Rasisme
Bagian dari seri |
Diskriminasi |
---|
Rasisme umumnya bermakna diskriminasi terhadap ras atau etnis[1], yaitu suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih istimewa dan berhak untuk merendahkan bahkan memperbudak ras lain yang dianggap lebih rendah.[2]
Beberapa penulis menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri (etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe).[3][4]
Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Politisi sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk setidaknya sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial.
Etymology
Asal akar kata “race” masih belum jelas. Linguists (para ahli Bahasa) pada umumnya setuju bahwa kata ini berasal dari Bahasa English dari Middle French meskipun tidak ada persetujuan bagaimana kata tersebut menjadi Latin-based languages. Baru-baru ini ada pendapat bahwa kata tersebut merupakan turunan dari Arabic ra’s yang berarti “head, beginning, origin” (kepala, permulaan, asal) atau Hebrew rosh yang berarti sama.[5]
Pada abad 19, banyak scientist yang mendukung belief bahwa populasi manusia dapat di bagi ke beberapa races (ras-ras). Istilah racism sendiri adalah sebuah kata benda yang mendeskripsikan suatu kondisi menjadi seorang racist , orang yang mendukung kepercayaan bahwa populasi manusia dapat dan seharusnya di klasifikasikan kedalam ras-ras (races) yang berbeda dengan berbagai kemampuan masing masing dan sifat alami mereka (tendensi, karakter, sifat, hasrat).
kepercayaan ini mungkin akan memotivasi muculnya sebuah ideologi diskriminatif dimana right and privileges (hak dan keistimewaan) diberikan secara berbeda berdasarkan kategori race itu sendiri. Istilah “racist” mungkin bisa menjadi kata sifat atau kata benda, yang mendeskripsikan seorang yang memegang kepercayaan ini.[6]
Pada awalnya orang yang meneorikan tentang race umumnya memegang pandangan bahwa beberapa race lebih rendah dari pada yang lain dan konsekuensinya mempercayai bahwa perlakuan yang berbeda kepada race-race adalah hal yang benar.[7][8][9][10] Awal teori ini berdasarkan asumsi dari penelitian pseudo-scientific, usaha gabungan yang dilakukan untuk mendefinisikan dan membentuk hipotesis agar dapat diterima tentang perbedaan racial pada umumnya di namakan scientific racism, meskipun kata ini adalah misnomer (kurang akurat) dikarenakan kurang data sience yang actual untuk melatar belakangi klaim tersebut.
Faktor penyebab
Rasisme berkaitan dengan konsep ras di dalam masyarakat. Pembentukan rasisme dapat terjadi jika perbedaan fisik dianggap sebagai suatu hal yang penting di dalam masyarakat. Rasisme juga dapat timbul karena adanya perbedaan dari segi psikologi, ideologi dan ekonomi. Kondisi yang dapat menimbulkan rasisme di dalam masyarakat yaitu adanya beberapa kelompok ras dengan kebudayaan yang berbeda serta adanya pelembagaan ketidaksetaraan pada masing-masing ras yang saling berhubungan satu sama lain.[11]
Faktor lain adalah kurangnya saling mengasihi dan cinta sesama manusia meskipun hal ini bukan pertama yang di pikirkan orang mengenai rasisme. Hal ini mungkin berperan terjadinya rasisme dan diskriminasi karena dengan saling mengasihi/mencintai sesama manusia berarti menolak untuk mentoleransi ketidak-adilan dan merangkul keaneragaman serta saling menghargai tanpa pandang bulu (inklusi).[12]
Psikologi
Authoritarian personality : Adorno’s theory tentang authoritarian personality yang selaras dengan Freud’s psychoanalysis menyatakan bahwa individu yang mendukung conservatism, nationalism, dan fascism cenderung mengembangkan personality dan cara berfikir yang rigid/kaku, serta mengekspresikan kepercayaan konvensional dan sering manyatakan diri mereka sebagai pemimpin. Hal ini menyebabkan kecenderungan untuk membenci sesuatu yang berbeda dengan nilai, norma dan malakukan racism terhadap minoritas.[13]
Prejudice (berprasangka buruk):
Prejudice adalah awal dari diskriminasi dan stigma atau label.[14]
- Model justification-suppression dari prejudice yang diciptakan oleh Christian Crandall and Amy Eshleman.[15] Model ini menjelaskan bahwa seseorang memiliki konflik antara hasrat untuk mengekspresikan prejudice dengan hasrat untuk menjaga self concept (image, citra, harga diri, nama baik) tetap positif. Konflik ini menyebabkan orang untuk mencari pembenaran untuk membenci orang diluar grup dan menggunakan pembenaran tersebut untuk menghindari negative feeling (cognitive dissonance) atau perasaan tidak enak tentang diri mereka karena membenci orang diluar grup.
- Teori realistic conflict menyatakan bahwa kompetisi untuk mendapatkan sumber daya (alam atau pekerjaan) yang terbatas membuat meningkatnya negative prejudice dan diskriminasi. Hal ini terlihat saat sumber daya yang tersedia sedikit.
- Teori Integrated threat juga dikenal dengan Teori intergroup threat adalah sebuah teori di dalam psikologi dan sosiologi yang mendeskripsikan kondisi terancam dapat memunculkan prejudice antara grup social meskipun hanya dalam persepsi. Teori ini di aplikasikan ke berbagai social grup yang mungkin merasa terancam, apakah itu grup mayoritas atau minoritas. Di dalam teori ini yang dihadapi sebenarnya hanyalah persepsi tentang ancaman bukan ancaman yang sebenarnya. Persepsi ancaman termasuk semua ancaman yang dipercaya telah dialami anggota grup, tanpa memperdulikan apakah ancaman tersebut benar-benar ada atau tidak. Sebagai contoh, orang mungkin merasa ekonomi mereka terancam oleh orang luar grup dapat mencuri pekerjaan mereka meskipun kenyataannya tidak ada hubungannya dengan kesempatan kerja mereka dengan orang luar. Sehingga, meskipun hanya false-alarm masih mendapat konsekuensi yang nyata untuk prejudice antar grup.[16]
- Teori Social dominance menyatakan bahwa masyarakat dapat di lihat sebagai dasar hirarki grup. Di dalam kompetisi mendapatkan sumber daya yang sedikit seperti perumahan atau pekerjaan, grup dominan menciptakan prejudice/prasangka negative tentang "legitimizing myths" atau "mitos membenarkan" untuk membuat pembenaran moral dan intelektual perbuatan mereka atas grup lain dan mem-validasi klaim mereka atas sumber daya yang terbatas tersebut.[17] "Mitos membenarkan" seperti praktek diskriminasi penerimaan kerja atau norma yang merit-biases berjalan untuk menjaga prejudice hirarki ini.
Teori Social learning : Rasisme diperoleh dari masyarakat sejak kecil seperti yang Farzana Saleem, PhD, assistant professor di Graduate School of Education, Stanford University katakan bahwa “Racism is learned early on in development, and children receive many messages about race and racism from a young age.” (rasisme dipelajari sejak awal perkembangan dan anak-anak menerima banyak ajaran tentang ras dan rasisme sejak kecil). [18] Berdasarkan study, Orang yang dibesarkan dengan konteks kebersamaan dan ras yang sama akan menjadi pribadi yang focus kepada orang lain dan kurang menjadi pribadi yang berkarakter, tampak sama dan berbicara dengan cara yang sama. Sebaliknya orang yang dibesarkan dengan individual konteks relative cenderung focus ke diri dan berkarakter berbeda. Orang yang dibesarkan dengan ekpose masalah ras akan lebih focus dan sensitive terhadap masalah ras di kehidupan sehari-hari.[19]
Teori Terror management : Orang cenderung mencari keamanan dengan menjadi bagian grup masyarakat saat takut mengingat akan kematian,[20] mereka cenderung menyamakan diri atau conformity dengan perilaku yang di terima di masyarakat dan menjadi bagian ras atau etnis masyarakat.[21] Hal ini berdasarkan Dr Peter Chew, Senior Lecturer of Psychology at James Cook University in Singapore “For example, when researchers reminded people of death, these people reacted by reporting higher prejudice against minorities, greater intentions to donate money, and an increased preference for luxury products,” (untuk contoh, saat peneliti mengingatkan orang tentang kematian, orang-orang ini bereaksi dengan hasil peningkatan prasangka negative terhadap minoritas, meningkatkan niatan untuk mendonasikan uang, dan peningkatan selera untuk produk mewah).[22]
Neurologi
Rasisme berjalan rumit di dalam otak dan terkadang otomatis, subconcious level dan melibatkan banyak brain regions mulai dari bagian untuk mengkategorikan social, self perception, empati, rasa sakit, persepsi wajah serta bentuk lain di dalam grup bias dan diskriminasi orang luar grup.[23]
- Aktifnya medial prefrontal cortex (social categorization) saat berfikir tentang personal attribute (jati diri) mengindikasikan ada hubungan antara personal attribute (jati diri) dengan grup social (ras, etnis, dll).
- Meningkatnya aktifitas inferior parietal lobule (coordinates perception and action) saat melihat video pertandingan orang se-grup dengan luar grup menunjukkan in-grup bias terjadi di awal persepsi.
- Meningkatnya aktifitas anterior cingulate cortex and the inferior frontal cortex (activated when someone experiences pain) saat melihat wajah orang se-etnis sakit dan berkurang drastic saat melihat wajah luar etnis yang sakit, mengindikasikan bahwa orang lebih berempati pada orang satu grup dan tidak menganggap masalah menyakiti orang luar grup.
- Aktifnya amygdala (emotion processing, including fear, anxiety, and aggression) saat melihat sekilas wajah orang luar tetapi apabila melihat lebih lama bagian frontal cortex (cognitive control and emotion regulation) juga aktif, hal ini mengindikasikan bahwa secara subconcious orang mungkin takut, khawatir bahkan menyerang orang luar jika bertatap muka dengan orang luar grup tetapi apabila bertatap muka dalam waktu lama orang lebih dapat mengontrol diri.[23]
Negara dengan kasus rasisme terburuk
Saat maraknya covid-19, rasisme kembali terjadi yaitu masyarakat Asia yang mendapat diskriminasi, karena orang-orang menganggap bahwa orang orang Asia adalah penyebab munculnya virus COVID-19. Menurut stop AAPI, setidaknya terdapat 500 insiden diskriminasi yang dialami oleh masyarakat Asia dan dari Maret 2020 hingga Februari 2021 telah mencapai 3.785 laporan.
Mayoritas laporan mencatat 68% merupakan pelecehan verbal. Sementara 11% melibatkan serangan fisik. Puncaknya terjadi pada kasus penembakan di tempat spa Asia di Atlanta yang menewaskan 8 orang pada Maret lalu.
Daftar negara yang melaporkan kasus rasisme
1. Prancis
Beberapa anak keturunan Asia seperti China, Vietnam, Korea, dan Jepang dikabarkan telah dikucilkan dan diejek oleh teman-temannya di sekolah menegah Paris. Ini karena asal-usul etnis mereka.
Restoran China, Thailand, Kamboja, dan Jepang telah melaporkan penurunan pelanggan. Skala penurunan berkisar antara 30 hingga 50%.
2. Jerman
Majalah mingguan Der Spiegel pernah menerbitkan sampul kontroversial yang dianggap oleh beberapa orang menyalahkan China atas wabah tersebut dan memicu kebencian Anti-Asia atau xenofobia.
Kedutaan Besar China di Berlin telah mengakui peningkatan kasus permusuhan terhadap warganya sejak wabah. Pada 1 Februari 2020, seorang warga negara Tiongkok berusia 23 tahun di Berlin dilaporkan menerima penghinaan rasis dan kemudian dipukuli oleh dua penyerang tak dikenal, dalam sebuah insiden yang diklasifikasikan oleh polisi sebagai "xenofobia".
3. Belanda
Kasus paling banyak ditemukan dalam beberapa kolom komentar dalam postingan mengenai virus corona.
Pada 8 Februari 2020, sekelompok mahasiswa Tiongkok yang tinggal di asrama mahasiswa Universitas Wageningen menemukan bahwa lantai mereka telah dirusak. Kerusakan termasuk bendera Cina robek dari pintu siswa dan robek serta dinding dirusak dengan penghinaan bahasa Inggris.
4. Australia
Pada tanggal 20 Maret 2020, seorang siswa yang mengenakan masker di Hobart, Tasmania diberi tahu, "Anda terkena virus" dan "kembali ke negara Anda" sebelum ditinju sehingga menyebabkan matanya memar dan kacamata pecah. Alasan penyerangan tersebut sebagian disebabkan oleh perbedaan budaya dalam penggunaan masker di budaya Timur dan Barat.
Restoran dan perusahaan China di Sydney dan Melbourne juga tercatat telah mengalami penurunan bisnis yang dramatis, dengan perdagangan menurun lebih dari 70%.
5. India
Tak hanya di dunia Barat, di India sentimen Anti-Asia dan Anti-Oriental juga berhembus kencang. Sebuah survei yang dilaksanakan The Takshashila Institution menemukan bahwa 52,8% responden India merasa istilah seperti "Virus China" dan "Pandemi Made in China" tidak bersifat rasis.
Tak hanya itu, Presiden unit Negara Bagian dari partai berkuasa Bharatiya Janata atau BJP di West Bengal Dilip Ghosh pernah menyatakan bahwa China telah "menghancurkan alam" dan "itulah mengapa Tuhan membalas dendam terhadap mereka." Pernyataan tersebut kemudian dikecam oleh konsulat China di Kolkata, menyebut mereka "salah."
Bahkan rasisme tak hanya terjadi di negara negara eropa saja bahkan di asia sendiri masih saja ada oknum oknum tidak bertanggung jawab yang sangat senang membuat huru hara di antara masyarakat.
Lihat pula
Pranala luar
- (Inggris) Does race exist? argument for the biological concept of race
- (Inggris) Does race exist? argument against the existence of race as a biological entity
- (Inggris) Race in-depth website about race
- (Inggris) Racism and human rights
- (Inggris) Institute for Race Relations
Catatan kaki
- ^ Racism,Definition of racism from the Cambridge Academic Content Dictionary © Cambridge University Press
- ^ "racism - Definitions from Dictionary.com".
- ^ "Document equating ethnocentrism with racism". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-09-19. Diakses tanggal 2007-01-21.
- ^ "Document equating views against miscegenation with racism".
- ^ "race (n2)". Online Etymology Dictionary. Retrieved 21 February 2016.
- ^ Webster's Ninth New Collegiate Dictionary. Merriam-Webster, Inc. 1983. p. 969. ISBN 0-87779-508-8.
- ^ Garner, Steve (2009). Racisms: An Introduction. Sage. Archived from the original on 2019-04-01. Retrieved 2017-06-21.
- ^ "Racism". The Canadian Encyclopedia. 2013. Archived from the original on 8 June 2019. Retrieved 21 February 2016.
- ^ "Framework decision on combating racism and xenophobia". Council Framework Decision 2008/913/JHA of 28 November 2008. European Union. Retrieved 3 February 2011.
- ^ "International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination". UN Treaty Series. United Nations. Archived from the original on 4 August 2011. Retrieved 3 February 2011.
- ^ Rahman, M. T. (2011). Glosari Teori Sosial (PDF). Bandung: Ibnu Sina Press. hlm. 106. ISBN 978-602-99802-0-2.
- ^ "How Love and Hate Influence Health and Racial Equity". RWJF (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-07-13.
- ^ Fibbi, Rosita; Midtbøen, Arnfinn H.; Simon, Patrick (2021). "Migration and Discrimination". IMISCOE Research Series. doi:10.1007/978-3-030-67281-2. ISSN 2364-4087.
Adorno’s theory of the authoritarian personality (Adorno et al. 1950) is iconic for highlighting intrapsychic factors as causes of blatant discrimination. Echoing Freud’s psychoanalysis, this theory argues that individuals inclined to conservatism, nationalism, and fascism tend to develop a rigid personality, think in rigid categories, express conventional beliefs, and often identify with and submit themselves to authority figures. According to Adorno, individuals with authoritarian personalities develop aversion toward differences to their own values and norms and thus express an overt negative attitude toward minority groups.
- ^ National aids trust (February 2003). "THE PSYCHOLOGY OF PREJUDICE" (PDF). NAT (Fact sheet 7): 1.
- ^ Crandall, Christian S.; Eshleman, Amy (2003). "A justification-suppression model of the expression and experience of prejudice". Psychological Bulletin. 129 (3): 414–46. doi:10.1037/0033-2909.129.3.414. PMID 12784937. S2CID 15659505.
- ^ Stephan, Walter G.; Ybarra, Oscar; Morrison, Kimberly Rios (2009). "Intergroup Threat Theory". In Nelson, Todd D. (ed.). Handbook of Prejudice, Stereotyping, and Discrimination. Psychology Press. Taylor and Francis Group. pp. 44. ISBN 9780805859522.
- ^ Sidanius, Jim; Pratto, Felicia; Bobo, Lawrence (1996). "Racism, conservatism, Affirmative Action, and intellectual sophistication: A matter of principled conservatism or group dominance?". Journal of Personality and Social Psychology. 70 (3): 476–90. CiteSeerX 10.1.1.474.1114. doi:10.1037/0022-3514.70.3.476.
- ^ Weir, K. (2023, May 18). Raising anti-racist children. Monitor on Psychology, 52(4)
- ^ Roberts, Steven O.; Bareket-Shavit, Carmelle; Dollins, Forrest A.; Goldie, Peter D.; Mortenson, Elizabeth (2020-11). "Racial Inequality in Psychological Research: Trends of the Past and Recommendations for the Future". Perspectives on Psychological Science (dalam bahasa Inggris). 15 (6): 1295–1309. doi:10.1177/1745691620927709. ISSN 1745-6916.
- ^ "Terror Management Theory | Psychology Today". www.psychologytoday.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-07-13.
- ^ "The Psychology of Racism | Psychology Today". www.psychologytoday.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-07-13.
- ^ "Terror Management Theory: Thinking about death can bring out the worst in us". www.jcu.edu.sg (dalam bahasa Inggris). 2022-05-17. Diakses tanggal 2024-07-13.
- ^ a b "The Neuroscience of Racism | Psychology Today". www.psychologytoday.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-07-14.
The findings in the review article by Molenberghs (2013) make one thing clear: Racism is a highly complex problem, not only on the societal level but also in the brain. There is no single brain area involved in racism. Instead, a complex network of brain regions involved in social categorization, self-perception, empathy, pain, and face perception is involved in racism and other forms of in-group bias and out-group discrimination.