Lompat ke isi

Perang Besar Cirebon

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perang Besar Cirebon
LokasiWilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon
Pihak terlibat
  •  Hindia Belanda
  •  Britania Raya
  • Perang Besar Cirebon merupakan sebuah peristiwa perjuangan seluruh elemen masyarakat Cirebon termasuk didalamnya para ulama, santri, petani, buruh dan abdi keraton yang berkesinambungan untuk berjuang melawan penjajah.

    Kesultanan Cirebon resmi dibagi menjadi kesultanan Kanoman dan kesultanan Kasepuhan pada tahun 1679, dikatakan pada masa tersebut Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton[1].

    Masuknya pengaruh awal Belanda

    Belanda masuk ke dalam urusan internal Cirebon melalui perjanjian 1681.


    Gerilya kesultanan Banten, Misi Jacob van Dyck dan Pembagian Kesultanan Cirebon

    Pasukan Trunajaya berhasil menyelamatkan para Pangeran Cirebon dan kemudian mengantarkannya ke Banten.

    Penyerangan pasukan Trunajaya dan disingkirkannya wakil Mataram

    Pada akhir tahun 1676, sebuah kapal dari Cirebon yang berlabuh di Banten memberitahu bahwa Pekalongan sudah berhasil dikuasai pasukan Trunajaya pada sekitar 25 Desember 1676, penguasa daerah pesisir pada masa itu Singawangsa diberitakan ikut dengan para pasukan Trunajaya[2]

    Pada tanggal 2 Januari 1677, Tegal berhasil dikuasai pasukan Trunajaya tanpa kekerasan[2]

    Pada tanggal 5 Januari 1677, pasukan Trunajaya yang dipimpin oleh Ngabehi Sindukarti (paman Trunajaya) dan Ngabehi Langlang Pasir sampai di pelabuhan Cirebon dengan 12 kapal berisi 150 pasukan, mereka menuntut agar wakil Mataram yang ditempatkan di Cirebon sebagai Syahbandar yaitu Martadipa menyerah dan menyetujui syarat-syaratnya, yaitu[3]

    1. Cirebon tidak lagi membayar pajak kepada Mataram,
    2. Tentara Madura harus melindungi anak-anak dan wanita,
    3. Sandera Cirebon tidak ada lagi yang dikirim ke Mataram,
    4. Selanjutnya Cirebon berada di bawah pemerintahan rajanya sendiri,
    5. Cirebon berada di bawah pertanggungan hak-hak Sultan Banten,
    6. Orang Cirebon menyokong Banten dengan senjata serta mengakui Sultan Banten sebagai pelindung

    Syarat-syarat tersebut disertai peringatan dengan ancaman seandainya tidak diterima[3]. Martadipa yang pada saat itu telah berusia lanjut akhirnya menerima syarat yang disodorkan kepadanya atas nama Raden Trunajaya[2] dan bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada keturunan atau kerabat dekat Sultan Abdul Karim (Sultan Cirebon yang ditawan Mataram)[4]

    Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim

    Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing (walaupun belum bersifat mengikat atau tetap[3]) yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan keraton.[1]

    Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan:

    • Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
    • Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
    • Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713)

    Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.

    Pada 4 Januari 1678, Rijckloff van Goens ditunjuk sebagai pengganti Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker kemudian pada 31 Januari 1679 Rijckloff van Goens menulis surat kepada pemerintah Belanda, dia menuliskan bahwa

    yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita (Belanda) ialah penghancuran dan penghapusan Banten, Banten harus ditaklukan atau kompeni akan lenyap

    [5]

    Pribawa dan masuknya Belanda pada Perjanjian 1681

    Penobatan ketiga putra Sultan Cirebon Abdul Karim sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron pada tahun 1677 di Banten oleh Sultan Abdul Fatah dan dilanjutkan dengan deklarasi ketiganya di keraton Pakungwati pada 1679 ternyata masih menyisakan ketidakpuasan, Pangeran Martawijaya yang sudah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin dan berkuasa di kesultanan Kasepuhan masih beranggapan bahwa dia adalah pewaris tahta yang sah karena dia adalah putera tertua dari Sultan Cirebon Abdul Karim yang meninggal ketika dalam penawanan Mataram, konflik internal keturunan Sultan Abdul Karim diperkirakan bermula ketika Sultan Abdul Fatah dari Banten hanya memediasi ketiganya dengan cara menobatkan mereka bertiga sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron namun tidak membagi wilayah kekuasaan kepada masing-masingnya secara tetap dan mengikat[3]

    Pangeran Martawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin kemudian menyampaikan keinginannya kepada utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang bernama Jacob van Dyck agar Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda mau membantunya mendapatkan tahta kesultanan Cirebon, hal ini kemudian mendapatkan penentangan oleh Pangeran Kartawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Anom Badriddin dan Pangeran Wangsakerta yang telah dinobatkan menjadi Panembahan Nasiruddin. Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom Badruddin) berpendapat bahwa mereka telah sama-sama dinobatkan sebagai penguasa wilayah di Cirebon, menyikapi hal ini kemudian Pangeran Kartawijaya meminta perlindungan kepada kesultanan Banten, sementara Pangeran Wangsakerta (Panembahan Nasiruddin) menuntut agar dirinya juga dapat berkuasa di Cirebon karena selama terjadi kekosongan akibat ayah dan saudaranya ditawan oleh Mataram dialah yang menjadi Wali dan menjalankan pemerintahan kesultanan Cirebon[3]

    Kesultanan Banten menyerang loji Belanda di Indramayu

    Pada bulan April tahun 1679 kesultanan Banten menyerang Loji (bahasa Indonesia : gudang) Vereenigde Oostindische Compagnie di Indramayu dibawah pimpinan Arya Surya dan Ratu Bagus Abdul Qadir[6], penyerangan kesultanan Banten ini adalah bagian dari perang gerilya kesultanan Banten terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie dan sekutunya di pulau Jawa.

    Jacob van Dyck dan surat Belanda 1680

    Pada masa perang antara kesultanan Banten dengan Vereenigde Oostindische Compagnie, pihak Vereenigde Oostindische Compagnie mengirim pasukan dari Batavia untuk menyerang wilayah kesultanan Cirebon[7]. Pada bulan September 1680, ketika pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon diambang kehancuran oleh Vereenigde Oostindische Compagnie, Jacob van Dyck yang sebelumnya adalah utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang diminta bantuan oleh Pangeran Martawijaya (Sultan Sepuh Syamsuddin) agar menyampaikan keinginannya supaya Vereenigde Oostindische Compagnie mau membantunya dalam mendapatkan tahta kesultanan Cirebon telah diutus ke Cirebon sebagai seorang Commissaris[3] (bahasa Indonesia : mediator atau penengah perjanjian) untuk menyerahkan surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang menyatakan bahwa pemerintahan tertinggi Belanda sudah menganggap para penguasa Cirebon sebagai raja-raja yang bebas tidak terikat oleh pihak manapun dan pemerintahan tertinggi Belanda berjanji akan melindungi para penguasa Cirebon dengan cara menempatkannya sebagai protektorat (wilayah dalam perlindungan Belanda)[3]

    Pada saat yang sama Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens dan para penasehatnya yang diketuai oleh Cornelis Janzoon Speelman (menjabat sejak 18 Januari 1678[8]) sudah menyusun teks perjanjian yang akan diserahkan kepada tiga penguasa Cirebon, teks perjanjian tersebut disusun sendiri oleh Cornelis Janzoon Speelman yang kemudian pada tanggal 29 Oktober 1680 ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda[9]. Penunjukan Cornelis Janzoon Speelman sebagai Gubernur Jenderal dikarenakan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri, keinginan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens untuk mengundurkan diri dikarenakan merasa tidak mampu lagi menghadapi penentangan demi penentangan yang dilakukan oleh Cornelis Janzoon Speelman dan rekan-rekannya di pemerintahan tinggi[9]

    Pengajuan pengunduran diri yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens sebenarnya telah dilakukan sejak 1679 namun baru mendapatkan respon dari Heeren XVII (tujuh belas orang pemimpin tinggi Vereenigde Oostindische Compagnie) melalui surat tertanggal 29 Oktober 1680, didalam surat tersebut Heeren XVII menerima pengunduran dirinya dengan hormat dan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya selama ini kepada Vereenigde Oostindische Compagnie, Heeren XVII menawarkan kepada anaknya yang bernama Rijckloff van Goens Jr yang pada masa itu menjabat sebagai Gubernur wilayah jajahan Belanda di Srilanka sebuah posisi di pemerintahan tinggi[9]

    Pangeran Haji dan kekalahan pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon

    Pada masa gerilya ini Sultan Abdul Fatah dari kesultanan Banten menghadapi konflik internal yang dipicu oleh kekhawatiran Pangeran Haji akan tahta kesultanan Banten yang mungkin tidak akan jatuh kepadanya, konflik internal ini memulai puncaknya ketika Cornelis Janzoon Speelman ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menggantikan Rijckloff van Goens pada 29 Oktober 1680[9].

    Pangeran Haji kemudian pada tanggal 25 November 1680 mengirimkan surat ucapan selamat kepada Cornelis Janzoon Speelman atas penunjukan dirinya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pengiriman surat ucapan selamat oleh Pangeran Haji kepada Cornelis Janzoon Speelman memicu kekecewaan Sultan Abdul Fatah dikarenakan pada masa itu Vereenigde Oostindische Compagnie baru saja menghancurkan pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon[10] yang berimbas pada berhasil dikuasai sepenuhnya wilayah kesultanan Cirebon oleh Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda[11].

    Perjanjian 1681

    Peta buatan Isaac de Graaff yang menunjukan struktur tembok Kuta Cirebon yang masih ada di sebelah selatan dan timur keraton Pakungwati (periode 1690 - 1705)

    Pada akhir tahun 1680 pemerintahan tertinggi Belanda menyetujui isi teks perjanjian yang ditujukan kepada para penguasa Cirebon, kemudian pada saat tahun baru 1681 tujuh orang utusan dari tiga penguasa Cirebon yang tinggal di Batavia menghadiri upacara kenegaraan di rumah Rijckloff van Goens (Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru saja mengundurkan diri pada 29 Oktober 1680) yang dipimpin oleh Jacob van Dyck, setelah bersulang untuk keselamatan Raja Belanda dengan anggur spanyol maka diserahkan surat keputusan pemerintah tertinggi Belanda untuk ketiga penguasa Cirebon disertai dengan hadiah-hadiah kepada mereka dan atasan mereka (para penguasa Cirebon), menjelang malam harinya Jacob van Dyck berlayar dengan dua buah kapal diikuti oleh perahu-perahu yang membawa para utusan Cirebon menuju ke Cirebon, iringan Jacob van Dyck sampai di pelabuhan Cirebon empat hari kemudian (tanggal 5 Januari 1681), iring-iringan Jacob van Dyck disambut oleh tembakan meriam dan kapten Joachim Michiefs yang telah terlebih dahulu ada di Cirebon.[3],[12]

    Pada tanggal 4 Januari 1681, para penguasa Cirebon yakni Sultan Sepuh dan Sultan Anom dipaksa untuk membuat perjanjian bahwa Cirebon menjadi sekutu setia dari Vereenigde Oostindische Compagnie[7].

    Pada keesokan harinya tanggal 6 Januari 1681, diadakanlah upacara yang dihadiri oleh para penguasa Cirebon di alun-alun yang disertai tembakan meriam sebagai bentuk penghormatan, kemudian surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang dibawa dari Batavia pada tanggal 1 Januari 1681 tersebut dibacakan.[3],[12].

    Pada tanggal 7 Januari 1681 dimulailah perundingan diantara Vereenigde Oostindische Compagnie dan para penguasa Cirebon serta memaksa mereka untuk menyetujuinya[7] dan pada malam harinya dicapailah kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian antara Belanda dan Cirebon, Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon[13][14]. Pada perjanjian tersebut Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs[15], perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula[15], lada serta Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan Belanda).[7]

    Perjanjian Belanda - Cirebon 1681 tersebut juga membatasi perdagangan, membatasi pelayaran penduduk dan memastikan Vereenigde Oostindische Compagnie memperoleh hak di sana[11] Pada tahun yang sama juga kesultanan-kesultanan di Cirebon menegaskan kembali klaimnya atas wilayah-wilayahnya di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura kepada Belanda[16].

    Semenjak kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua kesultanan dan satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung selesai begitu saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu (bahasa Cirebon: pribawa) dalam kekeluargaan di kesultanan Cirebon dahulu menjadi bahan pertikaian yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak Belanda mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam urusan internal kesultanan-kesultanan di Cirebon.

    Pada tahun 1681 ditunjuklah Letnan Benamin van der Meer sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon[17]. Jan Mulder dan van der Meer pernah memberikan laporan berkaitan dengan hubungan antara keluarga bangsawan di Cirebon, mereka menyebut bahwa Sultan Anom (Kartawijaya) masih terhitung sebagai kerabat kesultanan Banten sementara Pangeran Nasiruddin (Wangsakerta) sama sekali bukan kerabat kesultanan Banten, menurut Sudjana (budaywan Cirebon) laporan dari Jan Mulder dan van der Meer tersebut sejalan dengan naskah wawacan yang selama ini beredar terbatas di kalangan para kerabat keraton Cirebon dimana dikisahkan bahwa Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom) sesungguhnya berbeda ibu dengan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Wangsakerta[18].

    Pada tahun 1684 Belanda menunjuk Jacob Couper sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon[19].

    Pada 1685 Belanda menunjuk Marten Samson sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon[19].

    Perjanjian 1685, Fort Beschermingh dan penghancuran tembok Kuta Cirebon

    Fort de Beschermingh dalam peta 1719

    Pada tanggal 3 November 1685 (empat tahun setelah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon)[20], Belanda mengirimkan pejabat penghubung Belanda yaitu Francois de Tack[21]. Pada akhirnya terciptalah sebuah perjanjian baru yang ditandatangani ketiganya pada tanggal 4 Desember 1685, isi perjanjian tersebut diantaranya berisi penyataan tentang pemerintahan dan hal-hal yang harus dipatuhi oleh para Sultan Cirebon, bahwa Vereenigde Oostindische Compagnie adalah penguasa Cirebon, masalah pemerintahan di Cirebon akan dipimpin oleh masing-masing sultannya seperti yang telah dijelaskan pada perjanjian sebelumnya, para sultan Cirebon tetap menjalankan pemerintahannya akan tetapi tetap dibawah kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie, para sultan Cirebon tidak boleh mengeluarkan perintah sendiri-sendiri melainkan harus melalui perundingan dengan para mantri (pejabat kesultanan), masing-masing sultan Cirebon memiliki lebih dari satu mantri, Sultan Sepuh memiliki 3 mantri, Sultan Anom dan Pangeran Nasiruddin (gusti Panembahan) masing-masing memiliki 2 mantri, para mantri harus dipilih oleh Vereenigde Oostindische Compagnie maka seluruh keputusan para mantri harus dengan sepengetahuan pihak Vereenigde Oostindische Compagnie , pihak Vereenigde Oostindische Compagnie diperkenankan untuk membangun benteng di Cirebon sementara pihak kesultanan dilarang untuk membangun pertahanan disekitar keraton[22].

    Setahun kemudian setelah ditandatangani perjanjian 1685, pada tanggal 30 Maret 1686, pada masa kepemimpinan Adriaan Williamson[23] sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon, berdasarkan hasil rapat pemerintahan tinggi, Gubernur Jenderal Johannes Camphuys atas usulan Francois de Tack maka akan dibangun sebuah benteng yang diberi nama Fort de Beschermingh,[20] sejak itu Belanda mulai menghancurkan tembok Kuta Seroja atau tembok Kuta Cirebon, material dari tembok yang diperkirakan telah dibangun sebelum 1596[24] dengan bantuan Danang Sutawijaya dari Mataram ini kemudian dipergunakan oleh Belanda untuk membangun Fort de Beschermingh yang berlokasi di sekitar pelabuhan Cirebon. Fort de Beschermingh dipergunakan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie sebagai tempat tinggal sekaligus kantor bagi Residen Belanda untuk Cirebon[22].

    bahwa dalam hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, kesultanan-kesultanan di Cirebon hanya diwakili oleh seorang syahbandar (yang pada waktu itu adalah Tumenggung Raksanegara). Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak diketahui oleh pihak asing

    Namun perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan Francois de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian perjanjian tersebut[25], terlebih pembagian wewenang dan kekuasaan atas wilayah belum ditentukan[22].

    Kasus Braja Pati dan hilangnya peran ulama dalam pengadilan di Cirebon

    Pada awal tahun 1688 ada sebuah kasus perampokan bersenjata yang dikenal dengan nama kasus Braja Pati, dalam kasus tersebut terdapat dua orang yang merupakan bawahan Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya yang menjadi tersangkanya, hal ini kemudian memaksa Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya dan Willem de Ruijter (pejabat penghubung Belanda untuk kesultanan Cirebon) untuk membuka dialog. Pada dasarnya Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya berkeinginan agar bawahannya yang menjadi tersangka dalam kasus tersebut permasalahan hukumnya dapat dilimpahkan kepada para ulama, melalui puteranya yaitu Pangeran Adi Wijaya, beliau mengutarakan keinginannya agar para bawahannya dihakimi dan dihukum oleh para ulama sesuai dengan aturan syariah yang terdapat dalam al Qur'an, dalam hal ini sebenarnya Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya tidak berkeinginan jika para bawahannya mendapat hukuman, sebaliknya Pangeran Adi Wijaya berkeinginan agar mereka dihukum[26].

    Willem de Ruijter sebagai perwakilan Belanda dan Vereenigde Oostindische Compagnie di Cirebon memiliki pemikirannya sendiri berkaitan dengan lembaga mana yang lebih pantas dalam mengadili kasus Braja Pati tersebut, ketika Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya berpendapat agar kasus tersebut ditangani oleh para ulama, Willem de Ruijter mengemukakan bahwa

    bahwa sesungguhnya Vereenigde Oostindische Compagnie telah menjalin dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuat dengan para pangeran dan tidak dengan para ulama Cirebon, sehingga tidak pantas rasanya untuk mengganggu kami dengan pembicaraan tidak berarti seperti ini (seperti mengizinkan ulama untuk menentukan hukuman)

    Pangeran Adi Wijaya kemudian melakukan intervensi terhadap kasus ini walau bertentangan dengan keinginan ayahnya dan ketua mantri, hal tersebut bertujuan untuk mencegah konflik antara Vereenigde Oostindische Compagnie dengan para penguasa Cirebon dalam hal masalah keislaman yang sensitif. Para tersangka akhirnya dibebaskan, hal tersebut dikarenakan kurangnya bukti yang dapat digunakan untuk memberatkan mereka[26].

    Implikasi dari tinjauan kasus Braja Pati tersebut adalah dituangkannya permasalahan kompetensi dibidang pengadilan dalam Perjanjian 1688 dan Layang Ubaya 1690 dimana para ulama tidak diikut sertakan dalam proses pengadilan di Cirebon[26].

    Perjanjian 1688, stempel keraton dan keluarga Gamel

    Pada tahun 1688, pada masa Gubernur Jenderal Johannes Camphuys dan pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon masih dipegang oleh Kapten Willem de Ruijter[21],, terjadi sebuah perjanjian baru antara Belanda dengan para penguasa di Cirebon, pada masa itu Belanda mengirimkan utusan yang bernama Johanes de Hartog[27] untuk menyeleseikan masalah internal di Cirebon, dalam penyeleseian masalah tersebut Sultan Sepuh Syamsuddin diwakili oleh Ki Raksanegara sementara Sultan Anom Badruddin meminta bantuan Pangeran Suradinata[28] (keluarga Gamel) untuk mewakilinya.

    Pada masalah pembuatan stempel masing-masing keraton, agar tidak terjadi kekacauan maka Ki Raksanegara dan Pangeran Suradinata mempertimbangkan seorang tua yang bijak, stempel harus dibuat serupa dengan yang ada pada Sultan Sepuh dan Sultan Anom, beratnya masing-masing satu kati dua tail dan berbentuk bulat. Sultan Sepuh dan Sultan Anom diperkenankan mengganti ahli pembuat stempel yang telah ditunjuk oleh Ki Raksanegara dan Pangeran Suradinata dengan syarat stempel yang akan dibuat sesuai dengan yang ada[28].

    Perihal urusan syahbandar, maka disetujui untuk mengangkat Ki Raksanegara, syahbandar Cirebon akan bekerja atas nama para penguasa Cirebon, syahbandar dalam hal ini adalah Ki Raksanegara bertugas untuk menerima orang-orang asing dan membuat laporan kepada Sultan Sepuh, Sultan Sepuh berkewajiban meneruskan laporan yang diterimanya kepada para penguasa lainnya yakni Sultan Anom dan Pangeran Nasiruddin[28]

    Perihal masalah pendapatan hasil tanah, Ki Raksanegara yang telah diangkat menjadi Syahbandar Cirebon diperkenankan untuk mengurus pendapatan hasil tanah yang mana setengah dari pendapatan bersih diserahkan kepada Sultan Sepuh dan setengahnya lagi diserahkan kepada Pangeran Nasiruddin, sementara Pangeran Suradinata dari Gamel diperkenankan untuk mengambil hasil tanah dari para orang-orang cina (bahasa Cirebon : sinko) untuk Sultan Anom[28].

    Perihal gelar untuk Pangeran Nasiruddin, Sultan Sepuh dan Sultan Anom sepakat memberi gelar Gusti Panembahan Cirebon kepada Pangeran Nasiruddin setelah sebelumnya bermusyawarah dengan utusan Belanda Johanes de Hartog dengan syarat bahwa Pangeran Nasiruddin harus tetap sebagaimana adanya dan tidak boleh mengangkat diri lebih tinggi dari Sultan Sepuh dan Sultan Anom[28]. Pangeran Nasiruddin diberi wewenang untuk mengurus kesejahteraan rakyat, mengangkat dan menentukan hakim serta para mantri yang bertugas dalam suatu penyelidikan untuk ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon sesuai saran dari Vereenigde Oostindische Compagnie[28].

    Pada urusan menjalankan pemerintahan Cirebon disepakati agar diangkat 12 Mantri, Kasepuhan mendapatkan hak untuk mengangkat lima orang mantri, Kanoman mendapatkan hak untuk mengangkat empat orang mantri sementara Gusti Panembahan diberikan hak untuk mengangkat tiga orang mantri, dalam perjanjian 1688 yang dimediasi oleh Belanda ditegaskan bahwa ketiga penguasa Cirebon yaitu Sultan Sepuh Syamsuddin, Sultan Anom Badruddin dan Gusti Panembahan Cirebon Nasiruddin berjanji untuk menyerahkan kepengurusan Cirebon kepada Pangeran Depati Anom (yang merupakan anak dari Sultan Sepuh) dan Pangeran Ratu[28].

    namun perjanjian yang ditandatangani pada 8 September 1688[27] dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda (VOC)[29] tersebut tidak membuahkan hasil.

    Perjanjian 1699, Belanda dalam masalah pribawa

    Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Adi Wijaya (Pangeran Arya Cirebon), kedua orang putera Sultan Sepuh kemudian saling bertikai memperebutkan tahta almarhum ayahnya, hal tersebut dikarenakan sebelum meninggal, Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya belum menunjuk penggantinya, Pangeran Depati Anom Tajularipin berpendapat bahwa ia berhak mewarisi tahta ayahnya dikarenakan dia adalah putera tertua, pendapat tersebut kemudian ditolak oleh Pangeran Adi Wijaya karena dia merasa yang lebih berhak, masalah ini kemudian dimediasi oleh Belanda dan terciptalah perjanjian 1699 yang isinya sama dengan perjanjian 1688 hanya saja ditambahkan klausul berkenaan dengan pribawa (derajat paling tinggi diantara keluarga besar kesultanan Cirebon) dan permasalahan warisan serta tahta Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya[30]. Pada perjanjian 1688 sebenarnya sudah dijelaskan mengenai klausul bahwa Pangeran Depati Anom (putera tertua Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya) akan diserahkan tugas mengurus Cirebon yang artinya dia berhak akan tahta ayahnya, namun dengan timbulnya permasalahan ini membuat Pangeran Depati Anom akhirnya mengalah dan kekuasaan Sultan Sepuh dibagi dua kepada Pangeran Depati Anom dan Pangeran Adi Wijaya[31]. Pangeran Adi Wijaya kemudian membentuk cabang keratonnya sendiri yaitu Kacirebonan awal[32] dengan gelar Pangeran Arya Cirebon[31]. Perjanjian 1699 ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 4 Agustus 1699 di Batavia[31].

    Belanda atas dasar pribawa dengan berbekal perjanjian 1699 menentukan derajat paling tinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh Sultan Anom I Sultan Muhammad Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua dan kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil Mukaram Kamarudin[33] berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian membentuk cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan[32](pada era ini, kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808)

    Belanda menguasai politik Cirebon

    Sultan Kanoman I Muhammad Badrudin Kartawijaya memiliki dua orang putera dari permaisuri yang berbeda, yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama dari permaisuri kedua yaitu Ratu Sultan Panengah dan Pangeran Depati Halal Rudin atau yang dikenal dengan nama Qadirudin[34], putera keduanya yang berasal dari permaisuri ketiga yang bernama Nyimas Ibu. Pangeran Adipati Kaprabon kemudian mendirikan Kaprabonan pada tahun 1696 sebagai tempat pendidikan agama Islam, kedua puteranya ini sepakat untuk melakukan lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) melawan Belanda. Perjuangan melawan penjajah Belanda dengan strategi lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) menemukan tantangan setelah Belanda pada tahun 1699[35] mengangkat Letnan Jacob Palm sebagai seorang pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon. Belanda setelah melakukan monopoli dagang terhadap Cirebon dengan alasan perjanjian persahabatan, ikut campur memperkeruh internal kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan turut serta dalam hal pribawa yang sebelumnya tidak terlalu meruncing (hal tersebut dibuktikan pada saat kedatangan awal Belanda ke Cirebon tahun 1681 pada perjanjian tersebut ditandatangani oleh tiga orang penguasa yang berarti posisi ketiganya diakui) Belanda akhirnya mengangkat Jacob Palm sebagai pejabat penghubung untuk wilayah Kesultanan Cirebon, dalam buku Sejarah Cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat bahkan mengatakan jika kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon pada tahun 1700 telah habis sama sekali (secara politik) dengan adanya pengangkatan Letnan Jacob Palm.[36].

    Pada tahun 1701, Belanda kemudian menunjuk seorang pedagang bernama Jacob Heijrmanns sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon[37]

    Pada tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya wafat, maka dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan urutan yang baru oleh Belanda. Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati derajat tertinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon), tempat kedua ditempati oleh kedua orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram Kamarudin dan tempat ketiga ditempati putra-putra Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Depati Halal Rudin dan Pangeran Adipati Kaprabon yang mendirikan peguron Kaprabonan pada tahun 1696 sekaligus menjadi rama guru disana.

    Kemudian Pangeran Depati Halal Rudin diresmikan sebagai penguasa keraton Kanoman dikarenakan saudaranya yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama Sultan Anom I dari permaisuri keduanya yaitu Ratu Sultan Panengah memutuskan untuk memperdalam ajaran agama Islam dan menyerahkan kepemimpinan keraton Kanoman kepada adiknya Pangeran Depati Halal Rudin.[38]

    Pada tahun 1705, Pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon resmi berkantor di Cirebon, guna menyeleseikan masalah dengan Mataram yang masih merasa bahwa kesultanan Cirebon adalah wilayah bawahannya maka diadakanlah perjanjian pada tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram pada masa pemerintahan Pakubuwono I dengan Belanda, perjanjian tersebut menyebutkan bahwa batas wilayah kesultanan Cirebon sebagai bagian dari wilayah protektorat Belanda adalah sungai Losari di sebelah utara (sekarang batas antara provinsi Jawa Barat dengan provinsi Jawa Tengah) dan sungai Donan di sebelah selatan (sekarang batas antara kecamatan Cilacap Selatan dan Cilacap Tengah dengan kecamatan Kawunganten di kabupaten Cilacap)[27]

    Pada tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk menempatkan perbedaan tingkatan dari ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon, setelah Panembahan Wangsakerta wafat tahun 1714, maka sekitar tahun 1715 – 1733 berkali-kali diadakan penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki tingkatan di antara keluarga besar kesultanan Cirebon yang pada waktu itu sebenarnya telah memiliki kesultanannya masing-masing, seperti anak-anak Sultan Sepuh I yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi Sultan Sepuh II di kesultanan Kasepuhan dan Pangeran Arya Cirebon Abil Mukaram Kamarudin yang telah membentuk cabang keluarga sendiri yaitu sebagai Sultan Kacirebonan pertama, demikian juga anak dari Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Depati Halal Rudin yang telah menggantikan ayahnya sebagai penguasa kesultanan Kanoman serta Pangeran Adipati Kaprabon yang menguasai peguron Kaprabonan begitupun anak dari Pangeran Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad Muhyiddin yang melanjutkan tugas ayahnya sebagai pemimpin peguron (tempat pendidikan) dan kepustakaan Cirebon.

    Bermula dari masalah pribawa inilah Belanda turut campur masalah internal keluarga besar kesultanan Cirebon, masalah pribawa mengenai dari cabang keluarga yang mana yang berhak menduduki tingkat tertinggi dalam keluarga besar kesultanan Cirebon selalu menimbulkan pertikaian yang berlarut-larut dan menimbulkan perselisihan yang terus menerus, peristiwa inilah yang mempercepat hilangnya wibawa keluarga besar kesultanan Cirebon.

    Pos Dagang Belanda di teluk Maurits (Pamotan, Pangandaran)

    Pada tahun 1705, Vereenigde Oostindische Compagnie mempekerjakan sekitar 225 orang di pos dagang mereka di teluk Maurits (sekarang teluk Pananjung) di Pamotan, Pagandaran[39].

    Besluit 1706 dan Jabatan Overseer Pangeran Adi Wijaya

    Pembagian kuasa dan warisan Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya kepada kedua putranya yakni Pangeran Depati Anom Tajularipin dan Pangeran Adi Wijaya yang disepakati dalam perjanjian 1699 dimana Pangeran Adi Wijaya kemudian mendapat gelar Pangeran Arya Cirebon dan membentuk cabang keratonnya sendiri kemudian berimbas kepada diangkatnya beliau menjadi Overseer (pengawas) Belanda untuk wilayah Priyangan sebelah timur yang berada dibawah kendali Cirebon[22] melalui Besluit yang dikeluarkan pada tanggal 9 Februari 1706[40]

    Permasalahan pembagian kuasa Cirebon antara Sultan Abdul Karim dan Pangeran lainnya

    Pada masa ditawannya Sultan Abdul Karim di Mataram oleh Amangkurat, Mataram mengakui bahwa di Cirebon ada Pangeran yang memiliki kuasa sejajar dengan Sultan Cirebon, diantara Pangeran yang diakui adalah Pangeran Surya Negara[21]. Pada saat terjadi perjanjian Cirebon - Belanda 1681 yang menjadikan Cirebon sebagai daerah proktektorat (daerah dalam perlindungan) Belanda, Pangeran Surya Negara memilih untuk tidak ikut serta dalam perjanjian tersebut dan menjaga agar wilayah dan kepemilikannya di Cirebon tetap independen[21], permasalahan ini tidak bisa diterima Belanda yang berfikir bahwa di Cirebon hanya ada satu penguasa untuk seluruh wilayah kesultanan sementara para pangeran lainnya yang memiliki kuasa semi-otonom pada masa Sultan Abdul Karim dianggap Belanda hanyalah sebagai bawahan kesultanan Cirebon saja[21]. Permasalahan pembagian kuasa ini kemudian berlarut-larut hingga mencapai tahun 1700an, pada tanggal 12 Juli 1721, Pangeran Surya Negara mengirimkan sebuah surat kepada residen Belanda Willem Tersmitten yang menyatakan bahwa dia dan Sultan Cirebon Abdul Karim memiliki derajat kuasa yang sama, oleh karenanya dia berhak memilih agar wilayah dan kepemilikannya di Cirebon tetap independen[21]

    Pada tahun 1729 dimasa Residen Jan Donker van der Hoff, dilakukan pendataan kepemilikan tanaman kopi dan masyarakat di wilayah kesultanan Cirebon, pendataan dilakukan oleh Kopral Jacob Titter atas perintah residen Belanda yang diawasi pelaksanaannya oleh para mantri (pegawai kesultanan) yang ditunjuk oleh masing-masing penguasa Cirebon[41]

    Pada pendataan yang telah dilakukan, ditemukan bahwa di desa Sayana (yang merupakan desa dibawah kekuasaan Sultan Sepuh III Djaenuddin) misalnya terdapat kepemilikan 300 pohon kopi milik Pangeran Surya Negara, begitupula di wilayah lainnya[41]

    Hilangnya aksara Sunda dan Rikasara Cirebon

    Pada tanggal 3 November 1705, Belanda mengeluarkan sebuah surat ketetapan agar digunakan aksara carakan Jawa sebagai aksara tulis, ketetapan ini menurut sebagian peneliti dikarenakan berkurangnya penggunaan aksara Sunda pada masyarakat setempat[42]. Pada wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon surat ketetapan Belanda tersebut resmi berlaku setelah dikeluarkannya surat yang meratifikasi ketetapan Belanda tersebut oleh para penguasa Cirebon pada 9 Februari 1706[42], secara perlahan aksara Sunda dan juga Rikasara Cirebon digantikan oleh carakan Jawa, dalam sebuah naskah dari desa adat Gamel-Sarabahu di Cirebon dijelaskan bahwa hilangnya Rikasara Cirebon secara berangsur-angsur setelah dikeluarkannya surat ratifikasi kesultanan-kesultanan di Cirebon menemui titik puncaknya yang waktunya bertepatan dengan dikaburkannya sejarah Cirebon oleh Belanda yang dalam naskah peristiwa itu disebut

    "... Kalpariksa jatining cirebon, Lebon pepeteng ... 8461//22//09"

    [43]

    Penyeleseian masalah Pribawa

    Belanda akhirnya mengambil langkah untuk menyeleseikan permasalahan akibat perkara Pribawa (derajat paling tinggi diantara keluarga besar) setelah terjadinya konflik keluarga pada tahun 1715 setahun setelah meninggalnya Pangeran Nasiruddin (Panembahan Cirebon I) dan pada saat meninggalnya Sultan Anom Alimuddin pada tahun 1733[21]. Belanda akhirnya pada tahun 1752[44] (satu tahun sebelum meninggalnya Sultan Sepuh Raja Muhammad Djaenudin) memutuskan untuk menghentikan mekanisme pergeseran posisi peringkat diantara cabang-cabang dalam keluarga besar kesultanan Cirebon sekaligus menetapkan aturan agar pergantian penguasa diantara cabang-cabang keluarga kesultanan Cirebon dilakukan oleh putranya masing-masing[44]

    Keadaan di kesultanan Kasepuhan pada masa Sultan Sepuh IV

    Sultan Sepuh IV yaitu Amir Sena Muhammad Jaenudin atau yang dikenal sebagai Sultan Jaenudin II yang bertahta dari 1753 - 1773 (menggantikan Sultan Sepuh III Sultan Raja Jaenudin yang bertahta dari tahun 1723 - 1753) dia dikatakan telah mengirimkan puteranya yaitu Pangeran Raja (PR) Panengah Abdul Khayat Suryanegara untuk belajar di pesantren, ketika kembali ke keraton Kasepuhan dari pembelajarannya di pesantren, dia merasakan ketidaknyamanan tinggal di dalam keraton, ternyata perasaan yang sama juga dirasakan oleh kakaknya yaitu Pangeran Raja Adipati (PRA) Syafiuddin (yang kemudian menjadi Sultan Sepuh V)[45] bagi mereka berdua, keraton Kasepuhan sekarang suasananya sudah sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan suasana keraton pada masa kecil mereka, suasana keraton sekarang sudah banyak dimasuki oleh orang-orang eropa ataupun para pribumi yang berpihak terhadap penjajah Belanda.

    Banyak para kerabat kesultanan yang tidak senang akan keadaan sekarang di mana pihak kesultanan dibatasi pergerakannya, seperti kedudukan sultan sebagai penguasa politik digantikan oleh pejabat residen dan bupati, sultan hanya diberikan kedudukan sebagai pengelola kesenian dan adat istiadat. Pada keadaan seperti itu, sultan seperti tidak memiliki kewenangan bahkan untuk mengurusi masalah internal keraton termasuk mengangkat para pangeran yang kesemuanya harus mendapat persetujuan dari pihak penjajah Belanda (di mana Belanda mengeluarkan Besluit atau Surat Keterangan (SK) sebagai pengakuan Belanda terhadap status kebangsawanan orang tersebut), sebagai ganti dirampasnya hak-hak sultan tersebut, Belanda memperlakukan sultan seperti para aparatur sipilnya yaitu dengan memberikan tunjangan bulanan dan dana pensiun.

    Adanya persetujuan Belanda yang dilengkapi dengan Besluit (Surat Keterangan) tentang pengakuan kebangsawanan seseorang oleh Belanda mengakibatkan banyak keturunan bangsawan yang tidak mendapatkan gelar turun-temurunnya. Mereka yang tidak mendapatkan besluit tersebut diharuskan menjadi abdi dalem keraton yang ditugaskan oleh Belanda bersama Sultan (yang pada kedudukannya terpaksa mengikuti kemauan Belanda) untuk terjun ke masyarakat dan menangani masalah-masalah kemasyarakatan namun dengan status abdi dalem, para bangsawan yang tidak diakui Belanda dengan besluit tersebut tidak mendapatkan gaji bulanan atau tunjangan seperti layaknya aparatur sipil dan para bangsawan yang mendapatkan pengakuan resmi dari Belanda, di antara para bangsawan yang tidak mendapatkan besluit tersebut diantaranya adalah Pangeran Raja (PR) Panengah Suryanegara.

    Melihat keadaan dalam keraton yang sudah banyak dipengaruhi oleh penjajah Belanda, pangeran tersebut memilih untuk pergi meninggalkan keraton Kasepuhan untuk menemui seorang ulama Cirebon terkenal yang bernama Syekh Muhyidin atau secara adat Cirebon dikenal dengan nama Ki Buyut Muji [46].

    Syekh Muhyidin adalah seorang ulama Cirebon terkenal pada masanya, dia tinggal disekitar blok Rancang, desa Dawuan, kecamatan Tengahtani, kabupaten Cirebon. Syekh Muhyidin dikalangan kesultanan Kasepuhan dikenal dengan nama Buyut Tuji, dia merupakan seorang ulama yang memerangi penjajah dengan cara-cara yang halus.[47]

    Cerita lisan yang dituturkan turun-temurun tentang Pangeran Raja (PR) Panengah Suryanegara mengatakan bahwa sang pangeran merupakan seorang figur ahli dalam ilmu agama, diantaranya Nahwu, Shorof,Balaghoh, Manthiq,Ma'ani dan Bayan, di mana ilmu-ilmu tersebut menjadi rujukan dalam berijtihad untuk menentukan hukum syariah, oleh karenanya dia juga dikenal sebagai seorang figur ahli natijah (pembuat keputusan)

    Ditempat Syekh Muhyidin, Pangeran Raja (PR) Panengah Suryanegara kemudian menikah dengan Ratu Ayu Jamaliyah (putri Syekh Muhyidin), dalam tulisannya tentang perjuangan Ki Bagus Rangin, bapak Opan Hasyim mengatakan bahwa dari pernikahan tersebut sang Pangeran Raja (PR) Panengah dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Pangeran Idrus Wijayanegara atau yang dibeberapa kalangan masyarakat adat di Cirebon dikenal dengan nama Pangeran Idrus Surya Kusuma Jayanegara atau Pangeran Jayanegara.

    Masa perang besar Cirebon

    Sultan Sepuh V Syafiuddin dan desa Matangaji

    Pada masa kepemimpinan Sultan Sepuh V Syafiuddin (bertahta dari 1773 - 1786), Taman sari gua sunyaragi mengalami banyak perbaikan dan disamping kegunaannya sebagai taman air, gua Sunyaragi juga dipergunakan sebagai markas besar prajurit, gudang dan tempat pembuatan senjata, sementara menurut Pangeran Sulendraningrat dalam bukunya yang berjudul Sejarah Cirebon dikatakan bahwa Sultan Sepuh V Syafiuddin masih memiliki markas lainnya yang disebut sebagai markas garis belakang di desa Matangaji, kecamatan Sumber, kabupaten Cirebon.

    Di dalam keraton, penjajah Belanda berusaha membujuk Sultan Sepuh V Syafiuddin untuk bekerjasama dalam berbagai bidang, tetapi sultan menolaknya, karena mengalami berbagai tekanan, Sultan Sepuh V Syafiuddin pergi meninggalkan keraton Kasepuhan, dalam sejarah lisan yang diturunkan secara turun temurun di Cirebon, dikatakan dalam perjalanannya Sultan Sepuh V Syafiuddin berjalan ke arah blok Capar lalu meneruskankan lagi ke arah Bukit Pasir Anjing di desa Sidawangi untuk mencari tempat yang lebih aman, di desa tersebut sultan membangun sebuah pesantren ditempat yang sekarang disebut blok pesantren (dusun pesantren) yang kemudian banyak didatangi orang untuk belajar mengaji dan ilmu keagamaan, dikarenakan letak desa Sidawangi yang dirasa kurang aman, maka sultan kembali melakukan perjalanan menuju pedalaman Cirebon dan tiba di daerah yang sekarang disebut desa Matangaji, di desa ini akhirnya dibuat sebuah tempat peristirahatan kecil yang oleh masyarakat hingga kini dikenal dengan nama blok Pedaleman (dusun Pedaleman) yang berarti tempatnya para pembesar keraton, di desa tersebut sultan juga kembali membangun sebuah pesantren dan mengajarkan ilmu keislaman dan berpesan jika ingin mengaji harus sampai matang, oleh sebab itu wilayah tersebut dinamakan Matangaji.

    Aktivitas yang ada di Taman sari gua sunyaragi akhirnya diketahui oleh Belanda, takut angkatan perang Cirebon akan bertambah kuat dan menghalangi kepentingannya maka taman sari diserang[48] dan dihancurkan hingga tinggal puing-puing.[36]

    Sultan Sepuh V Syafiuddin dan para santri

    Dekatnya Sultan Sepuh V Syafiuddin dengan masyarakat dan para santri membuat banyak dari mereka yang turut serta dalam perjuangan Sultan Sepuh V Syafiuddin, dukungan para kyai juga diperolehnya, Ali Mursyid, anggota Lakpesdam NU dan Fahmina Institute yang juga seorang alumnus pesantren Assalafie di Babakan Ciwaringin dalam catatannya yang berjudul Perjuangan Santri Cirebon untuk Kemerdekaan menyatakan bahwa dukungan dari para kyai diantaranya datang dari Kyai Abdullah dari Lontang Jaya, Kyai Jatira dari Babakan Ciwaringin dan Kyai Idris dari Kempek.[49] Kyai Jatira misalnya, dia tidak menyukai sikap para penjajah, terlebih saat penjajah Belanda berencana merobohkan pesantren Babakan Ciwaringin untuk membangun jalan raya, Kyai Jatira kemudian memindahkan patok penanda pembangunan jalan ke sebelah utara pesantrennya.

    Di wilayah antara desa Gintung (sekarang sudah mekar menjadi desa Gintung ranjeng, desa Gintung Tengah, desa Gintung Kidul dan desa Gintung Lor) hingga desa Kedongdong inilah yang menjadi pusat dari pertempuran besar para santri dan masyarakat Cirebon yang dipimpin oleh Sultan Sepuh V Syafiuddin, banyak dari para santri yang meninggal, di desa Gintung ada sebuah lapangan yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Blambangan di lapangan itulah para santri banyak yang terbunuh.

    Sultan Sepuh V Syafiuddin sempat berusaha menyelamatkan diri, tetapi dia akhirnya meninggal di Matangaji.

    Perjuangan Mirsa dan Pangeran Raja Kanoman

    Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting

    Pada tahun 1791, Pangeran Joharuddin naik tahta sebagai Sultan Sepuh, namun karena usianya yang baru 10 tahun maka beliau didampingi oleh dua orang pejabat kesultanan dengan pangkat Tumenggung yaitu Tumenggung Widya Adiningrat dan Tumenggung Jayadireja[50].

    Pada tahun 1733, Pangeran Chaeruddin Rahim menjadi pemimpin di Kesultanan Kanoman dengan gelar Sultan Anom Chaeruddin menggantikan ayahnya Sultan Anom Alimuddin, pada saat naik tahta beliau baru berusia 10 tahun, sebagai walinya ditunjuklah Tumenggung Bahu Madenda, Tumenggung Bahu Madenda menjadi wali dari Sultan Anom Chaeruddin hingga tahun 1744[51], surat pernyataan kedewasaan bagi Sultan Anom Chaeruddin yang dikeluarkan masa Gubernur Jenderal Gustaaf Willem van Imhoff pada tanggal 18 Februari 1744 menjadi legalisasi bagi Sultan Anom Chaeruddin untuk mengambil alih kekuasaan dari walinya Tumenggung Bahu Madenda, karena sebelumnya Sultan mengalami kesulitan ketika akan mengambil alih kekuasaannya[51].

    Semenjak kekuasaan Sultan Anom I, Belanda telah berusaha menanamkan kekuasaannya kedalam keraton-keraton di Cirebon melalui perjanjian persahabatan yang berisi monopoli dagang Belanda serta dengan politik pendekatan persuasif kepada pihak-pihak di kesultanan dan tokoh-tokoh masyarakat, Pangeran Raja Kanoman (Putera Mahkota kesultanan Kanoman, putera pertama Sultan Anom Chaeruddin dari permaisurinya) Pada waktu itu telah lama melakukan perlawanan terbuka terhadap belanda, masyarakat yang pernah berjuang bersama di antaranya adalah Mirsa, yang melakukan perjuangan melawan penjajah Belanda pada tahun 1788 yang mendapatkan bantuan tokoh agama, tetapi perjuangan Mirsa dapat dipatahkan, perjuangan melawan penjajah kemudian berlanjut pada tahun 1793[52],[53] dan akhirnya Pangeran Raja Kanoman berhasil ditangkap dalam perjuangannya melawan penjajah dan kemudian diasingkan ke Ambon pada sekitar tahun 1796, baik upaya mematahkan perjuangan Mirsa maupun penangkapan terhadap Pangeran Raja Kanoman dilakukan pada masa Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting. Pada tahun 1795, setahun sebelum penangkapan Pangeran Raja Kanoman, di Belanda terjadi revolusi yang dimotori oleh Perancis yang memaksa penguasa Belanda yaitu William Batavus (William V) untuk mengasingkan diri ke Inggris, negara Belanda yang telah jatuh ke tangan revolusioner tersebut diubah namanya dari Dutch Republic (bahasa Indonesia: Republik Belanda) menjadi Batavian Republic (bahasa Indonesia: Republik Batavian (secara harafiah berarti Republik Orang-Orang Belanda). Di Inggris, William Batavus kemudian mengeluarkan Kew Letter sebuah surat perintah yang menugaskan para pejabat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di wilayah Hindia Belanda menyerahkan pos pos mereka kepada British, hal inilah yang kemudian memudahkan British untuk menguasai Hindia Belanda, berbekal Kew Letter tersebut Melaka, Padang dan Ambon berhasil dikuasai oleh British dengan mudah[54], pada tahun ini sebenarnya Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting sudah menyadari ada dinamika di negara asalnya bahwa kini Dutch Republic telah dikuasai oleh Perancis dan diubah namanya menjadi Batavian Republic.

    Pada tahun 1798, pada masa itu Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting yang telah menangkap Pangeran Raja Kanoman dan mengasingkannya ke Ambon dan yang proyek pembuatan rumah Raad van Indie-nya (bahasa Indonesia: Dewan Hindia) di Indramayu pada tahun tahun sebelumnya yang diperkirakan dibantu oleh Sultan Muhammad Chaeruddin [55] baru saja pensiun dengan telah datang penggantinya Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin untuk pesisir utara Jawa bagian timur pada 17 Februari 1797, pada masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten ini di kesultanan Kanoman terdapat permasalahan karena tidak adanya putera mahkota ditempat jika seandainya terjadi sesuatu dengan Sultan Muhammad Chaeruddin, maka pada tahun itu, 1798, Sultan membuat keputusan untuk mengangkat Imamuddin, adik lain ibu dari Pangeran Raja Kanoman (Putra Mahkota kesultanan Kanoman yang dibuang oleh Belanda ke Ambon) guna menggantikan posisinya sebagai Putera Mahkota kesultanan Kanoman [55], dijelaskan oleh Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) dalam tulisannya menarasikan bahwa Imamuddin adalah anak dari Sultan Muhammad Chaeruddin dengan istrinya yang bukan permaisuri[56]. Pada masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten ini Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dibubarkan, British berhasil mengambil alih wilayah Tidore[54] serta menghancurkan benteng-benteng pertahanan Batavia di pulau Onrust dan sekitarnya pada tahun 1800[57]. Pada 22 Agustus 1801 Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten meninggal dunia[58] dan kemudian posisinya digantikan oleh Gubernur Jenderal Johannes Siberg (menantu dari Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting) yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin di pantai utara Jawa bagian barat. Pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Johannes Siberg diwarnai oleh berbagai perjuangan para penguasa lokal di nusantara yang memanfaatkan situasi kacau di Hindia Belanda untuk bisa menguatkan kembali posisi mereka.

    Pejabat penghubung Johan Lubbert Umbgrove dan pengurangan jumlah Pangeran

    Pada tahun 1792, pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon Johan Lubbert Umbgrove memandang perlu untuk mengurangi jumlah pangeran dan ratu dengan mengubah fungsi mereka menjadi abdi masyarakat.[59][60] Kejadian tersebut mirip dengan peristiwa surat pengakuan gelar kesultanan oleh Belanda pada masa Sultan Sepuh IV yaitu Amir Sena Muhammad Jaenudin atau yang dikenal sebagai Sultan Jaenudin II yang bertahta dari 1753 - 1773 (menggantikan Sultan Sepuh III Sultan Raja Jaenudin yang bertahta dari tahun 1723 - 1753) dimana para keluarga kesultanan yang tidak diakui lagi gelarnya diharuskan menjadi abdi masyarakat tanpa tunjangan bulanan, karena hanya mereka yang diakui Belanda yang akhirnya mendapatkan tunjangan bulanan, hal tersebut dilakukan oleh Belanda dengan alasan penghematan agar kekayaan Cirebon tidak habis ditangan kesultanan, tetapi hal itu hanyalah alasan yang dibuat-buat karena pada masa yang sama Belanda bekerjasama dengan para penguasa swasta kaya (kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Cina) untuk menguasai tanah-tanah di Cirebon dan menerapkan pajak tanah (landrente) yang tinggi pada masyarakat.[61]

    Perjuangan Bagus Rangin

    Gubernur Jenderal Johannes Siberg

    Ketika Pangeran Raja Kanoman yang merupakan putera dari Sultan Anom Chaeruddin Muhammad Chaerudin diasingkan ke Ambon, terjadilah perjuangan rakyat Cirebon yang dipimpin Bagus Rangin pada tahun 1802, Bagus Rangin berasal dari demak, distrik Blandong, Rajagaluh (sekarang Rajagaluh menjadi kecamatan Rajagaluh, Majalengka) yang terletak di kaki gunung Ciremai, Bagus Rangin diperkirakan lahir sekitar tahun 1761. Dia adalah putra dari Sentayem (Ki buyut Teyom), cucu dari Waridah dan keturunan dari Ki buyut Sambeng, salah satu dari cicit pembesar didaerah tersebut atau dalam bahasa Cirebon disebut Ki Gede. Bagus Rangin mempunyai tiga orang saudara, kakaknya bernama Buyut Bangin dan kedua adiknya bernama Buyut Salimar serta Bagus Serit (Bagus Serit juga menjadi pejuang melawan penjajah)[62]

    Sifat Bagus Rangin digambarkan sebagai pemimpin yang gagah berani dan sanggup menyatakan perang dengan didukung oleh pengikutnya yang banyak.[63] Secara garis besar kondisi perekonomian di pedesaan Cirebon dijelaskan bahwa desa-desa hampir secara keseluruhan disewakan kepada orang-orang Cina oleh para bupati dan residen. Penyerahan tenaga kerja, penyerapan pajak dan hasil pertanian penduduk dibeli dengan harga sangat rendah oleh residen[64].

    Di wilayah Palimanan banyak tanah yang disewakan oleh bupati kepada orang-orang Cina sementara masyarakat dihisap tenaganya dan dikenakan pajak yang tinggi, masyarakat Palimanan kemudian protes kepada Bupati meminta agar diberi keringanan pajak, namun jawaban yang diberikan oleh Bupati tidak memuaskan dan seolah-olah memihak kepada kepentingan orang-orang Cina[44] bahkan kepala distrik seakan membiarkan keadaan ini[65]. Masyarakat yang kecewa dengan tindakan bupati tersebut kemudian berniat untuk mengadakan gerakan perlawanan, mereka kemudian dihimpun oleh kelompok Bagus Rangin, menurut Bagus Rangin pihak yang paling bertanggung jawab terhadap permasalahan di Palimanan adalah Bupati dan asisten pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon[44], setelah persiapan selesai, para pejuang dengan dipimpin oleh Bagus Serit (adik Bagus Rangin[44]) menyerang pendopo bupati dan membunuh bupati Tumenggung Madenda, kemudian para pejuang tersebut menyerang rumah kediaman asisten pejabat penghubung Belanda di Palimanan dan membunuhnya juga[44], dalam penelitiannya Tatang Manguni Amirin (peneliti sejarah Majalengka) menyebut bahwa Palimanan dalam peta Raffles 1817 masih disebut sebagai Benjawan[66] dan pada Besluit van Commissarissen Generaal over Nederlandsch Indië No. 23 tahun 1819 tentang ketetapan pembagian karesidenan Cirebon menjadi beberapa regentschap (kabupaten) wilayah ini masuk dalam regentschap Bengawan Wetan[66].

    Setelah membunuh bupati dan asisten pejabat penghubung Belanda di Palimanan, gerakan perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Bagus Serit kemudian mulai mengepung dan menyerang rumah-rumah para bangsawan dan orang-orang Cina, setelah selesai dengan itu mereka semua kembali ke tempat asalnya masing-masing sementara sebagian yang lainnya bergabung dengan Bagus Rangin[44]. Banyaknya rakyat yang bergabung dengan kelompok Bagus Rangin membuat jumlah pasukannya bertambah antara 300 hingga 500 orang yang terlatih untuk berperang, selain Bagus Rangin sebagai pemimpin utamanya masih ada lagi pemimpin yang lainnya di antaranya Bagus Wariem dan Bagus Ujar daei wilayah Bayawak, Bagus Sakti dan Bagus Kondur dari wilayah Jatitujuh, Rontui dari wilayah Baruang Wetan, Bagus Sidung dari wilayah Sumber, Bagus Arisem dari wilayah Loyang, Bagus Suara dari wilayah Bantarjati, Bagus Sanda dari wilayah Pamayahan, Bagus Narim dari wilayah Lelea, Bagus Jamani dari wilayah Depok, Demang Penangan dari wilayah Kandanghaur, Demang Wargagupita dari wilayah Kuningan, Wargamanggala dan Harmanis dari wilayah Cikad, Wirasraya dari wilayah Mamis, Jurangprawira dari wilayah Linggajati, Jayasasmita dari wilayah Ciminding, Jangbaya dari wilayah Luragung, Anggasraya dari wilayah Timbang, Demang Jayaprawata dari wilayah Nagarawangi, Demang Angon Klangon dari wilayah Weru, Ingabei Martamanggala dari wilayah Pagebangan dan Demang Jayapratala dari wilayah Sukasari[44].

    Perjuangan kelompok Bagus Rangin juga mendapatkan dukungan moril dan materil dari masyarakat desa-desa seperti Benuang Kulon, Malandang, Conggeng, Cililin, Depok, Selaawi dan Sukasari, bahkan kepala-kepala desa dari desa-desa seperti Batununggal, Tegal, Bentang, Gerudu, Cinaka, Tanggulun, Tambal, Ayer juga turut membantu perjuangan kelompok Bagus Rangin[44]

    Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese

    Di Batavia pada tahun 1803, setelah hancur oleh serangan British pada tahun 1800[57], pulau Onrust yang merupakan benteng pertahanan Batavia oleh Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Johannes Siberg (menantu dari Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting) berusaha direstorasi kembali[67], sementara itu di Cirebon, Sultan Muhammad Chaeruddin baru saja meninggal dunia dan sebagai penggantinya, Imamuddin yang telah ditunjuk sebagai putera mahkota sejak 1798 menggantikan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan oleh Belanda ke Ambon naik tahta menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Sultan Anom V Abu Soleh Imamuddin[68] dan hal ini disetujui oleh Belanda[56], dijelaskan kondisi sosial pada saat itu bahwa bencana kelaparan dan wabah penyakit sempat melanda Cirebon sejak akhir abad ke 18, mengakibatkan banyak penduduk Cirebon meninggal dunia.[64], dalam narasinya Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) mengatakan bahwa sejak naiknya Imamuddin menjadi Sultan di kesultanan Kanoman maka banyak hal buruk yang terjadi tidak hanya soal banyaknya warga yang sakit dan meninggal namun juga hal hal lain seperti kosongnya bulir bulir padi yang ditanam[56], permasalahan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan ke Ambon tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1805, perwakilan masyarakat Cirebon sekitar 1000 orang berdatangan guna melakukan long march (berjalan kaki) untuk menemui Gubernur Jenderal mereka datang untuk menuntut hak Pangeran Raja Kanoman bertahta menggantikan ayahnya Sultan Anom Muhammad Chaeruddin[44] yang telah meninggal pada 1803[51], perwakilan masyarakat Cirebon itu mengatakan bahwa Imamuddin tidak berhak menjadi Sultan di kesultanan Kanoman karena masih ada Pangeran Raja Kanoman yang lebih berhak, dinarasikan oleh Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) bahwa perwakilan masyarakat Cirebon tersebut menghubung-hubungkan kejadian buruk di Cirebon dari mulai banyaknya masyarakat yang sakit dan meninggal hingga kejadian dimana bulir bulir padi yang ditanam namun tidak ada isinya yang menyebabkan kelaparan dengan naiknya Imamuddin sebagai Sultan di kesultanan Kanoman[56], Pejabat Belanda untuk wilayah Kesultanan Cirebon pada masa itu Simon Hendrik-Rose kemudian mengajukan permohonan pada tanggal 26 Februari 1805[69] agar pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan sebuah peraturan kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan nasyarakat Cirebon yang akan menemui Gubernur Jenderal, permohonan Simon Hendrik-Rose selaku pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon dikabulkan dengan dikeluarkannya surat keputusan (besluit) 15 Maret 1805 yang berisi perintah kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan masyarakat Cirebon, berdasarkan besluit tersebut maka bupati Karawang diperintahkan agar mencegah rombongan tersebut ke Batavia, Belanda kemudian mengirimkan kapal ke pesisir Cilincing (sebelah timur kota Batavia) untuk mengangkut para rombongan masyarakat Cirebon dan pada tanggal 7 Mei 1805 rombongan tersebut kembali ke Cirebon[69], mendengar hal ini Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese yang secara resmi mulai menjabat pada 15 Juni 1805[70] dikemudian hari mengabulkan permintaan perwakilan masyarakat Cirebon dengan memulangkan Pangeran Raja Kanoman dari pengasingannya di Ambon, hal tersebut dilakukan karena Belanda tidak mau masalah ini menjadi lebih panjang lagi yang nantinya akan berimbas kepada peperangan yang lebih besar lagi dengan Cirebon, karena dengan pertempuran yang sekarang sedang berlangsung dengan para pejuang sudah banyak korban dari pihak Belanda[56],

    Persoalan hak waris Sultan Kanoman ke empat, Sultan Anom Chaeruddin Muhammad Chaerudin yang seharusnya diberikan kepada putera mahkotanya yaitu Pangeran Raja Kanoman yang telah diasingkan Belanda ke Ambon dianggap sebagai penyebab timbulnya pemberontakan. Rakyat melakukan pemberontakan dan mengidentifikasi diri dengan Sultan Kanoman yang tercabut hak warisnya (Pengeran Raja Kanoman yang dibuang dan sulit mengklaim haknya) . Para pemberontak ini berhasil dihimpun Bagus Rangin untuk melakukan pemberontakan yang lebih besar. Di daerah Jatitujuh, merupakan pusat gerakan Bagus Rangin dalam rangka membicarakan strategi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bagus Rangin menganggap residen Belanda telah merampas tanah warisan nenek moyangnya, untuk digunakan sendiri oleh residen itu.

    Kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya kesultanan Kacirebonan

    Pada resolusi 25 Februari 1806 pejabat Belanda di Cirebon yaitu van Lawick menjelaskan bahwa di daerah perbatasan Sumedang dan Cirebon, di daerah Jatitujuh dan sekitarnya ada pergerakan kelompok orang yang berjumlah sekitar 1000 orang[44], guna mengantisipasi pergerakan tersebut, Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese mengirimkan beberapa pasukannya[44]. Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese dengan persetujuan dewan penasehat pemerintah Hindia Belanda di Batavia segera menugaskan Nicolas Engelhard (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) sebagai pemimpin pasukan guna membereskan masalah Bagus Rangin, pasukannya kemudian diperkuat oleh pasukan dari putera bupati Mangkudiningrat (bupati Bangkalan)[44], dalam pertempuran melawan kelompok Bagus Rangin, dua orang putera Patih Sumedang menjadi korban dan dua puluh lima orang pasukan Sumedang yang berhasil ditawan kemudian dihukum mati sementara pasukan Bagus Rangin banyak yang berhasil meloloskan diri[44].

    Laporan berkenaan dengan kekuatan kelompok Bagus Rangin juga didapat dari seorang perempuan bernama Nyi Jaya. Nyi Jaya yang dipercaya sebagai warga Bantarjati melaporkan kepada bupati Indramayu[71] pada masa itu Raden Benggala bin Raden Sawerdi (Adipati Wiralodra)[45] bahwa terdapat 1000 pemberontak bersenjata lengkap yang dipimpin oleh Bagus Rangin, selain itu Nyi Jaya juga melaporkan bahwa dia melihat ada Bagus Serit dan Bagus Kondar[72]

    Pemberontakan yang dilakukan oleh bagus Rangin meluas hingga keluar wilayah kesultanan Cirebon, ditengah perjuangan besar cirebon yang telah dimulai pada sekitar tahun 1788 oleh Mirsa dan Pangeran Raja Kanoman (Putera Mahkota kesultanan Kanoman, putera pertama Sultan Anom Chaeruddin Muhammad Chaeruddin) dan dilanjutkan oleh pejuang lainnya termasuk di antaranya Bagus Rangin yang telah memulai perjuangannya pada sekitar tahun 1802, kondisi sosial di Cirebon semakin memprihatinkan, masih banyak orang yang jatuh sakit dan meninggal serta kelaparan akibat kosongnya bulir bulir padi, masa itu tahun 1805, dikarenakan perjuangan masyarakat cirebon melawan Belanda masih terus belangsung, maka pada tanggal 1 September 1806[73] Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Sepuh Djoharuddin dan Sultan Anom Abu Soleh Imamuddin untuk mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon guna meredakan perjuangan yang terjadi[74]. dalam bukunya Geschiedenis van Nederlandsch Indie, V Frederik Willem Stapel mengatakan,

    sampai dengan tahun 1806 jumlah kaum pemberontak yang bersenjata telah mencapai sekitar 40.000 orang[44]. Pasukan yang langsung dipimpin oleh Bagus Rangin berjumlah antara 280-300 orang yang telah terlatih perang

    namun karena di keraton Kanoman sudah bertahta Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin yang merupakan adik Pangeran Raja Kanoman, maka akhirnya atas dasar kesepakan keluarga, Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808 mendirikan kesultanannya sendiri dengan nama Kacirebonan yang sekarang pusatnya berada di keraton Kacirebonan, sebagai pemimpin Kacirebonan Pangeran Raja Kanoman bergelar Sultan Carbon Amirul Mukminin, selain permasalahan berkaitan dengan Pangeran Raja Kanoman, dalam perjanjian 1 September 1806 tersebut juga disinggung mengenai orang-orang Cina dan para Sultan yang memihak Belanda, disebutkan dalam perjanjian tersebut bahwa orang-orang Cina tidak diperbolehkan untuk tinggal di daerah pedalaman dan kepada para Sultan yang memihak Belanda tidak diperkenankan untuk memeras rakyatnya[44], tetapi kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya kesultanan Kacirebonan untuk Pangeran Raja Kanoman sebagai hasil kesepakatan keluarga besar kesultanan Kanoman dikarenakan di kesultanan Kanoman telah bertahta Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin, tidak menyurutkan gerakan perjuangan yang sedang berlangsung[44].

    Pada 1807, seorang pejabat Belanda yaitu Carl Willem Thalman yang merupakan Voorzitter (kepala) pemeriksa tanah di Priyangan menjelaskan dalam persiapannya menumpas pergerakan kelompok Bagus Rangin, pemerintah Belanda telah memerintahkan setiap kabupaten di Priyangan dan Karawang untuk mengirimkan pasukannnya, terutama kabupaten-kabupaten yang berbatasan dengan daerah perlawanan, ditetapkan pula Pangeran Kusumahdinata IX (bupati Sumedang) dan Raden Surialaga II[44] (putera almarhum Raden Surialaga I (bupati Sumedang periode 1765-1773)[65] ) sebagai komandan Pasukan[44], Raden Surialaga II kelak menjadi bupati Karawang menggantikan Raden Adipati Singasari yang menjadi bupati Brebes setelah ikut serta dalam sayembara Belanda dalam menumpas pemberontakan Raden Wangsanangga, pasukan para bupati tersebut kemudian diperkuat dengan pasukan yang didatangkan dari Batavia yang dipimpin oleh seorang Mayor[44].

    Herman Willem Daendels, Kyai Kulur dan Kyai Durrahman

    Potret anumerta Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, berdasarkan miniatur tanggal 1816 oleh seniman Prancis SJ Rochard. Bagian dari seri Gubernur Jenderal.

    Pada masa ditengah pemberontakan ini, Belanda mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda yang tiba di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1808 [75] yang memimpin dengan cara kediktaktoran. Herman Willem Daendels dikirimkan untuk menggantikan Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese.

    Pada musim kemarau tahun 1808 surat-surat karesidenan di Jawa penuh dengan nota antara perwira intendans Gubernur Jendral Herman Willem Daendels dengan para pejabat, banyaknya permintaan masuk mengenai kuda, pelana, seragam, cambuk, sepatu, beras, dendeng rusa serta keperluan militer lainnya, bahkan J W Winter (penterjemah resmi Belanda untuk Surakarta) menyarankan agar seorang penenun yang terampil dari wilayah kabupaten di pantai selatan agar dikirim ke Semarang untuk membantu membuat kain Linen berwarna biru tua guna dijadikan seragam. Pada salah satu contoh surat dari residen Surakarta Willem Nicolaas Servatius kepada Gubernur Jendral Herman Willem Daendels menerangkan tentang tibanya Gordon seorang Ridder Kolonel (Kolonel tituler) untuk mengambil contoh kain dari Surakarta.[76]

    Pada masa yang sama pihak keraton Jawa juga didesak untuk mengizinkan agar kayu diwilayah sebelah timur ditebang guna membantu pembangunan benteng di Gresik yang berfungsi untuk melindungi selat Madura dan pelabuhan Surabaya, perkataan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels bahwa penebangan hanya untuk jangka waktu enam bulan tidak dipercaya oleh pihak keraton karena pembangunan benteng di pantai Marsekal tersebut merupakan proyek jangka panjang yang lebih dari enam bulan, wilayah kesultanan Yogyakarta yang diminta agar dibuka akses ke hutan Jati oleh Belanda adalah wilayah Padangan, Panolan dan Madiun (wilayah yang dikuasai oleh bupati wedana kesultanan Yogyakarta, Raden Ronggo)[77] berbagai permintaan ini dicurigai secara khusus terkait dengan bupati wedana kesultanan Yogyakarta tersebut[76]. Pada masa awal kedatangan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels dia berusaha menunjukan kekuatan militernya untuk menekan pihak kesultanan Yogyakarta yang kemudian balas oleh Sultan Hamengkubuwono II dengan mengadakan parade militer besar-besaran di Yogyakarta dengan Raden Ronggo selaku delegasi dari kesultanan Yogyakarta, selain itu ada peristiwa dimana Gubernur Jendral Herman Willem Daendels memaksakan agar digelar upacara penerimaan Gubernur Jenderal di keraton Yogyakarta yang kemudian oleh Raden Ronggo dan kelompok yang anti terdahap Belanda hal tersebut dianggap sebagai pelecehan karena merendahkan Sultan Yogyakarta[77], walaupun hubungan antara kesultanan Yogyakarta dengan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels semakin rawan terlebih dengan disorotnya Raden Ronggo pada beberapa peristiwa yang telah disebutkan diatas namun tidak menyurutkan niat Sultan Hamengkubuwono II untuk menempatkan Raden Ronggo digaris terdepan dalam hubungannya dengan Belanda[76]

    Pada periode yang sama Gubernur Jendral Herman Willem Daendels memaksakan agar kesultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta menandatangani perjanjian yang antara lain ialah kesepakatan hukum, ketertiban dan pekerjaan serikat buruh panggul, pada masa itu Gubernur Jendral Herman Willem Daendels tengah membangun jalan raya pos antara Anyer hingga Panarukan selain proyek pertahanan terhadap serangan Inggris yang sedang berlangsung, berkenaan dengan persoalan buruh, pihak Kasunanan Surakarta juga mengalami tekanan yang besar, hal tersebut terkait permintaan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels agar pihak Kasunanan Surakarta menyediakan 500 orang buruh dari wilayah Banyumas untuk ikut serta dalam pembangunan jalan raya pos di daerah Bataviasche Bovenlanden (Bahasa Indonesia : dataran tinggi Batavia) yang membuat Sunan Pakubuwono IV kesal[76], namun seandainya pihak kesultanan Yogyakarta atau kasunanan Surakarta ingin mengadakan perlawanan terhadap apa yang dilakukan oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels maka peristiwa yang menimpa Kyai Kulur dan Kyai Durrahman yang merupakan dua dari tiga pimpinan perjuangan rakyat di Cirebon bisa membuat para penguasa Jawa tersebut berfikir dua kali, hal tersebut dikarenakan, Kyai Kulur dan Kyai Durrahman ketika mereka tertangkap pada bulan Oktober 1808 hidup mereka berakhir dalam sekejap, Kyai Kulur tubuhnya dicincang oleh Hussar (kavaleri) sementara Kyai Durrahman dibakar hidup-hidup[76].

    Surat Raden Depati Natadireja berkenaan dengan tiga serangkai Bagus Rangin, Kyai Kulur dan Kyai Durrahman


    Pembentukan Kesultanan Cheribon en Cheribonsche-Preanger Regentschappen dan Sultan sebagai pegawai Belanda

    Pada tanggal 2 Februari 1809, berdasarkan Reglement op het beheer van Cheribonsche Landen (peraturan tentang pengelolaan wilayah Cirebon) wilayah kesultanan Cirebon dijadikan wilayah dibawah kekuasaan Belanda, para Sultan-Sultan di Cirebon kemudian dijadikan pegawai Belanda[78] dan diberikan gaji oleh pemerintah Belanda[44]. Pemisahan kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon ini bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Sepuh VII Sultan Djoharudin di Kesultanan Kasepuhan, Sultan Anom V Abu Soleh Muhammad Immamudin di kesultanan Kanoman dan Sultan Kacirebonan I Sultan Carbon Amirul Mukminin di kesultanan Kacirebonan yang baru saja dibentuk dari hasil perundingan keluarga untuk membagi kesultanan Kanoman. Gubernur Jendral Herman Willem Daendels setahun setelah kedatangannya ke Hindia Belanda, segera menetapkan berbagai langkah dan tindakan dalam rangka pengendalian wilayahnya yang ada di Jawa bagian barat, dua Regentschappen (wilayah) kemudian ditetapkan,

    • Pertama, Batavia en Jacatrasche Preanger Regentschappen (wilayah Batavia dan Priangan-Jakarta) yang meliputi Batavia, Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Bandung dan Sumedang)
    • Kedua, Kesultanan Cheribon en Cheribonsche-Preanger Regentschappen (wilayah kesultanan Cirebon dan Priangan-Cirebon), yang meliputi wilayah kesultanan Cirebon, Limbangan (sekarang bagian dari kabupaten Garut), Sukapura (sekarang bagian dari kabupaten Tasikmalaya) dan Galuh (sekarang kabupaten Ciamis dan kota Banjar)[79]

    Di daerah Cirebon, dikatakan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels memperoleh hak untuk mengangkat pegawai kesultanan menjadi pegawai Belanda, hal ini senada dengan proses reformasi administrasi yang dilakukan oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels di pulau Jawa dimana dia mengangkat semua bupati menjadi pegawai Belanda dengan maksud menyetarakan mereka dengan para pegawai yang berasal dari eropa, hal ini dilakukan oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels untuk menghentikan penyalahgunaan wewenang oleh para bupati Jawa yang memperoleh keuntungan langsung dari penduduknya[80]. Gubernur Jendral Herman Willem Daendels juga mendapat kekuasaan lebih besar dalam urusan keuangan, tidak hanya di Cirebon, Gubernur Jendral Herman Willem Daendels juga memperketat pengawasan administrasi dan keuangan atas para penguasa pribumi lainnya[81]. Gubernur Jendral Herman Willem Daendels juga masih ikut campur dalam pemerintahan internal kesultanan. sejak tahun 1809 dikatakan bahwa kesultanan-kesultanan yang ada di Cirebon tidak lagi memiliki kekuasaan politik karena telah dijadikan pegawai pemerintah Hindia Belanda dan fungsi mereka sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh para bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral, wilayah-wilayahnya kemudian diawasi oleh prefect (kepala wilayah) yang telah ditunjuk oleh pemerintah Belanda[50].

    Pada Algemeene Bepalingen (ketentuan umum) selain memecah wilayah kesultanan Cirebon menjadi dua prefectuur (wilayah) yakni Kesultanan Cheribon Landen (termasuk didalamnya wilayah kepangeranan Gebang) dan Cheribonsche-Preanger Landen yang masing-masing dikepalai oleh seorang prefect (kepala wilayah), ketentuan umum tersebut juga menjelaskan bahwa kedudukan para penguasa Cirebon dengan terbitnya Reglement op het beheer van Cheribonsche Landen (peraturan tentang pengelolaan wilayah Cirebon) menjadi seorang pegawai Belanda dengan posisi yang berada langsung dibawah prefect (kepala wilayah), ketiga penguasa Cirebon kemudian diberikan gelar hoofd-regent dan tetap diperkenankan untuk menggunakan tanda atau simbol-simbol kebesaran serta tata cara penghormatan yang selama ini berlaku di lingkungan kesultanan guna menjaga citra dari para penguasa Cirebon[50].

    Prefectuur (wilayah) Kesultanan Cheribon Landen dibagi menjadi 12 distrik dan dikepalai oleh seorang districts-tommongong (Tumenggung wilayah), para penguasa Cirebon yang diberikan jabatan hooft-regent diwajibkan untuk menyediakan beras sebesar 2.000 koyan (1 koyan = 1.853 kilogram) atau sekitar 3.706.000 kilogram per tahun dan pengakuan hutang sebesar 30.000 Rijksdaalder (bahasa Cirebon : Reyal Selaka) atau ringgit[82] per tahun[50].

    Pada tanggal 13 Maret 1809, Gubernur Jendral Herman Willem Daendels menunjuk Sultan Sepuh yang pada masa itu dijabat oleh Djoharuddin untuk mengepalai wilayah kabupaten Cirebon dan Kuningan, Sultan Anom Imamuddin ditunjuk sebagai kepala wilayah di Maja (Majalengka) sementara Pangeran Raja Kanoman yang sudah naik tahta sebagai Sultan Kacirebonan dijadikan kepala wilayah Indramayu[44]. Pada detail penjelasannya, peraturan yang dikeluarkan pada tanggal 13 Maret 1809 tersebut menyatakan bahwa wilayah yang berada dibawah pengelolaan masing-masing penguasa Cirebon adalah sebagai berikut[50],[83] :

    • Sultan Sepuh (pada masa itu dijabat oleh Sultan Sepuh Joharuddin), mengelola wilayah Talaga, Gebang, Kuningan, Cikaso, Losari dan sebagian Cheribon hoofd-negorij (wilayah pusat kesultanan Cirebon) dengan tanah pertanian seluas 4.239 jung (1 jung = 28.000 m2) atau seluas 118.692.000 m2 dan penduduk berjumlah 80,739 jiwa.
    • Sultan Anom (pada masa itu dijabat oleh Sultan Anom Abu Sholeh Imamuddin[34]), mengelola wilayah Panjaluh, Matangaji, Rajagaluh, Sindang Kasih, sebagian Bengawan Wetan (sekarang sekitar Palimanan hingga Plumbon) serta sebagian Cheribon hoofd-negorij (wilayah pusat kesultanan Cirebon) dengan tanah pertanian seluas 4.304 jung atau seluas 120.512.000 m2 dan penduduk berjumlah 76.622 jiwa.
    • Sultan Kacirebonan (pada masa itu dijabat oleh Sultan Kacirebonan I Amirul Mukminin Muhammad Chaeruddin II[32]), mengelola wilayah Kandang Haur, Bengawan Kulon (wilayah sebelah barat sungai Cimanuk) dan sebagian Bengawan Wetan (Indramayu, Jatibarang, Karang Ampel dan sekitarnya) dengan tanah pertanian seluas 4.293 jung atau seluas 120.204.000 m2 dan penduduk berjumlah 80.250 jiwa.

    Penghapusan Prefectuur Cheribonsche-Preanger Regentschappen dan pembentukan Landdrost-ambt den Cheribonsche Preanger-regentschappen

    Pada tanggal 20 Juni 1810, Gubernur Jendral Herman Willem Daendels membagi wilayah Priyangan berdasarkan hasil panen komoditas kopi. Wilayah Cianjur, Bandung, Parakan Muncang, dan Sumedang yang merupakan daerah yang menghasilkan banyak kopi dimasukan dalam Landdrost-ambt der Jacatrasche en Preanger bovenlanden (wilayah Jakarta dan dataran tinggi Priyangan) sementara Prefectuur Cheribonsche-Preanger Regentschappen (wilayah Cirebon Priyangan) yang menghasilkan sedikit kopi dihapus dan diganti menjadi Landdrost-ambt den Cheribonsche Preanger-regentschappen[84][85].

    Pertempuran Jawura dan Bantar Jati

    Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Pangeran Kusumahdinata IX dan Raden Surialaga II kemudian bergerak menuju wilayah Jatitujuh, Bagus Rangin yang mengetahui hal ini berusaha mengkonsolidasikan kekuatannya untuk memulai serangan terlebih dahulu, cara yang ditempuh oleh Bagus Rangin adalah dengan memasang umbul-umbul di lapangan Jawura guna menantang Belanda untuk berperang, lapangan Jawura merupakan sebuah lapangan yang memanjang dari timur ke barat dengan luas sekitar lima hektar yang berada di sebelah barat desa Kertajati[44].

    Raffan Hasyim (sejarahwan Cirebon) dalam penelitiannya tentang Bagus Rangin yang mengutip sumber-sumber tradisional Cirebon menyatakan bahwa strategi perang yang digunakan oleh Bagus Rangin memiliki kesamaan dengan strategi yang digunakan oleh Sultan Sepuh V Muhammad Syafiuddin yaitu menggunakan strategi perang Buaya Mangap, strategi perang Buaya Mangap merupakan strategi perang yang menggabungkan antara kekuatan pasukan gerilya, kesenian tradisional seperti tayub dan kemampuan untuk menyamar dan bersembunyi[45]. Bagus Rangin memerintahkan anak buahnya untuk memasang lengkungan-lengkungan janur, umbul-umbul merah dan ranting-ranting dari pohon beringin, setiap lengkungan janur dijaga oleh tiga orang prajurit Bagus Rangin, ada sekitar dua puluh lengkungan janur yang dipasang sebelum menuju ke tenda kesenian, antara satu tenda dengan tenda lainnya dijaga sekitar lima puluh pasukan Bagus Rangin yang bersembunyi, di dalam tenda kesenian tersebut para penari dan wiyaga (penabuh gamelan) yang juga merupakan para prajurit Bagus Rangin sibuk memainkan keseniannya[45], ketika sudah menjelang tengah malam pasukan Bagus Rangin mulai mengadakan serangan, dalam kesempatan tersebut banyak pasukan dari Ngabehi Dalem Indramayu yang memihak Belanda tewas, bahkan patih Indramayu yang bernama Astrasuta juga ikut tewas[45].

    Bagus Rangin pada persiapannya di lapangan Jawura menempatkan pasukannya di bagian utara dari lapangan tersebut, para komandan dari pasukan Bagus Rangin yang bersiap di lapangan Jawura diantara adalah Ki Buyut Merat, Ki Buyut Deisa, Ki Buyut Sena, Ki Buyut Jayakusuma, Ki Buyut Jago, Ki Buyut Teteg, Ki Buyut Huyung, Ki Buyut Bongkok, dan Ki Buyut Jasu. Pasukan Belanda yang melihat umbul-umbul yang dipasang oleh Bagus Rangin di lapangan Jawura kemudian segera membagi pasukannya, untuk menyerang pasukan Bagus Rangin[44].

    Pada tahun 1810 Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte melakukan aneksasi terhadap Belanda dan setelah kabar ini diterima oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels, Gubernur Jendral kemudian melakukan pengibaran bendera Perancis, hal ini kemudian diketahui oleh Thomas Stamford Raffles dan mengunjungi Lord Minto Gubernur Jendral Britania di India untuk mengusir Belanda dari Jawa dan hal tersebut disetujui oleh Gubernur Jendral Britania untuk India - Lord Minto. Pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 2 Maret 1810, Sultan Kacirebonan I Muhammad Chaeruddin II[32] yang dahulunya adalah Pangeran Raja Kanoman dipecat dari jabatannya oleh Belanda karena dianggap selalu menentang pemerintah Belanda[86], rakyat Cirebon pada masa itu dikatakan marah dengan keputusan yang diambil oleh Pemerintah Belanda dikarenakan sosok Sultan Kacirebonan dikenal sebagai pemimpin yang selalu berpihak kepada rakyat[44].

    Pada tanggal 22 Juli 1810, pasukan Bagus Rangin dapat mengalahkan pasukan Belanda yang dipimpin Pangeran Kusumahdinata IX dari Sumedang dekat wilayah Bantarjati, sementara pasukan Bagus Rangin lainnya dibawah komando Ki Buyut Merat dan Ki Buyut Deisa dapat mematahkan pertahanan dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Raden Surialaga II, dengan keterbatasan persenjataan dan personil, pasukan Bagus Rangin kemudian terpaksa mundur, hal ini dimanfaatkan oleh pasukan Belanda untuk melawan balik dengan memblokade wilayah Jatitujuh, hal tersebut dilakukan untuk memutus hubungan antar kelompok pasukan Bagus Rangin sekaligus mempersempit ruang geraknya, Pangeran Kusumahdinata IX kemudian dapat membangun kekuatan pasukannya kembali dan memukul mundur pasukan Bagus Rangin hingga ke wilayah Panongan[44].

    Invasi Britania ke Hindia Belanda

    Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur Jenderal Inggris untuk wilayah Jawa setelah mengalahkan Belanda dan terjadi Kapitulasi Tuntang.

    Pada bulan Desember 1810, Britania membentuk lima batalion baru pasukan yang berjumlah 4.000 orang di Bengali, India, dimana didalamnya terdapat Batalion Infanteri Ringan, untuk ditempatkan dalam pasukan ekspedisi Britania yang pada waktu itu tengah dipersiapkan di Penang dan Melaka untuk menyerang pasukan Belanda (yang pada masa itu telah berada dibawah Perancis) di pulau Jawa, hampir setengah dari batalion yang dibentuk tersebut beranggotakan orang-orang yang berasal dari wilayah Kepresidenan Bengali, India, anggota-anggota batalion Bengali diantaranya diambil dari wilayah Bihar, Rajputana (kini sebagian besar menjadi negara bagian Rajasthan), wilayah Oudh (kini bagian dari negara bagian Uttar Pradesh) dan ada pula anggota batalion yang berasal dari daerah-daerah barat laut India lainnya. Anggota pasukan batalion yang kebanyakan berasal dari wilayah utara India tersebut sebagian besar merupakan anggota keluarga Hindu dari kasta yang tinggi serta mereka merupakan anggota dari keluarga-keluarga pemilik tanah yang kaya raya, hal ini berbeda dengan komposisi pasukan Britania yang berasal dari kepresidenan Bombay (Mumbai) atau Madras (Chennai), bahkan perwira dan bintara muda yang merupakan bagian dari anggota batalion Bengali banyak yang berasal dari keluarga kelas atas tersebut[87], masalah yang timbul dari komposisi pasukan Bengali yang demikian adalah sisi senioritas anggotanya, kenaikan pangkat yang terjadi pada batalion Bengali tidaklah melihat kemampuan yang ditunjukan oleh anggotanya, hal ini berkebalikan dengan proses kenaikan pangkat anggota batalion yang berasal dari kepresidenan Bombay (Mumbai) atau Madras (Chennai) yang fokus melihat pada kemampuan yang ditunjukan oleh anggotanya, sehingga pada masa tersebut para perwira yang berasal dari batalion Bengali seringkali diisi oleh para anggota batalion yang sudah berusia lanjut dan lemah fisiknya[87].

    Pada tahun 1796, Britania pernah melakukan reorganisasi resimen (pasukan yang terdiri dari beberapa batalion), bahwa para perwira resimen pasukan Sepoy (pasukan yang terdiri dari orang-orang India) yang berbangsa eropa terdiri atas orang-orang yang berusia muda, kebanyakan dari perwira muda eropa ini diambil langsung dari anggota-anggota resimen Britania dari wilayah perbatasan di India yang pada masa itu dikenal sebagai resimen-resimen raja (King's Regiments), kekurangan para perwira muda yang berasal dari resimen-resimen raja ini adalah mereka kurang mendapatkan pendidikan dan pengetahuan dalam pemahaman bahasa dan budaya India setempat sehingga menyebabkan hubungan antara para perwira eropa muda dengan bawahannya pada masa tersebut menjadi lebih longgar[87].

    Pasukan batalion Bengali meskipun memiliki kekurangan namun mereka menjadi pasukan tempur yang dapat diandalkan, batalion Bengali telah terkenal sebagai prajurit yang tangguh dan disiplin serta memiliki penampilan yang lebih mengesankan jika dibandingkan dengan batalion yang berasal dari kepresidenan Bombay (Mumbai) atau Madras (Chennai), menurut ahli sejarah dari abad ke 19, anggota batalion Bengali merupakan prajurit yang memiliki bentuk tubuh paling baik namun mereka juga dapat dikatakan agak kurang patuh serta tidak sanggup bertahan dalam jagka waktu lama di tempat-tempat yang terletak jauh dari daerah asal mereka, hal ini dikarenakan mereka tidak diizinkan untuk membawa anggota keluarga mereka ketika mereka masih aktif berdinas, hal tersebut berbeda dengan anggota batalion dari kepresidenan Bombay (Mumbai) atau Madras (Chennai) yang diizinkan untuk membawa anggota keluarga mereka. Pasukan ekspedisi Britania tersebut berlayar pada bulan Juli 1811[87].

    Cirebon menjelang invasi Britania

    Thomas Stamford Raffles dalam upayanya menyerang Belanda (yang pada masa itu telah dikuasai oleh Perancis) telah mengirimkan mata-matanya ke beberapa wilayah di nusantara, mata-mata pribumi yang dipekerjakan oleh Thomas Stamford Raffles bertugas untuk meneliti situasi di nusantara, sementara tugas untuk mencari jalur laut yang aman menuju pulau Jawa dibebankan kepada mata-matanya yang berkebangsaan asing seperti David Macdonald, John Scott, Charles Tait, William Greigh serta Letnan Smith. Pada laporan yang Thomas Stamford Raffles terima beberapa bulan sebelum Jawa berhasil dikuasai, disimpulkan bahwa administrasi yang dijalankan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie di Jawa dinilai sangat buruk, terkait Cirebon, Thomas Stamford Raffles menerima laporan bahwa wilayah Cirebon yang subur dinilai oleh Belanda selalu mengecewakan secara finansial padahal para penguasanya selalu menyetorkan berbagai komoditas yang diperoleh dari masyarakatnya terutama kopi kepada Belanda melalui pejabat penghubungnya di Cirebon[50].

    Pejabat penghubung Belanda di Cirebon dengan mekanisme penyetoran tersebut memperoleh penghasilan sekitar 80.000 hingga 100.000 Real Spanyol (Dollar Spanyol) per tahun, sementara para penguasa Cirebon terus menerus dimiskinkan, akibatnya para penguasa Cirebon semakin menekan masyarakatnya, namun disisi lain para penguasa Cirebon dan pejabat kolonial Belanda memperlakukan orang-orang Cina (bahasa Cirebon : sinko) dengan istimewa, keadaan ini membuat masyarakat Cirebon tidak kuat lagi menerima tekanan dan melakukan gerakan perlawanan rakyat[50].

    John Crawfurd (komisioner khusus Britania untuk bidang agraria di Cirebon, John Crawfurd diangkat pada 19 Juli 1813 dan berakhir jabatannya pada Desember 1813[50]) pada catatannya menyatakan bahwa hingga masa jabatan Herman Willem Daendels dan Jan Willem Janssens masyarakat Cirebon dikenakan delapan jenis pungutan yang pembayarannya jarang sekali ditangguhkan, ke delapan pungutan atau pajak tersebut yaitu[50] ;

    • Upeti hasil padi sebesar lima belas persen dari hasil panen (namun pada kenyataannya persentase diterapkan sesuka hati)
    • Pajak keluarga atau pajak per kepala (sebagian dipungut atas nama pemerintah dan sebagian lagi atas nama kepala daerah setempat)
    • Pajak pasar (dipungut untuk setiap barang komoditas yang dihasilkan)
    • Pajak pemotongan sapi (dipungut sebagai upaya pengembang biakan sapi)
    • Pajak penginapan dan makanan bagi orang yang bepergian, pengangkutan, bagasi dan penyimpanan barang
    • Kewajiban untuk membangun dan memperbaiki sarana umum
    • Kewajiban untuk menanam dan menyetorkan komoditas ekspor (terutama kopi)
    • Pajak keagamaan sebesar satu per dua puluh dari total padi hasil panen (namun pada kenyataannya yang diambil adalah sepersepuluh dari total padi hasil panen)

    Para penguasa Cirebon dan invasi Britania

    Pada tanggal 2 Rabiul Akhir 1226 hijriah atau sekitar tanggal 26 April 1811, Sultan Sepuh Joharuddin menerima surat bertanggal 19 Desember 1810 dari Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles yang dibawa oleh Tengku Pangeran Sukmadilaga[88] (nama aslinya Sayid Zain dari kerajaan Siak)[50] ketika beliau sedang berada di wilayah desa Singaraja, Indramayu menjalankan perintah dari Belanda untuk berjaga-jaga jika Britania akan datang menyerang, dengan ditemani oleh Raden Ngabehi Balah Ludur (dalam penelitiannya Hazmirullah mentranslasikannya sebagai Ngabehi Wiralodra[88]) Tengku Pangeran Sukmadilaga selain membawa surat resmi dari Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles beliau juga membawa enam orang bangsawan Cirebon dari Melaka, mereka adalah Pangeran Arya Kidul, Pangeran Raja Kartaningrat, Pangeran Arya Suminta Raja, Raden Sudirabrata, Tumenggung Mangkunegara dan seorang Imam Qadhi, namun Sultan Sepuh Joharuddin menyatakan tidak bisa menerima ke enam orang tersebut karena takut ketahuan oleh Belanda dan meminta agar Pangeran Sukmadilaga membawa mereka kembali ke Melaka[88].

    Surat yang dibawa Pangeran Sukmadilaga tersebut berisi mengenai penyerangan Britania kepada pihak Belanda di Jawa, dalam suratnya Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles berjanji tidak akan memperlakukan para penguasa dan rakyat secara kejam seperti yang dilakukan oleh orang-orang Belanda dan Perancis.[88].

    Pada surat balasannya yang ditulis tengah malam pada tanggal 2 Rabiul Akhir 1226 hijriah, Sultan Sepuh Joharuddin yang juga mengatasnamakan Sultan Anom Cirebon menyatakan persetujuannya atas rencana invasi Britania ke Jawa[88]

    Gubernur Jendral Jan Willem Janssens

    Pada tanggal 16 Mei 1811 kedudukan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels sebagai penguasa Hindia Belanda digantikan oleh Gubernur Jendral Jan Willem Janssens[76] seorang pejabat Belanda yang sebelumnya telah mengalami kekalahan dan akhirnya menyerahkan wilayah koloni Belanda di Tanjung Harapan, Afrika kepada Britania[89]

    Menindaklanjuti rencana pengusiran Belanda maka pada sekitar bulan Juni 1811 Pemerintah Britania atau yang dalam bahasa inggris disebut Britain (Penggabungan kerajaan Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara) yang menguasai India, Burma dan Semenanjung Melayu mulai berlayar dari Melaka menuju Batavia, mereka membawa sekitar 100 kapal dengan 12.000 prajurit, gubernur Jenderal East Indies Company (EIC) Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound, 1st Earl of Minto dan Thomas Stamford Raffles juga turut berada didalam rombongan tersebut[90]. Pada tanggal 3 Agustus 1811, pasukan Britania telah sampai di Batavia[90] dan pada tanggal 4 Agustus 1811 pasukan Britania telah mendarat di pulau Jawa[29], pada bulan yang sama tepatnya tanggal 26 Agustus 1811 perang besar antara Hindia Belanda dan pihak Britania dimulai dan menghasilkan kekalahan Belanda, hasil peperangan tersebut membuat Belanda menyingkir ke Semarang sampai akhirnya Belanda di bawah Gubernur Jendral Jan Willem Janssens yang menggantikan Herman Willem Daendels pada tanggal 16 Mei 1811 kemudian menyerah kepada Britania di Salatiga dan menandatangani kapitulasi Tuntang pada tanggal 18 September 1811[29]. Kemenangan ini kemudian menjadikan Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Britania (bawahan Gubernur Jendral) untuk wilayah Jawa.

    Pada tanggal 9 Januari 1812 Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles memerintahkan Couperus (seorang komisaris di Cianjur) untuk mengumpulkan 500 orang prajurit dari Cianjur yang nantinya akan dipimpin oleh bupati Cianjur Raden Wiranegara (Raden Adipati Wira Tanu Datar VI) untuk dikirim ke wilayah Karawang guna menumpas kelompok Bagus Rangin[44], Raden Wiranegara merupakan seorang bupati yang dihormati oleh para bupati lainnya di priyangan, beliau juga termasuk bupati yang memerintah sangat lama yaitu sejak 1776, bahkan ada bawahan beliau dahulu yang menjadi bupati seperti Pangeran Kusumahdinata IX (bupati Sumedang) yang ketika masih muda pernah menjadi Cutak (bawahan) beliau[91], selain memerintahkan Couperus di Cianjur, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles juga memerintahkan hal yang sama kepada Mangkunegaran di Surakarta, pasukan Mangkunegaran kemudian berangkat dengan dipimpin oleh Pangeran Mayor Surianegara dan Suriadipura[92], demikian pula Raden Surialaga II kembali diperintahkan untuk mengerahkan kembali pasukannya[44].

    Pergantian kekuasaan kolonial di Cirebon dijadikan kesempatan oleh kelompok Bagus Rangin untuk mengkonsolidasikan kekuatan pasukannya[44]. Raden Benggala (Adipati Wiralodra) dari Indramayu kemudian meminta bantuan Pangeran Udaka dari kesultanan Kasepuhan[45] (dikemudian hari selepas meninggalnya Sultan Sepuh Joharuddin beliau naik tahta menjadi Sultan Sepuh Raja Udaka) untuk menumpas perlawanan Bagus Rangin, Pangeran Udaka lantas menghubungi pemerintah kolonial Britania terkait masalah ini. Pasukan gabungan dari pemerintah Britania, para bupati Priyangan, Indramayu dan kesultanan Kasepuhan segera bergerak dengan tujuan untuk mengepung kelompok Bagus Rangin[45].

    Pertempuran Bantarjati II

    Pada tanggal 16 Februari 1812 terjadi lagi pertempuran di wilayah Bantarjati, pada tanggal 29 Februari 1812 pasukan Bagus Rangin dapat dipukul mundur dan akhirnya menderita kekalahan, 87 orang prajurit Bagus Rangin tewas, 227 orang pasukannya beserta dua orang pemimpinnya berhasil ditangkap, dua puluh tiga pucuk senapan, sembilan belas buah tombak, dua puluh tujuh pedang, tiga buah keris serta payung kebesaran yang dipercaya sebagai milik Bagus Rangin dan perlengkapan wayang berhasil dirampas oleh pasukan kolonial Britania, selain itu 776 orang keluarga besar Bagus Rangin serta keluarga sebagian pasukannya yang terdiri dari wanita dan anak-anak juga turut ditahan[44], namun dalam kesempatan tersebut Bagus Rangin dan Bagus Serit berhasil meloloskan diri[45].

    Pengunduran diri Sultan Sepuh Joharuddin dari jabatan politik

    Pada surat tertanggal 25 Rabiul Awal 1227 hijriah atau 25 Mulud 1739 tahun alip Jawa yang bertepatan dengan tanggal 8 April 1812 Sultan Sepuh Joharuddin menulis surat kepada Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles yang berisi penerimaan dirinya untuk pensiun dari jabatan politik[50].

    Besaran uang yang diterima oleh Sultan Sepuh Joharuddin sebelum memutuskan untuk menerima keputusan pensiun pada masa pemerintahan Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles adalah sebesar 4000 Rijksdaalder atau 4000 uang perak (bahasa Cirebon : reyal selaka) per tahun[50]

    Kegagalan Nairem, penangkapan Bagus Rangin dan hukuman mati

    Pencarian terhadap Bagus Rangin dan kelompoknya yang berhasil melarikan diri dilakukan pemerintah kolonial Britania dengan menyisir desa desa di sekitar Bantarjati seperti desa Biyawak dan desa Jatitujuh, fasilitas umum dan rumah-rumah warga yang ada di desa-desa tersebut dibakar, wanita dan anak-anak kemudian dibawa ke Indramayu untuk dijadikan tahanan namun Bagus Rangin dan kelompoknya tersebut belum dapat ditemukan, operasi militerpun terus dilakukan di desa-desa lainnya yang diduga sebagai tempat persembunyian Bagus Rangin dan kelompoknya, termasuk di desa Kedongdong[45]. Adanya perang besar antara Hindia Belanda dan Britania atau yang dikenal dengan nama perang jawa Britania-Belanda tidak begitu menguntungkan gerakan perjuangan ini, terbukti dengan ditemuinya kegagalan setelah gerombolan yang dipimpin oleh Nairem yang merupakan seorang Demang dari Pagadangan (Supali Kasim seorang budayawan asal Indramayu berpendapat bahwa yang dimaksud wilayah Pagadangan kemungkinan adalah Pekandangan[72]) dapat dikalahkan pada tanggal 25 Juni 1812[93] kemudian Bagus Rangin dan para pengikutnya dapat ditangkap oleh pemerintah Britania pada tanggal 27 Juni 1812 di desa Panongan[44] (namun menurut keterangan Mayor William Thorn yang dituangkan dalam catatannya Memoir of the Conquest of Java yang diterbitkan pada 1815 beliau menjelaskan bahwa Bagus Rangin ditangkap bersama dengan keponakannya yang bernama Bagus Manuk dan pamannya yaitu Grissen atau Sidja Djuda ditangkap pada tanggal 28 Juni 1812[93]) dan dihukum mati di desa Karang Sambung (dahulu merupakan tempat penyebrangan ramai yang menghubungkan sisi barat dan timur sungai Cimanuk) pada tanggal 12 Juli 1812[45][94].

    Pada tanggal 14 Juni 1813, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles menyatakan akan merubah secara radikal sistem di tanah Jawa, tiga poin utama dalam skema reformasi agraria oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles yaitu[50] ;

    • Penghapusan verplichte leverantie atau pengiriman paksa produk tertentu (seperti kewajiban upeti dan kewajiban pengiriman barang komoditas dengan harga yang tidak memadai) serta penghapusan semua layanan feodal dengan memberikan kebebasan dalam hal budi daya dan perdagangan.
    • Pengawasan tanah secara langsung dengan mengumpulkan pendapatan dan sewa tanpa intervensi dari bupati, kewenangan bupati difokuskan hanya kepada tugas pelayanan publik.
    • Penyewaan tanah diasumsikan dalam bentuk perkebunan dan disewakan hanya untuk jangka menengah.

    Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles merasa perlu agar secepatnya melakukan pengambilalihan kepemilikan lahan dari para penguasa setempat, dimana pada masa lalu keuntungan dari penyewaan lahan ini dinikmati oleh para bupati[50].

    Kesepakatan antara Raffles dengan Sultan Sepuh Joharuddin dan Sultan Anom Komaruddin I

    Pada bulan Juli 1813, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles menyatakan puas karena telah mencapai kesepakatan dengan para Sultan di Cirebon (pada masa itu dijabat oleh Sultan Sepuh Joharuddin dan Sultan Anom Komaruddin I[34]), menurut Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles para Sultan merasa lega mendapat jaminan masa depan dan penyeleseian rmasalah kerja atau pelayanan paksa, para Sultan setuju bahwa administrasi internal harus dikelola oleh pemerintah dengan syarat mereka memperoleh jaminan dalam hal kepemilikan terhadap bidang tanah tertentu dan adanya pemberian uang pensiun tahunan yang berkelanjutan[50].

    Sultan Sepuh Joharuddin dan Sultan Anom Komaruddin I mendukung pandangan pemerintah dan yakin bahwa sistem yang diterapkan terdahulu mengenai pelayanan dan pengiriman paksa memiliki kecenderungan yang buruk, Sultan Sepuh Joharuddin dan Sultan Anom Komaruddin I juga setuju terhadap rencana penghapusan pajak kapitasi dan perlunya memperkenalkan kebijakan tentang penyewaan tanah dimana sewa tanah dihitung berdasarkan hasil produksi lahan, kebijakan tersebut ditujukan untuk mengganti semua kewajiban akan upeti yang sebelumnya diberlakukan[50].

    Pada tanggal 20 Juli 1813 melalui penegasan (resolution statement) dinyatakan bahwa Sultan Sepuh Joharuddin berhak atas tanah keraton Kasepuhan dan petak tanah di blok Sunyaragi[95]

    Pada tahun 1814, Sultan Kacirebonan I Muhammad Chaeruddin II meninggal dunia[96].

    Pada tahun 1815 Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles menaikan uang pensiun untuk Sultan Sepuh Joharuddin dan Sultan Anom Komaruddin I sebesar 8.000 Rijksdaalder per tahun, sementara janda Sultan Kacirebonan I yaitu Ratu Resmininingpuri yang merupakan wali bagi anaknya yang bernama Pangeran Madenda (PM) Hidayat[96] diberikan tunjangan sebesar 600 Rijksdaalder per tahun[94], kenaikan uang pensiun bagi Sultan Sepuh Joharuddin dan Sultan Anom Komaruddin I dilakukan seiring dengan reformasi agraria yang dilakukan secara menyeluruh di Cirebon, Banten dan wilayah lainnya[50]. Pemberian kenaikan tunjangan pensiun bagi Sultan Sepuh Joharuddin dan Sultan Anom Komaruddin I dilakukan untuk mencegah para Sultan dari memeras rakyatnya dan hanya bergantung hidup dari upeti-upeti yang dikirimkan oleh masyarakat, selain kenaikan uang pensiun, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles juga memberikan lahan persawahan bebas pajak yang secara jelas ditentukan batas-batasnya[97].

    Pembentukan karesidenan Cirebon

    Pada tahun 1815 Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles melakukan penataan wilayah dan administrasi di wilayah Hindia Belanda dengan tujuan mengoptimalkan sistem pemeritahan langsung, Jawa kemudian dibagi menjadi enam belas karesidenan yang diperintah oleh seorang residen dari kalangan orang eropa, salah satu karesidenan yang dibentuk pada masa itu adalah karesidenan Cirebon[98]. Residen Britania yang pernah menjabat di Cirebon diantaranya adalah W. J Davy[99] (1815) yang bertugas ketika Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles memandang perlunya dilakukan pelatihan inheemschen tentang kiat inokulasi cacar dan pengobatan penyakit kelamin di rumah sakit - rumah sakit di kota besar[99]. kemudian Letnan Hanson (1816)[100]

    Masa akhir kekuasaan Britania dan berkuasanya kembali Belanda

    Gerakan perjuangan rakyat Cirebon ini sempat muncul kembali di bawah pemimpin lainnya setelah Britania di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles memerintahkan langsung kepada Cirebon untuk menyingkirkan kekuasaan politik dari para sultannya, sehingga sultan hanya sebagai pemimpin adat dan agama saja, gerakan perjuangan tersebut ialan gerakan perjuangan tahun 1816 di bawah pimpinan Bagus Jabin dan gerakan perjuangan tahun 1818 di bawah pimpinan Nairem.

    Pada 16 Januari 1816, setelah terjadi pemberontakan pasukan Sepoy di Jawa, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles meminta Residen Britania untuk kesultanan Yogyakarta yaitu Dr Daniel Ainslie untuk menyerahkan jabatannya kepada John Crawfurd, Dr Daniel Ainslie dikatakan sebagai seorang Residen Britania yang tidak efektif sementara Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles menganggap bahwa John Crafwurd jauh lebih berpengalaman. Para anggota pasukan Sepoy yang memberontak itu kemudian mulai diadili dan mendapatkan hukuman yang berat, 17 orang diantaranya dihukum tembak di Semarang sementara 50 orang lainnya dikirim kembali ke Bengali[87].

    Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles menuntut agar Batalion Infranteri Ringan yang dibentuk pada tahun 1810 di Bengali segera dipulangkan ke tempatnya, namun ternyata hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan alasan kurangnya personil militer Britania di Jawa dalam masa transisi pemindahan kekuasaan dari Britania ke Belanda. Pemerintah Belanda kemudian mengambil alih sekitar satu detasemen pasukan berkuda yang berisi orang-orang Bengali, Belanda kemudian menempatkan mereka sebagai satuan polisi berkuda[87].

    Pada tanggal 19 Agustus 1816, Jawa dikembalikan kepada Belanda dari Britania[101] setelah berakhirnya perang Napoleon dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles meninggalkan Jawa dan kembali ke Inggris.

    Perjuangan Bagus Jabin

    Pada tanggal 8 Desember 1816 sekitar empat bulan setelah Jawa diserahkan kembali dari Britania kepada Belanda, beredar kabar bahwa sekitar 2500 orang penduduk yang berasal dari Karawang, Ciasem dan Pamanukan dengan bersenjata lengkap berusaha mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Kelompok perlawanan rakyat tersebut dipimpin oleh seorang pemuda berusia 16 tahun yang bernama Bagus Jabin, Bagus Jabin merupakan keponakan dari Bagus Rangin[44] yang telah dihukum mati oleh pemerintah kolonial Britania pada tanggal 12 Juli 1812 di wilayah Karang Sambung[45][94]. Kelompok Bagus Jabin berkumpul di Lohbener dan berniat untuk menyerang Kandang Haur, alasan penyerangan adalah untuk menggulingkan kepala daerah yang bekerjasama dengan Belanda, menuntut Belanda menghentikan sistem upeti dan mengurangi pajak[44].

    Pertempuran Kandang Haur

    Pada tanggal 9 Desember 1816 kelompok Bagus Jabin berhasil menduduki Kandang Haur, mendengar berita pendudukan Kandang Haur, Residen Belanda untuk Cirebon yaitu Willem Nicolaas Servatius segera mengepung wilayah Kandang Haur selama sepuluh hari, Residen Willem Nicolaas Servatius kemudian memberikan peringatan agar Bagus Jabin segera menyerahkan diri namun peringatan Residen Willem Nicolaas Servatius tidak ditanggapi, maka pada tanggal 20 Desember 1816 Residen segera menyerang Kandang Haur dari arah Losarang (timur), serangan Residen Willem Nicolaas Servatius dapat ditahan oleh kelompok Bagus Jabin[44].

    Residen Priyangan Gerrit Willem Casimir van Motman turut mengirim pasukannya yang berangkat melalui Wanayasa, pasukan Residen Priyangan Gerrit Willem Casimir van Motman diperkuat oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Raden Adipati Adiwijaya[44] (putera bupati Sumedang Pangeran Kusumahdinata IX) yang juga merupakan bupati Limbangan sejak 1813 (sekarang bagian dari kabupaten Garut)[102]. Pasukan keduanya kemudian berkumpul di Losarang, selain dari Priyangan dan pasukan Raden Adipati Adiwijaya, Belanda juga turut mengirim pasukan dari Semarang sebanyak 160 orang serta pasukan dari Bengawan Wetan (Palimanan) yang dipimpin oleh Raden Tumenggung Nitidiningrat, besarnya pasukan bantuan Belanda membuat kelompok Bagus Jabin terdesak, anggota kelompok Bagus Jabin yang hendak menyelamatkan diri menyebrangi Cimanuk di sebelah selatan dan timur harus berhadapan dengan pasukan Belanda yang datang dari arah Cirebon, dari peristiwa pertempuran Kandang Haur hanya dua puluh lima orang kelompok Bagus Jabin yang berhasil menyelamatkan diri, sementara 500 orang lainnya berhasil ditangkap, 100 orang mengalami luka berat dan 60 orang tewas dalam pertempuran tersebut, sementara dari pihak Belanda 15 orang tewas, termasuk didalamnya 4 orang asing dan 11 orang pribumi. Kelompok Bagus Jabin yang berhasil ditawan kemudian dibawa ke Cianjur untuk diadili[44].

    Akhir perang besar Cirebon

    Peta oleh Isaac de Graaff yang menggambarkan wilayah sungai Sikaro dan sungai besar Indramayu (Cimanuk) (kiri), Pos Dagang Belanda (kanan atas) yang terletas pada pertemuan sungai Sikaro dan sungai besar Indramayu serta Fort de Beschermingh (kanan bawah) pada sekitar tahun 1690 - 1743

    Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen yang menjabat pada masa itu memerintahkan untuk mengirimkan pasukan secara besar-besaran dalam menyikapi masalah perang di Cirebon. Pada tanggal 25 Januari 1818 sebuah kapal meriam dikirim dari Batavia ke Cirebon dibawah pimpinan Letnan W H Hunter, sementara dari Semarang satu detasemen pasukan Belanda dibawah pimpinan kapten Couvreur juga dikirim ke Cirebon[44].

    Pada tanggal 27 Januari 1818, pasukan Bengali dan pasukan berkuda pimpinan Halshuher Van Harloch dikirim dari Bogor untuk diperbantukan melawan kelompok perjuangan rakyat di Cirebon, sesampainya di Cirebon mereka di istirahatkan di Karang Sambung bersama dengan pasukan Belanda lainnya yang berasal dari wilayah Priyangan[44].

    Pada tanggal 1 Februari 1818 pasukan Belanda mulai bergerak dari wilayah kota Cirebon menuju wilayah Jamblang, kemudian berencana untuk memulai serangan ke wilayah Kedongdong yang dipercaya sebagai pusat dari kelompok Bagus Jabin, namun hal tersebut tidak jadi dilakukan dikarenakan ada pergantian pimpinan dari Letnan Kolonel Richendut yang diangkat oleh panglima pasukan Belanda, penggantian tersebut menimbulkan ketidakpuasan diantara para prajurit Belanda, misalnya saja Kapten Mulder, Letnan van Steenis dan Kapten van Gent yang diberi tugas untuk mengepung dan menyerang Kedongdong namun mereka abaikan, dengan begitu rencana penyerangan mengalami kegagalan, bahkan pasukan Belanda terpaksa mundur ke wilayah Palimanan. Pasukan Bagus Jabin terus mengejar pasukan Belanda, dalam peristiwa tersebut Letnan van Hooru, Letnan Wessel dan Kapten Kalberg terbunuh[44].

    Pasukan Belanda kemudian mendapatkan bantuan dari pasukan Bengali dan pasukan berkuda pimpinan Letnan Borneman dan Kapten Elout, dengan bantuan pasukan tersebut mereka dapat menghentikan pasukan Bagus Jabin, pasukan Bagus Jabin kemudian mundur sampai ke seberang sungai Sikaro, anak sungai Cimanuk. Pemerintah Belanda kemudian mengumumkan akan memberi hadiah 500 Real Spanyol (Sp M) bagi yang bisa menangkap hidup-hidup para pemimpin besar seperti Bagus Jabin dan Nairem, 250 Real Spanyol (Sp M) bagi yang dapat menyerahkan pemimpin bawahan dan 100 Real Spanyol (Sp M) bagi siapa saja yang dapat menyerahkan anggota pejuang rakyat, setelah pasukan Belanda bertambah kuat maka desa-desa yang semula dikuasai pasukan pejuang dapat dikuasai kembali[44].

    Nairem kemudian dapat ditangkap pada tanggal 25 Februari 1818, setelah ditangkapnya Nairem, wilayah Rajagaluh, Kedongdong dan Palimanan dapat dikendalikan dan untuk menjaga keamanan daerah-daerah tersebut disepakati untuk dibangun sarana militer dan penempatan pasukan[44], akhirnya kedua perjuangan tersebut pun menemui kegagalan.

    Pada saat Belanda sedang membangun sarana militer di Palimanan, Bagus Serit bersama dengan 50 orang pasukannya datang menghancurkan sarana dan prasarana militer tersebut serta merampas senjata dan pakaian yang berada disana, pasukan Belanda kemudian mundur ke wilayah kali Tanjung, disana pasukan Belanda yang dipimpin oleh Krieger berusaha untuk menghimpun kekuatan[44].

    Bagus Serit sebenarnya pernah berusaha untuk mengajak para penguasa Cirebon yakni Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Sultan Kacirebonan untuk membantu perjuangannya sekaligus membebaskan Cirebon dari penjajahan Belanda, beliau mengirimkan surat yang dibawa oleh kurirnya, namun ajakan Bagus Serit tersebut ditolak oleh Sultan Sepuh, Sultan Sepuh kemudian menangkap kurir Bagus Serit tersebut dan melaporkan permasalahan ini kepada Belanda, Belanda kemudian mengumumkan akan memberikan 2.200 Gulden kepada siapa saja yang dapat menangkap Bagus Serit hidup atau mati[44]. Pada tanggal 8 Agustus 1818 terjadi pertempuran antara pasukan perjuangan rakyat dengan pasukan Belanda disekitar wilayah Sumber, Cirebon dimana pasukan Belanda sempat mengalami kekalahan sebelum akhirnya pasukan Sultan Sepuh Raja Udaka datang untuk membantu Belanda, dalam pertempuran tersebut akhirnya Bagus Serit dapat ditangkap oleh pasukan Sultan Sepuh Raja Udaka dan untuk keberhasilannya menangkap Bagus Serit, Sultan Sepuh Raja Udaka kemudian diberikan penghargaan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda[44].

    Berdasarkan keputusan pengadilan, Nairem bersama dengan Bagus Serit dijatuhi hukuman mati pada tanggal 31 Oktober 1818[44].

    Pembangunan benteng di Tomo (Sumedang) dan Palimanan (Cirebon)

    Pasca sederetan peristiwa perjuangan rakyat tersebut, diputuskan agar dibangun benteng di wilayah Tomo (Sumedang) dan wilayah Palimanan (Cirebon)[65].

    Penghargaan Belanda kepada para bupati

    Pasca peristiwa perjuangan rakyat tersebut, Pangeran Kusumahdinata IX dari Sumedang secara resmi diberikan pangkat Pangeran dan penghargaan Bintang Emas oleh Belanda. Raden Surilaga II secara resmi diberikan pangkat Adipati dan dijadikan bupati Indramayu (setelah wilayah wilayah bekas perjuangan rakyat yang berbatasan dengan Sumedang tersebut disatukan dengan sebagian wilayah Bengawan Wetan dan dijadikan kabupaten Indramayu), namun karena ada peristiwa perubahan sebagian tanah Indramayu menjadi tanah partikelir maka Raden Surialaga II kemudian dipindah tugaskan menjadi bupati di Sukapura (sekarang sekitar Tasikmalaya dan Garut)[65]

    Perubahan sebagian status tanah Indramayu menjadi Partikelir

    Pasca rentetan peristiwa perjuangan rakyat tersebut, terutama dalam kasus Bagus Rangin dan kelompoknya, Belanda mengalami kerugian mencapai 1.830 florijn (Gulden)[103] dikarenakan menjalankan permintaan bupati (pada masa itu adalah Raden Benggala[45]) untuk menumpas perjuangan rakyat tersebut, dikarenakan bupati setelah selesainya kasus perjuangan rakyat tersebut tidak mampu untuk membayar maka bupati menyerahkan daerahnya kepada pihak yang telah membantunya, sejak saat itulah era tanah partikelir di Indramayu bermula, tanah-tanah ini kemudian diperjualbelikan kepada pihak swasta[71]

    Referensi

    1. ^ a b Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Bandung: Pustaka Jaya
    2. ^ a b c de Graaf, Hermanus Johannes. 1987. Runtuhnya istana Mataram. Bogor : Grafiti Pers
    3. ^ a b c d e f g h i Deviani, Firlianna Tiya. 2016. Perjanjian 7 Januari 1681 Dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M - 1755 M). Cirebon : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati
    4. ^ Sunardjo, R. H. Unang . 1996. Selayang Pandang Sejarah Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon : kajian dari aspek politik dan pemerintahan. Cirebon : Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon
    5. ^ Mansyur, Khatib. 2001. Perjuangan rakyat Banten menuju provinsi : catatan kesaksian seorang wartawan. Serang : Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Provinsi Banten
    6. ^ Suparman, Sulasman, Dadan Firdaus. 2017. Tawarikh : Political Dynamics in Cirebon from the 17th to 19th Century. Bandung : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati
    7. ^ a b c d Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1982. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
    8. ^ de Jonge, Johan Karel Jakob. 1873. De opkomst van het Nederlandsch gezag over Java: verzameling van onuitgegeven stukken uit het oud-koloniaal archief, Volume 4. s Gravenhague The Hague : Martinus Nijhoff
    9. ^ a b c d Heniger, J. 2017. Hendrik Adriaan Van Reed Tot Drakestein 1636-1691 and Hortus, Malabaricus. Abingdon-on-Thames : Routledge
    10. ^ Michrob, Drs Halwani, Drs A. Mudjahid Chudori. 1993. Catatan Masa Lalu Banten. Serang: Penerbit Saudara
    11. ^ a b Molsbergen, Everhardus Cornelis Godee. 1931. Uit Cheribon's geschiedenis en Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1931. Bandung : Nix
    12. ^ Kartodihardjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 - 1900 (dari Emporium sampai Imperium). Jakarta: Gramedia
    13. ^ Roseno, Edi. 1993. Perang Kedondong 1818. Depok: Universitas Indonesia
    14. ^ a b Chambert-Loir, Henri. Hasan Muarif Ambary. 1999. Panggung sejarah: persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
    15. ^ Lubis, Nina. 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint Jatinangor
    16. ^ Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
    17. ^ Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Bandung: Pustaka Jaya
    18. ^ a b Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
    19. ^ a b al Anwari, Rifcky Mohammad. Pasang Surut Hubungan Kesultanan Cirebon dengan Kolonial Abad 17 - 19 Dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Di Cirebon. Cirebon : Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati
    20. ^ a b c d e f g >Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
    21. ^ a b c d Rosita, Heni. 2015. Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Cirebon Tahun 1667 - 1752. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta
    22. ^ Hoadley, Mason. 1996. The Village Concept in the Transformation of Rural Southeast Asia. Hove : Psychology Press
    23. ^ de Graaf, Hermanus Johannes. 1985. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafitipers
    24. ^ Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
    25. ^ a b c Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
    26. ^ a b c Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
    27. ^ a b c d e f g Rosita, Heni. 2015. Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Cirebon Tahun 1667 - 1752. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta
    28. ^ a b c Ball, John Preston, 1982. Legal History 1608 - 1848. Sydney: Oughtershaw Press
    29. ^ Rosita, Heni. 2015. Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Cirebon Tahun 1667 - 1752. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta
    30. ^ a b c al Anwari, Rifcky Mohammad. Pasang Surut Hubungan Kesultanan Cirebon dengan Kolonial Abad 17 - 19 Dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Di Cirebon. Cirebon : Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati
    31. ^ a b c d Irianto, Bambang, Dyah Komala Laksmiwati. 2014. Baluarti Keraton Kacirebonan. Yogyakarta: Deepublish
    32. ^ Tim Arsip Nasional Republik Indonesia. 2013. Arsip Nasional - Surat Surat Diplomatik 1625-1812. Jakarta Arsip Nasional Republik Indonesia
    33. ^ a b c Dewanto, Aris. 2019. Krisis Budaya di Kesultanan Kanoman : Studi Tentang Hilangnya Seni Tari dari Tradisi Kesultanan Kanoman Pada Masa Sultan Kanoman Ke-XI Muhammad Djalaludin (1989-2002). Cirebon : Universitas Islam Negeri Syekh Nurjati
    34. ^ Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
    35. ^ a b P.S. Sulendraningrat. 1985. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka
    36. ^ Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
    37. ^ Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat - Sejarah Keraton Kaprabonan, Cirebon
    38. ^ "De VOCsite : handelsposten; Cheribon". www.vocsite.nl. Diakses tanggal 2021-01-16. 
    39. ^ Lubis, Nina Herlina. 2010. Situasi Politik Kesultanan Cirebon Abad Ke 17 - 18. Bandung : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPNB) Bandung
    40. ^ a b Hoadley, Mason. 1996. The Village Concept in the Transformation of Rural Southeast Asia. Hove : Psychology Press
    41. ^ a b Mangintrk, Timothy Seta. 2016. Parahiyangan Guardian: Pengembangan Aplikasi Game Untuk Pembelajaran Interaktif Menggunakan Aksara Bahasa Sunda Berbasis Desktop. Bandung: Universitas Widyatama
    42. ^ Mujidiningrat, Raden Dulur Anom Rahadyan Ikhsanurud Daudi Akbar Guratpanuratrahsa Ahmad Elwangsih. 2018. Aksara Rikasara: Sebuah Peradaban yang Hilang. Cirebon: Desa Adat Gamel-Sarabahu
    43. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as Bochari, Muhammad Sanggupri. Wiwi Kuswiah. 2001. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
    44. ^ a b c d e f g h i j k l Hasyim, R.A Opan Safari. Perjuangan Ki Bagus Rangin Menentang Kolonial Belanda 1805 - 1808 (menurut sumber-sumber tradisional). Cirebon.
    45. ^ Abdullah, Kholil Raden. 2013. Detik-Detik Menjelang Perang Kedongdong. Cirebon.
    46. ^ 2013. Sejarah Desa Dawuan. Sumber: Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) kabupaten Cirebon.
    47. ^ Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1998. Kota dagang Cirebon sebagai bandar jalur sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
    48. ^ Mursyid, Ali. 2008. Perjuangan Santri Cirebon untuk Kemerdekaan. Cirebon.
    49. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Hazmirullah. Titin Nurhayati Ma’mun, Undang A. Darsa. 2017. Jumantara : Surat Pengunduran Diri Sultan Sepuh VII Cirebon: Suatu Kajian Filologis. Jakarta Perpustakaan Nasional
    50. ^ a b c Lasmiyati. 2013. Keraton Kanoman di Cirebon (Sejarah dan Perkembangannya). Bandung : Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung
    51. ^ Akademi Angkatan Udara - Kesultanan Cirebon
    52. ^ Taniredja, Tukiran. Supriyadi, Acep. Harmanto. 2016. Indonesia Negara Paripurna. Purwokerto : Universitas Muhammadiyah Purwokerto Press
    53. ^ a b Cribb, Robert. 2000. Historical Atlas of Indonesia. Honolulu: University of Hawai'i Press
    54. ^ a b Pudjiastuti, Titik. 2014. Kajian Kodikologis atas Surat Sultan Kanoman, Cirebon (COD. OR. 2241 ILLB 17 (No. 80)). Depok: Universitas Indonesia
    55. ^ a b c d e Zaini-Lajoubert, Monique. 2008. Karya lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri: Bayan al-asmaʼ, Hikayat Mareskalek, Arsy al-muluk, Cerita Siam, Hikayat tanah Bali. Jakarta: Gramedia
    56. ^ a b Tim Dinas Museum dan Pemugaran, Propinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta. 2000. Bangunan Cagar Budaya Di Propinsi DKI Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Pemugaran, Propinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta
    57. ^ Diehl, Katharine Smith. 1990. Printers and Printing in the East Indies to 1850: Batavia. New Rochelle: Aristide D. Cararzas
    58. ^ | Noer, Noerdin. 2015. Dongeng dari Negeri Kanoman (bagian 2). Cirebon: Cirebon Trust
    59. ^ Setiawan, D A. 2018. Catatan Van der Kemp di Cirebon. Cirebon : Radar Cirebon
    60. ^ Rosyidi, Abdul. 2014. Perang Kedongdong Gerakan Perlawanan Rakyat Cirebon 1818. Cirebon: Fajar Muda
    61. ^ Ekadjati, Edi Suhardi. 1976. Sejarah jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
    62. ^ Stapel, Frederik Willem. 1940. Geschiedenis van Nederlandsch Indie, V. Batavia.
    63. ^ a b Paramita R. Abdurachman, 1982, Cerbon, Jakarta: Sinar Harapan
    64. ^ a b c d Ekajati, Edi S. Hardjasaputra, A. Sobana. Anggawisastra, Ade Kosmaya dan Masduki, Aam. 1994. Empat Sastrawan Sunda Lama. Jakarta : Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
    65. ^ a b "KABUPATEN MAJALENGKA : MELACAK JEJAK HINDIA BELANDA". tatangmanguny's blog (dalam bahasa Inggris). 2010-12-22. Diakses tanggal 2021-01-17. 
    66. ^ Haryanti, Rosiana. 2019. Onrust, Pulau Pengasingan yang Jadi Rebutan Inggris dan Belanda. Jakarta: Kompas
    67. ^ Suryawan. 2014. Srabad Dalam Seni Rupa Tradisi Cirebon. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta
    68. ^ a b Ekadjati, Edi Suhardi. 1982. Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
    69. ^ van der Bilt la Motte, Cornelis van Erlach. 1858. Java : Schetsen en omtrekken uit de portefeuille. Dordrecht : H. Lagerweij
    70. ^ a b Hata, Nur. 2012. Babad Darmayu : Catatan Perlawanan Masyarakat Indramayu Terhadap Kolonialisme pada Awal Abad ke 19. Cirebon : Institut Studi Islam Fahmina
    71. ^ a b Kasim, Supali. 2015. Perjuangan Bagus Rangin di Indramayu. Cirebon : Radar Cirebon
    72. ^ Lubis, Nina Herlina. 2003. Sejarah Tatar Sunda, Volume 1 Bandung: Satya Historika
    73. ^ Carey, Peter (P.B.R) 1980. The Archive of Yogyakarta: an edition of Javanese reports, letters, and land grants from the Yogyakarta court dated between A.J. 1698 and A.J. 1740 (1772-1813) taken from materials in the British Library and the India Office Library (London). Oxford: Oxford University Press
    74. ^ Carey, Peter. 2013. Daendels and the Sacred Space of Java, 1808-1811: Political Relations, Uniforms and the Postweg. Nijmegen: Vantilt
    75. ^ a b c d e f Carey, Peter. 2011. Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawam 1785 - 1855. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
    76. ^ a b Carey, Peter. 2014. Takdir : Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Jakarta : Kompas
    77. ^ Ekajati, Edi Suhardi. 1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta : Girimukti Pasaka
    78. ^ Sunardjo, Unang. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon: 1479 - 1809. Bandung: Tarsito
    79. ^ Dalope, Leonard Bayu Laksono. 2018. Berharap dari Tanah Pangharepan : Kajian Sosio-Historis di Seputar Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda pada Komunitas Kristen di Jawa Barat periode Tahun 1870-1920. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana
    80. ^ Tim Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional. 1986. Risalah Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional IV, Jakarta, 8-12 September 1986, Volume 4. Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
    81. ^ "Sejarah – Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-10. 
    82. ^ Mackay, Donald Jacob. 1861. De handhaving van het Europeesch gezag en de hervorming van het regtswezen onder het bestuur van den gouverneur-generaal Mr. H. W. Daendels over Java en onderhoorigheden (1808-1811). s'Gravenhage : Martinus Nijhoff
    83. ^ Salam, Muhajir. 2017. Memasuki Sistem Baru Eksploitasi Ekonomi Politik (1800-1830). Tasikmalaya : Soekapoera Institute
    84. ^ van der Chijs, Jacobus Anne. 1897. Nederlandsch-Indisch Plakaatboek, 1602-1811. Volume 16 : 1810-1811. 's Gravenhage : Martinus Nijhoff
    85. ^ Rosidi, Ajip. Dkk. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya (Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi). Jakarta: Pustaka Jaya
    86. ^ a b c d e f Carey, Peter. 2004. Asal Usul Perang Jawa ; Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh. Yogyakarta : Lkis Pelangi Aksara
    87. ^ a b c d e Hazmirullah. 2016. Surat Balasan Sultan Sepuh VII Cirebon Untuk Raffles : Kajian Strukturalisme Genetik. Sumedang : Universitas Padjajaran
    88. ^ Ricklefs, Merle Calvin. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta : Penerbit Serambi
    89. ^ a b Mahruf, Kamil. Nanang S. Soetadji. 1999. Pasemah Sindang Merdika, 1821-1866. Palembang : Paguyuban Masyarakat Peduli Musi
    90. ^ Suryaningrat, Bayu. 1982. Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur. Jakarta : Rukun Warga Cianjur-Jakarta.
    91. ^ Hazmirullah. 2015, Gelar Pahlawan untuk Bagus Rangin (3) : Hadiah Seribu Ringgit untuk Kepala Bagus Rangin. Bandung : Pikiran Rakyat
    92. ^ a b Thorn, William. 1815. Memoir of the Conquest of Java, With the Subsequent Operations of the British Forces, in the Oriental Archipelago. To which is Subjoined a Statistical and Historical Sketch of Java with an Account of Its Dependencies. London : Thomas Egerton
    93. ^ a b c Sobana, Hardjosaputra. Haris Tawaludin. 2011. Cirebon Dalam Lima Zaman. Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat
    94. ^ Pengadilan Negeri Cirebon. 2019. Putusan Pengadilan Negeri Cirebon No. 18/Pdt.G/2019/PN Cbn. Cirebon : Pengadilan Negeri Cirebon
    95. ^ a b Kusnandar, Dadang. 2012. Cirebon : Silang Peradaban. Bandung : Gapura Publishing
    96. ^ Tim Yayasan Mitra Budaya Indonesia. 1982. Cerbon. Jakarta : Yayasan Mitra Budaya Indonesia
    97. ^ Hendarti, Latipah. 2008. Menepis Kabut Halimun : Rangkaian Bunga Rampai Pengelolaan Sumberdaya Alam di Halimun. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
    98. ^ a b Loedin, A. A. 2005. Sejarah kedokteran di bumi Indonesia. Jakarta : Grafiti
    99. ^ Team Asiatic Journal. 1816. The Asiatic Journal and Monthly Miscellany, Series 1 Volume 2. LOndon : Wm. H. Allen & Co
    100. ^ Yaswirman. 2006. Hukum keluarga adat dan Islam: analisis sejarah, karakteristik, dan prospeknya dalam masyarakat matrilineal Minangkabau. Padang : Andalas University Press
    101. ^ Noor, Jani. 2019. Cerita tentang Berpindah-pindahnya Ibu Kota Sukapura. Jakarta : Sindo News
    102. ^ "Koleksi Museum". www.bi.go.id. Diakses tanggal 2021-02-11. 

    Lihat pula