Lompat ke isi

Kehutanan masyarakat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Aktivitas inventarisasi hutan di Peru

Kehutanan masyarakat adalah cabang ilmu kehutanan di mana masyarakat lokal memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan di manajemen hutan dan pemanfaatan lahan yang difasilitasi oleh pemerintah dan pihak lain.[1] Kehutanan masyarakat melibatkan partisipasi dan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) yang terdiri dari masyarakat, pemerintah, LSM, akademisi, dan industri. Tingkat keterlibatan setiap pihak tergantung pada proyek spesifik hutan, sistem manajemen, dan wilayah tempat hutan berada. Kehutanan masyarakat dapat ditemukan di Nepal, Indonesia, Semenanjung Korea, Brasil, India, dan Amerika Utara.

Kehutanan masyarakat adalah cabang kehutanan yang berkaitan dengan manajemen masyarakat sekitar hutan untuk menghasilkan pendapatan dari hasil hutan kayu dan non kayu dalam wujud produk barang sambil mempertahankan dan mengatur kelestarian ekosistem, konservasi wilayah tangkapan air, sekuestrasi karbon, dan nilai estetika hutan. Kehutanan masyarakat telah dijadikan pilihan yang menjanjikan dalam mengkombinasikan konservasi hutan dengan pembangunan pedesaan, penguatan masyarakat, dan pengurangan kemiskinan. Kehutanan masyarakat didefinisikan oleh FAO sebagai "kondisi yang melibatkan masyarakat setempat dalam aktivitas kehutanan".[2]

Sebuah studi yang dilakukan oleh Overseas Development Institute menunjukan bahwa kebutuhan teknis, manajerial, dan finansial yang ditentukan oleh kerangka peraturan dan institusi sering kali tidak cocok dengan minat dan kondisi setempat yang sebenarnya. Peraturan dan kerangka institusional dikatakan sukses ketika mampu memperkuat institusi yang ada dan mampu menyebarkan praktik yang sesuai dengan kondisi dan kapasitas setempat untuk pengaturan dan pengendaliannya.[3]

Pemegang kepentingan

[sunting | sunting sumber]

Terdapat berbagai pemangku kepentingan yang terlibat dalam kehutanan masyarakat. Masyarakat setempat, terutama yang paling dekat dengan atau tinggal di dalam hutan memiliki kepentingan terbesar terkait hutan tersebut. Partisipasi dari berbagai pemegang kepentingan berdasarkan tingkatannya adalah sebagai berikut:[4][5]

Masyarakat yang tinggal dekat dengan atau di dalam hutan
Pejabat penguasa tradisional
Organisasi berbasis kemasyarakatn
Perwakilan masyarakat / tokoh adat
Pemerintah provinsi/negara bagian
Pemerintah negara
Departemen atau kementerian terkait
LSM
Kelompok pemerhati lingkungan/konservasi
Industri kehutanan komersial
Industri terkait dengan hutan (pemanen hasil hutan non-kayu)
Industri pariwisata
Kelompok pemerhati kesejahteraan hewan

Tantangan

[sunting | sunting sumber]

Sebuah studi yang dilakukan di hutan Amazon menemukan sejumlah tantangan yang harus dihadapi dalam membangun strategi manajemen berkelanjutan untuk kehutanan masyarakat:[6]

Kepemilikan lahan Sebuah hal yang umum ditemukan ketika masyarakat pemukiman setempat tidak memiliki bukti yang jelas mengenai kepemilikan lahan hutan dan hak untuk menghidupi diri sendiri dari sumber daya hutan. Pengakuan formal mengenai kepemilikan lahan dan hak untuk penggunaannya dibutuhkan dalam manajemen kehutanan.
Kapasitas organisasi Kapasitas organisasi merujuk kepada kemampuan masyarakat dalam mengelola program manajemen kehutanan.
Modal Masyarakat membutuhkan modal untuk mengawali investasi mereka dalam pengelolaan hutan, berupa infrastruktur, peralatan, dan penyewaan penyuluh dan rimbawan untuk mengatur dan mengawasi rencana manajemen
Pengetahuan teknis Masyarakat setempat memang mengetahui karakteristik hutan dan pengetahuan tentang ekologi hutan secara alami, namun mereka kurang pengetahuan teknis dan sertifikasi legal dalam menangani sumber daya hutan
Manajemen hukum Masyarakat kehutanan harus diarahkan kepada rencanamanajemen formal, yang dipersapkan dan disetujui oleh pemerintah setempat
Pembalak hutan ilegal Pembalak hutan ilegal dapat memasuki wilayah hutan dan menebang spesies pohon yang berharga tanpa persetujuan masyarakat
Akses pasar Desa kecil umumnya memiliki akses yang terbatas ke pasar karena terisolasi secara geografis dan infrastruktur, sehingga sulit bersaing dengan industri skala besar yang mampu menebang hutan lebih cepat
Infrastruktur Manajemen hutan membutuhkan infrastruktur fisik seperti jalan, peralatan pemanenan hutan, bangunan penyimpanan, dan sumber energi listrik
Kemampuan manajerial Kemampuan manajemen efektif, kewirausahaan, pengambilan keputusan, pemasaran, penyelesaian konflik internal dan sebagainya umumnya rendah di kalangan masyarakat setempat
Hasil ekonomi Kemampuan manajemen yang tidak mencukupi menjadikan hasil hutan kurang dinikmati secara ekonomi

Kebutuhan rumah tangga

[sunting | sunting sumber]

Hutan bagi masyarakat memiliki manfaat sebagai:

  • Menjadi sumber kehidupan seperti bahan pangan. Karena hutan menghasilkan bahan pangan dari hasil hutan non-kayu dan sebagai lahan usaha wanatani
  • Mencegah erosi
  • Sumber bahan bakar dan pakan ternak secara berkelanjutan.[7]
  • Membentuk kewirausahaan di masyarakat[8]

Pohon Azadirachta indica telah diintroduksi di Afrika Barat karena cepat tumbuh dan tahan lingkungan kering. Pohon ini dimanfaatkan sebagai sumber kayu sebagai bahan bangunan maupun bahan bakar, dan daunnya dapat menjadi pakan ternak.[9]

Kebutuhan pasar

[sunting | sunting sumber]

perusahaan besar dapat bekerja sama dengan petani dalam mensuplai kebutuhan kayu untuk industri pulp dan kertas maupun untuk industri pangan. Seperti yang terjadi di Filipina, 3000 petani mensuplai kayu untuk industri pulp,[10] dan di Korea masyarakat setempat mensuplai kayu dan jamur.[7]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Roberts, E.H. and Gautam, M.K. "Community Forestry Lessons for Australia: A review of international case studies" (PDF). School of Resources, Environment & Society; The Australian National University. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-03-20. Diakses tanggal Sept 24, 2011. 
  2. ^ Food and Agricultural Organization of the United Nations, FAO. 1978. Forestry for local community development. Forestry Paper 7. Rome.
  3. ^ "Community Forestry in the Amazon: the unsolved challenge of forests and the poor". Overseas Development Institute. February 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-06-14. Diakses tanggal 2013-09-15. 
  4. ^ Mushove, Patrick. "Stakeholder analysis in a community-based forest and wildlife resources management project in northern Mozambique". Diakses tanggal 24 September 2011. 
  5. ^ Duthy, Stephen (2003). "Empowering People's Organizations in Community Based Forest Management in the Philippines: The Community Organizing Role of NGOs". Annals of Tropical Research. 25 (2): 13–27. Diakses tanggal 24 September 2011. 
  6. ^ Hajjar, Reem (31 August 2011). "Framing community forestry challenges with a broader lens: Case studies from the Brazilian Amazon". Journal of Environmental Management. 92 (9): 2159–2169. doi:10.1016/j.jenvman.2011.03.042. 
  7. ^ a b Food and Agriculture Organization of the United Nations. "Forestry Paper 64: Tree Growing by Rural People, 1985". Diakses tanggal 24 September 2011. 
  8. ^ Arnold, J. E. Michael (1987). "Community Forestry". Ambio. 16 (2/3): 122–128. 
  9. ^ Barnard, Gerald Foley, Geoffrey (1984). Farm and community forestry. London: Earthscan, International Institute for Environment and Development. ISBN 0-905347-53-6. 
  10. ^ Hyman, E.L. (1983). "Pulpwood treefarming in the Philippines from the viewpoint of the smallholder: an ex post evaluation of the PICOP project". Agriculture Admin. 14: 23–49. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]