Jangan bersaksi dusta

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu, karya Lucas Cranach Tua.

"Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu", atau sering disingkat "Jangan bersaksi dusta", adalah perintah kesembilan (atau perintah kedelapan menurut penomoran Katolik dan Lutheran)[1] dari Sepuluh Perintah Allah,[2] yang secara luas dipahami sebagai keharusan moral oleh para cendekiawan hukum, Yahudi, Katolik, dan Protestan.[3][4][5]

Saat ini, sebagian besar budaya mempertahankan perbedaan antara dusta atau kebohongan secara umum (yang ditentang dalam kebanyakan situasi, meski tidak semua) dengan kesaksian atau sumpah palsu (yang adalah melanggar hukum berdasarkan hukum pidana dan dapat dikenakan hukuman). Demikian pula, dalam tradisi Yahudi secara historis, dibuat suatu perbedaan antara berdusta pada umumnya dan mengucapkan kesaksian (sumpah) palsu pada khususnya. Di satu sisi, mengucapkan kesaksian palsu adalah dilarang berdasarkan perintah dalam dekalog ini. Di sisi lain, menurut tradisi Yahudi, berdusta atau berbohong secara umum dalam keadaan tertentu dianggap "dapat diperbolehkan atau bahkan patut dihargai" apabila merupakan suatu 'kebohongan putih' dan tidak dilakukan di bawah sumpah, serta dianggap tidak "berbahaya bagi orang lain".[6]

Kitab Keluaran mendeskripsikan bahwa Sepuluh Perintah Allah difirmankan oleh Allah, ditulis pada dua loh batu oleh Jari Allah, dipecahkan oleh Nabi Musa, dan ditulis kembali oleh TUHAN sebagai ganti loh-loh yang telah ia pecahkan itu.[7]

Enam perkara ini yang dibenci TUHAN, bahkan, tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya: mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara.

— Amsal 6:16-19

Perintah yang melarang kesaksian palsu ini dipandang sebagai suatu konsekuensi alami dari perintah "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Rumusan moral ini berasal dari perintah kepada "bangsa kudus" untuk menjadi saksi bagi Tuhan mereka. Pelanggaran terhadap kebenaran melalui perkataan ataupun perbuatan merupakan suatu penolakan terhadap kejujuran moral, sehingga merupakan ketidaksetiaan mendasar terhadap Allah dan dalam pengertian ini berarti perusakan dasar-dasar perjanjian dengan Allah.[8]

Perjanjian Baru[sunting | sunting sumber]

Menurut Perjanjian Baru, Yesus menjelaskan bahwa menuruti larangan terhadap saksi dusta dari Sepuluh Perintah Allah merupakan suatu syarat untuk memperoleh hidup yang kekal.[9][10] Menurut Yesus, kesaksian atau sumpah palsu berasal dari keinginan berdosa di dalam hati dan menjadikan orang yang mengucapkannya najis.[11]

Narasi Perjanjian Baru juga mencatat beberapa peristiwa yang mendeskripsikan orang-orang yang bersaksi palsu terhadap Yesus dan murid-murid-Nya. Ketika Yesus diadili di hadapan Mahkamah Agama, para imam kepala mencari bukti agar Ia dapat dihukum mati, dan narasi dalam Injil Matius menyatakan bahwa banyak saksi palsu (Yunani: πολλων ψευδομαρτυρων) tampil ke depan.[12] Yesus tetap diam sampai imam besar meminta Ia untuk menjawab di bawah sumpah "apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak". Yesus lalu menegaskannya.[13]

Kisah Para Rasul mendeskripsikan Stefanus yang disergap dan dibawa ke hadapan Mahkamah Agama. Mereka yang menentang Stefanus membujuk saksi-saksi palsu untuk bersaksi bahwa Stefanus bersalah karena menghujat Nabi Musa dan Allah. Stefanus menggunakan kesempatan persidangannya untuk mengingatkan Mahkamah Agama dengan bersaksi mengenai pemberontakan, penyembahan berhala, dan penganiayaan terhadap para nabi yang berpuncak dalam pembunuhan Yesus. Mereka menjadi sedemikian marah sehingga Stefanus dilempari batu sampai meninggal dunia.[14][15][16]

Perjanjian Baru menceritakan para Rasul yang ditunjuk sebagai saksi sejati pelayanan dan kebangkitan Yesus Kristus.[17][18] Rasul Paulus menggunakan larangan terhadap kesaksian palsu yang terdapat dalam Perjanjian Lama untuk menggambarkan rasa takutnya akan Allah apabila ia didapati sebagai seorang saksi palsu tentang Allah berkenaan dengan kebangkitan.[19]

Jadi, bilamana kami beritakan, bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, bagaimana mungkin ada di antara kamu yang mengatakan, bahwa tidak ada kebangkitan orang mati? Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu. Lebih dari pada itu kami ternyata berdusta terhadap Allah, karena tentang Dia kami katakan, bahwa Ia telah membangkitkan Kristus--padahal Ia tidak membangkitkan-Nya, kalau andaikata benar, bahwa orang mati tidak dibangkitkan. Sebab jika benar orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu.

— Rasul Paulus[20]

Dalam Roma 13:9, Rasul Paulus menyebutkan sejumlah perintah dalam Sepuluh Perintah Allah yang dapat diringkas dengan perkataan "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Textus Receptus dan Alkitab Versi Raja James memuat "Jangan mengucapkan saksi dusta", tetapi perintah ini tidak terdapat pada beberapa naskah awal yang berisi Roma 13, dan Cambridge Bible for Schools and Colleges mengemukakan bahwa bagian tersebut "mungkin dihilangkan berdasarkan bukti dokumenter".[21]

Pandangan Ortodoks[sunting | sunting sumber]

Umat Kristen Ortodoks diharapkan untuk menegakkan kebenaran, setiap saat dan di segala tempat, tanpa kecuali. Fitnah dan gosip adalah sama-sama jahat, dan penutur pertamanya bertanggung jawab atas bahaya atau kerugian lebih lanjut yang diakibatkannya seiring dengan menyebarnya laporan itu. Kecuali ada suatu alasan kuat dan mendesak untuk membicarakan hal buruk tentang seseorang, seperti halnya dalam kasus melindungi diri sendiri ataupun orang lain dari ancaman bahaya, hal itu tidak diperbolehkan sekalipun laporan tersebut benar. Santo Doroteus dari Gaza mengatakan, "Kamu mungkin tahu soal dosa, tetapi kamu tidak tahu soal pertobatan."[22]

Pandangan Katolik[sunting | sunting sumber]

Gereja Katolik menafsirkan perintah yang melarang pengucapan "saksi dusta" ini secara lebih luas daripada konteks historis sumpah palsu dalam tradisi Yahudi, dan memandangnya sebagai suatu larangan yang lebih luas terhadap pembalikan kebenaran dalam hubungan seseorang dengan sesamanya. Perintah ini menuntut penyampaian keadaan yang sebenarnya dan penghormatan nama baik orang lain, sekalipun orang tersebut telah meninggal dunia. Secara garis besar, perintah ini melarang umpatan (kesalahan nyata), fitnah (kesalahan palsu), gosip, penilaian gegabah, kebohongan, dan pelanggaran rahasia.[23]

Katekismus Gereja Katolik menjelaskan bahwa mengucapkan saksi dusta atau "mengatakan kebohongan dengan maksud menipu" mencakup seluruh pelanggaran akan kebenaran.[24] Peter Kreeft mengatakan bahwa berat tidaknya pelanggaran-pelanggaran ini tergantung pada "niat dari orang yang berbohong dan kerugian yang diderita oleh korbannya."[25]:275 Berikut dicantumkan daftar pelanggaran ini:

  1. Saksi dusta dan sumpah palsu: pernyataan-pernyataan yang dibuat di hadapan publik di dalam pengadilan yang menghalangi keadilan dengan mengutuk orang yang tidak bersalah atau mendukung orang yang bersalah, ataupun yang dapat memperberat hukuman tertuduh/terdakwa.
  2. Penilaian yang gegabah: tanpa bukti yang memadai meyakini bahwa orang lain telah melakukan kesalahan moral.
  3. Umpatan: mengungkapkan kesalahan orang lain tanpa alasan yang valid.
  4. Fitnah atau pencemaran nama: berbohong untuk merugikan reputasi seseorang dan membuka peluang bagi orang lain untuk membuat penilaian yang salah tentangnya.
  5. Sanjungan berlebihan: perkataan yang diucapkan untuk mengecoh orang lain demi kepentingan pribadi.
  6. Bual, mulut besar, atau cemooh: perkataan yang semata-mata memegahkan diri ataupun meremehkan orang lain.[24][26]

Gereja mewajibkan mereka yang telah merusak reputasi orang lain untuk melakukan pemulihan atas ketidakbenaran yang telah mereka sampaikan.[24][26] Meskipun demikian seseorang tidak memiliki kewajiban untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada orang yang tidak berhak mengetahuinya, dan disyaratkan juga penghormatan terhadap hak atas privasi atau hal-hal pribadi.[24][26] Para imam dilarang melanggar kerahasiaan pengakuan dosa[26] betapa pun berat dosa yang diakukan oleh peniten ataupun dampaknya terhadap masyarakat.

Termasuk juga dalam ajaran Gereja mengenai perintah ini yaitu kewajiban umat Kristen untuk memberikan kesaksian iman mereka "dengan jelas" dalam situasi-situasi yang menuntut demikian.[24][25]:273 Gereja mengecam penggunaan media modern untuk menyebarkan ketidakbenaran baik oleh individu, institusi bisnis, ataupun pemerintah.[24][25]:275

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ (Inggris) Patrick. "Counting the Ten Commandments", Bible Study Magazine, October 31, 2004[pranala nonaktif permanen]
  2. ^ Keluaran 20:1-21, Ulangan 5:1-23; (Inggris) "Ten Commandments", New Bible Dictionary, Second Edition, Tyndale House, 1982 pp. 1174-1175
  3. ^ (Inggris) Posner, Richard A., How Judges Think, Harvard University Press, 2008, p. 322; '’Ten Commandments’’, New Bible Dictionary, Second Edition, Tyndale House, 1982 pp. 1174-1175
  4. ^ (Inggris) Bromiley, Geoffrey W., The International Standard Bible Encyclopedia, 1988, p. 117
  5. ^ (Inggris) Williams, J. Rodman, Renewal theology: systematic theology from a charismatic perspective, 1996 p.240; Making moral decisions: a Christian approach to personal and social ethics, Paul T. Jersild, 1991, p. 24
  6. ^ (Inggris) Telling the Truth ...and When It Is Permissible to Be Less Than Honest
  7. ^ Ulangan 10:1–5
  8. ^ (Inggris) "Leviticus 19:18, Romans 13:9, Catechism of the Catholic Church 2464". 
  9. ^ Matius 19:18, Markus 10:19, Lukas 18:20
  10. ^ (Inggris) "Matthew Henry's Commentary on Matthew 19". 
  11. ^ Matius 15:18-19
  12. ^ Matius 26:59-61
  13. ^ Matius 26:63-64
  14. ^ Kisah 6-7
  15. ^ (Inggris) Commentary on Acts 6-7, The NIV Study Bible, Zondervan (1995)
  16. ^ "Matthew Henry's Commentary on Acts 6-7". 
  17. ^ Kisah 1
  18. ^ (Inggris) "Matthew Henry's Commentary on Acts 1". 
  19. ^ (Inggris) "Matthew Henry's Commentary on 1 Corinthians 15". 
  20. ^ 1 Korintus 15:12-17
  21. ^ (Inggris) Cambridge Bible for Schools and Colleges on Romans 13, accessed 30 September 2016
  22. ^ (Inggris) Dorotheos of Gaza, Discourses and Sayings, trans. Eric P. Wheeler (Kalamazoo, MI: Cistercian Publications, 1977), p. 135
  23. ^ (Inggris) Donovan, Colin B., "The Ten Commandments" Diarsipkan 2017-10-02 di Wayback Machine.
  24. ^ a b c d e f (Inggris) "Paragraphs 2464–2513", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  25. ^ a b c (Inggris) Kreeft, Peter (2001). Catholic Christianity. Ignatius Press. ISBN 0-89870-798-6. 
  26. ^ a b c d (Inggris) Schreck, Alan (1999). The Essential Catholic Catechism. Servant Publications. hlm. 318–319. ISBN 1-56955-128-6. 

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]