Pengguna:Argo Carpathians/Proyek/Rintisan
| ||
---|---|---|
Presiden Indonesia
Situs Web Media sosial |
||
Masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY dimulai pada tanggal 20 Oktober 2004, saat dia dilantik sebagai Presiden ke-6 Indonesia. Yudhoyono, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dan politikus dari Partai Demokrat, memenangkan pemilihan presiden 2004 bersama Jusuf Kalla setelah mengalahkan petahana Megawati Soekarnoputri yang mencalonkan diri untuk periode ke-2. Empat tahun kemudian, dia mempertahankan posisinya setelah kembali unggul dalam pemilihan presiden 2009 berpasangan dengan Boediono melawan mantan wakilnya Jusuf Kalla dan lawannya dalam pemilihan sebelumnya, Megawati. SBY adalah presiden pertama yang terpilih secara langsung melalui proses pemilihan umum yang demokratis.[1]
Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mengalami masa stabilisasi ekonomi dan politik.[2] Ekonomi nasional tumbuh dengan rata-rata sekitar 5 hingga 6%, angka kemiskinan dan pengangguran menurun, serta peningkatan angka IPM.[3] Tidak ada masalah berarti antarlembaga pemerintahan dan kebebasan pers juga terjamin. Konflik bersenjata yang telah berlangsung selama 30 tahun antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka berakhir pada masa kekuasaannya.[4]
Para pakar dan akademisi berpendapat bahwa masa kekuasaannya merupakan salah satu periode pemerintahan paling stabil dalam sejarah demokrasi politik Indonesia.[5] Ia dianggap sebagai "master integrasi politik", merujuk kepada kecakapannya dalam mengakomodasi beragam kepentingan ideologi, agama, dan sosial.[5]
Pada tanggal 20 Oktober 2014, SBY mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden setelah Joko Widodo yang memenangkan pemilihan presiden dilantik sebagai penerusnya.
Pemilihan umum
[sunting | sunting sumber]Pemilihan umum 2004
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 2004, SBY bersama dengan Jusuf Kalla mencalonkan diri sebagai salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan presiden 2004. Ia merupakan mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan di era Megawati Soekarnoputri. Dengan memperoleh 33.57% suara, SBY-JK melaju ke putaran kedua bersama dengan pasangan Megawati-Muzadi. Di putaran kedua, dia mengalahkan mantan atasannya dan—bersama Jusuf Kalla—tercatat sebagai presiden dan wakil presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat—mengumpulkan sekitar 60.62% dalam prosesnya.[6]
Transisi dan pelantikan
[sunting | sunting sumber]Masa transisi penyerahan kekuasaan Megawati kepada SBY tidak berjalan terlalu baik. Pada tanggal 18 Oktober, Megawati mengadakan rapat kabinet terakhirnya, dan meminta menteri untuk membuat persiapan yang baik untuk penyerahan kekuasaan.[7] Sekretaris Negara, Bambang Kesowo, mengatakan bahwa Megawati meminta para menteri untuk tidak membuat "keputusan strategis atau penting" di hari-hari terakhir pemerintahannya.[7] Di sisi lain, Megawati sendiri telah membuat keputusan besar di bulan terakhirnya berkuasa dengan menerima pengunduran diri Panglima Tentara Nasional Indonesia Endriartono Sutarto dan mengusulkan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Ryamizard Ryacudu untuk menggantikannya.[7] Langkah ini dinilai telah membelah parlemen,[7] dengan satu kubu yang ingin segera menyetujui penunjukan Ryacudu, sementara kubu yang lain ingin pelantikan Panglima TNI yang baru ditunda sampai SBY mengambil alih kekuasaan.[7] SBY di kemudian hari membatalkan nominasi ini, dan Sutarto tetap menjadi Panglima TNI.
Meskipun tidak ada ancaman khusus menjelang pelantikan SBY-Kalla, sedikitnya 2.000 personel TNI-Polri dilibatkan untuk mengamankan jalannya proses pelantikan.[7] Mereka dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2004. Sejumlah perwakilan dari negara sahabat ikut hadir dalam pelantikan, dan beberapa di antaranya mengirim pejabat tinggi dan duta besar.[7] Perdana Menteri Australia, John Howard, yang sempat diwarnai isu bahwa dia "tidak diundang", menolak tuduhan tersebut dan ikut menghadiri pelantikan SBY.[8] Abdullah Ahmad Badawi, Perdana Menteri Malaysia, juga hadir dalam pelantikan.[9] Megawati sebagai petahana tidak menghadiri peristiwa ini. Media-media lokal meluncurkan kritik terhadap Megawati atas tindakannya yang seharusnya mengakui kekalahan atau—setidaknya—memberi ucapan selamat kepada SBY. Mereka mengklaim, tindakan ini hanya akan memperkuat reputasinya sebagai "pemimpin yang menyendiri dan tidak peduli".[7] Pada tanggal 16 Oktober, Ketua DPP PDI-P Roy B.B. Janis memberikan pernyataan, "Ibu Megawati menyatakan bahwa tanggal 20 Oktober mendatang adalah acara pelantikan presiden terpilih, bukan acara serah terima jabatan", sebagai justifikasi atas ketidakhadiran Megawati.[10]
Pada malam hari yang sama, Presiden SBY mengumumkan anggota kabinet yang baru, yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu.
Pemilihan umum 2009
[sunting | sunting sumber]Pada pemilihan umum tahun 2009, popularitas SBY didorong oleh program populisnya, seperti bantuan tunai tak bersyarat (Bantuan Langsung Tunai, BLT), pengurangan harga BBM, dan asuransi kesehatan untuk warga miskin.[11]
Survei dan jajak pendapat yang dilakukan sejumlah lembaga survei memperlihatkan keunggulan SBY dengan rata-rata 60% suara.[12] Hasil hitung cepat pada tanggal 8 Juli juga menunjukkan hasil serupa, meskipun hasil penghitungan suara resmi baru akan diumumkan sebulan setelahnya. Kalla—meskipun dia menyebut bahwa dirinya akan menunggu hasil resmi, telah memberikan ucapan selamat kepada SBY dalam sebuah kesempatan di TV.[12] Di sisi lain, Megawati menolak hasil hitung cepat, menyebutnya sebagai "demokrasi semu".[12] Pada tanggal 24 Juli, KPU merilis hasil resmi pemilu dan SBY menjadi presiden pertama yang terpilih kembali dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia. Ia menang di 28 provinsi dan meraih kemenangan telak dengan hampir 61% suara.[13] Perolehan suara ini juga memastikan tidak ada putaran kedua untuk menentukan presiden terpilih.[13]
Pemerintahan dan kabinet
[sunting | sunting sumber]Pembentukan kabinet
[sunting | sunting sumber]Kabinet SBY terdiri atas 34 orang, serupa dengan pemerintahan sebelumnya. Sesuai dengan kerangka kampanyenya, SBY berniat membentuk kabinet yang sebagian besar terdiri dari para profesional.[14] Laporan awal menyatakan bahwa kabinetnya akan diisi oleh 11 orang dari partai politik pendukung, 11 orang dari tim sukses keduanya, dan 12 orang yang berlatar belakang profesional.[15] Pada tanggal 14 Oktober, sejumlah partai pendukung mengirimkan nama-nama calon yang dianggap cocok untuk menduduki kursi menteri. Partai Bulan Bintang mengirimkan 9 nama, Partai Amanat Nasional mengusulkan 2-3 nama, kemudian 6 nama berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa, serta 2 nama dari Partai Keadilan Sejahtera.[15] Di sisi lain, Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan 4 nama.[16]
Isu muncul setelah Sri Mulyani, Direktur Eksekutif IMF yang mewakili 12 negara ASEAN, diusulkan oleh SBY sebagai Menteri Keuangan. PKS menolak usulan ini, menyatakan bahwa mereka akan menarik dukungan terhadap SBY apabila dia mengangkat seorang tokoh yang "pro-IMF". Tekanan politik ini membuat SBY mengalihkan posisi Mulyani sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional. Sebagai gantinya, dia mengusulkan Jusuf Anwar, Direktur Eksekutif Bank Pembangunan Asia (ADB), untuk menduduki posisi tersebut.[17] Untuk posisi Menteri Pertahanan, SBY menginginkan tokoh yang berasal dari pihak sipil dalam upaya yang disebutnya "penegakan kekuasaan rakyat dari kekuasaan militer".[7] Di sisi lain, pengamat menganggap posisi Panglima TNI lebih penting daripada Menteri Pertahanan dalam rangka melakukan reformasi militer.[7]
Pada tanggal 15 Oktober, SBY mengundang para calon menteri kabinetnya di kediamannya, untuk mengadakan sesi wawancara secara tertutup. Menurut SBY, mereka yang diundang adalah orang-orang yang "memenuhi kriteria" yang diinginkannya.[a] Para analis politik menyarankan SBY untuk tidak mengangkat menteri yang pernah terlibat pemerintahan Orde Baru. Arbi Sanit dari Universitas Indonesia menyebut bahwa SBY harus menghindari "wajah lama", serta tidak serta-merta harus berasal dari partai pengusung. Bungaran Antonius Simanjuntak dari Universitas Negeri Medan menyarankan SBY untuk mengabaikan calon menteri yang pernah tersangkut korupsi.[19]
SBY mengumumkan susunan kabinetnya yang dinamakan Kabinet Indonesia Bersatu malam hari pada pukul 23.40 WIB setelah acara pelantikan. Ia didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla saat membacakan nama-nama menterinya di Istana Merdeka. Pengumuman ini sempat tertunda dari rencana semula, yaitu pukul 20.00 WIB.[20] Sejumlah besar anggota di kabinet ini terdiri dari politisi partai, khususnya—tetapi tidak sepenuhnya—dari partai pendukung, ditambah empat perempuan (sesuai dengan janji kampanye) dan beberapa orang dari daerah di luar Jawa.[14] Para teknokrat profesional secara khusus menduduki kementerian yang berhubungan dengan bidang ekonomi. Ada empat orang mantan jenderal di kabinet ini. Meskipun merupakan oposisi, SBY menunjuk beberapa orang dari Partai Golkar sebagai menteri. Aburizal Bakrie dipilih untuk menduduki posisi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Fahmi Idris sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.[17] Dari sembilan calon menteri yang diusulkan partainya, SBY memutuskan hanya mengangkat satu orang saja.[21] Satu-satunya rekomendasi Demokrat yang masuk kabinet adalah pensiunan perwira tinggi Polri, Taufiq Effendi.[22] Jun Honna dari Universitas Ritsumeikan menyebut bahwa tindakan ini disinyalir tidak "menyenangkan hati" para tokoh dan pemimpin Demokrat, dan menyebabkan kisruh internal di dalam partai.[23] Ia juga mempertahankan posisi empat menteri era Megawati, seperti Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro.[17]
Robert William Liddle dari Universitas Negeri Ohio, menyebut JK adalah aktor terpenting kedua dalam proses pemilihan anggota kabinet—setelah SBY sendiri. Ia memberikan saran dan masukan penting, khususnya untuk kementerian yang membidangi ekonomi.[24] Bakrie dipilih melalui saran JK, mengalahkan pilihan pertama Yudhoyono yang juga mantan Menteri Keuangan dan teman pribadinya, Rizal Ramli.[24] JK juga menentang penunjukan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, dengan alasan bahwa dia terlalu dekat dengan IMF.[24]
Kebijakan dalam negeri
[sunting | sunting sumber]Saat dia mulai menjabat, SBY diuntungkan dengan kondisi sosial politik dan dinamika Indonesia yang sedang dalam proses peningkatan. Ia mendapat manfaat dari peningkatan kondisi ekonomi makro dan warisan kebijakan fiskal yang berhati-hati dari pemerintahan sebelumnya.[25] Para presiden pendahulunya sudah lebih dahulu menghadapi tantangan terburuk yang timbul dari krisis keuangan yang telah mengguncang perekonomian Indonesia pada akhir milenium. Ketika dia menjadi presiden, tingkat pertumbuhan ekonomi berada pada posisi 4.3 persen, ekonomi global juga sedang kuat dan dukungan internasional yang mendukung upaya reformasi ekonomi Indonesia. Meski demikian, pemerintahan baru yang dipimpinnya juga menghadapi sejumlah tantangan. Subsidi BBM menghabiskan anggaran pemerintah pusat sekaligus membatasi pilihan untuk belanja demi kesejahteraan sosial. Di sisi lain, daya saing dari sejumlah industri padat karya menurun dan lingkungan hubungan antar–industri sedang diuji.[25]
Pemerintahan SBY–Kalla mencetuskan slogan Konsolidasi, Konsiliasi, dan Aksi (K2A) pada periode awal kepemimpinan mereka.[26] Pada tanggal Oktober, SBY menetapkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu prioritas utama dari kebijakannya. Ia juga mengatakan akan melakukan peninjauan kembali untuk RAPBN 2005, mencari solusi untuk konflik di Aceh dan Papua, menetapkan langkah penegakan hukum, stimulasi ekonomi nasional, dan meletakkan pondasi yang efektif untuk bidang pendidikan dalam periode seratus hari pemerintahannya.[27]
Ekonomi
[sunting | sunting sumber]Agenda utama pemerintahan SBY-Kalla dalam bidang ekonomi adalah program perbaikan iklim investasi, menjaga stabilitas makro, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan penanggulangan kemiskinan.[28]
Hukum
[sunting | sunting sumber]Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dijadikan prioritas utama oleh SBY dan kabinetnya. Pidato pertama pasca pelantikannya menekankan bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), akan mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap pemerintahannya.[29] Pada tanggal 7 Desember 2004, Gubernur Aceh, Abdullah Puteh, ditangkap atas kasus korupsi pembelian helikopter senilai 10 miliar rupiah. Puteh adalah pejabat tinggi pertama yang ditahan atas kasus korupsi selama bertahun-tahun terakhir di Indonesia.[30]
Pada tanggal 2 Mei 2005, SBY mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 yang mengesahkan dibentuknya Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang diketuai oleh Hendarman Supandji, dan akan bekerja selama dua tahun. Pada tanggal 17 Juni 2005, Timtas Tipikor menyatakan bahwa Said Agil Husin Al Munawar—Menteri Agama di era Megawati, telah melakukan penyelewengan Dana Abadi Umat yang nilainya hampir mencapai 700 miliar.[31] Timtas Tipikor dibubarkan pada tanggal 11 Juni 2007, dan sedikitnya menangani tujuh puluh dua kasus korupsi.[32]
Pada awal bulan Oktober 2013, Hakim Konstitusi, Akil Mochtar, ditahan oleh KPK terkait tuduhan suap dan pencucian uang.[33] Sebagai tanggapan, Presiden SBY mengeluarkan Perppu pada pertengahan bulan Oktober yang isinya menetapkan bahwa calon hakim MK dapat diangkat setelah melewati tenggang waktu tujuh tahun pensiun dari partai politik; RUU itu juga mengubah proses seleksi hakim MK, dan memperkenalkan mekanisme pengawasan baru untuk pengadilan.[33]
Politik
[sunting | sunting sumber]Kestabilan politik dan dinamika sosial merupakan sektor yang diberikan perhatian khusus oleh SBY. Berbagai masalah dalam negeri seperti operasi militer di Aceh, kekerasan sektarian di Maluku dan Maluku Utara, kekerasan pasca konflik di Poso, serta isu separatisme di Papua adalah warisan dari pemerintahan sebelumnya.[34]
Sosial
[sunting | sunting sumber]Selama sepuluh tahun berkuasa, SBY berulang kali menyatakan komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia. Pada bulan Desember 2012, dalam sebuah pidato yang disampaikan di Bali, dia mengumumkan "empat poin prioritas utama" yang coba dibenahi pemerintahannya. Poin-poin tersebut terdiri dari pemberantasan kemiskinan, akses ke pekerjaan yang layak dan peluang ekonomi, ketersediaan kebutuhan dasar yang terjangkau, dan adanya jaring pengaman sosial bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.[35]
Kebebasan dan intoleransi beragama
[sunting | sunting sumber]Pada bulan Maret 2006, kabinet SBY melalui Menteri Agama, Maftuh Basyuni, dan Menteri Dalam Negeri, Mohammad Ma'ruf, menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang kerukunan beragama dan pembangunan rumah ibadat.[36] Keputusan ini mewajibkan semua provinsi di Indonesia dan sekitar 500 kabupaten untuk membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai badan penasihat untuk gubernur, walikota dan bupati.[37]
Kebijakan luar negeri
[sunting | sunting sumber]SBY memperkenalkan kebijakan luar negeri yang dikenal dengan pendekatan "sejuta teman tanpa musuh[b]" (bahasa Inggris: million friends, zero enemy), menunjukkan peningkatan peran Indonesia dalam menjalankan hubungan diplomasi regional dan multinasional.[38]
Pemerintahan SBY selama 2 periode dianggap sebagai era keaktifan Indonesia di panggung internasional. Pada akhir masa kepemimpinannya, SBY mencatat hasil yang cukup baik. Klemensits Péter dan Fenyő Márton dari Universitas Katolik Péter Pázmány, Hongaria, menganggap bahwa kebijakan luar negeri yang diusungnya mampu mengangkat posisi Indonesia ke status negara kekuatan menengah, dan mengembalikan posisi Indonesia sebagai salah satu negara terkemuka di Asia Tenggara.[39] Aaron Connelly dari Lowy Institute menilai kepergiannya dari Istana akan menyisakan "kekosongan", menyebutnya sebagai "pemimpin Indonesia yang tak terbantahkan dalam kebijakan luar negeri".[40]
Amerika
[sunting | sunting sumber]Amerika Serikat
[sunting | sunting sumber]Presiden AS, George Walker Bush, melakukan kunjungan selama 6 jam di Indonesia pada tanggal 20 November 2006—meskipun diwarnai penolakan dan unjuk rasa nasional sejak beberapa hari sebelumnya perihal kehadiran pasukan Amerika Serikat di Irak. Pertemuan berlangsung tertutup dengan pengawasan ketat di Istana Bogor.[41] Bush memuji proses pemilihan presiden yang berlangsung aman serta menyatakan bahwa "Islam dan demokrasi saling mengisi satu sama lain", dan bahwa Indonesia merupakan contoh yang tepat atas hal itu. Ia menyatakan bahwa dia mendukung komitmen SBY untuk meningkatkan demokrasi,[42] serta menganggap upaya pemerintah Indonesia dalam menekan kelompok ekstremis seperti Jemaah Islamiyah adalah pencapaian yang "luar biasa".[42]
Asia Pasifik
[sunting | sunting sumber]Australia
[sunting | sunting sumber]Hubungan Australia dengan Indonesia telah terjalin sejak sebelum masa pemerintahan SBY. Berbagai peristiwa berskala internasional yang terjadi di Indonesia, mulai dari misi PBB di Timor Timur pada tahun 1999, pengeboman yang terjadi di Bali pada tahun 2002 dan 2005, membuat kedua negara terus melakukan upaya besar untuk meningkatkan hubungan bilateral. Para pemimpin kedua negara telah saling bertemu setidaknya 15 kali dalam berbagai forum; menteri luar negeri mereka telah bertemu lebih dari 60 kesempatan yang berbeda sejak tahun 2000.[43] Keteraturan dari kunjungan ini mencapai puncaknya dalam Perjanjian Lombok tahun 2006 yang menjadi sorotan. Mekanisme dialog bilateral reguler diadakan, termasuk Pertemuan Pemimpin Tahunan, Pertemuan 2+2 Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan dan Dialog Indonesia-Australia.[43] Meski demikian, hubungan kedua negara sempat terganggu oleh pemanggilan Duta Besar RI untuk Australia atas tindakan Pemerintah Australia yang memberikan status pengungsi kepada 42 aktivis yang melarikan diri dari Papua Barat.[44]
Dialog Indonesia-Australia yang dimulai sejak tanggal 4 Oktober 2011 adalah sebuah kerangka industri untuk memfasilitasi diskusi antara Indonesia dan Australia mengenai isu-isu yang berkaitan dengan hubungan bilateral. Dialog antara kedua negara, meskipun sebagian besar berpusat pada industri, mendapat dukungan kuat dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia dan Kementerian Luar Negeri Indonesia.[43] Pada tanggal 4 Juli 2012, pertemuan antara Perdana Menteri Australia Julia Gillard dan Presiden SBY di Darwin termasuk penting setelah adanya permintaan Australia kepada Washington untuk merotasi Marinir AS melalui Darwin. Sebuah laporan menyatakan bahwa topik yang dibahas dalam pertemuan ini sangat dipengaruhi oleh inisiatif tersebut.[43]
India
[sunting | sunting sumber]Presiden SBY memulai sebuah Kemitraan Strategis dengan India, terutama dalam sektor perdagangan pada tahun 2005. Pertumbuhan di bidang perdagangan bilateral mencapai hasil yang besar, tumbuh dari US$6.2 miliar pada tahun 2006 menjadi US$16.2 miliar pada tahun 2011. Kedua negara telah menetapkan target US$45 miliar di sektor perdagangan bilateral pada tahun 2015.[43] Selama pemerintahan SBY, hubungan timbal balik kedua negara juga meluas ke lingkup militer. Angkatan Laut India dan TNI Angkatan Laut menjalani hubungan kerja sama tingkat tinggi melalui patroli teratur dan terkoordinasi. Dari bulan Februari hingga Maret 2012, komponen tentara India dan Indonesia terlibat dalam Latihan Garuda-Shakti, yang diselenggarakan oleh Sekolah Perang Hutan Anti-Pemberontakan India. Latihan ini dirancang untuk menyimulasikan ancaman non-konvensional yang dirasakan oleh kedua negara.[43]
Malaysia
[sunting | sunting sumber]Republik Rakyat Tiongkok
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 22 Maret 2011, Tiongkok dan Indonesia menandatangani nota kesepahaman dalam bidang pertahanan, yang mendorong kerjasama militer yang lebih besar, transfer teknologi, peningkatan peralatan dan pelatihan pertahanan. Kunjungan timbal balik dari para pejabat negara terus terjadi. Pada bulan Maret 2012, dalam kunjungannya ke Indonesia, Presiden Tiongkok Hu Jintao menyatakan bahwa kedua negara akan memperdalam kerjasama di sektor pertahanan dengan memperluas kerjasama pertahanan dan keamanan, melakukan latihan gabungan, meningkatkan kunjungan, memerangi terorisme dan kejahatan lintas batas dan aktif menjaga keamanan negara mereka sendiri dan wilayahnya.[43]
Beberapa bulan setelahnya, kedua negara mengumumkan produksi gabungan rudal untuk TNI Angkatan Laut pada bulan Juni 2012. Kerja sama pertahanan dengan Tiongkok adalah bagian dari kebijakan pertahanan Indonesia, yang dikenal sebagai "Kekuatan Pokok Minimum".[43]
Singapura
[sunting | sunting sumber]Sebulan sebelum masa jabatannya berakhir, SBY beserta istri dan sejumlah menteri di kabinetnya bertolak ke Singapura pada tanggal 2 September 2014. Dalam kunjungan ini, dia bertemu dengan Presiden Singapura Tony Tan Keng Yam, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, dan mantan Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong.[45] Kunjungan selama 2 hari ini juga mengevaluasi kerja sama bilateral kedua negara dalam 10 tahun terakhir sejak SBY memulai masa kepresidenannya.[46] Dalam pertemuan ini, disepakati pembentukan tujuh kelompok kerja. Ketujuh kelompok dikhususkan dalam bidang ekonomi dan perdagangan, serta pengembangan zona ekonomi Batam-Bintan-Karimun dan zona ekonomi lainnya.[46] SBY juga menyaksikan penandatanganan perjanjian Delimitasi Laut Teritorial di Bagian Timur Selat Singapura antara Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Menteri Luar Negeri Singapura, K. Shanmugam.[47] Kesepakatan mengenai batas maritim di sepanjang bagian tengah Selat Singapura pada tahun 1973 tercapai. Mereka juga mencapai kesepakatan tentang batas-batas di bagian barat, antara Dangkalan Sultan dan Pulau Nipa, pada tahun 2009.[47] Ia juga menerima gelar Order of Temasek First Class dari Pemerintah Singapura.[45]
Timor Leste
[sunting | sunting sumber]SBY berulang kali menyatakan bahwa Timor Leste adalah "saudara tua" Indonesia.[48] Kunjungan pertamanya ke negara tersebut terjadi pada masa awal pemerintahannya, tanggal 8 April 2005. Ia bertemu dengan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao serta menandatangani kesepakatan perbatasan antara kedua negara bersama dengan Perdana Menteri Mari Alkatiri.[49] SBY juga mengunjungi Pemakaman Santa Cruz, dan menjadi Presiden Indonesia pertama yang melakukannya. Meskipun sempat dikabarkan perihal adanya demo yang akan digelar tentang kunjungannya ke pemakaman tersebut, tidak ada hal yang terjadi dan prosesnya berlangsung aman.[50]
Presiden Taur Matan Ruak melakukan kunjungan kenegaraan perdananya ke Jakarta pada tanggal 21 Juni 2013 dan disambut oleh SBY di Istana Merdeka.[51] Pertemuan mereka membahas tentang kerja sama ekonomi, penandatanganan tapal batas yang terkatung-katung selama beberapa tahun oleh menteri luar negeri dari kedua negara, serta prospek dukungan Indonesia terhadap pengajuan diri Timor Leste sebagai anggota baru ASEAN.[51] Presiden SBY mendukung penuh gagasan ini, dan membawanya ke KTT ASEAN ke-22 di Bandar Seri Begawan, Brunei.[52]
Eropa
[sunting | sunting sumber]Belanda
[sunting | sunting sumber]Britania Raya
[sunting | sunting sumber]Presiden SBY melakukan kunjungan kenegaraan ke Britania Raya pada tanggal 31 Oktober 2012 selama 3 hari—kunjungan kenegaraan pertama ke sana selama lebih dari 30 tahun terakhir. Ia disambut oleh Ratu Elizabeth II dan suaminya, Pangeran Philip dengan jamuan makan di Istana Buckingham. SBY kemudian melanjutkan kunjungannya dengan berbicara di Parlemen Britania Raya dan membuka Forum Bisnis Indonesia-Inggris.[53]
Rusia
[sunting | sunting sumber]SBY melakukan kunjungan kenegaraan ke Rusia, pada tanggal 1 Desember 2006. Dalam kunjungan ini, dia ikut menandatangani 10 persetujuan, antara lain persetujuan kerja sama di bidang nuklir untuk maksud-maksud damai, persetujuan bebas visa bagi pemegang paspor diplomatik dan dinas, kerja sama di bidang kedirgantaraan, kerja sama kota kembar antara Jakarta dengan Moskwa, kerja sama Kejaksaan Agung, kerja sama di bidang pariwisata, dan kerja sama antar KADIN dari kedua negara.[54]
Presiden Rusia Vladimir Putin, juga berkunjung ke Indonesia pada tanggal 6 September 2007. Peristiwa ini memiliki arti penting karena ini merupakan kunjungan perdana seorang Presiden Rusia ke Indonesia. Dalam kunjungan tersebut, kedua pemimpin negara menandatangani persetujuan bilateral antar negara di bidang lingkungan hidup, pendidikan, kebudayaan, olahraga, investasi, pariwisata, dan perbankan. Selain itu ada pinjaman negara dari Pemerintah Rusia kepada pemerintah Indonesia senilai US$1 miliar untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan karya Rusia.[54]
Penilaian
[sunting | sunting sumber]Peringkat kepuasan publik
[sunting | sunting sumber]Peringkat kepuasan atas kinerja pemerintahan di bawah pimpinan SBY cukup bervariasi di periode keduanya. Pada bulan November 2009, peringkat kepuasan terhadap SBY menyentuh angka 75%, menurun di angka 47% pada bulan Juni 2011 dan menyentuh angka 30% pada bulan Mei 2013.[55]
Pakar dan pengamat
[sunting | sunting sumber]Kunal Sen dari Universitas Anglia Timur dan Liesbet Steer dari The Asia Foundation, menilai bahwa setahun pertama pemerintahan SBY "cukup baik". Meskipun mereka memuji upaya pemerintah SBY dalam memenuhi bidang yang diberikan prioritas, mereka menilai pemerintahan baru "belum terorganisasi" dalam menerapkan reformasi ekonomi.[56] Marcus Mietzner dari Universitas Nasional Australia menilai kesuksesan SBY dalam memenangkan pemilihan presiden tidak terlepas dari kemampuannya untuk mengintegrasikan sejumlah besar kepentingan sosiopolitik dalam "all-inclusive agenda"—yang merujuk kepada upayanya untuk memasukkan semua unsur kepentingan dari berbagai pihak di bawah pemerintahannya.[2]
Pada tahun 2011, Greg Fealy dari Universitas Nasional Australia menilai bahwa SBY masih belum berubah menjadi sosok reformis dan mulai mengurangi kebijakan beresiko tinggi pada periode keduanya. Ia cenderung berhati-hati, menyendiri, dan mengagungkan diri.[57] Michael Bachelard, dalam tulisannya untuk The Sydney Morning Herald, menyatakan bahwa prestasi terbesar Yudhoyono adalah keberhasilannya dalam "mengonsolidasikan demokrasi Indonesia".[44]
Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari, menyebutkan bahwa periode seratus hari pemerintahan SBY di bidang ekonomi, politik, dan hukum cenderung "lebih stabil" dibandingkan dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo.[58] Ia mengklaim bahwa SBY cenderung tidak mengikuti saran dan masukan dari tim ekonominya, berbanding terbalik dengan Jokowi yang disebutnya "berani mengambil langkah revolusioner".[58]
Kontroversi
[sunting | sunting sumber]Aliran dana Bank Century
[sunting | sunting sumber]Kasus Bank Century merupakan salah satu fenomena yang mewarnai pemerintahan SBY. Kasus ini baru mulai menarik perhatian setelah kemenangan besarnya dalam pemilihan presiden tahun 2009. Ia dan partainya dituduh menerima aliran dana Bank Century untuk kegiatan kampanye dan politik.[59] SBY pada tanggal 1 Desember 2009 menyatakan bahwa tuduhan tersebut adalah "fitnah".[60]
Penghargaan
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 31 Mei 2013, SBY menerima penghargaan World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation di Kota New York.[61] Ratusan LSM di Yogyakarta menentang pemberian penghargaan ini, menganggap bahwa dia gagal menyelesaikan isu-isu intoleransi agama di Indonesia.[62] Beberapa organisasi ini di antaranya adalah Perkumpulan Rumpun, Pusat Studi Islam di Universitas Islam Indonesia, Yayasan LKiS, Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), Aliansi Yogyakarta untuk Indonesia Damai (AJI Damai), dan Institut Hak-hak Perempuan.[62] Seorang koordinator dari LSM menyatakan bahwa "SBY mengabaikan demokrasi dan hak asasi manusia" karena dia gagal menyelesaikan isu-isu yang berkaitan dengan kekerasan.[62]
Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ Secara spesifik, SBY menginginkan menteri yang memiliki integritas, kemampuan, dapat diterima masyarakat, dan dalam usia produktif.[18]
- ^ Nama lainnya adalah "ribuan teman tanpa musuh" (bahasa Inggris: one thousand friends, zero enemy)
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Liddle & Mujani 2005a, hlm. 119.
- ^ a b Mietzner 2015a, hlm. 10.
- ^ Detik 2014b.
- ^ Mietzner 2015a, hlm. 11.
- ^ a b Mietzner 2015b, hlm. 119.
- ^ Detik 2014a.
- ^ a b c d e f g h i j Laksamana 2004a.
- ^ Brown 2004; Yaxley 2004.
- ^ Laksamana 2004a; The Star 2004.
- ^ Widyanto 2004a.
- ^ Fionna 2015, hlm. 12.
- ^ a b c Onishi 2009a.
- ^ a b Onishi 2009b.
- ^ a b Liddle 2005b, hlm. 332.
- ^ a b Detik 2004b.
- ^ BBC Monitoring Asia Pasific 2004a; Detik 2004c.
- ^ a b c The Economist 2004.
- ^ BBC Monitoring Asia Pasific 2004a.
- ^ Laksamana 2004b.
- ^ Widyanto 2004b.
- ^ Honna 2012, hlm. 478-479; Fionna 2015, hlm. 12.
- ^ Honna 2012, hlm. 479.
- ^ Honna 2012, hlm. 479; Fionna 2015, hlm. 12.
- ^ a b c Liddle 2005b, hlm. 333.
- ^ a b Wisnu, Basri & Putra 2015, hlm. 327.
- ^ Detik 2004a; Yusuf 2005, hlm. 1.
- ^ Rachmawati 2004.
- ^ Yusuf 2005, hlm. 30.
- ^ Yusuf 2005, hlm. 27.
- ^ Moore 2004.
- ^ Liputan6 2005.
- ^ Suryanto 2005.
- ^ a b McRae 2013.
- ^ Yusuf 2005, hlm. 26.
- ^ Wisnu, Basri & Putra 2015, hlm. 325.
- ^ Harsono 2014; Human Rights Watch 2013, hlm. 34.
- ^ Harsono 2014; Human Rights Watch 2013, hlm. 35.
- ^ Péter & Márton 2015, hlm. 26; Bush 2016, hlm. 138.
- ^ Péter & Márton, hlm. 5.
- ^ Péter & Márton 2015, hlm. 26; Connelly 2014, hlm. 2.
- ^ Beech 2006; Sanger 2006; Tri 2007; Vltchek 2006.
- ^ a b Sanger 2006; Vltchek 2006.
- ^ a b c d e f g h Mendiolaza & Hardjakusumah 2013.
- ^ a b Bachelard 2014.
- ^ a b Hussain 2014; Prabowo 2014.
- ^ a b Prabowo 2014.
- ^ a b Hussain 2014.
- ^ ABC News 2005; BBC News 2005.
- ^ Reuters 2004.
- ^ ABC News 2005; BBC News 2005; Horta 2009, hlm. 1-2; Sydney Morning Herald 2005.
- ^ a b Pamungkas 2013; Parlina 2013.
- ^ Saragih 2013.
- ^ Prentice 2012.
- ^ a b KBRI Moskwa 2011.
- ^ Mietzner 2015a, hlm. 16.
- ^ Sen & Steer 2005, hlm. 280.
- ^ Fealy 2011.
- ^ a b Zulfikar 2015.
- ^ von Luebke 2010, hlm. 81-82.
- ^ Made 2009.
- ^ Djalal 2013; Maharani 2013.
- ^ a b c Maharani 2013.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]Sumber primer
[sunting | sunting sumber]- Yudhoyono, Susilo Bambang (2010). "The Democratic Instinct in the 21st Century". Journal of Democracy. Johns Hopkins University Press. 21 (3): 5–10. doi:10.1353/jod.0.0175.
Buku
[sunting | sunting sumber]- Anderson, Patrick; Firdaus, Asep; Mahaningtyas, Avi (2015). "Big Commitments, Small Results: Environmental Governance and Climate Change Mitigation under Yudhoyono". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 258–278. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Anwar, Dewi Fortuna (2015). "Prologue: Yudhoyono's Legacy: An Insider's View". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 23–32. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk, ed. (2015). "The Moderating President: Yudhoyono's Decade in Power". The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 1–22. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Baker, Jacqui (2015). "Professionalism Without Reform: The Security Sector under Yudhoyono". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 114–135. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Berger, Dominic (2015). "Human Rights and Yudhoyono's Test of History". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 217–238. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Budianta, Melani; Chandrakirana, Karnala; Yentriyani, Andy (2015). "Yudhoyono's Politics and the Harmful Implications for Gender Equality in Indonesia". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 199–216. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Bush, Robin (2015). "Religious Politics and Minority Rights During the Yudhoyono Presidency". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 239–257. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Butt, Simon (2015). "The Rule of Law and Anti-Corruption Reforms under Yudhoyono: The Rise of the KPK and the Constitutional Court". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 175–196. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Fealy, Greg (2015). "The politics of Yudhoyono: Majoritarian Democracy, Insecurity and Vanity". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 35–54. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Fitriani, Evi (2015). "Yudhoyono's Foreign Policy: Is Indonesia a Rising Power?". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 73–90. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Hill, Hal (2015). "The Indonesian Economy during the Yudhoyono Decade". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 281–302. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Jones, Sidney (2015). "Yudhoyono's Legacy on Internal Security: Achievements and Missed Opportunities". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 136–154. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Manning, Chris; Miranti, Riyana (2015). "The Yudhoyono Legacy on Jobs, Poverty and Income Distribution: A Mixed Record". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 303–324. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Mietzner, Marcus (2012). "Yudhoyono's Legacy between Stability and Stagnation". Dalam Singh, Daljit; Thambipillai, Pushpa. Southeast Asian Affairs 2012. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 119–134. ISBN 978-9-81-438023-2. JSTOR 41713990.
- Sherlock, Stephen (2015). "A Balancing Act: Relations Between State Institutions under Yudhoyono". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 93–113. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Sidel, John Thayer (2015). "Men on Horseback and Their Droppings: Yudhoyono's Presidency and Legacies in Comparative Regional Perspective". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 55–72. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Tomsa, Dirk (2015). "Toning Down the 'Big Bang': The Politics of Decentralisation During the Yudhoyono Years". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 155–174. ISBN 978-981-4620-72-7.
- Wisnu, Dinna; Basri, Faisal; Putra, Gatot Arya (2015). "Ambitious But Inadequate: Social Welfare Policies under Yudhoyono". Dalam Aspinall, Edward; Mietzner, Marcus; Tomsa, Dirk. The Yudhoyono Presidency: Indonesia's Decade of Stability and Stagnation. Indonesia Update Series. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 325–344. ISBN 978-981-4620-72-7.
Jurnal
[sunting | sunting sumber]- Fealy, Greg (2011). "Indonesian Politics in 2011: Democratic Regression and Yudhoyono's Regal Incumbency". Bulletin of Indonesian Economic Studies. Routledge. 47 (3): 325–340. doi:10.1080/00074918.2011.619050.
- Liddle, R. William; Mujani, Saiful (2005a). "Indonesia in 2004: The Rise of Susilo Bambang Yudhoyono". Asian Survey. University of California Press. 45 (1): 119–126. doi:10.1525/as.2005.45.1.119.
- Liddle, R. William (2005b). "Year one of the Yudhoyono–Kalla duumvirate". Bulletin of Indonesian Economic Studies. Routledge. 41 (3): 325–340. doi:10.1080/00074910500306593.
- Mietzner, Marcus (2009). "Indonesia in 2008: Yudhoyono's Struggle for Reelection". Asian Survey. University of California Press. 49 (1): 146–155. doi:10.1525/as.2009.49.1.146.
- Taufik, Kinanti Kusumawardani (2016). "Indonesia's Environmental Diplomacy under Yudhoyono: A Critical–Institutionalist–Constructivist Analysis". The Hague Journal of Diplomacy. Brill. 12: 1–26. doi:10.1163/1871191X-12341349.
- Ufen, Andreas (2009). "Parlamentswahlen in Indonesien: Präsident Susilo im Aufwind". Journal of Current Southeast Asian Affairs. GIGA German Institute of Global and Area Studies. 28 (2): 75–86.
- Ziegenhain, Patrick (2009). "Präsidentschaftswahlen in Indonesien: Ursachen und Hintergründe zur Wiederwahl Susilo Bambang Yudhoyonos". Journal of Current Southeast Asian Affairs. GIGA German Institute of Global and Area Studies. 28 (3): 81–94.
Majalah
[sunting | sunting sumber]- Carey, Peter (2004). "The Thinking General". Indonesia: Presidential Election. The World Today. Vol. 60 no. 8/9. London: Dow Jones & Company. hlm. 38–39 – via ProQuest.
- McBeth, John (12 Oktober 2000). "The Thinking General". The Region. Far Eastern Economic Review. Vol. 163 no. 41. Hong Kong: Dow Jones & Company. hlm. 18 – via ProQuest.
- McBeth, John (30 September 2004). "A New Start". The Region. Far Eastern Economic Review. Vol. 167 no. 39. Hong Kong: Dow Jones & Company. hlm. 14–18 – via ProQuest.
- Suryadinata, Leo (2005). "Susilo Bambang Yudhoyono: A Retired General Turned Politician". Southeast Asia. Regional Outlook. hlm. 23–25 – via EBSCO.
- Van Zorge, James (2009). "High Hopes for The Next SBY Term". Far Eastern Economic Review. Vol. 172 no. 5. Hong Kong: Dow Jones & Company. hlm. 45–48 – via ProQuest.
Sumber
[sunting | sunting sumber]Buku
[sunting | sunting sumber]- Bush, Robin (2016). "Indonesia in 2015". Dalam Singh, Daljit; Cook, Malcolm. Southeast Asian Affairs 2016. ISEAS-Yusof Ishak Institute. hlm. 131–144. ISBN 978-9-81-469566-4.
- Hendrianto, Stefanus (2018). Law and Politics of Constitutional Courts: Indonesia and the Search for Judicial Heroes. Comparative Constitutionalism in Muslim Majority States. Routledge. ISBN 978-1-35-158491-3.
- Mietzner, Marcus (2015a). Reinventing Asian Populism: Jokowi's Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia. Policy Studies. East-West Center Series. East–West Center. ISBN 978-0-86638-263-2.
- Mietzner, Marcus (2015b). "Indonesia in 2014: Jokowi and the Repolarization of Post-Soeharto Politics". Dalam Singh, Daljit. Southeast Asian Affairs 2015. ISEAS-Yusof Ishak Institute. hlm. 119–138. ISBN 978-9-81-462058-1.
- Weatherbee, David E. (2017). "Indonesia's Foreign Policy in 2016: Garuda Hovering". Dalam Singh, Daljit; Cook, Malcolm. Southeast Asian Affairs 2017. ISEAS-Yusof Ishak Institute. hlm. 163–176. ISBN 978-9-81-476286-1.
Jurnal
[sunting | sunting sumber]- Aswicahyono, Haryo; Hill, Hal (2004). "Survey of Recent Developments". Bulletin of Indonesian Economic Studies. Routledge. 40 (3): 277–305. doi:10.1080/0007491042000231494.
- Baswedan, Anies Rasyid (2007). "Indonesian Politics in 2007: The Presidency, Local Elections and the Future of Democracy". Bulletin of Indonesian Economic Studies. Routledge. 43 (3): 323–340. doi:10.1080/00074910701727597.
- Burke, Paul J.; Resosudarmo, Budy P. (2012). "Survey of Recent Developments". Bulletin of Indonesian Economic Studies. Routledge. 48 (3): 299–324. doi:10.1080/00074918.2012.728620.
- Diamond, Larry (2009). "Is a 'Rainbow Coalition' a Good Way to Govern?". Bulletin of Indonesian Economic Studies. Routledge. 45 (3): 337–340. doi:10.1080/00074910903424035.
- Falahi, Ziyad (2013). "Memikirkan Kembali Arti Million Friends Zero Enemy dalam Era Paradox of Plenty". Jurnal Global dan Strategis. Universitas Airlangga. 7 (2): 227–240.
- Honna, Jun (2012). "Inside the Democrat Party: Power, Politics and Conflict in Indonesia's Presidential Party". South East Asia Research. Sage Publications. 20 (4): 473–489. doi:10.5367/sear.2012.0125.
- Howes, Stephen; Davies, Robin (2014). "Survey of Recent Developments". Bulletin of Indonesian Economic Studies. Routledge. 50 (2): 157–183. doi:10.1080/00074918.2014.938403.
- Kuncoro, Mudrajad; Widodo, Tri; McLeod, Ross H. (2009). "Survey of Recent Developments". Bulletin of Indonesian Economic Studies. Routledge. 45 (2): 151–176. doi:10.1080/00074910903040302.
- McGibbon, Rodd (2006). "Indonesian politics in 2006: Stability, Compromise and Shifting Contests over Ideology". Bulletin of Indonesian Economic Studies. Routledge. 42 (3): 321–340. doi:10.1080/00074910601053201.
- Mietzner, Marcus (2009). "Ideology, money and dynastic leadership: the Indonesian Democratic Party of Struggle, 1998–2012". South East Asia Research. Sage Publications. 20 (4): 511–531. doi:10.5367/sear.2012.0123. JSTOR 23752522.
- Mietzner, Marcus (2016). "Coercing Loyalty: Coalitional Presidentialism and Party Politics in Jokowi's Indonesia". Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs. ISEAS-Yusof Ishak Institute. 38 (2): 209–232.
- Nehru, Vikram (2013). "Survey of Recent Developments". Bulletin of Indonesian Economic Studies. Routledge. 49 (2): 139–166. doi:10.1080/00074918.2013.809840.
- Resosudarmo, Budy P.; Yusuf, Arief A. (2009). "Survey of Recent Developments". Bulletin of Indonesian Economic Studies. Routledge. 45 (3): 287–315. doi:10.1080/00074910903301639.
- Sukma, Rizal (2007). "Indonesian politics in 2009: Defective Elections, Resilient Democracy". Bulletin of Indonesian Economic Studies. Routledge. 45 (3): 317–336. doi:10.1080/00074910903301647.
- Ufen, Andreas (2017). "Party Presidentialization in Post-Suharto Indonesia". Contemporary Politics: 1–19. doi:10.1080/13569775.2017.1413499.
- Vltchek, Andre (2006). "George Bush's Visit to Indonesia, the Indonesia-US Relationship and the 1965 Coup". The Asia-Pacific Journal. 4 (11): 1–5.
- von Luebke, Christian (2010). "The Politics of Reform: Political Scandals, Elite Resistance, and Presidential Leadership in Indonesia". Journal of Current Southeast Asian Affairs. GIGA German Institute of Global and Area Studies. 29 (1): 79–94.
Laporan
[sunting | sunting sumber]- Connelly, Aaron R. (2014). Indonesian Foreign Policy under President Jokowi. Analysis (Laporan). Lowy Institute.
- Horta, Loro (2009). Looking to the Future: Timor-Leste and Indonesia 10 Years After Separation. RSIS Commentaries (Laporan). Singapura: Universitas Teknologi Nanyang. hdl:10220/40057 .
- Human Rights Watch (2013). In Religion's Name: Abuses Against Religious Minorities in Indonesia (Laporan). Human Rights Watch. ISBN 1-56432-992-5.
- Mietzner, Marcus (2009). Indonesia's 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of the Party System. Analysis (Laporan). Lowy Institute.
- Péter, Klemensits; Márton, Fenyő (2015). The Foreign Policy of Indonesia: In Light of President Jokowi's "Visi-Misi" Program (PDF) (Laporan). Budapest: Institut Studi Internasional dan Ilmu Politik Universitas Katolik Pázmány Péter.
- Yusuf, Aly (2005). Evaluasi Pemerintahan SBY-Kalla. Policy Assessment (Laporan). The Indonesian Institute.
Siniar
[sunting | sunting sumber]- Brown, Matt (19 Oktober 2004). "Howard Denies Gatecrashing SBY Inauguration". PM (Podcast). ABC Local Radio. http://www.abc.net.au/pm/content/2004/s1223453.htm. Diakses pada 15 Mei 2018.
- Caldwell, Alison (21 Oktober 2004). "SBY Cabinet Well Received by Indonesia Observers; Indonesian President Names Cabinet". The World Today (Podcast). ABC Local Radio. http://www.abc.net.au/worldtoday/content/2004/s1224977.htm. Diakses pada 3 Juni 2018.
- Yaxley, Louise (19 Oktober 2004). "John Howard on His Way to Indonesia for SBY Inauguration". The World Today (Podcast). ABC Local Radio. http://www.abc.net.au/worldtoday/content/2004/s1223080.htm. Diakses pada 15 Mei 2018.
Situs web
[sunting | sunting sumber]- ABC News (9 April 2005). "Yudhoyono Honours E Timor Massacre Victims". ABC News. Diakses tanggal 21 April 2018.
- Bachelard, Michael (18 Oktober 2014). "Susilo Bambang Yudhoyono's Legacy: The Great Democratic Leader Who Became a Follower". The Sydney Morning Herald. Diakses tanggal 4 Juni 2018.
- BBC Monitoring Asia Pasific (15 Oktober 2004). "Indonesian President-elect to Interview Cabinet Nominees". BBC Monitoring Asia Pacific. Diakses tanggal 15 Mei 2018 – via ProQuest.
- BBC Monitoring Asia Pasific (20 Oktober 2004). "Text of Indonesian President's Inaugural Speech". BBC Monitoring Asia Pacific. Diakses tanggal 14 Mei 2018 – via ProQuest.
- BBC News (9 April 2005). "Indonesia and E Timor Heal Wounds". BBC News. Diakses tanggal 21 April 2018.
- BBC News (20 November 2006). "Protests as Bush Visits Indonesia". BBC News. Diakses tanggal 21 April 2018.
- Beech, Hannah (19 November 2006). "Indonesia Braces for Bush". BBC News. Diakses tanggal 21 April 2018.
- Chalmers, John (8 Juli 2009). Webb, Sara, ed. "Indonesia's Yudhoyono Wins Second Term". Reuters. Diakses tanggal 16 April 2018.
- Creagh, Sunanda; Yao, Kevin; Suhartono, Harry (8 Juli 2009). Webb, Sara, ed. "ANALYSTS VIEW - Indonesia's Yudhoyono Set for a Second Term". Reuters. Diakses tanggal 23 April 2018.
- Creagh, Sunanda; Webb, Sara (8 Juli 2009). Chalmers, John, ed. "SNAP ANALYSIS - Reform Push on the way as Yudhoyono Heads for Winning Election". Reuters. Diakses tanggal 23 April 2018.
- Davies, Ed (8 Juli 2009). Webb, Sara; Katyal, Sugita, ed. "Yudhoyono to Get New Shot at Reforming Indonesia". Reuters. Diakses tanggal 16 April 2018.
- Detik (27 September 2004). "SBY Isi 100 Hari Pertama Pemerintahan dengan K2A". Detik. Diakses tanggal 23 Mei 2018.
- Detik (14 Oktober 2004). "Struktur Kabinet SBY Hampir Final, Personel Digodok". Detik. Diakses tanggal 27 April 2018.
- Detik (15 Oktober 2004). "Diminta SBY-JK, PPP Ajukan 4 Calon Menteri". Detik. Diakses tanggal 15 Mei 2018.
- Detik (8 Oktober 2014). "Tak Pernah 'Mulus', Begini Transisi Presiden dari Sukarno Hingga SBY". Detik. Diakses tanggal 5 April 2018.
- Detik (27 November 2014). "Indef: SBY Punya 6 Keberhasilan, Tapi Ada 10 Kegagalan". Detik Finance. Diakses tanggal 17 Mei 2018.
- Djalal, Dino Patti (31 Mei 2013). "World Statesman Award untuk SBY". Kompas. Diakses tanggal 17 April 2018.
- Harsono, Andreas (13 Mei 2014). "Undoing Yudhoyono's Sectarian Legacy". New Mandala. Diakses tanggal 4 Juni 2018.
- Hunt, Katie; Quiano, Kathy (25 Juni 2013). "Indonesia Apologizes for 'Hazardous' Pollution Levels". CNN. Diakses tanggal 27 April 2018.
- Hussain, Zakir (3 September 2014). "Singapore, Indonesia Sign Treaty on Maritime Borders in Eastern Singapore Strait". The Straits Times. Diakses tanggal 10 April 2018.
- Laksamana (20 Oktober 2004). "Review – Politics: Mega Snub". Laksamana. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Oktober 2014. Diakses tanggal 14 Mei 2018.
- Laksamana (20 Oktober 2004). "Predicted Cabinet Line-Up". Laksamana. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Oktober 2014. Diakses tanggal 14 Mei 2018.
- Laksamana (20 Oktober 2004). "President's Inaugural Speech". Laksamana. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Oktober 2014. Diakses tanggal 14 Mei 2018.
- Laksmana, Evan A. (3 September 2015). "Indonesia's Modernizing Military: Suharto's New Order Is Old News". Response. Foreign Affairs. Diakses tanggal 27 Mei 2018.
- Liputan6 (21 Oktober 2004). "SBY Mengumumkan Susunan Kabinet Indonesia Bersatu". Liputan6. Diakses tanggal 5 April 2018.
- Liputan6 (17 Juni 2005). "Indikasi Korupsi Said Agil Dibeberkan". Liputan6. Diakses tanggal 26 Mei 2018.
- Made, ed. (22 September 2009). "Presiden: Berita Itu Sudah Keterlaluan!". Kompas. Diakses tanggal 18 Mei 2018.
- Maharani, Shinta (4 Juni 2013). "Activists Claim SBY Unworthy of Award". Tempo. Diakses tanggal 17 April 2018.
- Mapes, Timothy (5 Oktober 2004). "Indonesia's Yudhoyono Faces Task of Reviving Oil Industry". International. The Wall Street Journal. Diakses tanggal 19 April 2018 – via ProQuest.
- Mendiolaza, Gustavo; Hardjakusumah, Cherika (31 Juli 2013). "Aspects of Indonesia's Foreign, Defence and Trade Policies: Current Developments and Future Expectations". Stratfor. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 September 2013. Diakses tanggal 10 April 2018.
- Mietzner, Marcus (18 September 2014). "SBY's Mixed Legacy". New Mandala. Diakses tanggal 4 Juni 2018.
- Moore, Matthew (9 Desember 2004). "Yudhoyono Gets Tough on Corruption". The Age. Diakses tanggal 24 Mei 2018.
- Onishi, Norimitsu (8 Juli 2009). "Indonesian President Is Projected to Win Election". The New York Times. Diakses tanggal 30 Mei 2018.
- Onishi, Norimitsu (24 Juli 2009). "Final Results Confirm Victory for Indonesia's President". The New York Times. Diakses tanggal 30 Mei 2018.
- Pamungkas, Diska Putri (21 Juni 2013). "Border Deal a Step Nearer". The Jakarta Globe. Diakses tanggal 22 April 2018.
- Parlina, Ina (22 Juni 2013). "RI, Timor Leste Agree to Enhance Relations". The Jakarta Post. Diakses tanggal 22 April 2018.
- Prabowo, Dani (22 September 2014). Gatra, Sandro, ed. "SBY dan Ani Yudhoyono Bertolak ke Singapura". Kompas. Diakses tanggal 10 April 2018.
- Prentice, Alessandra (1 November 2012). Roddy, Michael; MacDonald, Myra, ed. "Indonesia Scored over Human Rights in State Visit". Reuters. Diakses tanggal 10 April 2018.
- Rachmawati, Rina (9 Oktober 2004). "100 Hari Pertama, Yudhoyono Prioritaskan Pemberantasan Korupsi". Tempo. Diakses tanggal 23 April 2018.
- Rosarians, Fransisco (9 Januari 2014). "Great General SBY". Tempo. Diakses tanggal 27 April 2018.
- Sanger, David E. (21 November 2006). "Bush Ends Trip at Careful Stop in Indonesia". The New York Times. Diakses tanggal 23 April 2018.
- Santi, Natalia (24 September 2014). "Obama, Heads of States, Speak Highly of SBY in New York". Tempo. Diakses tanggal 10 April 2018.
- Saragih, Bagus BT (27 April 2013). "Timor Leste One Step Closer to ASEAN Membership". The Jakarta Post. Diakses tanggal 22 April 2018.
- Saragih, Bagus BT (16 Oktober 2014). "RI: A Regional Troubleshooter Struggling with Its Missions". The Jakarta Post. Diakses tanggal 10 April 2018.
- Shadbolt, Peter (1 Oktober 2013). "Australia, Indonesia United on Asylum Seekers as Abbott Travels to Jakarta". CNN. Diakses tanggal 27 April 2018.
- Shadbolt, Peter (19 November 2013). "Australia's Tony Abbott Refuses to Apologize over Indonesia Spy Scandal". CNN. Diakses tanggal 27 April 2018.
- Suryanto, ed. (11 Juni 2007). "Pemerintah Bubarkan Timtas Tipikor". Antaranews. Diakses tanggal 26 Mei 2018.
- Sydney Morning Herald (9 April 2005). "Yudhoyono Prays at Site of Dili Massacre". The Sydney Morning Herald. Diakses tanggal 21 April 2018.
- The Economist (21 Oktober 2004). "Hail to the Chief". The Economist. Diakses tanggal 22 Mei 2018.
- The Star (19 Oktober 2004). "Abdullah to Attend Swearing-in of Susilo". The Star Online. Diakses tanggal 15 Mei 2018.
- Tri, Dadang (20 Januari 2007). "Bush Indonesia Visit Gets Rare Support". Reuters. Diakses tanggal 23 April 2018.
- Wall Street Journal (23 April 2004). "The Wiranto Surprise". Review & Outlook (Editorial). The Wall Street Journal. Diakses tanggal 19 April 2018 – via ProQuest.
- White, Hugh (Juni 2013). "What Indonesia's Rise Means for Australia: Northern Exposure". The Monthly. Diakses tanggal 10 April 2018.
- Whiteman, Hilary (3 Juni 2014). "Australia's Tony Abbott heads to Indonesia to warm frosty ties". CNN. Diakses tanggal 27 April 2018.
- Widyanto, Untung (18 Oktober 2004). "Dibalik Penolakan Megawati Menghadiri Pelantikan SBY". Tempo. Diakses tanggal 29 Mei 2018.
- Widyanto, Untung (21 Oktober 2004). "Kabinet Indonesia Bersatu Yudhoyono-Kalla". Tempo. Diakses tanggal 5 April 2018.
- Zulfikar, Muhammad (30 Januari 2015). Agustina, Dewi, ed. "Beda 100 Hari Pemerintahan Jokowi dengan SBY Versi Indo Barometer". Tribunnews. Diakses tanggal 23 Mei 2018.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]Pemerintahan Kepresidenan Indonesia | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Megawati Soekarnoputri |
Kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono 2004–2014 |
Diteruskan oleh: Joko Widodo |