Kesultanan Makassar
Kesultanan Makassar merupakan kesultanan Islam di Sulawesi bagian selatan pada abad ke-16 Masehi yang pada mulanya masih terdiri atas sejumlah kerajaan kecil yang saling bertikai.[1] Daerah ini kemudian dipersatukan oleh kerajaan kembar yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo menjadi Kesultanan Makassar.[1] Cikal bakal Kesultanan Makassar adalah dua kerajaan kecil bernama Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo ini terletak di semenanjung barat-daya Sulawesi dengan kedudukan strategis dalam perdagangan rempah-rempah.[1] Seperti yang terjadi di bandar rempah-rempah lainnya, para pedagang muslim juga berupaya menyebarkan ajaran Islam di Kota Makassar.
Islam dan Berdirinya Kesultanan Makassar
Awalnya Upaya penyebaran agama Islam dari Jawa ke Makassar tidak banyak membawa hasil.[1] Demikian pula usaha Sultan Baabullah dari Ternate yang mendorong penguasa Gowa-Tallo agar memeluk agama Islam.[1] Islam baru dapat berpijak kuat di Makassar berkat upaya Datok Ribandang dari Minangkabau.[1]
Pada tahun 1650, Penguasa Gowa dan Tallo memeluk agama Islam.[1] Dalam perjalanannya kerajaan masing-masing, dua kerajaan bersaudara ini dilanda peperangan bertahun-tahun.[1] Hingga kemudian pada masa Gowa dipimpin Raja Gowa X, Kerajaan Tallo mengalami kekalahan.[2] Kedua kerajaan kembar itu pun menjadi satu kerajaan dengan kesepakatan “Rua Karaeng se’re ata” (dua raja, seorang hamba).[2] Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo ini akhirnya meleburkan
Faktor-faktor penyebab Kesultanan Makassar menjadi besar
Berikut ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan Kesultanan Makassar menjadi besar:[3]
- letaknya strategis.[3][4]
- Memiliki Pelabuhan yang baik.[3][4]
- jatuhnya Malaka pada tahun 1511 ke tangan Portugis yang menyebabkan pedagang Islam pindah ke Makassar.[3][4]
Raja-raja Kesultanan Makassar
Perkembangan Kesultanan Makassar tidak terlepas dari peranan Raja-raja yang memerintah.[4] Adapun Raja-raja yang pernah memerintah Kesultanan Makassar, antara lain sebagai berikut:[4]
- Sultan Alauddin (1591-1639 M).[4] Sultan Alauddin sebelumnya bernama asli Karaeng Matowaya Tumamenaga Ri Agamanna dan merupakan raja Makassar pertama yang memeluk agama Islam.[4] Pada pemerintahan Sultan Alauddin, Kerajaan Makassar mulai terjun dalam dunia pelayaran dan perdagangan.[4]
- Sultan Muhammad Said (1639-1653 M).[4] Pada Pemerintahan Sultan Muhammad Said, perkembangan Makassar maju pesat sebab Bandar transit, bahkan Sultan Muhammad Said juga pernah mengirimkan pasukan ke Maluku untuk membantu rakyat Maluku berperang melawan Belanda.[4]
- Sultan Hasanuddin (1653-1669 M).[4] Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Makassar mencapai masa kejayaan.[4] Makassar berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan memperluas wilayah kekuasaannya ke Nusa Tenggara (Sumbawa dan sebagian Flores).[4] Hasanuddi mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur, karena keberaniannya dan semangat perjuangannya untuk Makassar menjadi besar.[4]
Kehidupan Sosial Kesultanan Makassar
Kehidupan sosial Kesultanan Makassar adalah feodal.[4] Masyarakat Makassar dibedakan atas 3 lapisan atau kelas, yaitu:[4]
- Kareng yang terdiri dari keluarga Raja dan dari kaum Bangsawan.[4]
- Tusamaraq atau Tumaradeka adalah gelar untuk rakyat biasa, penduduk yang bebas tdk bisa diperintah oleh kaum Karaeng.[4]
- Ata untuk Hamba Sahaya yaitu kaum pekerja dari Karaeng[4]
Perluasan Wilayah
Setelah menjadi sebuah Kesultanan Makassar, kemudian mereka berusaha untuk mengislamkan berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan.[1] Upaya yang dilakukan ini mendapatkan perlawanan dari Kerajaan Bone pada tahun 1528 dan Bone membentuk persekutuan dengan kerajaan-kerajaan kecil lainnya seperti Kerajaan Wajo dan Kerajaan Soppeng.[1] Kemudian persekutuan itu disebut dengan Persekutuan Tellum Pocco (Tiga Kekuasaan).[1] Namun satu persatu kerajaan tersebut berhasil ditaklukkan oleh Kesultanan Makassar.[1] Selain menakhlukkan kerajaan tetangga, mereka memperluas pengaruh hingga ke bagian timur kepulauan Nusa tenggara.[1] Kesultanan Makassar (Gowa-Tallo) sempat menjalin kerja sama dengan kerajaan Islam lainnya, khususnya Kesultanan Mataram di Jawa. [5] Hingga kini, Islam menjadi agama mayoritas di wilayah Sulawesi Selatan. [5]
Penguasa terbesar dan terakhir dari Kesultanan Makassar adalah Daeng Mattawang yang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasannudin (1653-1669).[1] Di bawah kepemimpinan Hasanuddin ini Makassar berkembang menjadi satu kekuatan besar di kawasan timur Nusantara.[1] Sultan Hasanuddin berhasil memperluas pengaruh Kerajaan Makassar sampai ke Maros, Bulukumba, Mandar, Sulawesi Utara, Luwu, Buton, Selayar, Sumbawa, dan Lombok.[3] Sultan Hasanuddin juga berhasil mengembangkan pelabuhannya dan menjadi bandar transit di Indonesia bagian timur pada waktu itu.[3] Hasanuddin mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur.[3] Karena keberaniannya dan semangat perjuangannya, Makassar menjadi kerajaan besar dan berpengaruh terhadap kerajaan di sekitarnya.[3]
Dalam kurun waktu yang cukup lama, Kesultanan Makassar (Gowa-Tallo) terlibat persaingan dengan Kerajaan Bone.[6] Persaingan antara dua kekuatan tersebut pada akhirnya melibatkan campur tangan dari Belanda dalam sebuah peperangan yang dinamakan Perang Makassar (1660-1669).[6] Belanda yang mempunyai tujuan tertentu yaitu, berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di pelabuhan Makassar memanfaatkan situasi dengan berpihak pada Kerajaan Bone, sebagai musuh Kesultanan Makassar.[6] Kemudian dalam peperangan Makassar ini Kesultanan Makassar dipimpin langsung oleh Sultan Hasannudin akan tetapi Hasannudin tidak bisa mematahkan kekuatan Kerajaan Bone yang dibantu oleh kekuatan Belanda yang berambisi menguasai Makassar.[6] Kemudian Hasannudin dipaksa oleh VOC untuk menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November 1667) sebagai tanda takluk kepada VOC.[1]
Isi Perjanjian Bungaya
Berikut ini merupakan isi dari perjanjian antara Kesultanan Makassar dengan VOC (Belanda):[3]
- VOC memperoleh hak monopoli di Makassar.[3]
- VOC diizinkan mendirikan benteng di Makassar.[3]
- Makassar harus melepaskan jajahan seperti Bone.[3]
- Semua bangsa asing diusir dari Makassar, kecuali VOC.[3]
- Kerajaan Makassar diperkecil hanya tinggal Gowa saja.[3]
- Makassar membayar semua utang perang.[3]
- Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.[3]
Perdagangan dan Kemunduran Kesultanan Makassar
Kerajaan-kerajaan di Nusantara memadukan kepentingan politik dan ekonomi secara koheren sebagai suatu sistem yang koheren, termasuk makassar.[7] Sejarah Makassar tidak terlepas dari kegiatan perdagangan maritim di wilayah Nusantara, Asia Tenggara, dan Asia Timur pada umumnya.[8] Dengan adanya interaksi antarpusat perdagangan, Makassar menjadi salah satu pintu masuk bagi para pedagang, terutama para pedagang Eropa.[8]
Kerajaan Makassar ini adalah salah satu kerajaan di Nusantara yang menganut sistem perdagangan maritim untuk membantu perekonomian di kerajaan, dengan sistem perdagangan maritim ini mulai terkenal dan tersohor pada pertengahan abad XV dan awal XVI M, terutama pada masa Karaeng Tumapa'resik Kallonna memerintah.[9] Di bawah Karaeng inilah Makassar membangun sebuah pangkalan perniagaan di Maccini Sombala yang bermuara di sungai Jeneberang hingga ke wilayah utara di sungai Tallo.[9] Sebuah Pelabuhan terbuka dengan sistem perdagangan bebas sehingga dapat menarik pedagang dari Eropa, Tiongkok, Arab, dan India yang bermukim di Nusantara.[9] Karaeng ini juga mengangkat seorang Syahbandar (seorang penjabat kerajaan yang bertugas mengatur dan mengawasi perdagangan, juga memiliki kekuasaan penuh di pelabuhan) untuk mengurusi dan mengatur perdagangan di wilayah Makassar.[9]
Kesultanan Makassar sebenarnya tidak memiliki banyak hasil bumi untuk diperdagangkan.[1] Hasil bumi yang dihasilkan di Makassar hanya beras.[1] Kesultanan lebih berperan sebagai pelabuhan singgah.[1] Akan tetapi sumber lain menyebutkan bahwa begitu luasnya dan rute jaringan pelayaran hingga ke wilayah Pegu (Filipina), dan Cambay (india) membuat Makassar terkenal dengan perdagangan maritimnya di wilayah Asia.[10] Hasil-hasil bumi merupakan salah satu pemasukan ekonomi bagi Kesultanan Makassar dan Tanah-tanah pertanian disewakan dengan sistem bagi hasil.[11] Hasil-hasil tersebut diperdagangkan melalui jalur laut dengan menggunakan kapal laut.[11] Hasil ternah, emas, dan beras bahkan juga budak sebagai salah satu sumber ekonomi di Kesultanan Makassar.[11] Selain itu, Makassar juga memperdagangkan bahan tekstil berupa kain dan pakaian, serta rempah-rempah.[10] Dengan Menjual kembali hasil-hasil yang diperoleh, Makassar mendapatkan keuntungan dari perdaganan maritim yang dilakukan, terutama dengan pedagang dari Jawa.[12] Sehingga yang terjadi di pelabuhan adalah sistem beli dan menjual, Orang-orang yang akan pergi ke atau datang dari Maluku singgah untuk berdagang rempah-rempah dan mengisi perbekalan di Makassar.[1] Kedudukan sebagai pelabuhan singgah membuat makassar mendukung kebijakan pelayaran dan perdagangan bebas di kawasan timur Nusantara.[1] Masuknya Belanda, VOC (Vereening-de Oost-Indische Compaigne) di Makassar ini merupakan masa baru bagi Makassar.[13] Makassar Merupakan pelabuhan yang terus terbuka sebagai pelabuhan bebas yang penting bagi semua pedagang asing dan pedangan lokal.[13] Keadaan perdagangan yang bebas ini memicu konflik dengan orang Belanda yang ingin memaksa pembatasan pelayaran dan monopoli perdagangan rempah-rempah.[1] Pertikaian dengan Belanda akhirnya menyebabkan keruntuhan Kesultanan Makassar.[1]
Peninggalan Kesultanan Makassar
-
Satu bagian Fort Rotterdam pada Februari 2010 yang sudah dikelilingi bangunan lain
-
Nama Fort Rotterdam di gerbang masuk
-
Makam Raja-raja Makassar
-
Masjid Katangka
-
Masjid Tua Al-Hilal Katangka tampak dari luar
Lihat Pula
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w Nino Oktorino,dkk (2009). Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Lentera Abadi. hlm. 84. ISBN 9789793535487. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "Nino" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ a b Afriza Hanafia. "Lintasan Sejarah Kesultanan Gowa-Tallo". Diakses tanggal 6 Mei 2014.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Inyiak Tagalo. "Sejarah Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar)". Diakses tanggal 6 Mei 2014.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s "Kerajaan Makassar". Diakses tanggal 14 mei 2014.
- ^ a b "Gowa, Kesultanan Islam di Timur Nusantara". Diakses tanggal 7 Mei 2014.
- ^ a b c d Nana Supriatna (2008). Sejarah Untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas Program Bahasa. Jilid 2. Jakarta: PT Grafindo Media Pratama. hlm. 42. ISBN 9797586014. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "nana" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ Denys Lombard (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia, Terjemah Winarsih Paartaningrat Arifin (eds). Jakarta: Gramedia Pustaka. hlm. 4.
- ^ a b Edward L. Poelinggomang (2002). Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 13.
- ^ a b c d H.B Amiruddin Maula (2001). Demi Makassar: Renungan dan Pemikiran. Sulawesi Selatan: Global Publishing. hlm. 4. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "buku5" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ a b H.B Mangemba (1994). Semangat Kebaharian Orang Sulawesi Selatan: Dulu dan Sekarang, dalam Lontara: Majalah Ilmiah Unhas. Sulawesi Selatan: Hasanuddin University Press. hlm. 10.
- ^ a b c M.C. Ricklefs (2005). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. hlm. 59.
- ^ Anthony Reid (2011). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jaringan Perdagangan Global, Terjemah R.Z Leirissa dan P. Soemitro. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 2011.
- ^ a b Yahya Harun (1995). Kerajaan Islam Nusantara: Abad XVI dan XVII. Yogyakarta: Kurnia Semesta. hlm. 6.