Lompat ke isi

Revolusi Prancis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revolusi Prancis
Révolution française
Penyerbuan Bastille, 14 Juli 1789.
Tanggal1789–1799
LokasiPrancis
PartisipanRakyat Prancis
Hasil

Revolusi Prancis (bahasa Prancis: Révolution française; 1789–1799), adalah suatu periode sosial radikal dan pergolakan politik di Prancis yang memiliki dampak abadi terhadap sejarah Prancis, dan lebih luas lagi, terhadap Eropa secara keseluruhan. Revolusi ini merupakan salah satu dari revolusi besar dunia yang mampu mengubah tatanan kehidupan masyarakat.[1] Monarki absolut yang telah memerintah Prancis selama berabad-abad runtuh dalam waktu tiga tahun. Rakyat Prancis mengalami transformasi sosial politik yang epik; feodalisme, aristokrasi, dan monarki mutlak diruntuhkan oleh kelompok politik radikal sayap kiri, oleh massa di jalan-jalan, dan oleh masyarakat petani di perdesaan.[2] Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik digulingkan secara tiba-tiba dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Ketakutan terhadap penggulingan menyebar pada monarki lainnya di seluruh Eropa, yang berupaya mengembalikan tradisi-tradisi monarki lama untuk mencegah pemberontakan rakyat. Pertentangan antara pendukung dan penentang Revolusi terus terjadi selama dua abad berikutnya.

Di tengah-tengah krisis keuangan yang melanda Prancis, Louis XVI naik takhta pada tahun 1774. Pemerintahan Louis XVI yang tidak kompeten semakin menambah kebencian rakyat terhadap monarki. Didorong oleh sedang berkembangnya ide Pencerahan dan sentimen radikal, Revolusi Prancis pun dimulai pada tahun 1789 dengan diadakannya pertemuan Etats-Généraux pada bulan Mei. Tahun-tahun pertama Revolusi Prancis diawali dengan diproklamirkannya Sumpah Lapangan Tenis pada bulan Juni oleh Etats Ketiga, diikuti dengan serangan terhadap Bastille pada bulan Juli, Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara pada bulan Agustus, dan mars kaum wanita di Versailles yang memaksa istana kerajaan pindah kembali ke Paris pada bulan Oktober. Beberapa tahun kedepannya, Revolusi Prancis didominasi oleh perjuangan kaum liberal dan sayap kiri pendukung monarki yang berupaya menggagalkan reformasi.

Sebuah negara republik didirikan pada bulan Desember 1792 dan Raja Louis XVI dieksekusi setahun kemudian. Perang Revolusi Prancis dimulai pada tahun 1792 dan berakhir dengan kemenangan Prancis secara spektakuler. Prancis berhasil menaklukkan Semenanjung Italia, Negara-Negara Rendah, dan sebagian besar wilayah di sebelah barat Rhine–prestasi terbesar Prancis selama berabad-abad.

Secara internal, sentimen radikal Revolusi berpuncak pada naiknya kekuasaan Maximilien Robespierre, Jacobin, dan kediktatoran virtual oleh Komite Keamanan Publik selama Pemerintahan Teror dari tahun 1793 hingga 1794. Selama periode ini, antara 16.000 hingga 40.000 rakyat Prancis tewas.[3] Setelah jatuhnya Jacobin dan pengeksekusian Robespierre, Direktori mengambilalih kendali negara pada 1795 hingga 1799, lalu ia digantikan oleh Konsulat di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte pada tahun 1799.

Revolusi Prancis telah menimbulkan dampak yang mendalam terhadap perkembangan sejarah Modern. Pertumbuhan republik dan demokrasi liberal, menyebarnya sekularisme, perkembangan ideologi modern, dan penemuan gagasan perang total adalah beberapa warisan Revolusi Prancis.[4] Peristiwa berikutnya yang juga terkait dengan Revolusi ini adalah Perang Napoleon, dua peristiwa restorasi monarki terpisah; Restorasi Bourbon dan Monarki Juli, serta dua revolusi lainnya pada tahun 1834 dan 1848 yang melahirkan Prancis modern.

Penyebab

Pemerintah Prancis menghadapi krisis keuangan pada tahun 1780-an, dan Louis XVI dikritik karena tidak mampu menangani masalah ini.

Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa sebab utama Revolusi Prancis adalah ketidakpuasan terhadap Ancien Régime. Lebih khusus, para sejarawan juga menekankan adanya konflik kelas dari perspektif Marxis; hal yang umum terjadi pada akhir abad ke-19. Perekonomian yang tidak sehat, panen yang buruk, kenaikan harga pangan, dan sistem transportasi yang tidak memadai adalah hal-hal yang memicu kebencian rakyat terhadap pemerintah. Rentetan peristiwa yang mengarah ke revolusi dipicu oleh kebangkrutan pemerintah karena sistem pajak yang buruk dan utang yang besar akibat keterlibatan Prancis dalam berbagai perang besar. Upaya Prancis dalam menantang Inggris–kekuatan militer utama di dunia pada saat itu–dalam Perang Tujuh Tahun berakhir dengan bencana, menyebabkan hilangnya jajahan Prancis di Amerika Utara dan hancurnya Angkatan Laut Prancis. Tentara Prancis dibangun kembali dan kemudian berhasil menang dalam Perang Revolusi Amerika, tetapi perang ini sangat mahal dan secara khusus tidak menghasilkan keuntungan yang nyata bagi Prancis. Sistem keuangan Prancis terpuruk dan kerajaan tidak mampu menangani utang negara yang besar. Karena dihadapkan pada krisis keuangan ini, raja lalu memanggil Majelis Bangsawan pada tahun 1787, pertama kalinya selama lebih dari satu abad.

Sementara itu, keluarga kerajaan hidup nyaman di Versailles dan terkesan acuh tak acuh terhadap krisis yang semakin meningkat. Meskipun secara teori pemerintahan Raja Louis XVI berbentuk monarki absolut, tetapi dalam praktiknya ia sering ragu-ragu dan akan mundur jika menghadapi oposisi yang kuat. Louis XVI memang berusaha mengurangi pengeluaran pemerintah, tetapi lawannya di parlement berhasil menggagalkan upayanya untuk memberlakukan reformasi yang lebih luas. Penentang kebijakan Louis semakin banyak dan berupaya menjatuhkan kerajaan dengan berbagai cara, misalnya dengan membagikan pamflet yang melaporkan informasi palsu dan dilebih-lebihkan untuk mengkritik pemerintah dan aparatnya, yang semakin memperkuat opini publik dalam melawan monarki.[5]

Faktor lainnya yang dianggap sebagai penyebab Revolusi Prancis adalah kebencian terhadap pemerintah, yang muncul seiring dengan berkembangnya cita-cita Pencerahan. Ini termasuk kebencian terhadap absolutisme kerajaan; kebencian oleh masyarakat petani, buruh, dan kaum borjuis terhadap hak-hak istimewa yang dimiliki oleh kaum bangsawan; kebencian terhadap Gereja Katolik atas pengaruhnya dalam kebijakan publik dan di lembaga-lembaga negara; keinginan untuk memperjuangkan kebebasan beragama; kebencian para pendeta perdesaan miskin terhadap uskup aristokrat; keinginan untuk mewujudkan kesetaraan sosial, politik, ekonomi, serta (khususnya saat Revolusi berlangsung) republikanisme; kebencian terhadap Ratu Marie Antoinette, yang dituduh sebagai seorang pemboros dan mata-mata Austria; serta kemarahan terhadap Raja karena memecat bendahara keuangan Jacques Necker, salah satu orang yang dianggap sebagai wakil rakyat di kerajaan.[6]

Pra-revolusi

Krisis keuangan

Karikatur Etats Ketiga yang membawa Etats Pertama (pendeta) dan Etats Kedua (bangsawan) di punggungnya.

Louis XVI naik takhta menjadi raja Prancis di tengah-tengah krisis keuangan; negara sudah hampir bangkrut dan pengeluaran negara melebihi pendapatan.[7] Krisis ini terutama sekali disebabkan oleh keterlibatan Prancis dalam Perang Tujuh Tahun dan Perang Revolusi Amerika.[8] Pada bulan Mei 1776, menteri keuangan Turgot dipecat setelah ia gagal melaksanakan reformasi keuangan. Setahun kemudian, seorang warga asing bernama Jacques Necker ditunjuk menjadi Bendahara Keuangan. Necker tidak bisa menjadi menteri keuangan resmi karena ia adalah seorang Protestan.

Necker menyadari bahwa sistem pajak di Prancis sangat regresif; masyarakat kelas bawah dikenakan pajak yang lebih besar,[9] sementara kaum bangsawan dan pendeta diberikan banyak pengecualian.[10] Necker beranggapan bahwa pembebasan pajak untuk kaum bangsawan dan pendeta harus dikurangi, dan mengusulkan untuk meminjam lebih banyak uang agar permasalahan keuangan negara bisa teratasi. Necker menerbitkan sebuah laporan untuk mendukung anggapannya ini, yang menunjukkan bahwa defisit negara menembus angka 36 juta livre. Necker juga mengusulkan pembatasan kekuasaan parlement.[9]

Usulan Necker ini tidak diterima dengan baik oleh para menteri Raja, dan Necker, yang berharap bisa memperkuat posisinya, berpendapat bahwa ia harus diangkat sebagai menteri, tetapi Raja menolaknya. Necker dipecat dan Charles Alexandre de Calonne ditunjuk menjadi bendahara yang baru.[9] Calonne dengan cepat menyadari situasi keuangan negara yang sedang kritis dan mengusulkan pembentukan kode pajak yang baru.[11]

Usulan Calonne ini termasuk penarikan pajak bumi yang konsisten, yang juga dipungut pada kaum bangsawan dan pendeta. Karena ditentang oleh parlement, Calonne mengadakan pertemuan dengan Majelis Bangsawan, berharap mendapat dukungan. Namun bukannya mendukung rencana Calonne, Majelis malah melemahkan posisi Calonne dengan mengkritiknya. Sebagai tanggapan, untuk pertama kalinya sejak 1614, Raja memanggil Etats-Généraux pada bulan Mei 1789. Pemanggilan ini sekaligus menjadi pertanda bahwa monarki Bourbon sedang dalam keadaan lemah dan tunduk pada tuntutan rakyatnya.[12]

Etats-Généraux 1789

Etats-Généraux (wakil rakyat dari berbagai golongan) terbagi menjadi tiga golongan (etats): pendeta (Etats Pertama), kaum bangsawan (Etats Kedua), dan sisanya adalah rakyat biasa Prancis (Etats Ketiga).[13] Dalam pertemuan terakhir Etats-Généraux pada tahun 1614, masing-masing golongan memiliki satu suara, dan dua diantaranya bisa membatalkan suara ketiga. Parlement Paris khawatir bahwa pemerintah akan berusaha meng-gerrymander majelis untuk mencurangi hasil. Oleh sebab itu, mereka memutuskan bahwa susunan Etats harus sama dengan susunan 1614.[14] Aturan Etats 1614 ini berbeda dengan praktik pada majelis daerah; di daerah-daerah, masing-masing anggota memiliki satu suara dan Etats Ketiga memiliki anggota dua kali lipat lebih banyak dari Etats lainnya. Sebagai contoh, di Dauphiné, majelis provinsi sepakat untuk menggandakan jumlah anggota Etats Ketiga, mengadakan pemilihan keanggotaan, dan memperbolehkan satu suara per anggota, bukannya satu suara per etats.[15]

Sebelum pertemuan berlangsung, "Komite Tiga Puluh", sebuah kelompok liberal yang beranggotakan warga Paris, mulai melakukan agitasi terhadap suara etats. Kelompok ini sebagian besarnya terdiri dari orang-orang kaya, dan mereka berpendapat bahwa sistem suara di Etats-Généraux harus sama dengan sistem yang berlaku di Dauphiné. Kelompok ini beranggapan bahwa sistem lama sudah tidak efisien karena "rakyatlah yang berdaulat".[16] Necker lalu menggelar Sidang Kedua Majelis, yang menghasilkan keputusan penolakan terhadap usulan perwakilan ganda, dengan suara 111-333.[16][17]

Pemilihan diadakan pada musim semi 1789; persyaratan hak pilih untuk Etats Ketiga adalah harus laki-laki kelahiran Prancis atau naturalisasi, setidaknya berusia 25 tahun, berkediaman di lokasi tempat pemilihan berlangsung, dan membayar pajak.

Pour être électeur du tiers état, il faut avoir 25 ans, être français ou naturalisé, être domicilié au lieu de vote et compris au rôle des impositions.[18]

Pemilihan menghasilkan 1.201 delegasi, yang terdiri dari: 291 bangsawan, 300 pendeta, dan 610 anggota Etats Ketiga.[17] Untuk mengarahkan delegasi, "Dokumen Keluhan" (Cahiers de Doléances) disusun sebagai pengarah yang memuat daftar permasalahan yang dihadapi negara.[13][14][19]

Pamflet yang disebarkan oleh para bangsawan dan pendeta liberal semakin merebak setelah dicabutnya penyensoran pers.[16] Abbé Sieyès, seorang teoretikus dan pendeta Katolik, berpendapat mengenai betapa pentingnya keberadaan Etats Ketiga dalam pamflet Qu'est-ce que le tiers état? (bahasa Inggris: "What is the Third Estate?"), yang diterbitkan pada bulan Januari 1789. Ia menegaskan: "Apa itu Etats Ketiga? Segalanya. Apa posisinya dalam tatanan politik? Tidak ada. Ia ingin menjadi apa? Sesuatu."[14][20]

Pertemuan Etats-Généraux pada tanggal 5 Mei 1789 di Versailles.

Etats-Généraux kembali menggelar pertemuan di Grands Salles des Menus-Plaisirs, Versailles, pada tanggal 5 Mei 1789. Pertemuan ini dibuka dengan pidato tiga jam oleh Necker. Etats Ketiga menuntut agar verifikasi deputi secara kredensial harus dilakukan bersama oleh semua deputi, bukannya masing-masing etats memverifikasi anggotanya secara internal; negosiasi dengan etats lainnya gagal mewujudkan hal ini.[19] Golongan rakyat jelata bersitegang dengan kaum pendeta yang menjawab kalau mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk memutuskan. Necker pada akhirnya memutuskan bahwa setiap etats harus memverifikasi anggotanya masing-masing dan "Raja bertindak sebagai penengah".[21] Namun, negosiasi dengan dua etats lainnya tetap tidak berhasil.[22]

Majelis Nasional (1789)

Majelis Nasional mengambil Sumpah Lapangan Tenis (sketsa oleh Jacques-Louis David).

Pada 10 Juni 1789, Abbé Sieyès pindah keanggotaan menjadi Etats Ketiga, dan sekarang mengikuti pertemuan sebagai Communes (Rakyat Biasa). Ia mengajak dua etats lainnya untuk ikut serta, tetapi ajakannya ini tidak diindahkan.[23] Etats Ketiga yang sekarang menjadi lebih radikal mendeklarasikan diri sebagai Majelis Nasional, majelis yang bukan berasal dari etats, tetapi dari golongan "Rakyat". Mereka mengajak yang lainnya untuk bergabung, tetapi menegaskan bahwa "dengan atau tanpa bantuan, mereka tetap akan mengatasi permasalahan bangsa."[24]

Dalam upayanya untuk tetap mengontrol dan mencegah Majelis mengadakan pertemuan, Louis XVI memerintahkan penutupan Salle des États, tempat Majelis biasanya mengadakan pertemuan. Di saat yang bersamaan, cuaca tidak memungkinkan Majelis untuk menggelar pertemuan di luar ruangan, sehingga Majelis pada akhirnya memindahkan pertemuan mereka ke sebuah lapangan tenis dalam ruangan. Di tempat ini, mereka mengambil Sumpah Lapangan Tenis pada 20 Juni 1789, yang menyatakan bahwa Majelis tidak akan berpisah hingga mereka bisa memberikan sebuah konstitusi bagi Prancis.[25]

Mayoritas perwakilan pendeta segera bergabung dengan Majelis, serta 47 orang dari kaum bangsawan. Pada tanggal 27 Juni, pihak kerajaan secara terang-terangan telah menunjukkan penentangannya terhadap Majelis, dan sejumlah besar pasukan militer mulai diterjunkan ke seantero Paris dan Versailles. Dukungan bagi Majelis juga mengalir dari warga Paris dan dari kota-kota lainnya di Prancis. Pada tanggal 9 Juli, majelis itu disusun kembali menjadi Majelis Konstituante Nasional.[25]

Majelis Konstituante Nasional (1789–1791)

Penyerbuan Bastille

Penyerbuan Bastille menjadi pertanda dimulainya Revolusi Perancis.[26] Setelah sidang parlemen, Louis XVI justru melakukan blunder dengan memecat Menteri Keuangan Jacques Necker. Sementara itu, Necker semakin dimusuhi oleh keluarga kerajaan Prancis karena dianggap memanipulasi opini publik secara terang-terangan. Ratu Marie Antoinette, adik Raja Comte d'Artois, dan anggota konservatif lainnya dari dewan privy mendesak Raja agar memecat Necker sebagai penasihat keuangan. Pada 11 Juli 1789, setelah Necker menerbitkan laporan keuangan pemerintah kepada publik, Raja memecatnya, dan segera merestrukturisasi kementerian keuangan tidak lama berselang.[27]

Kebanyakan warga Paris menganggap bahwa tindakan Louis secara tak langsung ditujukan pada Majelis dan segera memulai pemberontakan terbuka setelah mereka mendengar kabar tersebut pada keesokan harinya. Mereka juga khawatir terhadap banyaknya tentara–kebanyakan tentara asing–yang ditugaskan untuk menutup Majelis Konstituante Nasional. Dalam sebuah pertemuan di Versailles, Majelis bersidang secara non-stop untuk berjaga-jaga jika nanti tempat pertemuan digusur secara tiba-tiba. Paris dengan cepat dipenuhi oleh berbagai kerusuhan, kekacauan, dan penjarahan. Massa juga mendapat dukungan dari beberapa Garda Prancis yang dipersenjatai dan dilatih sebagai tentara.[28]

Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, 26 Agustus 1789.

Pada tanggal 14 Juli, para pemberontak mengincar sejumlah besar senjata dan amunisi di benteng dan penjara Bastille, yang juga dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki. Setelah beberapa jam pertempuran, benteng jatuh ke tangan pemberontak pada sore harinya. Meskipun terjadi gencatan senjata untuk mencegah pembantaian massal, Gubernur Marquis Bernard de Launay dipukuli, ditusuk, dan dipenggal, kepalanya diletakkan di ujung tombak dan diarak ke sekeliling kota. Walaupun hanya menahan tujuh tahanan (empat pencuri, dua bangsawan yang ditahan karena tindakan tak bermoral, dan seorang tersangka pembunuhan), Bastille telah menjadi simbol kebencian terhadap Ancien Régime. Di Hôtel de Ville (balai kota), massa menuduh prévôt des marchands (setara dengan wali kota) Jacques de Flesselles sebagai pengkhianat, dan membantainya.[29]

Raja Louis yang khawatir dengan tindak kekerasan terhadapnya mundur untuk sementara waktu. Marquis de la Fayette mengambilalih komando Garda Nasional di Paris. Jean-Sylvain Bailly, presiden Majelis pada saat Sumpah Lapangan Tenis, menjadi wali kota di bawah struktur pemerintahan baru yang dikenal dengan komune. Raja mengunjungi Paris pada tanggal 17 Juli dan menerima sebuah simpul pita triwarna, diiringi dengan teriakan Vive la Nation ("Hidup Bangsa") dan Vive le Roi ("Hidup Raja").[30]

Necker kembali menduduki jabatannya, tetapi kejayaannya berumur pendek. Necker memang seorang ahli keuangan yang cerdik, tetapi sebagai politisi, ia kurang terampil. Necker dengan cepat kehilangan dukungan rakyat setelah menuntut amnesti umum.[31]

Setelah kemenangan Majelis, situasi di Prancis masih tetap memburuk. Kekerasan dan penjarahan terjadi di seantero negeri. Kaum bangsawan yang mengkhawatirkan keselamatan mereka berbondong-bondong pindah ke negara tetangga. Dari negara-negara tersebut, para émigré ini mendanai kelompok-kelompok kontra-revolusi di Prancis dan mendesak monarki asing untuk memberikan dukungan pada kontra-revolusi.[32]

Pada akhir Juli, semangat kedaulatan rakyat telah menyebar di seluruh Prancis. Di daerah pedesaan, rakyat jelata mulai membentuk milisi dan mempersenjatai diri melawan invasi asing: beberapa di antaranya menyerang châteaux kaum bangsawan sebagai bagian dari pemberontakan agraria umum yang dikenal dengan "la Grande Peur" ("Ketakutan Besar"). Selain itu, rumor liar dan paranoia kolektif menyebabkan meluasnya kerusuhan dan kekacauan sipil yang berkontribusi terhadap runtuhnya hukum dan kacaunya ketertiban.[33]

Perumusan konstitusi baru

Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Konstituante Nasional menghapuskan feodalisme (meskipun pada saat itu telah terjadi pemberontakan petani yang hampir mengakhiri feodalisme). Keputusan ini dituangkan dalam dokumen yang dikenal dengan Dekret Agustus, yang menghapuskan seluruh hak istimewa kaum Estate Kedua dan hak dîme (menerima zakat) yang dimiliki oleh Estate Pertama. Hanya dalam waktu beberapa jam, bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan hak-hak istimewanya.

Pada tanggal 26 Agustus 1789, Majelis menerbitkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, yang memuat pernyataan prinsip, bukannya konstitusi dengan efek hukum. Majelis Konstituante Nasional tidak hanya berfungsi sebagai legislatif, tetapi juga sebagai badan untuk menyusun konstitusi baru.

Necker, Mounier, Lally-Tollendal dan yang lainnya tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan senat, yang keanggotaannya ditunjuk oleh Raja dan dicalonkan oleh rakyat. Sebagian besar bangsawan mengusulkan agar majelis tinggi dipilih oleh kaum bangsawan. Sidang segera dilakukan pada hari itu, yaang memutuskan bahwa Prancis akan memiliki majelis tunggal dan unikameral. Kekuasaan Raja terbatas hanya untuk "menangguhkan veto"; ia bisa menunda implementasi undang-undang, tetapi tidak bisa membatalkannya. Pada akhirnya, Majelis menggantikan provinsi bersejarah di Prancis dengan 83 départements, yang dikelola secara seragam menurut daerah dan jumlah penduduk.

Di tengah kegiatan Majelis yang disibukkan dengan urusan konstitusional, krisis keuangan terus berlanjut, sebagian besarnya belum terselesaikan, dan defisit negara semakin meningkat. Honoré Mirabeau kemudian memimpin gerakan untuk mengatasi permasalahan ini, dan Majelis memberi Necker hak penuh untuk mengelola keuangan negara.

Mars perempuan di Versailles

Lukisan Mars perempuan di Versailles, 5 Oktober 1789.

Dipicu oleh rumor telah diinjak-injaknya simpul pita nasional saat penerimaan pengawal Raja pada tanggal 1 Oktober 1789, kerumunan perempuan mulai berkumpul di pasar Paris pada tanggal 5 Oktober 1789. Kerumunan pertama berbaris menuju Hôtel de Ville, menuntut agar pejabat kota segera menindak permasalahan mereka.[34] Para perempuan ini mencurahkan segala permasalahan ekonomi yang mereka hadapi, terutama masalah kekurangan roti. Mereka juga menuntut agar kerajaan menghentikan upayanya dalam memblokir Majelis Nasional, dan menyerukan agar Raja dan keluarganya segera pindah ke Paris sebagai bentuk itikad baik dalam mengatasi kemiskinan yang semakin meluas.

Karena mendapatkan respon yang tidak memuaskan dari pejabat kota, sebanyak 7.000 wanita bergerak menuju Versailles dengan membawa meriam dan berbagai senjata ringan. Sekitar 20.000 pasukan Garda Nasional di bawah komando La Fayette ditugaskan untuk mengawasi jalannya protes, tetapi situasi menjadi tidak terkendali. Massa yang marah menyerbu istana, membunuh beberapa penjaga. La Fayette akhirnya berhasil membujuk Raja untuk menyetujui permintaan massa, dan Raja beserta keluarganya bersedia untuk kembali ke Paris. Pada tanggal 6 Oktober 1789, Raja dan keluarga kerajaan pindah dari Versailles ke Paris di bawah "perlindungan" dari Garda Nasional.[35]

Revolusi dan Gereja

Dalam karikatur ini, biarawan dan biarawati menikmati kebebasan mereka setelah dekret 16 Februari 1790.

Revolusi ini menyebabkan perubahan besar kekuasaan, dari yang sebelumnya dikuasai oleh Gereja Katolik Roma menjadi dikuasai negara. Berdasarkan Ancien Régime, Gereja menjadi pemilik tanah terbesar di Prancis, memiliki sekitar 10% tanah kerajaan.[36] Gereja dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah, dan juga berhak menerima dîme (zakat) 10% dari pajak penghasilan, sering kali dikumpulkan dalam bentuk bahan pangan, dan hanya sebagian kecil dari dîme tersebut yang diberikan kepada masyarakat miskin.[36] Kekuatan dan kekayaan Gereja yang begitu besar telah menimbulkan kebencian dari beberapa kelompok. Kelompok minoritas penganut Protestan yang tinggal di Prancis seperti Huguenots, menginginkan rezim yang anti-Katolik dan berhasrat untuk membalas dendam kepada para pendeta yang melakukan diskriminasi terhadap mereka. Pemikir Pencerahan seperti Voltaire membantu mengobarkan semangat anti-Katolik dengan merendahkan Gereja Katolik dan mendestabilisasi monarki Prancis.[37] Menurut sejarawan John McManners, "Pada abad kedelapan belas, takhta Prancis dan altar berhubungan erat; dan hubungan ini runtuh..."[38]

Kebencian terhadap Gereja melemah kekuatannya saat dibukanya pertemuan Etats-Généraux pada bulan Mei 1789. Gereja memiliki sekitar 130.000 anggota pendeta dalam Etats Pertama. Ketika Majelis Nasional didirikan pada bulan Juni 1789 oleh Etats Ketiga, para pendeta memilih untuk bergabung dengan Majelis.[39] Majelis Nasional mulai memberlakukan reformasi sosial dan ekonomi. Undang-undang baru pada tanggal 4 Juli 1789 menghapuskan kewenangan gereja untuk memungut zakat. Dalam upayanya untuk mengatasi krisis keuangan, pada tanggal 2 November 1789, Majelis memutuskan bahwa properti Gereja menjadi "milik negara".[40] Properti ini digunakan untuk mendukung peredaran mata uang baru, assignats. Dengan demikian, mulai saat itu keberlangsungan Gereja juga menjadi tanggungjawab negara, termasuk membayar para pendeta untuk merawat orang-orang miskin, orang sakit, dan yatim piatu.[41] Pada bulan Desember, Majelis mulai menjual tanah-tanah milik Gereja kepada penawar tertinggi untuk meningkatkan pendapatan negara. Hal ini efektif menaikkan nilai assignats sebesar 25% dalam waktu dua tahun.[42] Pada musim gugur 1789, undang-undang baru yang menghapuskan sumpah monastik dirumuskan, dan pada 13 Februari 1790, semua ordo keagamaan dibubarkan.[43] Para biarawan dan biarawati disarankan untuk kembali ke kehidupan pribadi mereka, dan beberapa di antaranya akhirnya menikah.[44]

Konstitusi Sipil Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790, menetapkan bahwa pendeta adalah pekerja negara. Keputusan ini membentuk sistem pemilihan pastor dan uskup paroki, serta menetapkan upah bagi para pendeta. Sebagian besar pendeta Katolik keberatan dengan sistem pemilihan ini karena hal itu berarti bahwa mereka secara efektif menolak otoritas Paus di Roma atas Gereja Prancis. Akhirnya, pada bulan November 1790, Majelis Nasional mulai mewajibkan "sumpah setia pada Konstitusi Sipil" bagi semua pendeta Katolik.[44] Hal ini menyebabkan timbulnya perpecahan antara pendeta yang mengambil sumpah dengan pendeta yang tetap setia kepada Paus. Secara keseluruhan, 24% dari semua pendeta di Prancis telah mengambil sumpah.[45] Pendeta yang menolak bersumpah setia pada konstitusi akan "dibuang, dideportasi secara paksa, atau dieksekusi dengan tuduhan pengkhianat."[42] Paus Pius VI tidak pernah mengakui Konstitusi Sipil Pendeta ini, yang berakibat pada semakin terisolasinya Gereja Prancis. Selama Pemerintahan Teror, upaya besar-besaran de-Kristianisasi di Prancis terjadi, termasuk memenjarakan dan membantai para pendeta, serta pengrusakan Gereja dan gambar-gambar relijius di seluruh Prancis. Upaya untuk menggantikan kedudukan Gereja Katolik dilakukan, misalnya dengan mengganti festival agama dengan festival sipil. Pembentukan Kultus Akal Budi adalah langkah terakhir dalam de-Kristenisasi radikal di Prancis. Peristiwa ini menyebabkan munculnya kekecewaan dan penentangan terhadap Revolusi di seluruh Prancis. Warga sering kali menolak de-Kristenisasi dengan cara menyerang agen revolusioner dan menyembunyikan pendeta yang sedang diburu. Pada akhirnya, Robespierre dan Komite Keamanan Publik dipaksa untuk menentang kampanye dengan menggantikan Kultus Akal Budi yang bersifat deistik, walaupun masih non-Kristen.[46] Konkordat 1801 antara Napoleon dan Gereja mengakhiri periode de-Kristenisasi dan mulai membentuk aturan-aturan yang mengatur mengenai hubungan antara Gereja Katolik dengan negara, yang tetap berlaku hingga tahun 1905, kemudian diubah oleh Republik Ketiga dengan memisahkan urusan Gereja dengan urusan negara pada tanggal 11 Desember 1905. Penganiayaan terhadap pendeta menyebabkan munculnya gerakan-gerakan kontra-revolusi, yang berpuncak dalam Pemberontakan Vendee.


Kemunculan berbagai faksi

Faksi-faksi dalam majelis tersebut mulai bermunculan. Kaum ningrat Jacques Antoine Marie Cazalès dan pendeta Jean-Sifrein Maury memimpin yang kelak dikenal sebagai sayap kanan yang menentang revolusi. "Royalis Demokrat" atau Monarchien, bersekutu dengan Necker, cenderung mengorganisir Prancis sejajar garis yang mirip dengan model Konstitusi Inggris: mereka termasuk Jean Joseph Mounier, Comte de Lally-Tollendal, Comte de Clermont-Tonnerre, dan Pierre Victor Malouet, Comte de Virieu.

"Partai Nasional" yang mewakili faksi tengah atau kiri-tengah majelis tersebut termasuk Honoré Mirabeau, Lafayette, dan Bailly; sedangkan Adrien Duport, Barnave dan Alexander Lameth mewakili pandangan yang lebih ekstrem. Yang hampir sendiri dalam radikalismenya di sisi kiri adalah pengacara Arras Maximilien Robespierre.

Sieyès memimpin pengusulan legislasi pada masa ini dan berhasil menempa konsensus selama beberapa waktu antara pusat politik dan pihak kiri.

Di Paris, sejumlah komite, wali kota, majelis perwakilan, dan distrik-distrik perseorangan mengklaim otoritas yang bebas dari yang. Kelas menengah Garda Nasional yang juga naik pamornya di bawah Lafayette juga perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan dalam haknya sendiri, begitupun majelis yang didirikan sendiri lainnya.

Melihat model Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, pada tanggal 26 Agustus 1789, majelis mendirikan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warganegara. Seperti Deklarasi AS, deklarasi ini terdiri atas pernyataan asas daripada konstitusi dengan pengaruh resmi.

Dari Peringatan Bonjour ke Kematian Mirabeau

Untuk diskusi lebih detail tentang peristiwa antara 14 Juli 1790 - 30 September 1791, lihat Dari peringatan Bastille ke kematian Mirabeau.

Majelis itu menghapuskan perlengkapan simbolik ancien régime, baringan lapis baja, dll., yang lebih lanjut mengasingkan bangsawan yang lebih konservatif, dan menambahkan pangkat émigré.

Pada tanggal 14 Juli 1790, dan beberapa hari berikutnya, kerumuman di Champ-de-Mars memperingati jatuhnya Bastille; Talleyrand melakukan sumpah massal untuk "setia pada negara, hukum, dan raja"; raja dan keluarga raja ikut serta secara aktif.

Para pemilih awalnya memilih anggota Dewan Jenderal untuk bertugas dalam setahun, tetapi dengan Sumpah Lapangan Tenis, commune tersebut telah sepakat tetap bertemu hingga Prancis memiliki konstitusi baru. Kelompok sayap kanan mengusulkan pemilu baru, tetapi Mirabeau menang, menegaskan bahwa status majelis itu telah berubah secara fundamental, dan tiada pemilu baru yang terjadi sebelum sempurnanya konstitusi.

Pada akhir 1790, beberapa huru-hara kontrarevolusi kecil-kecilan pecah dan berbagai usaha terjadi untuk mengembalikan semua atau sebagian pasukan-pasukan terhadap revolusi yang semuanya gagal. Pengadilan kerajaan, dalam kata-kata François Mignet, "mendorong setiap kegiatan antirevolusi dan tak diakui lagi." [1]

Militer menghadapi sejumlah kerusuhan internal: Jenderal Bouillé berhasil meredam sebuah pemberontakan kecil, yang meninggikan reputasinya (yang saksama) untuk simpatisan kontrarevolusi.

Kode militer baru menerapkan peraturan kenaikan pangkat berdasarkan kompetensi dan senioritas mengubah peraturan lama yang menerapkan promosi lewat status kebangsawanan saja. Hal ini membawa pengaruh baik dalam kinerja korps perwira yang baru sekaligus membuat kelompok militer yang lama menjadi kelompok émigrés atau kontrarevolusi dari dalam.

Masa ini menyaksikan kebangkitan sejumlah "klub" politik dalam politik Prancis, yang paling menonjol di antaranya adalah Klub Jacobin: menurut 1911 Encyclopædia Britannica, 152 klub berafiliasi dengan Jacobin pada tanggal 10 Agustus 1790. Saat Jacobin menjadi organisasi terkenal, beberapa pendirinya meninggalkannya untuk membentuk Klub '89. Para royalis awalnya mendirikan Club des Impartiaux yang berumur pendek dan kemudian Club Monarchique. Klub ini gagal mengambil hati rakyat untuk mencari nama dengan membagi-bagikan roti; hasilnya, mereka sering menjadi sasaran protes dan sumber huru-hara, dan pemerintah kotamadya Paris akhirnya menutup Club Monarchique pada bulan Januari 1791.

Di tengah-tengah intrik itu, majelis terus berusaha untuk mengembangkan sebuah konstitusi. Sebuah organisasi yudisial membuat semua hakim sementara dan bebas dari tahta. Legislator menghapuskan jabatan turunan, kecuali untuk monarki sendiri. Pengadilan juri dimulai untuk kasus-kasus kejahatan. Raja akan memiliki kekuasaan khusus untuk mengusulkan perang, kemudian legislator memutuskan apakah perang diumumkan atau tidak. Majelis kemudian menghapus semua penghalang perdagangan dan menghapuskan gilda, ketuanan, dan organisasi pekerja. Setiap orang kemudian berhak berdagang melalui pembelian surat izin; selain itu pemogokan menjadi ilegal.

Di musim dingin 1791, untuk pertama kalinya majelis tersebut mempertimbangkan legislasi terhadap émigré. Debat itu mengadu keamanan negara terhadap kebebasan perorangan untuk pergi. Mirabeau menang atas tindakan itu, yang disebutnya "patut ditempatkan di kode Drako." [2]

Namun, Mirabeau meninggal pada tanggal 2 Maret 1791. Mignet berkata, "Tak seorang pun yang menyamainya dalam hal kekuatan dan popularitas," dan sebelum akhir tahun, Majelis Legislatif yang baru akan mengadopsi ukuran "drako" ini.

Pelarian ke Varennes

Louis XVI, yang ditentang pada masa revolusi, tetapi menolak bantuan yang kemungkinan berbahaya dari penguasa Eropa lainnya, membuat kesepakatan dengan Jenderal Bouillé yang setia kepada kerajaan untuk menjanjikannya pengungsian dan dukungan di kampnya di Montmedy.

Pada malam 20 Juni 1791, keluarga kerajaan lari ke Tuileries. Namun, keesokan harinya, sang Raja yang terlalu yakin itu dengan sembrono menunjukkan diri. Dirinya dikenali dan ditangkap di Varennes (di département Meuse) di akhir 21 Juni, ia dikembalikan ke Paris di bawah pengawalan.

Pétion, Latour-Maubourg dan Antoine Pierre Joseph Marie Barnave yang mewakili majelis, bertemu anggota kerajaan itu di Épernay dan kembali dengan mereka. Dari saat ini, Barnave menjadi penasihat dan pendukung keluarga raja.

Saat mencapai Paris, kerumunan itu tetap hening. Majelis untuk sementara menangguhkan sang raja. Ia dan Ratu Marie Antoinette tetap ditempatkan di bawah pengawalan.

Upaya melarikan diri berdampak besar pada opini publik; karena jelas Louis telah mencari perlindungan di Austria, Majelis sekarang menuntut sumpah setia kepada rezim, dan mulai mempersiapkan perang, sementara ketakutan akan 'mata-mata dan pengkhianat' menyebar luas.

Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional

Untuk diskusi lebih jelas, silakan lihat Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional.

Dengan sebagian besar anggota majelis yang masih menginginkan monarki konstitusional daripada republik, sejumlah kelompok itu mencapai kompromi yang membiarkan Louis XVI tidak lebih dari penguasa boneka: ia terpaksa bersumpah untuk konstitusi, dan sebuah dekret menyatakan bahwa mencabut sumpah, mengepalai militer untuk mengumumkan perang atas bangsa, atau mengizinkan tiap orang untuk berbuat demikian atas namanya berarti turun tahta secara de facto.

Jacques Pierre Brissot mencadangkan sebuah petisi, bersikeras bahwa di mata bangsa Louis XVI dijatuhkan sejak pelariannya. Sebuah kerumunan besar berkumpul di Champ-de-Mars untuk menandatangani petisi itu. Georges Danton dan Camille Desmoulins memberikan pidato berapi-api. Majelis menyerukan pemerintah kotamadya untuk "memulihkan tatanan masyarakat". Garda Nasional di bawah komando Lafayette menghadapi kerumuman itu. Pertama kali para prajurit membalas serangan batu dengan menembak ke udara; kerumunan tidak bubar, dan Lafayette memerintahkan orang-orangnya untuk menembak ke kerumunan, menyebabkan pembunuhan sebanyak 50 jiwa.

Segera setelah pembantaian itu pemerintah menutup banyak klub patriot, seperti surat kabar radikal seperti L'Ami du Peuple milik Jean-Paul Marat. Danton lari ke Inggris; Desmoulins dan Marat lari bersembunyi.

Sementara itu, ancaman baru dari luar muncul: Leopold II, Kaisar Romawi Suci, Friedrich Wilhelm II dari Prusia, dan saudara raja Charles-Phillipe, comte d'Artois mengeluarkan Deklarasi Pilnitz yang menganggap perkara Louis XVI seperti perkara mereka sendiri, meminta pembebasannya secara penuh dan pembubaran majelis itu, dan menjanjikan serangan ke Prancis atas namanya jika pemerintah revolusi menolak syarat tersebut.

Pernyataan itu secara langsung membahayakan Louis sendiri. Orang Prancis tidak mengindahkan perintah penguasa asing itu, dan ancaman militer hanya menyebabkan militerisasi perbatasan.

Justru sebelum "Pelarian ke Varennes", para anggota majelis telah menentukan peraturan untuk melarang para anggota untuk mengikuti pemilihan majelis yang baru, yaitu Majelis Legislatif. Kini mereka mengumpulkan sejumlah UU yang telah mereka sahkan ke dalam Konstitusi Prancis 1791, menunjukkan keuletan yang luar biasa dalam memilih untuk tidak menggunakan hal ini sebagai kesempatan untuk amandemen utama, dan mengajukannya ke Louis XVI yang dipulihkan saat itu, yang langsung menyetujuinya. Louis menulis "Saya mengajak mempertahan Konstitutsi ini di dalam negeri, mempertahankannya dari semua serangan luar; dan memutuskan pengesahannya dari saya". Raja memuji majelis dan menerima tepukan tangan penuh antusias dari para anggota dan penonton. Majelis mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 29 September 1791.

Mignet menulis, "Konstitusi 1791... adalah karya kelas menengah, kemudian yang terkuat; seperti yang diketahui benar, karena kekuatan yang mendominasi pernah mengambil kepemilikan lembaga itu... Dalam konstitusi ini rakyat adalah sumbernya, tetapi tak melaksanakan apapun." [3]

Majelis Legislatif dan kejatuhan monarki

Majelis Legislatif

Di bawah Konstitusi 1791, Prancis berfungsi sebagai monarki konstitusional. Raja harus berbagi kekuasaan dengan Majelis Legislatif yang terpilih, tetapi ia masih bisa mempertahankan vetonya dan kemampuan memilih menteri.

Majelis Legislatif pertama kali bertemu pada tanggal 1 Oktober 1791, dan jatuh dalam keadaan kacau hingga kurang dari setahun berikutnya. Dalam kata-kata 1911 Encyclopædia Britannica: "Dalam mencba memerintah, majelis sama sekali telah gagal. Majelis Legislatif membiarkan kekosongan keuangan, ketidakdisiplinan pasukan dan angkatan laut, dan rakyat yang rusak moralnya oleh huru-hara yang aman dan berhasil."

Majelis Legislatif terdiri atas sekitar 245 anggota Feuillant (monarkis konstitusional) di sisi kanan, sekitar 136 Girondin (republikan liberal) dan Jacobin (revolusioner radikal) di sisi kiri, dan sekitar 345 wakil yang tak berafiliasi dengan faksi apapun. Faksi Jacobin dipimpin oleh Brissot dan biasa disebut Brissotins.

Meskipun merupakan minoritas di Majelis, kuasa atas komite-komite utama memungkinkan keluarga Brissotin memprovokasi Louis untuk menggunakan hak vetonya. Mereka pertama kali berhasil mengeluarkan keputusan menyita properti emigran, dan mengancam mereka dengan hukuman mati, kemudian raja memveto legislasi yang mengancam émigré dengan kematian ini.

Majelis menyetujui sebuah dekrit yang memberikan waktu delapan hari kepada pendeta refraktori untuk mematuhi, atau menghadapi tuduhan 'konspirasi terhadap bangsa', tindakan yang ditentang bahkan oleh Robespierre. Ketika Louis memveto lagi, lawan-lawannya dapat menggambarkannya sebagai kebalikan dari reformasi secara umum, Setahun kemudian, ketidaksetujuan atas hal ini akan menimbulkan krisis konstitusi.

Perang

Politik masa itu membawa Prancis secara tak terelakkan ke arah perang terhadap Austria dan sekutu-sekutunya. Sang Raja, kelompok Feuillant dan Girondin khususnya menginginkan perang. Sang Raja (dan banyak Feuillant bersamanya) mengharapkan perang akan menaikkan popularitasnya; ia juga merencanakan untuk memanfaatkan tiap kekalahan: yang hasilnya akan membuatnya lebih kuat. Kelompok kiri Girondin ingin menyebarkan revolusi ke seluruh Eropa. Hanya beberapa Jacobin radikal yang menentang perang, mereka lebih memilih konsolidasi dan mengembangkan revolusi di dalam negeri. Kaisar Austria Leopold II, saudara Marie Antoinette, berharap menghindari perang, tetapi meninggal pada tanggal 1 Maret 1792.

Prancis menyatakan perang pada Austria (20 April 1792) dan Prusia bergabung di pihak Austria beberapa minggu kemudian. Perang Revolusi Prancis telah dimulai dan Prancis menderita serangkaian kekalahan telak.

Dalam upaya untuk memobilisasi dukungan rakyat, pemerintah memerintahkan pendeta non-juri untuk bersumpah atau dideportasi, membubarkan Garda Konstitusi dan menggantinya dengan 20.000 fédérés ; Louis setuju untuk membubarkan Garda Konstitusi, tetapi memveto dua proposal lainnya, sementara Lafayette meminta Majelis untuk menekan faksi-faksi yang ada didalam Majelis.

Setelah pertempuran kecil awal berlangsung sengit untuk Prancis, pertempuran militer yang berarti atas perang itu terjadi saat Pertempuran Valmy yang terjadi antara Prancis dan Prusia (20 September 1792). Meski hujan lebat menghambat resolusi yang menentukan, artileri Prancis membuktikan keunggulannya. Namun, dari masa ini, Prancis menghadapi huru-hara dan monarki telah menjadi masa lalu.

Krisis konstitusi

10 Agustus 1792 di Komune Paris

Kemarahan rakyat meningkat ketika rincian Manifesto Brunswick yang dianggap menghina revolusi mencapai Paris pada tanggal 1 Agustus. Isi Manifesto itu antara lain berisi ancaman 'balas dendam yang tak terlupakan' jika ada yang menentang Sekutu dalam upaya memulihkan kekuasaan monarki.

Pada malam 10 Agustus 1792, para pengacau, yang didukung oleh kelompok revolusioner baru Commune Paris, menyerbu Istana Tuileries, membunuh banyak Garda Swiss yang menjaga istana tersebut. Raja dan ratu akhirnya menjadi tahanan dan sidang muktamar Majelis Legislatif menangguhkan monarki: tak lebih dari sepertiga wakil, hampir semuanya Jacobin.

Akhirnya sebagian besar pemerintahan nasional bergabung dengan commune. Saat commune mengirimkan sejumlah kelompok pembunuh ke penjara untuk menjagal 1400 korban, dan mengirimkan surat edaran ke kota lain di Prancis untuk mengikuti contoh mereka, Majelis hanya bisa melancarkan perlawanan yang lemah. Keadaan ini berlangsung terus menerus hingga Konvensi, yang diminta membuat konstitusi baru, bertemu pada tanggal 20 September 1792 dan menjadi pemerintahan de facto baru di Prancis. Pada hari berikutnya konvensi itu menghapuskan monarki dan mendeklarasikan republik. Tanggal ini kemudian diadopsi sebagai awal Tahun Satu dari Kalender Revolusi Prancis.

Republik Pertama (1792-1795)

Eksekusi Louis XVI

Akhir Agustus, Pemilihan Konvensi digelar. Kelompok Brissotins terpecah menjadi dua kelompok, yaitu Girondins moderat pimpinan Brissot dan kelompok Montagnards radikal yang dipimpin Robespierre, Georges Danton dan Jean-Paul Marat. Kuasa legislatif di Republik baru jatuh ke Konvensi Nasional, sedangkan kekuasaan eksekutif jatuh ke sisanya di Komite Keamanan Publik. Kaum Girondin pun menjadi partai paling berpengaruh dalam konvensi dan komite itu.

Dalam Manifesto Brunswick, tentara kerajaan dan Prusia mengancam pembalasan ke penduduk Prancis jika hal itu menghambat langkah majunya atau dikembalikannya monarki. Sebagai akibatnya, Raja Louis dipandang berkonspirasi dengan musuh-musuh Prancis. 17 Januari 1793 menjadi hari diumumkannya tuntutan mati kepada Raja Louis yang diputuskan melakukan "konspirasi terhadap kebebasan publik dan keamanan umum" oleh mayoritas lemah di konvensi. Eksekusi tanggal 21 Januari menimbulkan banyak perang dengan negara Eropa lainnya. Permaisuri Louis yang kelahiran Austria, Marie Antoinette, menyusulnya ke guillotine pada tanggal 16 Oktober.

Saat perang bertambah sengit, harga naik dan sans-culottes (buruh miskin dan Jacobin radikal) memberontak; kegiatan kontrarevolusi mulai bermunculan di beberapa kawasan. Hal ini mendorong kelompok Jacobin merebut kekuasaan melalui kup parlemen, yang ditunggangi oleh kekuatan yang didapatkan dengan menggerakkan dukungan publik terhadap faksi Girondin serta memanfaatkan kekuatan khayalak sans-culottes Paris. Persekutuan Jacobin dan unsur-unsur sans-culottes menjadi pusat yang efektif bagi pemerintahan baru membuat kebijakan menjadi lebih radikal.

Guillotine: antara 18.000-40.000 jiwa dieksekusi selama Pemerintahan Teror

Komite Keamanan Publik berada di bawah kendali Maximilien Robespierre, dan faksi Jacobin menerapkan Pemerintahan Teror (1793-1794). Setidaknya 1200 jiwa menemui kematiannya dengan guillotine dsb; setelah tuduhan kontrarevolusi. Gambaran yang sedikit saja atas pikiran atau kegiatan kontrarevolusi (atau, pada kasus Jacques Hébert, semangat revolusi yang melebihi semangat kekuasaan) bisa menyebabkan seseorang dicurigai, dan pengadilan tidak berjalan dengan teliti.

Pada tahun 1794 Robespierre memerintahkan tokoh-tokoh Jacobin yang ultraradikal dan moderat dieksekusi; namun, sebagai akibatnya, dukungan rakyat terhadapnya terkikis sama sekali. Pada tanggal 27 Juli 1794, orang-orang Prancis memberontak terhadap Pemerintahan Teror yang sudah kelewatan dalam Reaksi Thermidor, yang menyebabkan anggota konvensi yang moderat menjatuhkan hukuman mati untuk Robespierre dan beberapa anggota terkemuka lainnya di Komite Keamanan Publik.

Pemerintahan baru sebagian besar tersusun atas Girondis yang lolos dari teror, dan setelah merebut kekuasaan, mereka menuntut balas dengan penyiksaan yang juga dilakukan terhadap Jacobin yang telah membantu menjatuhkan Robespierre, melarang Klub Jacobin dan menghukum mati sejumlah besar bekas anggotanya pada apa yang disebut sebagai Teror Putih.

Konvensi menyetujui "Konstitusi Tahun III" yang baru pada tanggal 17 Agustus 1795; sebuah plebisit meratifikasinya pada bulan September; dan mulai berpengaruh pada tanggal 26 September 1795.

Direktorat (1795-1799)

Konstitusi baru itu melantik Directoire (bahasa Indonesia: Direktorat) dan menciptakan legislatur bikameral pertama dalam sejarah Prancis. Parlemen ini terdiri atas 500 perwakilan (Conseil des Cinq-Cents/Dewan Lima Ratus) dan 250 senator (Conseil des Anciens/Dewan Senior). Kuasa eksekutif dipindahkan ke 5 "direktur" itu, dipilih tahunan oleh Conseil des Anciens dari daftar yang diberikan oleh Conseil des Cinq-Cents.

Régime baru bertemu dengan oposisi dari Jacobin dan royalis yang tersisa. Pasukan meredam pemberontakan dan kegiatan kontrarevolusi. Dengan cara ini pasukan tersebut dan jenderalnya yang berhasil, Napoleon Bonaparte memperoleh lebih banyak kekuasaan.

Pada tanggal 9 November 1799 (18 Brumaire dari Tahun VIII) Napoleon mengadakan kup yang melantik Konsulat; secara efektif hal ini memulai kediktatorannya dan akhirnya (1804) pernyataannya sebagai kaisar, yang membawa mendekati fase republikan spesifik pada masa Revolusi Prancis.

Dampak

Bidang agama

Revolusi Prancis menimbulkan sekularisme atas paham agama Kristen. Sekularisme ini kemudian menghilangkan agama dan mengubahnya menjadi bidang sosial dan bidang politik. Teologi Kristen yang menyatakan bahwa hanya agama Kristen satu-satunya agama yang benar, diubah dengan mengembangkan konsep inklusivisme dan pluralisme. Dalam bidang organisasi keagamaan, konsep agama formal dihilangkan dengan mengembangkan konsep agama sebagai aktivitas Dalam bidang kajian kitab suci, kaum sekularis mengadakan dekonstruksi konsep Alkitab sebagai Firman Tuhan melalui hermeneutika. Lalu, mereka mengembangkan metode kritik sejarah atas Alkitab.[47]

Bidang politik

Dampa utama yang ditimbulkan revolusi Prancis terhadap sistem politik jelas berupa kekuasaan absolut yang sangat dikecam oleh rakyat. Lebih dari itu, paham liberal yang muncul dengan adanya revolusi Prancis sangat pesat menyebar hingga ke penjuru dunia seperti Spanyol, Jerman, Rusia, Austria, dan Italia. Dengan adanya revolusi Prancis tumbuh pula paham demokrasi, parlementer, republik, dan lain sebagainya yang tentunya juga mulai tumbuh di negara lain.[butuh rujukan]

Bidang sosial

Dalam perjuangan revolusi Prancis jelas dapat kita ketahui bahwa stratifikasi sosial di negara tersebut dihapuskan, memberikan hak dan kewajiban yang sama terhadap seluruh rakyat serta memberikan kebebasan dalam menentukan agama, pendidikan, dan pekerjaan.[butuh rujukan]

Bidang ekonomi

Dihapusnya sistem gilde, yakni sistem dalam peraturan perdagangan. Dengan dihapusnya sistem ini maka perdagangan dan industri dapat berkembang dengan cukup baik di Prancis pasca revolusi Prancis.[butuh rujukan]

Disisi lain kehidupan petani juga memiliki peningkatan, hal ini tidak lain karena dihapusnya pajak feodal dan selain sebagai penggarap tanah, petani juga diberikan hak untuk memiliki tanah. Dengan demikian pendapatan dan taraf hidup petani perlahan semakin meningkat.[butuh rujukan]

Pengaruh Revolusi Prancis Terhadap Indonesia

Salah satu wilayah yang terkena dampak positif dari terjadinya revolusi Prancis adalah Indonesia. Meskipun pada saat itu kedaulatan NKRI dan kemerdekaan Indonesia belum menemu jalannya, tetapi peristiwa revolusi Prancis memberikan inspirasi bagi para tokoh di Indonesia. Beberapa paham yang turut dijadikan sebagai motor penggerak massa mencari jalan Indonesia dalam kebabasan dan kemerdekaan adalah sebagai berikut:

Paham Nasionalisme

Sebagaimana catatan sejarah yang ada, paham nasionalisme muncul dan berkembang di daratan Eropa. Setelah adanya revolusi Prancis paham ini menyebar dengan cepat di daratan Asia dan Afrika, tidak terkecuali Indonesia dalam melawan negara imperialis Barat yang telah lama berkongko di Indonesia.

Boedi Oetomo adalah salah satu organisasi nasional yang telah mengikuti paham nasionalisme dan berdiri pada tanggal 20 Mei 1908. Dari organisasi nasional pertama di Indonesia ini kemudian paham nasionalisme semakin terkenal dan menyebar di Indonesia sehingga bermunculan pergerakan nasional di Indonesia.

Paham Demokrasi

Meskipun tidak secara langsung terkena dampak dari terjadinya revolusi Prancis, tetapi secara tidak langsung paham demokrasi yang mulai muncul di Indonesia pada Abad ke-20 merupakan bukti menyebarnya paham demokrasi ke seluruh penjuru dunia. Hal ini dibuktikan pada saat pemerintah Belanda yang pada waktu itu berkuasa di Indonesia memutuskan kaum bumi putera wajib militer guna memperkuat keamanan. Mendengar keputusan tersebut yang terjadi pada tahun 1916 ini maka Boedi Oetomo mengirimkan wakilnya yakni Dwidjosewoyo untuk melakukan perundingan dan negosiasi terhadap para pemimpin Belanda di Indonesia. Dari hasil negosiasi tersebut pemerintah Belanda tidak jadi memberikan wajib militer bagi penduduk pribumi melainkan diganti dengan pendirian Volksraad yakni Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda yang diresmikan pada tanggal 16 bulan Desember tahun 1916.

Selain hal tersebut diatas, bukti paham demokrasi muncul di Indonesia setelah adanya revolusi Prancis ialah adanya tuntutan Indonesia Ber-parlemen. Bentuk perjuangan dan asas yang dianut dalam sistem parlemen tetunya sedikit banyak terinspirasi oleh perjuangan rakyat Prancis pada masa revolusi Prancis. Dengan adanya paham ini kemudian partai-partai politik di Indonesia bergabung membentuk wadah baru yang disebut dengan Gabungan Politik Indonesia atau yang sering disingkat GAPI. Dalam perjuangannya GAPI menyerukan bahwa Indonesia Berparlemen. Hal ini dilakukan guna menghindari paham fasisme yang pada saat itu sangat meresahkan dunia khususnya pada masa perang dunia II.

Persatuan

Sebagaimana kita ketahui bahwa revolusi Prancis dapat berjalan dengan lancar karena adanya persatuan dari rakyat-nya. Hal itu pula menginspirasi Indonesia untuk menumbuhkan sikap persatuan dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Salah satu bukti awal lahirnya persatuan di Indonesia setelah adanya revolusi Prancis adalah digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Hal ini diikrarkan oleh para pemuda Indonesia yang kemudian kita kenal dengan “Sumpah Pemuda”.

Lihat pula

Revolusi lain dalam sejarah Prancis

Revolusi besar lain dalam sejarah

Tokoh-tokoh

Beberapa tokoh dalam Revolusi Prancis:

Referensi

  1. ^ Welianto, Ari. Welianto, Ari, ed. "Penyebab Terjadinya Revolusi Perancis". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-08-31. 
  2. ^ "French Revolution". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-24. Diakses tanggal 2013-05-05. 
  3. ^ Donald Greer, The Incidence of the Terror during the French Revolution: A Statistical Interpretation (1935).
  4. ^ Bell, David Avrom (2007). The First Total War: Napoleon's Europe and the birth of warfare as we know it. New York: Houghton Mifflin Harcourt. hlm. 51. ISBN 0-618-34965-0. The French Revolution, which began in 1789 and led to the total war of 1792–1815.... 
  5. ^ "Encyclopædia Britannica — Traite". Diakses tanggal 16 October 2008. 
  6. ^ William Doyle, The Oxford History of the French Revolution (2nd ed. 2003), hal.73–74
  7. ^ Frey, hal. 3
  8. ^ "France's Financial Crisis: 1783–1788". Diakses tanggal 26 October 2008. 
  9. ^ a b c Hibbert, hal. 35, 36
  10. ^ Frey, hal. 2
  11. ^ Doyle, The French Revolution: A very short introduction, hal. 34
  12. ^ Doyle 2003, hal. 93
  13. ^ a b Frey, hal. 4, 5
  14. ^ a b c Doyle 2001, hal. 38
  15. ^ Doyle 1989, hal.89
  16. ^ a b c Neely, hal. 56
  17. ^ a b Hibbert, hal.42–45
  18. ^ Assemblée Nationale (French)
  19. ^ a b Neely, hal. 63, 65
  20. ^ Furet, hal. 45
  21. ^ Hibbert, hal. 54
  22. ^ Schama 2004, hal.300–301
  23. ^ John Hall Stewart. A Documentary Survey of the French Revolution. New York: Macmillan, 1951, hal. 86.
  24. ^ Schama 2004, hal.303
  25. ^ a b Schama 2004, hal.312
  26. ^ "Sejarah Revolusi Perancis Bermula dari Penyerbuan Penjara Bastille". Tirto.id. Diakses tanggal 2020-08-31. 
  27. ^ Schama 2004, hal.317
  28. ^ Schama 2004, hal.331
  29. ^ Schama 2004, hal.344
  30. ^ Schama 2004, hal.357
  31. ^ Schama 2004, hal.248
  32. ^ Lefebvre, hal.187–188.
  33. ^ Hibbert, 93
  34. ^ Doyle 1989, hal.121
  35. ^ Doyle 1989, hal.122
  36. ^ a b Censer and Hunt, Liberty, Equality, Fraternity: Exploring the French Revolution, 4.
  37. ^ Censer and Hunt, Liberty, Equality, Fraternity: Exploring the French Revolution, 16.
  38. ^ John McManners, The French Revolution and the Church, 5.
  39. ^ John McManners, The French Revolution and the Church, 50, 4.
  40. ^ National Assembly legislation cited in John McManners, The French Revolution and the Church, 27.
  41. ^ John McManners, The French Revolution and the Church, 27.
  42. ^ a b Censer and Hunt, Liberty, Equality, Fraternity: Exploring the French Revolution, 61.
  43. ^ Emmet Kennedy, A Cultural History of the French Revolution, 148.
  44. ^ a b Censer and Hunt, Liberty, Equality, Fraternity: Exploring the French Revolution, 92.
  45. ^ Emmet Kennedy, A Cultural History of the French Revolution, 151.
  46. ^ Censer and Hunt, Liberty, Equality, Fraternity: Exploring the French Revolution, 92–94.
  47. ^ Husaini, Adian (2005). Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler Liberal. Jakarta: Gema Insani. hlm. 55–56. ISBN 978-602-250-517-4.