Lompat ke isi

Perang Banjar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perang banjar
Bagian dari Kampanye Militer Kerajaan Belanda

Kapal uap Celebes berperang melawan benteng rakit apung yang disebut Kotamara dikemudikan orang Dayak pada tanggal 6 Agustus 1859 di pulau Kanamit, sungai Barito.
LokasiKesultanan Banjarmasin
Hasil Kemenangan pihak Hindia Belanda
Pihak terlibat
 Kerajaan Belanda
Kesultanan Banjarmasin Pro Belanda
Kesultanan Banjarmasin
Tokoh dan pemimpin
-1909)|Letnan-Kolonel GM Verspyck]]
Korban
  • mencapai 5000 jiwa
  • 2 Kapal uap
  • 6000 jiwa lebih[1]
  • Rute Operasi Perang
    Bagian dari Kampanye Militer Kerajaan Belanda
    Naskah peta keadaan dan operasi militer Belanda saat Perang Banjar. Lokasi militer Belanda ditunjukkan dengan adanya bendera Belanda. Angka Romawi, merujuk ke distrik militer, distrik militer yang lebih besar dalam garis merah ganda. Pawai Letnan Kolonel Verspyck melalui hutan ke Bayan Begok.
    Lingkup operasiKesultanan Banjar
    LokasiKesultanan Banjar
    PerencanaKolonel Verspyck
    PemimpinKolonel Verspyck
    TanggalOktober-November 1862

    Perang Banjar[2][3][4][5] atau Perang Banjar-Barito atau Perang Kalimantan Selatan[6] adalah perang perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda di Kerajaan Banjar[7] yang berlangsung hampir setengah abad (1859–1906), sehingga menjadikannya perang terlama di Nusantara.[8] Jika dilihat coraknya, perlawanan dapat dibedakan antara perlawanan ofensif yang berlangsung dalam waktu relatif pendek (1859–1863),[9][10] dan perlawanan defensif yang mengisi yang mengisi seluruh perjuangan selanjutnya (1863–1905/06).[11][12]

    Konflik dengan Belanda sebenarnya sudah mulai sejak Belanda memperoleh hak monopoli dagang di Kesultanan Banjar. Dengan ikut campurnya Belanda dalam urusan kerajaan, kekalutan makin bertambah. Pada tahun 1785, Pangeran Nata yang menjadi wali putra mahkota, mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Sultan Tahmidullah II (1761–1801[13]) dan membunuh semua putra almarhum Sultan Muhammad. Pangeran Amir, satu-satunya pewaris tahta yang selamat, berhasil melarikan diri lalu mengadakan perlawanan dengan dukungan pamannya Gusti Kasim (Arung Turawe), tetapi gagal. Pangeran Amir (kakek Pangeran Antasari) akhirnya tertangkap dan dibuang ke Ceylon (kini Sri Langka).[2][6][14][15][16]

    Strategi Perang

    Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari menggunakan strategi perang gerilya dengan membuat kerajaan baru di pedalaman dan membangun benteng-benteng pertahanan di hutan-hutan. Semangat perlawanan dari persatuan rakyat Banjar dan Dayak diikat dengan relasi kekeluargaan dan kekerabatan melalui ikatan pernikahan. Ikatan tersebut melahirkan status pegustian dan temenggung yang menjadi sarana pemersatu dan solidaritas Banjar-Dayak menghadapi Belanda.[17]

    Pangeran Antasari juga menggalang kerja sama dengan Kesultanan Kutai Kertanegara melalui kerabatnya di Tenggarong. Pangeran Antasari menyurati pangeran-pangeran lainnya dari Kutai seperti Pangeran Nata Kusuma, Pangeran Anom, dan Kerta. Mereka semua adalah mata rantai penyelundupan senjata api dari Kutai ke Tanah Dusun (Banjar). Namun, ketika Perang Banjar dilanjutkan oleh keturunan Pangeran Antasari, Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman tidak merespons positif permintaan bantuan dari Pangeran Perbatasari. Bahkan, Pangeran Perbatasari diserahkan kepada Belanda pada 1885.[17]

    Benteng-benteng pertahanan yang terkenal di hulu dan hilir Teweh:

    1. Benteng Gunung Sulit
    2. Benteng Guyu
    3. Benteng Bayan Begok
    4. Benteng Liang Umbung
    5. Benteng Pangin
    6. Benteng Takko, dekat perbatasan Kutai
    7. Benteng Bamunan
    8. Benteng Terumbang

    Tokoh-Tokoh Hebat

    • Tokoh Rakyat Banjar:
    1. Pangeran Hidayatullah
    2. Pangeran Antasari
    3. Aling
    4. Tumenggung Antaludin – Pemimpin Benteng Gunung Madang
    5. Tumenggung Surapati
    6. Pambakal Sulil
    7. Tumenggung Singapati
    8. Raden Mas Warga Nata
    9. Mas Anom
    10. Demang Lehman
    11. Panglima Bukhari
    12. Tumenggung Jalil – Pemimpin Benteng Tundakan – Baruh Bahinu
    13. Panembahan Muhammad Said
    14. Panglima Batur
    15. Panglima Umbung
    16. Panglima Wangkang
    17. Penghulu Muda
    18. Penghulu Rasyid
    19. Penghulu Suhasin
    20. Raden Djaija – Kepala Pulau Petak Hilir
    21. Tagab Obang
    22. Pambakal Sulil – Pemimpin Perjuangan Di Sungai Kapuas Murung
    23. Muhammad Seman
    24. Kiai Suta Kara – Pemimpin Benteng Martagiri-Tapin
    25. Suta Karsa – Pemimpin Benteng Pamaton Tatas Muning
    26. Pangeran Tjitra Kasoema – Pemimpin benteng Gunung Jabuk
    27. Pangeran Singa Terbang alias Goestie Tapa- pemimpin benteng Tamiang Layang-Telang
    28. Kiai Raksapati- pemimpin benteng Gunung Pamaton
    29. Toemenggoong Aria Pattie – Kepala Dusun Hilir)
    30. Temenggung Karta Pata – Pemimpin Benteng Terumbang, Hilir Teweh
    31. Ratu Zaleha
    32. Wulan Jihad – Pejuang Wanita Dayak Kenyah
    33. Tumenggung Gamar
    34. Pangeran Miradipa – Pemimpin Benteng Tundakan-Baruh Bahinu
    35. Pangeran Syarif Umar bin Zein Bahasyim (Adik lpar P. Hidayatullah) – Gugur Dalam Pertempuran Paringin
    36. Tumenggung Naro
    37. Haji Buyasin (Hadji Boeijasin)[18]
    38. Temenggung Kiai Tjakra Wati – pemimpin benteng Gunung Madang
    39. Galuh Sarinah – isteri Kiai Tjakra Wati
    40. Aji Pangeran Kusumanegara – Raja Cantung-Buntar Laut
    41. Panglima Unggis, dimakamkan di desa Ketapang – Gunung Timang – Barito Utara.
    42. Panglima Sogo, yang turut menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda 26 Desember 1859 di Lewu Lutung Tuwur – makamnya di desa Malawaken, Teweh Tengah – Barito Utara.
    43. Panglima Batu Balot (Tumenggung Marha Lahew) – panglima wanita yang pernah menyerang Fort Muara Teweh tahun 1864–1865, makamnya di desa Malawaken (Teluk Mayang), Kecamatan Teweh Tengah, Barito Utara.
    44. Dammung Sayu – kepala suku Dayak Maanyan Kampung Magantis
    45. Patih Gangsarmas – kepala suku Dayak Taboyan
    46. Gusti Buasan – Pejuang Dari Desa Marindi – Haruai – Tabalong
    47. Gusti Berakit (Berkek) – Cucu Pangeran Antasari
    48. Panglima Teuku Amir – Pejuang Suku Aceh
    49. Panglima Teuku Yusuf – Pejuang Suku Aceh
    50. Pangeran Perbatasari
    51. Pangeran Muhammad Aminullah, menantu Pangeran Prabu Anom
    52. Antung Durrahman
    53. Gusti Atjil
    54. Kiai Sari Kodaton – Kepala Distrik Margasari
    55. Haji Butaher Amuntai
    56. Tagap Kundi Sampit
    57. Tumenggung Djidan
    58. Putri Bulan
    59. Aluh Idut
    60. Habib Ali – Pemimpin Arab Kalimantan Barat
    61. Panglima Mat Narung dari Putussibau
    62. Panglima Wangkang
    63. Tamanggung Awan
    64. Tumenggung Silam
    65. Tamanggung Balere
    66. Tamanggung Ecut
    67. Raden Sahidar
    68. Raden Timbang
    69. Panglima Kumis Baja
    70. H.M.Amin
    71. Panglima Bitik Bahe (dari Lanjas)
    72. Damang Luntung (dari Pendreh)
    73. Damang Laju (dari Jingah)
    74. Tamanggung Danom
    75. Tamanggung Angis (dari Montallat)
    76. Raden Joyo
    77. Panglima Inti
    78. Upeng
    79. Tamanggung Jadam (dari Sungai Teweh)
    80. Panglima Bahi
    81. Tamanggung Lawas (dari Sungai Lahei)
    82. Pambakal Melinkan dari lanskap Karau.[19]
    83. GoESTI OMAR.
    84. GoESTI LAUN.
    85. Toemenggoeng Mangkoe Sarie
    86. Tommongong GENTING
    87. Tommongong TOENDAM (zoon van het hoofd der Kapoers).
    88. Hadjie MATARIP
    89. Tewoeng, Singa atau kepala kampung Sanger-Wassi dan Djaär
    90. DJOERAGAN KAOET alias RADEN DJAJA ANOEM[20][21]
    91. Sambang (Sultan Koening)[22][23]
    92. Raden Naun gelar Raden Mas Jaya Kusuma
    93. Basah gelar Temenggung Mangku Negara
    94. Pangeran Wiera Anta Kesoema alias Radhen Hassan – anak angkat Demang Lehman
    95. Pangeran Mas Nata Widjaja, sepupu Pangeran Djaija Pamenang
    • Tokoh Pihak Kolonial Belanda:
    1. Augustus Johannes Andresen
    2. George Frederik Willem Borel
    3. Karel Cornelis Bunnik
    4. F.P. Cavaljé
    5. P.P.H. van Ham
    6. Karel van der Heijden
    7. Christiaan Antoon Jeekel
    8. H.L. Kilian
    9. Franz Lodewijk Ferdinand Karel von Pestel
    10. Evert Willem Pfeiffer
    11. Joost Hendrik Romswinckel
    12. Charles de Roy van Zuydewijn
    13. C.E. Uhlenbeck
    14. Gustave Verspijck
    15. Johannes Jacobus Wilhelmus Eliza Verstege
    16. Jacobus Agustinus Vetter
    17. Stephanus Johannes Boers
    18. Pangeran Djaija Pamenang – Regent Martapura
    19. Radhen Adipati Danoe Redjo – Regent Amuntai
    20. Toemenggoeng Nicodemus Djaija Negara – Kepala distrik Pulau Petak
    21. Syarif Muhammad Thaha bin Pangeran Syarif Ali Alaydrus – HOOFD VAN BATOE LITJIN.[24][25]
    22. Pangeran Syarif Hamid bin Pangeran Syarif Ali Alaydrus – HOOFD VAN BATOE LITJIN.
    23. Soeto Ono – Kepala distrik Sihoeng
    24. Toemenggoeng Djaja Kartie – Kepala distrik Patai
    25. Haji Kuwit
    26. Kiai Ranga Nitie
    27. Tumenggung Silam
    28. Demang Sylvanus
    29. Pangeran Muda Arifinbillah,raja Cengal, Manunggul, Bangkalaan
    30. Raja Pagatan

    Medan Perang

    Daerah pertempuran berada di daerah Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Tengah. Termasuk di daerah sungai Barito.[26]

    Akhir perang

    Setelah Pangeran Hidayatullah tertangkap dan Pangeran Antasari wafat, perjuangan tetap berlanjut yang di pimpin oleh Gusti Mat Seman, Gusti Acil, Gusti Muhammad Arsyad, dan Antung Durrahman. Oleh pemimpin-pemimpin tersebut, rakyat masih bergerilya dengan se-sekali melakukan serangan kepada Belanda sampai awal abad ke-20.

    Akibat perang

    • Bidang politik.
    1. Daerah Kalimantan Selatan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda.
    2. Dibubarkannya negara Kesultanan Banjar.
    • Bidang ekonomi
      1. Dikuasainya tambang batubara dan perkebunan di daerah Kalimantan Selatan.

    Referensi

    1. ^ https://kumparan.com/berita-hari-ini/kronologi-perang-banjar-bentuk-perlawanan-rakyat-indonesia-terhadap-belanda-1v3MiJoV1xo
    2. ^ a b Mayur, Gusti (1979). Perang Banjar. Rapi. hlm. 9. 
    3. ^ (Indonesia) Drs. Tugiyono Ks. Pengetahuan Sosial Sejarah 2. Grasindo. hlm. 37. ISBN 9797323838. ISBN 9789797323837
    4. ^ (Indonesia) Eryadi, S.Pd. Intisari Pengetahuan Sosial Lengkap (IPSL) SMP. Kawan Pustaka. hlm. 278. ISBN 9797570053. ISBN 9789797570057
    5. ^ (Indonesia) Mila Saraswati & Ida Widaningsih. Be Smart Ilmu Pengetahuan Sosial. PT Grafindo Media Pratama. hlm. 34. ISBN 6020000710. ISBN 9786020000718
    6. ^ a b (Indonesia) Mudjibah Utami (2015). Cerita Perang Kemerdekaan Indonesia. WahyuMedia. hlm. 20. ISBN 6023780334.  ISBN 9786023780334
    7. ^ wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah
    8. ^ https://jejakislam.net/haji-dan-perlawanan-dalam-perang-banjar-1859-1906/
    9. ^ Everhardus Johannes Potgieter, Johan Theodoor Buijis, Pieter Nicolaas Muller, Hendrik Peter Godfried Quack, Jakob Nikolaas van Hall (1866). De Gids (dalam bahasa Belanda). 30. Stichting de Gids. hlm. 33. 
    10. ^ De tijdspiegel (dalam bahasa Belanda). Fuhri. hlm. 179. 
    11. ^ Nugroho Notosusanto (2008). Sejarah Nasional Indonesia Jilid 4: Kemunculan Penjajahan. Balai Pustaka. hlm. 271.  Parameter |contributor= membutuhkan |contribution= (bantuan)
    12. ^ "Colonial warfare and indigenous resistance, 1815–1910". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-03-23. Diakses tanggal 2011-07-24. 
    13. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Regnal
    14. ^ (Indonesia)Nasution, Harun (1992). Ensiklopedi Islam Indonesia. 
    15. ^ (Indonesia)SEJARAH Untuk SMP dan MTs. Grasindo. ISBN 979025198X.  ISBN 9789790251984
    16. ^ (Indonesia) Pranadipa Mahawira (1 Jan 2013). Cinta Pahlawan Nasional Indonesia: Terlengkap & Terupdate. WahyuMedia. hlm. 20. ISBN 9797957519.  ISBN 9789797957513
    17. ^ a b Sjamsuddin, Helius (2001). Pegustian & Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859–1906. Balai Pustaka & Penerbit Ombak. 
    18. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-22. Diakses tanggal 2015-11-03. 
    19. ^ (Belanda) Le Rutte, J. M. C. E. (1863). Episode uit den Banjermasingschen oorlog. A.W. Sythoff. hlm. 95. 
    20. ^ Verzameling der merkwaardigste vonnissen gewezen door de Krijgsraden te velde in de Zuid- en Ooster-afdeeling van Borneo gedurende de jaren 1859–1864: bijdrage tot de geschiedenis van den opstand in het Rijk van Bandjermasin (dalam bahasa Belanda). Ter Landsdrukkerij. 1865. hlm. 93. 
    21. ^ De gids: nieuwe vaderlandsche letteroefeningen (dalam bahasa Belanda). 3. G.J.A. Beijerinck. 1866. hlm. 47. 
    22. ^ Julius Mühlfeld (1875). Wereldgeschiedenis van de jaren 1848–1870 (dalam bahasa Belanda). Van Hoogstraten en Gorter. hlm. 50. 
    23. ^ (Belanda) Verzameling der merkwaardigste vonnissen gewezen door de Krijgsraden te velde in de Zuid- en Ooster-afdeeling van Borneo gedurende de jaren 1859–1864: bijdrage tot de geschiedenis van den opstand in het Rijk van Bandjermasin. Ter Landsdrukkerij. 1865. hlm. 31. 
    24. ^ (Belanda) Landsdrukkerij (Batavia), Landsdrukkerij (Batavia) (1862). Almanak van Nederlandsch-Indië voor het jaar. 36. Lands Drukkery. hlm. 156. 
    25. ^ (Belanda) De bandjermasinsche krijg van 1859–1863: met portretten, platen en een terreinkaart. 2. D. A. Thieme. 1865. hlm. 154. 
    26. ^ Sejarah Daerah Kalimantan Selatan. hlm. 53. 

    Pranala luar