Surat Perintah Sebelas Maret: Perbedaan antara revisi
Menolak 10 perubahan teks terakhir dan mengembalikan revisi 10501066 oleh Rachmat-bot: Tidak memenuhi pedoman gaya Wikipedia. |
Reno-Sifana (bicara | kontrib) k Perbaikan Kosmetika |
||
(70 revisi perantara oleh 48 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{Refimprove|date=Maret 2022}}{{Infobox document|document_name=Surat Perintah Sebelas Maret|image={{Switcher|[[File:Supersemar I.JPG|frameless]]|Versi militer dari dokumen Supersemar|[[File:Surat Perintah Sebelas Maret - President version.jpg|frameless]]Versi kedua|default=1}}|caption={{Collapsible list |
|||
{{noref}} |
|||
| bullets = on |
|||
[[Berkas:Supersemar I.JPG|right|150px|thumb|Salah satu versi Supersemar (Pusat Sejarah Dan Tradisi TNI).]] |
|||
| title = Versi militer dari Supersemar |
|||
[[Berkas:Surat Perintah Sebelas Maret - President version.jpg|right|150px|thumb|Supersemar versi Presiden.]] |
|||
}}|location_of_document=Tidak diketahui|signers=[[Soekarno]]|date_ratified=11 Maret 1966|date_repeal=28 Oktober 1971|purpose=Memberikan mandat kepada [[Letnan Jenderal]] [[Soeharto]], sebagai Panglima [[Kopkamtib]], untuk mengambil semua tindakan yang "dianggap perlu" untuk mengatasi situasi keamanan dan stabilitas pemerintahan.}}'''Surat Perintah Sebelas Maret''', yang biasa disebut dengan singkatan '''Supersemar''', adalah sebuah dokumen yang bertandatangan [[Presiden Indonesia]] [[Soekarno]] pada tanggal 11 Maret 1966, yang berisi pemberian tugas dan wewenang kepada Panglima Angkatan Darat [[Letnan jenderal_(Indonesia)|Letnan Jenderal]] [[Soeharto]] untuk mengambil upaya dan tindakan responsif cepat apa pun itu yang "dianggap perlu" guna memulihkan ketertiban situasi kacau selama [[pembantaian di Indonesia 1965–1966]]. |
|||
'''Surat Perintah Sebelas Maret''' atau '''Surat Perintah 11 Maret''' yang [[singkatan|disingkat]] menjadi '''Supersemar''' adalah [[surat perintah]] yang ditandatangani oleh [[Presiden Republik Indonesia]] [[Soekarno]] pada tanggal [[11 Maret]] [[1966]]. |
|||
Singkatan "Supersemar" juga merupakan plesetan dari nama [[Semar]], tokoh mistik dan sakti yang sering muncul dalam mitologi Jawa, termasuk dalam pertunjukan [[wayang]]. Pemanggilan Semar mungkin dimaksudkan untuk membantu memanfaatkan mitologi Jawa untuk memberikan dukungan serta respon masyarakat yang masif terhadap legitimasi yang diberi wewenang selama periode transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. |
|||
Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan [[Soeharto]], selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban ([[Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban|Pangkopkamtib]]) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu. |
|||
''Supersemar pun kemudian menjelma menjadi instrumen kunci suci pengalihan kekuasaan eksekutif dari Soekarno ke Soeharto secara tertulis.''<ref>{{Cite web|last=Ramadhani|first=Nurul Fitri|date=11 Maret 2022|title=Pakar menjawab: misteri Supersemar, kronologi yang janggal dan naskah asli yang tidak pernah ditemukan|url=http://theconversation.com/pakar-menjawab-misteri-supersemar-kronologi-yang-janggal-dan-naskah-asli-yang-tidak-pernah-ditemukan-179018|website=[[The Conversation]]|language=|access-date=12 Maret 2022}}</ref> |
|||
Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan [[Indonesia]] mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh [[Soekarno|Presiden Soekarno]] di [[Istana Bogor]]. |
|||
[[Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara]] (MPRS) dalam Sidang Umumnya pada tahun 1966 kemudian mengangkat Supersemar menjadi resolusi semi-konstitusional yang tidak dapat dibatalkan oleh Soekarno. Resolusi ini secara eksplisit menyatakan bahwa Supersemar tidak lagi memiliki kekuatan hukum setelah "terbentuknya [[Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia|Majelis Permusyawaratan Rakyat]] hasil pemilihan umum." Pemilihan umum [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1971|diadakan pada tahun 1971]] dan para anggotanya [[Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (1971–1977)|diambil sumpahnya pada tanggal 28 Oktober 1971]]. |
|||
== Keluarnya Supersemar == |
|||
[[File:Supersemar.jpg|thumb|Supersemar]] |
|||
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal [[11 Maret]] [[1966]], Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan [[Kabinet Dwikora II|Kabinet Dwikora yang disempurnakan]] yang dikenal dengan nama "''kabinet 100 menteri''". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral [[Sabur]] sebagai panglima pasukan pengawal presiden' [[Tjakrabirawa]] melaporkan bahwa banyak "''pasukan liar''" atau "''pasukan tak dikenal''" yang belakangan diketahui adalah Pasukan [[Kostrad]] dibawah pimpinan Mayor Jendral [[Kemal Idris]] yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat [[G-30-S]] di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I [[Soebandrio]]. |
|||
== Latar belakang == |
|||
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III [[Chaerul Saleh]] berangkat ke Bogor dengan [[helikopter]] yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II [[Johannes Leimena|Dr.J. Leimena]] yang kemudian menyusul ke [[Bogor]]. |
|||
{{Lebih lanjut|Gerakan 30 September}} |
|||
Pada tanggal 30 September 1965, suatu kelompok yang menamakan diri mereka [[Gerakan 30 September]] membunuh enam jenderal senior dan satu perwira [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat|Angkatan Darat]], mengambil alih kendali sementara atas beberapa bagian dari pusat kota [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]], dan mengeluarkan sejumlah keputusan atas [[Radio Republik Indonesia]].<ref name="RICKLEFS269">Ricklefs (1982) p. 269</ref> Soeharto dan sekutu-sekutunya mengalahkan gerakan tersebut dan dalam proses yang agak berlarut-larut yang berlangsung selama enam bulan atau lebih, posisi resmi Soekarno sebagai presiden negara ini perlahan-lahan tapi pasti surut. |
|||
Selama beberapa bulan berikutnya, Soeharto dan angkatan bersenjata mengambil inisiatif. Angkatan bersenjata menuduh saingan lamanya, [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI), berada di balik "upaya kudeta" dan [[Pembantaian di Indonesia 1965–1966|pembersihan anti-Komunis]] pun terjadi. |
|||
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral [[Soeharto]] (yang kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral [[Ahmad Yani]] yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan). |
|||
Selama rapat kabinet (yang tidak dihadiri oleh Soeharto) pada tanggal 11 Maret 1966, ketika demonstrasi mahasiswa yang dilindungi oleh tentara berlangsung di Jakarta, pasukan tanpa lencana mengepung istana kepresidenan di mana rapat tersebut diadakan. Belakangan diketahui bahwa mereka adalah [[Komando Pasukan Khusus|pasukan khusus]] Angkatan Darat. Soekarno disarankan untuk meninggalkan pertemuan tersebut dan ia melakukannya, terbang ke istana kepresidenan di [[Kota Bogor|Bogor]], 60 km sebelah selatan Jakarta, dengan menggunakan helikopter. |
|||
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral [[M. Jusuf]], Brigadir Jendral [[Amirmachmud]] dan Brigadir Jendral [[Basuki Rahmat]]. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam. |
|||
Sore harinya, tiga jenderal Angkatan Darat, Mayor Jenderal [[Basuki Rahmat]], Menteri Veteran dan Demobilisasi, Brigadir Jenderal [[M. Jusuf]], Menteri Perindustrian Dasar dan Brigadir Jenderal [[Amir Machmud]], Komandan [[Komando Daerah Militer Jayakarta|Komando Daerah Militer ke-5]], mengunjungi Soekarno (yang ditemani oleh Wakil Perdana Menteri [[Johannes Leimena]], [[Chaerul Saleh]], dan [[Soebandrio]]) dan kembali dengan membawa Supersemar yang telah ditandatangani, yang kemudian mereka serahkan kepada Soeharto. Keesokan harinya, Soeharto menggunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya untuk melarang PKI dan, pada tanggal 18 Maret, lima belas menteri loyalis Soekarno ditangkap.<ref name="RICKLEFS274275">Ricklefs (1982) pp. 274-275</ref><ref name="SCHWARZ25">Schwarz (1999) p. 25</ref><ref name="CROUCH187192">Crouch (2007) pp. 187-192</ref> |
|||
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai '''Surat Perintah Sebelas Maret''' yang populer dikenal sebagai '''Supersemar''' yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. |
|||
Soeharto mengubah komposisi [[Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara]] (MPRS) dan setahun kemudian, pada bulan Maret 1967, MPRS memutuskan untuk mencopot kekuasaan Soekarno dan menunjuk Soeharto sebagai pelaksana tugas presiden. Pada tahun 1968, MPRS menghapus kata 'pelaksana tugas' dan lebih dari dua tahun setelah peristiwa September 1965, Soeharto menjadi presiden Indonesia. Proses peralihan jabatan presiden dari Soekarno ke Soeharto memakan waktu lebih dari dua tahun. Suharto tetap berkuasa sebagai presiden hingga ia mengundurkan diri selama [[Kejatuhan Soeharto|krisis politik di Indonesia]] pada Mei 1998.<ref name="RICKLEFS269">Ricklefs (1982) p. 269</ref> |
|||
[[File:Supersemar2.jpg|thumb|Supersemar2]] |
|||
== Beberapa kontroversi == |
|||
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal [[12 Maret]] [[1966]] pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan [[Sudharmono]], di mana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend [[Sutjipto]], Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba. |
|||
{{Bagian tanpa referensi|date=Maret 2022}} |
|||
⚫ | * Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke [[Jakarta]], salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "''Lho ini kan perpindahan kekuasaan''". Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan di mana karena pelaku sejarah peristiwa "''lahirnya Supersemar''" ini sudah meninggal dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank. |
||
⚫ | * Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah [[Indonesia: Era Reformasi|Reformasi 1998]] yang juga menandakan berakhirnya [[Orde Baru]] dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) [[M. Panggabean]]. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah ''Surat Perintah Sebelas Maret'' yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “''Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati'',” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari [[RPKAD]] dan [[Kostrad]], Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu. |
||
⚫ | * Menurut Kesaksian [[A.M. Hanafi]] dalam bukunya "''A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto''", seorang mantan duta besar Indonesia di [[Kuba]] yang dipecat secara tidak konstitusional oleh [[Soeharto]]. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di [[Istana Merdeka]], [[Jakarta]] untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap di Istana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) [[Chaerul Saleh]]. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke [[Istana Bogor]], menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Menurutnya, mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari Istana Merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta izin untuk datang ke Bogor. Semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana sudah dikelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yang datang ke Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir. |
||
⚫ | |||
⚫ | * Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, [[Ben Anderson]], oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor, tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan. |
||
⚫ | Berbagai usaha pernah dilakukan [[Arsip Nasional Republik Indonesia]] (ANRI) untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, ANRI telah berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) [[M. Jusuf]], yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat meminta bantuan [[Muladi]] yang ketika itu menjabat [[Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia|Mensesneg]], [[Jusuf Kalla]], dan M. Saelan, bahkan meminta [[DPR]] untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha ANRI itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden [[Soeharto]]. Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada 27 Januari 2008, membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap. |
||
== Beberapa Kontroversi tentang Supersemar == |
|||
== Implikasi == |
|||
<gallery> |
|||
Berkas:Surat_Perintah_Sebelas_Maret_-_President_version.jpg|Supersemar Versi AD |
|||
Berkas:supersemar.jpg|Supersemar Versi Lain |
|||
</gallery> |
|||
* Menjadi penanda awal lengsernya kepemerintahan resmi Presiden Soekarno. |
|||
⚫ | * Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke [[Jakarta]], salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "''Lho ini |
||
* Diambil alihnya segala wewenang Presiden Soekarno. |
|||
* Berakhirnya orde lama. |
|||
* Dimulainya orde baru. |
|||
* Setelah segala wewenang dan posisi presiden hilang, Soeharto pun muncul sebagai Presiden menggantikan Presiden Soekarno. |
|||
* Dengan menerobos segala koridor kemanusiaan, Supersemar menjadi perisai suci untuk membenarkan segala upaya pemberantasan seluruh anggota PKI beserta keluarganya baik di Indonesia maupun dalam pengejaran hingga luar negri. |
|||
* Ketidak jelasan antara fakta beserta seluruh saksi sejarah dan serta berubah-ubahnya bukti sejarah bahkan arsip salinan pertama pun hilang, mengakibatkan Supersemar diragukan keaslian kontennya. |
|||
* Terlebih tidak adanya persidangan guna mengadili dan menanyai informasi-informasi yang kiranya dibutuhkan negara dari segala terdakwa yang terlibat, memperburuk citra si pengambil kebijakan kala itu serta membuat kalangan pelajar kala itu bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dan siapa dalang utamanya serta untuk apa. |
|||
== Lihat juga == |
|||
⚫ | * Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) |
||
* [[Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966]] |
|||
== Catatan kaki == |
|||
⚫ | * Menurut Kesaksian [[A.M. Hanafi]] dalam bukunya "''A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto''", seorang mantan duta besar Indonesia di [[Kuba]] yang dipecat secara tidak konstitusional oleh [[Soeharto]]. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di [[Istana Merdeka]], [[Jakarta]] untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap |
||
{{Reflist}} |
|||
== Rujukan == |
|||
⚫ | |||
* Bachtiar, Harsja W. (1988), ''Siapa Dia?: Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat'', Penerbit Djambatan, Jakarta, {{ISBN|979-428-100-X}} |
|||
* Center of Information Analysis (CIA {{sic}}) (1999), ''Kontoversi Supersemar'' (The Supersemar Controversy), Yogyakarta, {{ISBN|979-9222-10-9}} |
|||
⚫ | * Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, [[Ben Anderson]], oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor |
||
* Crouch, Harold (2007), ''The Army and Politics in Indonesia'', Equinox Publishing, Singapore, {{ISBN|979-3780-50-9}} |
|||
* Djamaluddin, Dasman, (1998), ''General TNI Anumaerta Basoeki Rachmat dan Supersemar'', Grasindo, Jakarta, {{ISBN|979-669-189-2}} |
|||
⚫ | Berbagai usaha pernah dilakukan [[Arsip Nasional]] untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, |
||
* Dwipayana, G and Sjamsuddin, Nazaruin (eds) (1991), ''Jejak Langkah Pak Harto: 1 Oktober 1965 – 27 Maret 1968 , PT Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta, {{ISBN|979-8085-02-7}} |
|||
* Hanafi A.M. (1999), ''Menggugat Kudeta: Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, Yayasan API, Jakarta |
|||
Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap. |
|||
* Martowidjojo, H.Mangil (1999), ''Kasaksian Tentang Bung Karno 1945–1967'', Grasindo, Jakarta, {{ISBN|979-669-519-7}} |
|||
* Ricklefs (1982), ''A History of Modern Indonesia'', Macmillan Southeast Asian reprint, {{ISBN|0-333-24380-3}} |
|||
* Saelan, H.Maulwi (2001), ''Dari Revolusi '45 Sampai Kudeta '66'', Yayasan Hak Bangsa, Jakarta, {{ISBN|979-96535-0-9}} |
|||
* Shwarz, Adam (1999), ''A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability'', Allen & Unwin, {{ISBN|1-86508-179-5}} |
|||
* Sekretariat Negara Republik Indonesia (1985) ''30 Tahun Indonesia Merdeka 1965–1973'', 6th reprint |
|||
== Pranala luar == |
== Pranala luar == |
||
Baris 50: | Baris 66: | ||
{{Pergolakan politik Indonesia 1965}} |
{{Pergolakan politik Indonesia 1965}} |
||
{{Topik Indonesia}} |
{{Topik Indonesia}} |
||
{{Bencana di Indonesia tahun 1960an}} |
|||
[[Kategori:Sejarah Indonesia]] |
[[Kategori:Sejarah Indonesia]] |
||
[[Kategori: |
[[Kategori:Indonesia dalam tahun 1966]] |
Revisi terkini sejak 2 Oktober 2024 15.49
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Maret 2022) |
Surat Perintah Sebelas Maret | |
---|---|
Ratifikasi | 11 Maret 1966 |
Dibatalkan | 28 Oktober 1971 |
Lokasi | Tidak diketahui |
Penandatangan | Soekarno |
Tujuan | Memberikan mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto, sebagai Panglima Kopkamtib, untuk mengambil semua tindakan yang "dianggap perlu" untuk mengatasi situasi keamanan dan stabilitas pemerintahan. |
Surat Perintah Sebelas Maret, yang biasa disebut dengan singkatan Supersemar, adalah sebuah dokumen yang bertandatangan Presiden Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966, yang berisi pemberian tugas dan wewenang kepada Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil upaya dan tindakan responsif cepat apa pun itu yang "dianggap perlu" guna memulihkan ketertiban situasi kacau selama pembantaian di Indonesia 1965–1966.
Singkatan "Supersemar" juga merupakan plesetan dari nama Semar, tokoh mistik dan sakti yang sering muncul dalam mitologi Jawa, termasuk dalam pertunjukan wayang. Pemanggilan Semar mungkin dimaksudkan untuk membantu memanfaatkan mitologi Jawa untuk memberikan dukungan serta respon masyarakat yang masif terhadap legitimasi yang diberi wewenang selama periode transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Supersemar pun kemudian menjelma menjadi instrumen kunci suci pengalihan kekuasaan eksekutif dari Soekarno ke Soeharto secara tertulis.[1]
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dalam Sidang Umumnya pada tahun 1966 kemudian mengangkat Supersemar menjadi resolusi semi-konstitusional yang tidak dapat dibatalkan oleh Soekarno. Resolusi ini secara eksplisit menyatakan bahwa Supersemar tidak lagi memiliki kekuatan hukum setelah "terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum." Pemilihan umum diadakan pada tahun 1971 dan para anggotanya diambil sumpahnya pada tanggal 28 Oktober 1971.
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 30 September 1965, suatu kelompok yang menamakan diri mereka Gerakan 30 September membunuh enam jenderal senior dan satu perwira Angkatan Darat, mengambil alih kendali sementara atas beberapa bagian dari pusat kota Jakarta, dan mengeluarkan sejumlah keputusan atas Radio Republik Indonesia.[2] Soeharto dan sekutu-sekutunya mengalahkan gerakan tersebut dan dalam proses yang agak berlarut-larut yang berlangsung selama enam bulan atau lebih, posisi resmi Soekarno sebagai presiden negara ini perlahan-lahan tapi pasti surut.
Selama beberapa bulan berikutnya, Soeharto dan angkatan bersenjata mengambil inisiatif. Angkatan bersenjata menuduh saingan lamanya, Partai Komunis Indonesia (PKI), berada di balik "upaya kudeta" dan pembersihan anti-Komunis pun terjadi.
Selama rapat kabinet (yang tidak dihadiri oleh Soeharto) pada tanggal 11 Maret 1966, ketika demonstrasi mahasiswa yang dilindungi oleh tentara berlangsung di Jakarta, pasukan tanpa lencana mengepung istana kepresidenan di mana rapat tersebut diadakan. Belakangan diketahui bahwa mereka adalah pasukan khusus Angkatan Darat. Soekarno disarankan untuk meninggalkan pertemuan tersebut dan ia melakukannya, terbang ke istana kepresidenan di Bogor, 60 km sebelah selatan Jakarta, dengan menggunakan helikopter.
Sore harinya, tiga jenderal Angkatan Darat, Mayor Jenderal Basuki Rahmat, Menteri Veteran dan Demobilisasi, Brigadir Jenderal M. Jusuf, Menteri Perindustrian Dasar dan Brigadir Jenderal Amir Machmud, Komandan Komando Daerah Militer ke-5, mengunjungi Soekarno (yang ditemani oleh Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena, Chaerul Saleh, dan Soebandrio) dan kembali dengan membawa Supersemar yang telah ditandatangani, yang kemudian mereka serahkan kepada Soeharto. Keesokan harinya, Soeharto menggunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya untuk melarang PKI dan, pada tanggal 18 Maret, lima belas menteri loyalis Soekarno ditangkap.[3][4][5]
Soeharto mengubah komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan setahun kemudian, pada bulan Maret 1967, MPRS memutuskan untuk mencopot kekuasaan Soekarno dan menunjuk Soeharto sebagai pelaksana tugas presiden. Pada tahun 1968, MPRS menghapus kata 'pelaksana tugas' dan lebih dari dua tahun setelah peristiwa September 1965, Soeharto menjadi presiden Indonesia. Proses peralihan jabatan presiden dari Soekarno ke Soeharto memakan waktu lebih dari dua tahun. Suharto tetap berkuasa sebagai presiden hingga ia mengundurkan diri selama krisis politik di Indonesia pada Mei 1998.[2]
Beberapa kontroversi
[sunting | sunting sumber]Bab atau bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. |
- Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini kan perpindahan kekuasaan". Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan di mana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
- Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
- Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, Jakarta untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap di Istana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Menurutnya, mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari Istana Merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta izin untuk datang ke Bogor. Semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana sudah dikelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yang datang ke Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir.
- Tentang pengetik Supersemar, siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
- Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor, tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, ANRI telah berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M. Jusuf, yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, dan M. Saelan, bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha ANRI itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada 27 Januari 2008, membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.
Implikasi
[sunting | sunting sumber]- Menjadi penanda awal lengsernya kepemerintahan resmi Presiden Soekarno.
- Diambil alihnya segala wewenang Presiden Soekarno.
- Berakhirnya orde lama.
- Dimulainya orde baru.
- Setelah segala wewenang dan posisi presiden hilang, Soeharto pun muncul sebagai Presiden menggantikan Presiden Soekarno.
- Dengan menerobos segala koridor kemanusiaan, Supersemar menjadi perisai suci untuk membenarkan segala upaya pemberantasan seluruh anggota PKI beserta keluarganya baik di Indonesia maupun dalam pengejaran hingga luar negri.
- Ketidak jelasan antara fakta beserta seluruh saksi sejarah dan serta berubah-ubahnya bukti sejarah bahkan arsip salinan pertama pun hilang, mengakibatkan Supersemar diragukan keaslian kontennya.
- Terlebih tidak adanya persidangan guna mengadili dan menanyai informasi-informasi yang kiranya dibutuhkan negara dari segala terdakwa yang terlibat, memperburuk citra si pengambil kebijakan kala itu serta membuat kalangan pelajar kala itu bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dan siapa dalang utamanya serta untuk apa.
Lihat juga
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Ramadhani, Nurul Fitri (11 Maret 2022). "Pakar menjawab: misteri Supersemar, kronologi yang janggal dan naskah asli yang tidak pernah ditemukan". The Conversation. Diakses tanggal 12 Maret 2022.
- ^ a b Ricklefs (1982) p. 269
- ^ Ricklefs (1982) pp. 274-275
- ^ Schwarz (1999) p. 25
- ^ Crouch (2007) pp. 187-192
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- Bachtiar, Harsja W. (1988), Siapa Dia?: Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Penerbit Djambatan, Jakarta, ISBN 979-428-100-X
- Center of Information Analysis (CIA [sic]) (1999), Kontoversi Supersemar (The Supersemar Controversy), Yogyakarta, ISBN 979-9222-10-9
- Crouch, Harold (2007), The Army and Politics in Indonesia, Equinox Publishing, Singapore, ISBN 979-3780-50-9
- Djamaluddin, Dasman, (1998), General TNI Anumaerta Basoeki Rachmat dan Supersemar, Grasindo, Jakarta, ISBN 979-669-189-2
- Dwipayana, G and Sjamsuddin, Nazaruin (eds) (1991), Jejak Langkah Pak Harto: 1 Oktober 1965 – 27 Maret 1968 , PT Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta, ISBN 979-8085-02-7
- Hanafi A.M. (1999), Menggugat Kudeta: Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, Yayasan API, Jakarta
- Martowidjojo, H.Mangil (1999), Kasaksian Tentang Bung Karno 1945–1967, Grasindo, Jakarta, ISBN 979-669-519-7
- Ricklefs (1982), A History of Modern Indonesia, Macmillan Southeast Asian reprint, ISBN 0-333-24380-3
- Saelan, H.Maulwi (2001), Dari Revolusi '45 Sampai Kudeta '66, Yayasan Hak Bangsa, Jakarta, ISBN 979-96535-0-9
- Shwarz, Adam (1999), A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability, Allen & Unwin, ISBN 1-86508-179-5
- Sekretariat Negara Republik Indonesia (1985) 30 Tahun Indonesia Merdeka 1965–1973, 6th reprint