Angulimala: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Add 1 book for Wikipedia:Pemastian (20240109)) #IABot (v2.0.9.5) (GreenC bot
 
(195 revisi perantara oleh 18 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{About|tokoh Buddhis||Angulimala (disambiguasi)}}
{{periksaterjemahan}}
{{short description|Tokoh penting dalam Buddhisme awal}}
{{About|figur Buddhis||Angulimala (disambiguasi)}}
{{short description|Figur penting dalam Buddhisme awal}}
{{Infobox religious biography
{{Infobox religious biography
|religion = [[Agama Buddha]]
|religion = [[Agama Buddha|Buddhisme]]
|name = Aṅgulimāla
|name = Angulimala
|image = 015 Angulimala (9140566999).jpg
|image = The Buddha teaches Angulimala.jpg
|caption = Angulimala memergoki Buddha Gautama
|caption = Ilustrasi Angulimala sedang mencoba mengejar [[Buddha Gautama]].
|alias = Ahiṃsaka, Gagga Mantānīputta
|alias = Ahiṃsaka, Gagga Mantānīputta
|dharma name =
|dharma name =
Baris 13: Baris 12:
|death_date =
|death_date =
|death_place =
|death_place =
|nationality = India
|nationality = [[bangsa India|India]]
|school =
|school =
|lineage =
|lineage =
Baris 19: Baris 18:
|location =
|location =
|education = [[Taxila]]
|education = [[Taxila]]
|teacher = [[Buddha]]
|teacher = [[Buddha Gautama]]
|reincarnation of =
|reincarnation of =
|predecessor =
|predecessor =
Baris 31: Baris 30:


{{ Infobox Buddhist term
{{ Infobox Buddhist term
| title = Aṅgulimāla
| title = Angulimala
| en = Finger Necklace
| en = artinya 'kalung jari' ('ia yang mengenakan jari sebagai kalung')
| pi = Aṅgulimāla
| pi = Aṅgulimāla
| sa = Aṅgulimāliya, Aṅgulimālya<ref name="Buswell 2013" />
| sa = Aṅgulimāliya, Aṅgulimālya{{sfn|Buswell|Lopez|2013}}
| bn =
| bn =
| my = အင်္ဂုလိမာလ
| my = အင်္ဂုလိမာလ
Baris 57: Baris 56:
| bo-Latn = Sor mo phreng ba
| bo-Latn = Sor mo phreng ba
| vi =
| vi =
| id = [[arti harfiah]]: "Untaian Jari"
| id =
}}
}}
'''Angulimala''' ([[Bahasa Pāli]]; <small>artinya</small> 'untaian jari'){{sfn|Buswell|Lopez|2013}}{{sfn|Gombrich|2006|p=135 n.1}} adalah salah satu tokoh penting dalam [[agama Buddha]], terutama dalam tradisi [[Theravada|Theravāda]]. Ia digambarkan sebagai perampok bengis yang sepenuhnya bertobat setelah mengikuti ajaran [[Buddha Gautama|Sang Buddha]]. Kisahnya menjadi contoh terkemuka dalam hal pertobatan dan contoh kecakapan Sang Buddha sebagai guru. Angulimala dipandang oleh umat Buddha sebagai pelindung bagi wanita yang sedang melahirkan, dan dikaitkan dengan kesuburan di [[Asia Selatan]] dan [[Asia Tenggara|Tenggara]].


Cerita Angulimala dapat ditemukan pada sejumlah pustaka berbahasa [[Pāli]], [[Sanskerta]], [[bahasa Tibet|Tibet]], dan [[bahasa Tionghoa|Tionghoa]]. Angulimala lahir dengan nama Ahiṃsaka. Ia tumbuh sebagai pemuda cerdas di [[Sawati]], dan saat bersekolah, ia menjadi murid kesayangan guru. Karena teman-temannya iri, ia dijebak agar diusir gurunya. Dalam upaya menyingkirkan Angulimala, sang guru memberinya misi berbahaya, yaitu mengumpulkan seribu jari manusia sebagai syarat menamatkan pendidikan. Dalam upaya menuntaskan misi tersebut, Angulimala akhirnya menjadi perampok keji, membunuh banyak orang, dan menyebabkan seluruh warga desa mengungsi. Peristiwa tersebut menyebabkan [[Pasenadi|Raja Pasenadi]] dari [[Kosala]] mengirim tentara untuk menangkapnya. Sementara itu, ibu Angulimala berniat turun tangan, yang membuatnya nyaris dibunuh oleh Angulimala. Sang Buddha mencegah hal itu terjadi dengan memakai kesaktian dan ajarannya untuk membawa Angulimala ke jalan yang benar. Angulimala kemudian menjadi pengikut Buddha, dan menjadi seorang [[biksu|bhikkhu]] di bawah bimbingan Sang Buddha, sehingga mengejutkan raja dan masyarakat. Meskipun telah bertobat, para penduduk desa masih marah dengan apa yang telah dilakukan oleh Angulimala, tetapi keadaan membaik saat Angulimala menolong seorang ibu yang sedang melahirkan dengan sebuah [[sacca-kiriya|tindak kebajikan]].
'''Aṅgulimāla''' ([[Bahasa Pāli]]; <small>artinya</small> 'kalung jari')<ref name="Buswell 2013">{{cite book|last1=Buswell|first1=Robert E. Jr.|author1-link=Robert Buswell Jr.|last2=Lopez|first2=Donald S. Jr.|author2-link=Donald S. Lopez Jr.|title=Princeton Dictionary of Buddhism|date=2013|publisher=[[Princeton University Press]]|isbn=978-0-691-15786-3|url=http://www.daophatngaynay.com/vn/files/file-nen/Princeton_Dictionary_of_Buddhism_890707662.pdf|chapter=Aṅgulimāla}}</ref>{{sfn|Gombrich|2006|p=135 n.1}} adalah salah satu tokoh penting dalam agama Buddha, terutama dalam tradisi [[Theravada|Theravāda]]. Digambarkan sebagai perampok ulung yang sepenuhnya berubah setelah masuk agama Buddha, ia dipandang sebagai contoh dari kekuatan penebusan dari ajaran Buddha dan kemampuan Buddha sebagai guru. Aṅgulimāla dipandang oleh umat Buddha sebagai "pelindung suci" dari kelahiran anak dan diasosiasikan dengan kesuburan di Asia Selatan dan Tenggara.


Para cendekiawan berteori bahwa Angulimala adalah bagian dari kultus kekerasan sebelum ia bertobat. [[Indologi|Indolog]] Richard Gombrich menyatakan bahwa ia adalah pengikut bentuk awal ajaran [[Tantra]], tetapi klaim tersebut telah dibantah. Umat Buddha menganggap Angulimala sebagai lambang transformasi spiritual, dan ceritanya adalah sebuah pelajaran bahwa kehidupan setiap orang dapat menjadi lebih baik, bahkan bagi orang-orang yang tampaknya tidak memiliki kemungkinan begitu. Selain itu, cerita Angulimala menjadi bahan diskusi tentang keadilan dan [[rehabilitasi (penologi)|rehabilitasi]] di kalangan cendekiawan, dan dipandang oleh teolog John Thompson sebagai contoh bagus dalam mengatasi [[luka moral]], serta [[etika kepedulian]]. Angulimala menjadi subjek [[film]] dan [[sastra]], seperti [[film Thailand]] yang berjudul [[Angulimala (film 2003)|''Angulimala'' (2003)]]. Sementara itu, buku ''The Buddha and the Terrorist'' karya [[Satish Kumar]] mengadaptasi cerita tersebut sebagai tanggapan [[ahimsa|tanpa kekerasan]] terhadap [[perang melawan terorisme]].
Cerita Aṅgulimāla dapat ditemukan di sejumlah sumber dalam bahasa [[Pāli]], Sanskerta, Tibetan dan Tionghoa. Aṅgulimāla lahir dengan nama Ahiṃsaka. Ia dibesarkan sebagai pemuda cerdik di [[Sawati]], dan di sekolah, ia menjadi murid kesayangan dari gurunya. Namun, karena iri, para teman sekelasnya membuatnya bermusuhan dengan gurunya. Dalam upaya untuk menyingkirkan Aṅgūlimāla, gurunya mengirimnya pada misi mematikan untuk menemukan seribu jari manusia untuk menyelesaikan sekolahnya. Berniat untuk menjalankan misi tersebut, Aṅgulimāla menjadi perampok ulung, membunuh banyak orang dan menyebabkan seluruh warga desa berpindah. Kemudian, peristiwa tersebut menyebabkan [[Pasenadi|sang raja]] untuk mengirim tentara untuk menangkap pembunuh tersebut. Sementara itu, ibu Aṅgulimāla berniat untuk turun tangan, hampir menyebabkannya juga dibunuh oleh putranya. Namun, sang Buddha memutuskan untuk menghindarkannya dan memakai [[ṛddhi|kekuatan]] dan ajarannya untuk membawa Aṅgulimāla ke jalan yang benar. Aṅgulimāla menjadi pengikut Buddha, dan mengejutkan sang raja dan orang-orang lainnya, menjadi seorang biksu di bawah bimbingannya. Para penduduk desa masih marah dengan Aṅgulimāla, namun rasa marah tersebut terhapuskan saat Aṅgulimāla menolong seorang ibu saat melahirkan anak melalui sebuah [[sacca-kiriya|tindak kebenaran]].


== Sumber pustaka dan epigrafi ==
Para cendekiawan berteori bahwa Aṅgulimāla adalah bagian dari kultus kekerasan sebelum ia bertobat. Indologis [[Richard Gombrich]] menyatakan bahwa ia adalah pengikut aliran awal dari [[Tantra]], namun klaim tersebut telah dibantah. Umat Buddha menganggap Aṅgulimāla sebagai lambang transformasi spiritual, dan ceritanya adalah sebuah pelajaran yang dapat mengubah kehidupan setiap orang menjadi lebih baik, bahkan setidaknya pada orang-orang yang seperti itu. Ini menginspirasi badan penjara Buddha resmi di Inggris untuk menamakan organisasi mereka dengan namanya. Selain itu, cerita Aṅgulimāla menjadi bahan diskusi keadilan dan [[rehabilitasi (penologi)|rehabilitasi]] di kalangan cendekiawan, dan dipandang oleh teolog John Thompson sebagai contoh yang baik untuk ditiru dengan [[luka moral]] dan [[etika kepedulian]]. Aṅgulimāla menjadi subyek film dan sastra, dengan sebuah [[Angulimala (film 2003)|film Thai bernama sama]] dipilih untuk mengisahkannya berdasarkan pada sumber-sumber terawal, dan buku ''The Buddha and the Terrorist'' karya [[Satish Kumar]] mengadaptasi cerita tersebut sebagai tanggapan [[ahimsa|non-kekerasan]] terhadap [[Perang melawan terorisme]].
[[Berkas:Buddhaghosa with three copies of Visuddhimagga.jpg|jmpl|[[Buddhaghoṣa]], salah satu pengulas kisah Angulimala dari abad ke-5 M; ia digambarkan di bagian kanan]]


Cerita Angulimala sangat dikenal dalam tradisi Buddhis, terutama [[Theravada|Theravāda]].{{sfn|Thompson|2015|p=161}} Dua naskah dalam [[kanon Pali|pustaka Buddhis]] ber[[bahasa Pali]] mencatat kisah Angulimala dengan Sang Buddha dari pertemuan pertama mereka hingga pertobatan Angulimala, dan diyakini merupakan versi tertua dari cerita tersebut.{{sfn|Gombrich|2006|p=137}}{{sfn|Thompson|2015|p=162}}{{refn|group=note|Sebagai perbandingan, {{As of|1994|post=, |lc=yes}} para cendekiawan memperkirakan Sang Buddha hidup antara abad ke-5 dan ke-4 SM.{{sfn|Norman|1994|p=39}}}} Naskah pertama adalah [[Theragatha|Theragathā]] (kemungkinan merupakan karya yang tertua),{{sfn|Thompson|2015|p=161}} dan yang kedua adalah [[Sutta Angulimala|Sutta Aṅgulimāla]] dalam [[Majjhima Nikaya|Majjhima Nikāya]].{{sfn|Wilson|2016|p=285}} Kedua naskah tersebut memberikan uraian singkat tentang pertemuan Angulimala dengan Sang Buddha, dan tak mencatat berbagai kisah latar belakang yang kemudian digabungkan ke dalam cerita tersebut (seperti Angulimala menyatakan sumpah kepada gurunya).{{sfn|Wilson|2016|p=288}}{{sfn|Thompson|2015|p=161}} Selain naskah-naskah Pāli, kehidupan Angulimala juga disebutkan dalam naskah ber[[bahasa Tibet]] dan [[bahasa Tionghoa|Tionghoa]], yang bermula dari [[Sanskerta]].{{sfn|Wilson|2016|p=288}}{{sfn|Thompson|2015|p=162}} Kumpulan cerita Sanskerta berjudul [[Āgama (Buddhisme)#Saṃyukta Āgama|Saṃyuktāgama]] dari mazhab [[Mulasarwastiwada|Mūlasārwastiwāda]] kuno telah [[Taishō Shinshū Daizōkyō|diterjemahkan ke dalam dua naskah Tionghoa]] (pada abad ke-4 sampai ke-5 Masehi) oleh mazhab [[Sarwāstiwāda]] dan [[Kāśyapīya]] kuno, dan juga memuat berbagai versi dari cerita tersebut.{{sfn|Zin|2005|page=707}}{{sfn|Thompson|2015|p=162}}{{sfn|Analayo|2008|p=135}} Sebuah naskah yang diterjemahkan ke bahasa Tionghoa dari naskah Sanskerta [[Ekottara Agama|Ekottara Agāma]] oleh mazhab [[Mahasamghika|Mahāsaṃghika]] juga diketahui. Selain itu, tiga naskah Tionghoa lainnya yang berkisah tentang Angulimala juga ditemukan, yang tak diketahui asal usulnya tetapi berbeda dengan tiga naskah Tionghoa pertama.{{sfn |Bareau |1986 |page=655 }}
== Sumber tekstual dan temuan epigrafi ==
[[Berkas:Buddhaghosa with three copies of Visuddhimagga.jpg|jmpl|[[Buddhaghoṣa]] (komentator dari abad ke-5 M; digambarkan di bagian kanan)]]
Cerita Aṅgulimāla sangat dikenal dalam tradisi [[Theravada|Theravāda]].{{sfn|Thompson|2015|p=161}} Dua teks dalam [[kanon Pali|sumber-sumber awal]] dalam [[bahasa Pali]] mengisahkan tentang pertemuan awal Aṅgulimāla dengan sang Buddha dan pertobatannya, dan diyakini menjabarkan versi tertua dari cerita tersebut.{{sfn|Gombrich|2006|p=137}}{{sfn|Thompson|2015|p=162}}{{refn|group=note|Sebagai perbandingan, {{As of|1994|post=, |lc=yes}} para cendekiawan menanggalkan kehidupan sang Buddha antara abad ke-5 dan ke-4 SM.<ref>{{cite book|last=Norman |first=K.R. |author-link=K.R. Norman |title=A Philological Approach to Buddhism: The Bukkyō Dendō Kyōkai Lectures |url=https://ahandfulofleaves.files.wordpress.com/2011/11/a-philological-approach-to-buddhism_norman_tbf_1997.pdf |year=1994 |publisher=[[School of Oriental and African Studies]], [[University of London]] |page=39 }}</ref>}} Karya pertama adalah [[Theragatha|Theragathā]], yang mungkin merupakan karya tertua di antara keduanya,{{sfn|Thompson|2015|p=161}} dan karya kedua adalah [[Sutta Angulimala|Sutta Aṅgulimāla]] dalam [[Majjhima Nikaya|Majjhima Nikāya]].{{sfn|Wilson|2016|p=285}} Kedua karya tersebut memberikan deskripsi pendek dari pertemuan Aṅgulimāla dengan sang Buddha, dan tak menyebut banyak informasi latar belakang yang kemudian dicantumkan dalam cerita tersebut (seperti Aṅgulimāla menyatakan sumpah kepada guru).{{sfn|Wilson|2016|p=288}}{{sfn|Thompson|2015|p=161}} Selain dari teks-teks Pāli, kehidupan Aṅgulimāla juga disebutkan dalam teks Tibetan dan Tionghoa yang bermula dari Sanskerta.{{sfn|Wilson|2016|p=288}}{{sfn|Thompson|2015|p=162}} Kumpulan cerita Sanskerta berjudul [[Āgama (Buddhisme)#Saṃyukta Āgama|Saṃyuktāgama]] dari aliran [[Mulasarwastiwada|Mūlasārwastiwāda]] awal, telah [[Taishō Shinshū Daizōkyō|diterjemahkan dalam dua teks Tionghoa]] (pada abad ke-4 sampai ke-5 Masehi) dari aliran [[Sarwāstiwāda]] dan [[Kāśyapīya]] awal dan juga berisi versi-versi dari cerita tersebut.{{sfn|Zin|2005|page=707}}{{sfn|Thompson|2015|p=162}}{{sfn|Analayo|2008|p=135}} Sebuah teks yang diterjemahkan dari Sanskerta ke Tionghoa [[Ekottara Agama|Ekottara Agāma]] oleh aliran [[Mahasamghika|Mahāsaṃghika]] juga diketahui. Selain itu, tiga teks Tionghoa lainnya yang berkisah tentang Aṅgulimāla juga ditemukan, yang tak diketahui asal usulnya namun berbeda dari tiga teks Tionghoa pertama.{{sfn |Bareau |1986 |page=655 }}


Selain tiga teks awal, terdapat juga pengisahan pada masa berikutnya, yang muncul dalam komentar kepada [[Majjhima Nikāya]] yang diatributkan kepada [[Buddhaghosa]] (abad ke-5 M) dan komentar Theragathā yang diatributkan kepada [[Dhammapala|Dhammapāla]] (abad ke-6 M).{{sfn|Wilson|2016|p=288}} Dua komentar tersebut tak muncul secara independen satu sama lain: Dhammapāla nampaknya telah menyalin atau sangat meniru Buddhaghosa, meskipun menambahkan penjelasan dari beberapa ketidakkonsistenan.{{sfn|Gombrich|2006|p=137}}{{sfn|Thompson|2015|p=162}} Catatan terawal dari kehidupan Aṅgulimāla menyebut kekerasan tanpa rasa takut dari Aṅgulimāla dan, sebaliknya, sikap damai sang Buddha. Catatan-catatan pada masa berikutnya berniat untuk mencantumkan penjelasan lain dan mengklarifikasi hal apapun yang tak sejalan dengan ajaran Buddha.{{sfn|Thompson|2017|page=176}} Contohnya, suatu masalah yang nampak menimbulkan pertanyaan adalah transformasi mendadak dari seorang pembunuh menjadi murid tercerahkan{{em dash}}catatan-catatan pada masa berikutnya berniat untuk menjelaskannya.{{sfn |Bareau |1986 |page=654 }} Namun, catatan-catatan pada masa berikutnya juga mencantumkan mukjizat-mukjizat lainnya dan bersama dengan beberapa penjelasan naratif menjelaskan poin-poin utama dari cerita tersebut.{{sfn|Analayo|2008|p=147}} Sumber-sumber [[Pāli]] awal ({{lang-pi|sutta|italic=yes}}) tak menyebut motif apapun untuk tindakan Aṅgulimāla, selain kekejaman ulung.{{sfn|Gombrich|2006|p=136}} Teks-teks pada masa berikutnya mewakili upaya dari para komentator pada masa berikutnya untuk "merehabilitasi" karakter Aṅgulimāla, menjadikannya nampak sebagai manusia baik secara fundamental yang terjebak oleh keadaan, ketimbang sebagai pembunuh tulen.{{sfn|Gombrich|2006|p=141}}{{sfn|Kosuta|2017|p=36}} Selain sumber-sumber dan ayat-ayat tersebut, terdapat juga kisah-kisah [[Jātaka]], [[Milindapanha|Milindapañhā]], dan bagian-bagian dari [[vinaya Pitaka|disiplin monastik]] yang berkaitan dengan Aṅgulimāla, serta kronik [[Mahawamsa|Mahāwaṃsa]] pada masa berikutnya.{{sfn|Thompson|2015|pp=161–2}}
Selain naskah-naskah kuno tersebut, ada juga kisah tambahan berikutnya, yang muncul dalam ulasan tentang [[Majjhima Nikāya]] yang diatribusikan kepada [[Buddhaghosa]] (abad ke-5 M), dan ulasan tentang Theragathā yang diatribusikan kepada [[Dhammapala|Dhammapāla]] (abad ke-6 M).{{sfn|Wilson|2016|p=288}} Dua ulasan tersebut tampaknya tidak dibuat sendiri-sendiri: Dhammapāla tampaknya telah menyalin atau hampir menafsirkan tulisan Buddhaghosa, meskipun menambahkan penjelasan tentang sejumlah inkonsistensi.{{sfn|Gombrich|2006|p=137}}{{sfn|Thompson|2015|p=162}} Kisah terawal tentang kehidupan Angulimala menekankan sifat kejamnya dan menyandingkannya dengan sifat damai Sang Buddha. Kisah-kisah berikutnya dimaksudkan untuk menambahkan detail dan mengklarifikasi hal-hal yang tak sesuai dengan ajaran Buddha.{{sfn|Thompson|2017|page=176}}


Sebagai contoh, suatu masalah yang mungkin menimbulkan pertanyaan adalah perubahan mendadak dari seorang pembunuh menjadi murid tercerahkan; kisah-kisah berikutnya mencoba untuk menjelaskan hal tersebut.{{sfn |Bareau |1986 |page=654 }} Namun, kisah-kisah berikutnya juga mencantumkan berbagai mukjizat dengan sejumlah detail peristiwa yang cenderung mengalihkan maksud utama cerita.{{sfn|Analayo|2008|p=147}} Pustaka-pustaka [[Pāli]] kuno ({{lang-pi|sutta|italic=yes}}) tak menjelaskan alasan atas tindakan Angulimala, selain kekejaman belaka.{{sfn|Gombrich|2006|p=136}} Sejumlah naskah pada masa berikutnya menunjukkan usaha para cendekiawan untuk "memperbaiki" karakter Angulimala, menjadikannya tampak sebagai manusia yang pada dasarnya baik tetapi terjebak oleh keadaan, daripada sekadar pembunuh keji semata.{{sfn|Gombrich|2006|p=141}}{{sfn|Kosuta|2017|p=36}} Selain ''sutta'' dan ''paritta'', ada pula kisah-kisah [[Jātaka]], [[Milindapanha|Milindapañhā]], dan sebagian [[vinaya Pitaka|peraturan bagi biksu dan biksuni]] yang berkaitan dengan Angulimala, serta kronik [[Mahawamsa|Mahāwaṃsa]] pada masa berikutnya.{{sfn|Thompson|2015|pp=161–2}}
Teks-teks pada masa berikutnya dari bahasa-bahasa lainnya yang berkaitan dengan kehidupan Aṅgulimāla meliputi teks [[Awadāna]] berjudul Sataka,{{sfn|Malalasekera|1960}} serta kumpulan cerita pada masa berikutnya yang berjudul ''Kisah tentang Kebijaksanaan dan Lelucon'', yang ada dalam bahasa Tibetan dan Tionghoa.{{sfn|Analayo|2008|p=140}} Terdapat juga catatan perjalanan para peziarah Tionghoa yang menyebut Aṅgulimāla secara singkat.{{sfn|Brancaccio|1999|page=105}} Selain deskripsi kehidupan Aṅgulimāla, terdapat sumber [[Mahāyāna]] berjudul [[Sūtra Aṅgulimālīya]], yang berisi ceramah-ceramah Buddha Gautama kepada Aṅgulimāla. Ini adalah salah satu [[Sūtra Tathāgatagarbha]], sekelompok sumber yang menjelaskan tentang [[Alam Buddha]].<ref name="Buswell 2013" />{{sfn|Thompson|2015|p=164}} Terdapat ''[[sūtra]]'' lainnya dengan nama yang sama, yang merujuk ke teks-teks Tionghoa, yang dipakai untuk membela pendirian umat Buddha melawan minuman beralkohol. Namun, teks tersebut tak ditemukan.<ref>{{cite journal |last1=Wang-Toutain |first1=Françoise |title=Pas de boissons alcoolisées, pas de viande : une particularité du bouddhisme chinois vue à travers les manuscrits de Dunhuang |trans-title=No alcoholic beverages, no meat: one particular characteristic of Chinese Buddhism, seen through the manuscripts of Dunhuang |journal=[[Cahiers d'Extrême-Asie]] |date=1999 |volume=11 |issue=1 |pages=101{{en dash}}2, 105, 112{{en dash}}5 |doi=10.3406/asie.1999.1151 |url=https://www.persee.fr/doc/asie_0766-1177_1999_num_11_1_1151 |language=fr}}</ref> Selain bukti tekstual, bukti [[epigrafi]] awal juga ditemukan. Salah satu relief terawal yang menggambarkan Aṅgulimāla berasal dari sekitar abad ke-3 SM.{{sfn|Zin|2005|p=709}}

Naskah-naskah pada masa berikutnya dalam berbagai bahasa yang berkaitan dengan kehidupan Angulimala meliputi naskah [[Awadāna]] berjudul Sataka,{{sfn|Malalasekera|1960}} serta kumpulan cerita berikutnya yang berjudul ''Kisah tentang Orang Bijaksana dan Orang Dungu'', yang tersedia dalam [[bahasa Tibet]] dan [[bahasa Tionghoa|Tionghoa]].{{sfn|Analayo|2008|p=140}} Ada pula catatan perjalanan para peziarah Tionghoa yang menyebut Angulimala secara singkat.{{sfn|Brancaccio|1999|page=105}} Selain uraian kehidupan Angulimala, terdapat pustaka [[Mahāyāna]] berjudul [[Sūtra Aṅgulimālīya]], yang berisi ceramah Buddha Gautama kepada Angulimala. Ini adalah salah satu [[Sūtra Tathāgatagarbha]], sekelompok pustaka yang menjelaskan tentang [[sifat kebuddhaan]].{{sfn|Buswell|Lopez|2013}}{{sfn|Thompson|2015|p=164}} Terdapat ''[[sūtra]]'' lain dengan judul yang sama, yang disebut-sebut dalam berbagai naskah Tionghoa, yang dipakai untuk mendukung pantangan umat Buddha dalam mengkonsumsi minuman beralkohol. Namun, naskah tersebut tak ditemukan.{{sfn|Wang-Toutain|1999|p=101{{en dash}}2, 105, 112{{en dash}}5}} Selain bukti tekstual, bukti [[epigrafi]] kuno juga ditemukan. Salah satu relief kuno yang menggambarkan Angulimala dibuat sekitar abad ke-3 SM.{{sfn|Zin|2005|p=709}}


== Cerita ==
== Cerita ==
=== Inkarnasi sebelumnya ===
=== Kelahiran sebelumnya ===
Teks-teks tersebut mengisahkan inkarnasi masa lampau sebelum Aṅgulimāla bertemu Buddha Gautama. Pada kehidupan sebelumnya, ia lahir sebagai raja pemakan manusia yang berubah menjadi ''[[yaksha]]'' ({{lang-pi|yakkha|italic=yes}}, sebuah perwujudan iblis; {{lang-sa|yakṣa|italic=yes}}),{{sfn|Wilson|2016|p=286}}{{sfn|Barrett|2004|page=180}} yang dalam beberapa teks disebut [[Saudasa|Saudāsa]].{{sfn|Zin |2005|page=706}} Saudāsa mengembangkan minat dalam menyantap daging manusia saat ia disajikan daging bayi mati. Saat ia meminta lagi, orang-orang di sekitarnya mulai mengkhawatirkan keselamatan anak mereka dan ia dikeluarkan dari kerajaannya sendiri.{{sfn|Barrett|2004|page=181}}{{refn|group=note|Kisah tentang penyantapan bayi mati hanya dapati ditemukan dalam satu versi Tionghoa dari cerita tersebut, dan ditambahkan untuk mengkritik praktek semacam itu di Tiongkok pada abad ke-5.{{sfn|Barrett|2004|page=181}}}} Berubah menjadi monster, Saudāsa bertemu seorang dewa yang berjanji dapat memulihkan status Saudāsa sebagai raja jika ia mengurbankan seratus raja lainnya.{{sfn|Barrett|2004|page=180}} Membunuh 99 raja, seorang raja bernama Sutasoma mengubah pikiran Saudāsa dan menjadikannya pria relijius, dan memberikannya semua kekerasan. Sutasoma diidentifiksikan sebagai [[bodhisatwa#Buddhisme awal dan Theravāda|inkarnasi sebelumnya]] dari sang Buddha,{{sfn|Barrett|2004|page=180}}{{sfn|Zin |2005|page=706}} dan Saudāsa sebagai inkarnasi sebelumnya dari Aṅgulimāla.<ref>{{cite journal|last1=Wilkens|first1=Jens|title=Studien Zur Alttürkischen Daśakarmapathāvadānamālā (2): Die Legende Vom Menschenfresser Kalmāṣapāda|trans-title=Studies of the Old Turkish Daśakarmapathāvadānamālā (2): The Legend of the Man-eater Kalmāṣapāda|language=de|journal=[[Acta Orientalia Academiae Scientiarum Hungaricae]]|date=2004|volume=57|issue=2|page=169|jstor=23658630}}</ref>
Berbagai pustaka mengisahkan kehidupan masa lampau sebelum Angulimala lahir dan bertemu Buddha Gautama. Pada [[Kelahiran kembali (Buddha)|kehidupan sebelumnya]], ia lahir sebagai raja pemakan manusia yang berubah menjadi ''[[yaksa]]'' (sejenis siluman; {{lang-pi|yakkha|italic=yes}}; {{lang-sa|yakṣa|italic=yes}}),{{sfn|Wilson|2016|p=286}}{{sfn|Barrett|2004|page=180}} yang tercatat dalam sejumlah pustaka dengan nama [[Saudasa|Saudāsa]].{{sfn|Zin |2005|page=706}} Saudāsa mulai gemar menyantap daging manusia setelah dihidangkan daging jenazah bayi. Setelah ketagihan, rakyatnya mulai mengkhawatirkan keselamatan anak-anak mereka sehingga ia diusir dari kerajaannya sendiri.{{sfn|Barrett|2004|page=181}}{{refn|group=note|Kisah tentang penyantapan jenazah bayi hanya ditemukan dalam satu kisah versi Tionghoa, dan ditulis untuk mengkritik praktik semacam itu yang terjadi di Tiongkok pada abad ke-5.{{sfn|Barrett|2004|page=181}}}} Setelah berubah menjadi siluman, Saudāsa bertemu seorang dewa yang berjanji dapat memulihkan status Saudāsa sebagai raja jika ia berhasil mengurbankan seratus raja.{{sfn|Barrett|2004|page=180}} Ketika 99 raja telah dikurbankan, raja ke-100 yang bernama Sutasoma berhasil mengubah pikiran Saudāsa, menjadikannya orang yang religius dan membuatnya berhenti melakukan tindak kekerasan. Dalam pustaka, Sutasoma diidentifikasikan sebagai [[bodhisatwa|bakal Buddha Gautama]],{{sfn|Barrett|2004|page=180}}{{sfn|Zin |2005|page=706}} dan Saudāsa sebagai bakal dari Angulimala.{{sfn|Wilkens|2004|p=169}}


Namun, menurut Ekottara Agāma, inkarnasi sebelumnya dari Aṅgulimāla adalah seorang putra mahkota, yang bersifat baik dan bijak yang membuat iri para musuhnya. Saat musuh-musuhnya membunuhnya, ia bersumpah bahwa sebelum ia meninggal, ia akan membalas kematiannya, dan memasuki [[Nirwana (Buddha)|Nirwana]] di kehidupan mendatang di bawah panduan seorang master. Versi tersebut nampak menyatakan bahwa pembunuhan Aṅgulimāla dibenarkan.{{sfn |Bareau |1986 |pp=656{{en dash}}7}}
Namun, menurut Ekottara Agāma, pada kehidupan sebelumnya Angulimala adalah seorang putra mahkota yang bersifat baik sehingga membuat iri para musuhnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir di tangan musuh-musuhnya, ia bersumpah akan membalas dendam, dan mencapai [[Nirwana (Buddha)|Nirwana]] di bawah bimbingan seorang guru, pada kehidupan berikutnya. Versi tersebut kesannya memberikan pembenaran atas tindak pembunuhan yang dilakukan Angulimala.{{sfn |Bareau |1986 |pp=656{{en dash}}7}}


=== Masa muda ===
=== Masa muda ===
[[Berkas:Taxila2.jpg|Reruntuhan [[Taxila]], sekarang Pakistan.|jmpl]]
[[Berkas:Taxila2.jpg|Reruntuhan [[Taxila]], sekarang di Pakistan. Taxila adalah tempat Angulimala berguru.|jmpl]]
Dalam kebanyakan teks, Aṅgulimāla lahir di [[Sawati|Sāwatī]],{{sfn|Zin |2005|page=706}}{{refn|group=note|Dalam dua teks Tionghoa awal, Aṅgulimāla lahir di [[Magadha]] atau [[Anga|Aṅga]], dan Raja Pasenadi tak membuat penampilan apapun.{{sfn|Zin|2005|page=707}}{{sfn |Bareau |1986 |page=655 }}}} dalam kasta [[brahmin|brahmana]] (pendeta) dari klan [[Garga|Gagga]], ayahnya Bhaggava merupakan bawahan dari [[Pasenadi|raja Kosala]], dan ibunya bernama Mantānī.{{sfn|Malalasekera|1960}} Menurut [[atthakatha|teks-teks komentarial]], pertanda-pertanda mengiringi pada masa kelahiran anak tersebut (senjata-senjata bergerak dan kemunculan "rasi bintang aneh" di langit){{sfn|Malalasekera|1960}} mengindikasikan bahwa anak tersebut ditakdirkan menjadi perampok.{{sfn|Wilson|2016|p=286}}{{sfn|Gombrich|2006|p=138}} Saat ayahnya menafsirkan pertanda-pertanda tersebut kepada raja, raja bertanya apakah anak tersebut akan menjadi perampok tunggal atau pemimpin kelompok. Saat Bhaggava menyawab bahwa ia akan menjadi perampok tunggal, raja memutuskan untuk membiarkannya hidup.{{sfn|Gombrich|2006|p=138}}
Menurut sebagian besar pustaka, Angulimala lahir di [[Sawati|Sāwatī]] (sekarang di [[Uttar Pradesh]], [[India]]),{{sfn|Zin |2005|page=706}}{{refn|group=note|Menurut dua teks Tionghoa kuno, Angulimala lahir di [[Magadha]] atau [[Anga|Aṅga]], dan Raja Pasenadi sama sekali tak disebutkan.{{sfn|Zin|2005|page=707}}{{sfn |Bareau |1986 |page=655 }}}} dalam keluarga [[brahmin|brahmana]] (agamawan) dari klan [[Garga|Gagga]]. Ayahnya bernama Bhaggava, seorang pendeta yang mengabdi pada [[Pasenadi|Raja Pasenadi]], [[penguasa monarki|penguasa]] [[Kosala]] sedangkan ibunya bernama Mantānī.{{sfn|Malalasekera|1960}} Menurut [[atthakatha|kitab-kitab ulasan]], sejumlah pertanda yang mengiringi kelahiran anak tersebut (senjata-senjata mengeluarkan cahaya dan kemunculan "rasi bintang maling" di langit){{sfn|Malalasekera|1960}} memberi isyarat bahwa ia akan menjadi penjahat.{{sfn|Wilson|2016|p=286}}{{sfn|Gombrich|2006|p=138}} Saat ayahnya menafsirkan pertanda-pertanda tersebut, sang raja bertanya apakah anak tersebut akan menjadi perampok tunggal atau memimpin kelompok penjahat. Setelah Bhaggava menjawab bahwa ia akan menjadi perampok tunggal, raja memutuskan untuk membiarkannya hidup.{{sfn|Gombrich|2006|p=138}}


Buddhaghosa menyatakan bahwa ayah tersebut menamai anaknya Ahiṃsaka, yang artinya 'orang tak berbahaya'.{{sfn|Malalasekera|1960}} Ini berasal dari kata ''[[Ahimsa|ahiṃsa]]'' (non-kekerasan), karena tak ada orang yang tersakiti pada masa kelahirannya, disamping pertanda-pertanda buruk tersebut.<ref name="Buswell 2013" /> Komentar dari Dhammapāla menyatakan bahwa ia awalnya dinamai Hiṃsaka ('orang berbahaya') karena kekhawatiran raja, namun nama tersebut kemudian diganti.{{sfn|Malalasekera|1960}}
[[Buddhaghosa]] menyatakan bahwa sang ayah menamai anaknya Ahiṃsaka, yang artinya 'orang tak berbahaya'.{{sfn|Malalasekera|1960}} Ini berasal dari kata ''[[Ahimsa|ahiṃsa]]'' (tanpa kekerasan), karena tak ada orang yang tersakiti pada masa kelahirannya, meskipun ada pertanda-pertanda buruk.{{sfn|Buswell|Lopez|2013}} Menurut ulasan dari [[Dhammapāla]], awalnya ia dinamai Hiṃsaka ('orang berbahaya') oleh sang raja yang khawatir, tetapi nama tersebut kemudian diganti.{{sfn|Malalasekera|1960}}


Saat dewasa, Ahiṃsaka menjadi orang yang tampan, cerdas, dan berperilaku baik.{{sfn|Wilson|2016|p=286}}{{sfn|Zin |2005|page=707}} Orangtuanya mengirimkannya ke [[Taxila]] untruk belajar di bawah bimbingan seorang guru terkenal. Disana, ia menguasapi pembelajaran-pembelajarannya dan menjadi murid kesayangan dari gurunya, mendapatkan hak-hak khusus di rumah gurunya. Namun, murid-murid yang lain menjadi iri dengan kemampuan cepat Ahiṃsaka dan berniat membuatnya dimusuhi gurunya.{{sfn|Malalasekera|1960}} Pada akhirnya, mereka menuduh Ahiṃsaka menggoda istri gurunya.{{sfn|Wilson|2016|p=286}} Tak berniat atau tak dapat menyerang Ahiṃsaka secara langsung,{{refn|group=note|[[Dhammapala|Dhammapāla]] menyatakan bahwa Ahiṃsaka "sekuat tujuh gajah", sementara teks lainnya menyatakan bahwa gurunya khawatir reputasinya akan terkena getahnya jika ia diketahui membunuh seorang murid.{{sfn|Zin |2005|page=708}}{{sfn|Gombrich|2006|pp=138–9}}}} guru tersebut berkata bahwa pelatihan Ahiṃsaka sebagai brahman sebenarnya nyaris rampung, namun ia harus menyediakan hadiah terakhir tradisional untuk ditawarkan kepada seorang guru dan kemudian ia akan menerima kesepakatannya. Sebagai bayarannya, gurunya meminta seribu jari, masing-masing diambil dari orang-orang berbeda, berpikir bahwa Aṅgulimāla akan melakukan pembunuhan dalam rangka meraih penghargaan tersebut.{{sfn|Malalasekera|1960}}{{sfn|Zin |2005|page=707}}{{refn|group=note|Beberapa versi cerita menyebut ratusan jari, sementara sumber lainnya menyebut ribuan.{{sfn|Zin |2005|page=708}}{{sfn|Analayo|2008|p=141}} Dhammapāla menyatakan bahwa Aṅgulimāla diwajibkan untuk mengambil seribu jari dari tangan kanan,{{sfn|Gombrich|2006|p=139}} nampaknya tak menyadari bahwa ini dapat dicapai dengan membunuh 200 orang,{{sfn|Gombrich|2006|p=139}} atau dengan mengambil jari-jari dari orang yang sebelumnya telah meninggal.{{sfn|Thompson|2017|p=176}} Di sisi lain, [[Buddhaghosa]] menyatakan bahwa Angulimāla dikisahkan "membunuh seribu kaku," dan hanya mengumpulkan jari-jari sebagai bantuan untuk menjaga sebuah penghitungan lengkap.{{sfn|Gombrich|2006|p=142}}}} Menurut Buddhaghosa, Ahiṃsaka menentangnya, dengan berkata bahwa ia berasla dari keluarga baik-baik, namun kemudian gurunya membujuknya.{{sfn|Gombrich|2006|p=139}} Namun menurut sumber lain, Ahiṃsaka tak memprotes perintah gurunya.{{sfn|Wilson|2016|p=286}}
Saat dewasa, Ahiṃsaka menjadi orang yang tampan, cerdas, dan berperilaku baik.{{sfn|Wilson|2016|p=286}}{{sfn|Zin |2005|page=707}} Sebagai pengakuan atas prestasi akademiknya yang luar biasa dan latar belakang keluarganya dari [[Brahmana]] yang terhormat, ia terpilih masuk ke [[Taxila|Universitas Taxila]] yang tersohor. Selain itu, ia diberi hak istimewa untuk belajar di bawah bimbingan guru terkemuka, Acariya Disapamuk.{{sfn|Kumarasiri|2004|p=8}} Di sana, ia unggul dalam pelajaran dan menjadi murid kesayangan gurunya, serta mendapatkan hak-hak khusus di rumah gurunya. Namun, murid-murid yang lain menjadi iri dengan kemampuan Ahiṃsaka dan berusaha agar ia dimusuhi guru.{{sfn|Malalasekera|1960}} Akhirnya, mereka menuduh Ahiṃsaka menggoda istri gurunya.{{sfn|Wilson|2016|p=286}} Karena tak berniat atau tak dapat menyerang Ahiṃsaka secara langsung,{{refn|group=note|[[Dhammapala|Dhammapāla]] menyatakan bahwa Ahiṃsaka "sekuat tujuh gajah", sementara pustaka lain menyatakan bahwa sang guru khawatir reputasinya akan jatuh jika diketahui bahwa ia membunuh murid.{{sfn|Zin |2005|page=708}}{{sfn|Gombrich|2006|pp=138–9}}}} sang guru berkata bahwa pendidikan Ahiṃsaka sebenarnya hampir selesai, tetapi ia harus memberikan tanda terima kasih kepada gurunya, sebelum sang guru menyatakan kelulusannya. Sebagai pembayaran, sang guru meminta seribu jari manusia, masing-masing diambil dari orang yang berbeda, karena berpikir bahwa Angulimala pasti terbunuh dalam upaya memenuhi permintaan yang mengerikan itu.{{sfn|Malalasekera|1960}}{{sfn|Zin |2005|page=707}}{{refn|group=note|Beberapa versi cerita menyebut ratusan jari, sementara sumber lain menyebut ribuan.{{sfn|Zin |2005|page=708}}{{sfn|Analayo|2008|p=141}} Dhammapāla menyatakan bahwa Angulimala diwajibkan untuk mengambil seribu jari dari tangan kanan saja,{{sfn|Gombrich|2006|p=139}} tampaknya tak menyadari bahwa itu dapat dicapai dengan membunuh 200 orang,{{sfn|Gombrich|2006|p=139}} atau dengan mengambil jari-jari dari jenazah.{{sfn|Thompson|2017|p=176}} Di sisi lain, [[Buddhaghosa]] menyatakan bahwa Angulimala dikisahkan "membunuh seribu kaki," dan hanya mengumpulkan jari-jari sebagai alat bantu agar hitungannya akurat.{{sfn|Gombrich|2006|p=142}}}} Menurut Buddhaghosa, Ahiṃsaka menentangnya, dengan berkata bahwa ia berasal dari keluarga baik-baik, tetapi sang guru membujuknya.{{sfn|Gombrich|2006|p=139}} Namun, menurut sumber-sumber lain, Ahiṃsaka tak menentang perintah gurunya.{{sfn|Wilson|2016|p=286}}


Dalam versi kain dari cerita tersebut, istri gurunya berniat untuk menggoda Ahiṃsaka. Saat Ahiṃsaka menolak tarawannya, ia menjadi tak senang dan berkata kepada suaminya bahwa Ahiṃsaka telah berniat untuk menggodanya. Cerita tersebut kemudian berlanjut dengan jalan cerita yang sama.<ref name="Buswell 2013" />{{sfn|Zin |2005|page=707}}
Dalam versi lain diceritakan bahwa istri gurunya berniat untuk menggoda Ahiṃsaka. Karena Ahiṃsaka menolak, ia menjadi tak senang dan berkata kepada suaminya bahwa Ahiṃsaka telah berusaha untuk menggodanya. Kemudian kisah tersebut berlanjut ke jalan cerita yang sama.{{sfn|Buswell|Lopez|2013}}{{sfn|Zin |2005|page=707}}


=== Hidup sebagai perampok ===
=== Hidup sebagai perampok ===
[[Berkas:015 Angulimala (9140566999).jpg|jmpl|ka|200px|Relief Angulimala sedang mengejar sang Buddha, dari kuil [[Wat Maisuwankiri]] di [[Distrik Tumpat|Tumpat]], [[Malaysia]].]]
Setelah diperintahkan oleh gurunya, Aṅgulimāla menjadi seorang pencegat, tinggal di sebuah jurang dalam sebuah hutan bernama Jālinī dimana ia dapat melihat orang-orang berlalu lalang dan membunuh atau menyakiti para penjelajah tersebut.<ref>{{cite book|last1=Lamotte|first1=Etienne|authorlink1=Etienne Lamotte|title=History of Indian Buddhism: From the Origins to the Saka Era|date=1988|publisher=[[Université catholique de Louvain]], Institut orientaliste|isbn=906831100X|page=22}}</ref>{{sfn|Malalasekera|1960}}{{sfn|Wilson|2016|p=286}} Ia menjadi dikenal karena kemampuannya dalam menyerang para korbannya.{{sfn|Wiltshire |1984|page=91}} Saat orang-orang mulai menghindari jalan tersebut, ia memasuki desa-desa dan membawa orang-orang dari rumah-rumah mereka untuk membunuh mereka. Seluruh dewa menjadi ditinggalkan.{{sfn|Malalasekera|1960}}{{sfn|Gombrich|2006|p=139}} Ia tak pernah membawa baju atau perhiasan dari para korbannya, hanya jari-jarinya saja.{{sfn|Gombrich|2006|p=139}} Untuk menjaga hitungan jumlah korban yang ia dapatkan, ia menalinya pada sebuah benang dan menggantungnya di pohon. Namun, karena burung-burung mulai memakan daging dari jari-jari tersebut, ia mulai mengenakkannya sebagai [[Yagnopaveetham|kalung jimat]]. Kemudian, ia menjadi dikenal sebagai ''Aṅgulimāla'', yang artinya 'kalung jari'.<ref name="Buswell 2013" />{{sfn|Gombrich|2006|p=139}} Dalam beberapa relief, ia digambarkan mengenakan hiasan kepala jari ketimbang sebuah kalung.{{sfn|Brancaccio|1999|pp=108–12}}
Setelah diperintahkan oleh gurunya, akhirnya Angulimala menjadi seorang penyamun, berdiam di ngarai di tengah hutan bernama Jālinī, untuk mengintai orang-orang berlalu lalang, lalu membunuh atau melukai mereka.{{sfn|Lamotte|1988|p=22}}{{sfn|Malalasekera|1960}}{{sfn|Wilson|2016|p=286}} Ia masyhur akan kecakapannya dalam membegal para korbannya.{{sfn|Wiltshire |1984|page=91}} Setelah orang-orang menghindari jalur tersebut, ia memasuki pemukiman dan menyeret warga dari rumah mereka untuk dibunuh. Akhirnya seluruh warga mengungsi.{{sfn|Malalasekera|1960}}{{sfn|Gombrich|2006|p=139}} Ia tak pernah merampas baju atau perhiasan dari para korbannya, melainkan hanya jari-jari mereka saja.{{sfn|Gombrich|2006|p=139}} Sebagai pengingat berapa jumlah korban yang didapatkan, ia menguntai jari-jari tersebut lalu menggantungnya di pohon. Namun, karena sisa daging pada jari-jari tersebut menjadi incaran burung-burung, ia mengenakannya seperti sebuah [[upawita|"kalung"]]. Akhirnya ia dikenal sebagai ''Angulimala'', yang artinya 'kalung jari' atau 'untaian jari'.{{sfn|Buswell|Lopez|2013}}{{sfn|Gombrich|2006|p=139}} Dalam beberapa relief, ia digambarkan mengenakan hiasan kepala dari jari, bukan kalung.{{sfn|Brancaccio|1999|pp=108–12}}


=== Bertemu Sang Buddha ===
=== Bertemu Sang Buddha ===
[[Berkas:054 Angulimala cannot Catch up with Buddha who ordains him and he becomes an Arahant (9270708415).jpg|jmpl|Lukisan di Wihara Chedi Traiphop Traimongkhon, [[Hat Yai|Hatyai]], Thailand|upright=0.9]]
[[Berkas:Angulimala.jpg|kiri|jmpl|Lukisan di sebuah wihara di [[Sravasti]], [[India]], yang menggambarkan Angulimala sedang mencoba mengejar Buddha Gautama.]]
Para penduduk desa yang masih hidup berpindah dari wilayah tersebut dan mengeluh kepada [[Pasenadi]], raja [[Kosala]].{{sfn|Wilson|2016|pp=293–4}}{{sfn|Gombrich|2006|p=140}} Pasenadi menanggapinya dengan mengirim 500 prajurit untuk memburu Aṅgulimāla.{{sfn|Loy|2009|p=1246}} Sementara itu, orangtua Aṅgulimāla mendengar kabar bahwa Pasenadi memburu seorang penjahat. Sejak Aṅgulimāla lahir dengan pertanda-pertanda buruk, mereka menyatakan bahwa ini harus terjadi kepadanya. Meskipun ayahnya memutuskan untuk tak ikut campur,{{refn|group=note|Buddhaghosa berkata bahwa ia tak peduli, sementara Dhammapāla berkata bahwa ia meyakini bahwa ia "tak berguna untuk putra semacam itu".{{sfn|Gombrich|2006|p=140}}}} ibunya tak setuju.{{sfn|Wilson|2016|pp=293–4}}{{sfn|Gombrich|2006|p=140}}{{refn|group=note|Buddhologis [[André Bareau]] dan teolog John Thompson berpendapat bahwa pasal dari ibunya berniat untuk ikut campur telah ditambahkan pada cerita asli pada masa berikutnya, namun cendekiawan Kajian Asia Monika Zin menyatakan bahwa ibunya telah muncul dalam seni rupa Buddhis awal.{{sfn|Zin |2005|page=708}}{{sfn|Thompson|2015|p=163}}}} Mengkhawatirkan nyawa putranya, ia memutuskan untuk menemukan putranya, memperingatinya niat raja tersebut, dan mengambil pengasuhannya.{{sfn|Thompson|2015|p=163}}{{sfn|Wilson|2016|p=286}} Melalui [[abhinna|penglihatan meditatif]] ({{lang-pi|abhiñña|italic=yes}}), Sang Buddha mengetahui bahwa Aṅgulimāla telah menjagal 999 korban, dan nampaknya akan mencapai jumlah seribu.{{sfn|Wilson|2016|p=298 n.30}}{{refn|Namun, menurut beberapa versi, Sang Buddha mendengar tentang Aṅgulimāla dari para biarawan, yang datang untuk mengumpulkan [[amal]] dan melihat para penduduk desa yang berkeluh kesah di istana [[Pasenadi]].{{sfn |Bareau |1986 |p=656 }}|group=note}} Jika Sang Buddha mendatangi Aṅgulimāla pada hari tersebut, Aṅgulimāla akan menjadi biksu dan kemudian meraih ''abhiñña''.{{sfn|Wilson|2016|p=298 n.30}} Namun, jika Aṅgulimāla malah membunuh ibunya, ia akan menjadi korban keseribunya dan ia tak akan terselamatkan,<ref name="Buswell 2013" />{{sfn|Gombrich|2006|p=140}} karena matrisida dalam agama Buddha dianggap sebagai salah satu [[Anantarika-karma|lima tindakan terburuk yang dilakukan seseorang]].{{sfn|Kosuta|2017|pp=40–1}}{{sfn|Analayo|2008|p=146}}
Para penduduk desa yang masih hidup akhirnya mengungsi dari wilayah tersebut, dan mengeluh kepada [[Pasenadi]], raja [[Kosala]].{{sfn|Wilson|2016|pp=293–4}}{{sfn|Gombrich|2006|p=140}} Pasenadi menanggapinya dengan mengirim 500 prajurit untuk memburu Angulimala.{{sfn|Loy|2009|p=1246}} Sementara itu, orang tua Angulimala mendengar kabar bahwa Pasenadi memburu seorang penjahat. Karena Angulimala lahir dengan pertanda-pertanda buruk, mereka berpikir bahwa yang diburu pasti dia. Kendati ayahnya tidak mau ikut campur,{{refn|group=note|Buddhaghosa berkata bahwa ia tak peduli, sementara Dhammapāla berkata bahwa ia meyakini bahwa ia "tak berguna untuk putra semacam itu".{{sfn|Gombrich|2006|p=140}}}} ibunya tetap cemas.{{sfn|Wilson|2016|pp=293–4}}{{sfn|Gombrich|2006|p=140}}{{refn|group=note|Ahli agama Buddha [[André Bareau]] dan teolog John Thompson berpendapat bahwa kisah ibunya yang berniat untuk ikut campur merupakan tambahan pada cerita aslinya, tetapi cendekiawan kajian Asia Monika Zin menyatakan bahwa ibunya telah muncul dalam [[seni rupa Buddhis]] awal.{{sfn|Zin |2005|page=708}}{{sfn|Thompson|2015|p=163}}}} Karena mengkhawatirkan keselamatan putranya, ia memutuskan untuk menemukan Angulimala, agar dapat memberi tahu niat sang raja, serta mengajak putranya pulang.{{sfn|Thompson|2015|p=163}}{{sfn|Wilson|2016|p=286}} Menurut Buddhaghosa, dengan menggunakan mata batin ({{lang-pi|abhiñña|italic=yes}}), Sang Buddha mengetahui bahwa Angulimala telah menjagal 999 orang, dan bersusah payah mendapatkan yang ke-1000.{{sfn|Wilson|2016|p=298 n.30}}{{refn|Namun, menurut beberapa versi, Sang Buddha mendengar tentang Angulimala dari para biarawan, yang datang untuk mengumpulkan [[amal]] dan melihat para penduduk desa yang berkeluh kesah di istana [[Pasenadi]].{{sfn |Bareau |1986 |p=656 }}|group=note}} Jika Sang Buddha mendatangi Angulimala pada hari itu, Angulimala akan menjadi [[biksu]], lalu meraih ''abhiñña''.{{sfn|Wilson|2016|p=298 n.30}} Namun, jika Angulimala malah membunuh ibunya, sang ibu akan menjadi korban ke-1000, sementara Angulimala tak akan terselamatkan,{{sfn|Buswell|Lopez|2013}}{{sfn|Gombrich|2006|p=140}} karena menurut ajaran Buddha, pembunuhan terhadap ibu sendiri diyakini sebagai salah satu dari [[anantarika-karma|lima macam karma terburuk]] yang dapat dilakukan seseorang.{{sfn|Kosuta|2017|pp=40–1}}{{sfn|Analayo|2008|p=146}}


Sang Buddha memutuskan untuk mendatangi Aṅgulimāla,{{sfn|Malalasekera|1960}} meskipun diperingati oleh para warga desa lokal untuk tak mendatanginya.{{sfn|Gombrich|2006|p=136}}{{sfn|van Oosten |2008 |page=251 }} Saat berjalan menuju hutan Kosala, Aṅgulimāla mula-mula melihat ibunya.<ref name="Buswell 2013" /> Menurut beberapa versi cerita, ia kemudian terkenang dengan ibunya saat ibunya menyediakan makanan untuknya.{{sfn|Thompson|2017|p=183}} Namun, setelah melakukan pertimbangan, ia memutuskan untuk menjadikannya korban keseribunya. Namun saat sang Buddha juga datang, ia memilih untuk membunuhnya sebagai gantinya. Ia mengeluarkan pedangnya, dan mulai berlari ke arah Sang Buddha. Namun meskipun Aṅgulimāla berlari secepat yang ia bisa, ia tak dapat menghampiri Sang Buddha yang berjalan tenang.<ref name="Buswell 2013" /> Sang Buddha memakai sejumlah [[Ṛddhi|kemampuan supranatural]] ({{lang-pi|iddhi|italic=yes}}; {{lang-sa|ṛddhi|italic=yes}}) untuk menghadapi Aṅgulimāla:{{sfn|Wiltshire |1984|page=91}}{{sfn|Thompson|2015|p=162}} satu teks menyatakan bahwa Sang Buddha memakai kekuatan tersebut untuk mengendalikan dan meluaskan wilayah dimana mereka berdiri, sehingga tetap menjauhkan diri dari Aṅgulimāla.{{sfn|Analayo|2008|p=142}} Ini membuat Aṅgulimāla memutuskan agar ia meminta Sang Buddha untuk berhenti. Sang Buddha kemudian berkata bahwa ia sendiri telah berhenti, dan saat menyatakan bahwa Aṅgulimāla yang seharusnya berhenti:<ref name="Buswell 2013" />{{sfn|Mathers|2013|page=127}}
Sang Buddha memutuskan untuk mendatangi Angulimala,{{sfn|Malalasekera|1960}} meskipun diperingati oleh para warga desa agar mengurungkan niatnya.{{sfn|Gombrich|2006|p=136}}{{sfn|van Oosten |2008 |page=251 }} Di tengah jalan yang menembus hutan Kosala, mula-mula Angulimala melihat ibunya.{{sfn|Buswell|Lopez|2013}} Menurut beberapa versi cerita, ia jadi teringat kembali akan ibunya yang dulu senantiasa menyediakan makanan untuknya.{{sfn|Thompson|2017|p=183}} Namun, setelah melakukan pertimbangan, ia memutuskan untuk menjadikan ibunya sebagai korban ke-1000. Namun saat Sang Buddha juga datang, ia memilih Sang Buddha sebagai pengganti ibunya. Setelah menghunus pedang, ia berlari ke arah Sang Buddha. Berdasarkan kepercayaan Buddhisme, meskipun Angulimala berlari secepat mungkin, ia tak kunjung berhasil menggapai Sang Buddha yang berjalan tenang.{{sfn|Buswell|Lopez|2013}} Diyakini penyebabnya adalah sejumlah kesaktian ({{lang-pi|iddhi|italic=yes}}; {{lang-sa|ṛddhi|italic=yes}}) yang dipakai Buddha untuk menghadapi Angulimala:{{sfn|Wiltshire |1984|page=91}}{{sfn|Thompson|2015|p=162}} dalam suatu pustaka dinyatakan bahwa Sang Buddha memakai kekuatan tersebut untuk mengendalikan dan meregangkan ruang di antara mereka, sehingga dapat menjaga jarak dengan Angulimala.{{sfn|Analayo|2008|p=142}} Akhirnya Angulimala putus asa sehingga ia meminta Sang Buddha untuk berhenti. Sang Buddha kemudian berkata bahwa ia sendiri telah berhenti, dan seharusnya Angulimala-lah yang berhenti:{{sfn|Buswell|Lopez|2013}}{{sfn|Mathers|2013|page=127}}
{{blockquote|Aku, Angulimala, masih berdiri ({{lang-pi|ṭhita|italic=yes}}), karena beberapa semua hal yang dilakukan tongkat ini ({{lang-pi|daṇḍa|italic=yes}}); namun kau tak berkutik ({{lang-pi|asaññato|italic=yes}}) terhadap makhluk-makhluk; sehingga, aku masih berdiri, kau tetap tak berdiri.{{sfn|Wiltshire |1984|page=91}}}}
{{blockquote|Angulimala, aku telah berhenti selamanya ({{lang-pi|ṭhita|italic=yes}}), aku bebas dari kekerasan terhadap makhluk hidup ({{lang-pi|daṇḍa|italic=yes}}); tetapi engkau tidak punya pengendalian diri ({{lang-pi|asaññato|italic=yes}}) terhadap makhluk-makhluk hidup; itulah sebabnya aku telah berhenti dan engkau belum.{{sfn|Wiltshire |1984|page=91}}{{sfn|Cintiawati|Anggawati|2008}}
}}
Aṅgulimāla bertanya untuk penjelasan lebih lanjut, setelah Sang Buddha berkata bahwa seorang biksu baik harus mengendalikan keinginannya.{{sfn|Thompson|2015|pp=162–3}} Aṅgulimāla terkesima oleh perkataan Sang Buddha,{{sfn|Analayo|2008|p=145}} dan bertanya soal kesalahan apa yang telah ia lakukan.{{sfn|Thompson|2017|p=177}} Setelah mengetahuinya dari Sang Buddha, Aṅgulimāla menyatakan bahwa ia bertobat, bersumpa untuk menghentikan kehidupannya sebagai seorang perampok dan bergabung dengan [[sangha]] Buddha.{{sfn|Gombrich|2006|p=135}}{{sfn|Analayo|2008|pp=142–3}}{{sfn|van Oosten |2008 |page=252 }} Ia [[upasampada|ditahbiskan]] di biara [[Jetawana]].{{sfn|Thompson|2015|p=163}}
Angulimala bertanya untuk penjelasan lebih lanjut, dan akhirnya Sang Buddha berkata bahwa seorang biksu yang baik harus mengendalikan keinginannya.{{sfn|Thompson|2015|pp=162–3}} Angulimala terkesima oleh keberanian Sang Buddha,{{sfn|Analayo|2008|p=145}} dan menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.{{sfn|Thompson|2017|p=177}} Setelah mendengarkan khotbah Buddha, akhirnya Angulimala bertobat, lalu bersumpah untuk meletakkan senjata dan bergabung dengan [[Sangha]] Buddha.{{sfn|Gombrich|2006|p=135}}{{sfn|Analayo|2008|pp=142–3}}{{sfn|van Oosten |2008 |page=252 }} Ia [[upasampada|ditahbiskan]] di biara [[Jetawana]].{{sfn|Thompson|2015|p=163}}


=== Hidup sebagai biksu dan kematian ===
=== Pertobatan dan kematian ===
[[File:Wat Pangla - 041 Angulimala (10684804324).jpg|thumb|Aṅgulimāla duduk secara hormat di depan Sang Buddha. Lukisan di Wat Pangla,[[Provinsi Songkhla|Songhkla]], Thailand Selatan|upright=0.5]]
[[Berkas:060 Blessings of Success 4, Psychic Power overcomes Angulimala (9273467508).jpg|jmpl|Ilustrasi Angulimala meletakkan senjata di hadapan Sang Buddha, menunjukkan pertobatannya. Lukisan di sebuah wihara di [[Hat Yai]], Thailand Selatan.]]
Sementara itu, Raja Pasenadi berniat untuk membunuh Aṅgulimāla. Ia mula-mula mengunjungi Sang Buddha dan para pengikutnya di Jetavana.{{sfn |Bareau |1986 |p=655 }} Ia menjelaskan keperluannya kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha menanyakan bagaimana raja akan menjawab jika ia menemukan bahwa Aṅgulimāla membiarkan seorang penghadap hidup dan menjadi biksu. Raja berkata bahwa ia akan menghormatinya dan menyediakannya pekerjaan monastiknya. Sang Buddha kemudian menyatakan bahwa Aṅgulimāla hanya duduk pada jarak beberapa kali, rambut dan jenggotnya telah dipotong, dan menjadi anggota sangha Buddha. Terkejut namun juga tak percaya, raja berkata kepada Aṅgulimāla dengan nama klan dan ibunya ({{lang-pi|Gagga Mantānīputta|italic=yes}}) dan menyumbangkan bahan-bahan jubah kepada Aṅgulimāla. Namun, Aṅgulimāla tak menerima hadiah tersebut, karena ia sedang melakukan [[dhutanga|pelatihan asketik]].{{sfn|Malalasekera|1960}}{{sfn|Zin |2005|page=707}}
Sementara itu, Raja Pasenadi masih berniat untuk membunuh Angulimala. Mula-mula ia mengunjungi Sang Buddha dan para pengikutnya di Jetavana.{{sfn |Bareau |1986 |p=655 }} Ia menjelaskan keperluannya kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha menanyakan bagaimana tanggapan sang raja apabila ia mendapati bahwa Angulimala telah bertobat dan menjadi biksu. Sang raja berkata bahwa ia akan menghormati Angulimala dan menanggung kehidupannya di wihara. Lalu Sang Buddha menyatakan bahwa Angulimala dengan rambut dan jenggot yang telah dipotong sedang duduk dengan jarak beberapa [[kaki (satuan)|kaki]] darinya sebagai anggota Sangha Buddha. Dengan perasaan takjub bercampur senang, sang raja memanggil Angulimala dengan nama klan dan ibunya ({{lang-pi|Gagga Mantānīputta|italic=yes}}) dan menyumbangkan jubah kepadanya. Namun, Angulimala tidak mau menerima hadiah tersebut, karena sedang menjalankan [[dhutanga|pengendalian diri]].{{sfn|Malalasekera|1960}}{{sfn|Zin |2005|page=707}}


Pada akhirnya, raja memilih untuk tidak menganiaya Aṅgulimāla. Pasal tersebut disepakati dengan pengamatan Buddhologis [[André Bareau]] bahwa terdapat kesepakatan tak tertulis non-interfensi saling menguntungkan antara Sang Buddha dan para raja dan penguasa pada masa itu.{{sfn|Thompson|2015|pp=166–7}}
Pada akhirnya, sang raja mengampuni Angulimala. Pernyataan tersebut diakui oleh ahli agama Buddha [[André Bareau]] yang mengamati bahwa terdapat kesepakatan tak tertulis untuk tidak saling turut campur antara Sang Buddha dengan para raja dan penguasa pada masa itu.{{sfn|Thompson|2015|pp=166–7}} Kemudian, Angulimala melihat seorang wanita muda yang mengalami kesulitan saat melahirkan.{{refn|group=note|Penggalan kisah ini tak muncul dalam seluruh versi [[Tripitaka]].{{sfn|Zin |2005|page=707}}}} Angulimala merasa tergerak, dan memahami rasa sakit serta belas kasihan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya saat masih menjadi perampok.{{sfn|Langenberg|2013|p=351}}{{sfn|van Oosten |2008 |page=252 }}{{sfn |Bareau |1986 |p=656 }} Ia mendatangi Sang Buddha dan menanyakan apakah ia dapat mengurangi penderitaan wanita tersebut. Sang Buddha menganjurkan Angulimala untuk pergi mendatangi wanita tersebut dan berkata:


{{blockquote|Saudari, sejak saya terlahir, saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga Anda sejahtera dan bayi Anda sejahtera!{{sfn|Cintiawati|Anggawati|2008}}}}
Kemudian, Aṅgulimāla mendatangi seorang wanita muda yang mengalami kesulitan saat melahirkan anak.{{refn|group=note|Pasal tersebut tak munvul dalam seluruh versi [[Tripitaka]].{{sfn|Zin |2005|page=707}}}} Aṇgulimāla kemudian tergerak, dan memahami luka dan perasaan yang timbul yang tidak ia ketahui saat ia masih menjadi perampok.<ref name="Langenberg" />{{sfn|van Oosten |2008 |page=252 }}{{sfn |Bareau |1986 |p=656 }} Ia mendatangi Sang Buddha dan menyanyakan apakah ia dapat mempermudah rasa sakitnya. Sang Buddha membujuk Aṅgulimāla untuk pergi mendatangi wanita tersebut dan berkata:


Angulimala menekankan bahwa ini akan menjadi ketidakbenaran baginya untuk berkata demikian, sehingga Sang Buddha menanggapinya dengan kalimat berbeda:
{{blockquote|Saudari, sejak aku lahir, aku tak menyatakan bahwa aku banyak memahami makhluk hidup dari kehidupan secara intensional. Pada kenyataannya, kau dan bayimu juga demikian.}}


{{blockquote|Saudari, sejak saya terlahir ''dengan kelahiran mulia'', saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga Anda sejahtera dan bayi Anda sejahtera!.{{sfn|Cintiawati|Anggawati|2008}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013}}}}
Aṅgulimāla menekankan bahwa ini akan menjadi ketidakbenaran baginya untuk berkata demikian, sehingga Sang Buddha menanggapinya dengan kalimat berbeda:


Di sini Sang Buddha menekankan tekad Angulimala yang memilih untuk menjadi seorang biksu,{{sfn|Buswell|Lopez|2013}} menyatakannya sebagai kelahiran kedua yang bertolak belakang dengan kehidupan sebelumnya sebagai perampok.<!--Gombrich-->{{sfn|Wilson|2016|p=293}}{{sfn|Gombrich|2006|p=136}} ''Jāti'' artinya kelahiran, tetapi kata tersebut juga diberi keterangan dalam ulasan pustaka berbahasa Pāli sebagai [[gotra|klan atau garis keturunan]] ({{lang-pi|gotta|italic=yes}}). Oleh sebab itu, kata ''jāti'' disini juga merujuk kepada garis perguruan [[Daftar Buddha|para Buddha]], yaitu komunitas Sangha.{{sfn|Wilson|2016|pp=297–8 n.24}}
{{blockquote|Saudari, sejak aku lahir {{em|sebagai bangsawan}}, aku tak memahami makhluk hidup dari kehidupan secara intensional. Pada kenyataannnya, kau dan bayimu juga demikian.<ref name="Buswell 2013" /> [penjelasan ditambahkan]}}


Setelah Angulimala melakukan [[sacca-kiriya|"tindak kebajikan"]] tersebut, sang wanita melahirkan anaknya dengan selamat. ''Paritta'' tersebut kemudian menjadi salah satu [[paritta|''paritta'' perlindungan]], yang umumnya disebut ''paritta Aṅgulimāla''.{{sfn|Swearer|2010|p=253}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013}} Sejumlah anggota Sangha senantiasa membacakan ''paritta'' tersebut saat memberkati wanita hamil di negara-negara berpenganut [[Theravāda]],{{sfn|Appleton|2013|p=141}}{{sfn|Eckel|2001|pp=67–8}} dan kerap menghafalkannya sebagai bagian dari pelatihan Sangha.{{sfn|Thompson|2017|p=183}} Maka, Angulimala sering dipandang sebagai "pelindung" persalinan oleh para pengikut Buddha. Perubahan dari seorang pembunuh menjadi orang yang memberikan perlindungan atas kelahiran merupakan transformasi besar.{{sfn|Wilson|2016|p=285}}
Sang Buddha menggambarkan perhatian Angulimala untuk pilihannya menjadi seorang biksu,<ref name="Buswell 2013" /> mendeskripsikannya sebagai kelahiran kemudia yang kontras dengan kehidupan sebelumnya sebagai perampok.<!--Gombrich-->{{sfn|Wilson|2016|p=293}}{{sfn|Gombrich|2006|p=136}} ''Jāti'' artinya kelahiran, namun kata tersebut juga diartikan dalam komentar-komentar Pāli sebagai [[gotra|klan atau garis keturunan]] ({{lang-pi|gotta|italic=yes}}). Sehingga, kata ''jāti'' disini juga merujuk kepada garis keturunan [[Daftar Buddha|para Buddha]], seperti halnya komunitas sangha.{{sfn|Wilson|2016|pp=297–8 n.24}}


Peristiwa tersebut membantu Angulimala menemukan kedamaian.{{sfn|Langenberg|2013|p=351}} Setelah menunjukkan tindak kebajikan, ia dianggap "memberikan kehidupan daripada kematian bagi penduduk"{{sfn|Langenberg|2013|p=351}} dan masyarakat mulai menerimanya serta berderma makanan.{{sfn|Parkum|Stultz|2012}} Namun, beberapa orang masih tak dapat melupakan bahwa ia bertanggung jawab atas kematian orang-orang yang mereka cintai. Dengan tongkat dan batu, mereka menyerangnya saat ia meminta-minta sumbangan. Dalam kondisi kepala berdarah, jubah luar robek, dan ''pata'' (mangkuk amal) pecah, Angulimala berhasil kembali ke wihara. Sang Buddha menasihati Angulimala agar menerima siksaan tersebut dengan ikhlas hati; ia menyatakan bahwa Angulimala sudah merasakan akibat dari [[karma dalam agama Buddha|karma]] yang seharusnya dapat membuatnya terlahir di [[Neraka (Buddha)|neraka]].{{sfn|Malalasekera|1960}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013}}{{sfn|Harvey|2010}} Sebagai [[arahant|murid tercerahkan]], batin Angulimala tetap tenang dan tak tergoyahkan.{{sfn|Buswell|Lopez|2013}} Menurut ajaran Buddha, murid-murid tercerahkan tidak dapat membuat karma baru, tetapi masih dapat merasakan akibat dari karma lama yang pernah mereka lakukan.{{sfn|Loy|2008|p=230}}{{sfn|van Oosten |2008 |page=252 }} Hasil karma tak terhindarkan, bahkan Sang Buddha pun tak dapat menghentikannya.{{sfn|Attwood|2014|p=522}}
Setelah Aṅgulimāla melakukan [[sacca-kiriya|"tindak kebenaran"]] tersebut, wanita tersebut melahirkan anaknya dengan selamat. Ayat tersebut kemudian menjadi salah satu [[paritta|ayat-ayat perlindungan]], yang umumnya disebut ''paritta Aṅgulimāla''.<ref>{{cite book|last=Swearer|first=D.K.|year=2010|title=The Buddhist World of Southeast Asia|publisher=[[SUNY Press]]|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/The%20Buddhist%20World%20of%20Southeast%20Asia_Swearer.pdf|isbn=978-1-4384-3251-9|page=253}}</ref><ref>{{cite encyclopedia|last1=Buswell|first1=Robert E. Jr.|author1-link=Robert Buswell Jr.|last2=Lopez|first2=Donald S. Jr.|author2-link=Donald S. Lopez Jr.|encyclopedia=Princeton Dictionary of Buddhism|date=2013|publisher=[[Princeton University Press]]|isbn=978-0-691-15786-3|url=http://www.daophatngaynay.com/vn/files/file-nen/Princeton_Dictionary_of_Buddhism_890707662.pdf|title=Aṅgulimāla, Paritta, Satyāvacana}}</ref> Sangha-sangha masih mengutip ulang teks tersebut saat pemberkatan wanita hamil di negara-negara Theravāda,<ref>{{cite book|last1=Appleton|first1=Naomi|title=Jataka Stories in Theravada Buddhism: Narrating the Bodhisatta Path|date=2013|publisher=[[Ashgate Publishing]]|isbn=978-1-4094-8131-7|url=https://books.google.com/?id=5f-SW_JUAZMC|p=141}}</ref><ref>{{cite encyclopedia|last1=Eckel|first1=Malcolm David|authorlink1=Malcolm David Eckel|editor1-last=Neville|editor1-first=Robert Cummings|editor1-link=Robert Cummings Neville|encyclopedia=Religious Truth: A Volume in the Comparative Religious Ideas|title=Epistemological Truth|date=2001|publisher=[[SUNY Press]]|location=Albany|isbn=0-7914-4777-4|url=https://books.google.com/?id=LO3ajMpEa5YC|pp=67–8}}</ref> dan seringkali mengingatnya sebagai bagian dari pelatihan sangha.{{sfn|Thompson|2017|p=183}} Sehingga, Aṅgulimāla banyak dipandang sebagai "pelindung" kelahiran anak oleh para pengikut Buddha. Berubah dari pembunuh menjadi orang yang nampak memberikan kelahiran anak yang selamat telah merupakan transformasi besar.{{sfn|Wilson|2016|p=285}}


Setelah memperbolehkan Angulimala bergabung dengan Sangha, Sang Buddha mengeluarkan aturan yang berlaku sejak saat itu, yaitu melarang diterimanya penjahat sebagai biksu dalam Sangha. Hal ini dikarenakan protes masyarakat terhadap penahbisan perampok "beruntai jari" tersebut.{{sfn|Malalasekera|1960}}{{sfn|Kosuta|2017|p=42}} [[Buddhaghosa]] menyatakan bahwa Angulimala meninggal tak lama setelah menjadi biksu.{{sfn|Malalasekera|1960}}{{sfn|Kosuta|2017|p=42}} Setelah kematiannya, sebuah diskusi timbul di kalangan biksu tentang [[kosmologi Buddha|alam kehidupan]] apakah yang dicapai oleh Angulimala. Saat Sang Buddha menyatakan bahwa Angulimala telah mencapai Nirwana, hal tersebut mengejutkan beberapa biksu. Mereka terkejut dan bertanya bagaimana mungkin seseorang yang membunuh banyak orang masih bisa mencapai [[pencerahan (Buddha)|pencerahan]]. Sang Buddha menjawab bahwa bahkan setelah melakukan banyak kejahatan, seseorang masih memiliki kemungkinan untuk berubah menjadi lebih baik dan meraih pencerahan.{{sfn|van Oosten |2008 |pages=252{{en dash}}3 }}
Peristiwa tersebut membantu Aṅgulimāla menemukan kedamaian.<ref name="Langenberg">{{cite journal|last1=Langenberg|first1=Amy Paris|title=Pregnant Words: South Asian Buddhist Tales of Fertility and Child Protection|journal=History of Religions|date=2013|volume=52|issue=4|page=351|doi=10.1086/669645|jstor=10.1086/669645}}</ref> Setelah menunjukkan tindak kebenaran, ia dipandang "mengirim kehidupan ketimbang kematian bagi warga kota"<ref name="Langenberg" /> dan masyarakat mulai menerimanya dan menyediakannya dengan sumbangan makanan.<ref>{{cite encyclopedia|last1=Parkum|first1=Virginia Cohn|last2=Stultz|first2=J. Anthony|editor1-last=Queen|editor1-first=Christopher S.|encyclopedia=Engaged Buddhism in the West|date=2012|publisher=[[Wisdom Publications]]|title=The Aṅgulimāla Lineage: Buddhist Prison Ministries|isbn=978-0-86171-841-2|url=https://books.google.com/?id=NzY6AwAAQBAJ}}</ref>


== Analisis ==
Namun, banyak orang yang masih tak dapat melupakan bahwa ia bertanggung jawab atas kematian orang-orang yang mereka cintai. Dengan tongkat dan batu, mereka menyerangnya saat ia berjalan untuk meminta sumbangan. Dengan kepala yang berdarah, jubah luar yang robek dan pata (mangkuk amal) yang pecah, Aṅgulimāla memutuskan untuk kembali ke sangha. Sang Buddha membujuk Aṅgulimāla untuk merenungkan penyiksaannya dengan cara merenung; ia menyatakan bahwa Aṅgulimāla mengalami buah dari karma yang akan membuat orang lain mengutuknya ke [[Neraka (Buddha)|neraka]].{{sfn|Malalasekera|1960}}<ref name="Buswell 2013" /><ref>{{cite encyclopedia|last1=Harvey|first1=Peter|editor1-last=Powers|editor1-first=John|editor2-last=Prebish|editor2-first=Charles S.|editor1-link=John Powers (academic)|encyclopedia=Destroying Mara Forever: Buddhist Ethics Essays in Honor of Damien Keown|date=2010|publisher=[[Snow Lion Publications]]|title=Buddhist Perspectives on Crime and Punishment|isbn=978-1-55939-788-9}}</ref> Menjadi [[arahant|murid tercerahkan]], Aṅgulimāla masih tertegun dan berpikir kosong.<ref name="Buswell 2013" /> Menurut ajaran Buddha, murid-murid tercerahkan tak dapat membuat karma baru apapun, namun mreka masih menjadi suyek dampak karma lama yang sempat mereka lakukan.<ref>{{cite journal|last1=Loy|first1=David R.|authorlink1=David Loy|title=Awareness Bound and Unbound: Realizing the Nature of Attention|journal=Philosophy East and West|date=2008|volume=58|issue=2|page=230|jstor=20109462}}</ref>{{sfn|van Oosten |2008 |page=252 }} Dampak karmanya tak terhindarkan, dan bahkan Sang Buddha tak dapat menghentikannya dari kejadian tersebut.<ref>{{cite journal|last1=Attwood|first1=Jayarava|title=Escaping the Inescapable: Changes in Buddhist Karma|journal=Journal of Buddhist Ethics|date=2014|volume=21|page=522|url=https://www.researchgate.net/profile/Jayarava_Attwood/publication/280568215_Escaping_the_Inescapable_Changes_in_Buddhist_Karma/links/55ba4a8908aed621de0acc62/Escaping-the-Inescapable-Changes-in-Buddhist-Karma.pdf|archive-url=https://perma.cc/4PHN-EYJR|archive-date=7 May 2018|dead-url=no|issn=1076-9005}}</ref>
[[Berkas:Jetavana - Angulimala's Stupa, Shravasti (9237037673).jpg|jmpl|Stupa Angulimala, bagian dari biara [[Jetawana]] di [[Srawasti]], [[Uttar Pradesh]], India|upright=1.3]]


=== Sejarah ===
Setelah menasehati Aṅgulimāla di sangha, Sang Buddha mengeluarkan aturan yang berlaku dari saat itu, tak ada penjahat yang harus diterima sebagai biksu dalam sangha.{{sfn|Malalasekera|1960}}{{sfn|Kosuta|2017|p=42}} [[Buddhaghosa]] menyatakan bahwa Aṅgulimāla meninggal tak lama setelah menjadi biksu.{{sfn|Malalasekera|1960}}{{sfn|Kosuta|2017|p=42}} Setelah kematiannya, sebuah diskusi timbul di kalangan biksu tentang apa [[kosmologi Buddha|takdir kehidupan setelah kematian]] dari Aṅgulimāla. Saat Sang Buddha menyatakan bahwa Aṅgulimāla telah mencapai Nirwana, ini mengejutkan beberapa biksu. Mereka terkejut dan bertanya bagaimana mungkin seseorang yang membunuh banyak orang masih mencapai [[pencerahan (Buddha)|pencerahan]]. Sang Buddha menjawab bahwa bahkan setelah melakukan banyak kejahatan, seeorang masih memiliki kemungkinan untuk berubah menjadi lebih baik dan meraih pencerahan.{{sfn|van Oosten |2008 |pages=252{{en dash}}3 }}
Pemberian kenang-kenangan kepada seorang guru merupakan hal yang lazim pada [[sejarah India|zaman India Kuno]]. Terdapat contoh dalam "Pauśyaparwa"{{refn|Pausyaparwa, ''[[Mahabharata|Mahābhārata]]'' jilid 1 (''[[Adiparwa]]''), bagian ke-3.|group=note}} dari [[wiracarita]] ''[[Mahabharata|Mahābhārata]]''. Diceritakan bahwa seorang guru menugaskan muridnya yang bernama [[Utangka]] untuk pergi setelah Utangka menyatakan bahwa dirinya layak untuk dipercaya, serta menguasai ajaran [[Weda]] dan [[Dharmasastra]]. Utangka berkata kepada gurunya:
{{blockquote|"Apakah yang dapat saya lakukan untuk menyenangkan hatimu ({{lang-sa|kiṃ te priyaṃ karavāni|italic=yes}}), karena pernah dikatakan: Barang siapa menjawab tanpa [selaras dengan] [[darma]], dan barang siapa yang bertanya tanpa [selaras dengan] darma, maka yang terjadi: seseorang mati atau seseorang memicu permusuhan."}}
[[Indologi|Indolog]] Friedrich Wilhelm menyatakan bahwa kalimat yang sama tercantum dalam ''[[Manusmerti]]'' (II:111) dan dalam ''[[Wisnusmerti]]''. Menurut ajaran berbasis ''[[Weda]]'', dengan berpamitan kepada guru serta berjanji untuk melakukan apapun yang guru mau, dapat memberikan [[pencerahan]] atau pencapaian semacam itu. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila Angulimala diceritakan mau melaksanakan perintah kejam dari gurunya meskipun sebenarnya ia orang baik dan murah hati, karena pada akhirnya ia akan meraih pencapaian tertinggi.{{sfn|Wilhelm|1965|p=11}}


[[Berkas:Xuanzang w.jpg|jmpl|150px|Ilustrasi [[Xuan Zang]], peziarah dari [[Tiongkok]] (602–64 M). Gagasan bahwa Angulimala adalah bagian dari kultus kekerasan dikemukakan olehnya.]]
== Catatan ==
Indolog [[Richard Gombrich]] menyatakan bahwa kisah Angulimala bisa jadi sesungguhnya merupakan pertemuan antara Sang Buddha dan seorang pengikut ajaran [[tantra]] aliran [[Saiwa]] atau [[Sakta]].{{sfn|Gombrich|2006|p=151}} Gombrich menarik kesimpulan tersebut atas dasar sejumlah inkonsistensi dalam manuskrip yang mengindikasikan adanya pengubahan,{{sfn|Gombrich|2006|pp=144–51}} serta penjelasan kurang memuaskan tentang perilaku Angulimala yang diuraikan oleh para penafsir.{{sfn|Gombrich|2006|pp=136, 141}}{{sfn|Mudagamuwa|Von Rospatt|1998|p=170}} Ia menyatakan bahwa terdapat beberapa rujukan lain dalam kanon Pāli yang tampaknya mengindikasikan keberadaan para pengikut [[Siwa]], [[Kāli]], dan dewa-dewi lainnya yang berkaitan dengan ritual berdarah ajaran tantra.{{sfn|Gombrich|2006|pp=155–62}} Inkonsistensi tekstual yang ditemukan dapat dijelaskan melalui teori tersebut.{{sfn|Gombrich|2006|pp=152–4}}

Gagasan bahwa Angulimala adalah bagian dari kultus kekerasan dikemukakan oleh peziarah Tionghoa [[Xuan Zang]] (602–64 M). Dalam [[Catatan Tang Besar tentang Wilayah Barat|catatan perjalanannya]], Xuan Zang menyatakan bahwa Angulimala diajari oleh gurunya bahwa ia akan lahir di [[Brahma (agama Buddha)|alam Brahma]] jika berhasil membunuh seorang [[Buddha]]. Sebuah manuskrip Tionghoa kuno memberikan penjelasan serupa, menyatakan bahwa guru dari gurunya Angulimala memberikan ajaran kejam tersebut untuk mencapai keabadian.{{sfn|Brancaccio|1999|pp=105–6}} Pernyataan Xuan Zang kemudian dikembangkan oleh [[Dunia Barat|orang-orang Barat]] yang menerjemahkan catatan perjalanan Xuan Zang pada awal abad ke-20, tetapi sebagian berdasarkan pada kesalahan terjemahan.{{sfn|Mudagamuwa|Von Rospatt|1998|p=177 n.25}}{{sfn|Analayo|2008|pp=143–4 n.42}} Terlepas dari itu, Gombrich merupakan cendekiawan modern yang pertama kali mengemukakan gagasan tersebut. Namun, pernyataannya bahwa praktik tantra telah ada sebelum selesainya penyusunan [[Suttapitaka|kitab-kitab Buddhis]] (dua sampai tiga abad [[Sebelum Masehi]]) bertolak belakang dengan pengetahuan umum. [[Konsensus ilmiah]] menetapkan kebangkitan kultus tantra perdana pada masa sekitar seribu tahun kemudian, dan tak ada bukti kuat yang ditemukan (baik bukti tertulis atau lainnya) tentang praktik tantra berdarah pada masa sebelumnya.{{sfn|Mudagamuwa|Von Rospatt|1998|p=170}}{{sfn|Gombrich|2006|pp=152 n.7, 155}} <!--Meskipun Gombrich berpendapat bahwa ada praktik [[antinomianisme|antinomianis]] (bertentangan dengan norma moral) lain yang serupa yang hanya disebutkan sekali saja dalam [[Tipitaka|kitab suci Buddha]] dan tak dapat ditemukan di luar kitab tersebut,{{sfn|Gombrich|2006|p=152, 156}} cendekiawan kajian agama Buddha Mudagamuwa dan Von Rospatt menyatakannya sebagai contoh yang keliru. Mereka juga mempermasalahkan argumen metrikal Gomrich, sehingga tidak sependapat dengan hipotesis Gomrich terkait Angulimala. Meskipun demikian, mereka menganggap ada kemungkinan bahwa praktik kekerasan yang dilakukan Angulimala merupakan salah satu jenis kultus bersejarah.{{sfn|Mudagamuwa|Von Rospatt|1998|pp=172–3}}-->

Dalam terjemahan [[bahasa Tionghoa|Tionghoa]] dari Damamūkāwadāna oleh [[Hui-chiao]],{{sfn|Malalasekera|2003|p=628}} demikian pula dalam temuan-temuan arkeologis,{{sfn|Zin |2005|page=706}} Angulimala diidentifikasikan dengan Raja [[Kalmasapada]] atau Saudāsa dalam [[mitologi Hindu]], yang dikenal sejak [[zaman Weda]]. Manuskrip kuno sering kali menceritakan kehidupan Saudāsa sebagai kehidupan Angulimala sebelumnya, dan kedua tokoh tersebut menghadapi masalah untuk menjadi seorang [[brahmana]] yang baik.{{sfn|Zin |2005|page=706}}

Dalam berbagai penggambaran, Angulimala mengenakan hiasan kepala. Sejarawan seni rupa Pia Brancaccio berpendapat bahwa hiasan kepala adalah penanda khas India untuk figur yang berkaitan dengan alam liar atau perburuan.{{sfn|Brancaccio|1999|pp=108–12}} Brancaccio juga meyakini bahwa hiasan tersebut dipakai oleh para seniman untuk memberi ciri bahwa Angulimala berasal dari suku pedalaman dan ditakuti oleh umat Buddha awal yang sebagian besar merupakan masyarakat perkotaan.{{sfn|Brancaccio|1999|pp=115–6}}

=== Ajaran ===
{{Quote box|border=2px|align=right|bgcolor = Cornsilk|title=Aṅgulimāla Sutta|halign=center|quote=<poem>Dan walaupun aku dulu hidup sebagai bandit
Dengan nama ‘Untaian-Jari,’
Orang yang disapu banjir deras,
Aku telah pergi untuk perlindungan kepada Buddha.
[…] Jadi silakan datang pada pilihanku itu
Dan biarlah hal itu bertahan, karena ia tidak salah dibuat;
Aku telah mencapai tiga pengetahuan
Dan melaksanakan semua yang diajarkan Sang Buddha.</poem>|{{hidden end}}|salign=right|author=—Diterjemahkan dari bahasa Inggris,
oleh: Dra. Wena Cintiawati, Dra. Lanny Anggawati.{{sfn|Cintiawati|Anggawati|2008}}
}}
Di kalangan umat Buddha, Angulimala adalah salah satu cerita paling terkenal.{{sfn|Gombrich|2006|p=135}} Tak hanya pada masa kini: pada zaman kuno, dua peziarah asal Tionghoa yang datang dari India membuat laporan berisi cerita tersebut, serta memberitahukan tempat-tempat yang mereka kunjungi yang berkaitan dengan kehidupan Angulimala.{{sfn|Thompson|2015|p=163}} Dari sudut pandang umat Buddha, cerita Angulimala dijadikan contoh bahwa orang bertabiat buruk sekalipun dapat mengatasi kesalahan mereka dan kembali ke jalan yang benar.{{sfn|Harvey|2013|page=266}} Sejumlah tafsiran memakai cerita tersebut sebagai contoh karma baik dapat mengatasi karma buruk.{{sfn|Malalasekera|1960}} Umat Buddha menganggap Angulimala sebagai simbol transformasi menyeluruh{{sfn|Wilson|2016|p=286}} dan sebagai contoh bahwa ajaran Buddha dapat mengubah orang yang tampaknya tidak memungkinkan.{{sfn|Juergensmeyer|Kitts|Jerryson|2013|p=58}} Umat Buddha mengangkat cerita Angulimala sebagai contoh [[karuṇā|tindakan welas asih]] ({{lang-pi|karuṇa|italic=yes}}) dan kekuatan adikodrati ({{lang-pi|iddhi|italic=yes}}) dari Sang Buddha.{{sfn|Malalasekera|1960}} Pertobatan Angulimala dikutip sebagai pengakuan akan kecakapan Sang Buddha sebagai guru,{{sfn|Analayo|2008|page=135}} dan contoh kemanjuran dari ajaran Buddha ([[Dharma (Buddha)|darma]]).{{sfn|Thompson|2017|p=188}}

Melalui jawabannya kepada Angulimala, Sang Buddha menghubungkan sikap ''henti'' dengan gagasan [[ahimsa|'menahan diri dari kekerasan']] ({{lang-pi|avihiṃsa|italic=yes}}). Walaupun seseorang tak dapat menghindari hukum karma yang kekal, setidaknya seseorang dapat memperkecil karma dengan cara berhenti melakukan kekerasan. Pustaka-pustaka menafsirkan hal ini sebagai bentuk "diam".{{sfn|Wiltshire |1984|page=95}} Selain itu, kisah Angulimala mengilustrasikan bahwa terdapat kekuatan spiritual dalam sikap henti, yaitu saat Sang Buddha digambarkan tak mampu dikejar Angulimala yang penuh kekerasan. Meskipun itu dijelaskan sebagai akibat dari pencapaian adikodrati Sang Buddha, makna yang mendalam adalah bahwa "… 'orang yang berhenti secara spiritual' dapat bergerak lebih cepat ketimbang orang yang 'aktif secara konvensional'". Dengan kata lain, pencapaian spiritual hanya memungkinkan melalui tindakan tanpa kekerasan.{{sfn|Wiltshire |1984|page=91}}

=== Perilaku ===
[[Berkas:Nava Jetavana Temple - Shravasti - 004 King Pasenadi Planting the Ananda Bodhi Tree in Jetavana (9241772739).jpg|jmpl|Raja [[Pasenadi]] menanam sebuah [[Pohon Bodhi]] untuk menghormati Sang Buddha.]]
Cerita Angulimala menggambarkan bagaimana para penjahat dapat terpengaruh oleh lingkungan psikososial dan lingkungan fisik mereka.{{sfn|Kangkanagme|Keerthirathne|2016|p=36}} [[Psikologi analitis|Psikolog analitis]] Dale Mathers berteori bahwa Ahiṃsaka mulai membunuh karena [[pengartian (psikologi)|harga dirinya]] telah runtuh. Ia tak lagi diapresiasi sebagai orang yang bertalenta dalam hal akademik. Sikapnya dapat disimpulkan bahwa "Aku tak memiliki harga diri; maka dari itu aku bisa membunuh. Jika aku membunuh, itu membuktikan bahwa aku tak memiliki harga diri".{{sfn|Mathers|2013|page=127}} Dalam menyimpulkan kehidupan Angulimala, Mathers menulis, {{nowrap|"ia adalah ... seorang figur}} yang menjembatani pemberian dan pencabutan nyawa."{{sfn|Mathers|2013|page=129}} Senada dengan hal tersebut, dengan merujuk kepada konsep psikologi tentang [[luka moral]], teolog John Thompson mendeskripsikan Angulimala sebagai seseorang yang dikhianati oleh seorang sosok berpengaruh, tetapi berhasil memulihkan prinsip moralnya yang terkikis maupun masyarakat yang menjadi korbannya.{{sfn|McDonald|2017|p=29}} Para korban luka moral memerlukan seorang penyembuh dan komunitas yang berjuang bersama-sama tetapi melakukannya dengan cara yang aman; demikian pula Angulimala dapat pulih dari luka moralnya karena Sang Buddha menjadi pemandu spiritualnya, serta komunitas [[biksu]] ([[Sangha]]) yang menuntun hidup dalam kedisiplinan, sabar menghadapi kesukaran.{{sfn|Thompson|2017|p=182}} Thompson kemudian berpendapat bahwa cerita Angulimala dapat dipakai sebagai [[terapi naratif]]{{sfn|McDonald|2017|p=29}} dan menyebut etika yang terdapat dalam cerita ini sebagai pertanggungjawaban yang menginspirasi. Cerita tersebut bukan tentang diselamatkan, tetapi lebih kepada menyelamatkan seseorang dengan bantuan dari orang lain.{{sfn|Thompson|2017|p=189}}

Ahli etika [[David Loy]] menulis secara ekstensif tentang cerita Angulimala dan implikasinya terhadap sistem keadilan. Ia meyakini bahwa dalam [[etika Buddhis]], satu-satunya alasan seorang pelanggar/penjahat dihukum adalah untuk memperbaiki tingkah laku mereka. Jika seorang penjahat seperti Angulimala telah sadar untuk mengubah perilakunya sendiri, maka tak ada alasan untuk menghukumnya, bahkan sebagai tindakan pencegahan. Selain itu, Loy berpendapat bahwa cerita Angulimala tak mengandung bentuk [[keadilan restoratif]] maupun [[keadilan transformatif|transformatif]], sehingga cerita tersebut dianggap sebagai contoh keadilan yang "cacat".{{sfn|Loy|2009|p=1247}} Di sisi lain, mantan politikus dan ahli kesehatan masyarakat [[Mathura Shrestha]] menyebut cerita Angulimala "mungkin merupakan konsep pertama dari keadilan transformatif", merujuk kepada pertobatan Angulimala dari kehidupan lamanya sebagai perampok, dan pemaafan yang ia terima dari para kerabat korban.{{sfn|Shrestha|2007}} Dalam tulisannya tentang [[hukuman mati]], cendekiawan Damien Horigan menyatakan bahwa [[rehabilitasi (penologi)|rehabilitasi]] adalah tema utama dari cerita Angulimala, dan rehabilitasi yang telah disaksikan merupakan alasan Raja Pasenadi tidak menghukum Angulimala.{{sfn|Horigan|1996|p=282}}

Dalam ritual pra-kelahiran di [[Sri Lanka]], saat Sutta Aṅgulimāla dibacakan untuk wanita hamil, merupakan suatu adat istiadat di sana untuk menaruh benda-benda sebagai lambang kesuburan dan reproduksi di sekeliling wanita tersebut, seperti potongan pohon kelapa dan periuk tanah liat.{{sfn|Van Daele|2013|pp=100, 102–3}} Para cendekiawan menekankan bahwa dalam mitologi di Asia Tenggara, terdapat kaitan antara sosok haus darah dengan tema [[kesuburan]].{{sfn|Langenberg|2013|p=351}}{{sfn|Wilson|2016|p=289}} Penumpahan darah dapat ditemukan dalam tindak kekerasan dan juga kelahiran anak, yang menjelaskan mengapa Angulimala digambarkan sebagai pembunuh sekaligus penyembuh yang berkenaan dengan kelahiran.{{sfn|Wilson|2016|p=289}}

Terkait cerita pertemuan Sang Buddha dengan Angulimala, tokoh [[feminisme|feminis]] Liz Wilson menyimpulkan bahwa cerita tersebut adalah contoh kerja sama dan saling ketergantungan antara lawan jenis: Sang Buddha dan ibu Angulimala sama-sama mencoba untuk menghentikannya.{{sfn|Wilson|2016|pp=295–6}} Hal senada diungkapkan Thompson, bahwa kaum ibu memainkan peran penting dalam cerita tersebut, merujuk pada bagian saat sang ibu berusaha untuk menghentikan Angulimala, serta pertolongan Angulimala terhadap seorang ibu yang akan melahirkan. Selain itu, baik Sang Buddha maupun Angulimala mengambil peran keibuan dalam cerita tersebut.{{sfn|Thompson|2017|p=184}} Meskipun banyak cerita India kuno yang menghubungkan kaum wanita dengan sifat-sifat bebal dan lemah, cerita Angulimala mengakui sifat-sifat kewanitaan, dan Sang Buddha bertindak sebagai penasihat bijak untuk menerapkan sifat-sifat tersebut dengan cara yang konstruktif.{{sfn|Thompson|2017|pp=185–6}} Meskipun demikian, Thompson tak menganggap cerita tersebut menganjurkan [[feminisme]], tetapi lebih berpendapat bahwa cerita tersebut mengandung [[etika kepedulian]] yang feminis, yang berakar kepada agama Buddha.{{sfn|Thompson|2017|p=188}}

== Dalam budaya modern ==
[[Berkas:Satish Kumar, 2009 (cropped).jpg|jmpl|[[Satish Kumar]], seorang aktivis yang mengadaptasi cerita Angulimala dalam buku pendeknya ''The Buddha and the Terrorist''.|upright=0.8]]
Sepanjang [[sejarah agama Buddha]], cerita Angulimala telah digambarkan ke dalam berbagai bentuk kesenian,{{sfn|Analayo|2008|p=135}} beberapa di antaranya dapat ditemukan di [[museum]] dan [[Situs bersejarah|situs cagar budaya]] Buddha. Dalam budaya modern, Angulimala masih memainkan peran penting.{{sfn|Thompson|2015|p=164}} Pada tahun 1985, biksu Theravāda kelahiran [[Inggris]] [[Ajahn Khemadhammo]] mendirikan "Aṅgulimāla", sebuah organisasi pelayanan [[kapelan]] Buddhis di penjara di Inggris.{{sfn|Fernquest|2011}}{{sfn|Harvey|2013|p=450}} Organisasi tersebut diakui oleh pemerintah Inggris sebagai perwakilan resmi dari agama Buddha dalam segala urusan terkait [[lembaga pemasyarakatan]] di Inggris, dan menyediakan kapelan, layanan konseling, ajaran agama Buddha, dan meditasi kepada para tahanan di seluruh Inggris, [[Wales]], dan [[Skotlandia]].{{sfn|Fernquest|2011}} Nama organisasi tersebut merujuk kepada kekuatan transformasi yang dicontohkan dalam cerita Angulimala.{{sfn|Wilson|2016|p=286}}{{sfn|Thompson|2015|p=164}} Menurut situs web organisasi tersebut, "Cerita Angulimala mengajarkan kita bahwa peluang meraih pencerahan dapat terjadi dalam keadaan yang sangat ekstrem, bahwa orang-orang mampu dan melakukan perubahan, serta bahwa orang-orang sangat dipengaruhi oleh persuasi dan yang lebih penting ialah percontohan."{{sfn|Khemadhammo|2018}}

Dalam budaya populer, legenda Angulimala telah meraih perhatian luas. Cerita tersebut telah menjadi subjek utama dari sekurang-kurangnya tiga film.{{sfn|Thompson|2015|p=164}} Pada tahun 2003, sutradara asal [[Thailand]], [[Suthep Tannirat]] berupaya merilis film berjudul ''[[Angulimala (film 2003)|Angulimala]]''. Namun, lebih dari 20 organisasi Buddha [[Konservatisme|konservatif]] di Thailand melayangkan protes karena film tersebut dianggap menyimpang dari ajaran dan sejarah agama Buddha, serta menampilkan pengaruh [[Agama Hindu|Hindu]] dan [[teisme]] yang tak ditemukan dalam kitab-kitab Buddhis.{{sfn|Ngamkham 1|2003}} [[Penyensoran di Thailand#Film|Badan penyensoran film Thai]] menolak permintaan untuk mencekal film tersebut, dengan alasan bahwa film tersebut tak menyimpang dari ajaran Buddha. Mereka menyatakan bahwa sutradara telah memotong dua adegan berunsur kekerasan.{{sfn|Ngamkham 2|2003}} Kelompok-kelompok konservatif merasa tak senang dengan penggambaran Angulimala sebagai pembunuh brutal, tanpa menampilkan cerita yang menjelaskan mengapa ia menjadi penjahat semacam itu. Namun, Tannirat membela dirinya sendiri dengan berpendapat bahwa meskipun ia mengabaikan penafsiran dari ulasan para cendekiawan, ia mengikuti sumber-sumber Buddhis terdahulu dengan teliti.{{sfn|Ngamkham 1|2003}} Pilihan Tannirat untuk memakai sumber sejarah awal saja, alih-alih cerita populer dari ulasan para cendekiawan, merupakan hal yang menimbulkan protes tersebut.{{sfn|Thompson|2015|p=164}}{{sfn|Thompson|2017|page=175 n.15}}

Angulimala juga menjadi subjek karya sastra.{{sfn|Thompson|2015|p=168}} Pada tahun 2006, aktivis perdamaian [[Satish Kumar]] menulis kembali cerita Angulimala dalam buku pendeknya ''The Buddha and the Terrorist''. Buku tersebut membahas tentang [[perang melawan terorisme]], dengan mereka ulang dan memadukan berbagai cerita tentang Angulimala, yang dideskripsikan sebagai ''teroris''.{{sfn|Thompson|2015|p=168}} Buku tersebut mempertegas cerita saat Sang Buddha menerima Angulimala dalam [[sangha]], yang berakibat terhindarnya hukuman dari Raja Pasenadi. Dalam buku Kumar, tindakan tersebut berujung pada kemarahan masyarakat, yang menuntut penahanan Angulimala dan Sang Buddha. Pasenadi mengadakan pengadilan terbuka di hadapan warga desa dan dewan kerajaan, agar majelis dapat memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap kedua terdakwa. Namun pada akhirnya, majelis memutuskan untuk membebaskan keduanya, setelah Angulimala mengakui kejahatannya dan Pasenadi memberi pidato yang menegaskan pengampunan alih-alih hukuman.{{sfn|Thompson|2015|p=168}} Pelintiran cerita tersebut memberikan pemahaman berbeda terhadap Angulimala, yang tindak kekerasannya berujung pada pengadilan, serta masyarakat yang lebih adil dan tanpa kekerasan.{{sfn|Thompson|2015|p=169}} Dalam tulisan tentang pustaka Buddhis dan buku Kumar, Thompson membayangkan bahwa ''ahiṃsa'' dalam agama Buddha mungkin memiliki pemahaman yang berbeda menurut konteks yang berbeda, dan sering kali tak berarti diam secara pasif, atau ''tanpa kekerasan'' sebagaimana pemahaman pada umumnya.{{sfn|Thompson|2015|pp=172–3}}{{sfn|Thompson|2017|p=188}}

== Catatan penjelas ==
{{reflist|group=note}}
{{reflist|group=note}}


Baris 132: Baris 181:


== Daftar pustaka ==
== Daftar pustaka ==
{{refbegin}}
{{refbegin|2}}
* {{Citation|author-link=Bhikkhu Analayo|first=Bhikkhu|last=Analayo|year=2008 |title=The Conversion of Angulimāla in the Saṃyukta-āgama|journal=Buddhist Studies Review|volume=25|issue=2|pages=135–48|doi=10.1558/bsrv.v25i2.135}}
* {{Citation|author-link=Bhikkhu Analayo|first=Bhikkhu|last=Analayo|year=2008 |title=The Conversion of Angulimāla in the Saṃyukta-āgama|journal=Buddhist Studies Review|volume=25|issue=2|pages=135–48|doi=10.1558/bsrv.v25i2.135}}
* {{citation |title=Etude du bouddhisme: Aspects du bouddhisme indien décrits par les pèlerins chinois (suite) II. La legende d'Angulimala dans les ancients textes canoniques |trans-title=Study of Buddhism: Aspects of Indian Buddhism as Described by the Chinese Pilgrims (continued), 2. The Legend of Angulimala in the Ancient Canonical Texts |first=André | last=Bareau |author-link=André Bareau |language=fr |journal=Annuaire du Collège de France 1985{{en dash}}86 |year=1986 |issue= 86 |pages=647{{en dash}}58 |issn=0069-5580}}
* {{citation |title=Etude du bouddhisme: Aspects du bouddhisme indien décrits par les pèlerins chinois (suite) II. La legende d'Angulimala dans les ancients textes canoniques |trans-title=Study of Buddhism: Aspects of Indian Buddhism as Described by the Chinese Pilgrims (continued), 2. The Legend of Angulimala in the Ancient Canonical Texts |first=André | last=Bareau |author-link=André Bareau |language=fr |journal=Annuaire du Collège de France 1985{{en dash}}86 |year=1986 |issue= 86 |pages=647{{en dash}}58 |issn=0069-5580}}
* {{cite book|last1=Appleton|first1=Naomi|title=Jataka Stories in Theravada Buddhism: Narrating the Bodhisatta Path|date=2013|publisher=[[Ashgate Publishing]]|isbn=978-1-4094-8131-7|url=https://books.google.com/?id=5f-SW_JUAZMC|ref={{sfnref|Appleton|2013}}}}
* {{cite journal|last1=Attwood|first1=Jayarava|title=Escaping the Inescapable: Changes in Buddhist Karma|journal=Journal of Buddhist Ethics|date=2014|volume=21|url=https://www.researchgate.net/profile/Jayarava_Attwood/publication/280568215_Escaping_the_Inescapable_Changes_in_Buddhist_Karma/links/55ba4a8908aed621de0acc62/Escaping-the-Inescapable-Changes-in-Buddhist-Karma.pdf|archive-url=https://web.archive.org/web/20180725153445/https://www.researchgate.net/profile/Jayarava_Attwood/publication/280568215_Escaping_the_Inescapable_Changes_in_Buddhist_Karma/links/55ba4a8908aed621de0acc62/Escaping-the-Inescapable-Changes-in-Buddhist-Karma.pdf|archive-date=2018-07-25|dead-url=yes|issn=1076-9005|ref={{sfnref|Attwood|2014}}|access-date=2018-09-12}}
* {{Citation|last1=Barrett|first1=Timothy H.|title=The Madness of Emperor Wuzong|journal=[[Cahiers d'Extrême-Asie]]|date=2004|volume=14|issue=1|pages=173–86|doi=10.3406/asie.2004.1206|url=https://www.persee.fr/doc/asie_0766-1177_2004_num_14_1_1206}}
* {{Citation|last1=Barrett|first1=Timothy H.|title=The Madness of Emperor Wuzong|journal=[[Cahiers d'Extrême-Asie]]|date=2004|volume=14|issue=1|pages=173–86|doi=10.3406/asie.2004.1206|url=https://www.persee.fr/doc/asie_0766-1177_2004_num_14_1_1206}}
* {{Citation|last1=Brancaccio|first1=Pia|title=Aṅgulimāla or the Taming of the Forest|journal=East and West|date=1999|volume=49|issue=1/4|pages=105–18|jstor=29757423}}
* {{Citation|last1=Brancaccio|first1=Pia|title=Aṅgulimāla or the Taming of the Forest|journal=East and West|date=1999|volume=49|issue=1/4|pages=105–18|jstor=29757423}}
* {{citation|last1=Buswell|first1=Robert E. Jr.|author1-link=Robert Buswell Jr.|last2=Lopez|first2=Donald S. Jr.|author2-link=Donald S. Lopez Jr.|title=Princeton Dictionary of Buddhism|year=2013|publisher=[[Princeton University Press]]|isbn=978-0-691-15786-3|url=http://www.daophatngaynay.com/vn/files/file-nen/Princeton_Dictionary_of_Buddhism_890707662.pdf|chapter=Aṅgulimāla|refs=Buswell & Lopez 2013.}}
* {{Citation|url=https://discourse.suttacentral.net/uploads/default/original/2X/a/a0c37f5cdb8e3e2f9857cbe98b96eec29dcde361.pdf|last=Gombrich|first=Richard|author-link=Richard Gombrich|title=How Buddhism Began: The Conditioned Genesis of the Early Teachings|publisher=[[Routledge]]|orig-year=1996|year=2006|isbn=0-415-37123-6|edition=2nd|lay-url=https://tricycle.org/trikedaily/angulimala-and-tantric-buddhism/|lay-date=22 April 2011|lay-source=Angulimala and Tantric Buddhism}}
* {{cite web|url=https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/angulimala-sutta/|title=ANGULIMALA SUTTA|last1=Cintiawati|first1=Wena|last2=Anggawati|first2=Lanny|author=|publisher=Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna|year=2008|ref={{sfnref|Cintiawati|Anggawati|2008}}}}
* {{Citation|last1=Harvey|first1=Peter|title=An introduction to Buddhism: teachings, history and practices|date=2013|publisher=[[Cambridge University Press]]|location=New York|isbn=978-0-521-85942-4|edition=2nd|url=https://toleratedindividuality.files.wordpress.com/2015/10/an-introduction-to-buddhism-teachings-history-and-practices.pdf}}
* {{cite encyclopedia|last1=Eckel|first1=Malcolm David|authorlink1=Malcolm David Eckel|editor1-last=Neville|editor1-first=Robert Cummings|editor1-link=Robert Cummings Neville|encyclopedia=Religious Truth: A Volume in the Comparative Religious Ideas|title=Epistemological Truth|date=2001|publisher=[[SUNY Press]]|location=Albany|isbn=0-7914-4777-4|url=https://books.google.com/?id=LO3ajMpEa5YC|ref={{sfnref|Eckel|2001}}}}
* {{cite news|last1=Fernquest|first1=Jon|title=Buddhism in UK prisons|url=https://www.bangkokpost.com/learning/learning-news/230872/buddhism-in-uk-prisons|via=Bangkok Post Learning|archive-url=https://archive.today/20180507183017/https://www.bangkokpost.com/learning/learning-news/230872/buddhism-in-uk-prisons|archive-date=2018-05-07|dead-url=no|accessdate=2 May 2018|work=[[Bangkok Post]]|date=13 April 2011|ref={{sfnref|Fernquest|2011}}}}
* {{cite encyclopedia|editor-last1=Juergensmeyer|editor-first1=Mark|editor-last2=Kitts|editor-first2=Margo|editor-last3=Jerryson|editor-first3=Michael|encyclopedia=The Oxford Handbook of Religion and Violence|date=2013|publisher=[[Oxford University Press]]|isbn=978-0-19-975999-6|page=58|title=Buddhist Traditions and Violence|last=Jerryson|first=Michael|ref={{sfnref|Juergensmeyer|Kitts|Jerryson|2013}}}}
* {{Citation|url=https://discourse.suttacentral.net/uploads/default/original/2X/a/a0c37f5cdb8e3e2f9857cbe98b96eec29dcde361.pdf|last=Gombrich|first=Richard|author-link=Richard Gombrich|title=How Buddhism Began: The Conditioned Genesis of the Early Teachings|publisher=[[Routledge]]|orig-year=1996|year=2006|isbn=0-415-37123-6|edition=2nd|lay-url=https://tricycle.org/trikedaily/angulimala-and-tantric-buddhism/|lay-date=22 April 2011|lay-source=Angulimala and Tantric Buddhism|accessdate=2018-09-10|archive-date=2018-05-01|archive-url=https://web.archive.org/web/20180501093506/https://discourse.suttacentral.net/uploads/default/original/2X/a/a0c37f5cdb8e3e2f9857cbe98b96eec29dcde361.pdf|dead-url=yes}}
* {{cite encyclopedia|last1=Harvey|first1=Peter|editor1-last=Powers|editor1-first=John|editor2-last=Prebish|editor2-first=Charles S.|editor1-link=John Powers (akademisi)|encyclopedia=Destroying Mara Forever: Buddhist Ethics Essays in Honor of Damien Keown|date=2010|publisher=[[Snow Lion Publications]]|title=Buddhist Perspectives on Crime and Punishment|isbn=978-1-55939-788-9|ref={{sfnref|Harvey|2010}}}}
* {{Citation|last1=Harvey|first1=Peter|title=An introduction to Buddhism: teachings, history and practices|date=2013|publisher=[[Cambridge University Press]]|location=New York|isbn=978-0-521-85942-4|edition=2nd|url=https://toleratedindividuality.files.wordpress.com/2015/10/an-introduction-to-buddhism-teachings-history-and-practices.pdf|ref={{sfnref|Harvey|2013}}}}
* {{cite journal|last1=Horigan|first1=D. P.|title=Of Compassion and Capital Punishment: A Buddhist Perspective on the Death Penalty|journal=The American Journal of Jurisprudence|date=1 January 1996|volume=41|issue=1|doi=10.1093/ajj/41.1.271|url=https://academic.oup.com/ajj/article-abstract/41/1/271/253506|ref={{sfnref|Horigan|1996}}}}
* {{cite journal|last1=Kangkanagme|first1=Wickrama|last2=Keerthirathne|first2=Don|title=A Comparative Study of Punishment in Buddhist and Western Educational Psychology|journal=The International Journal of Indian Psychology|date=27 July 2016|volume=3|issue=4/57|url=https://books.google.com/?id=b5PADAAAQBAJ|ref={{sfnref|Kangkanagme|Keerthirathne|2016}}}}
* {{cite web|url=https://angulimala.org.uk/the-story-of-angulimala/ |archive-url=https://web.archive.org/web/20180727154909/https://angulimala.org.uk/the-story-of-angulimala/ |archive-date=27 July 2018 |dead-url=no |title=The Story of Angulimala|publisher=Angulimala, the Buddhist Prison Chaplaincy|last=Khemadhammo |first=Ajahn |access-date=3 May 2018|ref={{sfnref|Khemadhammo|2018}}}}
* {{Citation|last=Kosuta|first=M.|year=2017|title=The Aṅgulimāla-Sutta: The Power of the Fourth Kamma|journal=Journal of International Buddhist Studies|volume=8|issue=2|pp=35–47 |url=http://www.ojs.mcu.ac.th/index.php/JIBS/article/download/2305/1682}}
* {{Citation|last=Kosuta|first=M.|year=2017|title=The Aṅgulimāla-Sutta: The Power of the Fourth Kamma|journal=Journal of International Buddhist Studies|volume=8|issue=2|pp=35–47 |url=http://www.ojs.mcu.ac.th/index.php/JIBS/article/download/2305/1682}}
* {{citation|url=http://www.buddhanet.net/pdf_file/angulimala6.pdf|title= Angulimāla|last=Kumarasiri|first=G.K. Ananda |publisher=Ambassador Dato' Dr. G. K. Ananda Kumarasiri (Buddha Dharma Education Association Inc.)|year=2004|ISBN=983-40966-1-5}}
* {{cite book|last1=Lamotte|first1=Etienne|authorlink1=Etienne Lamotte|title=History of Indian Buddhism: From the Origins to the Saka Era|url=https://archive.org/details/historyofindianb0000lamo|date=1988|publisher=[[Université catholique de Louvain]], Institut orientaliste|isbn=906831100X|ref={{sfnref|Lamotte|1988}}}}
* {{cite journal|last1=Langenberg|first1=Amy Paris|title=Pregnant Words: South Asian Buddhist Tales of Fertility and Child Protection|url=https://archive.org/details/sim_history-of-religions_2013-05_52_4/page/351|journal=History of Religions|date=2013|volume=52|issue=4|page=351|doi=10.1086/669645|jstor=10.1086/669645|ref={{sfnref|Langenberg|2013}}}}
* {{cite journal|last1=Loy|first1=David R.|authorlink1=David Loy|title=Awareness Bound and Unbound: Realizing the Nature of Attention|url=https://archive.org/details/sim_philosophy-east-and-west_2008-04_58_2/page/230|journal=Philosophy East and West|date=2008|volume=58|issue=2|page=230|jstor=20109462|ref={{sfnref|Loy|2008}}}}
* {{Citation|url=http://law.slu.edu/sites/default/files/Journals/david_loy_article.pdf|archive-url=https://web.archive.org/web/20180507175759/http://law.slu.edu/sites/default/files/Journals/david_loy_article.pdf|archive-date=7 May 2018|dead-url=no|last=Loy|first=D.R.|author-link=David Loy|year=2009|title=A Different Enlightened Jurisprudence?|journal=Saint Louis University Law Journal|pages=1239–56|volume=54|lay-url=http://buddhism.lib.ntu.edu.tw/FULLTEXT/JR-MISC/101786.htm|lay-source=Healing Justice: A Buddhist Perspective, in: The Spiritual Roots of Restorative Justice, pp.81–97|lay-date=2001}}
* {{Citation|url=http://law.slu.edu/sites/default/files/Journals/david_loy_article.pdf|archive-url=https://web.archive.org/web/20180507175759/http://law.slu.edu/sites/default/files/Journals/david_loy_article.pdf|archive-date=7 May 2018|dead-url=no|last=Loy|first=D.R.|author-link=David Loy|year=2009|title=A Different Enlightened Jurisprudence?|journal=Saint Louis University Law Journal|pages=1239–56|volume=54|lay-url=http://buddhism.lib.ntu.edu.tw/FULLTEXT/JR-MISC/101786.htm|lay-source=Healing Justice: A Buddhist Perspective, in: The Spiritual Roots of Restorative Justice, pp.81–97|lay-date=2001}}
* {{Citation|last1=Malalasekera|author-link= G P Malalasekera|first1=G.P.|title=Dictionary of Pāli Proper Names|volume=1|year=1960|publisher=[[Pali Text Society]]|location=Delhi|url=http://palikanon.de/english/pali_names/ay/angulimaala.htm|oclc=793535195}}
* {{Citation|last1=Malalasekera|author-link= G P Malalasekera|first1=G.P.|title=Dictionary of Pāli Proper Names|volume=1|year=1960|publisher=[[Pali Text Society]]|location=Delhi|url=http://palikanon.de/english/pali_names/ay/angulimaala.htm|oclc=793535195}}
* {{cite encyclopedia|encyclopedia=Encyclopaedia of Buddhism|title=Aṅgulimāla|volume=1|url=|editor1-last=Malalasekera|editor1-first=G.P.|editor1-link=G. P. Malalasekera|editor2-first=W.G.|editor2-last=Weeraratne|year=2003|publisher=[[Pemerintah Sri Lanka]]|oclc=2863845613|ref={{sfnref|Malalasekera|2003}}}}
* {{Citation|last1=Mathers|first1=Dale|editor1-last=Mathers|editor1-first=Dale|editor2-last=Miller|editor2-first=Melvin E.|editor3-last=Ando|editor3-first=Osamu|encyclopedia=Self and No-Self Continuing the Dialogue Between Buddhism and Psychotherapy|date=2013|publisher=[[Taylor and Francis]]|location=Hoboken|isbn=978-1-317-72386-8|pages=121–131|title=Stop Running|url=https://books.google.com/?id=WVpcAgAAQBAJ}}
* {{Citation|last1=Mathers|first1=Dale|editor1-last=Mathers|editor1-first=Dale|editor2-last=Miller|editor2-first=Melvin E.|editor3-last=Ando|editor3-first=Osamu|encyclopedia=Self and No-Self Continuing the Dialogue Between Buddhism and Psychotherapy|date=2013|publisher=[[Taylor and Francis]]|location=Hoboken|isbn=978-1-317-72386-8|pages=121–131|title=Stop Running|url=https://books.google.com/?id=WVpcAgAAQBAJ}}
* {{cite encyclopedia|last1=McDonald|first1=Joseph|editor1-last=McDonald|editor1-first=Joseph|encyclopedia=Exploring Moral Injury in Sacred Texts|date=2017|publisher=[[Jessica Kingsley Publishers]]|title=Introduction|isbn=978-1-78450-591-2|url=https://books.google.com/?id=2-YpDgAAQBAJ|ref={{sfnref|McDonald|2017}}}}
* {{Citation|last1=Mudagamuwa|first1=Maithrimurthi|last2=Von Rospatt|first2=Alexander|title=Review of How Buddhism Began: The Conditioned Genesis of the Early Teachings|journal=[[Indo-Iranian Journal]]|date=1998|volume=41|issue=2|pages=164–179|jstor=24663383}}
* {{Citation|last1=Mudagamuwa|first1=Maithrimurthi|last2=Von Rospatt|first2=Alexander|title=Review of How Buddhism Began: The Conditioned Genesis of the Early Teachings|journal=[[Indo-Iranian Journal]]|date=1998|volume=41|issue=2|pages=164–179|jstor=24663383}}
* {{cite journal |last1=Wang-Toutain |first1=Françoise |title=Pas de boissons alcoolisées, pas de viande : une particularité du bouddhisme chinois vue à travers les manuscrits de Dunhuang |trans-title=No alcoholic beverages, no meat: one particular characteristic of Chinese Buddhism, seen through the manuscripts of Dunhuang |journal=[[Cahiers d'Extrême-Asie]] |date=1999 |volume=11 |issue=1 |doi=10.3406/asie.1999.1151 |url=https://www.persee.fr/doc/asie_0766-1177_1999_num_11_1_1151 |language=fr|ref={{sfnref|Wang-Toutain|1999}}}}
* {{cite news|title=Movie based on Buddhist character needs new title|url=http://buddhistnews.tv/current/ongkulimal-020403.php|first=Wassayos|last=Ngamkham|work=[[Bangkok Post]]|archive-url=https://web.archive.org/web/20030404002110/http://buddhistnews.tv/current/ongkulimal-020403.php|archive-date=4 April 2003|dead-url=yes|date=2 April 2003|ref={{sfnref|Ngamkham 1|2003}}}}
* {{cite news|first=Wassayos|last=Ngamkham|date=10 April 2003|title=Censors allow film to be shown|work=[[Asia Africa Intelligence Wire]]|ref={{sfnref|Ngamkham 2|2003}}}}
* {{cite book|last=Norman |first=K.R. |author-link=K.R. Norman |title=A Philological Approach to Buddhism: The Bukkyō Dendō Kyōkai Lectures |url=https://ahandfulofleaves.files.wordpress.com/2011/11/a-philological-approach-to-buddhism_norman_tbf_1997.pdf |year=1994 |publisher=[[School of Oriental and African Studies]], [[University of London]] |ref={{sfnref|Norman|1994}}}}
* {{cite encyclopedia|last1=Parkum|first1=Virginia Cohn|last2=Stultz|first2=J. Anthony|editor1-last=Queen|editor1-first=Christopher S.|encyclopedia=Engaged Buddhism in the West|date=2012|publisher=[[Wisdom Publications]]|title=The Aṅgulimāla Lineage: Buddhist Prison Ministries|isbn=978-0-86171-841-2|url=https://books.google.com/?id=NzY6AwAAQBAJ|ref={{sfnref|Parkum|Stultz|2012}}}}
* {{cite web|last1=Shrestha|first1=Mathura P.|author-link=Mathura P. Shrestha|title=Human Rights including Economic, Social and Cultural Rights: Theoretical and Philosophical Basis|url=http://cffn.ca/2007/01/human-rights-including-economic-social-and-cultural-rights-theoretical-and-philosophical-basis/|archive-url=https://web.archive.org/web/20180507182406/http://cffn.ca/2007/01/human-rights-including-economic-social-and-cultural-rights-theoretical-and-philosophical-basis/|archive-date=8 May 2018|dead-url=no|website=Canada Foundation for Nepal|accessdate=4 May 2018|date=9 January 2007|ref={{sfnref|Shrestha|2007}}}}
* {{cite book|last=Swearer|first=D.K.|year=2010|title=The Buddhist World of Southeast Asia|publisher=[[SUNY Press]]|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/The%20Buddhist%20World%20of%20Southeast%20Asia_Swearer.pdf|isbn=978-1-4384-3251-9|ref={{sfnref|Swearer|2010}}|access-date=2018-09-12|archive-date=2018-06-12|archive-url=https://web.archive.org/web/20180612144423/http://www.ahandfulofleaves.org/documents/The%20Buddhist%20World%20of%20Southeast%20Asia_Swearer.pdf|dead-url=yes}}
* {{Citation|last1=Thompson|first1=John|title=Ahimsā and its Ambiguities: Reading the Story of Buddha and Aṅgulimāla|journal=[[Open Theology]]|date=3 January 2015|volume=1|issue=1|pages=160–74|doi=10.1515/opth-2015-0005}}
* {{Citation|last1=Thompson|first1=John|title=Ahimsā and its Ambiguities: Reading the Story of Buddha and Aṅgulimāla|journal=[[Open Theology]]|date=3 January 2015|volume=1|issue=1|pages=160–74|doi=10.1515/opth-2015-0005}}
* {{Citation|last1=Thompson|first1=John|editor1-last=McDonald|editor1-first=Joseph|encyclopedia=Exploring Moral Injury in Sacred Texts|date=2017|publisher=[[Jessica Kingsley Publishers]]|title=Buddhist Scripture and Moral Injury|isbn=978-1-78450-591-2|url=https://books.google.com/?id=2-YpDgAAQBAJ|pages=169–90}}
* {{Citation|last1=Thompson|first1=John|editor1-last=McDonald|editor1-first=Joseph|encyclopedia=Exploring Moral Injury in Sacred Texts|date=2017|publisher=[[Jessica Kingsley Publishers]]|title=Buddhist Scripture and Moral Injury|isbn=978-1-78450-591-2|url=https://books.google.com/?id=2-YpDgAAQBAJ|pages=169–90}}
* {{cite journal|last=Van Daele|first=W.|year=2013|title=Fusing Worlds of Coconuts: The Regenerative Practice in Precarious Life-Sustenance and Fragile Relationality in Sri Lanka|journal=The South Asianist|issn=2050-487X|url=http://www.southasianist.ed.ac.uk/article/view/85/123|archive-url=https://perma-archives.org/warc/20180507180509/http://www.southasianist.ed.ac.uk/article/view/85/123|archive-date=2018-05-07|dead-url=no|volume=2|issue=2|ref={{sfnref|Van Daele|2013}}|access-date=2018-09-19}}
* {{Citation |last1=van Oosten |first1=Karel |title=Kamma and Forgiveness with some Thoughts on Cambodia |journal=Exchange |date=1 June 2008 |volume=37 |issue=3 |pages=237{{en dash}}62 |doi=10.1163/157254308X311974}}
* {{Citation |last1=van Oosten |first1=Karel |title=Kamma and Forgiveness with some Thoughts on Cambodia |journal=Exchange |date=1 June 2008 |volume=37 |issue=3 |pages=237{{en dash}}62 |doi=10.1163/157254308X311974}}
* {{cite journal|last1=Wilkens|first1=Jens|title=Studien Zur Alttürkischen Daśakarmapathāvadānamālā (2): Die Legende Vom Menschenfresser Kalmāṣapāda|trans-title=Studies of the Old Turkish Daśakarmapathāvadānamālā (2): The Legend of the Man-eater Kalmāṣapāda|language=de|journal=[[Acta Orientalia Academiae Scientiarum Hungaricae]]|date=2004|volume=57|issue=2|jstor=23658630|ref={{sfnref|Wilkens|2004}}}}
* {{Citation|last1=Wilson|first1=Liz|title=Murderer, Saint and Midwife|editor1-last=Holdrege|editor1-first=Barbara A.|editor2-last=Pechilis|editor2-first=Karen|encyclopedia=Refiguring the Body: Embodiment in South Asian Religions|date=2016|publisher=[[SUNY Press]]|isbn=978-1-4384-6315-5|pages=285–300|url=https://books.google.com/?id=--nMDQAAQBAJ}}
* {{Citation|last1=Wilson|first1=Liz|title=Murderer, Saint and Midwife|editor1-last=Holdrege|editor1-first=Barbara A.|editor2-last=Pechilis|editor2-first=Karen|encyclopedia=Refiguring the Body: Embodiment in South Asian Religions|date=2016|publisher=[[SUNY Press]]|isbn=978-1-4384-6315-5|pages=285–300|url=https://books.google.com/?id=--nMDQAAQBAJ}}
* {{cite book|title=Prüfung und Initiation im Buche Pausya und in der Biographie des Nāropa|language=de|trans-title=Test and Initiation in the Book Pauṣya and in the Biography of Nāropa|last=Wilhelm|first=Cf. F.|location=Wiesbaden|year=1965|ref={{sfnref|Wilhelm|1965}}}}
* {{Citation |url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Ascetic%20Figures%20Before%20and%20in%20Early%20Buddhism_Wiltshire.pdf |archive-url=https://perma.cc/7VJ6-CFYH|archive-date=7 May 2018|dead-url=no|last1=Wiltshire |first1=M. G. |title=Ascetic Figures before and in Early Buddhism|date=1984|publisher=[[Mouton de Gruyter]]|isbn=3-11-009896-2}}
* {{Citation|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Ascetic%20Figures%20Before%20and%20in%20Early%20Buddhism_Wiltshire.pdf|archive-url=https://perma-archives.org/warc/20180507180551/http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Ascetic%20Figures%20Before%20and%20in%20Early%20Buddhism_Wiltshire.pdf|archive-date=2018-05-07|dead-url=no|last1=Wiltshire|first1=M. G.|title=Ascetic Figures before and in Early Buddhism|date=1984|publisher=[[Mouton de Gruyter]]|isbn=3-11-009896-2|accessdate=2018-09-10}}
* {{Citation|last1=Zin|first1=Monika|editor1-last=Jarrige|editor1-first=Catherine|editor2-last=Levèfre|editor2-first=Vincent|title=The Unknown Ajanta Painting of the Aṅgulimāla Story|date=2005|publisher=Éditions Recherche sur les Civilisations|isbn=2865383016|pages=705–13|series=Proceedings of the sixteenth international conference of the European Association of South Asian Archaeologists: held in the Collège de France, Paris, 2–6 July 2001|volume=2|url=https://www.academia.edu/6115591/The_Unknown_Ajanta_Painting_of_the_A%E1%B9%85gulim%C4%81la_Story_in_South_Asian_Archaeology_2001._Proceedings_of_the_Sixteenth_International_Conference_of_the_European_Association_of_South_Asian_Archaeologists_held_in_Coll%C3%A8ge_de_France_Paris_2-6_July_2001_1-2_ed._C._Jarrige_V._Lef%C3%A8vre._Paris_2005_pp..|archive-url=https://perma.cc/DD6B-KZTN|archive-date=30 April 2018|dead-url=no}}
* {{Citation|last1=Zin|first1=Monika|editor1-last=Jarrige|editor1-first=Catherine|editor2-last=Levèfre|editor2-first=Vincent|title=The Unknown Ajanta Painting of the Aṅgulimāla Story|date=2005|publisher=Éditions Recherche sur les Civilisations|isbn=2865383016|pages=705–13|series=Proceedings of the sixteenth international conference of the European Association of South Asian Archaeologists: held in the Collège de France, Paris, 2–6 July 2001|volume=2|url=https://www.academia.edu/6115591/The_Unknown_Ajanta_Painting_of_the_A%E1%B9%85gulim%C4%81la_Story_in_South_Asian_Archaeology_2001._Proceedings_of_the_Sixteenth_International_Conference_of_the_European_Association_of_South_Asian_Archaeologists_held_in_Coll%C3%A8ge_de_France_Paris_2-6_July_2001_1-2_ed._C._Jarrige_V._Lef%C3%A8vre._Paris_2005_pp..|archive-url=https://perma-archives.org/warc/20180507180529/https://www.academia.edu/6115591/The_Unknown_Ajanta_Painting_of_the_A%E1%B9%85gulim%C4%81la_Story_in_South_Asian_Archaeology_2001._Proceedings_of_the_Sixteenth_International_Conference_of_the_European_Association_of_South_Asian_Archaeologists_held_in_Coll%C3%A8ge_de_France_Paris_2-6_July_2001_1-2_ed._C._Jarrige_V._Lef%C3%A8vre._Paris_2005_pp..|archive-date=2018-05-07|dead-url=no|accessdate=2018-09-10}}
{{refend}}
{{refend}}


== Pranala luar ==
== Pranala luar ==
{{commonscat|Angulimala}}
* [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/thag/thag.16.08.than.html Theragāthā], canonical [[Pāli]] verses about Aṅgulimāla, translated by [[Thanissaro Bhikkhu]]
* [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.086.than.html Aṅgulimāla Sutta: About Aṅgulimāla], translated from the Pāli [[sutra|discourses]] by [[Thanissaro Bhikkhu]]
* [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/thag/thag.16.08.than.html Theragāthā], diterjemahkan dari bahasa [[Pāli]] oleh [[Thanissaro Bhikkhu]]
* [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.086.than.html Aṅgulimāla Sutta: About Aṅgulimāla], diterjemahkan dari bahasa Pāli oleh [[Thanissaro Bhikkhu]]
* [https://dharma-documentaries.net/angulimala 2003 film about Aṅgulimāla]
* [https://dharma-documentaries.net/angulimala Film tahun 2003 tentang Aṅgulimāla]
* [http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/hecker/wheel312.html Angulimala: A Murderer's Road to Sainthood], written by Hellmuth Hecker, based on Pāli sources
* [http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/hecker/wheel312.html Angulimala: A Murderer's Road to Sainthood], ditulis oleh Hellmuth Hecker, berdasarkan sumber-sumber Pāli
* [http://www.buddhanet.net/pdf_file/angulimala6.pdf Angulimala], written by G.K. Ananda Kumarasiri
* [http://www.buddhanet.net/pdf_file/angulimala6.pdf Angulimala], ditulis oleh G.K. Ananda Kumarasiri


{{Topik Buddhisme}}
{{Topik Buddhisme}}
{{artikel pilihan}}

{{authority control}}
{{authority control}}


[[Kategori:Murid Buddha Gautama]]
[[Kategori:Murid Buddha Gautama]]
[[Kategori:Buddhisme]]
[[Kategori:Theravada]]

Revisi terkini sejak 11 Januari 2024 18.25

Angulimala
Ilustrasi Angulimala sedang mencoba mengejar Buddha Gautama.
Nama lainAhiṃsaka, Gagga Mantānīputta
Informasi pribadi
Lahir
AgamaBuddhisme
KebangsaanIndia
PendidikanTaxila
Kedudukan senior
GuruBuddha Gautama
Terjemahan dari
Angulimala
Indonesiaarti harfiah: "Untaian Jari"
InggrisFinger Necklace
PaliAṅgulimāla
SanskritAṅgulimāliya, Aṅgulimālya[1]
Tionghoa央掘魔羅
(PinyinYāngjuémóluó)
Myanmarအင်္ဂုလိမာလ
(MLCTS: ʔɪ̀ɴɡṵlḭmàla̰)
Thaiองคุลิมาล, องคุลีมาล
(RTGS: Ongkhuliman)
Khmerអង្គុលីមាល៍
(Ankulimea)
Sinhalaඅංගුලිමාල
Daftar Istilah Buddhis

Angulimala (Bahasa Pāli; artinya 'untaian jari')[1][2] adalah salah satu tokoh penting dalam agama Buddha, terutama dalam tradisi Theravāda. Ia digambarkan sebagai perampok bengis yang sepenuhnya bertobat setelah mengikuti ajaran Sang Buddha. Kisahnya menjadi contoh terkemuka dalam hal pertobatan dan contoh kecakapan Sang Buddha sebagai guru. Angulimala dipandang oleh umat Buddha sebagai pelindung bagi wanita yang sedang melahirkan, dan dikaitkan dengan kesuburan di Asia Selatan dan Tenggara.

Cerita Angulimala dapat ditemukan pada sejumlah pustaka berbahasa Pāli, Sanskerta, Tibet, dan Tionghoa. Angulimala lahir dengan nama Ahiṃsaka. Ia tumbuh sebagai pemuda cerdas di Sawati, dan saat bersekolah, ia menjadi murid kesayangan guru. Karena teman-temannya iri, ia dijebak agar diusir gurunya. Dalam upaya menyingkirkan Angulimala, sang guru memberinya misi berbahaya, yaitu mengumpulkan seribu jari manusia sebagai syarat menamatkan pendidikan. Dalam upaya menuntaskan misi tersebut, Angulimala akhirnya menjadi perampok keji, membunuh banyak orang, dan menyebabkan seluruh warga desa mengungsi. Peristiwa tersebut menyebabkan Raja Pasenadi dari Kosala mengirim tentara untuk menangkapnya. Sementara itu, ibu Angulimala berniat turun tangan, yang membuatnya nyaris dibunuh oleh Angulimala. Sang Buddha mencegah hal itu terjadi dengan memakai kesaktian dan ajarannya untuk membawa Angulimala ke jalan yang benar. Angulimala kemudian menjadi pengikut Buddha, dan menjadi seorang bhikkhu di bawah bimbingan Sang Buddha, sehingga mengejutkan raja dan masyarakat. Meskipun telah bertobat, para penduduk desa masih marah dengan apa yang telah dilakukan oleh Angulimala, tetapi keadaan membaik saat Angulimala menolong seorang ibu yang sedang melahirkan dengan sebuah tindak kebajikan.

Para cendekiawan berteori bahwa Angulimala adalah bagian dari kultus kekerasan sebelum ia bertobat. Indolog Richard Gombrich menyatakan bahwa ia adalah pengikut bentuk awal ajaran Tantra, tetapi klaim tersebut telah dibantah. Umat Buddha menganggap Angulimala sebagai lambang transformasi spiritual, dan ceritanya adalah sebuah pelajaran bahwa kehidupan setiap orang dapat menjadi lebih baik, bahkan bagi orang-orang yang tampaknya tidak memiliki kemungkinan begitu. Selain itu, cerita Angulimala menjadi bahan diskusi tentang keadilan dan rehabilitasi di kalangan cendekiawan, dan dipandang oleh teolog John Thompson sebagai contoh bagus dalam mengatasi luka moral, serta etika kepedulian. Angulimala menjadi subjek film dan sastra, seperti film Thailand yang berjudul Angulimala (2003). Sementara itu, buku The Buddha and the Terrorist karya Satish Kumar mengadaptasi cerita tersebut sebagai tanggapan tanpa kekerasan terhadap perang melawan terorisme.

Sumber pustaka dan epigrafi

Buddhaghoṣa, salah satu pengulas kisah Angulimala dari abad ke-5 M; ia digambarkan di bagian kanan

Cerita Angulimala sangat dikenal dalam tradisi Buddhis, terutama Theravāda.[3] Dua naskah dalam pustaka Buddhis berbahasa Pali mencatat kisah Angulimala dengan Sang Buddha dari pertemuan pertama mereka hingga pertobatan Angulimala, dan diyakini merupakan versi tertua dari cerita tersebut.[4][5][note 1] Naskah pertama adalah Theragathā (kemungkinan merupakan karya yang tertua),[3] dan yang kedua adalah Sutta Aṅgulimāla dalam Majjhima Nikāya.[7] Kedua naskah tersebut memberikan uraian singkat tentang pertemuan Angulimala dengan Sang Buddha, dan tak mencatat berbagai kisah latar belakang yang kemudian digabungkan ke dalam cerita tersebut (seperti Angulimala menyatakan sumpah kepada gurunya).[8][3] Selain naskah-naskah Pāli, kehidupan Angulimala juga disebutkan dalam naskah berbahasa Tibet dan Tionghoa, yang bermula dari Sanskerta.[8][5] Kumpulan cerita Sanskerta berjudul Saṃyuktāgama dari mazhab Mūlasārwastiwāda kuno telah diterjemahkan ke dalam dua naskah Tionghoa (pada abad ke-4 sampai ke-5 Masehi) oleh mazhab Sarwāstiwāda dan Kāśyapīya kuno, dan juga memuat berbagai versi dari cerita tersebut.[9][5][10] Sebuah naskah yang diterjemahkan ke bahasa Tionghoa dari naskah Sanskerta Ekottara Agāma oleh mazhab Mahāsaṃghika juga diketahui. Selain itu, tiga naskah Tionghoa lainnya yang berkisah tentang Angulimala juga ditemukan, yang tak diketahui asal usulnya tetapi berbeda dengan tiga naskah Tionghoa pertama.[11]

Selain naskah-naskah kuno tersebut, ada juga kisah tambahan berikutnya, yang muncul dalam ulasan tentang Majjhima Nikāya yang diatribusikan kepada Buddhaghosa (abad ke-5 M), dan ulasan tentang Theragathā yang diatribusikan kepada Dhammapāla (abad ke-6 M).[8] Dua ulasan tersebut tampaknya tidak dibuat sendiri-sendiri: Dhammapāla tampaknya telah menyalin atau hampir menafsirkan tulisan Buddhaghosa, meskipun menambahkan penjelasan tentang sejumlah inkonsistensi.[4][5] Kisah terawal tentang kehidupan Angulimala menekankan sifat kejamnya dan menyandingkannya dengan sifat damai Sang Buddha. Kisah-kisah berikutnya dimaksudkan untuk menambahkan detail dan mengklarifikasi hal-hal yang tak sesuai dengan ajaran Buddha.[12]

Sebagai contoh, suatu masalah yang mungkin menimbulkan pertanyaan adalah perubahan mendadak dari seorang pembunuh menjadi murid tercerahkan; kisah-kisah berikutnya mencoba untuk menjelaskan hal tersebut.[13] Namun, kisah-kisah berikutnya juga mencantumkan berbagai mukjizat dengan sejumlah detail peristiwa yang cenderung mengalihkan maksud utama cerita.[14] Pustaka-pustaka Pāli kuno (bahasa Pali: sutta) tak menjelaskan alasan atas tindakan Angulimala, selain kekejaman belaka.[15] Sejumlah naskah pada masa berikutnya menunjukkan usaha para cendekiawan untuk "memperbaiki" karakter Angulimala, menjadikannya tampak sebagai manusia yang pada dasarnya baik tetapi terjebak oleh keadaan, daripada sekadar pembunuh keji semata.[16][17] Selain sutta dan paritta, ada pula kisah-kisah Jātaka, Milindapañhā, dan sebagian peraturan bagi biksu dan biksuni yang berkaitan dengan Angulimala, serta kronik Mahāwaṃsa pada masa berikutnya.[18]

Naskah-naskah pada masa berikutnya dalam berbagai bahasa yang berkaitan dengan kehidupan Angulimala meliputi naskah Awadāna berjudul Sataka,[19] serta kumpulan cerita berikutnya yang berjudul Kisah tentang Orang Bijaksana dan Orang Dungu, yang tersedia dalam bahasa Tibet dan Tionghoa.[20] Ada pula catatan perjalanan para peziarah Tionghoa yang menyebut Angulimala secara singkat.[21] Selain uraian kehidupan Angulimala, terdapat pustaka Mahāyāna berjudul Sūtra Aṅgulimālīya, yang berisi ceramah Buddha Gautama kepada Angulimala. Ini adalah salah satu Sūtra Tathāgatagarbha, sekelompok pustaka yang menjelaskan tentang sifat kebuddhaan.[1][22] Terdapat sūtra lain dengan judul yang sama, yang disebut-sebut dalam berbagai naskah Tionghoa, yang dipakai untuk mendukung pantangan umat Buddha dalam mengkonsumsi minuman beralkohol. Namun, naskah tersebut tak ditemukan.[23] Selain bukti tekstual, bukti epigrafi kuno juga ditemukan. Salah satu relief kuno yang menggambarkan Angulimala dibuat sekitar abad ke-3 SM.[24]

Cerita

Kelahiran sebelumnya

Berbagai pustaka mengisahkan kehidupan masa lampau sebelum Angulimala lahir dan bertemu Buddha Gautama. Pada kehidupan sebelumnya, ia lahir sebagai raja pemakan manusia yang berubah menjadi yaksa (sejenis siluman; bahasa Pali: yakkha; Sanskerta: yakṣa),[25][26] yang tercatat dalam sejumlah pustaka dengan nama Saudāsa.[27] Saudāsa mulai gemar menyantap daging manusia setelah dihidangkan daging jenazah bayi. Setelah ketagihan, rakyatnya mulai mengkhawatirkan keselamatan anak-anak mereka sehingga ia diusir dari kerajaannya sendiri.[28][note 2] Setelah berubah menjadi siluman, Saudāsa bertemu seorang dewa yang berjanji dapat memulihkan status Saudāsa sebagai raja jika ia berhasil mengurbankan seratus raja.[26] Ketika 99 raja telah dikurbankan, raja ke-100 yang bernama Sutasoma berhasil mengubah pikiran Saudāsa, menjadikannya orang yang religius dan membuatnya berhenti melakukan tindak kekerasan. Dalam pustaka, Sutasoma diidentifikasikan sebagai bakal Buddha Gautama,[26][27] dan Saudāsa sebagai bakal dari Angulimala.[29]

Namun, menurut Ekottara Agāma, pada kehidupan sebelumnya Angulimala adalah seorang putra mahkota yang bersifat baik sehingga membuat iri para musuhnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir di tangan musuh-musuhnya, ia bersumpah akan membalas dendam, dan mencapai Nirwana di bawah bimbingan seorang guru, pada kehidupan berikutnya. Versi tersebut kesannya memberikan pembenaran atas tindak pembunuhan yang dilakukan Angulimala.[30]

Masa muda

Reruntuhan Taxila, sekarang di Pakistan. Taxila adalah tempat Angulimala berguru.

Menurut sebagian besar pustaka, Angulimala lahir di Sāwatī (sekarang di Uttar Pradesh, India),[27][note 3] dalam keluarga brahmana (agamawan) dari klan Gagga. Ayahnya bernama Bhaggava, seorang pendeta yang mengabdi pada Raja Pasenadi, penguasa Kosala sedangkan ibunya bernama Mantānī.[19] Menurut kitab-kitab ulasan, sejumlah pertanda yang mengiringi kelahiran anak tersebut (senjata-senjata mengeluarkan cahaya dan kemunculan "rasi bintang maling" di langit)[19] memberi isyarat bahwa ia akan menjadi penjahat.[25][31] Saat ayahnya menafsirkan pertanda-pertanda tersebut, sang raja bertanya apakah anak tersebut akan menjadi perampok tunggal atau memimpin kelompok penjahat. Setelah Bhaggava menjawab bahwa ia akan menjadi perampok tunggal, raja memutuskan untuk membiarkannya hidup.[31]

Buddhaghosa menyatakan bahwa sang ayah menamai anaknya Ahiṃsaka, yang artinya 'orang tak berbahaya'.[19] Ini berasal dari kata ahiṃsa (tanpa kekerasan), karena tak ada orang yang tersakiti pada masa kelahirannya, meskipun ada pertanda-pertanda buruk.[1] Menurut ulasan dari Dhammapāla, awalnya ia dinamai Hiṃsaka ('orang berbahaya') oleh sang raja yang khawatir, tetapi nama tersebut kemudian diganti.[19]

Saat dewasa, Ahiṃsaka menjadi orang yang tampan, cerdas, dan berperilaku baik.[25][9] Sebagai pengakuan atas prestasi akademiknya yang luar biasa dan latar belakang keluarganya dari Brahmana yang terhormat, ia terpilih masuk ke Universitas Taxila yang tersohor. Selain itu, ia diberi hak istimewa untuk belajar di bawah bimbingan guru terkemuka, Acariya Disapamuk.[32] Di sana, ia unggul dalam pelajaran dan menjadi murid kesayangan gurunya, serta mendapatkan hak-hak khusus di rumah gurunya. Namun, murid-murid yang lain menjadi iri dengan kemampuan Ahiṃsaka dan berusaha agar ia dimusuhi guru.[19] Akhirnya, mereka menuduh Ahiṃsaka menggoda istri gurunya.[25] Karena tak berniat atau tak dapat menyerang Ahiṃsaka secara langsung,[note 4] sang guru berkata bahwa pendidikan Ahiṃsaka sebenarnya hampir selesai, tetapi ia harus memberikan tanda terima kasih kepada gurunya, sebelum sang guru menyatakan kelulusannya. Sebagai pembayaran, sang guru meminta seribu jari manusia, masing-masing diambil dari orang yang berbeda, karena berpikir bahwa Angulimala pasti terbunuh dalam upaya memenuhi permintaan yang mengerikan itu.[19][9][note 5] Menurut Buddhaghosa, Ahiṃsaka menentangnya, dengan berkata bahwa ia berasal dari keluarga baik-baik, tetapi sang guru membujuknya.[36] Namun, menurut sumber-sumber lain, Ahiṃsaka tak menentang perintah gurunya.[25]

Dalam versi lain diceritakan bahwa istri gurunya berniat untuk menggoda Ahiṃsaka. Karena Ahiṃsaka menolak, ia menjadi tak senang dan berkata kepada suaminya bahwa Ahiṃsaka telah berusaha untuk menggodanya. Kemudian kisah tersebut berlanjut ke jalan cerita yang sama.[1][9]

Hidup sebagai perampok

Relief Angulimala sedang mengejar sang Buddha, dari kuil Wat Maisuwankiri di Tumpat, Malaysia.

Setelah diperintahkan oleh gurunya, akhirnya Angulimala menjadi seorang penyamun, berdiam di ngarai di tengah hutan bernama Jālinī, untuk mengintai orang-orang berlalu lalang, lalu membunuh atau melukai mereka.[38][19][25] Ia masyhur akan kecakapannya dalam membegal para korbannya.[39] Setelah orang-orang menghindari jalur tersebut, ia memasuki pemukiman dan menyeret warga dari rumah mereka untuk dibunuh. Akhirnya seluruh warga mengungsi.[19][36] Ia tak pernah merampas baju atau perhiasan dari para korbannya, melainkan hanya jari-jari mereka saja.[36] Sebagai pengingat berapa jumlah korban yang didapatkan, ia menguntai jari-jari tersebut lalu menggantungnya di pohon. Namun, karena sisa daging pada jari-jari tersebut menjadi incaran burung-burung, ia mengenakannya seperti sebuah "kalung". Akhirnya ia dikenal sebagai Angulimala, yang artinya 'kalung jari' atau 'untaian jari'.[1][36] Dalam beberapa relief, ia digambarkan mengenakan hiasan kepala dari jari, bukan kalung.[40]

Bertemu Sang Buddha

Lukisan di sebuah wihara di Sravasti, India, yang menggambarkan Angulimala sedang mencoba mengejar Buddha Gautama.

Para penduduk desa yang masih hidup akhirnya mengungsi dari wilayah tersebut, dan mengeluh kepada Pasenadi, raja Kosala.[41][42] Pasenadi menanggapinya dengan mengirim 500 prajurit untuk memburu Angulimala.[43] Sementara itu, orang tua Angulimala mendengar kabar bahwa Pasenadi memburu seorang penjahat. Karena Angulimala lahir dengan pertanda-pertanda buruk, mereka berpikir bahwa yang diburu pasti dia. Kendati ayahnya tidak mau ikut campur,[note 6] ibunya tetap cemas.[41][42][note 7] Karena mengkhawatirkan keselamatan putranya, ia memutuskan untuk menemukan Angulimala, agar dapat memberi tahu niat sang raja, serta mengajak putranya pulang.[44][25] Menurut Buddhaghosa, dengan menggunakan mata batin (bahasa Pali: abhiñña), Sang Buddha mengetahui bahwa Angulimala telah menjagal 999 orang, dan bersusah payah mendapatkan yang ke-1000.[45][note 8] Jika Sang Buddha mendatangi Angulimala pada hari itu, Angulimala akan menjadi biksu, lalu meraih abhiñña.[45] Namun, jika Angulimala malah membunuh ibunya, sang ibu akan menjadi korban ke-1000, sementara Angulimala tak akan terselamatkan,[1][42] karena menurut ajaran Buddha, pembunuhan terhadap ibu sendiri diyakini sebagai salah satu dari lima macam karma terburuk yang dapat dilakukan seseorang.[47][48]

Sang Buddha memutuskan untuk mendatangi Angulimala,[19] meskipun diperingati oleh para warga desa agar mengurungkan niatnya.[15][49] Di tengah jalan yang menembus hutan Kosala, mula-mula Angulimala melihat ibunya.[1] Menurut beberapa versi cerita, ia jadi teringat kembali akan ibunya yang dulu senantiasa menyediakan makanan untuknya.[50] Namun, setelah melakukan pertimbangan, ia memutuskan untuk menjadikan ibunya sebagai korban ke-1000. Namun saat Sang Buddha juga datang, ia memilih Sang Buddha sebagai pengganti ibunya. Setelah menghunus pedang, ia berlari ke arah Sang Buddha. Berdasarkan kepercayaan Buddhisme, meskipun Angulimala berlari secepat mungkin, ia tak kunjung berhasil menggapai Sang Buddha yang berjalan tenang.[1] Diyakini penyebabnya adalah sejumlah kesaktian (bahasa Pali: iddhi; Sanskerta: ṛddhi) yang dipakai Buddha untuk menghadapi Angulimala:[39][5] dalam suatu pustaka dinyatakan bahwa Sang Buddha memakai kekuatan tersebut untuk mengendalikan dan meregangkan ruang di antara mereka, sehingga dapat menjaga jarak dengan Angulimala.[51] Akhirnya Angulimala putus asa sehingga ia meminta Sang Buddha untuk berhenti. Sang Buddha kemudian berkata bahwa ia sendiri telah berhenti, dan seharusnya Angulimala-lah yang berhenti:[1][52]

Angulimala, aku telah berhenti selamanya (bahasa Pali: ṭhita), aku bebas dari kekerasan terhadap makhluk hidup (bahasa Pali: daṇḍa); tetapi engkau tidak punya pengendalian diri (bahasa Pali: asaññato) terhadap makhluk-makhluk hidup; itulah sebabnya aku telah berhenti dan engkau belum.[39][53]

Angulimala bertanya untuk penjelasan lebih lanjut, dan akhirnya Sang Buddha berkata bahwa seorang biksu yang baik harus mengendalikan keinginannya.[54] Angulimala terkesima oleh keberanian Sang Buddha,[55] dan menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.[56] Setelah mendengarkan khotbah Buddha, akhirnya Angulimala bertobat, lalu bersumpah untuk meletakkan senjata dan bergabung dengan Sangha Buddha.[57][58][59] Ia ditahbiskan di biara Jetawana.[44]

Pertobatan dan kematian

Ilustrasi Angulimala meletakkan senjata di hadapan Sang Buddha, menunjukkan pertobatannya. Lukisan di sebuah wihara di Hat Yai, Thailand Selatan.

Sementara itu, Raja Pasenadi masih berniat untuk membunuh Angulimala. Mula-mula ia mengunjungi Sang Buddha dan para pengikutnya di Jetavana.[11] Ia menjelaskan keperluannya kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha menanyakan bagaimana tanggapan sang raja apabila ia mendapati bahwa Angulimala telah bertobat dan menjadi biksu. Sang raja berkata bahwa ia akan menghormati Angulimala dan menanggung kehidupannya di wihara. Lalu Sang Buddha menyatakan bahwa Angulimala dengan rambut dan jenggot yang telah dipotong sedang duduk dengan jarak beberapa kaki darinya sebagai anggota Sangha Buddha. Dengan perasaan takjub bercampur senang, sang raja memanggil Angulimala dengan nama klan dan ibunya (bahasa Pali: Gagga Mantānīputta) dan menyumbangkan jubah kepadanya. Namun, Angulimala tidak mau menerima hadiah tersebut, karena sedang menjalankan pengendalian diri.[19][9]

Pada akhirnya, sang raja mengampuni Angulimala. Pernyataan tersebut diakui oleh ahli agama Buddha André Bareau yang mengamati bahwa terdapat kesepakatan tak tertulis untuk tidak saling turut campur antara Sang Buddha dengan para raja dan penguasa pada masa itu.[60] Kemudian, Angulimala melihat seorang wanita muda yang mengalami kesulitan saat melahirkan.[note 9] Angulimala merasa tergerak, dan memahami rasa sakit serta belas kasihan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya saat masih menjadi perampok.[61][59][46] Ia mendatangi Sang Buddha dan menanyakan apakah ia dapat mengurangi penderitaan wanita tersebut. Sang Buddha menganjurkan Angulimala untuk pergi mendatangi wanita tersebut dan berkata:

Saudari, sejak saya terlahir, saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga Anda sejahtera dan bayi Anda sejahtera![53]

Angulimala menekankan bahwa ini akan menjadi ketidakbenaran baginya untuk berkata demikian, sehingga Sang Buddha menanggapinya dengan kalimat berbeda:

Saudari, sejak saya terlahir dengan kelahiran mulia, saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga Anda sejahtera dan bayi Anda sejahtera!.[53][1]

Di sini Sang Buddha menekankan tekad Angulimala yang memilih untuk menjadi seorang biksu,[1] menyatakannya sebagai kelahiran kedua yang bertolak belakang dengan kehidupan sebelumnya sebagai perampok.[62][15] Jāti artinya kelahiran, tetapi kata tersebut juga diberi keterangan dalam ulasan pustaka berbahasa Pāli sebagai klan atau garis keturunan (bahasa Pali: gotta). Oleh sebab itu, kata jāti disini juga merujuk kepada garis perguruan para Buddha, yaitu komunitas Sangha.[63]

Setelah Angulimala melakukan "tindak kebajikan" tersebut, sang wanita melahirkan anaknya dengan selamat. Paritta tersebut kemudian menjadi salah satu paritta perlindungan, yang umumnya disebut paritta Aṅgulimāla.[64][1] Sejumlah anggota Sangha senantiasa membacakan paritta tersebut saat memberkati wanita hamil di negara-negara berpenganut Theravāda,[65][66] dan kerap menghafalkannya sebagai bagian dari pelatihan Sangha.[50] Maka, Angulimala sering dipandang sebagai "pelindung" persalinan oleh para pengikut Buddha. Perubahan dari seorang pembunuh menjadi orang yang memberikan perlindungan atas kelahiran merupakan transformasi besar.[7]

Peristiwa tersebut membantu Angulimala menemukan kedamaian.[61] Setelah menunjukkan tindak kebajikan, ia dianggap "memberikan kehidupan daripada kematian bagi penduduk"[61] dan masyarakat mulai menerimanya serta berderma makanan.[67] Namun, beberapa orang masih tak dapat melupakan bahwa ia bertanggung jawab atas kematian orang-orang yang mereka cintai. Dengan tongkat dan batu, mereka menyerangnya saat ia meminta-minta sumbangan. Dalam kondisi kepala berdarah, jubah luar robek, dan pata (mangkuk amal) pecah, Angulimala berhasil kembali ke wihara. Sang Buddha menasihati Angulimala agar menerima siksaan tersebut dengan ikhlas hati; ia menyatakan bahwa Angulimala sudah merasakan akibat dari karma yang seharusnya dapat membuatnya terlahir di neraka.[19][1][68] Sebagai murid tercerahkan, batin Angulimala tetap tenang dan tak tergoyahkan.[1] Menurut ajaran Buddha, murid-murid tercerahkan tidak dapat membuat karma baru, tetapi masih dapat merasakan akibat dari karma lama yang pernah mereka lakukan.[69][59] Hasil karma tak terhindarkan, bahkan Sang Buddha pun tak dapat menghentikannya.[70]

Setelah memperbolehkan Angulimala bergabung dengan Sangha, Sang Buddha mengeluarkan aturan yang berlaku sejak saat itu, yaitu melarang diterimanya penjahat sebagai biksu dalam Sangha. Hal ini dikarenakan protes masyarakat terhadap penahbisan perampok "beruntai jari" tersebut.[19][71] Buddhaghosa menyatakan bahwa Angulimala meninggal tak lama setelah menjadi biksu.[19][71] Setelah kematiannya, sebuah diskusi timbul di kalangan biksu tentang alam kehidupan apakah yang dicapai oleh Angulimala. Saat Sang Buddha menyatakan bahwa Angulimala telah mencapai Nirwana, hal tersebut mengejutkan beberapa biksu. Mereka terkejut dan bertanya bagaimana mungkin seseorang yang membunuh banyak orang masih bisa mencapai pencerahan. Sang Buddha menjawab bahwa bahkan setelah melakukan banyak kejahatan, seseorang masih memiliki kemungkinan untuk berubah menjadi lebih baik dan meraih pencerahan.[72]

Analisis

Stupa Angulimala, bagian dari biara Jetawana di Srawasti, Uttar Pradesh, India

Sejarah

Pemberian kenang-kenangan kepada seorang guru merupakan hal yang lazim pada zaman India Kuno. Terdapat contoh dalam "Pauśyaparwa"[note 10] dari wiracarita Mahābhārata. Diceritakan bahwa seorang guru menugaskan muridnya yang bernama Utangka untuk pergi setelah Utangka menyatakan bahwa dirinya layak untuk dipercaya, serta menguasai ajaran Weda dan Dharmasastra. Utangka berkata kepada gurunya:

"Apakah yang dapat saya lakukan untuk menyenangkan hatimu (Sanskerta: kiṃ te priyaṃ karavāni), karena pernah dikatakan: Barang siapa menjawab tanpa [selaras dengan] darma, dan barang siapa yang bertanya tanpa [selaras dengan] darma, maka yang terjadi: seseorang mati atau seseorang memicu permusuhan."

Indolog Friedrich Wilhelm menyatakan bahwa kalimat yang sama tercantum dalam Manusmerti (II:111) dan dalam Wisnusmerti. Menurut ajaran berbasis Weda, dengan berpamitan kepada guru serta berjanji untuk melakukan apapun yang guru mau, dapat memberikan pencerahan atau pencapaian semacam itu. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila Angulimala diceritakan mau melaksanakan perintah kejam dari gurunya meskipun sebenarnya ia orang baik dan murah hati, karena pada akhirnya ia akan meraih pencapaian tertinggi.[73]

Ilustrasi Xuan Zang, peziarah dari Tiongkok (602–64 M). Gagasan bahwa Angulimala adalah bagian dari kultus kekerasan dikemukakan olehnya.

Indolog Richard Gombrich menyatakan bahwa kisah Angulimala bisa jadi sesungguhnya merupakan pertemuan antara Sang Buddha dan seorang pengikut ajaran tantra aliran Saiwa atau Sakta.[74] Gombrich menarik kesimpulan tersebut atas dasar sejumlah inkonsistensi dalam manuskrip yang mengindikasikan adanya pengubahan,[75] serta penjelasan kurang memuaskan tentang perilaku Angulimala yang diuraikan oleh para penafsir.[76][77] Ia menyatakan bahwa terdapat beberapa rujukan lain dalam kanon Pāli yang tampaknya mengindikasikan keberadaan para pengikut Siwa, Kāli, dan dewa-dewi lainnya yang berkaitan dengan ritual berdarah ajaran tantra.[78] Inkonsistensi tekstual yang ditemukan dapat dijelaskan melalui teori tersebut.[79]

Gagasan bahwa Angulimala adalah bagian dari kultus kekerasan dikemukakan oleh peziarah Tionghoa Xuan Zang (602–64 M). Dalam catatan perjalanannya, Xuan Zang menyatakan bahwa Angulimala diajari oleh gurunya bahwa ia akan lahir di alam Brahma jika berhasil membunuh seorang Buddha. Sebuah manuskrip Tionghoa kuno memberikan penjelasan serupa, menyatakan bahwa guru dari gurunya Angulimala memberikan ajaran kejam tersebut untuk mencapai keabadian.[80] Pernyataan Xuan Zang kemudian dikembangkan oleh orang-orang Barat yang menerjemahkan catatan perjalanan Xuan Zang pada awal abad ke-20, tetapi sebagian berdasarkan pada kesalahan terjemahan.[81][82] Terlepas dari itu, Gombrich merupakan cendekiawan modern yang pertama kali mengemukakan gagasan tersebut. Namun, pernyataannya bahwa praktik tantra telah ada sebelum selesainya penyusunan kitab-kitab Buddhis (dua sampai tiga abad Sebelum Masehi) bertolak belakang dengan pengetahuan umum. Konsensus ilmiah menetapkan kebangkitan kultus tantra perdana pada masa sekitar seribu tahun kemudian, dan tak ada bukti kuat yang ditemukan (baik bukti tertulis atau lainnya) tentang praktik tantra berdarah pada masa sebelumnya.[77][83]

Dalam terjemahan Tionghoa dari Damamūkāwadāna oleh Hui-chiao,[84] demikian pula dalam temuan-temuan arkeologis,[27] Angulimala diidentifikasikan dengan Raja Kalmasapada atau Saudāsa dalam mitologi Hindu, yang dikenal sejak zaman Weda. Manuskrip kuno sering kali menceritakan kehidupan Saudāsa sebagai kehidupan Angulimala sebelumnya, dan kedua tokoh tersebut menghadapi masalah untuk menjadi seorang brahmana yang baik.[27]

Dalam berbagai penggambaran, Angulimala mengenakan hiasan kepala. Sejarawan seni rupa Pia Brancaccio berpendapat bahwa hiasan kepala adalah penanda khas India untuk figur yang berkaitan dengan alam liar atau perburuan.[40] Brancaccio juga meyakini bahwa hiasan tersebut dipakai oleh para seniman untuk memberi ciri bahwa Angulimala berasal dari suku pedalaman dan ditakuti oleh umat Buddha awal yang sebagian besar merupakan masyarakat perkotaan.[85]

Ajaran

Aṅgulimāla Sutta

Dan walaupun aku dulu hidup sebagai bandit
Dengan nama ‘Untaian-Jari,’
Orang yang disapu banjir deras,
Aku telah pergi untuk perlindungan kepada Buddha.
[…] Jadi silakan datang pada pilihanku itu
Dan biarlah hal itu bertahan, karena ia tidak salah dibuat;
Aku telah mencapai tiga pengetahuan
Dan melaksanakan semua yang diajarkan Sang Buddha.

—Diterjemahkan dari bahasa Inggris, oleh: Dra. Wena Cintiawati, Dra. Lanny Anggawati.[53]

Di kalangan umat Buddha, Angulimala adalah salah satu cerita paling terkenal.[57] Tak hanya pada masa kini: pada zaman kuno, dua peziarah asal Tionghoa yang datang dari India membuat laporan berisi cerita tersebut, serta memberitahukan tempat-tempat yang mereka kunjungi yang berkaitan dengan kehidupan Angulimala.[44] Dari sudut pandang umat Buddha, cerita Angulimala dijadikan contoh bahwa orang bertabiat buruk sekalipun dapat mengatasi kesalahan mereka dan kembali ke jalan yang benar.[86] Sejumlah tafsiran memakai cerita tersebut sebagai contoh karma baik dapat mengatasi karma buruk.[19] Umat Buddha menganggap Angulimala sebagai simbol transformasi menyeluruh[25] dan sebagai contoh bahwa ajaran Buddha dapat mengubah orang yang tampaknya tidak memungkinkan.[87] Umat Buddha mengangkat cerita Angulimala sebagai contoh tindakan welas asih (bahasa Pali: karuṇa) dan kekuatan adikodrati (bahasa Pali: iddhi) dari Sang Buddha.[19] Pertobatan Angulimala dikutip sebagai pengakuan akan kecakapan Sang Buddha sebagai guru,[10] dan contoh kemanjuran dari ajaran Buddha (darma).[88]

Melalui jawabannya kepada Angulimala, Sang Buddha menghubungkan sikap henti dengan gagasan 'menahan diri dari kekerasan' (bahasa Pali: avihiṃsa). Walaupun seseorang tak dapat menghindari hukum karma yang kekal, setidaknya seseorang dapat memperkecil karma dengan cara berhenti melakukan kekerasan. Pustaka-pustaka menafsirkan hal ini sebagai bentuk "diam".[89] Selain itu, kisah Angulimala mengilustrasikan bahwa terdapat kekuatan spiritual dalam sikap henti, yaitu saat Sang Buddha digambarkan tak mampu dikejar Angulimala yang penuh kekerasan. Meskipun itu dijelaskan sebagai akibat dari pencapaian adikodrati Sang Buddha, makna yang mendalam adalah bahwa "… 'orang yang berhenti secara spiritual' dapat bergerak lebih cepat ketimbang orang yang 'aktif secara konvensional'". Dengan kata lain, pencapaian spiritual hanya memungkinkan melalui tindakan tanpa kekerasan.[39]

Perilaku

Raja Pasenadi menanam sebuah Pohon Bodhi untuk menghormati Sang Buddha.

Cerita Angulimala menggambarkan bagaimana para penjahat dapat terpengaruh oleh lingkungan psikososial dan lingkungan fisik mereka.[90] Psikolog analitis Dale Mathers berteori bahwa Ahiṃsaka mulai membunuh karena harga dirinya telah runtuh. Ia tak lagi diapresiasi sebagai orang yang bertalenta dalam hal akademik. Sikapnya dapat disimpulkan bahwa "Aku tak memiliki harga diri; maka dari itu aku bisa membunuh. Jika aku membunuh, itu membuktikan bahwa aku tak memiliki harga diri".[52] Dalam menyimpulkan kehidupan Angulimala, Mathers menulis, "ia adalah ... seorang figur yang menjembatani pemberian dan pencabutan nyawa."[91] Senada dengan hal tersebut, dengan merujuk kepada konsep psikologi tentang luka moral, teolog John Thompson mendeskripsikan Angulimala sebagai seseorang yang dikhianati oleh seorang sosok berpengaruh, tetapi berhasil memulihkan prinsip moralnya yang terkikis maupun masyarakat yang menjadi korbannya.[92] Para korban luka moral memerlukan seorang penyembuh dan komunitas yang berjuang bersama-sama tetapi melakukannya dengan cara yang aman; demikian pula Angulimala dapat pulih dari luka moralnya karena Sang Buddha menjadi pemandu spiritualnya, serta komunitas biksu (Sangha) yang menuntun hidup dalam kedisiplinan, sabar menghadapi kesukaran.[93] Thompson kemudian berpendapat bahwa cerita Angulimala dapat dipakai sebagai terapi naratif[92] dan menyebut etika yang terdapat dalam cerita ini sebagai pertanggungjawaban yang menginspirasi. Cerita tersebut bukan tentang diselamatkan, tetapi lebih kepada menyelamatkan seseorang dengan bantuan dari orang lain.[94]

Ahli etika David Loy menulis secara ekstensif tentang cerita Angulimala dan implikasinya terhadap sistem keadilan. Ia meyakini bahwa dalam etika Buddhis, satu-satunya alasan seorang pelanggar/penjahat dihukum adalah untuk memperbaiki tingkah laku mereka. Jika seorang penjahat seperti Angulimala telah sadar untuk mengubah perilakunya sendiri, maka tak ada alasan untuk menghukumnya, bahkan sebagai tindakan pencegahan. Selain itu, Loy berpendapat bahwa cerita Angulimala tak mengandung bentuk keadilan restoratif maupun transformatif, sehingga cerita tersebut dianggap sebagai contoh keadilan yang "cacat".[95] Di sisi lain, mantan politikus dan ahli kesehatan masyarakat Mathura Shrestha menyebut cerita Angulimala "mungkin merupakan konsep pertama dari keadilan transformatif", merujuk kepada pertobatan Angulimala dari kehidupan lamanya sebagai perampok, dan pemaafan yang ia terima dari para kerabat korban.[96] Dalam tulisannya tentang hukuman mati, cendekiawan Damien Horigan menyatakan bahwa rehabilitasi adalah tema utama dari cerita Angulimala, dan rehabilitasi yang telah disaksikan merupakan alasan Raja Pasenadi tidak menghukum Angulimala.[97]

Dalam ritual pra-kelahiran di Sri Lanka, saat Sutta Aṅgulimāla dibacakan untuk wanita hamil, merupakan suatu adat istiadat di sana untuk menaruh benda-benda sebagai lambang kesuburan dan reproduksi di sekeliling wanita tersebut, seperti potongan pohon kelapa dan periuk tanah liat.[98] Para cendekiawan menekankan bahwa dalam mitologi di Asia Tenggara, terdapat kaitan antara sosok haus darah dengan tema kesuburan.[61][99] Penumpahan darah dapat ditemukan dalam tindak kekerasan dan juga kelahiran anak, yang menjelaskan mengapa Angulimala digambarkan sebagai pembunuh sekaligus penyembuh yang berkenaan dengan kelahiran.[99]

Terkait cerita pertemuan Sang Buddha dengan Angulimala, tokoh feminis Liz Wilson menyimpulkan bahwa cerita tersebut adalah contoh kerja sama dan saling ketergantungan antara lawan jenis: Sang Buddha dan ibu Angulimala sama-sama mencoba untuk menghentikannya.[100] Hal senada diungkapkan Thompson, bahwa kaum ibu memainkan peran penting dalam cerita tersebut, merujuk pada bagian saat sang ibu berusaha untuk menghentikan Angulimala, serta pertolongan Angulimala terhadap seorang ibu yang akan melahirkan. Selain itu, baik Sang Buddha maupun Angulimala mengambil peran keibuan dalam cerita tersebut.[101] Meskipun banyak cerita India kuno yang menghubungkan kaum wanita dengan sifat-sifat bebal dan lemah, cerita Angulimala mengakui sifat-sifat kewanitaan, dan Sang Buddha bertindak sebagai penasihat bijak untuk menerapkan sifat-sifat tersebut dengan cara yang konstruktif.[102] Meskipun demikian, Thompson tak menganggap cerita tersebut menganjurkan feminisme, tetapi lebih berpendapat bahwa cerita tersebut mengandung etika kepedulian yang feminis, yang berakar kepada agama Buddha.[88]

Dalam budaya modern

Satish Kumar, seorang aktivis yang mengadaptasi cerita Angulimala dalam buku pendeknya The Buddha and the Terrorist.

Sepanjang sejarah agama Buddha, cerita Angulimala telah digambarkan ke dalam berbagai bentuk kesenian,[10] beberapa di antaranya dapat ditemukan di museum dan situs cagar budaya Buddha. Dalam budaya modern, Angulimala masih memainkan peran penting.[22] Pada tahun 1985, biksu Theravāda kelahiran Inggris Ajahn Khemadhammo mendirikan "Aṅgulimāla", sebuah organisasi pelayanan kapelan Buddhis di penjara di Inggris.[103][104] Organisasi tersebut diakui oleh pemerintah Inggris sebagai perwakilan resmi dari agama Buddha dalam segala urusan terkait lembaga pemasyarakatan di Inggris, dan menyediakan kapelan, layanan konseling, ajaran agama Buddha, dan meditasi kepada para tahanan di seluruh Inggris, Wales, dan Skotlandia.[103] Nama organisasi tersebut merujuk kepada kekuatan transformasi yang dicontohkan dalam cerita Angulimala.[25][22] Menurut situs web organisasi tersebut, "Cerita Angulimala mengajarkan kita bahwa peluang meraih pencerahan dapat terjadi dalam keadaan yang sangat ekstrem, bahwa orang-orang mampu dan melakukan perubahan, serta bahwa orang-orang sangat dipengaruhi oleh persuasi dan yang lebih penting ialah percontohan."[105]

Dalam budaya populer, legenda Angulimala telah meraih perhatian luas. Cerita tersebut telah menjadi subjek utama dari sekurang-kurangnya tiga film.[22] Pada tahun 2003, sutradara asal Thailand, Suthep Tannirat berupaya merilis film berjudul Angulimala. Namun, lebih dari 20 organisasi Buddha konservatif di Thailand melayangkan protes karena film tersebut dianggap menyimpang dari ajaran dan sejarah agama Buddha, serta menampilkan pengaruh Hindu dan teisme yang tak ditemukan dalam kitab-kitab Buddhis.[106] Badan penyensoran film Thai menolak permintaan untuk mencekal film tersebut, dengan alasan bahwa film tersebut tak menyimpang dari ajaran Buddha. Mereka menyatakan bahwa sutradara telah memotong dua adegan berunsur kekerasan.[107] Kelompok-kelompok konservatif merasa tak senang dengan penggambaran Angulimala sebagai pembunuh brutal, tanpa menampilkan cerita yang menjelaskan mengapa ia menjadi penjahat semacam itu. Namun, Tannirat membela dirinya sendiri dengan berpendapat bahwa meskipun ia mengabaikan penafsiran dari ulasan para cendekiawan, ia mengikuti sumber-sumber Buddhis terdahulu dengan teliti.[106] Pilihan Tannirat untuk memakai sumber sejarah awal saja, alih-alih cerita populer dari ulasan para cendekiawan, merupakan hal yang menimbulkan protes tersebut.[22][108]

Angulimala juga menjadi subjek karya sastra.[109] Pada tahun 2006, aktivis perdamaian Satish Kumar menulis kembali cerita Angulimala dalam buku pendeknya The Buddha and the Terrorist. Buku tersebut membahas tentang perang melawan terorisme, dengan mereka ulang dan memadukan berbagai cerita tentang Angulimala, yang dideskripsikan sebagai teroris.[109] Buku tersebut mempertegas cerita saat Sang Buddha menerima Angulimala dalam sangha, yang berakibat terhindarnya hukuman dari Raja Pasenadi. Dalam buku Kumar, tindakan tersebut berujung pada kemarahan masyarakat, yang menuntut penahanan Angulimala dan Sang Buddha. Pasenadi mengadakan pengadilan terbuka di hadapan warga desa dan dewan kerajaan, agar majelis dapat memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap kedua terdakwa. Namun pada akhirnya, majelis memutuskan untuk membebaskan keduanya, setelah Angulimala mengakui kejahatannya dan Pasenadi memberi pidato yang menegaskan pengampunan alih-alih hukuman.[109] Pelintiran cerita tersebut memberikan pemahaman berbeda terhadap Angulimala, yang tindak kekerasannya berujung pada pengadilan, serta masyarakat yang lebih adil dan tanpa kekerasan.[110] Dalam tulisan tentang pustaka Buddhis dan buku Kumar, Thompson membayangkan bahwa ahiṃsa dalam agama Buddha mungkin memiliki pemahaman yang berbeda menurut konteks yang berbeda, dan sering kali tak berarti diam secara pasif, atau tanpa kekerasan sebagaimana pemahaman pada umumnya.[111][88]

Catatan penjelas

  1. ^ Sebagai perbandingan, hingga 1994, para cendekiawan memperkirakan Sang Buddha hidup antara abad ke-5 dan ke-4 SM.[6]
  2. ^ Kisah tentang penyantapan jenazah bayi hanya ditemukan dalam satu kisah versi Tionghoa, dan ditulis untuk mengkritik praktik semacam itu yang terjadi di Tiongkok pada abad ke-5.[28]
  3. ^ Menurut dua teks Tionghoa kuno, Angulimala lahir di Magadha atau Aṅga, dan Raja Pasenadi sama sekali tak disebutkan.[9][11]
  4. ^ Dhammapāla menyatakan bahwa Ahiṃsaka "sekuat tujuh gajah", sementara pustaka lain menyatakan bahwa sang guru khawatir reputasinya akan jatuh jika diketahui bahwa ia membunuh murid.[33][34]
  5. ^ Beberapa versi cerita menyebut ratusan jari, sementara sumber lain menyebut ribuan.[33][35] Dhammapāla menyatakan bahwa Angulimala diwajibkan untuk mengambil seribu jari dari tangan kanan saja,[36] tampaknya tak menyadari bahwa itu dapat dicapai dengan membunuh 200 orang,[36] atau dengan mengambil jari-jari dari jenazah.[12] Di sisi lain, Buddhaghosa menyatakan bahwa Angulimala dikisahkan "membunuh seribu kaki," dan hanya mengumpulkan jari-jari sebagai alat bantu agar hitungannya akurat.[37]
  6. ^ Buddhaghosa berkata bahwa ia tak peduli, sementara Dhammapāla berkata bahwa ia meyakini bahwa ia "tak berguna untuk putra semacam itu".[42]
  7. ^ Ahli agama Buddha André Bareau dan teolog John Thompson berpendapat bahwa kisah ibunya yang berniat untuk ikut campur merupakan tambahan pada cerita aslinya, tetapi cendekiawan kajian Asia Monika Zin menyatakan bahwa ibunya telah muncul dalam seni rupa Buddhis awal.[33][44]
  8. ^ Namun, menurut beberapa versi, Sang Buddha mendengar tentang Angulimala dari para biarawan, yang datang untuk mengumpulkan amal dan melihat para penduduk desa yang berkeluh kesah di istana Pasenadi.[46]
  9. ^ Penggalan kisah ini tak muncul dalam seluruh versi Tripitaka.[9]
  10. ^ Pausyaparwa, Mahābhārata jilid 1 (Adiparwa), bagian ke-3.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Buswell & Lopez 2013.
  2. ^ Gombrich 2006, hlm. 135 n.1.
  3. ^ a b c Thompson 2015, hlm. 161.
  4. ^ a b Gombrich 2006, hlm. 137.
  5. ^ a b c d e Thompson 2015, hlm. 162.
  6. ^ Norman 1994, hlm. 39.
  7. ^ a b Wilson 2016, hlm. 285.
  8. ^ a b c Wilson 2016, hlm. 288.
  9. ^ a b c d e f g Zin 2005, hlm. 707.
  10. ^ a b c Analayo 2008, hlm. 135.
  11. ^ a b c Bareau 1986, hlm. 655.
  12. ^ a b Thompson 2017, hlm. 176.
  13. ^ Bareau 1986, hlm. 654.
  14. ^ Analayo 2008, hlm. 147.
  15. ^ a b c Gombrich 2006, hlm. 136.
  16. ^ Gombrich 2006, hlm. 141.
  17. ^ Kosuta 2017, hlm. 36.
  18. ^ Thompson 2015, hlm. 161–2.
  19. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Malalasekera 1960.
  20. ^ Analayo 2008, hlm. 140.
  21. ^ Brancaccio 1999, hlm. 105.
  22. ^ a b c d e Thompson 2015, hlm. 164.
  23. ^ Wang-Toutain 1999, hlm. 101–2, 105, 112–5.
  24. ^ Zin 2005, hlm. 709.
  25. ^ a b c d e f g h i Wilson 2016, hlm. 286.
  26. ^ a b c Barrett 2004, hlm. 180.
  27. ^ a b c d e Zin 2005, hlm. 706.
  28. ^ a b Barrett 2004, hlm. 181.
  29. ^ Wilkens 2004, hlm. 169.
  30. ^ Bareau 1986, hlm. 656–7.
  31. ^ a b Gombrich 2006, hlm. 138.
  32. ^ Kumarasiri 2004, hlm. 8.
  33. ^ a b c Zin 2005, hlm. 708.
  34. ^ Gombrich 2006, hlm. 138–9.
  35. ^ Analayo 2008, hlm. 141.
  36. ^ a b c d e f Gombrich 2006, hlm. 139.
  37. ^ Gombrich 2006, hlm. 142.
  38. ^ Lamotte 1988, hlm. 22.
  39. ^ a b c d Wiltshire 1984, hlm. 91.
  40. ^ a b Brancaccio 1999, hlm. 108–12.
  41. ^ a b Wilson 2016, hlm. 293–4.
  42. ^ a b c d Gombrich 2006, hlm. 140.
  43. ^ Loy 2009, hlm. 1246.
  44. ^ a b c d Thompson 2015, hlm. 163.
  45. ^ a b Wilson 2016, hlm. 298 n.30.
  46. ^ a b Bareau 1986, hlm. 656.
  47. ^ Kosuta 2017, hlm. 40–1.
  48. ^ Analayo 2008, hlm. 146.
  49. ^ van Oosten 2008, hlm. 251.
  50. ^ a b Thompson 2017, hlm. 183.
  51. ^ Analayo 2008, hlm. 142.
  52. ^ a b Mathers 2013, hlm. 127.
  53. ^ a b c d Cintiawati & Anggawati 2008.
  54. ^ Thompson 2015, hlm. 162–3.
  55. ^ Analayo 2008, hlm. 145.
  56. ^ Thompson 2017, hlm. 177.
  57. ^ a b Gombrich 2006, hlm. 135.
  58. ^ Analayo 2008, hlm. 142–3.
  59. ^ a b c van Oosten 2008, hlm. 252.
  60. ^ Thompson 2015, hlm. 166–7.
  61. ^ a b c d Langenberg 2013, hlm. 351.
  62. ^ Wilson 2016, hlm. 293.
  63. ^ Wilson 2016, hlm. 297–8 n.24.
  64. ^ Swearer 2010, hlm. 253.
  65. ^ Appleton 2013, hlm. 141.
  66. ^ Eckel 2001, hlm. 67–8.
  67. ^ Parkum & Stultz 2012.
  68. ^ Harvey 2010.
  69. ^ Loy 2008, hlm. 230.
  70. ^ Attwood 2014, hlm. 522.
  71. ^ a b Kosuta 2017, hlm. 42.
  72. ^ van Oosten 2008, hlm. 252–3.
  73. ^ Wilhelm 1965, hlm. 11.
  74. ^ Gombrich 2006, hlm. 151.
  75. ^ Gombrich 2006, hlm. 144–51.
  76. ^ Gombrich 2006, hlm. 136, 141.
  77. ^ a b Mudagamuwa & Von Rospatt 1998, hlm. 170.
  78. ^ Gombrich 2006, hlm. 155–62.
  79. ^ Gombrich 2006, hlm. 152–4.
  80. ^ Brancaccio 1999, hlm. 105–6.
  81. ^ Mudagamuwa & Von Rospatt 1998, hlm. 177 n.25.
  82. ^ Analayo 2008, hlm. 143–4 n.42.
  83. ^ Gombrich 2006, hlm. 152 n.7, 155.
  84. ^ Malalasekera 2003, hlm. 628.
  85. ^ Brancaccio 1999, hlm. 115–6.
  86. ^ Harvey 2013, hlm. 266.
  87. ^ Juergensmeyer, Kitts & Jerryson 2013, hlm. 58.
  88. ^ a b c Thompson 2017, hlm. 188.
  89. ^ Wiltshire 1984, hlm. 95.
  90. ^ Kangkanagme & Keerthirathne 2016, hlm. 36.
  91. ^ Mathers 2013, hlm. 129.
  92. ^ a b McDonald 2017, hlm. 29.
  93. ^ Thompson 2017, hlm. 182.
  94. ^ Thompson 2017, hlm. 189.
  95. ^ Loy 2009, hlm. 1247.
  96. ^ Shrestha 2007.
  97. ^ Horigan 1996, hlm. 282.
  98. ^ Van Daele 2013, hlm. 100, 102–3.
  99. ^ a b Wilson 2016, hlm. 289.
  100. ^ Wilson 2016, hlm. 295–6.
  101. ^ Thompson 2017, hlm. 184.
  102. ^ Thompson 2017, hlm. 185–6.
  103. ^ a b Fernquest 2011.
  104. ^ Harvey 2013, hlm. 450.
  105. ^ Khemadhammo 2018.
  106. ^ a b Ngamkham 1 2003.
  107. ^ Ngamkham 2 2003.
  108. ^ Thompson 2017, hlm. 175 n.15.
  109. ^ a b c Thompson 2015, hlm. 168.
  110. ^ Thompson 2015, hlm. 169.
  111. ^ Thompson 2015, hlm. 172–3.

Daftar pustaka

Pranala luar