Khawarij
Netralitas artikel ini dipertanyakan. |
Bagian dari seri |
Islam |
---|
Khawārij (bahasa Arab: خوارج atau dibaca Khowaarij, secara harfiah memiliki arti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Disebut Khowarij disebabkan karena keluarnya mereka dari barisan Ali yang saat itu dianggap sebagai pemimpin kaum muslimin yang sah.[1]
Awal keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib ketika terjadi (musyawarah) dua utusan. Mereka berkumpul disuatu tempat yang disebut Khoruro (satu tempat di daerah Kufah). Oleh sebab itulah mereka juga disebut Al Khoruriyyah.[2]
Etimologi
Istilah Al-Khariji digunakan sebagai eksonim oleh lawan mereka ketika kelompok tersebut meninggalkan tentara Khalifah Ali selama Perang Saudara Islam I. Istilah ini berasal dari akar bahasa Arab خ ر ج, yang memiliki arti utama "meninggalkan" atau "keluar",[3] seperti pada kata dasarnya خرج, ḵẖaraja, "keluar". Mereka menyebut diri mereka sendiri Asy-Syurah ("Para Pedagang"), yang mereka pahami dalam konteks kitab suci Islam (Qur'an Al-Baqarah:207) dengan pemaknaan bahwa "mereka telah memperdagangkan barang fana, yaitu kehidupan dunia, dengan kehidupan lain yang lebih kekal, yaitu "kehidupan akhirat".[4][5]
Sumber primer dan klasik
Hampir tidak ada sumber Khawarij utama yang bertahan, kecuali karya penulis dari satu-satunya sekte Khawarij yang masih hidup yaitu Ibadiyah. Kebanyakan sumber mengenai Khawarij berasal dari kutipan yang ada dalam karya non-Kharwarij.[6] Karena kebanyakan sumber informasi utama berasal dari karya di luar golongan mereka dan berasal dari periode berikutnya,[7] maka transmisi, pengumpulan, dan klasifikasi mengenai golongan Khawarij sering kali telah mengalami perubahan dan distorsi.[8]
Sumber-sumber non-Khawarij terbagi dalam dua kategori, yaitu sejarah dan karya heresiografi yang saat itu disebut sebagai sastra al-firaq (persektean).[6] Sejarah Khawarij ditulis jauh lebih lambat dari peristiwa yang sebenarnya, dan banyak perselisihan teologis serta politik di antara umat Islam awal telah diselesaikan pada saat itu. Sebagai perwakilan dari ortodoksi yang muncul,[9] penulis Sunni serta Syiah [10] yang menulis tentang Khawarij memandang peristiwa asli sejarah Khawarij melalui kacamata pandangan mereka.[9] Sumber-sumber mengenai Khawarij yang berasal dari luar golongan mereka sering kali langsung memicu polemik, hal ini dikarenakan penulis cenderung menggambarkan sekte mereka sendiri sebagai perwakilan sebenarnya dari Islam asli dan menempatkan Khawarij sebagai sekte sesat yang wajib dimusuhi.[6][11] Meskipun penulis Sunni maupun Syiah menggunakan sumber Khawarij yang sebelumnya sudah tidak ada lagi dan juga sumber non-Khawarij, terjemahan mereka tentang peristiwa kemunculan Khawarij tersebut telah banyak diubah sebagai topos sastra.[8][a]
Berdasarkan hadits Nabi Muhammad yang menubuatkan munculnya 73 sekte dalam Islam, yang salah satunya akan diselamatkan dan yang lainnya dikutuk sebagai sesat, para heresiografer (peneliti aliran sesat) kemudian sangat mementingkan pengklasifikasian apa yang mereka anggap sebagai sekte sesat dan doktrin sesat mereka.[14] Akibatnya, pandangan sekte tertentu kemudian diubah dan dikarang-karang sendiri agar sesuai dengan klasifikasi kesesatan, dan terkadang ada beberapa sekte fiktif yang dibuat-buat dengan tujuan untuk disesat-sesatkan.[8][15] Selain itu, laporan para heresiografer sering kali membingungkan dan kontradiktif karena mereka membuat rekonstruksi tentang "apa yang sebenarnya terjadi" dengan mencocok-cocokkan motif sebenarnya dari kaum Khawarij agar sesuai dengan keinginan penulis.[16] Menurut sejarawan Hannah-Lena Hagemann dan Peter Verkinderen, sumber sejarah non-Khawarij kadang-kadang menggunakan Khawarij sebagai contoh buruk dalam berbagai masalah, seperti masalah "status Ali, bahaya perselisihan komunal, atau aspek hukum pemberontakan".[17] Sumber Ibadi, di di sisi lain, dapat dikategorikan sebagai hagiografi dan sumber-sumber tersebut memiliki muatan pelestarian identitas kelompok Khawarij. Untuk tujuan tersebut, sumber Ibadi sering kali membuat-buat cerita atau mengubah peristiwa yang pernah terjadi untuk meromantisasi dan mengagungkan pemberontakan Khawarij awal dan pemimpin mereka sebagai simbol identitas kelompok.[18] Meski begitu, sumber-sumber Ibadi juga memusuhi kelompok Khawarij lainnya.[19] Sumber-sumber tentang Khawarij, baik yang berasal dari Ibadi, historiografis, atau heresiografis, sering kali tidak melaporkan peristiwa sebagaimana yang sebenarnya terjadi. Para penulis tersebut lebih suka menunjukkan bagaimana cara dirinya dalam memandang Khawarij, dan ingin pembacanya melihat peristiwa yang mereka baca sebagai kenyataan.[8][20]
Sumber-sumber mengenai Khawarij yang temasuk ke dalam kategori historiografi antara lain adalah Sejarah Para Nabi dan Raja karya Ath-Thabari (wafat 923), Al-Asyraf dari Al-Baladzuri (w. 892),[b] Al-Kamil dari al-Mubarrad (wafat 899), dan Padang Emas dari Al-Mas'udi (w. 956).[22] Sumber penting lainnya termasuk sejarah dari Ibnul Atsir al-Jaziri (w. 1233), dan Ibnu Katsir (w. 1373), tetapi kedua penulis tersebut banyak mengambil materi dari Ath-Thabari.[6] Inti informasi dalam sumber-sumber historiografi tersebut didasarkan pada karya sejarawan terdahulu seperti Abu Mikhnaf (wafat 773), Ma'mar bin al-Mutsanna (wafat 825), dan Al-Mada'ini (wafat 843).[22] Penulis yang pada umumnya masuk ke dalam kategori heresiografi meliputi Al-Asy'ari (wafat 935),[c] Abu Mansur Al-Baghdadi (w. 1037),[d] Ibnu Hazm (w. 1064),[e] Asy-Syahrastani (w. 1153 ),[f] dan lain-lainnya.[6][11] Karya terkemuka di antara orang Ibadi yang bertahan adalah tulisan heresiografi abad kedelapan dari Salim bin Dzakwan.[23] Tulisan ini membedakan para Ibadi dengan kelompok Khawarij lain yang diperlakukan sebagai ekstremis.[24] Al-Kasyf wal Bayan, sebuah karya abad ke-12 oleh Al-Qalhati, adalah contoh lain dari tulisan heresiografi Ibadi dan membahas asal-usul kaum Khawarij dan perpecahan di dalam pergerakan Khawarij.[6]
Asal-usul
Kaum Khawarij merupakan bagian dari sekte pertama yang muncul dalam Islam.[25] Mereka berasal dari Fitnah Pertama, perebutan kepemimpinan politik atas umat, setelah pembunuhan khalifah ketiga Utsman pada tahun 656 M.[26]
Tahun-tahun terakhir pemerintahan Utsman ditandai dengan meningkatnya ketidakpuasan dari berbagai kelompok dalam komunitas Muslim. Pengunggulan atas kerabatnya yang berasal dari Dinasti Umayyah dikritik oleh beberapa Sahabat di Madinah.[g] Para pemukim Muslim awal di kota garnisun Kufah dan Fustat, merasa statusnya terancam oleh beberapa faktor selama periode Utsman. Utsman benar-benar melakukan campur tangan dalam urusan provinsi,[h] Kepadatan kota-kota garnisun karena masuknya suku Arab secara terus-menerus, mengurangi pendapatan dari penaklukan Muslim awal, dan mengembangkan pengaruh dari bangsawan suku Arab pra-Islam.[30] Oposisi yang dilakukan oleh pendatang awal Irak, yang dikenal sebagai qurra (yang mungkin berarti "pembaca Al-Qur'an"), dan orang Mesir berubah menjadi pemberontakan terbuka pada tahun 656. Didorong oleh beberapa elit Madinah yang tidak puas, para pemberontak berbaris di Madinah, membunuh Utsman pada Juni 656 M.[29] Pembunuhannya memicu perang saudara.[31]
Setelah itu, sepupu dan menantu Muhammad, Ali, menjadi khalifah dengan bantuan orang-orang Madinah dan para pemberontak. Dia segera ditantang oleh sahabat awal Muhammad, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam serta janda Muhammad, Aisyah, yang berpendapat bahwa pemilihannya adalah tidak sah karena melibatkan pembunuh Utsman dan karenanya, majelis syura harus dipanggil untuk memilih khalifah baru. Ali mengalahkan mereka pada bulan November 656 di Pertempuran Unta.[32] Kemudian, Muawiyah bin Abi Sufyan, Kerabat Utsman dan gubernur Suriah, mencela pemilihan Ali, berpendapat bahwa pembunuh Utsman berada di kamp Ali dan menghindari hukuman. Keduanya saling berhadapan di Pertempuran Siffin pada Juli 657. Di ambang kekalahan, Muawiyah memerintahkan prajuritnya untuk mengibarkan mushaf Al-Quran di tombak mereka sebagai sinyal untuk menghentikan pertarungan dan merundingkan perdamaian. Orang-orang qurra yang ada di pasukan Ali digerakkan oleh isyarat,[33] yang mereka tafsirkan sebagai seruan kepada Kitabullah,[34][35] dan menuntut agar Ali segera menghentikan pertempuran. Meskipun awalnya tidak mau, Ali kemudian menyerah di bawah tekanan dan ancaman kekerasan terhadapnya oleh orang-orang qurra.[33][36][35] Panitia arbitrase yang terdiri dari perwakilan Ali dan Muawiyah dibentuk dengan mandat untuk menyelesaikan perselisihan menurut Al-Qur'an dan sunnah.[33][37][i] Ketika sebagian besar pasukan Ali menerima kesepakatan tersebut, ada satu kelompok yang mencakup sebagian besar dari suku Tamim, dengan keras menolak arbitrase dan mengangkat slogan "Tiada hukum kecuali hukum Allah" Lā hukma illā Allah.[36]
Harurah
Saat Ali berbaris kembali ke ibukotanya di Kufah, kebencian yang meluas terhadap arbitrase berkembang di pasukannya. Sebanyak 12.000 pembangkang[j] memisahkan diri dari satuan dan mendirikan kemah di Harurah, sebuah tempat dekat Kufah. Dengan demikian mereka dikenal sebagai orang Haruriyyah.[40] Mereka berpendapat bahwa Utsman pantas mati karena nepotismenya dan tidak memerintah sesuai dengan Al-Qur'an, dan bahwa Ali adalah khalifah yang sah , sementara Muawiyah adalah seorang pemberontak.[41] Mereka percaya bahwa Al-Qur'an dengan jelas menyatakan bahwa sebagai seorang pemberontak, Muawiyah tidak berhak atas arbitrase, melainkan harus diperangi sampai dia bertobat, menunjuk ke ayat Al-Qur'an:[41]
Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. (Al-Qur'an Surah Al-Hujurat ayat 9)
Mereka berpendapat bahwa dengan menyetujui arbitrasi, Ali melakukan dosa besar karena menolak hukum Allah dan berusaha untuk menggantikan hukum Allah yang jelas terdapat dalam Al-Qur'an dengan hukum manusia. Motivasi itulah yang mendorong orang-orang Haruriyyah ini mengangkat slogan "hukum hanya milik Allah semata".[42] Dari ungkapan mereka itu, orang-orang Haruriyyah dikenal sebagai Muhakimmah.[43]
Ali mengunjungi perkemahan Harurah dan berusaha untuk membawa kembali orang-orang Haruriyah tersebut ke dalam satuannya. Ali beralasan bahwa merekalah yang memaksanya untuk menerima pengajuan arbitrase meskipun dia keberatan. Mereka mengakui bahwa mereka telah berdosa tetapi bersikeras bahwa mereka bertobat dan meminta Ali untuk melakukan hal yang sama, yang kemudian dilakukan oleh Ali secara umum dan ambigu. Pasukan di Harurah kemudian mengembalikan kesetiaan mereka kepada Ali dan kembali ke Kufah, dengan syarat perang melawan Muawiyah dilanjutkan dalam waktu enam bulan.[44]
Nahrawan
Ali menolak untuk mengecam proses arbitrase yang terus berlanjut meskipun pasukan di Harura kembali setia padanya. Pada bulan Maret 658, Ali mengirim delegasi, yang dipimpin oleh Abu Musa Al-Asy'ari, untuk melaksanakan pembicaraan.[36] Pasukan yang menentang arbitrase setelah itu mengutuk keputusan Ali dan memilih Abdullah bin Wahab Ar-Rasibi yang saleh sebagai khalifah mereka. Untuk menghindari deteksi, mereka keluar dari Kufah dalam kelompok kecil dan pergi ke sebuah tempat bernama Nahrawan di tepi timur Tigris. Sekitar lima ratus rekan mereka yang berada di Basrah diberitahu dan bergabung dengan mereka di Nahrawan. Gabungan atas pasukan Ali yang menolak arbitrase dan sebagian rekan mereka dari Basrah dilaporkan berjumlah hingga 4.000 orang.[45][46] Mereka menyatakan Ali dan para pengikutnya sebagai kafir, dan dianggap telah membunuh beberapa orang yang tidak memiliki pandangan yang sama.[45][47]
Sementara itu, para arbiter menyatakan bahwa Utsman telah dibunuh secara tidak adil oleh para pemberontak. Mereka tidak dapat menyepakati hal-hal substantif lainnya dan prosesnya gagal. Ali mencela perilaku pihak delegasi Muawiyah, yaitu Amru bin Ash karena bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah, dan mengumpulkan para pendukungnya untuk mengobarkan perang baru melawan Muawiyah.[48][49] Dia mengundang Khawarij untuk bergabung dengannya seperti sebelumnya. Mereka menolak dan tetap menunggu pengakuan Ali bahwa dirinya telah tersesat dan mau bertobat. Melihat tidak ada peluang rekonsiliasi, Ali memutuskan untuk berangkat ke Suriah tanpa mereka.[50] Namun, dalam perjalanan, dia menerima berita tentang pembunuhan seorang musafir oleh kaum Khawarij, yang kemudian diikuti dengan pembunuhan terhadap utusannya, yang telah dikirim untuk menyelidiki mereka.[k] Dia didesak oleh para pengikutnya, yang mengkhawatirkan keluarga dan harta benda mereka di Kufah, untuk berurusan dengan kaum Khawarij terlebih dahulu.[53] Setelah Khawarij menolak untuk menyerahkan para pembunuh, anak buah Ali menyerang perkemahan mereka, yang berakibat pada kekalahan telak di pihak Khawarij di Pertempuran Nahrawan (Juli 658 M), di mana Ar-Rasibi dan sebagian besar pendukungnya dibunuh.[54] Sekitar 1.200 Khawarij menyerah dan selamat.[55] Pertumpahan darah menyegel perpecahan Khawarij dari pengikut Ali,[54] dan mereka terus melancarkan pemberontakan melawan kekhalifahan. Lima pemberontakan kecil Khawarij yang mengikuti Nahrawan, masing-masing berjumlah sekitar 200 orang, dipadamkan selama pemerintahan Ali.[55][56] Khawarij menyerukan balas dendam yang akhirnya menyebabkan pembunuhan Ali oleh seorang Khawarij yang terkenal bernama Abdurrahman bin Muljam.[54] Ibnu Muljam membunuh Ali dengan pedang beracun saat Ali memimpin salat subuh pada tanggal 26 Januari 661 di masjid Kufah.[57]
Sejarah berikutnya
Di bawah Muawiyah
Diangkatnya Muawiyah ke tampuk kekuasaan kekhalifahan pada Agustus 661 memberikan dorongan baru bagi pemberontakan Khawarij. Para Khawarij di Nahrawan yang tidak mau melawan Ali dan telah meninggalkan medan perang, memberontak melawan Muawiyah. Di bawah kepemimpinan Farwah bin Naufal al-Asyja'i dari Bani Murrah, sekitar 500 dari orang-orang Khawarij menyerang perkemahan Muawiyah di Nukhailah (sebuah tempat di luar Kufah) di mana Farwah mampu mendapatkan baiat dari orang-orang Kufah. Dalam pertempuran berikutnya, kaum Khawarij memukul mundur serangan mendadak pertama yang dilakukan oleh pasukan Muawiyah, meski pada akhirnya dikalahkan dan kebanyakan dari mereka terbunuh.[58][59] Tujuh pemberontakan kemudian dilancarkan oleh orang-orang Khawarij Kufah, dengan jumlah pemberontak dalam pemberontakan bervariasi antara 20 hingga 400 orang, dikalahkan oleh gubernur Al-Mughirah bin Syu'bah.[59] Pemberontakan yang paling terkenal adalah Mustawrid bin Ullafah, yang diakui sebagai khalifah oleh orang Khawarij Kufah pada tahun 663. Dengan sekitar 300 pengikut, dia meninggalkan Kufah dan pindah ke Behrasir.[60][61] Di sana, dia menghadapi wakil gubernur Simak bin Ubaid al-Absi dan mengundangnya untuk mencela Utsman dan Ali "yang telah membuat bid'ah dalam agama dan mengingkari kitab suci".[62] Simak menolak dan Mustawrid, alih-alih melawannya secara langsung, memutuskan untuk menghabiskan dan memecah pasukan Simak dengan memaksa mereka untuk mengejar pasukannya. Mustawrid kemudian pindah ke Madhar dekat Basra dan disusul oleh 300 pasukan terdepan dari pasukan Simak. Meskipun Mustawrid mampu menahan pasukan kecil ini, dia melarikan diri lagi menuju Kufah ketika pasukan utama Simak, di bawah komando Ma'qil bin Qais tiba. Menghindari penjaga depan Ma'qil yang terdiri dari 600 orang, Mustawrid memimpin serangan mendadak ke pasukan utama Ma'qil dan menghancurkannya. Sementara itu, penjaga terdepan kembali dan menyerang kaum Khawarij dari belakang. Hampir semua pemberontak tersebut terbunuh.[60][61]
Perkembangan Khawarij di Kufah mati sekitar tahun 663,[l] dan Basrah menjadi pusat Khawarij. Ziyad bin Abihi dan putranya Ubaydullah bin Ziyad, yang secara berturut-turut menjadi gubernur Irak, menangani kaum Khawarij dengan kasar, dan lima pemberontakan yang dilancarkan oleh orang Khawarij yang biasanya melibatkan sekitar 70 orang, ditumpas.[59] Tokoh terkemuka Khawarij di Basrah di antaranya adalah sepupu Qarib bin Murrah al-Azdi dan Zuhhaff ibn Zahr al-Tayyi. Pada tahun 672/673 M, mereka memberontak di Basrah dengan pasukan berkekuatan 70 orang. Mereka dilaporkan telah terlibat dalam pembunuhan acak orang-orang di jalan-jalan dan masjid Basrah sebelum terpojok di sebuah rumah, di mana mereka akhirnya dibunuh dan tubuh mereka disalib. Setelah itu, Ziyad dilaporkan telah menganiaya pengikut mereka dengan kejam.[64] Ibnu Ziyad memenjarakan Khawarij mana pun yang dia curigai berbahaya dan mengeksekusi beberapa simpatisan Khawarij yang secara terbuka mencela dirinya.[65] Di saat memerintah, Ziyad dan putranya dikatakan telah membunuh 13.000 Khawarij. Sebagai hasil dari tindakan represif ini, beberapa Khawarij meninggalkan aksi militer, mengadopsi pasifisme politik dan menyembunyikan keyakinan agama mereka.[66] Di antara orang-orang Khawarij yang pasif tersebut, yang paling terkenal adalah Abu Bilal Mirdas bin Udayyah al-Tamimi. Salah satu orang Khawarij paling awal yang memisahkan diri di Siffin, dia sangat dihormati oleh para pasifis Khawarij di Basrah. Diprovokasi oleh penyiksaan dan pembunuhan seorang wanita Khawarij oleh Ibnu Ziyad, Abu Bilal meninggalkan Basrah dan memberontak pada tahun 680/681 dengan 40 orang. Tak lama setelah mengalahkan pasukan Basrah berkekuatan 2.000 orang di Ahwaz, dia bertemu dengan pasukan yang lebih besar yang terdiri dari 3.000 atau 4.000 di Fars yang terletak di selatan Persia.[67] Tindakannya dikatakan telah membangkitkan para pasifs dan berkontribusi pada peningkatan militansi Khawarij di periode berikutnya.[68]
Fitnah Kedua
Setelah kematian Muawiyah pada tahun 680 M, perang saudara terjadi lagi yang disebabkan karena keinginan untuk mendapatkan kepemimpinan komunitas Muslim. Orang-orang Hijaz (di mana Mekah dan Madinah berada) memberontak melawan putra dan penerus Muawiyah, Yazid. Abdullah bin Zubair, putra Zubair bin al-Awwam yang berbasis di Mekah adalah lawan Yazid yang paling menonjol.[69] Ketika Yazid mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan pada tahun 683 M dan melakukan pengepungan terhadap Mekah, Khawarij dari Basrah turut memperkuat barisan Ibnu Zubair.[66] Setelah kematian Yazid pada bulan November, Ibnu Zubair memproklamasikan dirinya sebagai khalifah dan secara terbuka mengutuk pembunuhan Utsman. Kedua tindakan tersebut mendorong Khawarij untuk meninggalkan barisan Ibnu Zubair.[70] Mayoritas orang-orang Khawarij, termasuk Nafi bin al-Azraq dan Najdah bin Amir al-Hanafi, pergi ke Basrah, sedangkan sisanya berangkat ke Yamamah, di Arabia tengah, di bawah pimpinan Abu Talut Salim ibn Matar. Kemudian Ibnu Ziyad diusir oleh kepala suku di Basrah yang saat itu terjadi perselisihan antar suku. Ibnu al-Azraq dan Khawarij militan lainnya mengambil alih kota, membunuh wakil yang ditinggalkan oleh Ibnu Ziyad dan membebaskan 140 orang Khawarij dari penjara.[71][72] Selepas kejadian tersebut, orang-orang Basrah mengakui Ibnu Zubair dan menunjuk Umar bin Ubaidullah bin Ma'mar sebagai gubernur kota. Umar mengusir orang-orang Ibnu al-Azraq dari Basrah dan mereka melarikan diri ke Ahwaz.[73][74]
Azariqah
Dari Ahwaz, Ibnu al-Azraq menyerbu pinggiran kota Basrah. Pengikutnya disebut Azariqah berdasarkan nama pemimpin mereka, dan dijelaskan dalam berbagai sumber sebagai kelompok Khawarij yang paling fanatik, karena mereka menyetujui doktrin isti'rad, pembunuhan tanpa pandang bulu atas Muslim non-Khawarij, termasuk wanita dan anak-anak mereka. Pasukan yang dikirim melawan mereka oleh gubernur Basrah yang menjadi wakil dari Ibnu Zubair pada awal tahun 685 M mengalahkan kelompok Azariqah, dan Ibnu al-Azraq terbunuh. Orang-orang Azariqah memilih Ubaidullah bin Mahuz sebagai pemimpin baru mereka. Kelompok tersebut kemudian solid kembali dan memaksa tentara Ibnu Zubair mundur, dan melanjutkan serangan mereka. Setelah mengalami lebih banyak kekalahan, Ibnu Zubair mengerahkan komandannya yang paling cakap, Muhallab bin Abi Sufrah, melawan kelompok Azariqah. Muhallab mengalahkan mereka di pertempuran Sillabrah pada Mei 686 dan membunuh Ibnu Mahuz. Kelompok Azariqah mundur ke Fars. Pada akhir tahun 686 M, Muhallab menghentikan kampanyenya karena dia dikirim untuk mengendalikan penguasa Kufah yang pro-Ali, Mukhtar Ats-Tsaqafi, dan kemudian diangkat menjadi gubernur Mosul untuk bertahan dari kemungkinan serangan Umayyah dari Suriah. Azariqah menjarah al-Mada'in dan kemudian mengepung Isfahan, tetapi mereka kemudian dikalahkan. Mereka melarikan diri dan akhirnya berkumpul kembali di Kerman. Orang-orang Azariqah kemudian mendapatkan pemimpin baru, Qatari bin al-Fuja'ah, dan menyerang lingkungan Basrah sesudahnya dan Muhallab dikerahkan kembali untuk menekan mereka. Meskipun orang-orang Azariqah tidak diusir dari Fars dan Kerman, Muhallab mencegah pergerakan mereka ke Irak.[74] Qatari mencetak koinnya sendiri dan mengadopsi gelar kekhalifahan amirul mukminin (pemimpin orang beriman).[75] Setelah Bani Umayyah merebut kembali Irak dari orang-orang pro Ibnu Zubair pada tahun 691 M, para pangeran Umayyah mengambil alih komando dari Muhallab, yang kemudian berakibat pada kekalahan telak mereka oleh Azariqah. Pada tahun 694 M, komandan Hajjaj bin Yusuf diangkat menjadi gubernur Irak dan mengangkat kembali Muhallab untuk memimpin perang melawan orang-orang Azariqah. Muhallab memaksa mereka mundur ke Kerman, di mana mereka terpecah menjadi dua kelompok dan kemudian dihancurkan pada tahun 698–699.[74]
Najdah
Selama berada di Ahwaz, Najdah memutuskan hubungan dengan Ibnu al-Azraq karena Ibnu al-Azraq menganut ideologi yang ekstrem.[76] Najdah, bersama para pengikutnya, pindah ke Yamamah, tanah air Banu Hanifah.[70] Dia menjadi pemimpin faksi Khawarij Abu Talut, yang kemudian dikenal sebagai Najdah berdasarkan namanya.[70][77] Najdah menguasai Bahrain, memukul mundur 14.000 tentara Ibnu Zubair yang dikerahkan untuk melawannya. Letnannya, Atiyyah bin al-Aswad, merebut Oman dari penguasa setempat, meskipun penguasa tersebut merebut kembali wilayah mereka beberapa bulan kemudian. Najdah merebut Hadramaut dan Yaman pada tahun 687 M dan kemudian merebut Thaif, sebuah kota dekat dengan ibu kota Ibnu Zubair, yaitu Mekah. Najdah membuat Ibnu Zubair terpojok di Hijaz karena dia menguasai sebagian besar Arab. Tidak lama kemudian, para pengikut Najdah menjadi kecewa dengannya karena dugaan korespondensinya dengan khalifah Umayyah Abdul Malik, gaji yang diberikan secara tidak teratur kepada tentaranya, dan penolakannya untuk menghukum seorang tentara yang telah mengkonsumsi anggur, serta membebaskan cucu perempuan khalifah Utsman yang tertawan. Dia kemudian digulingkan karena dianggap tersesat dan kemudian dieksekusi pada tahun 691 M.[78] Atiyyah yang berlepas diri dari Najdah kemudian pindah ke Sistan di timur Persia atau kemungkinan di Sind, dan akhirnya dia dibunuh di sana [79].[80] Di Sistan, pengikutnya terpecah menjadi berbagai sekte, termasuk Atawiyyah dan Ajaridah.[8] Di Arab, Abu Fudaik Abdullah bin Tsaur mengambil alih kepemimpinan Najdah dan mengalahkan beberapa serangan tentara Ibnu Zubair dan kemudian Umayyah. Dia akhirnya dibunuh bersama dengan 6.000 pengikutnya pada tahun 692 M oleh pasukan Umayyah di Bahrain.[81][82] Dimusnahkan secara politis, kelompok Najdah mundur ke dalam ketidakjelasan dan menghilang sekitar abad kesepuluh.[83][84]
Khawarij moderat
Menurut catatan para heresiografer, Khawarij terpecah menjadi empat kelompok utama selama Fitnah Kedua. Sebuah kelompok moderat yang dipimpin oleh Abdullah bin Saffar (atau Asfar) dan Abdallah bin Ibad merasa tidak setuju dengan Azariqah dan Najdah yang radikal mengenai masalah pemberontakan dan pemisahan dari non-Khawarij. Ibnu Saffar dan Ibnu Ibad kemudian berselisih pendapat di antara mereka sendiri mengenai keyakinan non-Khawarij, dan dengan demikian muncullah dua sekte lainnya: Sufriyah dan Ibadiyah. Semua subkelompok Khawarij yang tidak dikategorikan lainnya biasanya dianggap cabang dari Sufriyah.[85] Dalam skema pembagian ini, seluruh orang-orang Khawarij dari wilayah Al-Jazirah (Irak barat laut), termasuk seorang zahid yang bernama Salih bin Mussarih, pemimpin suku Syabib bin Yazid Asy-Syaibani, pemimpin pemberontakan yang bernama Dahhak bin Qais Asy-Syaibani selama Fitnah Ketiga (744–750), mereka semua memiliki afiliasi dengan Sufriyah.[86][87] Setelah kematian Ibnu Ibad, Ibadiyah dipimpin oleh Jabir bin Zaid dan Abu Ubaidah Muslim bin Abi Karimah. Jabir, seorang cendekiawan yang dihormati, memiliki hubungan persahabatan dengan Khalifah Abdul Malik serta dengan Hajjaj.[88][89] Mengikuti kematian Abdul Malik, hubungan antara para pemimpin Ibadiyah dengan Hajjaj memburuk karena para pemimpin Ibadiyah memiliki kecenderungan ke arah aktivisme. Akibatnya, Hajjaj mengasingkan beberapa dari mereka ke Oman dan memenjarakan yang lainnya. Abu Ubaidah, yang dibebaskan setelah kematian Hajjaj pada tahun 714 M, menjadi pemimpin berikutnya dari Ibadiyah. Setelah gagal memenangkan khalifah Bani Umayyah dengan doktrin Ibadi, dia mengirim para dai untuk menyebarkan doktrin tersebut di berbagai bagian kekaisaran.[90][91] Hampir bersamaan, Sufriyah juga menyebar ke Afrika Utara dan Arabia selatan melalui kegiatan dakwah. Sufriyah akhirnya punah ketika para pengikutnya bersepakat untuk mengadopsi ajaran Ibnu Ibad.[92] Sumber-sumber Ibadi juga kurang lebih sejalan dengan skema ini, di mana Ibadiyah mengklaim dirinya muncul sebagai penerus sejati dari komunitas asli Madinah dan Khawarij pra-Fitnah Kedua awal, meskipun Ibnu Ibad dalam literatur Ibadi tidak begitu menonjol dan Jabir dinyatakan sebagai pemimpin gerakan Ibadiyah setelah Abu Bilal Mirdas.[93]
Sejarawan modern menganggap Ibnu Saffar sebagai tokoh legenda,[94][95][96][97] dan menegaskan bahwa sekte Sufriyah dan Ibadiyah tidak ada selama abad ketujuh. Para heresiografer, yang tujuannya adalah untuk mengkategorikan keyakinan yang berbeda dari Khawarij, kemungkinan besar menciptakan istilah Sufriyah untuk mengakomodasi kelompok-kelompok yang tidak cocok dikategorikan sebagai Ibadiyah, Najdah, maupun Azariqah.[8][98][99] Sejarawan modern berpendapat bahwa satu-satunya aliran Khawarij yang moderat dan eksis pada abad ketujuh adalah "Sufri". Menurut sejarawan Keith Lewinstein, istilah tersebut mungkin berasal dari kaum Khawarij awal yang saleh karena penampilan kuning pucat mereka. Penampilan kuning tersebut disebut sebagai (sufra) dan disebabkan oleh ibadah yang berlebihan.[100] Kaum moderat Khawarij mengutuk militansi Azariqah dan Najdah, tetapi mereka sendiri sebenarnya tidak memiliki seperangkat doktrin yang konkret. Jabir dan Abu Ubaidah mungkin merupakan tokoh terkemuka dalam gerakan moderat.[93] Kaum moderat yang awalnya disebut Sufri semakin terpecah menjadi Sufriyah dan Ibadiyah. Kedua kelompok tersebut sejatinya hadir hanya pada abad kedelapan, yang mana perbedaan utama di antara keduanya hanyalah terletak pada afiliasi kesukuan daripada perbedaan doktrinal .[98][8]
Selama Fitnah Kedua, kaum Khawarij moderat tetap tidak aktif. Namun, pada pertengahan tahun 690-an mereka juga memulai kegiatan militan sebagai tanggapan atas penganiayaan oleh Hajjaj.[95] Pemberontakan pertama mereka dipimpin pada tahun 695 oleh Ibnu Musarrih, dan berakhir pada kekalahan dan kematian Ibnu Musarrih.[95] Setelah itu, kelompok Khawarij ini menjadi ancaman besar bagi Kufah dan pinggirannya di bawah pimpinan Syabib.[101] Dengan pasukan kecil yang terdiri dari beberapa ratus prajurit, Syabib mengalahkan beberapa ribu pasukan Umayyah pada tahun 695–696, menjarah perbendaharaan Kufah dan menduduki al-Mada'in.[102] Dari markasnya di al-Mada'in, Syabib bergerak untuk merebut Kufah. Hajjaj telah meminta pasukan Suriah dari Abdul Malik, yang mengirim 4.000 tentara kuat yang mengalahkan Syabib di luar Kufah. Shabib tenggelam di sungai selama pelariannya,[103] kelompoknya dihancurkan, tetapi kaum Khawarij terus mempertahankan keberadaannya di Al-Jazirah.[104]
Sufriyah
Kemunculan aliran Sufriyah dan Ibadiyah dibuktikan dari awal abad kedelapan di Afrika Utara dan Oman. Keduanya berbeda dalam asosiasi kelompok suku dan bersaing untuk mendapatkan dukungan populer.[105] Selama hari-hari terakhir kekaisaran Umayyah, pemberontakan Sufri secara besar meletus di Irak pada tahun 744 M.[104] Pemberontakan pada awalnya dipimpin oleh Sa'id bin Bahdal Asy-Syaibani, dan setelah kematiannya akibat wabah, Dahhak bin Qais Asy-Syaibani. Dengan pasukannya yang menyerap para pengikut Sufriyah dari penjuru kekhalifahan, dia merebut Kufah pada April 745 M. Kota Wasit kemudian yang menggantikan Kufah sebagai ibu kota daerah di bawah Hajjaj. Pada tahap ini, bahkan beberapa pejabat Umayyah termasuk dua putra mantan khalifah (Sulaiman, putra Hisyam dan Abdallah, putra Umar bin Abdul Aziz), mengakui Dahhak sebagai khalifah dan bergabung dengan barisannya. Dahhak merebut Mosul, tetapi dibunuh oleh pasukan Khalifah Marwan II pada tahun 746 M. Penggantinya, Syaiban bin Abdul Aziz al-Yasykuri, diusir dari Mosul oleh Marwan II dan melarikan diri ke Fars untuk bergabung dengan Pemimpin Syiah Abdallah bin Muawiyah, yang memerintah melawan Bani Umayyah. Ketika kelompok mereka diserang oleh Bani Umayyah, orang-orang Khawarij tersebut bubar dan Syaiban melarikan diri ke Oman, di mana dia dibunuh oleh para pemimpin lokal sekitar tahun 751 M.[106][107] Di bawah Kekhalifahan Abbasiyah, yang telah menumbangkan Bani Umayyah pada tahun 750 M, pemberontakan Sufri di bagian timur kekaisaran berlanjut selama hampir dua abad, meskipun pada skala kecil dan mudah dipadamkan. Namun, dalam pemberontakan yang dipimpin oleh Abdul Hamid al-Bajali pada 866–877 dan oleh Harun bin Abdullah al-Bajali pada 880–896 M, Khawarij mendapatkan kendali atas Mesopotamia utara dari Abbasiyah dan mulai memungut pajak.[92]
Pada pertengahan abad ke-8, orang-orang Khawarij yang moderat muncul di Afrika Utara. Mereka sebagian besar berasal dari bangsa Berber dan menjadi pengikut Khawarij moderat melalui aktivitas dakwah. Dengan munculnya perbedaan Ibadi-Sufri pada periode ini, kelompok-kelompok Ibadi tanpa afiliasi diasosiasikan dengan Sufriyah. Sekitar tahun 740, Sufriyah di bawah kepemimpinan Maisarah al-Matghari telah memberontak di Tangier dan merebut kota tersebut dari Bani Umayyah. Mereka berbaris ke ibu kota provinsi Kairouan, tetapi tidak dapat merebutnya. Namun demikian, gangguan Sufri di Afrika Utara berlanjut selama periode Umayyah.[108] Sekitar tahun 750, Dinasti Midrariyah yang mengikuti aliran Sufriyah mendirikan sebuah kerajaan di Sijilmasa, di Maroko modern. Dinasti tersebut bertahan hingga Fatimiyah merebut kota tersebut pada tahun 909 M. Meskipun demikian, dinasti Midrariyah terus memerintah kota di bawah kekuasaan kekuasaan Fatimiyah yang terputus-putus hingga tahun 976 M.[109] Orang-orang Sufriyah di Afrika Utara kemudian menghilang, dan sisa-sisa pengikutnya mengadopsi ajaran Ibadiyah sekitar abad ke-10 atau ke-11 M.[110]
Ibadiyah
Pada awal abad kedelapan, gerakan proto-Ibadi muncul dari kaum Khawarij moderat di Basrah.[93] Para dai dikirim untuk menyebarkan doktrin Khawarij di berbagai penjuru kekhalifahan termasuk Oman, Yaman, Hadramaut, Khurasan, dan Afrika Utara. Selama tahun-tahun terakhir Kekhalifahan Umayyah, gerakan propaganda Ibadi menyebabkan beberapa pemberontakan di pinggiran kekhalifahan, meskipun para pemimpin di Basrah mengadopsi kebijakan kitman (juga kadang disebut taqiyah), yaitu sebuah kebijakan untuk menyembunyikan keyakinan agar dapat terhindar dari penganiayaan.[91]
Pada tahun 745 M, Abdallah bin Yahya al-Kindi mendirikan negara Ibadi pertama di Hadramaut, dan merebut Yaman pada tahun 746 M. Letnannya yang bernama Abu Hamzah Mukhtar bin Aus al-Azdi melakukan penaklukkan terhadap Mekkah dan Madinah. Bani Umayyah mengalahkan dan membunuh Abu Hamzah dan Ibnu Yahya pada tahun 748 M sehingga negara Ibadi pertama tersebut runtuh.[111][112] Negara Ibadi lain didirikan di Oman pada tahun 750 M setelah jatuhnya Abu Yahya, tetapi jatuh ke tangan Abbasiyah pada tahun 752. Disusul dengan pembentukan negara Ibadi lainnya pada tahun 793 M,[111] yang bertahan selama satu abad hingga Abbasiyah merebut kembali Oman pada tahun 893 M. Pengaruh Abbasiyah di Oman sebagian besar bersifat simbolis, dan Imam orang-orang Ibadi terus memegang kekuasaan yang besar secara de facto.[113] Sekitar satu abad kemudian, pemimpin Ibadi yang bernama Al-Khalil bin Syatsan al-Kharusi (memerintah sejak 1016 - 1029) menegaskan kembali kendali atas Oman tengah, sedangkan penggantinya Rasyid bin Sa'id al-Yahmadi (memerintah sejak 1029 - 1053) mengusir dinasti protektorat Abbasiyah, Dinasti Buwaihiyah yang Syiah hingga keluar dari wilayah pesisir. Dengan demikian, kejadian tersebut memulihkan kendali Ibadi atas Oman. Perpecahan internal menyebabkan jatuhnya imamah Ibadi ketiga pada akhir abad ke-12.[93] Imamah Ibadi didirikan kembali pada abad-abad berikutnya.[114] Hingga saat ini, ajaran Ibadi masih dipeluk oleh mayoritas penduduk Oman asli.[115]
Kegiatan dakwah Ibadi cukup sukses di Afrika Utara.[115] Pada tahun 757, orang-orang Ibadi merebut Tripoli dan merebut Kairouan tahun berikutnya. Diusir oleh tentara Abbasiyah pada tahun 761 M, para pemimpin Ibadi mendirikan sebuah negara yang kemudian dikenal sebagai Dinasti Rustam, di Tahart. Dinasti tersebut pada akhirnya digulingkan pada 909 M oleh Fatimiyah. Komunitas Ibadi terus ada sampai sekarang di Pegunungan Nafusah di Libya barat laut, pulau Djerba di Tunisia dan lembah M'zab di Aljazair.[116] Di Afrika Timur, mereka ditemukan di Zanzibar.[115] Kegiatan dakwah Ibadi juga mencapai Persia, India, Mesir, Sudan, Spanyol dan Sisilia, meskipun komunitas Ibadi di wilayah ini menghilang seiring waktu.[117] Jumlah total orang Ibadi di Oman diperkirakan mencapai 2,5 juta orang dan di Afrika diperkirakan sekitar 200.000 orang.[118]
Keyakinan dan praktik
Kaum Khawarij tidak memiliki seperangkat doktrin yang seragam dan koheren. Setiap sekte dan individu yang berbeda sering kali memiliki pandangan yang berbeda pula. Berdasarkan perbedaan ini, para heresiografer telah membuat daftar lebih dari selusin sekte kecil Khawarij, selain empat sekte utama yang telah disebutkan di atas.[119][m]
Pemerintahan
Selain terkenal karena menuntut pembentukan hukum sesuai dengan Al-Qur'an,[120] pandangan umum untuk semua kelompok Khawarij adalah bahwa setiap Muslim yang memenuhi syarat dapat menjadi khalifah, terlepas dari latar belakang, asalkan dia memiliki kepribadian yang saleh. Mereka menolak keturunan Quraisy atau kekerabatan dekat dengan Muhammad sebagai prasyarat untuk menjadi khalifah, pandangan yang dianut oleh sebagian besar Muslim saat itu.[121][n] Ini berbeda dari posisi kedua Sunni yang menerima kepemimpinan dari mereka yang berkuasa asalkan mereka orang Quraisy, dan Syiah, yang menegaskan bahwa kepemimpinan ada di tangan Ali dan keturunannya.[119] Orang Khawarij berpendapat bahwa empat khalifah pertama tidak dipilih karena mereka keturunan Quraisy atau hubungan kekerabatan dengan Muhammad, tetapi karena mereka termasuk Muslim yang paling terkemuka dan memenuhi syarat untuk posisi itu, dan karenanya semuanya adalah khalifah yang sah. Secara khusus, mereka sangat menghormati Abu Bakar dan Umar, karena menurut mereka, kedua orang tersebut telah memerintah dengan adil.[119] Utsman, di sisi lain, telah menyimpang dari jalan keadilan dan kebenaran di paruh kedua kekhalifahannya dan dengan demikian Utsman dapat dibunuh atau digulingkan, sedangkan Ali melakukan dosa besar ketika dia menyetujui arbitrasi dengan Muawiyah.[41] Berbeda dengan gagasan Bani Umayyah bahwa pemerintahan mereka ditetapkan oleh Tuhan, gagasan kepemimpinan Khawarij tidak memiliki motif keilahian, hanya sebatas sikap dan kesalehan yang benar yang diberikan pemimpin otoritas atas masyarakat.[123] Jika pemimpin melakukan dosa dan menyimpang dari jalan yang benar atau gagal mengelola urusan umat Islam melalui keadilan dan musyawarah, dia berkewajiban untuk mengakui kesalahannya dan bertobat, atau dia kehilangan haknya untuk memerintah dan tunduk pada penggulingan.[119][124] Dalam pandangan Azariqah dan Najdah, umat Islam memiliki kewajiban untuk memberontak melawan penguasa yang zalim tersebut.[125]
Hampir semua golongan Khawarij menganggap jabatan pemimpin (imam) itu perlu ada. Banyak pemimpin Khawarij mengadopsi gelar amirul mu'minin, yang biasanya diperuntukkan bagi khalifah.[126] Najdah merupakan pengecualian karena mereka menganggap bahwa jabatan kepemimpinan itu tidak diwajibkan. Setelah kekalahan mereka pada tahun 692 M, orang-orang Najdah menghapus persyaratan perang melawan kaum non-Khawarij dan jabatan imamah sebagai sarana untuk bertahan hidup.[127][128] Sejarawan Patricia Crone menggambarkan filosofi Najdah sebagai bentuk awal dari anarkisme.[129]
Doktrin lain
Kaum Khawarij juga menegaskan bahwa iman tanpa disertai perbuatan adalah sia-sia, dan bahwa siapa pun yang melakukan dosa besar adalah kafir dan harus bertobat untuk mengembalikan iman yang benar. Namun, gagasan Khawarij tentang kekafiran berbeda dari definisi Muslim arus utama, yang memahami bahwa yang termasuk ke dalam kategori kafir adalah non-Muslim. Bagi kaum Khawarij, kekafiran dapat mencakup menyiratkan Muslim yang fasik, atau Muslim semu yang menolak Islam sejati.[130] Penganut Azariqah memiliki posisi yang lebih ekstrem bahwa orang Muslim fasik yang kafir tersebut sebenarnya adalah syirik dan murtad sehingga tidak dapat masuk kembali ke Islam dan dapat dibunuh bersama dengan wanita dan anak-anak mereka.[131][132] Perkawinan campur antara Khawarij dan orang-orang "kafir" tersebut dilarang dalam doktrin Azariqah.[133] Najdah mengizinkan pernikahan dengan non-Khawarij.[8] Dari kalangan moderat seperti Sufriyah dan Baihasiyah[o] menganggap semua Muslim non-Khawarij sebagai kafir, tetapi juga kedua sekte tersebut menolak untuk memerangi non-Khawarij, kecuali diperlukan, dan diperbolehkan kawin campur dengan mereka.[95] Ibadiyah, di sisi lain, tidak menyatakan Muslim non-Khawarij sebagai musyrik atau kafir, tetapi sebagai munafik (kuffar bil-nifaq), atau sebagai orang yang tidak bersyukur atas nikmat Allah (kuffar bil-ni'mah).[132] Orang-orang Ibadi juga mengizinkan pernikahan di luar sekte Ibadi sendiri.[121]
Azariqah dan Najdah berpendapat bahwa karena para penguasa Bani Umayyah dan semua Muslim non-Khawarij pada umumnya adalah kafir, maka memilih untuk hidup di bawah kekuasaan mereka yang kafir (darul kuffar) dianggap melanggar hukum karena itu merupakan tindakan kemusyrikan. Oleh karena itu, orang-orang Khawarij diwajibkan untuk pindah, meniru konsep Hijrah-nya Muhammad ke Madinah, dan mendirikan kekuasaan mereka sendiri yang sah (darul hijrah).[134] Azariqah melarang praktik penyesatan keyakinan mereka dan mencap Khawarij yang non-aktivis (yaitu Khawarij yang tidak beremigrasi ke negara mereka) sebagai orang yang tidak beriman.[130][132][133] Najdah mengizinkan orang-orang Khawarij non-aktivisme yang pasif, tetapi melabeli orang-orang tersebut sebagai orang munafik.[8] Orientalis Montgomery Watt mengaitkan moderasi pendirian Najdah ini dengan kebutuhan praktis yang mereka temui saat memerintah Arab, karena administrasi wilayah yang luas membutuhkan fleksibilitas dan kelonggaran untuk ketidaksempurnaan manusia.[135] Sufriyah dan Ibadiyah berpendapat bahwa pembentukan kekuasaan yang sah adalah sesuatu yang masih diperlukan, mereka menganggap sah juga jika penganut Khawarij melakukan kitman dan terus hidup di antara orang-orang non-Khawarij jika pemberontakan tidak memungkinkan.[134]
Catatan
- ^ Banyak laporan pemberontakan Khawarij misalnya, mengikuti pola yang berbeda: pengumpulan anggota Khawarij; penunjukan pemimpin yang pada awalnya enggan untuk ditunjuk; khotbah yang mengharuskan umat untuk mengobarkan semangat jihad; dan akhirnya pemberontakan.[12] Gambaran lain tentang Khawarij sering kali termasuk kesalehan ekstrem, keinginan untuk perang suci dan kesyahidan, dan kekerasan ekstrim.[13]
- ^ Al-Baladzuri agak bersimpati terhadap kaum Khawarij karena dia lebih mementingkan penggambaran Bani Umayyah sebagai tiran, yang kezaliman rezim tersebut dia lawankan dengan kesalehan Khawarij. Sebaliknya, Ath-Tabari berfokus pada kecaman terhadap militan Khawarij.[21]
- ^ Kitab Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin.
- ^ Al-farq bainal firaq.
- ^ Kitab al-Fasl fi'l-Milal wa'l-Ahwa wa'l-Nihal.
- ^ Kitab Al-Milal wa'l-Nihal.
- ^ Dia menunjuk kerabatnya untuk semua jabatan gubernur penting dan memberikan hibah uang dan tanah untuknya kerabat dekatnya.[27]
- ^ Dia menuntut agar pendapatan surplus dari provinsi dikirim ke Madinah. Dia juga menegaskan bahwa tanah pertanian yang ditaklukkan di Irak, yang telah dinyatakan oleh khalifah kedua Umar sebagai aset negara yang pendapatannya dibayarkan kepada para pejuang, adalah milik negara yang dapat digunakan sesuai kebijaksanaan Khalifah.[28][29]
- ^ Dokumen arbitrase tidak menyatakan dengan jelas masalah apa yang harus diselesaikan. Juga tidak jelas apa arti istilah sunnah al-adilah (terj. har. 'praktek yang adil'). Versi dokumen palsu selanjutnya merevisi istilah tersebut menjadi sunnah Muhammad. Kaum Khawarij menentang hal ini karena menyiratkan bahwa Al-Quran bukanlah dasar yang cukup untuk membuat keputusan.[38]
- ^ Angka ini dari al-Baghdadi. Al-Mubarrad melaporkan 2.000, sedangkan al-Qalhati 10.000.[39]
- ^ Musafir tersebut dikatakan sebagai Abdullah, putra dari sahabat Muhammad, Khabbab. Ceritanya, dalam berbagai varian, ditemukan di hampir setiap sumber yang berhubungan dengan Khawarij awal. Dalam versi paling terkenal, Ibnu Khabbab bertemu dengan sekelompok Khawarij. Menanggapi pertanyaan mereka, dia menceritakan sebuah hadits tentang Muhammad yang menubuatkan munculnya Fitnah (secara harfiah berarti tuduhan palsu, tetapi secara historis kata itu merujuk pada perang saudara) dan menginstruksikan bahwa orang-orang beriman berada di pihak 'terbunuh' daripada 'pembunuh'. Orang-orang Khawarij yang marah kemudian membawanya sebagai tawanan. Salah satu dari mereka mengeluarkan kurma, yang dia temukan di jalan, ketika orang lain keberatan bahwa dia telah mengambilnya tanpa izin pemiliknya. Belakangan, dia menemukan dan membayar pemilik babi yang baru saja dia bunuh tanpa izin. Ibnu Khabbab secara keliru menyimpulkan bahwa orang dengan keberatan seperti itu tidak akan membunuhnya. Dia disembelih di atas bangkai babi; gadis budaknya yang hamil juga dibunuh dan rahimnya dirobek. Sejarawan Adam Gaiser dan Hannah-Lena Hagemann berpendapat bahwa cerita tersebut, karena prevalensinya pada sumber, kemungkinan besar memiliki inti kebenaran, tetapi telah banyak dimodifikasi untuk berbagai tujuan dan detailnya tidak dapat diandalkan. Ini mengontraskan kesalehan ekstrem Khawarij dengan kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh mereka untuk menekankan kekosongan religiusitas mereka, menekankan bahaya yang terkait dengan ekstremisme agama, dan membenarkan serangan Ali terhadap mereka di Nahrawan. Versi cerita tertentu memiliki referensi anakronus ke isti'rad, sedangkan struktur keseluruhan mirip dengan kejadian di kemudian hari. Cerita itu juga menggambarkan karakter Khawarij generasi awal yang meniru karakteristik tindakan dari kelompok Azariqa yang datang kemudian. Apa yang dapat dikatakan dengan tingkat kepastian tertentu adalah bahwa Ibnu Khabbab dibunuh oleh beberapa Khawarij, untuk alasan yang tidak diketahui, dan sisanya menolak untuk menyerahkannya kepada Ali di Nahrawan.[51][52]
- ^ Pemberontakan terisolasi dari pengikut Mustawrid yang masih hidup terjadi pada tahun 678 dan dengan mudah dipadamkan.[63]
- ^ Dari sekte-sekte kecil ini, Hamziyah, kemungkinan merupakan pecahan dari Ajaridah yang bertahan melawan Abbasiyah selama sekitar tiga puluh tahun. Di bawah kepemimpinan Hamzah bin Adarak, seorang Khawarij setempat, mereka memberontak pada ca 797 M di Sistan, yang telah melihat aktivitas Khawarij sejak zaman Umayyah, dan sering menyerbu kota-kota di Khurasan. Bani Abbasiyah tidak mampu mengalahkan mereka dan pemberontakan berakhir hanya ketika Hamzah meninggal pada tahun 828. Aktivitas Khawarij di Sistan, Khurasan, dan bagian lain Persia bertahan hingga akhir abad kesembilan.[75]
- ^ Semua penguasa diambil secara eksklusif dari Quraisy selama seluruh periode keberadaan Khawarij.[122]
- ^ Pengikut Abu Baihas, yang dikatakan mengkritik Azariqah karena bertindak terlalu jauh dengan melegitimasi pembunuhan Muslim non-Khawarij dan keluarga mereka, dan mengkritik Ibadiyah karena tidak menganggap Muslim non-Khawarij sebagai kafir. Hampir dapat dipastikan bahwa sekte ini juga berkembang di kemudian hari dan tidak eksis di saat perang saudara kedua seperti yang dinyatakan oleh sumber-sumber tersebut.[95]
Referensi
Kutipan
- ^ Fat, juz 12 hal. 283
- ^ Mu'jam Al-Buldan li Yaqut Al-Hamawi, juz 2 hal. 245
- ^ Francesca 2006, hlm. 84.
- ^ Della Vida 1978, hlm. 1075.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 1–2.
- ^ a b c d e f Gaiser 2013.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 3.
- ^ a b c d e f g h i Gaiser 2020.
- ^ a b Kenney 2006, hlm. 25.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 2.
- ^ a b Kenney 2006, hlm. 28–29.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 122.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 86ff.
- ^ Kenney 2006, hlm. 28.
- ^ Lewinstein 1992, hlm. 75–77, 92–96.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 64–65.
- ^ Hagemann & Verkinderen 2020, hlm. 501.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 169.
- ^ Lewinstein 1991.
- ^ Hagemann & Verkinderen 2020, hlm. 490.
- ^ Hagemann 2016.
- ^ a b Della Vida 1978, hlm. 1077.
- ^ Crone & Zimmermann 2001.
- ^ Sonn & Farrar 2009.
- ^ Crone & Zimmermann 2001, hlm. 1.
- ^ Watt 1973, hlm. 9.
- ^ Donner 2010, hlm. 152–153.
- ^ Donner 2010, hlm. 148–149.
- ^ a b Kennedy 2016, hlm. 63.
- ^ Donner 2010, hlm. 148–154.
- ^ Donner 2010, hlm. 155.
- ^ Donner 2010, hlm. 157–159.
- ^ a b c Wellhausen 1901, hlm. 3.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 7.
- ^ a b Madelung 1997, hlm. 238.
- ^ a b c Della Vida 1978, hlm. 1074.
- ^ Hinds 1972, hlm. 100.
- ^ Hinds 1972, hlm. 100–102.
- ^ Wilkinson 2010, hlm. 139.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 4.
- ^ a b c Watt 1973, hlm. 14.
- ^ Hawting 1978, hlm. 460.
- ^ Djebli 2000, hlm. 107.
- ^ Madelung 1997, hlm. 248–249.
- ^ a b Wellhausen 1901, hlm. 17–18.
- ^ Madelung 1997, hlm. 251–252.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 48.
- ^ Donner 2010, hlm. 163.
- ^ Madelung 1997, hlm. 257.
- ^ Madelung 1997, hlm. 258.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 101 –103.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 95–97.
- ^ Madelung 1997, hlm. 259.
- ^ a b c Della Vida 1978, hlm. 1074–1075.
- ^ a b Wellhausen 1901, hlm. 18.
- ^ Watt 1973, hlm. 19.
- ^ Madelung 1997, hlm. 308.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 52.
- ^ a b c Hagemann & Verkinderen 2020, hlm. 495.
- ^ a b Gaiser 2016, hlm. 54–56.
- ^ a b Wellhausen 1901, hlm. 20–23.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 21.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 56–57.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 59.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 25–26.
- ^ a b Morony 1984, hlm. 472.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 62–66.
- ^ Wilkinson 2010, hlm. 144.
- ^ Donner 2010, hlm. 177, 181.
- ^ a b c Rotter 1982, hlm. 80.
- ^ Morony 1984, hlm. 473.
- ^ Rubinacci 1960, hlm. 810.
- ^ Watt 1973, hlm. 21.
- ^ a b c Rubinacci 1960, hlm. 810–811.
- ^ a b Bosworth 2009.
- ^ Wilkinson 2010, hlm. 148.
- ^ Dixon 1971, hlm. 169–170.
- ^ Dixon 1971, hlm. 171–173.
- ^ Watt 1961, hlm. 219.
- ^ Dixon 1971, hlm. 171.
- ^ Dixon 1971, hlm. 175–176.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 30–32.
- ^ Crone 1998, hlm. 56.
- ^ Gaiser 2010, hlm. 131.
- ^ Lewinstein 1992, hlm. 77–78.
- ^ Lewinstein 1992, hlm. 80–81.
- ^ Robinson 2000, hlm. 111–112.
- ^ Lewicki 1971, hlm. 648–649.
- ^ Hoffman 2012, hlm. 11–12.
- ^ Lewicki 1971, hlm. 649–650.
- ^ a b Hoffman 2012, hlm. 12–13.
- ^ a b Madelung & Lewinstein 1997, hlm. 767.
- ^ a b c d Gaiser 2021.
- ^ Lewinstein 1992, hlm. 94.
- ^ a b c d e Madelung & Lewinstein 1997, hlm. 766.
- ^ Wilkinson 2010, hlm. 159.
- ^ Crone & Zimmermann 2001, hlm. 202 n.
- ^ a b Lewinstein 1992.
- ^ Wilkinson 2010, hlm. 150–151.
- ^ Lewinstein 1992, hlm. 94 –96.
- ^ Robinson 2000, hlm. 117– 119.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 42–45.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 45–46.
- ^ a b Wellhausen 1901, hlm. 48.
- ^ Lewinstein 1992, hlm. 76.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 49–51.
- ^ Madelung & Lewinstein 1997, hlm. 766–767.
- ^ Madelung & Lewinstein 1997, hlm. 767–768.
- ^ Love 2010, hlm. 177–183.
- ^ Madelung & Lewinstein 1997, hlm. 768.
- ^ a b Hoffman 2012, hlm. 13.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 52–53.
- ^ Lewicki 1971, hlm. 652.
- ^ Hoffman 2012, hlm. 14–16.
- ^ a b c Lewicki 1971, hlm. 653.
- ^ Hoffman 2012, hlm. 13 –14.
- ^ Lewicki 1971, hlm. 653, 656–657.
- ^ Vikør 2018, hlm. 968.
- ^ a b c d Della Vida 1978, hlm. 1076.
- ^ Wilkinson 2010, hlm. 138–139.
- ^ a b Demichelis 2015, hlm. 108.
- ^ Marsham 2009, hlm. 7.
- ^ Gaiser 2010, hlm. 125–126.
- ^ Kenney 2006, hlm. 23–33.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 13–14.
- ^ Gaiser 2010, hlm. 129–130.
- ^ Crone 1998, hlm. 56, 76.
- ^ Gaiser 2010, hlm. 130–131.
- ^ Crone 2000, hlm. 24–26.
- ^ a b Kenney 2006, hlm. 34–35.
- ^ Kenney 2006, hlm. 34– 35.
- ^ a b c Hoffman 2012, hlm. 28.
- ^ a b Lewinstein 2008.
- ^ a b Crone 2004, hlm. 56.
- ^ Watt 1961, hlm. 220 –221.
Daftar pustaka
- Abbas, Ihsan, ed. (1974). Shiʿr al-Khawārij: Jamʿ wa Taqdīm Iḥsān ʿAbbās (edisi ke-3rd). Beirut: Dar al-Thaqafa. OCLC 584091175.
- Akram, Muhammad (2014). "The Authority of Ulama and the Problem of Anti-State Militancy in Pakistan". Asian Journal of Social Science. 42 (5): 584–601. doi:10.1163/15685314-04205006. JSTOR 43495821.
- Allen, Lori A. (2005). "Jihad: Arab States". Dalam Joseph, Suad; Najamabadi, Afsaneh; Peteet, Julie; Shami, Seteney; Siapno, Jacqueline; Smith, Jane I. Encyclopedia of Women and Islamic Cultures. II: Family, Law and Politics. Leiden: Brill. hlm. 319–321. ISBN 9004128182.
- Badawi, M. M. (1980). "From Primary to Secondary Qaṣīdas: Thoughts on the Development of Classical Arabic Poetry". Journal of Arabic Literature. 11: 1–31. doi:10.1163/157006480X00018. JSTOR 4183025.
- Blankinship, Khalid Yahya (1994). The End of the Jihâd State: The Reign of Hishām ibn ʻAbd al-Malik and the Collapse of the Umayyads. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-1827-7.
- Bosworth, C. Edmund (2009). "Kharijites in Persia". Dalam Yarshater, Ehsan. Encyclopædia Iranica, Online Edition. Encyclopædia Iranica Foundation.
- Brünnow, Rudolf Ernst (1884). Die Charidschiten unter den ersten Omayyaden. Ein Beitrag zur Geschichte des ersten islamischen Jahrhunderts (dalam bahasa Jerman). Leiden: E. J. Brill. OCLC 1527180.
- Bunzel, Cole (2016). The Kingdom and the Caliphate: Duel of the Islamic States (Laporan). Washington, D.C.: Carnegie Endowment for International Peace. Diakses tanggal 10 January 2021.
- Burton, John (1977). The Collection of the Qur'an. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-21439-1.
- Cooperson, Michael, ed. (2013). Ibn al-Jawzī : Virtues of the Imām Aḥmad ibn Ḥanbal. 1. New York and London: New York University Press. ISBN 978-0-8147-7166-2.
- Crone, Patricia (1998). "A Statement by the Najdiyya Khārijites on the Dispensability of the Imamate". Studia Islamica (88): 55–76. doi:10.2307/1595697. ISSN 0585-5292. JSTOR 1595697. OCLC 5547948728.
- Crone, Patricia (2000). "Ninth-century Muslim anarchists". Past & Present. 167 (167): 3–28. doi:10.1093/past/167.1.3. ISSN 0031-2746. JSTOR 00312746. LCCN 65077388. OCLC 265436895.
- Crone, Patricia; Zimmermann, Friedrich (2001). The Epistle of Salim Ibn Dhakwan. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0191590153.
- Crone, Patricia (2004). God's Rule: Government and Islam. New York: Columbia University Press. ISBN 978-0231132916.
- Della Vida, Giorgio Levi (1978). "Khāridjites". Dalam van Donzel, E.; Lewis, B.; Pellat, Ch.; Bosworth, C. E. Encyclopaedia of Islam. Volume IV: Iran–Kha (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 1074–1077. OCLC 758278456.
- Demichelis, Marco (2015). "Kharijites and Qarmatians: Islamic Pre-Democratic Thought, a Political-Theological Analysis". Dalam Mattson, Ingrid; Nesbitt-Larking, Paul; Tahir, Nawaz. Religion and Representation: Islam and Democracy. Newcastle upon Tyne: Cambridge Scholars Publishing. hlm. 101–127. ISBN 978-1-4438-7059-7.
- Dixon, Abd al-Ameer A. (1971). The Umayyad Caliphate, 65–86/684–705: (a Political Study). London: Luzac. ISBN 978-0718901493.
- Djebli, Moktar (2000). "Taḥkīm". Dalam Bearman, P. J.; Bianquis, Th.; Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P. Encyclopaedia of Islam. Volume X: T–U (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 107–108. ISBN 978-90-04-11211-7.
- Donner, Fred M. (1997). "Piety and Eschatology in Early Kharijite Poetry". Dalam al-Saʿafin, Ibrahim. Fī Miḥrāb al-Maʿrifah: Festschrift for Iḥsān ʿAbbās. Beirut: Dar Sader Publishers. hlm. 13–19. OCLC 587950873.
- Donner, Fred M. (2010). Muhammad and the Believers, at the Origins of Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press. ISBN 978-0674050976.
- Francesca, Ersilia (2006). "Khārijīs". Dalam McAuliffe, Jane Dammen. Encyclopaedia of the Qurʾān. 3: J–O. Leiden: Brill. hlm. 84–89. doi:10.1163/1875-3922_q3_EQCOM_00103.
- Gaiser, Adam (2010). Muslims, Scholars, Soldiers: The Origin and Elaboration of the Ibadi Imamate Traditions. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0199738939.
- Gaiser, Adam (2013). "The Kharijites and Contemporary Scholarship". Oxford Bibliographies. Oxford University Press. doi:10.1093/OBO/9780195390155-0159. Diakses tanggal 10 January 2021.
- Gaiser, Adam (2016). Shurat Legends, Ibadi Identities: Martydom, Asceticism, and the Making of an Early Islamic Community. Columbia, SC: The University of South Carolina Press. ISBN 978-1-61117-677-3.
- Gaiser, Adam (2020). "Khārijīs". Dalam Fleet, Kate; Krämer, Gudrun; Matringe, Denis; Nawas, John; Rowson, Everett. Encyclopaedia of Islam, THREE. Brill Online. doi:10.1163/1573-3912_ei3_COM_35487. ISSN 1873-9830.
- Gaiser, Adam (2021). "Ibāḍiyya". Dalam Fleet, Kate; Krämer, Gudrun; Matringe, Denis; Nawas, John; Rowson, Everett. Encyclopaedia of Islam, THREE. Brill Online. doi:10.1163/1573-3912_ei3_COM_30614. ISSN 1873-9830.
- Hagemann, Hannah-Lena (2016). "Challenging Authority: Al-Balādhurī and al-Ṭabarī on Khārijism during the Reign of Muʿāwiya b. Abī Sufyān". Al-Masāq: Journal of the Medieval Mediterranean. 28 (1): 36–56. doi:10.1080/09503110.2016.1152803.
- Hagemann, Hannah-Lena; Verkinderen, Peter (2020). "Kharijism in the Umayyad period". Dalam Marsham, Andrew. The Umayyad World. London and New York: Routledge. hlm. 489–517. doi:10.4324/9781315691411-29. ISBN 978-1315691411.
- Hagemann, Hannah-Lena (2021). The Kharijites in Early Islamic Historical Tradition: Heroes and Villains. Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN 978-1-4744-5088-1.
- Hawting, Gerald R. (1978). "The Significance of the Slogan "lā hukma illā lillāh" and the References to the "Hudūd" in the Traditions about the Fitna and the Murder of 'Uthmān". Bulletin of the School of Oriental and African Studies. 41 (3): 453–463. doi:10.1017/S0041977X00117550. JSTOR 615490.
- Hinds, Martin (1971). "Kufan Political Alignments and their Background in the Mid-Seventh Century A.D.". International Journal of Middle East Studies. 2 (4): 346–367. doi:10.1017/S0020743800001306. JSTOR 162722.
- Hinds, Martin (1972). "The Siffin Arbitration Agreement". Journal of Semitic Studies. 17 (1): 93–129. doi:10.1093/jss/17.1.93.
- Hoffman, Valerie (2009). "Historical Memory and Imagined Communities: Modern Ibāḍī Writings on Khārijism". Dalam Lindsay, James E.; Armajani, Jon. Historical Dimensions of Islam: Essays in Honor of R. Stephen Humphreys. Princeton: Darwin Press. hlm. 185–200. ISBN 978-0-87850-190-8. OCLC 705715290.
- Hoffman, Valerie (2012). The Essentials of Ibadi Islam. New York: Syracuse University Press. ISBN 978-0-8156-3288-7.
- Kelsay, John (2008). "Al-Qaida as a Muslim (Religio-Political) Movement: Remarks on James L. Gelvin's "Al-Qaeda and Anarchism: A Historian's Reply to Terrorology"". Terrorism and Political Violence. 20 (4): 601–605. doi:10.1080/09546550802257382.
- Kennedy, Hugh (2023). The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the 6th to the 11th Century (edisi ke-third). Abingdon, Oxon and New York: Routledge. ISBN 978-0-367-36690-2.
- Kenney, Jeffrey T. (2006). Muslim Rebels: Kharijites and the Politics of Extremism in Egypt. New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-513169-7.
- Lewicki, T. (1971). "al-Ibāḍiyya". Dalam Lewis, B.; Ménage, V. L.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume III: H–Iram (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 648–660. OCLC 495469525.
- Lewinstein, Keith (1991). "The Azāriqa in Islamic Heresiography". Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London. 54 (2): 251–268. doi:10.1017/S0041977X00014774. JSTOR 619134.
- Lewinstein, Keith (1992). "Making and Unmaking a Sect: The Heresiographers and the Ṣufriyya". Studia Islamica (76): 75–96. doi:10.2307/1595661. JSTOR 1595661.
- Lewinstein, Keith (2008). "Azāriqa". Dalam Fleet, Kate; Krämer, Gudrun; Matringe, Denis; Nawas, John; Rowson, Everett. Encyclopaedia of Islam, THREE. Brill Online. doi:10.1163/1573-3912_ei3_COM_0171. ISSN 1873-9830.
- Love, Paul M. Jr. (2010). "The Sufris of Sijilmasa: Toward a history of the Midrarids". The Journal of North African Studies. 15 (2): 173–188. doi:10.1080/13629380902734136.
- Madelung, Wilferd (1979). "The Shiite and Khārijite Contribution to Pre-Ashʿarite Kalām". Dalam Morewedge, Parviz. Islamic Philosophical Theology. Albany, New York: State University of New York Press. hlm. 120–141. ISBN 0-87395-242-1.
- Madelung, Wilferd (1997). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0521646960.
- Madelung, Wilferd; Lewinstein, Keith (1997). "Ṣufriyya". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P.; Lecomte, G. Encyclopaedia of Islam. Volume IX: San–Sze (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 766–769. ISBN 978-90-04-10422-8.
- Marsham, Andrew (2009). Rituals of Islamic Monarchy: Accession and Succession in the First Muslim Empire. Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN 978-0-7486-3077-6.
- Morony, Michael (1984). Iraq After the Muslim Conquest. Princeton: Princeton University Press. ISBN 0-691-05395-2.
- Robinson, Chase F. (2000). Empire and Elites after the Muslim Conquest: The Transformation of Northern Mesopotamia. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-78115-9.
- Rotter, Gernot (1982). Die Umayyaden und der zweite Bürgerkrieg (680–692) (dalam bahasa Jerman). Wiesbaden: Deutsche Morgenländische Gesellschaft. ISBN 978-3515029131.
- Rubinacci, R. (1960). "Azāriḳa". Dalam Gibb, H. A. R.; Kramers, J. H.; Lévi-Provençal, E.; Schacht, J.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume I: A–B (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 810–811. OCLC 495469456.
- Shaban, M. A. (1971). Islamic History, A New Interpretation: Volume 1, AD 600–750 (A.H. 132). Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-29131-6.
- Sonn, Tamara; Farrar, Adam (2009). "Kharijites". Oxford Bibliographies. Oxford University Press. doi:10.1093/OBO/9780195390155-0047. Diakses tanggal 10 February 2021.
- Timani, Hussam S. (2008). Modern Intellectual Readings of the Kharijites. New York: Peter Lang. ISBN 978-0820497013.
- Vikør, Knut S. (2018). "Ibadism and law in historical contexts". Oñati Socio-Legal Series. 10 (5): 960–984. doi:10.35295/osls.iisl/0000-0000-0000-1155.
- Watt, W. Montgomery (1961). "Khārijite thought in the Umayyad Period". Der Islam. 36 (3): 215–231. doi:10.1515/islm.1961.36.3.215.
- Watt, W. Montgomery (1973). The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN 978-0852242452.
- Watt, W. Montgomery (1985). Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN 0748607498.
- Wellhausen, Julius (1901). Die religiös-politischen Oppositionsparteien im alten Islam (dalam bahasa Jerman). Berlin: Weidmannsche buchhandlung. OCLC 453206240.
- Wilkinson, John C. (2010). Ibâdism: Origins and Early Development in Oman. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-958826-8.