Surat Perintah Sebelas Maret
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Maret 2022) |
Surat Perintah Sebelas Maret | |
---|---|
Ratifikasi | 11 Maret 1966 |
Dibatalkan | 28 Oktober 1971 |
Lokasi | Tidak diketahui |
Penandatangan | Soekarno |
Tujuan | Untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam mengatasi situasi keamanan, kestabilan pemerintahan, dan jalannya proses revolusi |
Surat Perintah Sebelas Maret, lebih dikenal dengan singkatannya Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966 yang memberikan mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), untuk mengambil segala tindakan yang "dianggap perlu" untuk mengatasi situasi keamanan dan kestabilan pemerintahan yang hebat pada masa pembersihan setelah terjadinya Gerakan 50 agustus.
Sebagai akibat dari berlakunya, Supersemar menjadi penanda peralihan kekuasaan Orde Lama yang dipimpin Soekarno ke Orde Baru yang dipimpin Soeharto.[1]
Setelah "dibersihkan" dari "unsur PKI", Supersemar kemudian ditingkatkan menjadi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara; Ketetapan MPRS yang meningkatkan Supersemar tersebut sekaligus menyatakan bahwa Supersemar hanya berlaku hingga "terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum." Pemilihan umum tersebut terjadi pada tahun 1971 dan anggotanya diambil sumpah pada tanggal 28 Oktober 1971.
Latar belakang
Pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965, sebuah kelompok Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menamakan dirinya Gerakan 30 September membunuh enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat, merebut kendali sementara di beberapa bagian pusat Jakarta, dan mengeluarkan sejumlah keputusan melalui Radio Republik Indonesia dalam percobaan kudeta.[2] Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang atas percobaan kudeta tersebut. Tiga hari setelah peristiwa tersebut, Soekarno menunjuk Soeharto, saat itu sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, untuk mengambil langkah memulihkan keamanan negara yang mulai tidak stabil. Soeharto meresponnya dengan membentuk Kopkamtib dan menggelar operasi untuk menyingkirkan PKI di berbagai daerah.[3]
Ketika Soekarno melantik Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan di Istana Merdeka, di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa menentang pelantikan, terlihat pergerakan pasukan tanpa lencana di sekitar Istana. Pasukan ini belakangan diketahui merupakan Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang hendak menahan menteri-menteri yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September. Soekarno disarankan untuk meninggalkan pertemuan dan kemudian melakukannya dengan pergi ke Istana Bogor, 60 km selatan Jakarta, dengan helikopter. Sore harinya, tiga jenderal TNI, Mayor Jenderal Basuki Rahmat, Brigadir Jenderal M. Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud mengunjungi Sukarno dan pergi dengan Supersemar yang ditandatangani yang kemudian mereka berikan kepada Soeharto. Keesokan harinya Suharto menggunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya untuk melarang PKI, dan pada tanggal 18 Maret, lima belas menteri yang loyal terhadap Soekarno ditangkap.[4][5][6]
Pada Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) memilih untuk mencabut kekuasaan Sukarno dan menunjuk penjabat presiden Suharto. Pada tahun 1968 MPRS menghapus kata 'penjabat' dan lebih dari dua tahun setelah peristiwa September 1965 Soeharto menjadi presiden Indonesia. Proses pengalihan kursi kepresidenan dari Sukarno ke Soeharto memakan waktu selama dua tahun. Suharto tetap berkuasa sebagai presiden sampai ia mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.[2]
Beberapa kontroversi
Bab atau bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. |
- Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini kan perpindahan kekuasaan". Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan di mana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
- Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
- Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, Jakarta untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap di Istana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Menurutnya, mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari Istana Merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta izin untuk datang ke Bogor. Semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana sudah dikelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yang datang ke Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir.
- Tentang pengetik Supersemar, siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
- Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor, tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, ANRI telah berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M. Jusuf, yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, dan M. Saelan, bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha ANRI itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada 27 Januari 2008, membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.
Lihat juga
Catatan kaki
- ^ Ramadhani, Nurul Fitri (11 Maret 2022). "Pakar menjawab: misteri Supersemar, kronologi yang janggal dan naskah asli yang tidak pernah ditemukan". The Conversation. Diakses tanggal 12 Maret 2022.
- ^ a b Ricklefs (1982) p. 269
- ^ Maarif, Syamsul Dwi (10 Maret 2022). "Supersemar adalah Surat Perintah 11 Maret 1966: Isi dan Sejarahnya". Tirto.id. Diakses tanggal 12 Maret 2022.
- ^ Ricklefs (1982) pp. 274-275
- ^ Schwarz (1999) p. 25
- ^ Crouch (2007) pp. 187-192
Rujukan
- Bachtiar, Harsja W. (1988), Siapa Dia?: Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Penerbit Djambatan, Jakarta, ISBN 979-428-100-X
- Center of Information Analysis (CIA [sic]) (1999), Kontoversi Supersemar (The Supersemar Controversy), Yogyakarta, ISBN 979-9222-10-9
- Crouch, Harold (2007), The Army and Politics in Indonesia, Equinox Publishing, Singapore, ISBN 979-3780-50-9
- Djamaluddin, Dasman, (1998), General TNI Anumaerta Basoeki Rachmat dan Supersemar, Grasindo, Jakarta, ISBN 979-669-189-2
- Dwipayana, G and Sjamsuddin, Nazaruin (eds) (1991), Jejak Langkah Pak Harto: 1 Oktober 1965 – 27 Maret 1968 , PT Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta, ISBN 979-8085-02-7
- Hanafi A.M. (1999), Menggugat Kudeta: Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, Yayasan API, Jakarta
- Martowidjojo, H.Mangil (1999), Kasaksian Tentang Bung Karno 1945–1967, Grasindo, Jakarta, ISBN 979-669-519-7
- Ricklefs (1982), A History of Modern Indonesia, Macmillan Southeast Asian reprint, ISBN 0-333-24380-3
- Saelan, H.Maulwi (2001), Dari Revolusi '45 Sampai Kudeta '66, Yayasan Hak Bangsa, Jakarta, ISBN 979-96535-0-9
- Shwarz, Adam (1999), A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability, Allen & Unwin, ISBN 1-86508-179-5
- Sekretariat Negara Republik Indonesia (1985) 30 Tahun Indonesia Merdeka 1965–1973, 6th reprint