Lompat ke isi

Rempah-rempah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Beberapa rempah-rempah asal Indonesia sebagai obat atau bumbu masakan.

Rempah-rempah adalah bagian tumbuhan yang beraroma atau berasa kuat yang digunakan dalam jumlah kecil di makanan sebagai pengawet atau perisa dalam masakan. Rempah-rempah biasanya dibedakan dengan tanaman lain yang digunakan untuk tujuan yang mirip, seperti tanaman obat, sayuran beraroma, dan buah kering.

Rempah-rempah merupakan barang dagangan paling berharga pada zaman prakolonial. Banyak rempah-rempah dulunya digunakan dalam pengobatan, tetapi sekarang ini berkurang.

Rempah-rempah adalah salah satu alasan mengapa penjelajah Portugis Vasco Da Gama mencapai India dan Maluku di Indonesia. Rempah-rempah ini pula yang menyebabkan Belanda kemudian menyusul ke Maluku, sementara itu, bangsa Spanyol di bawah pimpinan Magellan telah lebih dahulu mencari jalan ke Timur melalui jalan lain yakni melewati samudra Pasifik dan akhirnya mendarat di pulau Luzon, Filipina.

Beberapa daerah penghasil rempah-rempah terpenting di dunia adalah India, Zanzibar, dan Kepulauan Maluku. Tetapi kebanyakan negara di dunia mengimpor rempah-rempah dari India karena India merupakan pusat rempah-rempah terbesar di dunia.

Sejarah awal

[sunting | sunting sumber]
Proses pengeringan pala, rempah-rempah yang diperkirakan berasal dari Kepulauan Banda, Maluku.

Perdagangan rempah-rempah di subbenua India dimulai setidaknya pada tahun 2000 Sebelum Masehi (SM).[1] Jenis rempah-rempah yang diperdagangkan terutama kayu manis dan lada hitam. Sementara bangsa-bangsa di Asia Timur memperdagangkan herba dan lada. Praktik mumifikasi dan kebutuhan lain Bangsa Mesir Kuno mendorong terjadinya perdagangan antarnegara. Hingga 1000 SM, pengobatan medis berbasis herba mulai digunakan di Tiongkok, Korea, dan India. Selain itu, rempah-rempah awalnya juga digunakan untuk kepentingan ritual, agama, dan tradisi.[2]

Cengkih sudah digunakan oleh Bangsa Mesopotamia pada 1700 SM.[catatan 1] Bangsa Romawi Kuno menggunakan cengkih pada abad pertama Masehi, dibuktikan dengan tulisan Pilinius Tua tentang rempah-rempah tersebut. Papirus Ebers bertanggal 1550 SM dari Mesir Kuno menjelaskan tentang delapan ratus prosedur pengobatan medis menggunakan herba.[4]

Pedagang dari Indonesia memperdagangkan rempah-rempah termasuk pala.[5] Kawasan yang menjadi tujuan penjualannya meliputi wilayah Tiongkok, India, Timur Tengah, hingga pantai timur Afrika. Sementara pedagang Arab membawa rempah-rempah dari timur ke Eropa untuk diperdagangkan. Hal ini menyebabkan Kota Iskandariyah (Alexandria) di Mesir menjadi kota pelabuhan yang penting dalam perdagangan rempah-rempah dunia saat itu. Ditemukannya angin muson menyebabkan rute perdagangan beralih dari yang semula melalui jalur darat menjadi jalur laut.[6]

Abad Pertengahan

[sunting | sunting sumber]
"The Mullus" yang tengah memanen rempah-rempah. Ilustrasi tersebut berasal dari edisi bahasa Prancis dari The Travels of Marco Polo.

Rempah-rempah merupakan salah satu produk paling mahal dan diminati pada Abad Pertengahan.[7] Komoditas yang paling umum diperdagangkan ialah lada hitam, kayu manis (beserta alternatifnya yaitu kayu manis tiongkok), jintan putih, pala, jahe, dan cengkih. Berkaitan dengan teori utama dalam dunia medis abad pertengahan, humoralisme, rempah-rempah dan herba dianggap penting dalam menyeimbangkan "humor" dalam makanan.[8] Selain digunakan dalam kedokteran abad pertengahan, kaum elit Eropa juga menggemari rempah-rempah. Salah satu contohnya ialah Raja Aragon yang mencurahkan banyak sumber daya untuk membawa rempah-rempah ke Spanyol pada abad ke-12. Ia bukanlah satu-satunya monarki Eropa yang mencari rempah-rempah dengan tujuan untuk ditambahkan ke dalam minuman anggur.[9]

Sebagian besar rempah-rempah diimpor dari Asia dan Afrika sehingga harganya cukup mahal. Sejak abad ke-8 hingga ke-15, Republik Venesia melakukan monopoli atas perdagangan rempah-rempah dengan Timur Tengah.[10] Monopoli perdagangan rempah-rempah juga diadakan oleh republik maritim dan kota-kota lain di Italia. Perdagangan tersebut membuat wilayah Venesia dan sekitarnya menjadi kaya. Diperkirakan sebanyak 1.000 ton lada dan 1.000 ton rempah-rempah lain diimpor menuju Eropa Barat selama Abad Pertengahan Akhir. Komoditas ini memiliki nilai yang setara dengan biji-bijian untuk 1,5 juta orang.[11]:65 Rempah-rempah paling eksklusif saat itu ialah safron yang digunakan sebagai perasa dan pewarna merah kekuningan pada makanan.[11]:15

Chili powder, mustard seeds, turmeric powder, cumin seeds
Dari kiri ke kanan: Bubuk kunyit, biji sesawi, bubuk cabai, dan biji jintan putih.

Fungsi utama rempah-rempah yakni sebagai perasa makanan. Rempah-rempah juga digunakan sebagai bahan baku parfum kosmetik dan dupa.[12] Sejak awal ditemukan, rempah-rempah juga menjadi salah satu hal penting dalam pengobatan medis. Sifatnya yang mahal, langka, dan eksotis seringkali dikaitkan sebagai simbol kekayaan dan kelas sosial.[13]

Pewarna makanan

[sunting | sunting sumber]

Selain memberikan aroma, rasa, dan tekstur pada makanan, rempah-rempah juga berfungsi sebagai zat warna alam yang tidak memberikan efek samping bagi manusia. Beberapa rempah-rempah yang memiliki fungsi sebagai pewarna alami yaitu bunga safron, paprika, kunyit, dan kesumba keling. Pada bunga safron terdapat kandungan senyawa aktif yaitu krosin dan krosetin yang mampu menghasilkan warna alami kuning-jingga.[14] Warna kuning-jingga juga dihasilkan dari kunyit yang memiliki kandungan pigmen warna kurkuminoid dengan senyawa kurkumin.[15] Kesumba keling juga dapat memberikan warna merah bata karena bijinya memiliki kandungan zat pigmen warna yaitu senyawa biksin.[16] Di Amerika, paprika juga digunakan sebagai pewarna makanan, seperti jus jeruk, keju, saus, hingga kuning telur. Namun, untuk penggunaan safron sebagai zat pewarna sangat terbatas karena tingginya harga rempah-rempah tersebut. Sehingga di beberapa negara mengganti penggunaan safron dengan bunga kesumba sebagai zat pewarna.[17]

Klaim pengawetan makanan

[sunting | sunting sumber]

Terdapat klaim populer yang menyatakan bahwa rempah-rempah dapat digunakan untuk mengawetkan makanan atau menyembunyikan rasa daging yang telah busuk.[18] Klaim ini bermula pada awal tahun 1500, ketika belum adanya teknologi lemari es untuk mengawetkan makanan. Di beberapa negara seperti Yunani, mereka menggunakan bawang putih untuk mencegah kebusukan pada makanan. Begitupun juga di India, menggunakan jahe, bawang putih, kunyit dan cengkih untuk mengawetkan daging dan ikan.[19] Proses mumifikasi pada mesir kuno juga menggunakan rempah-rempah seperti kayu manis srilangka, bawang putih, dan jinten sarui.[20]

Faktanya, rempah-rempah tidak cukup efektif untuk mengawetkan makanan bila dibandingkan dengan pengasinan, pengasaman, pengasapan, dan pengeringan. Rempah-rempah juga tidak efektif dalam menyembunyikan rasa daging basi.[21] Selain itu, harga rempah-rempah tergolong mahal. Pada abad ke-15 di Oxford, harga seekor babi sama dengan satu pon lada yang merupakan rempah-rempah paling murah kala itu.[21]:2-3 Michael Krondl dalam bukunya menulis bahwa "buku masakan lama dengan jelas menunjukkan bahwa rempah-rempah tidak digunakan sebagai pengawet. Buku-buku tersebut biasanya menyarankan penambahan rempah-rempah di akhir proses pemasakan, yang mana tidak dimaksudkan sebagai pengawet." Pada abad ke-16, Cristoforo di Messisbugo menganggap penambahan lada justru dapat mempercepat pembusukan.[22]

Namun, penggunaan rempah-rempah sebagai pengawet makanan akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan jenis rempah-rempah lainnya. Hal ini karena mikroorganisme yang beragam pada setiap makanan membuat tidak semua bakteri cocok dengan satu jenis rempah-rempah.[23]

Penghambat pertumbuhan bakteri

[sunting | sunting sumber]

Rempah-rempah juga berfungsi sebagai zat antimikroba alami yang mampu menekan pertumbuhan bakteri. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa larutan bawang putih mampu melawan bakteri seperti Escherichia Coli, Salmonella, dan Aeromonas hydrophila.[24] Hal ini juga berlaku pada ekstrak jahe yang mampu membunuh bakteri Escherichia Coli.[25] Selain itu, rempah-rempah seperti cengkih, oregano, daun timi, kayu manis, dan jinten juga mampu menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri.[26] Mulai dari bakteri penyebab kebusukan pada makanan seperti Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens, bakteri penyebab penyakit seperti Staphylococcus aureus dan Vibrio parahaemolyticus, hingga jamur saprofit penyebab penyakit pada tanaman seperti Aspergillus flavu.[27] Kemampuan setiap jenis rempah-rempah berbeda dalam menekan pertumbuhan bakteri, karena beberapa jenis rempah-rempah hanya mampu bekerja pada bakteri tertentu. Pada penelitian yang dilakukan oleh Universitas Cornell, ditemukan bahwa hanya bawang putih, oregano dan bawang yang mampu membunuh seluruh bakteri, sedangkan daun timi, kayu manis, tarragon dan jintan hanya mampu membunuh 80% bakteri, cabai hanya 75%, dan untuk lada hitam dan putih, jahe, adas manis dan seledri hanya sampai 25%.[28] Oleh karena itu, penggunaan rempah-rempah sebagai zat antimikroba akan lebih efektif jika dikombinasikan antar satu sama lain.

Antioksidan

[sunting | sunting sumber]

Rempah-rempah dapat digunakan tubuh untuk melawan radikal bebas dan kanker.[29] Pada rempah-rempah terdapat kandungan senyawa yang dapat bertindak sebagai antioksidan, seperti kandungan rosmanol pada rosemari dan sage, polifenol pada jahe, dan eugenol pada cengkih. Kandungan tersebut dapat memperlambat proses oksidasi dan melindungi sel dari paparan radiasi bebas. Pada penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa penggunaan minyak esensial berbahan dasar rosemari mampu membersihkan radikal bebas dalam tubuh sekaligus memberikan efek terapeutik.[30] Adapun beberapa jenis rempah-rempah yang memiliki senyawa antioksidan yang tinggi, yaitu sage, rosemari, oregano, ketumbar, timi dan marjoram.[31]

Penanganan dan penyimpanan

[sunting | sunting sumber]
Penggiling lada
Beberapa tempat penyimpanan berisi rempah-rempah yang umum digunakan di Kanada dan Amerika Serikat

Alat paling sederhana untuk mengolah rempah-rempah adalah cobek dan ulekan.[32] Saat ini, terdapat alat yang lebih hemat tenaga yakni pemarut (untuk jumlah kecil) atau penggiling (untuk jumlah besar). Beberapa rempah-rempah juga dapat digiling dengan tangan menggunakan bantuan alat penggiling khusus. Namun untuk mengeluarkan karakteristik rasa dari setiap rempah-rempah secara maksimal, maka dibutuhkan cara pengelolaan yang sesuai, seperti dipotong, dibakar, digoreng, dipanggang dan lain-lain. Seperti dalam budaya Eropa dan Amerika Utara, mereka mengolah kayu manis dan ketumbar dengan cara direbus untuk mengeluarkan rasa khas dari rempah-rempah ini.[23] Berbeda dengan budaya India, mereka menggunakan teknik yang berbeda untuk mengeluarkan rasa dari setiap rempah-rempah. Seperti memasak biji mustar atau sesawi dengan metode tempering, di mana memasak dengan minyak goreng yang dipanaskan sampai sangat panas kemudian biji mustar ditambahkan dan digoreng.[33] Ada juga dengan teknik ditumis untuk mengelola jalapeno. Perbedaan metode memasak juga didasari pada perbedaan karakteristik setiap rempah-rempah. Karena tidak semua rempah-rempah mampu diolah dengan suhu yang tinggi, ada juga yang hanya perlu ditambahkan disaat penyajian makanan, seperti biji wijen.

Rasa sebagian rempah-rempah berasal dari senyawa (minyak asiri) yang teroksidasi atau menguap ketika terkena udara. Rempah-rempah yang digiling dapat meningkatkan luas permukaannya sehingga meningkatkan laju oksidasi dan penguapan.[34] Dengan demikian, rasa rempah-rempah dimaksimalkan dengan cara menyimpan bumbu secara utuh dan baru menggiling saat akan dibutuhkan. Rempah-rempah kering utuh dapat disimpan hingga kira-kira dua tahun, sementara rempah-rempah berbentuk bubuk dan biji-bijian dapat bertahan kira-kira enam bulan.[35] Selain lebih cepat basi, rasa rempah-rempah bubuk jauh lebih tidak bertahan lama.[catatan 2]

Rempah-rempah harus disimpan pada wadah tertutup, terhindar dari sinar matahari dan suhu tinggi. Hal ini bertujuan agar rasa dan aroma dari rempah-rempah tidak hilang akibat dari tingginya suhu dan paparan sinar matahari. Selain itu, suhu yang terlalu rendah juga memicu perubahan karakteristik pada rempah-rempah, seperti warna, aroma, dan rasa. Kelembapan yang terlalu [36] rendah juga dapat memicu munculnya bakteri pada rempah-rempah. Oleh karena itu, suhu terbaik untuk menyimpan rempah-rempah yaitu antara 10˚C hingga 15˚C dengan kelembapan relatif sekitar 55% sampai 60%.[17]

Beberapa elemen rasa rempah-rempah mudah larut dalam air, sementara beberapa elemen rasa lainnya mudah larut dalam minyak atau lemak. Umumnya, rempah-rempah membutuhkan waktu supaya rasanya meresap ke makanan sehingga harus ditambahkan saat proses awal memasak. Hal ini berbeda dengan herba yang ditambahkan di akhir proses.[37]

Kontaminasi Salmonella

[sunting | sunting sumber]

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat terhadap pengiriman rempah-rempah ke Amerika Serikat pada tahun fiskal 2007-2009 menemukan bahwa sekitar 7% pengiriman terkontaminasi oleh bakteri Salmonella, beberapa di antaranya kebal terhadap antibiotik.[38] Rempah-rempah terkontaminasi yang dimasak sebelum dimakan tidak menimbulkan masalah. Meskipun demikian, beberapa rempah-rempah, seperti lada, tidak dimasak dan dapat menimbulkan penyakit. Rempah-rempah yang dikirim dari Meksiko dan India kerap ditemukan terkontaminasi Salmonella.[39]

Rempah-rempah umumnya memiliki rasa yang kuat dan hanya digunakan dalam jumlah yang sedikit sehingga hanya memberi sedikit nutrisi, meskipun sebagian rempah-rempah berupa biji-bijian mengandung banyak lemak, protein, dan karbohidrat dengan proporsi yang besar. Apabila digunakan dalam jumlah yang besar, rempah-rempah dapat memberikan sejumlah mineral dan mikronutrien lain, seperti zat besi, magnesium, dan kalsium. Contohnya, satu sendok teh paprika mengandung sekitar 1130 IU Vitamin A, sekitar 20% kadar harian yang dianjurkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat.[40]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Sebuah tim arkeologis yang dipimpin oleh Giorgio Buccellati menggali reruntuhan bangunan yang terbakar di situs Terqa, saat ini di Syria, dan menemukan sebuah pot keramik yang berisi cengkih. Rumah tersebut terbakar sekitar tahun 1720 SM dan menjadi bukti pertama digunakannya cengkih sebelum masa Romawi.[3]
  2. ^ Rasa pala umumnya tidak bertahan lama beberapa hari setelah digiling.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Nabhan, Gary Paul (2020). Cumin, Camels, and Caravans: A Spice Odyssey (dalam bahasa Inggris). Univ of California Press. hlm. 99. ISBN 978-0-520-37924-4. 
  2. ^ Ramkumar, Thakku R.; Karuppusamy, Subbiah (2021). "Plant Diversity and Ethnobotanical Knowledges of Spices and Condiments". Bioprospecting of Plant Biodiversity for Industrial Molecules: 231. 
  3. ^ O'Connell, John (2016). The Book of Spice: From Anise to ZedoaryPerlu mendaftar (gratis). Pegasus Books. hlm. 93. ISBN 978-1-68177-152-6. 
  4. ^ Duke, J.A. (2002). CRC Handbook of Medicinal Spices. CRC Press. hlm. 6. ISBN 978-1-4200-4048-7. Diakses tanggal 18 Januari 2022. 
  5. ^ Engineers, NIIR Board of Consultants & (2006). The Complete Book on Spices & Condiments (dalam bahasa Inggris). Asia Pacific Business Press. hlm. 126–128. ISBN 978-81-7833-038-9. 
  6. ^ Dasgupta, Dr. Asim K. (2014). Arts, Crafts and Traditional Industries (dalam bahasa Inggris). AuthorHouse. hlm. 35. ISBN 978-1-4969-7744-1. 
  7. ^ Parthasarathy, V.A; Kandiannan, K.; Srinivasan, V. (2008). Organic Spices (dalam bahasa Inggris). New India Publishing. hlm. 13. ISBN 978-81-89422-84-4. 
  8. ^ Byrne, Joseph P. (2017). The World of Renaissance Italy: A Daily Life Encyclopedia [2 volumes] (dalam bahasa Inggris). ABC-CLIO. hlm. 315. ISBN 978-1-4408-2960-4. 
  9. ^ Parry, John W. (1955). "The Story of Spices". Economic Botany. 9 (2): 195–196. ISSN 0013-0001. 
  10. ^ Milton, Giles (2012). Nathaniel's Nutmeg: How One Man's Courage Changed the Course of History (dalam bahasa Inggris). John Murray Press. ISBN 978-1-4447-1771-6. Throughout the Middle Ages, Venice had controlled the spice trade with an iron fist. 
  11. ^ a b Adamson, Melitta Weiss (2004). Food in Medieval TimesAkses gratis dibatasi (uji coba), biasanya perlu berlangganan. Westport, Conn: Greenwood Press. ISBN 978-0-313-32147-4. 
  12. ^ Aftel, Mandy (2014). Fragrant: The Secret Life of Scent (dalam bahasa Inggris). Penguin. hlm. 37. ISBN 978-1-101-61468-6. 
  13. ^ Turner, Jack (2008). Spice: The History of a Temptation (dalam bahasa Inggris). Knopf Doubleday Publishing Group. hlm. 75. ISBN 978-0-307-49122-0. 
  14. ^ "Saffron". International Association of Color Manufacturers (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 4 Januari 2022. 
  15. ^ Ramadhany, P.; Witono, J. R.; Putri, O. (Januari 2020). "Formulation of Curcumin as Natural Dye on Polyester". IOP Conference Series: Materials Science and Engineering (dalam bahasa Inggris). 742 (1): 012023. doi:10.1088/1757-899X/742/1/012023. ISSN 1757-899X. 
  16. ^ Sathiya Mala, Kripanand; Prabhakara Rao, Pamidighantam; Prabhavathy, Manda Babu; Satyanarayana, Akula (Februari 2015). "Studies on application of annatto (Bixa orellena L.) dye formulations in dairy products". Journal of Food Science and Technology. 52 (2): 912–919. doi:10.1007/s13197-013-1038-3. ISSN 0022-1155. PMC 4325075alt=Dapat diakses gratis. PMID 25694700. 
  17. ^ a b Raghavan, Susheela (2006). Forms, Functions, and Applications of Spices (dalam bahasa Inggris). Routledge Handbooks Online. doi:10.1201/9781420004366-4. ISBN 978-0-8493-2842-8. 
  18. ^ Thomas, Frédéric; Daoust, Simon P.; Raymond, Michel (Juni 2012). "Can we understand modern humans without considering pathogens?: Human evolution and parasites". Evolutionary Applications. 5 (4): 374. doi:10.1111/j.1752-4571.2011.00231.x. PMC 3353360alt=Dapat diakses gratis. PMID 25568057. 
  19. ^ De, Minakshi; De, Amit Krishna; Banerjee, A. B. (1999). "Antimicrobial screening of some indian spices". Phytotherapy Research (dalam bahasa Inggris). 13 (7): 616–618. doi:10.1002/(SICI)1099-1573(199911)13:7<616::AID-PTR475>3.0.CO;2-V. ISSN 1099-1573. 
  20. ^ Abdel-Maksoud, Gomaa; Elamin, Abdelrahman (2011-01-01). "A Review on the Materials Used During Mummification Processes in Ancient Egypt". Mediterranean Archaeology and Archaeometry. 11: 142. 
  21. ^ a b Freedman, Paul (2008). Out of the East: Spices and the Medieval Imagination (dalam bahasa Inggris). Yale University Press. ISBN 978-0-300-21131-3. [..] an entire pig could be had for the price of a pound of the cheapestspice, pepper. 
  22. ^ Krondl, Michael (2008). The Taste of Conquest: The Rise and Fall of the Three Great Cities of Spice (dalam bahasa Inggris). Random House Publishing Group. hlm. 6. ISBN 978-0-345-50982-6. 
  23. ^ a b Raghavan, Susheela (2006). Forms, Functions, and Applications of Spices (dalam bahasa Inggris). Routledge Handbooks Online. hlm. 39. doi:10.1201/9781420004366-4. ISBN 978-0-8493-2842-8. 
  24. ^ Al-Wabel, Professor Dr. Naser; hi, Shawkat (2012-11-21). "Antimicrobial activities of spices and herbs": 46–47. 
  25. ^ Nair, Indu; Abdulla, Mohamed Hatha; Chandran, Abhirosh; Harsha, U.; Vivekanandan, G. (2006-04-01). "Antimicrobial activity of some of the South-Indian spices against serotypes of Escherichia coli, Salmonella, Listeria Monocytogenes and Aeromonas Hydrophila". Brazilian Journal of Microbiology. 37: 157. doi:10.1590/S1517-83822006000200011. 
  26. ^ Gottardi, Davide; Bukvicki, Danka; Prasad, Sahdeo; Tyagi, Amit K. (2016). "Beneficial Effects of Spices in Food Preservation and Safety". Frontiers in Microbiology. 7: 1394. doi:10.3389/fmicb.2016.01394. ISSN 1664-302X. 
  27. ^ Liu, Qing; Meng, Xiao; Li, Ya; Zhao, Cai-Ning; Tang, Guo-Yi; Li, Hua-Bin (16 Juni 2017). "Antibacterial and Antifungal Activities of Spices". International Journal of Molecular Sciences. 18 (6): 1283. doi:10.3390/ijms18061283. ISSN 1422-0067. PMC 5486105alt=Dapat diakses gratis. PMID 28621716. 
  28. ^ Raghavan, Susheela (1 Agustus 2004). "Developing Ethnic Foods and Ethnic Flair with Spices". www.ift.org. Diakses tanggal 5 Januari 2022. 
  29. ^ Kaefer, Christine M.; Milner, John A. (2011). Benzie, Iris F. F.; Wachtel-Galor, Sissi, ed. Herbs and Spices in Cancer Prevention and Treatment (edisi ke-2nd). Boca Raton (FL): CRC Press/Taylor & Francis. ISBN 978-1-4398-0713-2. PMID 22593940. 
  30. ^ Rašković, Aleksandar; Milanović, Isidora; Pavlović, Nebojša; Ćebović, Tatjana; Vukmirović, Saša; Mikov, Momir (7 Juli 2014). "Antioxidant activity of rosemary (Rosmarinus officinalis L.) essential oil and its hepatoprotective potential". BMC Complementary and Alternative Medicine. 14: 225. doi:10.1186/1472-6882-14-225. ISSN 1472-6882. PMC 4227022alt=Dapat diakses gratis. PMID 25002023. 
  31. ^ Embuscado, Milda E. (1 Oktober 2015). "Spices and herbs: Natural sources of antioxidants–a mini review". Journal of Functional Foods. Natural Antioxidants (dalam bahasa Inggris). 18: 811–819. doi:10.1016/j.jff.2015.03.005. ISSN 1756-4646. 
  32. ^ Table, Sur La; Simmons, Marie (2008). Things Cooks Love: Implements, Ingredients, Recipes (dalam bahasa Inggris). Andrews McMeel Publishing. hlm. 129. ISBN 978-0-7407-6976-4. 
  33. ^ "How to cook with mustard seeds | Storecupboard Challenge". The Guardian (dalam bahasa Inggris). 17 Februari 2014. Diakses tanggal 5 Januari 2022. 
  34. ^ Furia, Thomas E. (1980). CRC Handbook of Food Additives, Second Edition (dalam bahasa Inggris). CRC Press. hlm. 245. ISBN 978-0-8493-0543-6. 
  35. ^ Sánchez, Elsa S.; Kelley, Kathleen M. (21 September 2002). "Harvesting and Preserving Herbs and Spices for Use in Cooking". Penn State Extension (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 1 Januari 2022. 
  36. ^ Nnenna, Omorodion (2020-09-01). "Effect of Differeny Storage Conditions on the Microbial Profile of Some Commonly Used Spices in Nigeria". Journal of Multidimensional Research & Review. 1 (2): 92. 
  37. ^ Alfaro, Danilo (8 Juni 2019). "7 Common Seasoning Mistakes That Can Ruin Your Food". The Spruce Eats (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 1 Januari 2022. 
  38. ^ Van Dorena, Jane M.; Daria Kleinmeiera; Thomas S. Hammack; Ann Westerman (Juni 2013). "Prevalence, serotype diversity, and antimicrobial resistance of Salmonella in imported shipments of spice offered for entry to the United States, FY2007–FY2009". Food Microbiology. 34 (2): 239–251. doi:10.1016/j.fm.2012.10.002. PMID 23541190. Shipments of imported spices offered for entry to the United States were sampled during the fiscal years 2007–2009. The mean shipment prevalence for Salmonella was 0.066 (95% CI 0.057–0.076) 
  39. ^ "Salmonella in your spice rack? Watch out, says FDA report". TODAY.com (dalam bahasa Inggris). 10 September 2013. Diakses tanggal 22 Januari 2022. 
  40. ^ "FoodData Central". fdc.nal.usda.gov. Diakses tanggal 1 Januari 2022. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]