Kerajaan Mekongga
Kerajaan Mekongga adalah adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di Kabupaten Kolaka. Masyarakatnya berasal dari suku Tolaki. Pusat Kerajaan Mekongga awalnya di Bende, kemudian dipindahkan ke Wundulako. Raja-rajanya bergelar Bokeo.[1]
Pemerintahan
Pada awalnya sebelum suku Tolaki Mekongga mendiami pemukiman Wundulako, daerah tersebut bernama Wonua Sorume yang berarti negeri anggrek dikarenakan banyak anggrek kuning keemasan yang tumbuh. Daerah tersebut memiliki penduduk asli orang Moronene (okia) atau Toaere. Kemudian terjadi pembauran antara penduduk asli dengan penduduk pendatang Tolaki di pemukiman tersebut yang bernama Unenapo (kemudian hari dikenal dengan nama Wundulako).[2] Pemukiman Suku Tolaki yang disebut O'tobu inilah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Mekongga. Jumlahnya sebanyak tujuh pemukiman yang meliputi Tikonu, Puu'ehu, Sabilambo, Po'ondui, Lalombaa, Ulunggolaka, dan Mangolo. Masing-masing pemukiman dipimpin oleh seorang bergelar To'onomotuo. Pemukiman-pemukiman ini kemudian disatukan oleh Larumbalangi menjadi Kerajaan Mekongga dan ia sendiri menjadi raja pertama. Larumbalangi kemudian membentuk pejabat pemerintahan yang terdiri dari To'onomotuo, Mbuakoi, Tamalaki, O'tadu, dan Tusawuta. To'onomotuo tetap menjabat sebagai pemimpin pemukiman. Mbuakoi bertugas di bidang upacara dan kepercayaan. Urusan keamanan dan ketertiban masyarakat diserahkan kepada Tamalaki, sedangkan urusan perang diserahkan kepada O'tadu. Sedangkan Tusawuta bertugas di bidang pertanian.[3]
Pemukiman
Pemukiman di Kerajaan Mekongga terbagi menjadi pemukiman kecil dan pemukiman besar. Pemukiman terkecil disebut Anggalo yang terdiri dari empat sampai tujuh kepala keluarga dalam keturunan yang sama serta hidup di ngarai. Gabungan kelompok Anggalo disebut O'napo, sedangkan gabungan dari O'napo disebut O'tobu. Wiayah O'napu dipimpin oleh To'onomotuo, sedangkan wilayah O'tobu dipimpin oleh Pu'utobu.[4]
Pemukiman juga dibentuk di wilayah kaki gunung dan lereng bukit. Pada jenis wilayah ini, masyarakat membentuk pemukiman melingkar. Pemukiman-pemukiman dibangun berdekatan dengan tempat berdagang, berburu dan beternak serta dihubungkan oleh jalan setapak. Rumah-rumah dibangun dalam bentuk rumah panggung. Perbedaan antara rumah bangsawan dan rumah masyarakat biasa diketahui melalui perbedaan bentuk dan ukuran rumah.[3]
Wewenang raja
Raja di Kerajaan Mekongga digelari Bokeo. Raja memiliki kepemilikan atas pajak yang diperoleh dari hasil panen dari masyarakatnya. Pajak yang diberikan kepada raja disesuaikan dengan jarak tempat tinggal masyarakatnya. Penduduk di sekitar pusat kerajaan harus mengumpul pajak sebanyak satu ikat padi, sedangkan penduduk yang tempat tinggalnya jauh hanya membayar pajak sebesar 1 kati beras. Raja juga menerima seperseratus dari hasil hutan dan menerima 2,5 Gulden dari setiap 1 hektare sawah milik masyarakatnya.[5] Selain itu, raja dapat meminta tenaga kerja laki-laki dari masyarakatnya untuk mengelola tanah miliknya di daerah Lambo, Lalembo, dan Balandete. Sebanyak sepertiga hasil panen dari tanah milik raja diberikan kepada perantara Kedatuan Luwu dan Kerajaan Mekongga yang disebut Kapita.[5] Pengelolaan tanah pertanian milik raja dilakukan oleh seorang Pabicara. Ia juga bertugas mengawasi pengelolaan tanah pertanian milik masyarakat. Raja kemudian memberikan imbalan berupa hasil panen dengan jumlah tertentu.[6]
Keagamaan
Kerajaan Mekongga masih menganut kepercayaan tradisional hingga masa pemerintahan Bokeo Teporambe. Kerajaan ini kemudian menerima Islam sebagai agama kerajaan pada masa pemerintahan raja Mekongga ke-8, yaitu Laduma pada tahun 1699. Kerajaan Mekongga kemudian meminta bantuan dari Kedatuan Luwu untuk mengajarkan Islam kepada masyarakatnya.[7]
Peninggalan sejarah
Benteng tanah
Kerajaan Mekongga memiliki sebuah benteng tanah yang dibangun pada tahun 1676 pada masa pemerintahan Bokeo Teporambe. Pembangunan benteng dipimpin oleh adik raja sekaligus panglima perang yang bernama Latoranga. Pembangunan benteng bertujuan untuk mencegah masuknya para perampok yang berdatangan dari arah Pantai Posilui dan Pantai Puuroda. Benteng ini terbuat dari tanah liat dengan luas mencapai 2 Hektare. Benteng ini memiliki tanggul dengan lebar sekitar 2–3 meter dengan tinggi sekitar 3–5 meter. Pembangunan benteng dibantu oleh masyarakat Kerajaan Mekongga dan para saudagar dari Kedatuan Luwu.[8] Lokasi benteng tanah ini adalah di Desa Bende, Kecamatan Wundulako, Kabupaten Kolaka.[9]
Bendera Sangia Nibandera
Peninggalan dari Raja Bokeo Ladumaa dengan usia sekitar 300 tahun. Berupa bendera merah putih dengan ukuran panjang 193 cm dan lebar 63 cm, bertuliskan syahadat Arab Gundul pada bagian putih beserta gambar dan lukisan cicak serta benda pusaka pada bagian putihnya. Bendera asli sudah cukup lapuk sehingga ditambal oleh keturunan kerajaan pada tahun 1960-an. Berdasarkan sejarah bendera tersebut diberikan oleh Datu Alimuddin Setia Raya kepada Bokeo Ladumaa yang membantu Kedatuan Luwu dalam perang melawan Kedatuan Suppa. Bokeo Ladumaa kemudian lebih dikenal dengan nama "Sangia Nibandera" yang berarti raja yang memiliki bendera.[2]
Referensi
- ^ Handrawan (September 2016). "Sanksi Adat Delik Perzinahan (Umoapi) dalam Perspektif Hukum Pidana Adat Tolaki". Perspektif. 21 (3): 205.[pranala nonaktif permanen]
- ^ a b Purnamawati, Desi (2011-09-20). [~Oase~Jeda "Sang Merah Putih dari Mekongga Halaman all"] Periksa nilai
|url=
(bantuan). KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-01-06. - ^ a b Melamba 2013, hlm. 70.
- ^ Melamba 2013, hlm. 69.
- ^ a b Hafid, Anwar et al. 2009, hlm. 71.
- ^ Hafid, Anwar et al. 2009, hlm. 71–72.
- ^ Hafid, Anwar et al. 2009, hlm. 41.
- ^ Hasanuddin 2010, hlm. 163.
- ^ Hasanuddin 2010, hlm. 165.
Daftar pustaka
- Hafid, Anwar; et al. (2009). Sejarah Daerah Kolaka (PDF). Bandung: Humaniora. ISBN 979-778-102-X. [pranala nonaktif permanen]
- Hasanuddin (Juni 2010). "Bende Wuta (Benteng Tanah) dalam Konteks Sejarah Budaya Mekongga Sulawesi Tenggara". Walennae. 12 (2): 159–176. ISSN 1411-0571.
- Melamba, Basrin (Januari 2013). "Dari Metobu hingga Mekambo: Pertumbuhan Pemukiman Kota Kolaka pada Abad XX". Paramita. 23 (1): 67–77. ISSN 0854-0039.