Lompat ke isi

Al-Jami' al-Aqsha: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Memindahkan bagian "menara masjid" ke artikel Masjid Al-Aqsha
Baris 1: Baris 1:
{{about|masjid yang menjadi salah satu bagian dari kompleks Al Aqsha|keseluruhan kompleks|Masjid Al-Aqsha}}

{{Infobox religious building
{{Infobox religious building
|building_name=Masjid Qibli {{br}}
|building_name=Masjid Qibli {{br}}
|image=Israel-2007-Jerusalem-Temple Mount-Al-Aqsa Mosque 01.jpg
|image=Israel-2007-Jerusalem-Temple Mount-Al-Aqsa Mosque 01.jpg
|caption=
|caption=
|location=[[Al-Haram asy-Syarif|Masjid Al Aqsha]], [[Yerusalem]]
|location=[[Masjid Al-Aqsha|Masjid Al Aqsha]], [[Yerusalem]]
|geo={{coord|31|46|35|N|35|14|8|E|region:IS_type:landmark}}
|geo={{coord|31|46|35|N|35|14|8|E|region:IS_type:landmark}}
|religious_affiliation=[[Islam]]
|religious_affiliation=[[Islam]]
Baris 36: Baris 38:


== Masjid Qibli dan Al Aqsha ==
== Masjid Qibli dan Al Aqsha ==
{{further|Masjid Al-Aqsha}}
Masjid Qibli sering dianggap sebagai Masjid Al Aqsha itu sendiri, padahal selama berabad-abad yang dimaksud dengan Masjid Al Aqsha sesungguhnya tidak hanya masjid saja, melainkan juga keseluruhan kompleks tersebut yang dianggap sebagai suatu tempat yang suci. Perubahan penyebutan kemudian terjadi pada masa pemerintahan [[kesultanan Utsmaniyah]] (kira-kira abad ke-16 sampai awal 1918), dimana area kompleks di sekitar masjid disebut sebagai ''[[Al-Haram asy-Syarif|Al Haram Asy Syarif]]'', sedangkan istilah Al Aqsha mengerucut kepada Masjid Qibli saja.<ref name="Necipoglup85">{{cite book|title=Muqarnas: An Annual on the Visual Culture of the Islamic World|first1=Sabri|last1=Jarrar|editor=Gülru Necipoğlu|edition=Ilustrasi, anotasi|publisher=BRILL|year=1998|isbn=9004110844, 9789004110847|url=http://books.google.com/?id=FG6ZlkRjD2IC&pg=PA85&dq=aqsa+haram+sharif&cd=6#v=onepage&q=aqsa%20haram%20sharif|page=85}}</ref>
Masjid Qibli sering dianggap sebagai Masjid Al Aqsha itu sendiri, padahal selama berabad-abad yang dimaksud dengan Masjid Al Aqsha sesungguhnya tidak hanya bangunan tempat shalat di kompleks bagian selatan, melainkan keseluruhan kompleks tersebut yang dianggap sebagai suatu tempat yang suci. Perubahan penyebutan kemudian terjadi pada masa pemerintahan [[kesultanan Utsmaniyah]] (kira-kira abad ke-16 sampai awal 1918), wilayah kompleks di sekitar masjid disebut sebagai ''[[Al-Haram asy-Syarif|Al Haram Asy Syarif]]'', sedangkan istilah Al Aqsha mengerucut kepada Masjid Qibli saja.<ref name="Necipoglup85">{{cite book|title=Muqarnas: An Annual on the Visual Culture of the Islamic World|first1=Sabri|last1=Jarrar|editor=Gülru Necipoğlu|edition=Ilustrasi, anotasi|publisher=BRILL|year=1998|isbn=9004110844, 9789004110847|url=http://books.google.com/?id=FG6ZlkRjD2IC&pg=PA85&dq=aqsa+haram+sharif&cd=6#v=onepage&q=aqsa%20haram%20sharif|page=85}}</ref>


== Sejarah ==
== Sejarah ==
Baris 89: Baris 92:


Kubah Masjid Qibli adalah salah satu dari sedikit masjid dengan kubah yang dibangun di depan ''[[mihrab]]'' selama periode [[Umayyah]] dan [[Abbasiyah]], contoh lainnya adalah [[Masjid Umayyah]] di [[Damaskus]] (715) dan Masjid Besar [[Sousse]] (850).<ref>Necipogulu, Gulru. (1999). ''[http://books.google.com/books?id=HAROVoRQluoC&pg=PA10&dq=Aqsa+Mosque+wooden+dome&sig=ACfU3U0G2evFKb_1PvNcuOG24QEE58-CUQ#PPA14,M1 Muqarnas, Volume 16: An Annual on the Visual Culture of the Islamic World]'' BRILL, p.14. ISBN 90-04-11482-3.</ref> Interior kubah dicat menurut dekorasi era abad ke-14. Pada kebakaran tahun 1969, cat dekoratif itu rusak dan sempat dianggap sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Namun dengan menggunakan teknik ''trateggio'', yaitu sebuah metode yang menggunakan garis-garis vertikal halus untuk membedakan daerah yang direkonstruksi dengan daerah yang asli, akhirnya dapat diperbaiki kembali dengan sempurna.<ref name="Archnet"/>
Kubah Masjid Qibli adalah salah satu dari sedikit masjid dengan kubah yang dibangun di depan ''[[mihrab]]'' selama periode [[Umayyah]] dan [[Abbasiyah]], contoh lainnya adalah [[Masjid Umayyah]] di [[Damaskus]] (715) dan Masjid Besar [[Sousse]] (850).<ref>Necipogulu, Gulru. (1999). ''[http://books.google.com/books?id=HAROVoRQluoC&pg=PA10&dq=Aqsa+Mosque+wooden+dome&sig=ACfU3U0G2evFKb_1PvNcuOG24QEE58-CUQ#PPA14,M1 Muqarnas, Volume 16: An Annual on the Visual Culture of the Islamic World]'' BRILL, p.14. ISBN 90-04-11482-3.</ref> Interior kubah dicat menurut dekorasi era abad ke-14. Pada kebakaran tahun 1969, cat dekoratif itu rusak dan sempat dianggap sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Namun dengan menggunakan teknik ''trateggio'', yaitu sebuah metode yang menggunakan garis-garis vertikal halus untuk membedakan daerah yang direkonstruksi dengan daerah yang asli, akhirnya dapat diperbaiki kembali dengan sempurna.<ref name="Archnet"/>

=== Menara masjid ===
Masjid ini memiliki empat menara di sisi selatan, utara, dan barat.<ref name="UV"/> Menara pertama, dikenal sebagai Al Fakhariyyah, dibangun pada tahun 1278 di bagian barat daya masjid atas perintah sultan [[Mamluk]], [[Lajin]]. Menara ini dibangun dalam gaya tradisional [[Suriah]], dengan landasan dan poros bangunan berbentuk persegi, serta dibagi menjadi tiga lantai dengan cetakan hias. Pada bagian atasnya terdapat dua deret ''[[muqarnas]]'' (ceruk hias) sebagai dekorasi untuk balkon ''[[Mu'azzin|muazzin]]''. Ceruk hias ini dilingkupi oleh suatu bilik persegi, yang pada bagian atasnya terdapat kubah batu berlapis timah.<ref name="FoaA"/>

[[Berkas:Ghawanima Minaret-Aqsa.JPG|thumb|right|Menara Al Ghawanimah, 1900.]]
Menara kedua, yang dikenal dengan nama Al Ghawanimah, dibangun di sisi barat laut kompleks Al Aqsha pada tahun 1297–98 oleh arsitek Qadi Sharafuddin Al Khalili, atas perintah Sultan Lajin. Menara ini memiliki tinggi 37 meter.<ref name="FoaA">[http://web.archive.org/web/20101111170439/http://www.aqsa.org.uk/MULTIMEDIA/AlAqsaGuide/tabid/82/language/en-GB/Default.aspx Al-Aqsa Guide] Friends of al-Aqsa.</ref> dan hampir seluruhnya terbuat dari batu, selain dari kanopi kayu yang terletak di atas balkon ''muazzin''. Karena struktur bangunannya yang kokoh, menara Al Ghawanimah hampir tidak terpengaruh oleh berbagai gempa bumi yang terjadi. Menara ini dibagi menjadi beberapa tingkat oleh cetakan batu dan galeri-galeri dengan bentuk hiasan menyerupai [[stalaktit]]. Dua tingkat pertama berukuran lebih luas dan menjadi landasan menara. Keempat tingkat selanjutnya dilingkupi oleh ruangan berbentuk silinder dan sebuah kubah bulat. Tangga untuk dua lantai pertama terletak di luar bangunan, tetapi kemundian menjadi tangga dalam berbentuk spiral sejak dari lantai tiga sampai mencapai balkon ''muazzin''.<ref name="ADL1">[http://archnet.org/library/sites/one-site.jsp?site_id=5550 Ghawanima Minaret] Archnet Digital Library.</ref>

Tankiz, gubernur Mamluk di Suriah, pada tahun 1329 memerintahkan pembangunan menara ketiga yang dikenal sebagai Bab As Silsilah. Menara ini terletak di sisi barat Masjid Qibli. Menara ini, yang mungkin dibangun untuk menggantikan menara Umayyah sebelumnya, dibangun berbentuk persegi menurut gaya tradisional Suriah dan seluruhnya terbuat dari batu.<ref>[http://archnet.org/library/sites/one-site.jsp?site_id=5548 Bab al-Silsila Minaret] Archnet Digital Library.</ref> Berdasarkan tradisi lama Muslim setempat ''muazzin'' terbaik melakukan ''azan'' dari menara ini, karena seruan ''azan'' pertama untuk setiap awal salat lima waktu selalu dikumandangkan dari sini.<ref name="FoaA"/>

Menara terakhir dan yang paling terkenal adalah Bab Al Asbat. Menara ini dibangun pada tahun 1367. Menara ini berupa poros batu silinder (dibangun kemudian pada masa [[Utsmaniyah]]), yang berdiri di atas landasan berbentuk persegi panjang dari masa Mamluk, dan di terdapat formasi transisi yang berbentuk segitiga.<ref name="Asbat"/> Poros bangunan menyempit pada bagian balkon ''[[muazzin]]'', dilengkapi beberapa jendela melingkar,<ref name="FoaA"/> serta pada bagian atasnya terdapat kubah berbentuk [[bulat]]. Kubah ini dibangun kembali setelah terjadinya [[gempa bumi Lembah Yordan 1927]].<ref name="Asbat">[http://archnet.org/library/sites/one-site.jsp?site_id=5551 Bab al-Asbat Minaret] Archnet Digital Library.</ref>

Di bagian timur masjid tidak terdapat menara karena dalam sejarah dahulu sangat sedikit penduduk di sisi tersebut, sehingga tidak diperlukan menara tambahan untuk menyerukan ''[[azan]]''.<ref name="UV"/> Namun, [[Abdullah II dari Yordania|Raja Abdullah II dari Yordania]] pada tahun 2006 mengumumkan keinginannya untuk membangun menara kelima yang menghadap ke Bukit Zaitun. Menara Raja Hussein ini nantinya direncanakan menjadi struktur bangunan tertinggi di [[Kota Lama Yerusalem|Kota Tua]] [[Yerusalem]].<ref>[http://www.timesonline.co.uk/article/0,,251-2403700,00.html/ Minaret that can't rise above politics], ''The Times'', October 14, 2006]</ref><ref>(February 2, 2007) [http://www.ynetnews.com/articles/0,7340,L-3360707,00.html Israel allows minaret over Temple Mount], ''Ynet''</ref><ref>(October 11, 2006)[http://fr.jpost.com/servlet/Satellite?pagename=JPost/JPArticle/ShowFull&cid=1159193420982 Jordan plans new Temple Mt. minaret]{{dead link|date=July 2010}}, ''Jerusalem Post''</ref>


=== Fasad dan serambi ===
=== Fasad dan serambi ===

Revisi per 6 Agustus 2017 15.47

Masjid Qibli
PetaKoordinat: 31°46′34″N 35°14′9″E / 31.77611°N 35.23583°E / 31.77611; 35.23583
Agama
AfiliasiIslam
DistrikKota Lama Yerusalem
Ecclesiastical or organizational statusMasjid
KepemimpinanYayasan Wakaf
Lokasi
LokasiMasjid Al Aqsha, Yerusalem
Koordinat31°46′35″N 35°14′8″E / 31.77639°N 35.23556°E / 31.77639; 35.23556
Arsitektur
TipeMasjid
Gaya arsitekturArsitektur Islam awal, Mamluk
Peletakan batu pertama685 (konstruksi pertama)
1033 (konstruksi kedua)
Rampung705 (konstruksi pertama)
1035 (konstruksi kedua)
Spesifikasi
Arah fasadUtara
Kapasitas5.000[1]
Panjang83 meter (272 kaki)
Lebar56 meter (184 kaki)
Kubah1
Menara4
Tinggi menara37 meter (121 kaki)
Bahan bangunanBatu kapur (tembok luar, menara, fasad), stalaktit (menara), timah (kubah), marmer putih (kolom interior)

Masjid Al Qibli (bahasa Arab:المسجد القِبْلي) adalah salah satu bangunan utama yang terdapat dalam kompleks Masjid Al Aqsha bagian selatan. Bangunan ini sering disalahartikan dengan Masjid Al Aqsha itu sendiri. Masjid Al Aqsha adalah nama yang merujuk kepada keseluruhan kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa bangunan penting, seperti Masjid Qibli itu sendiri dan Kubah Shakhrah.

Masjid ini pertama kali dibangun di masa Umar bin Khaththab, meskipun beberapa pendapat menyatakan bahwa masjid ini dibangun di masa Kekhalifahan Umayyah. Setelah gempa bumi tahun 746, masjid ini hancur seluruhnya dan dibangun kembali oleh khalifah Abbasiyah Al Mansur pada tahun 754, dan dikembangkan lagi oleh penggantinya Al-Mahdi pada tahun 780. Gempa berikutnya menghancurkan sebahagian besar Masjid Qibli pada tahun 1033, namun dua tahun kemudian khalifah Fatimiyyah Ali Azh Zhahir membangun kembali masjid ini yang masih tetap berdiri hingga kini. Dalam berbagai renovasi berkala yang dilakukan, berbagai dinasti kekhalifahan Islam telah melakukan penambahan terhadap masjid dan kawasan sekitarnya, antara lain pada bagian kubah, fasad, mimbar, menara, dan interior bangunan. Ketika Tentara Salib menaklukkan Yerusalem pada tahun 1099, mereka menggunakan masjid ini sebagai istana dan Kubah Shakhrah sebagai gereja, namun fungsi masjid dikembalikan seperti semula setelah Shalahuddin mengambil alih kepemimpinan kota itu. Renovasi, perbaikan, dan penambahan lebih lanjut dilakukan pada abad-abad kemudian oleh para penguasa Ayyubiyah, Mamluk, Utsmaniyah, Majelis Tinggi Islam, dan Yordania.

Pembakaran Masjid Qibli pada tanggal 21 Agustus 1969 telah mendorong berdirinya Organisasi Konferensi Islam yang saat ini beranggotakan 57 negara. Pembakaran tersebut juga menyebabkan mimbar kuno Shalahuddin Al-Ayyubi terbakar habis. Dinasti Bani Hasyim penguasa Kerajaan Yordania telah menggantinya dengan mimbar baru yang dikerjakan di Yordania[2], meskipun ada pula yang menyatakan bahwa mimbar buatan Jepara digunakan di masjid ini.[3][4]

Masjid Qibli dan Al Aqsha

Masjid Qibli sering dianggap sebagai Masjid Al Aqsha itu sendiri, padahal selama berabad-abad yang dimaksud dengan Masjid Al Aqsha sesungguhnya tidak hanya bangunan tempat shalat di kompleks bagian selatan, melainkan keseluruhan kompleks tersebut yang dianggap sebagai suatu tempat yang suci. Perubahan penyebutan kemudian terjadi pada masa pemerintahan kesultanan Utsmaniyah (kira-kira abad ke-16 sampai awal 1918), wilayah kompleks di sekitar masjid disebut sebagai Al Haram Asy Syarif, sedangkan istilah Al Aqsha mengerucut kepada Masjid Qibli saja.[5]

Sejarah

Pra konstruksi

Area masjid ini dahulu adalah bagian perluasan pembangunan bukit oleh Raja Herodes Agung, yang dimulai pada tahun 20 SM. Herodes memerintahkan tukang batu untuk memotong permukaan batu di sisi timur dan selatan bukit, dan melapisinya. Sisa-sisa pembangunan tersebut saat ini masih dapat ditemukan di beberapa lokasi.[6] Ketika Bait Kedua masih berdiri, situs tempat masjid saat ini berdiri disebut dengan nama Serambi Salomo, dan pada tiap sisinya terdapat gudang kuil yang dinamakan chanuyot, yang memanjang sampai ke sisi selatan bukit. Konstruksi tiang-tiang kolom besar persegi di bagian utara masjid serta tembok-temboknya, baru-baru ini ditetapkan memiliki usia jauh lebih tua daripada yang diperkirakan sebelumnya oleh peneliti-peneliti terdahulu (berdasarkan tulisan para saksi mata dari masa itu), yaitu bahwa konstruksi tersebut berasal dari masa kekuasaan Romawi. Tembok-tembok tersebut dibangun kembali atau diperkuat tidak lama setelah penghancuran Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Struktur bawah tanah bangunan ini berasal dari masa kembalinya orang Yahudi dari pembuangan Babilonia mereka, yaitu 2.300 tahun yang lalu. Situasi politik telah menyebabkan penggalian lebih lanjut di area tersebut tidak memungkinkan. Pada saat gempa bumi tahun 1930-an merusak masjid ini, penanggalan atas beberapa bagian yang terbuat dari kayu sempat dilakukan, yang menunjukkan kurun 900 SM. Kayu-kayu tersebut adalah cypress (sejenis cemara) dan akasia. Jenis yang disebut terakhir menurut Alkitab digunakan oleh Raja Salomo dalam konstruksi bangunan-bangunannya di bukit tersebut pada sekitar 900 SM.[7] Bersama dengan Bait Suci, chanuyot yang ada ikut hancur oleh serangan Kaisar Romawi Titus (saat itu masih jenderal) pada tahun 70. Kaisar Yustinianus membangun sebuah gereja Kristen di situs ini pada tahun 530-an, yang dipersembahkan bagi Perawan Maria dan dinamakan "Gereja Bunda Kita". Gereja ini belakangan dihancurkan oleh Kaisar Sassania Khosrau II pada awal abad ke-7, hingga tersisa sebagai reruntuhan.[8]

Konstruksi Umayyah

Masjid Qibli di sepanjang dinding selatan Masjid Al Aqsha

Tidak diketahui secara tepat waktu Masjid Qibli pertama kali dibangun dan pihak yang memerintahkan pembangunannya, tetapi dapat dipastikan bahwa pembangunannya dilakukan pada masa awal pemerintahan Umayyah di Palestina. Merujuk pada kesaksian Arculf, seorang biarawan Galia yang berziarah ke Palestina pada 679-82, sejarawan arsitektur Sir Archibal Creswell berpendapat bahwa Umar bin Khaththab mungkin adalah orang yang pertama kali mendirikan bangunan persegi empat primitif dengan daya tampung 3.000 jamaah di suatu tempat di kompleks Masjid Al Aqsha (disebut kompleks Bukit Bait Suci oleh umat Yahudi). Arculf mengunjungi Palestina pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Dengan demikian, adalah mungkin bahwa Muawiyahlah yang memerintahkan pembangunan dan bukan Umar. Pendapat terakhir ini didukung oleh tulisan dari ulama Yerusalem awal Al Mutahhar bin Tahir Al Maqdisi.[9] Analisis atas panel dan balok kayu yang diambil dari bangunan ini selama renovasi pada tahun 1930-an menunjukkan bahwa kayu-kayu tersebut adalah cedar Libanon dan cypress. Penanggalan radiokarbon menunjukkan berbagai macam usia, beberapa bahkan setua abad ke-9 SM, yang menunjukkan bahwa beberapa dari kayu tersebut sebelumnya telah digunakan pada bangunan-bangunan yang lebih tua.[10]

Menurut beberapa ulama Islam, antara lain Mujiruddin Al-Ulaimi, Jalaluddin As-Suyuthi, dan Syamsuddin Al-Maqdisi, masjid ini dibangun kembali dan diperluas oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada 690 bersama dengan Kubah Batu.[9][11] Guy le Strange mengklaim bahwa Abdul Malik menggunakan bahan-bahan dari Gereja Bunda Kita yang hancur untuk membangun masjid dan menunjukkan bukti bahwa kemungkinan substruktur di sudut tenggara masjid adalah sisa-sisa gereja tersebut.[11] Dalam merencanakan proyek megahnya di Bukit Bait Suci, yang pada akhirnya akan mengubah keseluruhan kompleks itu menjadi Masjid Al Aqsha, Abdul Malik ingin mengubah bangunan primitif sebagaimana digambarkan oleh Arculf menjadi struktur yang lebih terlindung yang melingkupi kiblat, suatu faktor penting dalam skema lengkap rancangannya. Namun, seluruh kompleks Al Aqsha itu dimaksudkan untuk melambangkan masjid. Seberapa banyak perubahan yang ia lakukan pada aspek bangunan sebelumnya tidak diketahui, tetapi panjang bangunan baru ditunjukkan dengan adanya bekas jembatan yang mengarah ke istana Umayyah, yang terletak di sebelah selatan dari bagian barat kompleks. Jembatan kemungkinan dahulunya membentang dari jalan di luar tembok selatan Al Aqsha, sebagai jalan langsung menuju masjid. Adanya jalan langsung dari istana ke masjid adalah sebuah ciri khas yang terkenal pada masa Umayyah, sebagaimana terdapat pada situs-situs awal lainnya. Abdul Malik menggeser poros tengah masjid sekitar 40 meter ke arah barat, sesuai dengan rencana lengkapnya atas Masjid Al Aqsha. Poros bangunan sebelumnya yang berbentuk sebuah ceruk, saat ini masih dikenal dengan sebutan "Mihrab Umar". Karena memperhatikan benar posisi Kubah Batu, Abdul Malik meminta arsiteknya menyejajarkan Masjid Qibli yang baru dengan posisi batu Ash-Shakhrah, sehingga sumbu utama utara-selatan Al Aqsha yang sebelumnya, yaitu garis yang melalui Kubah Silsilah dan Mihrab Umar, menjadi bergeser.[12]

Creswell, yang merujuk pada Papyri Aphrodito, sebaliknya mengklaim bahwa Al Walid bin Abdul Malik adalah yang membangun kembali Masjid Qibli selama periode enam bulan sampai satu tahun, dengan para pekerja dari Damaskus. Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa rekonstruksi masjid dimulai oleh Abdul Malik, namun Al-Walid lah yang mengawasinya hingga selesai. Dalam tahun 713-714, serangkaian gempa bumi telah merusak Yerusalem dan menghancurkan bagian timur masjid, yang akhirnya dibangun kembali pada masa pemerintahan Al-Walid tersebut. Untuk membiayai rekonstruksi ini, Al-Walid memerintahkan emas dari Kubah Shakhrah dicetak sebagai sebagai uang logam untuk membeli bahan-bahan bangunan.[9] Masjid Qibli yang dibangun Umayyah kemungkinan besar berukuran 112 x 39 meter.[12]

Gempa bumi dan pembangunan kembali

Fasad dan serambi masjid ini dibangun dan diperluas oleh para penguasa Fatimiyah, Tentara Salib, Mamluk dan Ayyubiyah.

Pada tahun 746, Masjid Qibli rusak akibat gempa bumi, yaitu empat tahun sebelum Abul Abbas As Saffah menggulingkan Ummayah dan mendirikan kekhalifahan Abbasiyah. Khalifah Abbasiyah yang kedua Abu Jafar Al Mansur pada tahun 753 menyatakan niatnya untuk memperbaiki masjid itu. Ia memerintahkan agar lempengan emas dan perak yang menutupi gerbang masjid dilepaskan dan dicetak menjadi uang dinar dan dirham untuk membiayai kegiatan rekonstruksi, yang diselesaikan pada tahun 771. Gempa kedua yang terjadi pada tahun 774 kemudian merusak sebagian besar perbaikan Al Mansur itu, kecuali perbaikan pada bagian selatan masjid.[11][13] Pada tahun 780, khalifah selanjutnya Muhammad Al-Mahdi membangunnya kembali, tapi ia mengurangi panjangnya serta memperbesar lebarnya.[11][14] Renovasi Al-Mahdi adalah renovasi pertama yang diketahui memiliki catatan tertulis yang menjelaskan hal itu.[15] Pada tahun 985, seorang ahli geografi Arab kelahiran Yerusalem bernama Al Maqdisi mencatat bahwa masjid hasil renovasi memiliki "lima belas lengkungan dan lima belas gerbang".[13]

Pada tahun 1033 terjadi lagi sebuah gempa bumi, yang sangat merusak masjid. Antara tahun 1034 dan 1036, khalifah Fatimiyah Ali Azh Zhahir membangun kembali dan merenovasi masjid secara menyeluruh. Jumlah lengkungan secara drastis dikurangi dari lima belas menjadi tujuh. Azh Zhahir membangun empat buah arkade untuk aula tengah dan lorong, yang saat ini berfungsi sebagai fondasi masjid. Aula tengah diperbesar dua kali lipat dari lebar lorong lainnya, dan memiliki ujung atap besar yang di atasnya dibangun sebuah kubah dari kayu.[9]

Daerah Al-Haram (daerah yang suci) terdapat di sebelah timur dari kota ini; dan melalui bazar di (bagian kota) ini anda akan memasukkan Daerah tersebut melalui pintu gerbang (Dargah) yang besar dan indah... Setelah melewati gerbang ini, di sebelah kanan anda terdapat dua baris tiang-tiang besar (Riwaq), masing-masing memiliki sembilan dan dua puluh pilar-pilar marmer, yang bagian puncak dan dasarnya berupa pualam berwarna, dan persambungannya terbuat dari timah. Di atas pilar-pilar terdapat lengkungan-lengkungan, yang terbuat dari batu bata, tanpa pelapis plester atau semen, dan setiap lengkungan dibangun dengan tidak lebih dari lima atau enam blok batu. Pilar-pilar ini mengarah sampai ke dekat Maqsurah.
Nasir Khusraw', deskripsi masjid pada tahun 1047 Masehi (Safarnama, terjemahan Guy Le Strange)[16]

Yerusalem direbut oleh Tentara Salib pada tahun 1099, selama Perang Salib Pertama. Alih-alih menghancurkan Masjid Qibli, yang mereka sebut "Bait Salomo", Tentara Salib menggunakannya sebagai istana kerajaan dan kandang kuda. Pada tahun 1119, tempat ini berubah menjadi markas para Ksatria Templar. Selama periode ini, masjid mengalami beberapa perubahan struktural, termasuk perluasan serambi utara, penambahan apse, dan sebuah dinding pembatas. Sebuah kloster baru dan sebuah gereja juga dibangun di situs tersebut, bersama dengan beberapa struktur bangunan lainnya.[17] Para Ksatria Templar membangun pavilyun berkubah di sisi barat dan timur bangunan. Pavilyun barat saat ini berfungsi sebagai masjid untuk jamaah perempuan dan pavilyun timur berfungsi sebagai Museum Islam.[13]

Setelah Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil memimpin Ayyubiyah merebut kembali Yerusalem melalui pengepungan pada tahun 1187, beberapa perbaikan dilakukan atas Masjid Qibli.[2] Nuruddin Zengi yang menjadi sultan sebelum Shalahuddin, sebelumnya telah menugaskan pembangunan mimbar baru yang terbuat dari gading dan kayu pada tahun 1168-1169, namun mimbar itu baru selesai setelah ia wafat. Mimbar Nuruddin telah ditambahkan oleh Shalahuddin ke masjid pada bulan November 1187.[18] Penguasa Ayyubiyah di Damaskus, Sultan Al-Muazzam, pada tahun 1218 membangun serambi utara masjid dengan tiga buah gerbang. Pada tahun 1345, penguasa Mamluk di bawah pemerintahan Al Kamil Shaban menambahkan dua lengkungan dan dua gerbang pada bagian timur masjid.[13]

Setelah Utsmaniyah merebut kekuasaan pada 1517, mereka tidak melakukan renovasi atau perbaikan besar atas Masjid Qibli secara khusus, tetapi mereka melakukan perbaikan pada Masjid Al Aqsha secara keseluruhan. Hal ini termasuk antara lain pembangunan Air Mancur Qasim Pasya (1527), perbaikan kembali Kolam Raranj, serta pembangunan tiga kubah yang berdiri bebas. Kubah yang paling terkenal ialah Kubah Nabi, dibangun pada tahun 1538. Semua pembangunan adalah atas perintah para gubernur Utsmaniyah di Yerusalem dan bukan atas perintah para sultan.[19] Walaupun demikian, para sultan melakukan penambahan pada menara-menara yang telah ada.[19]

Masa modern

Kubah masjid pada tahun 2013, terbuat dari aluminium (dan tampak seperti perak). Kubah telah diganti lapisan timah sebagaimana aslinya pada tahun 1983.

Renovasi pertama pada abad ke-20 dilakukan pada tahun 1922, yaitu setelah Majelis Tinggi Islam Yerusalem di bawah pimpinan Amin Al Husseini mempekerjakan Ahmet Kemalettin Bey, seorang arsitek berkebangsaan Turki, untuk merestorasi Masjid Qibli dan monumen-monumen di sekitarnya. Dewan tersebut juga menugaskan arsitek-arsitek Inggris, ahli-ahli Mesir, dan para pejabat lokal untuk ikut berpartisipasi dan mengawasi perbaikan yang dilakukan pada tahun 1924–25 di bawah pengawasan Kemalettin. Renovasi meliputi penguatan fondasi kuno masjid Umayyah, perbaikan tiang-tiang kolom interior, penggantian balok-balok, pendirian perancah, perawatan lengkungan dan bagian dalam kubah, pendirian kembali dinding selatan, serta penggantian tiang kayu di ruangan tengah dengan tiang beton. Renovasi tersebut juga menampilkan kembali mosaik era Fatimiyah dan kaligrafi di lengkungan-lengkungan interior yang sebelumnya tertutupi oleh lapisan pelapis. Lengkungan-lengkungan dihiasi dengan gipsum berwarna hijau dan emas dan balok kayu landasannya digantikan dengan tembaga. Seperempat dari jendela kaca patri juga diperbaharui dengan hati-hati agar dapat melestarikan desain asli Abbasiyah dan Fatimiyahnya.[20] Kerusakan hebat telah terjadi karena gempa bumi tahun 1927 dan 1937, namun masjid itu diperbaiki kembali pada tahun 1938 dan 1942.[13]

Masjid Qibli dilihat dari plaza Tembok Barat, 2005.

Pada tanggal 21 Agustus 1969, terjadi kebakaran di dalam Masjid Qibli yang memusnahkan bangunan bagian tenggara masjid. Mimbar Salahuddin adalah termasuk di antara barang-barang yang rusak terbakar.[18] Orang-orang Palestina awalnya menyalahkan otoritas Israel atas kebakaran tersebut, dan beberapa orang Israel menyalahkan Fatah dan menganggap bahwa mereka yang menyulut sendiri apinya, agar dapat menyalahkan Israel dan memancing permusuhan. Namun kemudian terbukti bahwa kebakaran itu bukan disebabkan oleh Fatah maupun Israel, melainkan oleh seorang turis Australia bernama Denis Michael Rohan. Rohan adalah anggota dari sekte evangelis Kristen Worldwide Church of God.[21] Ia berharap bahwa dengan membakar Masjid Qibli, ia dapat mempercepat Kedatangan Kedua Yesus, dengan cara mempermudah dibangunnya kembali Bait Suci Yahudi di kompleks Masjid Al Aqsha. Rohan dirawat di lembaga perawatan mental, didiagnosa mengalami gangguan kejiwaan, dan akhirnya dideportasi.[22] Serangan terhadap Al Aqsha disebut-sebut sebagai salah satu penyebab dibentuknya Organisasi Konferensi Islam pada tahun 1971, yang merupakan organisasi dari 57 negara yang banyak berpenduduk Islam.[23]

Pada tahun 1980-an, Ben Shoshan dan Yehuda Etzion, keduanya anggota kelompok bawah tanah Gush Emunim, merencanakan untuk meledakkan Masjid Qibli dan Kubah Batu. Etzion berpendapat bahwa meledakkan dua bangunan tersebut akan menyebabkan kebangkitan spiritual Israel, dan menyelesaikan semua permasalahan orang Yahudi. Mereka juga berharap bahwa Bait Suci Ketiga di Yerusalem dapat didirikan di atas lokasi tersebut. Rencana mereka mengalami kegagalan karena lebih dahulu diketahui pihak kepolisian.[24][25] Pada tanggal 15 Januari 1988, yaitu saat berlangsungnya Intifadah Pertama, pasukan Israel menembakkan peluru karet dan gas air mata kepada para demonstran di luar masjid, mengakibatkan 40 orang jemaah luka-luka.[26][27] Pada tanggal 8 Oktober 1990, dalam suatu kerusuhan 22 orang warga Palestina terbunuh dan lebih dari 100 lainnya luka-luka karena tindakan keras Polisi Perbatasan Israel. Kerusuhan dipicu oleh pengumuman dari Gerakan Setia Bait Suci, suatu kelompok Yahudi Ortodoks, yang menyatakan bahwa mereka akan meletakkan batu pertama untuk pembangunan Bait Suci Ketiga.[28][29]

Arsitektur

Bangunan Masjid Al Qibli berbentuk persegi dengan luas 35.000 m2, sehingga dapat menampung 5.000 jamaah.[30] Panjang bangunan masjid adalah 272 kaki (83 m) dan lebarnya 184 kaki (56 m).[30][31]

Kubah

Kubah berwarna perak yang tersusun dari lapisan timah.

Berbeda dengan Kubah Batu yang mencerminkan arsitektur Romawi Timur klasik, kubah Masjid Qibli menunjukkan ciri arsitektur Islam awal.[32] Kubah yang asli dibangun oleh Abdul Malik bin Marwan, namun sekarang sudah tidak ada lagi sisanya. Bentuk kubah seperti yang ada saat ini awalnya dibangun oleh Ali Azh Zhahir dan terbuat dari kayu yang disepuh dengan lapisan enamel timah.[9] Pada tahun 1969, kubah dibangun kembali dengan menggunakan beton dan dilapisi dengan aluminium yang dianodisasi sebagai ganti dari bentuk aslinya yaitu lapisan enamel timah yang berusuk. Pada tahun 1983, aluminium yang menutupi bagian luar diganti lagi dengan timah untuk menyesuaikan dengan desain asli Azh Zhahir.[33]

Kubah Masjid Qibli adalah salah satu dari sedikit masjid dengan kubah yang dibangun di depan mihrab selama periode Umayyah dan Abbasiyah, contoh lainnya adalah Masjid Umayyah di Damaskus (715) dan Masjid Besar Sousse (850).[34] Interior kubah dicat menurut dekorasi era abad ke-14. Pada kebakaran tahun 1969, cat dekoratif itu rusak dan sempat dianggap sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Namun dengan menggunakan teknik trateggio, yaitu sebuah metode yang menggunakan garis-garis vertikal halus untuk membedakan daerah yang direkonstruksi dengan daerah yang asli, akhirnya dapat diperbaiki kembali dengan sempurna.[33]

Fasad dan serambi

Fasad dan serambi masjid.

Bagian depan (fasad) masjid ini dibangun pada 1065 Masehi atas perintah khalifah Fatimiyah Al-Mustanshir. Di bagian muka terdapat bangunan pagar langkan (balustrade) berupa lorong-lorong beratap (arkade) dengan tiang-tiang kolom kecil. Tentara Salib merusak fasad ini ketika mereka memerintah Palestina, namun Ayyubiyah memperbaiki dan membangunnya kembali. Fasad juga mengalami penambahan berupa penempelan ubin pada dindingnya.[13] Bahan bekas pakai yang digunakan untuk membangun lengkungan fasad antara lain termasuk bahan hias pahatan yang diambil dari bangunan-bangunan Tentara Salib di Yerusalem.[35] Terdapat empat belas lengkungan batu di sepanjang fasad,[1] sebagian besar bergaya Romantik. Mamluk menambahkan lengkungan-lengkungan terluar, yang dibangun dengan mengikuti desain yang sama. Pintu masuk ke masjid adalah dengan melalui lengkungan tengah pada fasad tersebut.[36]

Sebuah bangunan serambi (bilik) terletak di bagian atas fasad ini. Bagian tengah serambi dibangun oleh Ksatria Templar pada masa Perang Salib Pertama, namun Al Muazzam kemenakan Shalahuddin adalah yang memerintahkan dibangunnya bangunan serambi itu sendiri pada tahun 1217.[13]

Interior

Interior masjid yang menunjukkan lorong utama dengan tiang-tiang melengkung.

Masjid Qibli memiliki tujuh buah lorong dengan ruang yang ditunjang oleh tiang-tiang melengkung (hypostyle nave), serta beberapa ruang kecil tambahan di sisi sebelah barat dan timur pada bangunan masjid bagian selatan.[14] Terdapat pula 121 jendela kaca patri dari era Abbasiyah dan Fatimiyah, dimana seperempatnya telah selesai direstorasi pada tahun 1924.[20]

Pintu-pintu pada mimbar Shalahuddin, awal tahun 1900-an.

Ruangan dalam masjid memiliki 45 tiang kolom, 33 diantaranya terbuat dari marmer putih dan 12 lainnya dari batu.[30] Barisan tiang kolom pada lorong-lorong tengah berbentuk kokoh dan kerdil, dengan ukuran lingkar 30,6 cm dan tinggi 54 cm, akan tetapi empat barisan tiang kolom lainnya memiliki ukuran yang lebih lebih proporsional. Terdapat empat jenis desain yang berbeda untuk bagian kepala tiang kolom. Kepala tiang di lorong tengah berbentuk kokoh dan berdesain primitif, sedangkan kepala tiang yang di bawah kubah berdesain gaya Korintus[30] dan terbuat dari marmer putih Italia. Kepala tiang di lorong timur memiliki desain berbentuk keranjang yang besar, sementara kepala tiang di sebelah timur dan barat kubah juga berbentuk keranjang tetapi berukuran lebih kecil dan lebih proporsional. Terdapat palang penghubung antara tiang kolom dan tembok penyangga yang satu dengan yang lainnya, yang terbuat dari balok kayu yang dipotong sederhana dan berlapis selubung kayu dengan ukiran seadanya.[30]

Banyak bagian masjid yang hanya dilabur kapur putih, tetapi bagian dalam kubah dan dinding-dinding yang tepat di bawahnya penuh dengan dekorasi mozaik dan marmer. Beberapa karya lukisan yang tidak begitu baik dari seorang seniman Italia pernah diletakkan di sana ketika perbaikan sedang dilakukan pada masjid, setelah gempa bumi tahun 1927.[30] Bagian langit-langit masjid juga dicat dengan pendanaan dari Raja Farouk dari Mesir.[36]

Mimbar masjid dibuat oleh seorang pengrajin bernama Akhtarini yang berasal dari Aleppo atas perintah Sultan Nuruddin Zengi. Mimbar tersebut dimaksudkan sebagai hadiah untuk masjid ketika Nuruddin membebaskan Yerusalem, dan pengerjaannya memakan waktu selama enam tahun (1168-1174). Ternyata Nuruddin meninggal ketika Tentara Salib masih memegang kendali atas Yerusalem, namun ketika Shalahuddin berhasil merebut kota itu pada tahun 1187, mimbar tersebut lalu dipasang. Struktur mimbar terbuat dari gading dan kayu yang dipahat secara hati-hati. Kaligrafi Arab dan desain-desain berbentuk geometris dan bunga terukir pada bagian-bagian kayu mimbar tersebut.[37] Setelah hancur karena perbuatan Rohan pada tahun 1969, mimbar itu digantikan oleh mimbar lain yang dekorasinya jauh lebih sederhana. Adnan Al Hussaini, kepala lembaga wakaf Islam yang bertanggung jawab atas Al Aqsha, pada bulan Januari 2007 menyatakan bahwa akan dibuat sebuah mimbar baru,[2] dan pada bulan Februari 2007 mimbar baru tersebut telah selesai dipasang.[38] Desain mimbar baru ini dibuat oleh Jamil Badran berdasarkan replika yang saksama dari mimbar Shalahuddin, dan pengerjaannya diselesaikan oleh Badran dalam waktu lima tahun.[37] Mimbar itu dikerjakan di Yordania selama empat tahun, dan para pengrajin menggunakan "metode kuno dalam pengukiran kayu, menggabungkan potongan-potongan dengan pasak dan bukan paku, namun menggunakan pencitraan komputer untuk desain mimbarnya."[2]

Air mancur tempat wudhu

Air mancur al-Kas tempat wudhu.

Air mancur tempat wudhu utama, yang bernama al-Kas ("mangkuk"), terletak di bagian utara yaitu antara Masjid Qibli dan Kubah Batu.[39] Para jamaah menggunakannya untuk wudhu, yaitu ritual pencucian wajah, lengan, rambut, telinga, dan kaki yang dilakukan umat Islam sebelum beribadah, termasuk di masjid. Bangunan ini pertama kali dibangun pada tahun 709 pada masa pemerintahan Umayyah, tetapi antara tahun 1327-1328 Gubernur Tankiz memperbesarnya untuk dapat melayani lebih banyak jamaah. Meskipun pada awalnya air berasal dari Kolam Salomo yang ada di dekat Betlehem, saat ini air berasal dari pipa yang terhubung ke sumber air kota Yerusalem.[40] Renovasi al-Kas pada abad ke-20 telah menambahkannya dengan keran air dan tempat duduk batu.[41]

Air Mancur Qasim Pasya dibangun pada masa pemerintahan Utsmaniyah tahun 1526 dan terletak di sebelah utara masjid, yaitu pada serambi Kubah Batu. Air mancur ini sebelumnya juga pernah digunakan oleh para jamaah untuk wudhu dan minum sampai dengan tahun 1940-an, namun saat ini hanya berfungsi sebagai monumen saja.[39]

Referensi

  1. ^ a b "Al-Aqsa Mosque, Jerusalem". Atlas Travel and Tourist Agency. Diakses tanggal 2008-06-29.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Atlas Travel" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  2. ^ a b c d Jordan sending replacement for Al Aqsa pulpit destroyed in 1969 attack Associated Press. International Herald Tribune. 23 January 2007.
  3. ^ "Indonesia Harus Bawa Isu Al-Aqsa di Forum OKI" (dalam bahasa Bahasa Indonesia). Okezone. 
  4. ^ "Mihrab Dari Jepara" (dalam bahasa Bahasa Indonesia). Tribun Kaltim. 
  5. ^ Jarrar, Sabri (1998). Gülru Necipoğlu, ed. Muqarnas: An Annual on the Visual Culture of the Islamic World (edisi ke-Ilustrasi, anotasi). BRILL. hlm. 85. ISBN 9004110844, 9789004110847 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  6. ^ Temple of Herod, Jewish Encyclopedia
  7. ^ John M. Lundquist (2007). The Temple of Jerusalem: Past, Present, and Future. Greenwood Publishing Group. hlm. 45. ISBN 0275983390, 9780275983390 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  8. ^ "Jerusalem (A.D. 71-1099)". Catholic Encyclopedia. Diakses tanggal 1 Juli 2008. 
  9. ^ a b c d e Elad, Amikam. (1995). Medieval Jerusalem and Islamic Worship Holy Places, Ceremonies, Pilgrimage BRILL, pp.29–43. ISBN 90-04-10010-5.
  10. ^ N. Liphschitz, G. Biger, G. Bonani and W. Wolfli, Comparative Dating Methods: Botanical Identification and 14C Dating of Carved Panels and Beams from the Al-Aqsa Mosque in Jerusalem, Journal of Archaeological Science, (1997) 24, 1045–1050.
  11. ^ a b c d le Strange, Guy. (1890). Palestine under the Moslems, pp.80–98.
  12. ^ a b Grafman and Ayalon, 1998, pp.1–15.
  13. ^ a b c d e f g Ma'oz, Moshe and Nusseibeh, Sari. (2000). Jerusalem: Points of Friction, and Beyond BRILL. pp.136–138. ISBN 90-411-8843-6.
  14. ^ a b Al-Aqsa Mosque Archnet Digital Library.
  15. ^ Jeffers, H. (2004). Contested holiness: Jewish, Muslim, and Christian Perspective on the Temple. KTAV Publishing House. hlm. 95–96. ISBN 9780881257991. 
  16. ^ "The travels of Nasir-i-Khusrau to Jerusalem, 1047 C.E". Homepages.luc.edu. Diakses tanggal 2010-07-13. 
  17. ^ Boas, Adrian (2001). Jerusalem in the Time of the Crusades: Society, Landscape and Art in the holy city under Frankish rule. Routledge. hlm. 91. ISBN 0415230004. 
  18. ^ a b Thomas F. Madden (2002). The Crusades: The Essential Readings. Blackwell Publishing. hlm. 230. ISBN 0631230238, 9780631230236 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  19. ^ a b Al-Aqsa Guide Friends of Al-Aqsa 2007.
  20. ^ a b Necipogulu, Gulru. (1996). Muqarnas, Volume 13: An Annual on the Visual Culture of the Islamic World. BRILL, pp.149–153. ISBN 90-04-10633-2.
  21. ^ "The Burning of Al-Aqsa". Time Magazine. 29 August 1969. hlm. 1. Diakses tanggal 1 July 2008. 
  22. ^ "Madman at the Mosque". Time Magazine. 12 January 1970. Diakses tanggal 3 July 2008. 
  23. ^ About the OIC[pranala nonaktif] Organization of the Islamic Conference.
  24. ^ Dumper, Michael (2002). The Politics of Sacred Space: The Old City of Jerusalem in the Middle East. Lynne Rienner Publishers. hlm. 44. ISBN 158826226X. 
  25. ^ Rapoport, David (2001). Inside Terrorist Organizations. Routledge. hlm. 98–99. ISBN 0714681792. 
  26. ^ OpenDocument Letter (Tertanggal 18 Januari 1988, dari Observer Tetap Organisasi Pembebasan Palestina untuk Markas PBB di Jenewa, ditujukan kepada Wakil-Sekretaris-Jenderal bidang Hak Asasi Manusia) Ramlawi, Nabil. Observer Tetap Organisasi Pembebasan Palestina untuk Markas PBB di Jenewa.
  27. ^ Palestine Facts Timeline, 1963-1988 Palestinian Academic Society for the Study of International Affairs.
  28. ^ Dan Izenberg, Jerusalem Post, July 19, 1991
  29. ^ Amayreh, Khaled. Catalogue of provocations: Israel's encroachments upon the Al-Aqsa Mosque have not been sporadic, but, rather, a systematic endeavor Al-Ahram Weekly. February 2007.
  30. ^ a b c d e f Al-Aqsa Mosque Life in the Holy Land.
  31. ^ Al-Aqsa Mosque, Jerusalem Universal Tours.
  32. ^ Gonen, Rivka. (2003) Contested Holiness KTAV Publishing House, p.95. ISBN 0-88125-799-0.
  33. ^ a b Al-Aqsa Mosque Restoration Archnet Digital Library.
  34. ^ Necipogulu, Gulru. (1999). Muqarnas, Volume 16: An Annual on the Visual Culture of the Islamic World BRILL, p.14. ISBN 90-04-11482-3.
  35. ^ Hillenbrand, Carolle. (2000). The Crusades: The Islamic Perspective Routeledge, p.382 ISBN 0-415-92914-8.
  36. ^ a b Al-Aqsa Mosque, Jerusalem Sacred Destinations.
  37. ^ a b Oweis, Fayeq S. (2002) The Elements of Unity in Islamic Art as Examined Through the Work of Jamal Badran Universal-Publishers, pp.115–117. ISBN 1-58112-162-8.
  38. ^ Mikdadi, Salwa D. Badrans: A Century of Tradition and Innovation, Palestinian Art Court Riweq Bienalle in Palestine.
  39. ^ a b Al-Aqsa Guide Friends of al-Aqsa.
  40. ^ Dolphin, Lambert. The Temple Esplanade.
  41. ^ Gonen, Rivka. (2003) Contested Holiness KTAV Publishing House, p.28. ISBN 0-88125-799-0.

Lihat pula

Pranala luar