Lompat ke isi

Tafsir Al-Qur'an: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
{{Quran}}
{{Quran}}
{{islam}}
{{islam}}
'''Tafsir Al-Qur'an''' adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur'an dan isinya, Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an, terdapat dua bentuk penafsiran yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.
'''Tafsir Alquran''' adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan [[Al-Qur'an|Alquran]] dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Alquran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya. Dalam memahami dan menafsirkan Alquran diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab, tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Alquran dan isinya. Ilmu untuk memahami Alquran ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an ([[Ilmu Al-Qur'an|ilmu-ilmu Alquran]]). Terdapat tiga bentuk penafsiran yaitu Tafsîr bil ma’tsûr, at-tafsîr bir ra’yi, dan tafsir isyari, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.


Usaha menafsirkan Alquran sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi {{SAW}} sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Alquran dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.{{sfn|As-Suyuthi|p=187}}
Tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.

Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.<ref>as-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, hlm. 187.</ref>


== Definisi ==
== Definisi ==
{{harvp|Al-Utsaimin|2001|p=23}} menyebutkan, "Tafsir secara bahasa berasal dari ''al-fasr'' ([[bahasa Arab]]: {{lang|ar|الفسر}}), yaitu menyingkap sesuatu yang tertutup." Adapun secara bahasa, tafsir (Alquran) adalah penjelasan terhadap makna-makna yang dikandung Alquran.
{{harvp|Al-Utsaimin|2001|p=23}} menyebutkan, "Tafsir secara bahasa berasal dari ''al-fasr'' ([[bahasa Arab]]: {{lang|ar|الفسر}}), yaitu menyingkap sesuatu yang tertutup." Adapun secara bahasa, tafsir (Alquran) adalah penjelasan terhadap makna-makna yang dikandung Alquran. [[As-Suyuthi]] menukil dari Al-Imam Az-Zarkasyi, menjelaskan pengertian tafsir sebagai ilmu untuk memahami kitab [[Allah]] SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad {{SAW}}, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.{{sfn|As-Suyuthi|p=187}}


== Urgensi tafsir Al-Qur'an dalam Islam ==
== Urgensi tafsir Alquran dalam Islam ==
Al-Qur’an diturunkan kepada [[|Muhammad|Nabi Muhammad]] {{SAW}} melalui [[malaikat Jibril]] dalam [[bahasa Arab]] dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar [[aqidah]], kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal [[Al-Qur’an]] yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir [[Al-Qur'an]].
Alquran diturunkan kepada [[Muhammad|Nabi Muhammad]] {{SAW}} melalui [[malaikat Jibril]] dalam [[bahasa Arab]] dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar [[aqidah]], kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Alquran yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Alquran.


Mempelajari tafsir Alquran adalah kewajiban berdasarkan firman Allah swt yang artinya sebagai berikut.
Mempelajari tafsir Alquran adalah kewajiban berdasarkan firman Allah swt yang artinya sebagai berikut.
Baris 25: Baris 23:
Abu Abdirrahman as-Sulamiy berkata, "Orang-orang yang mengajari kami Alquran, seperti [[Utsman bin Affan]] dan [[Abdullah bin Mas'ud]], ketika belajar sepuluh ayat dari Alquran kepada Nabi {{SAW}}, mereka tidak meminta tambah sampai mereka memahami ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, 'Oleh sebab itu, kami mempelajari Alquran sekaligus ilmu dan amal.'"{{sfn|Al-Utsaimin|2001|pp=23-24}}
Abu Abdirrahman as-Sulamiy berkata, "Orang-orang yang mengajari kami Alquran, seperti [[Utsman bin Affan]] dan [[Abdullah bin Mas'ud]], ketika belajar sepuluh ayat dari Alquran kepada Nabi {{SAW}}, mereka tidak meminta tambah sampai mereka memahami ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, 'Oleh sebab itu, kami mempelajari Alquran sekaligus ilmu dan amal.'"{{sfn|Al-Utsaimin|2001|pp=23-24}}


== Sejarah tafsir Al-Qur'an ==
== Sejarah tafsir Alquran ==
Sejarah ini diawali dengan masa [[Muhammad|Rasulullah]] shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada [[Rasulullah]] shallallahu 'alaihi wa sallam. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan [[Al-Qur'an]] :
Sejarah ini diawali dengan masa [[Muhammad|Rasulullah]] {{SAW}} masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada [[Rasulullah]] {{SAW}}.
# [[Al-Qur'an]] itu sendiri karena kadang-kadang satu hal yang dijelaskan secara [[global]] di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
# [[Rasulullah]] shallallahu 'alaihi wa sallam semasa masih hidup para [[sahabat]] dapat bertanya langsung pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
# [[Ijtihad]] dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang [[Bangsa Arab|Arab]] asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terutama pada masalah [[azbabun nuzul]]. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi maka statusnya terhenti pada [[sahabat]] itu sendiri selama tidak disandarkan pada [[Rasulullah]] shallallahu 'alaihi wa sallam.

Para [[sahabat]] yang terkenal banyak menafsirkan [[Al-Qur'an]] antara lain empat [[khalifah]] , [[Ibn Mas’ud]], [[Ibn Abbas]], [[Ubai bin Ka’b]], [[Zaid bin Tsabit]], [[Abu Musa al-Asy’ari]], [[Abdullah bin Zubair]]. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan [[hadits]].

Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi [[tabi’in]] yang belajar [[Islam]] melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran [[Al-Qur'an]] yang masing-masing melahirkan [[madrasah]] atau [[madzhab]] tersendiri yaitu [[Mekkah]] dengan madrasah [[Ibn Abbas]] dengan murid-murid antara lain [[Mujahid ibn Jabir]], [[Atha ibn Abi Ribah]], [[Ikrimah Maula Ibn Abbas]], [[Thaus ibn Kisan al-Yamani]] dan [[Said ibn Jabir]]. [[Madinah]] dengan madrasah [[Ubay ibn Ka’ab]] dengan murid-murid [[Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi]], [[Abu al-Aliyah ar-Riyahi]] dan [[Zaid ibn Aslam]] dan [[Irak]] dengan madrasah [[Ibn Mas’ud]] dengan murid-murid [[al-Hasan al-Bashri]], [[Masruq ibn al-Ajda]], [[Qatadah ibn-Di’amah]], [[Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani]] dan [[Marah al-Hamdani]].

Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari [[hadits]] namun masing-masing [[madrasah]] meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa [[kodifikasi]] hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum [[sistematis]] sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti [[Ibn Majah]], [[Ibn Jarir at-Thabari]], [[Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi]] dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut [[tafsir bi al-Matsur]].


Para [[sahabat]] yang terkenal banyak menafsirkan Alquran antara lain empat [[khalifah]], [[Ibnu Mas'ud]], [[Ibnu Abbas]], [[Ubay bin Ka'ab]], [[Zaid bin Tsabit]], [[Abu Musa al-Asy’ari]], [[Abdullah bin Zubair]]. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan [[hadis]].
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa [[Dinasti]] [[Abbasiyah]] menuntut pengembangan [[metodologi]] tafsir dengan memasukan unsur [[ijtihad]] yang lebih besar. Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada [[Tafsir bi al-Matsur]] dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai [[tafsir bi al-ray]] yang memperluas [[ijtihad]] dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran [[tasawuf]] melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir [[isyarah]].


Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi [[tabi’in]] yang belajar [[Islam]] melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Alquran yang masing-masing melahirkan [[madrasah]] atau [[madzhab]] tersendiri, yaitu
== Bentuk Tafsir Al-Qur'an ==
* [[Mekkah]] dengan madrasah Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain [[Mujahid ibn Jabir]], [[Atha bin Abi Rabah]], [[Ikrimah Maula Ibn Abbas]], [[Thaus ibn Kisan al-Yamani]] dan [[Said ibn Jabir]],
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:
* [[Madinah]] dengan madrasah Ubay ibn Ka'ab dengan murid-murid [[Muhammad bin Ka'ab al-Qurazhi]], [[Abu al-Aliyah ar-Riyahi]] dan [[Zaid bin Aslam]], dan
* [[Irak]] dengan madrasah Ibnu Mas'ud dengan murid-murid [[Hasan al-Bashri]], [[Masruq ibn al-Ajda]], [[Qatadah bin Da'amah]], [[Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani]] dan [[Marah al-Hamdani]].


Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadis namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa [[kodifikasi]] hadis, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum [[sistematis]] sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti [[Ibnu Majah]], [[Ibnu Jarir ath-Thabari]], [[Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi]] dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut [[#Tafsir bi al-Ma`tsur|tafsir ''bil Ma`tsur'']].
=== Tafsir bi al-Matsur ===
Dinamai dengan nama ini (dari kata ''atsar'' yang berarti [[sunnah]], [[hadits]], jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang [[mufassir]] menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada [[Nabi SAW|Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam]]. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang [[shahih]] yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas [[Kitabullah]], dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar [[tabi'in]] karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.


Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa [[Dinasti]] [[Abbasiyah]] menuntut pengembangan [[metodologi]] tafsir dengan memasukan unsur [[ijtihad]] yang lebih besar. Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al-Ma`tsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai [[#Tafsir bi ar-Ra'yi|tafsir bi ar-ra'yi]] yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran [[tasawuf]] melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai [[#Tafsir Isyari|tafsir isyari]].
Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al Qur'an antara lain:


== Rujukan dalam Tafsir Alquran ==
''"wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal fajri...."'' ([[Surat Al Baqarah]]:187)
Al-Utsaimin menjelaskan bahwa tafsir Alquran merujuk pada sumber-sumber berikut.{{sfn|Al-Utsaimin|2001|pp=25-28}}
<ul><li>'''Pertama: Kalamullah''' (Alquran ditafsirkan dengan Alquran), maksudnya ditafsirkan dengan ayat lain, karena Allah SWT adalah Yang menurunkan Alquran sehingga lebih mengetahui apa yang dikehendaki ayat. Contoh:
<ol>
<li>firman Allah SWT
{{Verse translation|italicsoff=h|rtl1=hh
|أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
|attr1=[[Surah Yunus|QS Yunus [10]]]: 62
|Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.}}
Lafal "أَوْلِيَاءَ اللَّهِ" (''awliyâ` Allah'', wali-wali Allah) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:
{{Verse translation|italicsoff=j|rtl1=q
|الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
|attr1=QS Yunus [10]: 63
|(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.}}</li>
<li>firman Allah SWT
{{Verse translation|italicsoff=h|rtl1=hh
|وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ
|attr1=[[Surah At-Tariq|QS At-Tariq [86]]]: 2
|tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?}}
Lafal "الطارق" (''ath-thâriq'', yang datang pada malam hari) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:
{{Verse translation|italicsoff=h|rtl1=hh
|النَّجْمُ الثَّاقِبُ
|attr1=QS At-Tariq [86]: 3
|(yaitu) bintang yang cahayanya menembus,}}</li>
<li>firman Allah SWT
{{Verse translation|italicsoff=h|rtl1=hh
|وَالأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا
|attr1=[[Surah An-Nazi'at|QS An-Nazi'at [79]]]: 30
|Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya}}
Lafal "دَحَاهَا" (''daḥâhâ'', dihamparkan-Nya) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:
{{Verse translation|italicsoff=h|rtl1=hh
|أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا
وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا
|attr1=QS An-Nazi'at [79]: 30
|Ia memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.
Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh,}}</li></ol></li>


<li>'''Kedua: perkataan Rasulullah {{SAW}}''' (maksudnya Alquran ditafsirkan dengan as-sunnah), karena Rasulullah {{SAW}} adalah pembawa kabar dari Allah SWT sehingga Rasulullah {{SAW}} adalah manusia yang paling mengetahui maksud Allah pada firman-Nya. Contoh:
Kata ''minal fajri'' adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat ''al khaitil abyadhi''.
{{Verse translation|italicsoff=y|rtl1=y
|لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
|attr1=QS Yunus [10]: 26
|Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.}}
Nabi {{SAW}} menafsirkan lafal "زِيَادَةٌ" (''ziyâdah'', tambahannya) dengan 'melihat wajah Allah', berdasarkan riwayat dari Ibnu Jarir ath-Thabari dan [[Ibnu Abi Hatim]] tanpa adanya kesamaran dari Abu Musa{{refn|Ibnu Abi Hatim mengeluarkannya dalam tafsirnya 6/1945, hadis no. 10341. Al-Lalikai mengeluarkannya dalam ''Syarḥ Ushûl al-I'tiqâd'' cetakan kedua 3/458-459, hadis no. 785.}} dan Ubay bin Ka'ab{{refn|Ath-Thabari mengeluarkannya dalam tafsirnya 15/69, hadis no. 17633. Al-Lalikai mengeluarkannya dalam ''Syarḥ Ushûl al-I'tiqâd'' cetakan kedua 3/456.}}.</li>


<li>'''Ketiga: perkataan sahabat RA''', terutama ulama mereka dan yang memiliki perhatian terhadap tafsir, karena Alquran turun dengan bahasa mereka, di masa mereka. Mereka adalah orang-orang yang paling jujur dalam mencari kebenaran, lebih selamat dari hawa nafsu, dan lebih bersih dari perselisihan yang memecah belah mereka. Contoh:
Contoh Tafsir Al Qur'an dengan [[Sunnah]] antara lain:
{{Verse translation|italicsoff=y|rtl1=y
|وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
|attr1=[[Surah An-Nisa'|QS An-Nisa' [4]]]: 43
|Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan}}
Telah sahih kabar dari Ibnu Abbas RA bahwa dia menafsirkan 'menyentuh perempuan' dengan 'hubungan badan'.</li>


<li>'''Keempat: perkataan tabi'in''' yang perhatian untuk mengambil tafsir dari para sahabat{{refn|terutama Tabi'in kibar (lebih banyak bertemu sahabat)}}, karena mereka adalah generasi terbaik setelah sahabat, lebih selamat dari hawa nafsu daripada generasi setelahnya, dan bahasa Arab belum banyak berubah di masa mereka. Oleh karena itu, mereka lebih dekat kepada kebenaran dalam menafsirkan Alquran daripada generasi setelahnya.<p>
''"alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin......"'' ([[Surah Al-An'am|Surat Al An'am]]: 82)
[[Ibnu Taimiyah]] berkata dalam ''Majmu' al Fatawa'', "Apabila terdapat konsensus di antara para tabi'in, maka argumen mereka tidak dapat diragukan. Jika terdapat perbedaan, maka argumen-argumen mereka tidak bisa dipertentangkan dan tidak pula menentang argumen orang dari masa setelah mereka. Perbedaan itu dikembalikan kepada bahasa Alquran, sunnah, atau keumuman bahasa Arab atau perkataan sahabat atas hal itu."</p></li>


<li>'''Kelima: konsekuensi makna syar'i atau bahasa berdasarkan konteks terhadap suatu kalimat''' berdasarkan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,"{{refn|Maksud 'yang telah Allah wahyukan kepadamu' adalah yang telah Allah tunjukkan kepadamu.}} ([[Surah An-Nisa'|QS An-Nisa' [4]]]: 105), "Sesungguhnya Kami menjadikan Alquran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya)," ([[Surah Az-Zukhruf|QS Az-Zukhruf [43]: 3) dan "Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, suapay ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka." ([[Surah Ibrahim|QS Ibrahim [14]: 4)
Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat :
<p>Jika makna syar'i bertentangan dengan makna bahasa, maka diambil konsekuensi makna syar'i, kecuali terdapat dalil yang menguatkan makna bahasa sehingga diambil konsekuensi makna bahasa. Hal itu dikarenakan Alquran turun untuk menjelaskan syariat, bukan untuk menjelaskan bahasa.</p>
<p>Contoh terjadinya perselisihan makna bahasa dan syar'i, kemudian diambil makna syar'i, firman Allah SWT tentang orang-orang munafik:</p>
{{Verse translation|italicsoff=o|rtl1=k
|وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَداً
|attr1=[[Surah At-Taubah|QS At-Taubah [9]]]: 84
|Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka,}}
<p>(Dalam ayat terdapat kata yang bermakna ''as-shalah'', kemudian diterjemahkan 'menyembahyangkan.') Salat secara bahasa artinya doa, sedangkan secara syar'i dalam ayat ini adalah berdiri di samping jenazah untuk mendoakannya dengan cara-cara khusus. Dengan demikian makna syar'i didahulukan, karena memang hal itulah yang dimaksud oleh Yang berbicara dan yang dipahami oleh yang mendengar. Adapun larangan berdoa untuk mereka secara mutlak diambil dari dalil lain.</p>
<p>Contoh terjadinya perselisihan makna bahasa dan syar'i, kemudian diambil makna bahasa dengan dukungan dalil, firman Allah SWT</p>
{{Verse translation|italicsoff=y|rtl1=y
|خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
|attr1=QS At-Taubah [9]: 103
|Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka.}}
<p>(Dalam ayat terdapat kata yang bermakna ''as-shalah'', kemudian diterjemahkan 'mendoalah.') Maksud salat di sini adalah doa berdasarkan dalil HR Muslim{{refn|Muslim mengeluarkannya di halaman 849, Kitab Zakat, Bab 54: Doa untuk orang yang membayar zakat, hadis no. 1078.}} dari Abdullah bin Abi Aufa bahwa Nabi {{SAW}} pernah ketika menerima zakat orang-orang, berdoa (bersalawat) untuk mereka. Kemudian datang Abi Aufa menyerahkan zakatnya, kemudian Nabi {{SAW}} berdoa, "''Allâhumma shalli 'alâ âli Abî Awfa'' (Ya Allah, semoga salawat tercurahkan kepada keluarga Abi Aufa)."{{refn|Hukum bersalawat kepada selain Nabi saw dan keluarganya diperselisihkan ulama. Yang membolehkan memberi syarat: (1) mengikuti salawat kepada Nabi {{SAW}}, (2) karena seseorang melakukan perbuatan baik sebagai bentuk rasa terima kasih, (3) tidak dianggap syiar agama Islam.}}</p></li></ul>


== Bentuk Tafsir Alquran ==
''"innasy syirka lazhulmun 'azhiim"'' ([[Surat Luqman]]: 13)
Adapun bentuk-bentuk tafsir Alquran yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:


=== Tafsir bi al-Ma`tsur ===
Dengan itu Dia menafsirkan makna ''zhalim'' dengan [[syirik]].
Dinamai dengan nama ini (dari kata ''atsar'' yang berarti [[sunnah]], [[hadits]], jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang [[mufassir]] menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada [[Nabi SAW|Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam]]. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang [[shahih]] yaitu menafsirkan Alquran dengan Alquran, Alquran dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas [[Kitabullah]], dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar [[tabi'in]] karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.


Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: [[Tafsir Ibnu Jarir]], [[Tafsir Abu Laits As Samarkandy]], [[Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur]] (karya [[Jalaluddin as-Suyuthi|Jalaluddin As Sayuthi]]), [[Tafsir Ibnu Katsir]], [[Tafsir Al Baghawy]] dan [[Tafsir Baqy ibn Makhlad]], [[Asbabun Nuzul]] (karya [[Al Wahidy]]) dan [[An Nasikh wal Mansukh]] (karya [[Abu Ja'far An Nahhas]]).
Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: [[Tafsir Ibnu Jarir]], [[Tafsir Abu Laits As Samarkandy]], [[Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur]] (karya [[Jalaluddin as-Suyuthi|Jalaluddin As Sayuthi]]), [[Tafsir Ibnu Katsir]], [[Tafsir Al Baghawy]] dan [[Tafsir Baqy ibn Makhlad]], [[Asbabun Nuzul]] (karya [[Al Wahidy]]) dan [[An Nasikh wal Mansukh]] (karya [[Abu Ja'far An Nahhas]]).


=== Tafsir bi ar-Rayi ===
=== Tafsir bi ar-Ra'yi ===
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah [[Abbasiyah]] maka tafsir ini memperbesar peranan [[ijtihad]] dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu [[bahasa Arab]], ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, [[hadits]] dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah [[Abbasiyah]] maka tafsir ini memperbesar peranan [[ijtihad]] dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu [[bahasa Arab]], ilmu qiraah, [[Ilmu Al-Qur'an|ilmu-ilmu Alquran]], [[hadits]] dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.


Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
Baris 70: Baris 121:
''“khalaqal insaana min 'alaq”'' ([[Surat Al Alaq]]: 2)
''“khalaqal insaana min 'alaq”'' ([[Surat Al Alaq]]: 2)


Kata ''alaq'' disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz ''alaqah'' yang berarti segumpal [[darah]] yang kental.
Kata ''{{'}}alaq'' disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz ''{{'}}alaqah'' yang berarti segumpal darah yang kental.


Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: [[Tafsir Al Jalalain]] (karya [[Jalaluddin al-Mahalli|Jalaluddin Muhammad Al Mahally]] dan disempurnakan oleh [[Jalaluddin as-Suyuthi|Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi]]),[[Tafsir Al Baidhawi]], [[Tafsir Al Fakhrur Razy]], [[Tafsir Abu Suud]], [[Tafsir An Nasafy]], [[Tafsir Al Khatib]], [[Tafsir Al Khazin]].
Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: [[Tafsir Al Jalalain]] (karya [[Jalaluddin al-Mahalli|Jalaluddin Muhammad Al Mahally]] dan disempurnakan oleh [[Jalaluddin as-Suyuthi|Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi]]),[[Tafsir Al Baidhawi]], [[Tafsir Al Fakhrur Razy]], [[Tafsir Abu Suud]], [[Tafsir An Nasafy]], [[Tafsir Al Khatib]], [[Tafsir Al Khazin]].


=== Tafsir Isyari ===
=== Tafsir Isyari ===
Menurut kaum [[sufi]], setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan [[gaib]] pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari. tafsyir berdasarkan intuisi, atau bisikan batin
Menurut kaum [[sufi]], setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Alquran inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan [[gaib]] pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari. tafsyir berdasarkan intuisi, atau bisikan batin


Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
Baris 85: Baris 136:
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: [[Tafsir An Naisabury]], [[Tafsir Al Alusy]], [[Tafsir At Tastary]], [[Tafsir Ibnu Araby]].
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: [[Tafsir An Naisabury]], [[Tafsir Al Alusy]], [[Tafsir At Tastary]], [[Tafsir Ibnu Araby]].


== Metodologi Tafsir Al-Qur'an ==
== Metodologi Tafsir Alquran ==
Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam. Yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlu’i.
Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin, dan metode maudlu’i.


=== Metode Tahlili (Analitik) ===
=== Metode Tahlili (Analitik) ===
Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat [[Al-Qur’an]] dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat al-Qur`an sebagaimana tercantum dalam al-Qur`an.
Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat Alquran sebagaimana tercantum dalam Alquran.


Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur [[I’jaz]], [[balaghah]], dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu [[hukum]] [[fiqih]], [[dalil syar’i]], arti secara bahasa, [[Norma (sosiologi)|norma]]-norma akhlak dan lain sebagainya.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Alquran. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur [[i’jaz]], [[balaghah]], dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu [[hukum]] [[fiqih]], [[dalil syar’i]], arti secara bahasa, [[Norma (sosiologi)|norma-norma]] akhlak dan lain sebagainya.


Menurut [[Malik bin Nabi]], tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat [[Islam]] dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .
Menurut [[Malik bin Nabi]], tujuan utama ulama menafsirkan Alquran dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Alquran, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat [[Islam]] dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .


Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.
Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Alquran untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.


=== Metode Ijmali (Global) ===
=== Metode Ijmali (Global) ===
Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan [[global]], dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.
Metode ini adalah berusaha menafsirkan Alquran secara singkat dan [[global]], dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.


Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
Baris 106: Baris 157:


=== Metode Maudhu’i (Tematik) ===
=== Metode Maudhu’i (Tematik) ===
Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam Alquran untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Alquran yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Alquran dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Alquran yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.


== Macam tafsir Al-Qur'an ==
== Macam tafsir Alquran ==
Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab [[fiqih]], kecenderungan [[sufisme]] dari [[mufassir]] itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. [[Abdullah Darraz]] mengatakan dalam [[an-Naba’ al-Azhim]] sebagai berikut:
Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab [[fiqih]], kecenderungan [[sufisme]] dari [[mufassir]] itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. [[Abdullah Darraz]] mengatakan dalam [[an-Naba’ al-Azhim]] sebagai berikut:


{{cquote|Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan [[intan]], setiap sudutnya memancarkan [[cahaya]] yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat.}}
{{cquote|Ayat-ayat Alquran bagaikan [[intan]], setiap sudutnya memancarkan [[cahaya]] yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat.}}


Di antara berbagai corak itu antara lain adalah :
Di antara berbagai corak itu antara lain adalah :
* '''Corak Sastra Bahasa''': munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-[[Bangsa Arab|Arab]] yang memeluk [[Islam]] serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang [[sastra]] sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan [[Al-Qur'an]] di bidang ini.
* '''Corak Sastra Bahasa''': munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-[[Bangsa Arab|Arab]] yang memeluk [[Islam]] serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang [[sastra]] sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Alquran di bidang ini.
* '''Corak Filsafat dan Teologi''' : corak ini muncul karena adanya penerjemahan [[kitab]]-kitab [[filsafat]] yang memengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam [[Islam]] yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
* '''Corak Filsafat dan Teologi''' : corak ini muncul karena adanya penerjemahan [[kitab]]-kitab [[filsafat]] yang memengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam [[Islam]] yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
* '''Corak Penafsiran Ilmiah''': akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan [[teknologi]] maka muncul usaha-usaha penafsiran [[Al-Qur'an]] sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
* '''Corak Penafsiran Ilmiah''': akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan [[teknologi]] maka muncul usaha-usaha penafsiran Alquran sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
* '''Corak Fikih''': akibat perkembangan ilmu [[fiqih]] dan terbentuknya [[madzhab]]-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat [[hukum]].
* '''Corak Fikih''': akibat perkembangan ilmu [[fiqih]] dan terbentuknya [[madzhab]]-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat [[hukum]].
* '''Corak Tasawuf''' : akibat munculnya gerakan-gerakan [[sufi]] maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak [[tasawuf]].
* '''Corak Tasawuf''' : akibat munculnya gerakan-gerakan [[sufi]] maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak [[tasawuf]].
* '''Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan''': corak ini dimulai pada masa [[Syaikh Muhammad Abduh]] yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat [[Al-Qur'an]] yang berkaitan langsung dengan kehidupan [[masyarakat]], usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam [[bahasa]] yang mudah dimengerti dan enak didengar.
* '''Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan''': corak ini dimulai pada masa [[Syaikh Muhammad Abduh]] yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Alquran yang berkaitan langsung dengan kehidupan [[masyarakat]], usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam [[bahasa]] yang mudah dimengerti dan enak didengar.


== Perkembangan ==
== Perkembangan ==
Ilmu tafsir Al Qur'an terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur'an dapat bermakna bagi umat [[Islam]]. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu [[filsafat]] yang digunakan untuk membaca teks [[Al-Qur'an]] maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur'an. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode [[Tafsir Hermeneutika]] dan Metode [[Tafsir Semiotika]].
Ilmu tafsir Alquran terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Alquran dapat bermakna bagi umat [[Islam]]. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu [[filsafat]] yang digunakan untuk membaca teks Alquran maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Alquran. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode [[Tafsir Hermeneutika]] dan Metode [[Tafsir Semiotika]].


== Tafsir terkenal antara lain ==
== Tafsir terkenal antara lain ==
Baris 132: Baris 183:


== Ilmu terkait ==
== Ilmu terkait ==
# '''Lughat (filologi)''', yaitu ilmu untuk mengetahui setiap arti kata Al-Qur'an. Mujahid rah.a., berkata, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia tidak layak berkomentar tentang ayat-ayat Al-Qur'an tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang ilmu lughat tidak cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti. Jadi hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Dapat terjadi, yang dimaksud kata tersebut adalah arti yang berbeda.
# '''Lughat (filologi)''', yaitu ilmu untuk mengetahui setiap arti kata Alquran. Mujahid rah.a., berkata, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia tidak layak berkomentar tentang ayat-ayat Alquran tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang ilmu lughat tidak cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti. Jadi hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Dapat terjadi, yang dimaksud kata tersebut adalah arti yang berbeda.
# '''Nahwu (tata bahasa)'''. Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja i'rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i'rab hanya di dapat dalam ilmu nahwu.
# '''Nahwu (tata bahasa)'''. Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja i'rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i'rab hanya di dapat dalam ilmu nahwu.
# '''Sharaf (morfologi)'''
# '''Sharaf (morfologi)'''
Baris 154: Baris 205:
{{refbegin}}
{{refbegin}}
* {{cite book |ref=harv |last=Al-Utsaimin |first=Muhammad Shalih |author-link=Muhammad bin Shalih al-Utsaimin |title=Ushûl fî at-Tafsîr |year=2001 |url=http://waqfeya.com/book.php?bid=9490 |language=bahasa Arab |publisher=Al-Maktabah al-Islamiyyah |location= |editor=Tim Editor Al-Maktabah al-Islamiyyah }}
* {{cite book |ref=harv |last=Al-Utsaimin |first=Muhammad Shalih |author-link=Muhammad bin Shalih al-Utsaimin |title=Ushûl fî at-Tafsîr |year=2001 |url=http://waqfeya.com/book.php?bid=9490 |language=bahasa Arab |publisher=Al-Maktabah al-Islamiyyah |location= |editor=Tim Editor Al-Maktabah al-Islamiyyah }}
* {{cite book |ref=harv |last=As-Suyuthi |author-link=Jalaluddin as-Suyuthi |title=Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân |language=bahasa Arab |publisher=Dar al-Fikr }}
* Hamzah, Muchotob (2003). ''Studi Al-Qur'an Komprehensif''. Yogyakarta: Gama Media ISBN 979-95526-1-3
* {{cite book |last=Hamzah |first=Muchotob |year=2003 |title=Studi Al-Qur'an Komprehensif |location=Yogyakarta |publisher=Gama Media |ISBN=979-95526-1-3}}
{{refend}}
{{refend}}



Revisi per 8 Juni 2017 03.15

Tafsir Alquran adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Alquran dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Alquran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya. Dalam memahami dan menafsirkan Alquran diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab, tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Alquran dan isinya. Ilmu untuk memahami Alquran ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an (ilmu-ilmu Alquran). Terdapat tiga bentuk penafsiran yaitu Tafsîr bil ma’tsûr, at-tafsîr bir ra’yi, dan tafsir isyari, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.

Usaha menafsirkan Alquran sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi ﷺ sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Alquran dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.[1]

Definisi

Al-Utsaimin (2001), hlm. 23 menyebutkan, "Tafsir secara bahasa berasal dari al-fasr (bahasa Arab: الفسر), yaitu menyingkap sesuatu yang tertutup." Adapun secara bahasa, tafsir (Alquran) adalah penjelasan terhadap makna-makna yang dikandung Alquran. As-Suyuthi menukil dari Al-Imam Az-Zarkasyi, menjelaskan pengertian tafsir sebagai ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.[1]

Urgensi tafsir Alquran dalam Islam

Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Alquran yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Alquran.

Mempelajari tafsir Alquran adalah kewajiban berdasarkan firman Allah swt yang artinya sebagai berikut.

  • "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS Sad [38]: 29)

    Allah swt menjelaskan bahwa hikmah diturunkannya Alquran yang penuh dengan berkah adalah agar manusia men-tadabbur-i ayat-ayatnya dan meneliti ayat-ayat itu. Tadabbur adalah merenungi lafal-lafal Alquran untuk memahami maknanya. Jika tidak ada tadabbur, maka manusia akan kehilangan hikmah tersebut dan lafal-lafal Alquran tidak akan memberi pengaruh.

  • "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran ataukah hati mereka terkunci?" (QS Muhammad [47]: 24)

    Allah swt mencela orang-orang yang tidak men-tadabbur-i Alquran serta menyebutkan tentang terkuncinya dan tidak adanya kebaikan pada hati mereka.

Ulama-ulama terdahulu berpendapat atas wajibnya mempelajari tafsir Alquran. Mereka mempelajari lafal dan makna Alquran sehingga mereka bisa melaksanakan amal yang Allah maksudkan dalam Alquran. Tidak mungkin melakukan suatu amal yang tidak diketahui hakikat maknanya.[2]

Abu Abdirrahman as-Sulamiy berkata, "Orang-orang yang mengajari kami Alquran, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud, ketika belajar sepuluh ayat dari Alquran kepada Nabi ﷺ, mereka tidak meminta tambah sampai mereka memahami ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, 'Oleh sebab itu, kami mempelajari Alquran sekaligus ilmu dan amal.'"[3]

Sejarah tafsir Alquran

Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah ﷺ masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah ﷺ.

Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Alquran antara lain empat khalifah, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadis.

Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Alquran yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri, yaitu

Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadis namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadis, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bil Ma`tsur.

Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al-Ma`tsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi ar-ra'yi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyari.

Rujukan dalam Tafsir Alquran

Al-Utsaimin menjelaskan bahwa tafsir Alquran merujuk pada sumber-sumber berikut.[4]

  • Pertama: Kalamullah (Alquran ditafsirkan dengan Alquran), maksudnya ditafsirkan dengan ayat lain, karena Allah SWT adalah Yang menurunkan Alquran sehingga lebih mengetahui apa yang dikehendaki ayat. Contoh:
    1. firman Allah SWT

      Lafal "أَوْلِيَاءَ اللَّهِ" (awliyâ` Allah, wali-wali Allah) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:

    2. firman Allah SWT

      Lafal "الطارق" (ath-thâriq, yang datang pada malam hari) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:

    3. firman Allah SWT

      Lafal "دَحَاهَا" (daḥâhâ, dihamparkan-Nya) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:

  • Kedua: perkataan Rasulullah ﷺ (maksudnya Alquran ditafsirkan dengan as-sunnah), karena Rasulullah ﷺ adalah pembawa kabar dari Allah SWT sehingga Rasulullah ﷺ adalah manusia yang paling mengetahui maksud Allah pada firman-Nya. Contoh: Nabi ﷺ menafsirkan lafal "زِيَادَةٌ" (ziyâdah, tambahannya) dengan 'melihat wajah Allah', berdasarkan riwayat dari Ibnu Jarir ath-Thabari dan Ibnu Abi Hatim tanpa adanya kesamaran dari Abu Musa[5] dan Ubay bin Ka'ab[6].
  • Ketiga: perkataan sahabat RA, terutama ulama mereka dan yang memiliki perhatian terhadap tafsir, karena Alquran turun dengan bahasa mereka, di masa mereka. Mereka adalah orang-orang yang paling jujur dalam mencari kebenaran, lebih selamat dari hawa nafsu, dan lebih bersih dari perselisihan yang memecah belah mereka. Contoh: Telah sahih kabar dari Ibnu Abbas RA bahwa dia menafsirkan 'menyentuh perempuan' dengan 'hubungan badan'.
  • Keempat: perkataan tabi'in yang perhatian untuk mengambil tafsir dari para sahabat[7], karena mereka adalah generasi terbaik setelah sahabat, lebih selamat dari hawa nafsu daripada generasi setelahnya, dan bahasa Arab belum banyak berubah di masa mereka. Oleh karena itu, mereka lebih dekat kepada kebenaran dalam menafsirkan Alquran daripada generasi setelahnya.

    Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu' al Fatawa, "Apabila terdapat konsensus di antara para tabi'in, maka argumen mereka tidak dapat diragukan. Jika terdapat perbedaan, maka argumen-argumen mereka tidak bisa dipertentangkan dan tidak pula menentang argumen orang dari masa setelah mereka. Perbedaan itu dikembalikan kepada bahasa Alquran, sunnah, atau keumuman bahasa Arab atau perkataan sahabat atas hal itu."

  • Kelima: konsekuensi makna syar'i atau bahasa berdasarkan konteks terhadap suatu kalimat berdasarkan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,"[8] (QS An-Nisa' [4]: 105), "Sesungguhnya Kami menjadikan Alquran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya)," ([[Surah Az-Zukhruf|QS Az-Zukhruf [43]: 3) dan "Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, suapay ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka." ([[Surah Ibrahim|QS Ibrahim [14]: 4)

    Jika makna syar'i bertentangan dengan makna bahasa, maka diambil konsekuensi makna syar'i, kecuali terdapat dalil yang menguatkan makna bahasa sehingga diambil konsekuensi makna bahasa. Hal itu dikarenakan Alquran turun untuk menjelaskan syariat, bukan untuk menjelaskan bahasa.

    Contoh terjadinya perselisihan makna bahasa dan syar'i, kemudian diambil makna syar'i, firman Allah SWT tentang orang-orang munafik:

    (Dalam ayat terdapat kata yang bermakna as-shalah, kemudian diterjemahkan 'menyembahyangkan.') Salat secara bahasa artinya doa, sedangkan secara syar'i dalam ayat ini adalah berdiri di samping jenazah untuk mendoakannya dengan cara-cara khusus. Dengan demikian makna syar'i didahulukan, karena memang hal itulah yang dimaksud oleh Yang berbicara dan yang dipahami oleh yang mendengar. Adapun larangan berdoa untuk mereka secara mutlak diambil dari dalil lain.

    Contoh terjadinya perselisihan makna bahasa dan syar'i, kemudian diambil makna bahasa dengan dukungan dalil, firman Allah SWT

    (Dalam ayat terdapat kata yang bermakna as-shalah, kemudian diterjemahkan 'mendoalah.') Maksud salat di sini adalah doa berdasarkan dalil HR Muslim[9] dari Abdullah bin Abi Aufa bahwa Nabi ﷺ pernah ketika menerima zakat orang-orang, berdoa (bersalawat) untuk mereka. Kemudian datang Abi Aufa menyerahkan zakatnya, kemudian Nabi ﷺ berdoa, "Allâhumma shalli 'alâ âli Abî Awfa (Ya Allah, semoga salawat tercurahkan kepada keluarga Abi Aufa)."[10]

Bentuk Tafsir Alquran

Adapun bentuk-bentuk tafsir Alquran yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:

Tafsir bi al-Ma`tsur

Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Alquran dengan Alquran, Alquran dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi'in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.

Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja'far An Nahhas).

Tafsir bi ar-Ra'yi

Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Alquran, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:

“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2)

Kata 'alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz 'alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.

Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.

Tafsir Isyari

Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Alquran inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari. tafsyir berdasarkan intuisi, atau bisikan batin

Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:

'“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....” (Surat Al Baqarah: 67)

Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.

Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.

Metodologi Tafsir Alquran

Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin, dan metode maudlu’i.

Metode Tahlili (Analitik)

Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat Alquran sebagaimana tercantum dalam Alquran.

Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Alquran. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.

Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Alquran dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Alquran, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .

Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Alquran untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.

Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Alquran secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.

Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

Metode Muqarin

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

Metode Maudhu’i (Tematik)

Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam Alquran untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Alquran yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Alquran dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Alquran yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Macam tafsir Alquran

Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:

Ayat-ayat Alquran bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat.

Di antara berbagai corak itu antara lain adalah :

  • Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Alquran di bidang ini.
  • Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang memengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
  • Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Alquran sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
  • Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
  • Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.
  • Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Alquran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar.

Perkembangan

Ilmu tafsir Alquran terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Alquran dapat bermakna bagi umat Islam. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Alquran maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Alquran. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika.

Tafsir terkenal antara lain

  • 'Abdullah bin Abbas, dilahirkan di Syi’bi tiga tahun sebelum hijrah, ada yang mengatakan lima tahun sebelum hijrah, dan wafat di kota Thoif pada tahun 65 H, dan ada yang mengatakan tahun 67 H, dan ‘Ulama’ Jumhur mengatakan wafat pada tahun 68 H., banyak melahirkan beberapa tafsir yang tidak terhitung jumlahnya, dan tafsiran dia dikumpulkan dalam sebuah kitab yang diberi nama Tafsir ibnu Abbas. Di dalam kitab ini terdapat beberapa riwayat dan metode yang berbeda-beda, namun yang paling bagus adalah tafsir yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah Al Hasyimi.
  • Mujahid bin Jabr, dilahirkan pada tahun 21 H, pada masa ke pemimpinan Umar bin Khattob, dan wafat pada tahun 102/103 H. sedangkan menurut Yahya bin Qhatton, dia wafat pada tahun 104 H., termasuk tokoh tafsir pada masa tabi’in sehingga dia dikatakan tokoh paling ‘alim dalam bidang tafsir pada masa tabi’in, dan pernah belajar tafsir kepada Ibnu Abbas sebanyak 30 kali.
  • Atthobari, bernama lengkap Muhammad bin Jarir, di lahirkan di Baghdad pada tahun 224 H, dan wafat pada tahun 310 H. karangan-karangannya adalah Jami’ul Bayan Fi Tafsiril Qur’an, Tarikhul Umam Al muluk dan masih banyak lagi yang belum disebutkan.
  • Ibnu Katsir, bernama lengkap Isma’il bin Umar Al Qorsyi ibnu Katsir Al Bashri. Di lahirkan pada tahun 705 H. dan wafat pada tahun 774 H. termasuk ahli dalam bidang fiqih, hadist, sejarah, dan tafsir, karangan-karangannya adalah Al Bidayah Wan Nihayah Fi Tarikhi, Al Ijtihad Fi Tholabil jihad, Tafsirul Qur’an, dan lain-lainnya.
  • Fakhruddin Ar Rozi, bernama lengkap Muhammad bin Umar bin Al Hasan Attamimi Al Bakri Atthobaristani Ar Rozi Fakhruddin yang terkenal dengan sebutan Ibnul Khotib As Syafi’i, lahir di Royyi pada tahun 543 H. dan wafat pada tahun 606 H. di harrot, mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pasti, dan juga mendalami ilmu filsafat dan mantiq, karangannya adalah mafatihul Ghoib fi Tafsirul Qur’an, Al Muhasshol fi Ushulil Fiqh, Ta’jizul Falasifah dan lain-lainya.

Ilmu terkait

  1. Lughat (filologi), yaitu ilmu untuk mengetahui setiap arti kata Alquran. Mujahid rah.a., berkata, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia tidak layak berkomentar tentang ayat-ayat Alquran tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang ilmu lughat tidak cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti. Jadi hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Dapat terjadi, yang dimaksud kata tersebut adalah arti yang berbeda.
  2. Nahwu (tata bahasa). Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja i'rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i'rab hanya di dapat dalam ilmu nahwu.
  3. Sharaf (morfologi)
  4. Isytiqaq (akar kata)
  5. Ma'ani (susunan kata)
  6. Bayaan
  7. Badi'
  8. Qira'at
  9. Aqa'id
  10. Ushul Fiqih
  11. Asbabun Nuzul. Asbabunnuzul adalah sebuah ilmu yang menerangkan tentang latar belakang turunnya suatu ayat. Atau bisa juga keterangan yang menjelaskan tentang keadaan atau kejadian pada saat suatu ayat diturunkan, meski tidak ada kaitan langsung dengan turunnya ayat. Tetapi ada konsideran dan benang merah antara keduanya. Seringkali peristiwa yang terkait dengan turunnya suatu ayat bukan hanya satu, bisa saja ada beberapa peristiwa sekaligus yang menyertai turunnya suatu ayat. Atau bisa juga ada ayat-ayat tertentu yang turun beberapa kali, dengan motivasi kejadian yang berbeda.
  12. Nasikh Mansukh
  13. 'Fiqih
  14. Hadits
  15. Wahbi

Catatan Kaki

  1. ^ a b As-Suyuthi, hlm. 187.
  2. ^ Al-Utsaimin 2001, hlm. 23.
  3. ^ Al-Utsaimin 2001, hlm. 23-24.
  4. ^ Al-Utsaimin 2001, hlm. 25-28.
  5. ^ Ibnu Abi Hatim mengeluarkannya dalam tafsirnya 6/1945, hadis no. 10341. Al-Lalikai mengeluarkannya dalam Syarḥ Ushûl al-I'tiqâd cetakan kedua 3/458-459, hadis no. 785.
  6. ^ Ath-Thabari mengeluarkannya dalam tafsirnya 15/69, hadis no. 17633. Al-Lalikai mengeluarkannya dalam Syarḥ Ushûl al-I'tiqâd cetakan kedua 3/456.
  7. ^ terutama Tabi'in kibar (lebih banyak bertemu sahabat)
  8. ^ Maksud 'yang telah Allah wahyukan kepadamu' adalah yang telah Allah tunjukkan kepadamu.
  9. ^ Muslim mengeluarkannya di halaman 849, Kitab Zakat, Bab 54: Doa untuk orang yang membayar zakat, hadis no. 1078.
  10. ^ Hukum bersalawat kepada selain Nabi saw dan keluarganya diperselisihkan ulama. Yang membolehkan memberi syarat: (1) mengikuti salawat kepada Nabi ﷺ, (2) karena seseorang melakukan perbuatan baik sebagai bentuk rasa terima kasih, (3) tidak dianggap syiar agama Islam.

Daftar Pustaka

  • Al-Utsaimin, Muhammad Shalih (2001). Tim Editor Al-Maktabah al-Islamiyyah, ed. Ushûl fî at-Tafsîr (dalam bahasa bahasa Arab). Al-Maktabah al-Islamiyyah. 
  • As-Suyuthi. Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân (dalam bahasa bahasa Arab). Dar al-Fikr. 
  • Hamzah, Muchotob (2003). Studi Al-Qur'an Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media. ISBN 979-95526-1-3. 

Lihat Juga

Ayat Muhkam