Lompat ke isi

Tafsir Al-Qur'an

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 17 November 2018 08.07 oleh Hanamanteo (bicara | kontrib) (←Suntingan 116.206.8.46 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh MuRiIrUm)

Tafsir Alquran (bahasa Arab: تفسير القرآن) adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Alquran dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Alquran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya. Kebutuhan umat Islam terhadap tafsir Alquran, sehingga makna-maknanya dapat dipahami secara penuh dan menyeluruh, merupakan hal yang mendasar dalam rangka melaksanakan perintah Allah (Tuhan dalam Islam) sesuai yang dikehendaki-Nya.[1]

Dalam memahami dan menafsirkan Alquran diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab, tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Alquran dan isinya. Ilmu untuk memahami Alquran ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an (ilmu-ilmu Alquran). Terdapat tiga bentuk penafsiran yaitu Tafsîr bil ma’tsûr, at-tafsîr bir ra’yi, dan tafsir isyari, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.

Usaha menafsirkan Alquran sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi ﷺ sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Alquran dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.[2]

Definisi

Al-Utsaimin (2001), hlm. 23 menyebutkan, "Tafsir secara bahasa berasal dari al-fasr (bahasa Arab: الفسر), yaitu menyingkap sesuatu yang tertutup." Adapun secara bahasa, tafsir (Alquran) adalah penjelasan terhadap makna-makna yang dikandung Alquran. As-Suyuthi menukil dari Al-Imam Az-Zarkasyi, menjelaskan pengertian tafsir sebagai ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.[2]

Urgensi tafsir Alquran dalam Islam

Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Alquran yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Alquran.

Mempelajari tafsir Alquran adalah kewajiban berdasarkan firman Allah swt yang artinya sebagai berikut.

  • "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS Sad [38]: 29)

    Allah swt menjelaskan bahwa hikmah diturunkannya Alquran yang penuh dengan berkah adalah agar manusia men-tadabbur-i ayat-ayatnya dan meneliti ayat-ayat itu. Tadabbur adalah merenungi lafal-lafal Alquran untuk memahami maknanya. Jika tidak ada tadabbur, maka manusia akan kehilangan hikmah tersebut dan lafal-lafal Alquran tidak akan memberi pengaruh.

  • "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran ataukah hati mereka terkunci?" (QS Muhammad [47]: 24)

    Allah swt mencela orang-orang yang tidak men-tadabbur-i Alquran serta menyebutkan tentang terkuncinya dan tidak adanya kebaikan pada hati mereka.

Ulama-ulama terdahulu berpendapat atas wajibnya mempelajari tafsir Alquran. Mereka mempelajari lafal dan makna Alquran sehingga mereka bisa melaksanakan amal yang Allah maksudkan dalam Alquran. Tidak mungkin melakukan suatu amal yang tidak diketahui hakikat maknanya.[3]

Abu Abdirrahman as-Sulamiy berkata, "Orang-orang yang mengajari kami Alquran, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud, ketika belajar sepuluh ayat dari Alquran kepada Nabi ﷺ, mereka tidak meminta tambah sampai mereka memahami ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, 'Oleh sebab itu, kami mempelajari Alquran sekaligus ilmu dan amal.'"[4]

Sejarah tafsir Alquran

Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah ﷺ masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah ﷺ.

Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Alquran antara lain empat khalifah, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadis.

Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Alquran yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri, yaitu

Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadis namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadis, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bil Ma`tsur.

Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al-Ma`tsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi ar-ra'yi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyari.

Rujukan dalam Tafsir Alquran

Al-Utsaimin menjelaskan bahwa tafsir Alquran merujuk pada sumber-sumber berikut.[5]

  • Pertama: Kalamullah (Alquran ditafsirkan dengan Alquran), maksudnya ditafsirkan dengan ayat lain, karena Allah SWT adalah Yang menurunkan Alquran sehingga lebih mengetahui apa yang dikehendaki ayat. Contoh:
    1. firman Allah SWT

      أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

      Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

      QS Yunus [10]: 62

      Lafal "أَوْلِيَاءَ اللَّهِ" (awliyâ` Allah, wali-wali Allah) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:

      الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

      (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.

      —QS Yunus [10]: 63
    2. firman Allah SWT

      وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ

      tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?

      QS At-Tariq [86]: 2

      Lafal "الطارق" (ath-thâriq, yang datang pada malam hari) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:

      النَّجْمُ الثَّاقِبُ

      (yaitu) bintang yang cahayanya menembus,

      —QS At-Tariq [86]: 3
    3. firman Allah SWT

      وَالأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا

      Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya

      QS An-Nazi'at [79]: 30

      Lafal "دَحَاهَا" (daḥâhâ, dihamparkan-Nya) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:

      أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا
      وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا

      Ia memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.
      Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh,

      —QS An-Nazi'at [79]: 30
  • Kedua: perkataan Rasulullah ﷺ (maksudnya Alquran ditafsirkan dengan as-sunnah), karena Rasulullah ﷺ adalah pembawa kabar dari Allah SWT sehingga Rasulullah ﷺ adalah manusia yang paling mengetahui maksud Allah pada firman-Nya. Contoh:

    لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

    Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.

    —QS Yunus [10]: 26
    Nabi ﷺ menafsirkan lafal "زِيَادَةٌ" (ziyâdah, tambahannya) dengan 'melihat wajah Allah', berdasarkan riwayat dari Ibnu Jarir ath-Thabari dan Ibnu Abi Hatim tanpa adanya kesamaran dari Abu Musa[6] dan Ubay bin Ka'ab[7].
  • Ketiga: perkataan sahabat RA, terutama ulama mereka dan yang memiliki perhatian terhadap tafsir, karena Alquran turun dengan bahasa mereka, pada masa mereka. Mereka adalah orang-orang yang paling jujur dalam mencari kebenaran, lebih selamat dari hawa nafsu, dan lebih bersih dari perselisihan yang memecah belah mereka. Contoh:

    وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ

    Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan

    QS An-Nisa' [4]: 43
    Telah sahih kabar dari Ibnu Abbas RA bahwa dia menafsirkan 'menyentuh perempuan' dengan 'hubungan badan'.
  • Keempat: perkataan tabi'in yang perhatian untuk mengambil tafsir dari para sahabat[8], karena mereka adalah generasi terbaik setelah sahabat, lebih selamat dari hawa nafsu daripada generasi setelahnya, dan bahasa Arab belum banyak berubah pada masa mereka. Oleh karena itu, mereka lebih dekat kepada kebenaran dalam menafsirkan Alquran daripada generasi setelahnya.

    Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu' al Fatawa, "Apabila terdapat konsensus di antara para tabi'in, maka argumen mereka tidak dapat diragukan. Jika terdapat perbedaan, maka argumen-argumen mereka tidak bisa dipertentangkan dan tidak pula menentang argumen orang dari masa setelah mereka. Perbedaan itu dikembalikan kepada bahasa Alquran, sunnah, atau keumuman bahasa Arab atau perkataan sahabat atas hal itu."

  • Kelima: konsekuensi makna syar'i atau bahasa berdasarkan konteks terhadap suatu kalimat berdasarkan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,"[9] (QS An-Nisa' [4]: 105), "Sesungguhnya Kami menjadikan Alquran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya)," (QS Az-Zukhruf [43]: 3) dan "Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, suapay ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka." (QS Ibrahim [14]: 4)

    Jika makna syar'i bertentangan dengan makna bahasa, maka diambil konsekuensi makna syar'i, kecuali terdapat dalil yang menguatkan makna bahasa sehingga diambil konsekuensi makna bahasa. Hal itu dikarenakan Alquran turun untuk menjelaskan syariat, bukan untuk menjelaskan bahasa.

    Contoh terjadinya perselisihan makna bahasa dan syar'i, kemudian diambil makna syar'i, firman Allah SWT tentang orang-orang munafik:

    وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَداً

    Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka,

    QS At-Taubah [9]: 84

    (Dalam ayat terdapat kata yang bermakna as-shalah, kemudian diterjemahkan 'menyembahyangkan.') Salat secara bahasa artinya doa, sedangkan secara syar'i dalam ayat ini adalah berdiri di samping jenazah untuk mendoakannya dengan cara-cara khusus. Dengan demikian makna syar'i didahulukan, karena memang hal itulah yang dimaksud oleh Yang berbicara dan yang dipahami oleh yang mendengar. Adapun larangan berdoa untuk mereka secara mutlak diambil dari dalil lain.

    Contoh terjadinya perselisihan makna bahasa dan syar'i, kemudian diambil makna bahasa dengan dukungan dalil, firman Allah SWT

    خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ

    Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka.

    —QS At-Taubah [9]: 103

    (Dalam ayat terdapat kata yang bermakna as-shalah, kemudian diterjemahkan 'mendoalah.') Maksud salat di sini adalah doa berdasarkan dalil HR Muslim[10] dari Abdullah bin Abi Aufa bahwa Nabi ﷺ pernah ketika menerima zakat orang-orang, berdoa (bersalawat) untuk mereka. Kemudian datang Abi Aufa menyerahkan zakatnya, kemudian Nabi ﷺ berdoa, "Allâhumma shalli 'alâ âli Abî Awfa (Ya Allah, semoga salawat tercurahkan kepada keluarga Abi Aufa)."[11]

Bentuk Tafsir Alquran

Adapun bentuk-bentuk tafsir Alquran yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:

Tafsir bi al-Ma`tsur

Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Alquran dengan Alquran, Alquran dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi'in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.

Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja'far An Nahhas).

Tafsir bi ar-Ra'yi

Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Alquran, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:

“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2)

Kata 'alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz 'alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.

Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.

Tafsir Isyari

Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Alquran inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari. tafsyir berdasarkan intuisi, atau bisikan batin

Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:

'“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....” (Surat Al Baqarah: 67)

Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.

Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.

Metodologi Tafsir Alquran

Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin, dan metode maudlu’i.

Metode Tahlili (Analitik)

Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat Alquran sebagaimana tercantum dalam Alquran.

Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Alquran. Dia menjelaskan kosakata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.

Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Alquran dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Alquran, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .

Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Alquran untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.

Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Alquran secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.

Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

Metode Muqarin

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari objek yang diperbandingkan itu.

Metode Maudhu’i (Tematik)

Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam Alquran untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Alquran yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Alquran dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Alquran yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Macam tafsir Alquran

Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari ahli tafsir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:

Di antara berbagai corak itu antara lain adalah :

  • Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Alquran di bidang ini.
  • Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang memengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
  • Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Alquran sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
  • Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
  • Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.
  • Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Alquran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar.

Perkembangan

Ilmu tafsir Alquran terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Alquran dapat bermakna bagi umat Islam. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Alquran maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Alquran. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika.

Tafsir terkenal antara lain

  • 'Abdullah bin Abbas, dilahirkan di Syi’bi tiga tahun sebelum hijrah, ada yang mengatakan lima tahun sebelum hijrah, dan wafat di kota Thoif pada tahun 65 H, dan ada yang mengatakan tahun 67 H, dan ‘Ulama’ Jumhur mengatakan wafat pada tahun 68 H., banyak melahirkan beberapa tafsir yang tidak terhitung jumlahnya, dan tafsiran dia dikumpulkan dalam sebuah kitab yang diberi nama Tafsir ibnu Abbas. Di dalam kitab ini terdapat beberapa riwayat dan metode yang berbeda-beda, namun yang paling bagus adalah tafsir yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah Al Hasyimi.
  • Mujahid bin Jabr, dilahirkan pada tahun 21 H, pada masa ke pemimpinan Umar bin Khattob, dan wafat pada tahun 102/103 H. sedangkan menurut Yahya bin Qhatton, dia wafat pada tahun 104 H., termasuk tokoh tafsir pada masa tabi’in sehingga dia dikatakan tokoh paling ‘alim dalam bidang tafsir pada masa tabi’in, dan pernah belajar tafsir kepada Ibnu Abbas sebanyak 30 kali.
  • Atthobari, bernama lengkap Muhammad bin Jarir, di lahirkan di Baghdad pada tahun 224 H, dan wafat pada tahun 310 H. karangan-karangannya adalah Jami’ul Bayan Fi Tafsiril Qur’an, Tarikhul Umam Al muluk dan masih banyak lagi yang belum disebutkan.
  • Ibnu Katsir, bernama lengkap Isma’il bin Umar Al Qorsyi ibnu Katsir Al Bashri. Di lahirkan pada tahun 705 H. dan wafat pada tahun 774 H. termasuk ahli dalam bidang fiqih, hadist, sejarah, dan tafsir, karangan-karangannya adalah Al Bidayah Wan Nihayah Fi Tarikhi, Al Ijtihad Fi Tholabil jihad, Tafsirul Qur’an, dan lain-lainnya.
  • Fakhruddin Ar Rozi, bernama lengkap Muhammad bin Umar bin Al Hasan Attamimi Al Bakri Atthobaristani Ar Rozi Fakhruddin yang terkenal dengan sebutan Ibnul Khotib As Syafi’i, lahir di Royyi pada tahun 543 H. dan wafat pada tahun 606 H. di harrot, mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pasti, dan juga mendalami ilmu filsafat dan mantiq, karangannya adalah mafatihul Ghoib fi Tafsirul Qur’an, Al Muhasshol fi Ushulil Fiqh, Ta’jizul Falasifah dan lain-lainya.

Ilmu terkait

  1. Lughat (filologi), yaitu ilmu untuk mengetahui setiap arti kata Alquran. Mujahid rah.a., berkata, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia tidak layak berkomentar tentang ayat-ayat Alquran tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang ilmu lughat tidak cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti. Jadi hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Dapat terjadi, yang dimaksud kata tersebut adalah arti yang berbeda.
  2. Nahwu (tata bahasa). Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja i'rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i'rab hanya di dapat dalam ilmu nahwu.
  3. Sharaf (morfologi)
  4. Isytiqaq (akar kata)
  5. Ma'ani (susunan kata)
  6. Bayaan
  7. Badi'
  8. Qira'at
  9. Aqa'id
  10. Ushul Fiqih
  11. Asbabun Nuzul. Asbabunnuzul adalah sebuah ilmu yang menerangkan tentang latar belakang turunnya suatu ayat. Atau bisa juga keterangan yang menjelaskan tentang keadaan atau kejadian pada saat suatu ayat diturunkan, meski tidak ada kaitan langsung dengan turunnya ayat. Tetapi ada konsideran dan benang merah antara keduanya. Seringkali peristiwa yang terkait dengan turunnya suatu ayat bukan hanya satu, bisa saja ada beberapa peristiwa sekaligus yang menyertai turunnya suatu ayat. Atau bisa juga ada ayat-ayat tertentu yang turun beberapa kali, dengan motivasi kejadian yang berbeda.
  12. Nasikh Mansukh
  13. 'Fiqih
  14. Hadits
  15. Wahbi

Lihat pula

Ayat Muhkam

Pranala luar

Referensi

Kutipan

  1. ^ Mir.
  2. ^ a b As-Suyuthi, hlm. 187.
  3. ^ Al-Utsaimin 2001, hlm. 23.
  4. ^ Al-Utsaimin 2001, hlm. 23-24.
  5. ^ Al-Utsaimin 2001, hlm. 25-28.
  6. ^ Ibnu Abi Hatim mengeluarkannya dalam tafsirnya 6/1945, hadis no. 10341. Al-Lalikai mengeluarkannya dalam Syarḥ Ushûl al-I'tiqâd cetakan kedua 3/458-459, hadis no. 785.
  7. ^ Ath-Thabari mengeluarkannya dalam tafsirnya 15/69, hadis no. 17633. Al-Lalikai mengeluarkannya dalam Syarḥ Ushûl al-I'tiqâd cetakan kedua 3/456.
  8. ^ terutama Tabi'in kibar (lebih banyak bertemu sahabat)
  9. ^ Maksud 'yang telah Allah wahyukan kepadamu' adalah yang telah Allah tunjukkan kepadamu.
  10. ^ Muslim mengeluarkannya di halaman 849, Kitab Zakat, Bab 54: Doa untuk orang yang membayar zakat, hadis no. 1078.
  11. ^ Hukum bersalawat kepada selain Nabi saw dan keluarganya diperselisihkan ulama. Yang membolehkan memberi syarat: (1) mengikuti salawat kepada Nabi ﷺ, (2) karena seseorang melakukan perbuatan baik sebagai bentuk rasa terima kasih, (3) tidak dianggap syiar agama Islam.

Daftar pustaka

  • Al-Utsaimin, Muhammad Shalih (2001). Tim Editor Al-Maktabah al-Islamiyyah, ed. Ushûl fî at-Tafsîr (dalam bahasa bahasa Arab). Al-Maktabah al-Islamiyyah. 
  • As-Suyuthi. Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân (dalam bahasa bahasa Arab). Dar al-Fikr. 
  • Hamzah, Muchotob (2003). Studi Al-Qur'an Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media. ISBN 979-95526-1-3. 

Sumber daring

  • Mir, Mustansir. "Tafsīr". Oxford Islamic Studies Online. The Oxford Encyclopedia of the Islamic World (dalam bahasa bahasa Inggris). Diakses tanggal 26 Oktober 2017.