Lompat ke isi

Hukuman mati dan hak asasi manusia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 82: Baris 82:
Kasus [[penembakan misterius]] (Petrus) dilakukan oleh [[aparat keamanan]] ditahun 1982-1985<ref name=":1" />. [[Hukuman mati|Eksekusi mati]] ini dilakukan kepada mereka yang dituduh pelaku [[Pidana|kriminal]]<ref name=":1" />. Usaha ini menimbulkan beberapa ketidakjelasan dalam penentuan indetitas kriminal tersebut<ref name=":1" />. Selain itu, ada beberapa yang menyebabkan kesalahan [[Hukuman mati|eksekusi]]<ref name=":1" />. Pada tahun [[2012]] [[Komisi Nasional Hak Asasi Manusia]] ([[Komisi Nasional Hak Asasi Manusia|Komnas HAM]]) membentuk [[Tim Ad Hoc]] untuk melakukan penyelidikan untuk kasus [[penembakan misterius]] (Petrus) ini<ref name=":1" />. Hasilnya, kegiatan Petrus ini tergolong dalam kasus [[pelanggaran hak asasi manusia]] tingkat berat<ref name=":1" />.
Kasus [[penembakan misterius]] (Petrus) dilakukan oleh [[aparat keamanan]] ditahun 1982-1985<ref name=":1" />. [[Hukuman mati|Eksekusi mati]] ini dilakukan kepada mereka yang dituduh pelaku [[Pidana|kriminal]]<ref name=":1" />. Usaha ini menimbulkan beberapa ketidakjelasan dalam penentuan indetitas kriminal tersebut<ref name=":1" />. Selain itu, ada beberapa yang menyebabkan kesalahan [[Hukuman mati|eksekusi]]<ref name=":1" />. Pada tahun [[2012]] [[Komisi Nasional Hak Asasi Manusia]] ([[Komisi Nasional Hak Asasi Manusia|Komnas HAM]]) membentuk [[Tim Ad Hoc]] untuk melakukan penyelidikan untuk kasus [[penembakan misterius]] (Petrus) ini<ref name=":1" />. Hasilnya, kegiatan Petrus ini tergolong dalam kasus [[pelanggaran hak asasi manusia]] tingkat berat<ref name=":1" />.


== Pandangan Kontra ==
== Pandangan Masyarakat yang Kontra Penerapan Hukuman Mati ==
[[Alasan]] sebagian [[masyarakat]] menentang [[hukuman mati]] karena beralasan tidak [[Manusia Indonesia|manusiawi]] dan bertentangan dengan prinsip [[Humanisme|kemanusiaan]] yang [[adil]] dan [[Adab|beradab]]<ref name=":0" />. Pada [[Abad ke-11 hingga 20|abad ke 18]] gerakan [[organsisasi]] untuk menghapuskan [[hukuman mati]] menguat<ref name=":0" />. Hal ini diperkuat dengan [[Ajaran Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh|ajaran]] [[Beccari|Beccaria]] yang tertuang dalam buku yang berjudul “''Dei Delitti Delie Perie''”. Isi [[rangkuman]] dari buku tersebut di antaranya:
[[Alasan]] sebagian [[masyarakat]] menentang [[hukuman mati]] karena beralasan tidak [[Manusia Indonesia|manusiawi]] dan bertentangan dengan prinsip [[Humanisme|kemanusiaan]] yang [[adil]] dan [[Adab|beradab]]<ref name=":0" />. Pada [[Abad ke-11 hingga 20|abad ke 18]] gerakan [[organsisasi]] untuk menghapuskan [[hukuman mati]] menguat<ref name=":0" />. Hal ini diperkuat dengan [[Ajaran Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh|ajaran]] [[Beccari|Beccaria]] yang tertuang dalam buku yang berjudul “''Dei Delitti Delie Perie''”. Isi [[rangkuman]] dari buku tersebut di antaranya:


Baris 107: Baris 107:


== Pandangan Masyarakat yang Setuju Penerapan Hukuman Mati ==
== Pandangan Masyarakat yang Setuju Penerapan Hukuman Mati ==
Masyarakat yang setuju dengan hukuman mati dianggap memang cocok dijatuhkan kepada penjahat yang sadis dan melakukan kejahatan yang berat. Ada beberapa alasan, sebagian masyarakat setuju dengan hukuman mati. Alasan itu di antaranya:
[[Masyarakat]] yang setuju dengan [[hukuman mati]] dianggap memang cocok dijatuhkan kepada [[Pidana|penjahat]] yang [[Sadisme|sadis]] dan melakukan [[Pidana|kejahatan]] yang berat<ref name=":0" />. Ada beberapa alasan, sebagian masyarakat setuju dengan [[hukuman mati]]<ref name=":0" />. Alasan itu di antaranya:


·        Orang-orang berbahaya harus ditangani dengan hukuman mati agar tidak mengganggu dan menjadi penghalang bagi kemajuan masyarakat.
* [[Manusia|Orang-orang]] berbahaya harus ditangani dengan [[hukuman mati]] agar tidak mengganggu dan menjadi penghalang bagi kemajuan [[masyarakat]]<ref name=":0" />.
* Wujud dari [[pembalasan]]<ref name=":0" />.

* Apabila orang yang melakukan [[Pidana|kejahatan]] berat apabila tidak [[Hukuman mati|dihukum mati]], ketika Ia bebas akan mengulangi [[Pidana|kejahatan]] yang Ia lakukan<ref name=":0" />.
·        Wujud dari pembalasan.
* Apabila orang yang melakukan [[Kejahatan korporasi|kejahatan]] berat tidak dibebaskan, akan mengacaukan [[penjara]]<ref name=":0" />.

* [[Hukuman mati]] menjadikan orang lain [[takut]] hingga tidak [[berani]] melakukan [[kejahatan]]<ref name=":0" />.
·        Apabila orang yang melakukan kejahatan berat apabila tidak dihukum mati, ketika Ia bebas akan mengulangi kejahatan yang Ia lakukan.

·        Apabila orang yang melakukan kejahatan berat tidak dibebaskan, akan mengacaukan penjara.

·        Hukuman mati menjadikan orang lain takut hingga tidak berani melakukan kejahatan.


== Daftar Referensi ==
== Daftar Referensi ==

Revisi per 23 Juni 2021 10.09

Hukuman mati dan hak asasi manusia merupakan sanksi terberat dalam sistem pidana di Indonesia[1]. Hukuman ini termasuk hukuman paling tua, apabila dilihat dari tinjauan sejarahnya[1]. Oleh karena itu, ada beberapa pihak yang menganggap bahwa hukuman mati sudah tidak sesuai  lagi dengan perikemanusiaan. Namun, Indonesia tetap mempertahankannya[1].

Latar Belakang Teori

Teori Absolut (Pembalasan)

Orang yang melakukan kejahatan harus ada pembalasan yang berupa pidana (hukuman)[1]. Teori ini dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

Teori Tujuan (Teori Relatif atau Teori Pebaikan)

Hukuman bertujuan untuk menakut-nakuti calon penjahat[1]. Selain itu, penjahat yang mendapat hukuman dapat memperbaiki dan menyingkirkan penjahat[1]. Teori ini dibagi menjadi empat yaitu:

Teori Gabungan

Teori gabungan dianggap paling cocok untuk diterapkan di Indonesa[1]. Alasannya karena sifatnya manusiawi dan mencerminkan rasa keadilan[1]. Penjatuhan hukuman harus mampu memberi rasa kepuasan, baik untuk hakim atau kepada penjahat itu sendiri[1]. Hukuman tersebut harus seimbang, antara pidana yang diberikan dengan perbuatan kejahatan yang dilakukannya[1]. HAM menyatakan bahwa, setiap orang memiliki hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan yang kejam, dan penghukuman yang tidak manusiawi, serta meredahkan harga dirinya[1]. Pemberian hukuman dibutuhkan, tetapi harus sewajarnya. Pemberiannya harus spesifik untuk setiap kejahatannya[1]. Seberat apapun hukumannya tidak boleh melebihi jumlah yang dituduhkan[1]. Hukuman yang diberikan harus sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, adil bagi terdakwa maupun korban (masyarakat)[1].  

Sejarah

Hukuman mati sudah ada sebelum para penjajah datang ke Indonesia[1]. Penerapannya berlaku untuk sanksi pidana hukuman adat[1]. Secara hukum di Indonesia hukuman mati mulai berlaku sejak UU No. 1 tahun 1946 disahkan[1]. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hingga kini masih mencantumkan hukuman mati dalam kategori pidana pokok (strafrecht), di samping pidana penjara, dan pidana denda[1].

Awal mula kemunculan hukuman mati menimbulkan banyak pertentangan[1]. Salah satunya muncul dari golongan Abolisioner yang menolak adanya hukuman mati[1]. Alasannya, karena bertentangan dengan hak asasi manusia, terutama dalam bahasan hak untuk hidup[1]. Meskipun timbul pertentangan, masih banyak negara-negara di dunia yang menggunakan hukuman mati sebagai sanksi pidana[1]. Contohnya di Amerika Serikat, di mana 38 dari 50 negara bagian masih memberlakukan hukuman mati sebagai sanksi pidana[1].

Pada tahun 1986 di Belanda, terbit Kitab Undang-Undang Pidana[1]. Hukuman mati masih dipertahankan di dalamnya[1]. Namun, ada beberapa ketentuan dalam pelaksanaanya. Hakim boleh memutuskan apakah hukuman eksekusi mati dijatukan di tiang gantungan atau dengan pedang, atau dengan cara diberikan pukulan cemeti dan menancap badan dengan besi panas[1]. Selain itu, ada juga hukuman penjara 20 tahun namun sifatnya masih sementara[1].

Di abad ke 17 pelaksanaan hukuman mati masih dengan cara yang sadis[1]. Contohnya dengan cara potong leher, menggantung, memukul hingga mati, mematahkan tulang iga, dibakar, dikubur hidup-hidup, ditenggelamkan, dan lain sebagainya[1]. Kini perkembangannya jauh lebih modern. Di Pakistan dan Malaysia hukuman mati dilakukan dengan cara digantung[1]. Di Amerika Serikat dilaksanakan dengan menggunakan kursi listrik, ruang gas, atau pemberian suntik mati[1].

Pertentangan mengenai hukuman mati pertama kali muncul dari Eropa Barat yang didukung oleh tokoh bernama Cesare Beccaria yang tertuang dalam sebuah tulisan yang diberi judul  On Crime and Punishment pada tahun 1764[2]. Setelah tulisan itu terbit, di abad ke 20 mulai terjadi reaksi untuk mereformasi beberapa kebijakan tentang pelaksanaan hukuman pidana, termasuk di dalamnya membahas tentang perubahan mengenai hukuman mati[2].

Di tahun 1863, negara Venezuela menjadi negara pertama yang menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kriminalitas[2]. Di tahun 1865, San Marino (di Eropa) juga ikut menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kejahatan[2]. Di benua Asia, negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati yaitu Kamboja, Timor Timor, Turkmenistan, dan Nepal[2]. Di benua Afrika, negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati di antaranya, Mozambik, Namibia, São Tomé, Príncipe, dan Cave Varde[2].

Perkembangan Hukum Internasional

Hukuman mati pertama kali dibahas dalam forum internasional di Konvensi Jenewa tahun 1929 tentang tawanan perang[2]. Isinya memuat tentang prosedur dan cara mengenai pemberian hukuman mati kepada tawanan perang[2]. Peraturan yang dibuat, berlaku hingga kini. Selain itu, Konvensi Jenewa juga membahas tentang warga sipil, yang tidak diperbolehkan mendapatkan hukuman mati di wilayah yang ditempatinya[2].

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia memiliki sifat otoriter sebagai tolak ukur untuk mejalankan norma-norma hak asasi manusia[2]. Status hukum dalam deklarasi ini mengalami perubahan, mengikuti interpretasi kewenangan atas Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa[2]. Seluruh anggota yang tergabung memiliki komitmen untuk meningkatkan penghargaan terhadap hak asasi manusia[2].

Salah satu pasal yang berkaitan dengan hukuman mati yaitu, Pasal 3 dalam Deklarasi Universal HAM yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas penghidupan, kebebasan, dan keselamatan individu[2]. Isi pasal tersebut belum memiliki penekanan yang kuat dalam mengatur atau pelarangan hukuman mati[2]. Pasal ini juga sifatnya masih mendasar, dan tidak berpihak dan menyebutkan bahwa hukuman mati merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia[2].

Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik

Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik adalah perjanjian internasioanal mengenai hak asasi manusia yang memiliki tujuan untuk mewujudkan standar pencapaian bersama yang sudah ditetapkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hal Asasi Manusia[2]. Isi Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang berkaitan dengan hukuman mati tertuang dalam Pasal 6 dan Pasal 7[2].

Rangkuman isi dari Pasal 6 berisi tentang:

Pasal 6 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dirumuskan oleh Komite Ketiga Majelis Umum PPB di tahu 1957[2]. Latar belakangnya, karena pada tahun tersebut masih banyak negara-negara yang memberlakukan hukuman mati[2].

Pasal 7 membahas tentang bahwa tidak boleh memberikan hukuman mati kepada setiap orang dengan alasan untuk merendahkan harga dirinya[2]. Selain itu, tidak boleh melakukaneksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan pihak yang bersangkutan[2].

Kebijakan PBB

Di tahun 1959, pembahasan tentang hukuman mati masuk ke dalam forum PPB, di mana Majelis Umum menyetujui sebuah resolusi untuk meminta Dewan Ekonomi dan Sosial agar mempelajari hukuman mati kembali[2]. Kajiannya meliputi hukum dan pelaksanaanya di beberapa negara. Setelah dikaji, lalu diuji apakah hukuman mati tersebut mempengaruhi efektivitas pengurangan kriminalitas di suatu negara[2]. Di tahun 1962 kajian tersebut selesai. Hasilnya, penghapusan hukuman mati di suatu negara tidak meningkatkan kriminalitas untuk negaranya[2].

Di tahun 1968, Majelis Umum PBB memberikan persetujuan untuk sebuh resolusi tentang perlindungan bagi seseorang yang dijatuhi hukuman mati[2]. Resolusi tersebut berisi tentang bahwa seseorang yang sedang menunggu waktu hukuman matinya tiba, seseorang tersebut masih bisa mendapatkan kesempatan untuk mengajukan banding, hasilnya bisa berupa ampunan atau masih tetap dengan hukuman matinya[2].

Di tahun 1948. Dewan Ekonomi dan Sosial mebuat sebuah resolusi untuk menjadi perlindungan atas hak-hak orang yang akan menghadapi hukuman mati[2]. Beberapa resolusi itu membahas tentang:

Perkembangan di Indonesia

Tahun 1948, penangkapan Amir Sjarifuddin membuah gaduh dunia politik di Indonesia[3]. Amir Sjarifuddin merupakan tokoh politik sekaligus mantan menteri pertahanan dan perdana menteri[3]. Dia ditangkap dengan alasan terlibat dalam Peristiwa Madiun, yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI)[3]. Di bulan Desember, Amir Syarifuddin dieksekusi mati di Ngalihan, Solo[3].

Tahun 1946, Tan Malaka ditangkap karena mengikuti pertemuan dengan pimpinan Pesatuan Perjuangan[3]. Ketika Peristiwa Madiun terjadi, Tan Malaka dibebaskan. Bulan Februari, 1949 Tan Malaka menghilang[3]. Lima puluh tahun dari kejadian tersebut, seorang peneliti bernama Harry Poeze mengungkapkan bahwa Tan Malaka dibunuh oleh seorang Letnan Dua bernana Sukutjo atas inisiatif pribadi[3].

Dua kejadian di atas menyimpulkan pada periode ini ada beberapa eksekusi mati yang dipraktikkan di Indonesia tanpa persidangan[3]. Pemerintah pada saat itu belum solid, ketika pengambilan keputusan[3]. Hasil penyelidikan yang panjang, melahirkan kesimpulan bahwa para eksekutor hukuman mati melakukannya atas inisiatif pribadi, dan didukung oleh kepentingan politik[3].

Pada tahun 19731981, pemerintahan dipimpin oleh Soeharto[3]. Saat itu Indonesia sedang fokus dalam pengembangan perekonomian[3]. Namun, pada saat itu tingkat kriminalitas semakin tinggi[3]. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik yaitu kasus Sengkon dan Karta, di tahun 1974[3]. Kasus ini bermula dari perampokan dan pembunuhan pasangan Sulaiman dan Siti di Desa Bojongsari, Bekasi[3]. Polisi menetapkan Karta dan Sengkon sebagai tersangka. Mereka memang tidak mengakui bahwa mereka yang telah melakukan perampokan dan pembunuhan tersebut[3]. Namun, setelah polisi memberi tekanan terhadap mereka, akhirnya mereka mau untuk menandatangani berita acara penangkapan tersebut[3]. Hal mengejutkan terjadi, ada seseorang yang bernama Genul yang mengaku telah membunuh Sulaiman dan Siti[3]. Akhirnya, Genul dijatuhi hukuman 12 tahun kurungan penjara[3]. Hal yang menjadi aneh adalah, meskipun pelaku sebenarnya sudah ditangkap, Sengkon dan Karta tidak langsung dibebaskan dan tetap menjalankan kurungan penjara[3].

Pada periode ini, pemerintah belum mampu menghadapi kasus kriminalitas yang terjadi[3]. Oleh karena itu untuk menekan angka kriminalitas pemerintah membuat jalan pintas dengan cara eksekusi mati tanpa pengadilan[3].

Kasus penembakan misterius (Petrus) dilakukan oleh aparat keamanan ditahun 1982-1985[3]. Eksekusi mati ini dilakukan kepada mereka yang dituduh pelaku kriminal[3]. Usaha ini menimbulkan beberapa ketidakjelasan dalam penentuan indetitas kriminal tersebut[3]. Selain itu, ada beberapa yang menyebabkan kesalahan eksekusi[3]. Pada tahun 2012 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Tim Ad Hoc untuk melakukan penyelidikan untuk kasus penembakan misterius (Petrus) ini[3]. Hasilnya, kegiatan Petrus ini tergolong dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia tingkat berat[3].

Pandangan Masyarakat yang Kontra Penerapan Hukuman Mati

Alasan sebagian masyarakat menentang hukuman mati karena beralasan tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab[1]. Pada abad ke 18 gerakan organsisasi untuk menghapuskan hukuman mati menguat[1]. Hal ini diperkuat dengan ajaran Beccaria yang tertuang dalam buku yang berjudul “Dei Delitti Delie Perie”. Isi rangkuman dari buku tersebut di antaranya:

Dalam Konvensi Internasional, tentang hukuman mati hanya memberi pembatasan bukan untuk penghapusan[1]. Berdasarkan putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 hukuman mati harus memperhitungkan empat aspek, yaitu:

Di tahun 1949, Negara Jerman telah menghapuskan hukuman mati[1]. Deklamasi Stockholm ditahun 1977 menghasilkan:

Bersadarkan hal-hal yang sudah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukuman mati tidak dapat menghapuskan kejahatan di masyarakat[1].

Pandangan Masyarakat yang Setuju Penerapan Hukuman Mati

Masyarakat yang setuju dengan hukuman mati dianggap memang cocok dijatuhkan kepada penjahat yang sadis dan melakukan kejahatan yang berat[1]. Ada beberapa alasan, sebagian masyarakat setuju dengan hukuman mati[1]. Alasan itu di antaranya:

Daftar Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc bd be bf bg bh bi bj bk bl bm bn bo bp bq br bs bt bu bv bw bx by bz ca cb cc Asmarawati, Tina (2013). Hukuman Mati dan Permasalahannya di Indonesia. Yogyakarta: CV. Budi Utama. hlm. 5–14. ISBN 978-602-280-166-5. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak dkk, Anggara (2017). Politik Kebijakan Hukuman di Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: Institute for Criminal Justic Reform. hlm. 1–123. ISBN 978-602-6909-76-3. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab Wirawan, Yerry (2015). Menolak Humkuman Mati: Perspektif Hukuman Mati. Yogyakarta: IKAPI. hlm. 89–102. ISBN 978-979-21-4462-8.