Lompat ke isi

Taksaka

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Arca Taksaka di Kuil Takshakeshwar, India.

Dalam mitologi Hindu, Taksaka atau Takshaka (Dewanagari: तक्षक; ,IASTTakṣaka, तक्षक) adalah salah satu naga, putra dari Dewi Kadru dan Kasyapa. Ia tinggal di Nagaloka bersama saudara-saudaranya yang lain, yaitu Basuki, Antaboga, dan Manasa. Dalam Mahabharata, Naga Taksaka adalah naga yang membunuh Raja Parikesit.

Naga Taksaka dikenal dalam mitologi Tionghoa dan Jepang sebagai salah satu dari "Delapan Raja Naga" (八大龍王 Hachi-dai Ryuu-ou),[1] yaitu kumpulan delapan naga dalam kepercayaan Buddhis yang dapat terbang serta berbisa paling mematikan. Tujuh naga lainnya yaitu: Nanda, Upananda, Sagara (Sakara), Vasuki, Balavan, Anavatapta, dan Utpala.

Naga Taksaka juga muncul dalam mitologi Bali, selayaknya pengaruh mitologi Hindu dari India. dalam mitologi Bali, Taksaka adalah ular yang tinggal di kahyangan. Tidak semua ular ini mempunyai perilaku yang jahat.

Kelahiran

[sunting | sunting sumber]

Dikisahkan dalam cerita Adiparwa bahwa Dewi Kadru yang tidak memiliki anak meminta Resi Kasyapa agar menganugerahinya dengan seribu orang anak. Lalu Bagawan Kasyapa memberikan seribu butir telur agar dirawat Dewi Kadru. Telur-telur tersebut mengandung bakal putra-putra Dewi Kadru. Setelah lima ratus tahun berlalu, telur-telur tersebut menetas. Dari dalamnya keluarlah para naga. Naga yang terkenal adalah Basuki, Antaboga, Taksaka, dan Manasa.

Kematian Parikesit

[sunting | sunting sumber]
Ilustrasi hasil kecerdasan buatan, menggambarkan adegan kematian Parikesit sebagaimana tertulis dalam Mahabharata. Gambar dari Wikimedia Commons.

Dalam kitab Mahabharata diceritakan bahwa saat Raja Parikesit dari Hastinapura pergi berburu, ia kehilangan jejak buruannya dan masuk ke sebuah kediaman brahmana/pertapaan. Ia bertanya kepada seorang pertapa bernama Samiti yang sedang duduk bermeditasi karena hanya pertapa tersebut yang ia temui. Pertapa tersebut diam membisu saat Parikesit bertanya. Karena marah, sang raja mengambil bangkai ular dengan panahnya dan mengalungkannya di leher Samiti. Atas penjelasan Kresa yang mengetahui kejadian yang telah terjadi, putra Samiti yaitu Srenggi, merasa marah atas perbuatan tersebut. Srenggi mengutuk Parikesit agar dia mati digigit ular tujuh hari setelah kutukan diucapkan. Samiti kecewa pada anaknya yang telah mengutuk Parikesit. Akhirnya ia mengutus muridnya untuk pergi menemui raja tentang kutukan tersebut, tetapi Parikesit malu dan lebih memilih melindungi diri dari kutukan. Kemudian Srenggi mengutus Naga Taksaka untuk membunuh sang raja.

Pada hari yang ketujuh, naga Taksaka pergi ke Hastinapura. Di perjalanan, ia bertemu dengan brahmana ahli bisa bernama Kasyapa yang sama-sama menuju Hastinapura. Kasyapa ke Hastinapura karena ia ingin mendapatkan harta melimpah yang ditawarkan Parikesit bagi para brahmana yang melindungi sang raja. Kasyapa pun mendemonstrasikan kemahirannya dalam menawar bisa naga kepada Taksaka. Taksaka merasa bahwa Kasyapa bisa menggagalkan usahanya dalam membunuh sang raja, sehingga ia menyuap brahmana tersebut agar mengurungkan niatnya ke Hastinapura. Upaya tersebut berhasil.

Setibanya di Hastinapura, Taksaka mendapati bahwa Sang Raja sedang dilindungi dan dijaga oleh para brahmana, prajurit, dan ahli mengobati bisa. Agar mampu menjangkau Sang Raja, Naga Taksaka mengubah wujudnya menjadi ulat dan masuk dalam buah jambu. Lalu ia menyuruh naga yang lain untuk menyamar menjadi brahmana dan menghaturkan jambu tersebut. Pada saat Sang Raja menerima buah jambu dari brahmana yang menyamar tersebut, Naga Taksaka kembali ke wujud semula dan mengigit Raja Parikesit. Karena gigitan Sang Naga yang sakti, Raja Parikesit terbakar sampai menjadi abu.[2]

Upacara pengorbanan ular

[sunting | sunting sumber]
Ilustrasi suasana upacara pengorbanan ular yang dilakukan Janamejaya.

Putra Raja Parikesit adalah Raja Janamejaya. Ia diangkat menjadi raja pada usia muda. Saat Sang Utangka datang menghadap Sang Raja, ia menjelaskan penyebab kematian ayah Sang Raja, yaitu digigit Naga Taksaka. Untuk membalas dendam, Sang Raja mengadakan Sarpahoma atau upacara pengorbanan ular. Ia mengundang para brahmana untuk mendukung upacara tersebut. Namun firasat para brahmana mengatakan bahwa kelak upacara tersebut akan digagalkan oleh seorang brahmana.

Saat upacara berlangsung, api dinyalakan. Beberapa saat kemudian, ribuan ular dengan berbagai bentuk melayang, seolah-olah ditarik menuju lokasi upacara dan sampai di sana mereka ditelan api upacara yang berkobar. Banyak ular yang masuk ke dalam api membuat api semakin berkobar disebabkan oleh lemak ular-ular tersebut. Taksaka yang berada di Nagaloka merasa cemas lalu mengutus Astika—salah seorang keponakannya yang juga seorang brahmana—untuk memohon agar Raja Janamejaya membatalkan upacaranya. Sang Astika bersedia melakukannya lalu turun ke bumi. Naga Taksaka lalu mencari perlindungan kepada Dewa Indra. Badannya sudah ditarik oleh mantra-mantra suci agar lenyap dalam api pengorbanan, sehingga ia memegang ujung pakaian Indra erat-erat. Namun mantra diperhebat sehingga tubuh Dewa Indra bergoyang, dan ia takut jangan-jangan ikut masuk ke tungku pengorbanan. Akhirnya Indra melepaskan Naga Taksaka.

Sementara itu Astika turun ke bumi dengan pakaian brahmana dan menghadap Raja Janamejaya. Astika datang dengan takzim dan memuji keagungan Sang Raja. Raja Janamejaya terkesan dengan sikap Astika dan menyanyakan apa yang dikehendakinya. Astika lalu menjelaskan dampak buruk penyelenggaraan upacara tersebut dan memohon agar Sang Raja segera menghentikannya. Atas ketulusan Sang Astika, Sang Raja mengabulkan permohonan tersebut. Naga Taksaka hampir ditelan api pengorbanan Sang Raja, tetapi nyawanya tertolong berkat mantra Astika. Upacara pengorbanan pun dibatalkan dan Taksaka kembali ke Nagaloka.[3]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Eight great dragon kings - Tibetan Buddhist Encyclopedia". 
  2. ^ Dowson, John (1888). A Classical Dictionary of Hindu Mythology and Religion, Geography, History, and Literature. Trubner & Co., London. hlm. 1. 
  3. ^ Garg, Gaṅgā Rām (1992), Encyclopaedia of the Hindu World, Concept Publishing Company, ISBN 978-81-7022-376-4, diakses tanggal 2 August 2013