Fortifikasi pangan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Fortifikasi)
Pabrikan pernah mengajukan untuk menjual junk food dan bir berfortifikai, tetapi kebijakan USFDA pada saat itu melarangnya

Fortifikasi atau lengkapnya fortifikasi pangan atau pengayaan adalah proses penambahan mikronutrien (vitamin dan unsur renik esensial) pada makanan. Hal ini boleh jadi merupakan murni pilihan komersial untuk menyediakan nutrisi ekstra dalam makanan, sementara di saat yang sama terdapat kebijakan kesehatan masyarakat yang bertujuan mengurangi jumlah orang dengan gizi buruk dalam populasi.

Diet dengan kesenjangan variasi dapat menyebabkan defisiensi nutrisi tertentu. Kadang-kadang makanan pokok suatu regional kekurangan nutrisi tertentu karena tanah di area tersebut atau kareana ketidakcukupan diet normal. Penambahan mikronutrien pada makanan pokok dan rempah-rempah dapat mencegah gizi buruk berskala besar.

Meskipun benar bahwa baik fortifikasi dan pengayaan mengacu pada penambahan nutrisi pada makanan, definisi sebenarnya sedikit berbeda. Seperti yang didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), fortifikasi mengacu pada "praktik yang dengan sengaja meningkatkan kandungan mikronutrien esensial, misalnya vitamin dan mineral (termasuk unsur renik) dalam makanan, terlepas dari apakah nutrisi itu awalnya ada atau tidak pada makanan sebelum diproses, sehingga dapat meningkatkan kualitas gizi dari persediaan makanan dan untuk memberikan manfaat kesehatan masyarakat dengan risiko minimal terhadap kesehatan", Sedangkan pengayaan didefinisikan sebagai "identik dengan fortifikasi dan mengacu pada penambahan mikronutrien yang hilang selama pemrosesan makanan".[1]

Fortifikasi pangan diidentifikasi sebagai strategi kedua dari empat strategi WHO dan FAO untuk mulai mengurangi kejadian kurang gizi di tingkat global.[1]

Seperti yang digariskan oleh FAO, makanan yang paling umum difortifikasi adalah:

  • Sereal dan produk-produk berbasis sereal
  • Susu dan produk susu
  • Lemak dan minyak
  • Barang makanan aksesori
  • Teh dan minuman lainnya
  • Formula bayi[2]

Jenis fortifikasi[sunting | sunting sumber]

Empat metode utama fortifikasi pangan (dinamakan begitu untuk mengindikasikan prosedur yang digunakan untuk memfortifikasi pangan):

  1. Biofortifikasi (yaitu membiakkan tanaman untuk meningkatkan nilai nutrisinya, yang dapat mencakup pemuliaan selektif konvensional, dan modifikasi genetik modern)
  2. Biologi sintetis (yaitu penambahan bakteri probiotik ke makanan)
  3. Fortifikasi komersial dan industri (yaitu tepung, beras, minyak (makanan masak biasa)
  4. Fortifikasi rumah (misalnya vitamin D tetes)[3]

Alasan[sunting | sunting sumber]

WHO dan FAO, di antara banyak organisasi yang diakui secara nasional, telah menyadari bahwa ada lebih dari 2 miliar orang di seluruh dunia yang menderita berbagai kekurangan gizi mikro. Pada tahun 1992, 159 negara menandatangani perjanjian pada FAO/WHO International Conference on Nutrition untuk melakukan upaya membantu mengatasi masalah defisiensi mikronutrien ini, yang menyoroti pentingnya mengurangi jumlah penderita defisiensi iodium, vitamin A, dan zat besi.[1] Sebuah statistik penting yang mengarah pada usaha ini adalah penemuan bahwa sekitar 1 dari 3 orang di seluruh dunia berisiko mengalami defisiensi iodium, vitamin A, atau zat besi.[4] Meskipun diakui bahwa fortifikasi pangan saja tidak akan melawan kekurangan ini, namun merupakan langkah untuk mengurangi prevalensi defisiensi ini dan kondisi kesehatan terkaitnya.[4]

Di Kanada, The Food and Drug Regulations telah menggariskan kriteria spesifik yang membenarkan fortifikasi pangan:

  1. Untuk mengganti nutrisi yang hilang selama pembuatan produk (misalnya pembuatan tepung[5])
  2. Melakukan intervensi kesehatan masyarakat
  3. Untuk memastikan kesesuaian nutrisi dari makanan pengganti (misalnya membuat mentega dan margarin serupa dalam hal kandungannya, susu kedelai dan susu sapi, dll.)
  4. Untuk memastikan komposisi nutrisi gizi dan mineral makanan yang sesuai untuk tujuan diet khusus (misalnya, produk bebas gluten, rendah natrium, atau produk lain yang dirancang khusus untuk orang berkebutuhan khusus).

Ada juga beberapa keuntungan untuk mendekati kekurangan gizi dalam populasi melalui fortifikasi pangan dibandingkan dengan metode lainnya. Termasuk di antaranya, namun tidak terbatas pada: merawat populasi tanpa intervensi diet tertentu sehingga tidak memerlukan perubahan pola makan, penyampaian nutrisi secara terus menerus, tidak memerlukan kepatuhan individu, dan potensi untuk memelihara cadangan nutrisi lebih efisien jika dikonsumsi secara reguler.[3]

Kritik[sunting | sunting sumber]

Beberapa organisasi seperti WHO, FAO, Health Canada, dan Nestlé Research Center mengakui bahwa ada keterbatasan pada fortifikasi pangan. Dalam pembahasan kekurangan nutrisi topik toksisitas hara juga bisa segera dipertanyakan. Fortifikasi nutrisi dalam makanan dapat menghasilkan sejumlah nutrisi beracun kepada individu dan juga menyebabkan efek samping yang terkait. Seperti yang terlihat dengan kasus asupan fluorida yang berlebihan di bawah, hasilnya bisa menjadi pewarnaan tak dapat balik pada gigi. Meski ini mungkin efek toksik ringan terhadap kesehatan, ada beberapa hal lain yang lebih parah.[6]

WHO menyatakan bahwa pembatasan fortifikasi pangan dapat mencakup: isu hak asasi manusia yang menunjukkan bahwa konsumen berhak memilih apakah mereka menginginkan produk yang diperkaya atau tidak, potensi permintaan produk yang diperkaya, biaya produksi yang meningkat yang menyebabkan meningkatnya biaya retail, potensi bahwa produk yang difortifikasi masih belum menjadi solusi bagi kekurangan gizi di antara populasi berpenghasilan rendah yang mungkin tidak dapat membeli produk baru tersebut, dan anak-anak yang mungkin tidak dapat mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup.[1]

Kekhawatiran keamanan pangan menyebabkan undang-undang di Denmark pada tahun 2004 membatasi makanan yang difortifikasi dengan tambahan vitamin atau mineral. Produk yang dilarang meliputi: Rice Crispies, Shreddies, Horlicks, Ovaltine dan Marmite.[7]

Penyerapan terbatas[sunting | sunting sumber]

Salah satu faktor yang membatasi manfaat fortifikasi pangan adalah bahwa nutrisi hasil isolasi yang ditambahkan ke dalam makanan olahan yang telah kehilangan banyak nutrisi, tidak selamanya menghasilkan nutrisi seperti ketersediaan hayati pada makanan utuh aslinya. Contohnya adalah susu skim yang telah dihilangkan lemaknya, kemudian ditambahkan kembali vitamin A dan vitamin D. Vitamin A dan D keduanya larut dalam lemak dan tidak larut dalam air, jadi seseorang yang mengkonsumsi susu skim tanpa adanya lemak mungkin tidak dapat menyerap banyak vitamin ini seperti minum susu utuh. Di sisi lain, nutrisi yang ditambahkan sebagai fortifikan mungkin memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi daripada dari makanan, seperti dalam kasus asam folat yang digunakan untuk meningkatkan asupan folat.[8]

Fitokimia seperti polifenol, asam fitat dalam biji serealia dan tanin dalam teh juga dapat mempengaruhi penyerapan nutrisi, membatasi ketersediaan hayati nutrisi intrinsik dan tambahan, serta mengurangi keefektifan program fortifikasi.

Asupan mikronutrien berlebih[sunting | sunting sumber]

Studi ekologi telah menunjukkan bahwa peningkatan fortifikasi vitamin B berkorelasi dengan prevalensi obesitas dan diabetes.[9] Konsumsi harian zat besi per kapita di Amerika Serikat telah meningkat secara dramatis sejak Perang Dunia II dan hampir dua kali lipat selama abad yang lalu karena peningkatan fortifikasi besi dan pertumbuhan konsumsi daging.[10] Bukti yang ada menunjukkan bahwa asupan zat besi berlebih mungkin berperan dalam perkembangan obesitas, penyakit kardiovaskular, diabetes dan kanker.[11]

Fortifikasi pangan dengan asam folat telah diamanatkan di banyak negara semata-mata untuk memperbaiki status folat wanita hamil untuk mencegah cacat tuba neural—cacat kelahiran yang relatif jarang yang mempengaruhi 0,5% kelahiran di AS sebelum fortifikasi dimulai.[12][13] Namun, ketika fortifikasi diperkenalkan, beberapa ratus ribu orang terpapar peningkatan asupan asam folat untuk setiap kehamilan cacat tuba neural yang dicegah.[14] Pada manusia, peningkatan asupan asam folat menyebabkan peningkatan konsentrasi folat alami dan asam folat yang tidak dimetabolisme. Konsentrasi asam folat darah yang tinggi dapat menurunkan sitotoksisitas sel pembunuh alami, dan status folat tinggi dapat mengurangi respons terhadap obat yang digunakan untuk mengobati malaria, radang sendi, psoriasis, dan kanker.[14] Kombinasi kadar folat tinggi dan status vitamin B-12 yang rendah dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kerusakan kognitif dan anemia pada orang tua dan, pada wanita hamil, dengan peningkatan risiko resistensi insulin dan obesitas pada anak-anak mereka.[14] Folat memiliki efek ganda pada kanker, melindungi terhadap inisiasi kanker tetapi memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan sel prenoplastik dan kanker subklinis.[14] Selanjutnya, asupan asam folat dari fortifikasi ternyata jauh lebih besar daripada yang dimodelkan dalam prediksi awal.[15] Oleh karena itu, asupan asam folat yang tinggi akibat fortifikasi bisa berbahaya bagi lebih banyak orang daripada kebijakannya yang dirancang untuk membantu.[13][14][16][17]

Bentuk yang berbeda dari mikronutrien[sunting | sunting sumber]

Ada kekhawatiran bahwa mikronutrien secara hukum didefinisikan sedemikian rupa sehingga tidak membedakan berbagai bentuk, dan makanan yang mengandung fortifikasi sering kali memiliki nutrisi yang dalam keseimbangan tidak akan terjadi secara alami. Misalnya, di A.S., makanan diperkaya dengan asam folat, yang merupakan salah satu dari banyak bentuk folat alami, dan yang hanya menyumbang jumlah kecil pada folat yang terjadi pada makanan alami.[18] Dalam banyak kasus, seperti dengan folat, menjadi pertanyaan terbuka apakah ada manfaat atau risiko mengkonsumsi asam folat dalam bentuk ini atau tidak.

Dalam banyak kasus, mikronutrien yang ditambahkan pada makanan dalam fortifikasi adalah sintetis.

Dalam beberapa kasus, bentuk mikronutrien tertentu dapat menjadi racun aktif dalam dosis yang cukup tinggi, meskipun bentuk lainnya aman pada dosis yang sama atau jauh lebih tinggi. Ada contoh toksisitas semacam itu dalam bentuk vitamin sintetis dan alami. Retinol, bentuk aktif Vitamin A, beracun dalam dosis yang jauh lebih rendah daripada bentuk lainnya, seperti beta karoten. Menadione, bentuk sintetis bertahap Vitamin K, juga diketahui beracun.

Suplemen makanan[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa kelompok utama suplemen makanan seperti:

Contoh fortifikasi pada makanan[sunting | sunting sumber]

Banyak makanan dan minuman di seluruh dunia telah difortifikasi, baik tindakan sukarela oleh pengembang produk atau oleh undang-undang. Meskipun beberapa pihak mungkin melihat penambahan ini sebagai skema pemasaran strategis untuk menjual produk mereka, namun ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan sebelum sekadar melakukan fortifikasi terhadap produk. Dalam rangka melakukan fortifikasi produk, pertama-tama harus dibuktikan bahwa penambahan vitamin atau mineral tersebut bermanfaat untuk kesehatan, aman, dan merupakan suatu metode penyampaian yang efektif. Penambahan juga harus mematuhi semua peraturan pemberian makanan dan pelabelan dan mendukung latar belakang gizi. Dari sudut pandang pengembang pangan, mereka juga perlu mempertimbangkan biaya yang terkait dengan produk baru ini dan perubahan tersebut akan didukung pasar atau tidak.[19]

Contoh makanan dan minuman yang telah difortifikasi dan terbukti memiliki efek kesehatan positif:

Garam beriodium[sunting | sunting sumber]

Gangguan kekurangan iodium (Inggris: Iodine Deficiency Disorder, IDD) adalah penyebab terbesar retardasi mental yang dapat dicegah. Defisiensi parah dapat menyebabkan kretinisme, lahir mati dan keguguran. Tetapi defisiensi ringan sekalipun dapat mempengaruhi kemampuan belajar populasi secara signifikan........ Saat ini lebih dari 1 miliar di dunia menderita kekurangan iodium, dan 38 juta bayi yang lahir setiap tahun tidak terlindungi dari kerusakan otak akibat IDD.

— Kul Gautam, Deputy Executive Director, UNICEF, October 2007[20]

Garam beriodium telah digunakan di Amerika Serikat sejak sebelum Perang Dunia II. Ditemukan pada tahun 1821 bahwa gondok dapat diobati dengan menggunakan garam beriodium. Namun, baru pada tahun 1916 penggunaan garam beriodium dapat diuji dalam percobaan penelitian sebagai tindakan pencegahan terhadap gondok. Pada tahun 1924, garam beriodium resmi tersedia di AS.[21]

Saat ini di Kanada dan Amerika Serikat, AKG untuk iodium terendah 90 μg/hari untuk anak-anak (4-8 tahun) dan tertinggi 290 μg/hari untuk ibu menyusui.

Penyakit yang terkait dengan defisiensi iodium meliputi: keterbelakangan mental, hipotiroidisme, dan gondok. Ada juga risiko berbagai kelainan pertumbuhan dan perkembangan lainnya.

Asam folat[sunting | sunting sumber]

Asam folat (juga dikenal sebagai folat) berfungsi dalam mengurangi kadar homosistein darah, membentuk sel darah merah, pertumbuhan dan pembagian sel yang tepat, dan mencegah cacat tuba neural (Inggris: neural tube defects, NTDs).

Di banyak negara industri, penambahan asam folat ke tepung telah mencegah secara signifikan jumlah NTD pada bayi. Dua jenis NTD yang umum, spina bifida dan anencephaly, mempengaruhi sekitar 2.500-3.000 bayi yang lahir di AS setiap tahunnya. Uji coba penelitian telah menunjukkan kemampuan untuk mengurangi kejadian NTD sebesar 72%, dengan melengkapi asupan ibu hamil dengan asam folat.[22]

AKG untuk asam folat berkisar dari 150 μg/hari untuk anak usia 1-3 tahun, menjadi 400 μg/hari untuk pria dan wanita di atas usia 19, dan 600 μg/hari selama masa kehamilan.[23]

Penyakit yang terkait dengan defisiensi asam folat meliputi: anemia megaloblastik atau makrositik, penyakit kardiovaskular, Beberapa jenis kanker, dan NTD pada janin.

Niasin[sunting | sunting sumber]

Niasin telah ditambahkan pada roti di Amerika Serikat sejak tahun 1938 (ketika fortifikasi sukarela dimulai), sebuah program yang secara substansial mengurangi kejadian pelagra.[24] Pada awal 1755, pelagra diakui oleh dokter sebagai penyakit kekurangan niasin. Meski tidak secara resmi menerima namanya pelagra hingga tahun 1771.[25] Pelagra terdeteksi di antara keluarga miskin yang menggunakan jagung sebagai makanan pokok mereka. Meskipun jagung itu sendiri mengandung niasin, tetapi ini bukan bentuk ketersediaan hayati kecuali jika mengalami Nikstamalisasi (pengolahan dengan alkali, tradisi dalam budaya suku Amerika Asli) dan oleh karena itu tidak berkontribusi terhadap asupan niasin secara keseluruhan.

AKG untuk niacin adalah 2 mg NE(niasin ekuivalen)/hari (AKG untuk bayi usia 0-6 bulan, 16 mg NE/hari untuk pria, dan 14 mg NE/hari untuk wanita yang berusia di atas 19 tahun.

Penyakit yang terkait dengan kekurangan niasin meliputi: Pelagra yang terdiri dari tanda dan gejala yang disebut 3D- "Dermatitis, demensia, dan diare". Lainya mungkin termasuk penyakit vaskular atau gastrointestinal.[25]

Penyakit umum yang menunjukkan tingginya frekuensi kekurangan niasin: alkoholisme, anoreksia nervosa, infeksi HIV, gastrektomi, kelainan malabsorpsi, kanker tertentu dan perawatan terkaitnya.[25]

Vitamin D[sunting | sunting sumber]

Oleh karena vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak, makanan ini tidak dapat ditambahkan ke berbagai jenis makanan. Makanan yang biasa ditambahkan vitamin D adalah margarin, minyak nabati dan produk susu.[26] Pada akhir 1800-an, setelah ditemukannya kondisi penyembuhan skurvi dan beri-beri, para periset bertujuan untuk mengetahui apakah penyakitnya, yang kemudian dikenal sebagai rakitis, juga bisa disembuhkan dengan makanan. Hasilnya menunjukkan bahwa paparan sinar matahari dan minyak hati ikan cod adalah obatnya. Baru pada tahun 1930an vitamin D adalah yang sebenarnya terkait dengan penyembuhan rakitis.[27] Penemuan ini menggiring fortifikasi makanan umum seperti susu, margarin, dan sereal untuk sarapan. Hal ini ditunjukkan oleh data statistik mengejutkan. Sekitar 80-90% anak-anak yang menunjukkan berbagai tingkat deformasi tulang karena defisiensi vitamin D menjadi kondisi yang sangat langka.[28]

AKG saat ini untuk bayi berusia 0-6 bulan adalah 10 µg (400 Satuan Internasional (SI))/hari dan untuk orang dewasa berusia di atas 19 tahun adalah 15 µg (600 SI)/hari.

Penyakit yang terkait dengan kekurangan vitamin D meliputi rakitis, osteoporosis, dan beberapa jenis kanker (payudara, prostat, usus besar dan ovarium). Ini juga dikaitkan dengan peningkatan risiko patah tulang, penyakit jantung, diabetes tipe 2, penyakit autoimun dan infeksi, asma dan gangguan mengi lainnya, infark miokard, hipertensi, gagal jantung kongestif, dan penyakit vaskular perifer.[28]

Fluorida[sunting | sunting sumber]

Meskipun fluorida tidak dianggap sebagai mineral esensial, tetapi dianggap berguna dalam mencegah kerusakan gigi dan menjaga kesehatan gigi. Pada pertengahan 1900-an ditemukan bahwa kota-kota dengan tingkat fluorida tinggi dalam persediaan air mereka menyebabkan gigi penduduk memiliki bintik-bintik coklat dan resistensi aneh terhadap karies gigi. Hal ini menggiring fortifikasi persediaan air dengan fluorida dalam jumlah yang aman untuk mempertahankan sifat resisten terhadap karies gigi namun menghindari penodaan gigi akibat fluorosis (suatu kondisi yang disebabkan oleh asupan fluorida berlebihan).[29]

Batas asupan atas yang dapat ditoleransi (UL) untuk fluorida berkisar antara 0,7 mg/hari untuk bayi berusia 0-6 bulan dan 10 mg/hari untuk orang dewasa di atas usia 19 tahun.

Kondisi yang umumnya terkait dengan defisiensi fluorida adalah karies gigi dan osteoporosis.

Lain-lain[sunting | sunting sumber]

Beberapa contoh lain dari fortifikasi pangan:

  • Kalsium sering ditambahkan pada jus buah, minuman berkarbonasi dan beras.
  • Nasi putih sering diperkaya untuk mengganti beberapa nutrisi yang hilang selama penggilingan atau penambahan ekstra.[30]
  • "Golden rice" adalah berbagai jenis padi yang telah dimodifikasi secara genetis untuk menghasilkan beta karoten.[31]
  • Tepung kaya amilase dimanfaatkan untuk pembuatan makanan untuk meningkatkan konsumsi makanan.[32]

Untuk binaraga[sunting | sunting sumber]

Meski memiliki dasar ilmiah, ilmu penggunaan makanan dan suplemen makanan untuk mencapai tujuan kesehatan yang ditetapkan memicu etika kontroversial. Contoh umum penggunaan suplemen makanan ini adalah ekstensifnya para binaragawan menggunakan campuran asam amino, vitamin dan fitokimia untuk meningkatkan produksi hormon alami, meningkatkan otot dan mengurangi lemak. Literaturnya tidak sesuai dengan ketepatan metode penggunaan fortifikasi bagi binaragawan dan oleh karena itu dapat tidak direkomendasikan dengan alasan keamanan.[33]

Untuk perawatan medis[sunting | sunting sumber]

Ada minat dalam penggunaan suplemen makanan dalam kondisi medis menetap. Suplementasi gizi ini yang menggunakan makanan sebagai obat (nutraseutikal) telah digunakan secara efektif dalam mengobati gangguan yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh sampai dan termasuk kanker.[34] Ini melampaui definisi "suplemen makanan", tapi harus disertakan demi kelengkapan.

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d World Health Organization and Food and Agriculture Organization of the United Nations Guidelines on food fortification with micronutrients. Diarsipkan December 26, 2016, di Wayback Machine. 2006 [cited on 2011 Oct 30].
  2. ^ Micronutrient Fortification of Food: Technology and Quality Control Diarsipkan September 2, 2016, di Wayback Machine.
  3. ^ a b Liyanage, C.; Hettiarachchi, M. (2011). "Food fortification" (PDF). Ceylon Medical Journal. 56 (3): 124–127. doi:10.4038/cmj.v56i3.3607. PMID 22164753. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-05-13. Diakses tanggal 2017-06-09. 
  4. ^ a b Darnton-Hill, E (1998). "Overview: Rationale and elements of a successful food-fortification programme" (PDF). Food and Nutrition Bulletin. United Nations University. 19 (2): 92–100. doi:10.1177/156482659801900202. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-10-06. Diakses tanggal 2017-06-09. 
  5. ^ "Recommendations on Wheat and Maize Flour Fortification Meeting Report: Interim Consensus Statement" (PDF). Who.int. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-08-05. Diakses tanggal 2016-03-30. 
  6. ^ "Food Science | Educating Food Leaders for over 100 years". Uoguelph.ca. Diakses tanggal 2016-03-30. 
  7. ^ Bruno Waterfield (24 May 2011). "Marmite made illegal in Denmark". The Telegraph. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-24. Diakses tanggal 2017-06-09. 
  8. ^ McNulty, Helene; Pentieva, Kristina (2007). "Folate bioavailability". Proceedings of the Nutrition Society. 63 (04): 529–536. doi:10.1079/PNS2004383. ISSN 0029-6651. 
  9. ^ Zhou, Shi-Sheng (2014). "Excess vitamin intake: An unrecognized risk factor for obesity". World J Diabetes. 5 (1): 1–13. doi:10.4239/wjd.v5.i1.1. ISSN 1948-9358. PMC 3932423alt=Dapat diakses gratis. PMID 24567797. 
  10. ^ Gerrior, Shirley; Bente, Lisa; Hiza, Hazel (2004-11-01). "Nutrient Content of the U.S. Food Supply, 1909-2000". Home Economics Research Report No. 56, U.S. Department of Agriculture, Center for Nutrition Policy and Promotion: 45. Diakses tanggal 2015-05-08. 
  11. ^ Sangani, Rahul; Ghio, Andrew (2013). "Iron, Human Growth, and the Global Epidemic of Obesity". Nutrients. 5 (10): 4231–4249. doi:10.3390/nu5104231. ISSN 2072-6643. PMC 3820071alt=Dapat diakses gratis. PMID 24152754. 
  12. ^ National Institute of Child Health and Human Development (30 November 2012). "How many people are affected by or are at risk for neural tube defects?". Nichd.nih.gov. U.S. National Institutes of Health. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-22. Diakses tanggal 2017-06-09. 
  13. ^ a b Helga Refsum; A. David Smith (August 2008). "Are we ready for mandatory fortification with vitamin B-12?". The American journal of clinical nutrition. 88 (2): 253–254. PMID 18689357. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-15. Diakses tanggal 2017-06-09. 
  14. ^ a b c d e A. David Smith; Young-In Kim; Helga Refsum (March 2008). "Is folic acid good for everyone?". The American journal of clinical nutrition. 87 (3): 517–533. PMID 18326588. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-06-20. Diakses tanggal 2017-06-09. 
  15. ^ Choumenkovitch SF, Selhub J, Wilson PW, Rader JI, Rosenberg IH, Jacques PF (September 2002). "Folic acid intake from fortification in United States exceeds predictions". J. Nutr. 132 (9): 2792–8. PMID 12221247. 
  16. ^ Irwin H. Rosenberg (August 2005). "Science-based micronutrient fortification: which nutrients, how much, and how to know?". The American journal of clinical nutrition. 82 (2): 279–280. PMID 16087969. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-15. Diakses tanggal 2017-06-09. 
  17. ^ Powers, Hilary J (2007). "Folic acid under scrutiny". British Journal of Nutrition. 98 (04). doi:10.1017/S0007114507795326. ISSN 0007-1145. 
  18. ^ A. David Smith (January 2007), "Folic acid fortification: the good, the bad, and the puzzle of vitamin", American Society for Clinical Nutrition, 85 (1): 3–5, diarsipkan dari versi asli tanggal December 18, 2015 
  19. ^ Richardson, D.P. (February 1990), "Food Fortification", Proceedings of the Nutrition Society, 49 (1): 39–50, doi:10.1079/PNS19900007, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-23, diakses tanggal 2017-06-09 
  20. ^ Salt, The (2013-07-13). "Iodized Salt". Salt Institute. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-02-14. Diakses tanggal 2016-03-30. 
  21. ^ "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal January 21, 2012. Diakses tanggal October 30, 2011. 
  22. ^ Honein MA, Paulozzi LJ, Mathews TJ, Erickson JD, Wong LY (2001). "Impact of folic acid fortification of the US food supply on the occurrence of neural tube defects" (PDF). JAMA. 285 (23): 2981–6. doi:10.1001/jama.285.23.2981. PMID 11410096. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2017-06-09. 
  23. ^ "Folate — Health Professional Fact Sheet". Ods.od.nih.gov. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-05. Diakses tanggal 2016-03-30. 
  24. ^ Park YK, Sempos CT, Barton CN, Vanderveen JE, Yetley EA (2000). "Effectiveness of food fortification in the United States: the case of pellagra". American Journal of Public Health. 90 (5): 727–38. doi:10.2105/AJPH.90.5.727. PMC 1446222alt=Dapat diakses gratis. PMID 10800421. 
  25. ^ a b c Prousky, J.; Millman, C.G.; Kirkland, J.B. (2001). "Pharmacologic Use of Niacin". Journal of Evidence-Based Complementary & Alternative Medicine. 16 (2): 91–101. 
  26. ^ "Food Fortification Technology". Fao.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-08-06. Diakses tanggal 2016-03-30. 
  27. ^ "A dose of vitamin D history". Nature Structural Biology. 9 (2): 77. 2002. doi:10.1038/nsb0202-77. 
  28. ^ a b Holick M.F. (2010). "The Vitamin D Deficiency Pandemic: a Forgotten Hormone Important for Health". Health Reviews. 32: 267–283. doi:10.1007/bf03391602. 
  29. ^ "The Story of Fluoridation". National Institute of Dental and Craniofacial Research. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-02-07. Diakses tanggal 30 March 2016. 
  30. ^ Stein, Natalie. "Nutrition in a Serving of White Rice". SFGate. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-30. Diakses tanggal 30 March 2016. 
  31. ^ Dawe D (2007). "Crop Case Study: GMO Golden Rice in Asia with Enhanced Vitamin A Benefits for Consumers". The Journal of Agrobiotechnology Management and Economics. 10 (3): 154–160. 
  32. ^ Hossain M.I.; Wahed M.A.; Ahmed S. (2005). "Increased food intake after the addition of amylase-rich flour to supplementary food for malnourished children in rural communities of Bangladesh". Food Nutr Bull. 26 (4): 323–9. doi:10.1177/156482650502600401. 
  33. ^ Chromiak J.A., Antonio J. (2002). "Use of amino acids as growth hormone-releasing agents by athletes". Nutrition. 18 (7–8): 657–661. doi:10.1016/s0899-9007(02)00807-9. 
  34. ^ "Functional Foods and Natural Health Products". Agriculture and Agri-Food Canada. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-02-21. Diakses tanggal 30 March 2016.