamentalism in the Palestinian-Israeli Conflict. Pluto. ISBN 978-0-7453-2324-4.
- Stein, Leonard (1961). The Balfour Declaration. Simon & Schuster. ISBN 978-965-223-448-3.
- Tamari, Salim (2017). The Great War and the Remaking of Palestine. Univ of California Press. ISBN 978-0-520-29125-6.
- Tessler, Mark (2009). A History of the Israeli-Palestinian Conflict Second Edition. Indiana University Press. hlm. 1018. ISBN 978-0-253-22070-7.
- Tomes, Jason (9 May 2002). Balfour and Foreign Policy: The International Thought of a Conservative Statesman. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-89370-1.
- Toury, Jacob (1968). "Organizational Problems of German Jewry: Steps towards the Establishment of a Central Organization (1893–1920)". Yearbook of the Leo Baeck Institute. 13 (1): 57–90. doi:10.1093/leobaeck/13.1.57.
- Tucker, Spencer C. (2017). "35. Is the Balfour Declaration of 1917 to Blame for the Long-Running Arab-Israeli Conflict?". Enduring Controversies in Military History: Critical Analyses and Context. ABC-CLIO. hlm. 469–482. ISBN 978-1-4408-4120-0.
- Ulrichsen, Kristian; Ulrichsen, Kristian Coates (2014). The First World War in the Middle East. Hurst. ISBN 978-1-84904-274-1.
- Vereté, Mayir (1970). "The Balfour Declaration and Its Makers". Middle Eastern Studies. Taylor & Francis, Ltd. 6 (1): 48–76. doi:10.1080/00263207008700138. JSTOR 4282307.
- Wasserstein, Bernard (1991). The British in Palestine: The Mandatory Government and Arab-Jewish Conflict, 1917–1929. B. Blackwell. ISBN 978-0-631-17574-2.
- Wavell, Field Marshal Earl (1968) [1933]. "The Palestine Campaigns". Dalam Sheppard, Eric William. A Short History of the British Army (edisi ke-4th). Constable & Co. OCLC 35621223.
- Wilson, Mary Christina (1990). King Abdullah, Britain and the Making of Jordan. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-39987-6.
- Woodfin, E. (2012). Camp and Combat on the Sinai and Palestine Front: The Experience of the British Empire Soldier, 1916–18. Springer. ISBN 978-1-137-26480-0.
- Woodward, David R. (1998). Field Marshal Sir William Robertson: Chief of the Imperial General Staff in the Great War. Praeger. ISBN 0-275-95422-6.
- Zieger, Robert H. (2001). America's Great War: World War I and the American Experience. Rowman & Littlefield. ISBN 978-0-8476-9645-1.
- Division for Palestinian Rights of the United Nations Secretariat (1978), The Origins and Evolution of the Palestine Problem 1917–1988, Part I, United Nations, diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-11-29, diakses tanggal 2017-10-30
Sejarah umum
[sunting | sunting sumber]- Bickerton, Ian J.; Klausner, Carla L. (16 September 2016). A History of the Arab-Israeli Conflict. Taylor & Francis. ISBN 978-1-315-50939-6.
- Caplan, Neil (2011). The Israel-Palestine Conflict: Contested Histories. John Wiley & Sons. ISBN 978-1-4443-5786-8.
- Cleveland, William L.; Bunton, Martin (2016). A History of the Modern Middle East. Avalon Publishing. ISBN 978-0-8133-4980-0.
- Cohen, Michael J. (14 April 1989). The Origins and Evolution of the Arab-Zionist Conflict. University of California Press. ISBN 978-0-520-90914-4.
- Dockrill, Michael L.; Lowe, Cedric James (2001) [1972]. Mirage Of Power, Part II. Routledge. ISBN 978-1-136-46774-5.
- Dockrill, Michael L.; Lowe, Cedric James (2002) [1972]. Mirage Of Power, Part III. Routledge. ISBN 978-1-136-46802-5.
- Geddes, Charles L. (1991). A Documentary History of the Arab-Israeli Conflict. Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-275-93858-1.
- Gelvin, James (2014) [2002]. The Israel-Palestine Conflict: One Hundred Years of War (edisi ke-3). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-85289-0.
- Hurewitz, J. C. (1 June 1979). The Middle East and North Africa in World Politics: A Documentary Record – British-French Supremacy, 1914–1945. Yale University Press. ISBN 978-0-300-02203-2.
- Kedourie, Elie (19 December 2013) [1982]. Palestine and Israel in the 19th and 20th Centuries. Routledge. ISBN 978-1-135-16814-8.
- Khouri, Fred John (January 1985). The Arab-Israeli Dilemma. Syracuse University Press. ISBN 978-0-8156-2340-3.
- Laqueur, Walter; Schueftan, Dan (2016). The Israel-Arab Reader: A Documentary History of the Middle East Conflict: Eighth Revised and Updated Edition. Penguin Publishing Group. ISBN 978-1-101-99241-8.
- Laurens, Henry (1999). La Question de Palestine - Tome 1 - L'invention de la Terre sainte (1799-1922) [In French]. Fayard. ISBN 978-2-213-70357-2.
- Lebel, G'eni (2007). Until the Final Solution: The Jews in Belgrade 1521–1942. Avotaynu. ISBN 978-1-88622-333-2.
- LeVine, Mark; Mossberg, Mathias (2014). One Land, Two States: Israel and Palestine as Parallel States. University of California Press. ISBN 978-0-520-95840-1.
- Makdisi, Saree (12 April 2010). Palestine Inside Out: An Everyday Occupation. W. W. Norton. ISBN 978-0-393-33844-7.
- Mansfield, Peter (1992). The Arabs. Penguin Books. ISBN 978-0-14-014768-1.
- Monroe, Elizabeth (1981). Britain's Moment in the Middle East, 1914–1971. Johns Hopkins University Press. ISBN 978-0-8018-2616-0.
- Penslar, Derek (2007). Israel in History: The Jewish State in Comparative Perspective. Routledge. ISBN 978-1-134-14669-7.
- Quigley, Carroll (1981). The Anglo-American Establishment. Books in Focus. ISBN 978-0-945001-01-0.
- Ristović, Milan (2016). "The Jews of Serbia (1804–1918): From Princely Protection to Formal Emancipation". Dalam Catalan, Tullia; Dogo, Marco. The Jews and the Nation-States of Southeastern Europe from the 19th Century to the Great Depression: Combining Viewpoints on a Controversial Story. Cambridge Scholars Publishing. hlm. 23–50. ISBN 978-1-44389-662-7.
- Smith, Charles D. (2016). Palestine and the Arab-Israeli Conflict: A History with Documents. Bedford/St. Martin's. ISBN 978-1-319-02805-3.
- Stein, Leslie (2003). The Hope Fulfilled: The Rise of Modern Israel. Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-275-97141-0.
- Wasserstein, Bernard (2008). Israel and Palestine: Why They Fight and Can They Stop?. Profile Books. ISBN 978-1-84668-092-2.
- Watts, Tim (2008). "The Balfour Declaration". Dalam Spencer C. Tucker; Priscilla Roberts. The Encyclopedia of the Arab-Israeli Conflict: A Political, Social, and Military History [4 volumes]: A Political, Social, and Military History. ABC-CLIO. ISBN 978-1-85109-842-2.
Karya buatan pihak-pihak yang terlibat
[sunting | sunting sumber]- Amery, Leopold (1953). My Political Life: War and peace, 1914–1929. Hutchinson. OCLC 458439494.
- Balfour, Arthur (1928). Israel Cohen, ed. Speeches on Zionism; with a foreword by Sir Herbert Samuel. Arrowsmith. OCLC 170849.
- Cohen, Israel (1946). The Zionist Movement. Edited and Revised with Supplementary Chapter on Zionism in the United States. Zionist Organization of America. OCLC 906137115.
- Curzon, George (1917). "The Future of Palestine, GT 2406, CAB 24/30/6". UK National Archives.
- de Haas, Jacob (1929). Louis D(embitz) Brandeis. Bloch. OCLC 1550172.
- Leslie, Shane (1923). Mark Sykes: His Life and Letters. Charles Scribner's Sons. OCLC 656769736.
Also online at Internet Archive
- Lloyd George, David (1933). War Memoirs of David Lloyd George: 1915–1916. II. AMS Press. hlm. 50. ISBN 0-404-15042-X. Also at Internet Archive.
- Lloyd George, David (1939). Memoirs of the Peace Conference. II. Yale University Press. OCLC 654953981.
- Meinertzhagen, Richard (1959). Middle East Diary, 1917–1956. Cresset Press. OCLC 397539.
- Palin Commission (1920), Report of the Court of Inquiry Convened by Order of His Excellency the High Commissioner and Commander-in Chief, also known as the "Palin Report", PRO, FO 371/5121, file E9379/85/44, UK National Archives,
* Karya yang berkaitan dengan Palin Report di Wikisource. For further information see the Commission's Wikipedia article at Palin Commission
- Palestine Royal Commission (1937), Cmd. 5479, Palestine Royal Commission Report, also known as the "Peel Report" (PDF), HMSO, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-07-18, diakses tanggal 2017-10-30,
For further information see the Commission's Wikipedia article at Peel Commission
- Samuel, Herbert (1945). Memoirs. Cresset Press. OCLC 575921.
- Sokolow, Nahum (1919). History of Zionism 1600–1918: Volume II. Longmans Green & Co. ISBN 978-1-4212-2861-7.
- Storrs, Ronald (1943). Lawrence of Arabia: Zionism and Palestine. Penguin Books. OCLC 977422365.
- UNSCOP (1947), "United Nations Special Committee on Palestine, Report to the General Assembly, Volume 1; A/364", Official Records of the Second Session of the General Assembly, United Nations, diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-09-14, diakses tanggal 2017-10-30
- Weizmann, Chaim (1949). Trial and Error, The Autobiography of Chaim Weizmann. Jewish Publication Society of America. OCLC 830295337.
- Weizmann, Chaim (1983). The Letters and Papers of Chaim Weizmann: August 1898 – July 1931. Transaction Publishers. ISBN 978-0-87855-279-5.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- UK Commons 2017 Centennial Debate on the Balfour Declaration, 16 November 2016
- The Guardian: The contested centenary of Britain's 'calamitous promise', 17 October 2017