Lompat ke isi

Kemerajaan dan kerajaan Allah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 44: Baris 44:
Pernyataan "Allah hakim sarwa sekalian alam" di dalam [[Perjanjian Lama]] dan gagasan bahwa segenap umat manusia pada akhirnya akan [[pengadilan Terakhir|dihakimi]] yang juga terkandung di dalam Perjanjian Lama, merupakan salah satu unsur asasi ajaran agama Kristen.<ref name="Millard391">''Introducing Christian Doctrine'' (Edisi ke-2) oleh Millard J. Erickson (2001) {{ISBN|0801022509}} hlmn. 391–392</ref> [[Syahadat Nikea]], yang berasaskan beberapa nas Perjanjian Lama, menunjukkan bahwa tugas untuk menghakimi dilimpahkan kepada Yesus.<ref name="Millard391" /><ref name="Pann390">''Systematic Theology'' Jil. 2 oleh Wolfhart Pannenberg (2004) {{ISBN|0567084663}} hlmn. 390–391</ref>
Pernyataan "Allah hakim sarwa sekalian alam" di dalam [[Perjanjian Lama]] dan gagasan bahwa segenap umat manusia pada akhirnya akan [[pengadilan Terakhir|dihakimi]] yang juga terkandung di dalam Perjanjian Lama, merupakan salah satu unsur asasi ajaran agama Kristen.<ref name="Millard391">''Introducing Christian Doctrine'' (Edisi ke-2) oleh Millard J. Erickson (2001) {{ISBN|0801022509}} hlmn. 391–392</ref> [[Syahadat Nikea]], yang berasaskan beberapa nas Perjanjian Lama, menunjukkan bahwa tugas untuk menghakimi dilimpahkan kepada Yesus.<ref name="Millard391" /><ref name="Pann390">''Systematic Theology'' Jil. 2 oleh Wolfhart Pannenberg (2004) {{ISBN|0567084663}} hlmn. 390–391</ref>


Belum ada mufakat yang menyeluruh mengenai tafsir teologis dari "Kerajaan Allah" di kalangan sarjana. Meskipun sejumlah tafsir teologis dari istilah Kerajaan Allah sudah diketengahkan di dalam konteks [[Eskatologi|eskatologis]]nya, misalnya eskatologi [[apokaliptisisme|apokaliptis]], [[eskatologi terealisasi]], maupun [[eskatologi terinagurasi]], belum ada konsensus di kalangan para sarjana.<ref name=familiar77>''Familiar Stranger: An Introduction to Jesus of Nazareth'' oleh Michael James McClymond (2004) {{ISBN|0802826806}} hlmn. 77–79</ref><ref name=Chil255>''Studying the Historical Jesus: Evaluations of the State of Current Research'' oleh Bruce Chilton dan Craig A. Evans (1998) {{ISBN|9004111425}} hlm. 255–257</ref><!--
Belum ada mufakat yang menyeluruh mengenai tafsir teologis dari "Kerajaan Allah" di kalangan sarjana. Meskipun sejumlah tafsir teologis dari istilah Kerajaan Allah sudah diketengahkan di dalam konteks [[Eskatologi|eskatologis]]nya, misalnya eskatologi [[apokaliptisisme|apokaliptis]], [[eskatologi terealisasi]], maupun [[eskatologi terinagurasi]], belum ada konsensus di kalangan para sarjana.<ref name=familiar77>''Familiar Stranger: An Introduction to Jesus of Nazareth'' oleh Michael James McClymond (2004) {{ISBN|0802826806}} hlmn. 77–79</ref><ref name=Chil255>''Studying the Historical Jesus: Evaluations of the State of Current Research'' oleh Bruce Chilton dan Craig A. Evans (1998) {{ISBN|9004111425}} hlm. 255–257</ref>


[[R. T. France]] points out that while the concept of "Kingdom of God" has an intuitive meaning to lay Christians, there is hardly any agreement among scholars about its meaning in the New Testament.<ref name=FranceK1>''Divine Government: God's Kingship in the Gospel of Mark'' by R.T. France (2003) {{ISBN|1573832448}} pp. 1–3</ref> Some scholars see it as a Christian lifestyle, some as a method of world evangelization, some as the rediscovery of charismatic gifts, others relate it to no present or future situation, but the [[world to come]].<ref name=FranceK1/> France states that the phrase Kingdom of God is often interpreted in many ways to fit the theological agenda of those interpreting it.<ref name=FranceK1/>
[[R. T. France]] menunjukkan bahwa meskipun konsep "Kerajaan Allah" memiliki makna yang intuitif di kalangan umat Kristen awam, nyaris tidak ada kata mufakat di kalangan sarjana mengenai maknanya di dalam Perjanjian Baru.<ref name=FranceK1>''Divine Government: God's Kingship in the Gospel of Mark'' oleh R.T. France (2003) {{ISBN|1573832448}} hlmn. 1–3</ref> Beberapa sarjana mengartikannya sebagai gaya hidup Kristen, beberapa lagi mengartikannya sebagai metode pewartaan Injil ke seluruh dunia, dan beberapa lagi mengartikannya sebagai penemuan kembali karunia-karunia karismatik, sementara sarjana-sarjana lain mengaitkannya bukan dengan keadaan kini maupun nanti, melainkan dengan [[dunia yang akan datang]].<ref name=FranceK1/> R. T. France mengemukakan bahwa frasa Kerajaan Allah acap kali ditafsirkan dengan beragam cara supaya cocok dengan agenda teologis mufasirnya.<ref name=FranceK1/>


Di dalam [[Perjanjian Baru]], [[takhta Tuhan|Takhta Allah]] is alluded to in several forms.<ref name= "Kittel p. 164-166">{{cite book |last=Kittel |first=Gerhard |title=Theological Dictionary of the New Testament, Volumes 3-4 |year=1966 |publisher=Wm. B. Eerdmans Publishing |isbn=0-8028-2245-2 |pages=164–166}}</ref> Among these are [[Heaven (Christianity)|Heaven]] as the Throne of God, The Throne of [[David]], The Throne of Glory, The Throne of [[Grace (Christianity)|Grace]] and many more.<ref name= "Kittel p. 164-166"/> The New Testament continues Jewish identification of heaven itself as the "throne of God",<ref>William Barclay ''The Gospel of Matthew: Chapters 11–28 '' p. 340 Matthew 23:22 "And whoever swears by heaven swears by the throne of God and by him who sits upon it."</ref> but also locates the throne of God as "in heaven" and having a second subordinate seat at the [[Right Hand of God]] for the [[Session of Christ]].<ref>[[Philip Edgecumbe Hughes]] ''A Commentary on the Epistle to the Hebrews'' p. 401 1988 "The theme of [[Session of Christ|Christ's heavenly session]], announced here by the statement he sat down at the [[right hand of God]], .. Hebrews 8:1 "we have such a high priest, one who is seated at the right hand of the throne of the Majesty in heaven"</ref> -->
Di dalam [[Perjanjian Baru]], [[takhta Tuhan|Takhta Allah]] dikilatkan dalam beberapa bentuk,<ref name= "Kittel p. 164-166">{{cite book |last=Kittel |first=Gerhard |title=Theological Dictionary of the New Testament, Volumes 3-4 |year=1966 |publisher=Wm. B. Eerdmans Publishing |isbn=0-8028-2245-2 |pages=164–166}}</ref> antara lain [[Surga (Kekristenan)|Surga]] sebagai Takhta Allah, Takhta [[Daud]], Takhta Kemuliaan, Takhta [[Grace (Christianity)|Kerahiman]], dan banyak lagi yang lain.<ref name= "Kittel p. 164-166"/> Perjanjian Baru meneruskan fikrah Yahudi yang mengidentifikasi Surga itu sendiri sebagai "takhta Allah",<ref>William Barclay ''The Gospel of Matthew: Chapters 11–28 '' hlm. 340 Matius 23:22 "Dan, siapa yang bersumpah demi surga, bersumpah demi takhta Allah, dan demi Dia yang duduk di atasnya."</ref> tetapi juga menyifatkan lokasi takhta Allah itu "di surga" dan menambahkan suatu takhta kedua yang lebih rendah di [[sebelah kanan Allah]] sebagai tempat [[Kristus bersemayam]].<ref>[[Philip Edgecumbe Hughes]] ''A Commentary on the Epistle to the Hebrews'' hlm. 401 1988 "Tema [[Kristus bersemayam|Kristus bersemayam di surga]], dipermaklumkan di sini dengan pernyataan ia duduk di [[sebelah kanan Allah]], .. Ibrani 8:1 "kita mempunyai Imam Besar yang duduk di sebelah kanan takhta Yang Mahatinggi di surga"</ref>


== Agama Islam ==
== Agama Islam ==

Revisi per 18 Juni 2024 05.04

Kaca patri karya Reginald Hallward, menampilkan nas Matius 5:3, "diberkatilah orang yang miskin dalam roh sebab mereka yang mempunyai Kerajaan Surga".

Konsep kemerajaan Allah dapat dijumpai di dalam semua agama ibrahimi, dan dalam beberapa kasus dapat pula dijumpai pemakaian istilah kerajaan Allah dan kerajaan Surga. Gagasan kemerajaan Allah bersumber dari Alkitab Ibrani yang memuat perkataan "kerajaan-Nya" meskipun tidak memuat istilah "Kerajaan Allah".[1][2]

Istilah "Kerajaan Allah" maupun "Kerajaan Surga", padanannya di dalam Injil Matius, merupakan salah satu unsur utama ajaran Yesus di dalam Perjanjian Baru. Injil Markus mengindikasikan bahwa injil adalah kabar baik tentang Kerajaan Allah. Istilah tersebut tidak dapat dipisahkan dari kemerajaan Kristus atas segala makhluk. Kerajaan "surga" muncul di dalam Injil Matius terutama lantaran keengganan orang Yahudi untuk melisankan "nama" (Allah). Yesus tidak mengajarkan perihal Kerajaan Allah per se sebanyak mengajarkan perihal kedatangan kembali kerajaan tersebut. Gagasan tentang kedatangan kembali kerajaan Allah (seperti pada zaman Musa) sudah menjadi gagasan bernada menghasut di "Kanaan", kawasan Israel-Palestina-Libanon sekarang ini, 60 tahun sebelum Yesus lahir, dan masih terus menggelorakan semangat sampai hampir seratus tahun lamanya sesudah Yesus wafat.[3] Dengan mengacu kepada ajaran Perjanjian Lama, penyifatan hubungan Allah dengan manusia di dalam ajaran agama Kristen pada hakikatnya melibatkan gagasan "Kemerajaan Allah".[4][5]

Al-Qur'an tidak memuat istilah "kerajaan Allah", tetapi memuat ayat Kursi yang mengatakan bahwa singgasana Allah meliputi langit dan bumi. Al-Qur'an menyebutkan pula bahwa Nabi Ibrahim diperlihatkan "kerajaan langit" dan bumi.[6] Pustaka-pustaka agama Baha'i juga memakai istilah "kerajaan Allah".[7]

Alkitab Ibrani

Istilah "kerajaan TUHAN" muncul dua kali di dalam Alkitab Ibrani, yaitu di dalam nas 1 Tawarikh 28:5 dan nas 2 Tawarikh 13:8. Selain itu, istilah "kerajaan-Nya" dan "kerajaan-Mu" kadang-kadang pula dipakai ketika mengacu kepada Allah.[2] Sebagai contoh, kalimat "ya TUHAN, punya-Mulah kerajaan" digunakan di dalam nas 1 Tawarikh 29:10–12 dan kalimat "kerajaan-Nya adalah kerajaan yang kekal" digunakan di dalam nas Daniel 3:33 (nas Daniel 4:3 menurut versi penomoran ayat Alkitab Kristen).[8] Ada pula nas-nas semisal Keluaran 19:6 yang menunjukkan betapa Israel, selaku umat pilihan Allah, dipandang sebagai sebuah kerajaan, mengingatkan orang kepada sejumlah tafsir Kristen yang mengartikan kerajaan Allah sebagai dunia Kristen.

"Kata Ibrani malkut [...] pertama-tama mengacu kepada suatu pemerintahan, kekuasaan, atau kepemimpinan tertinggi, dan yang kedua mengacu kepada wilayah tempat pemerintahan dijalankan. [...] Bilamana dipakai untuk menyifatkan Allah, kata malkut hampir selalu mengacu kepada kewenangan-Nya selaku Raja samawi untuk meraja."[9] "Mazmur kenaikan takhta" (Mazmur 45, Mazmur 93, Mazmur 96, Mazmur 97–99) menyediakan suatu latar bagi pandangan semacam ini dengan maklumat "TUHAN adalah Raja".[5]

Baik nas 1 Raja–Raja 22:19, Yesaya 6, Yehezkiel 1, maupun Daniel 7:9 berbicara tentang Takhta Allah, kendati beberapa filsuf semisal Saadia Gaon dan Maimonides menafsirkan penyebutan "takhta" semacam itu sebagai kiasan.[10]

Kesusastraan periode antarperjanjian

Frasa Kerajaan Allah tidak lazim dijumpai di dalam kesusastraan antarperjanjian. Bilamana muncul, misalnya di dalam kumpulan Mazmur Salomo dan Kitab Kebijaksanaan Salomo, frasa tersebut biasanya mengacu kepada "pemerintahan Allah, bukan kepada wilayah yang diperintah-Nya, bukan pula kepada zaman baru, [bukan pula kepada ...] rezim Almasihi yang kelak akan dibentuk oleh Orang Yang Diurapi Tuhan".[11]

Meskipun demikian, adakalanya istilah ini berdenotasi "suatu peristiwa eskatologis", misalnya di dalam Kitab Musa Diangkat ke Surga dan Kitab Ucapan Ilahi Sibila. Di dalam kitab-kitab tersebut, "Kerajaan Allah bukanlah suatu zaman baru, melainkan manifestasi efektif pemerintahan Allah atas seluruh dunia sehingga terbentuklah rezim eskatologis."[12] Ada pula pandangan lain yang masih sejalan dengan pandanga-pandangan di atas tetapi lebih bersifat "nasional", yaitu pandangan yang meluhurkan tokoh Almasih terjanji sebagai tokoh pembebas dan tokoh pendiri negara Israel yang baru.[13]

Perjanjian Baru

Injil Lukas mengabadikan penggambaran Yesus tentang Kerajaan Allah, yaitu "Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah;[14] juga orang tidak dapat mengatakan: Lihat, ia ada di sini atau ia ada di sana! Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu."[15]

Di dalam Injil-Injil Sinoptis, Yesus kerap bertutur tentang Kerajaan Allah. Meskipun demikian, di dalam Perjanjian Baru, tidak ada satu nas pun yang meriwayatkan bahwa Yesus pernah mendefinisikan konsep tersebut secara jelas.[16] Di dalam nas-nas Injil Sinoptis, tampaknya sudah diasumsikan bahwa "konsep ini adalah konsep yang sudah tidak asing lagi sehingga tidak perlu didefinisikan."[16]Karen Wenell mengemukakan di dalam tulisannya bahwa "Injil Markus menyediakan bagi kita tempat yang signifikan untuk bertransformasi bagi ruang lingkup Kerajaan Allah, justru tempat tersebut dapat dipahami sebagai semacam tempat lahirnya Kerajaan Allah, yakni awal mula pendiriannya ...".[17]

Agama Kristen

Allah Bapa bersemayam di atas singgasana, Westfalen, Jerman, akhir abad ke-15

Pernyataan "Allah hakim sarwa sekalian alam" di dalam Perjanjian Lama dan gagasan bahwa segenap umat manusia pada akhirnya akan dihakimi yang juga terkandung di dalam Perjanjian Lama, merupakan salah satu unsur asasi ajaran agama Kristen.[18] Syahadat Nikea, yang berasaskan beberapa nas Perjanjian Lama, menunjukkan bahwa tugas untuk menghakimi dilimpahkan kepada Yesus.[18][19]

Belum ada mufakat yang menyeluruh mengenai tafsir teologis dari "Kerajaan Allah" di kalangan sarjana. Meskipun sejumlah tafsir teologis dari istilah Kerajaan Allah sudah diketengahkan di dalam konteks eskatologisnya, misalnya eskatologi apokaliptis, eskatologi terealisasi, maupun eskatologi terinagurasi, belum ada konsensus di kalangan para sarjana.[20][21]

R. T. France menunjukkan bahwa meskipun konsep "Kerajaan Allah" memiliki makna yang intuitif di kalangan umat Kristen awam, nyaris tidak ada kata mufakat di kalangan sarjana mengenai maknanya di dalam Perjanjian Baru.[22] Beberapa sarjana mengartikannya sebagai gaya hidup Kristen, beberapa lagi mengartikannya sebagai metode pewartaan Injil ke seluruh dunia, dan beberapa lagi mengartikannya sebagai penemuan kembali karunia-karunia karismatik, sementara sarjana-sarjana lain mengaitkannya bukan dengan keadaan kini maupun nanti, melainkan dengan dunia yang akan datang.[22] R. T. France mengemukakan bahwa frasa Kerajaan Allah acap kali ditafsirkan dengan beragam cara supaya cocok dengan agenda teologis mufasirnya.[22]

Di dalam Perjanjian Baru, Takhta Allah dikilatkan dalam beberapa bentuk,[23] antara lain Surga sebagai Takhta Allah, Takhta Daud, Takhta Kemuliaan, Takhta Kerahiman, dan banyak lagi yang lain.[23] Perjanjian Baru meneruskan fikrah Yahudi yang mengidentifikasi Surga itu sendiri sebagai "takhta Allah",[24] tetapi juga menyifatkan lokasi takhta Allah itu "di surga" dan menambahkan suatu takhta kedua yang lebih rendah di sebelah kanan Allah sebagai tempat Kristus bersemayam.[25]

Agama Islam

Istilah "kerajaan Allah" tidak muncul di dalam Al-Qur-an. Kata Arab modern untuk kerajaan adalah mamlaka (المملكة), tetapi kata yang dipakai di dalam Al-Qur'an adalah mul'kan (مُّلْكًا), mengacu kepada surga, misalnya di dalam Al-Qur'an 4:54, "ataukah mereka dengki kepada manusia karena karunia yang telah dianugerahkan Allah kepadanya? Sungguh, Kami telah menganugerahkan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim dan Kami telah menganugerahkan kerajaan (kekuasaan) yang sangat besar kepada mereka", dan di dalam Al-Qur'an 6:75, "Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi."[6] Varian Ma'lik (empunya), yang secara etimologis mirip dengan kata Malik (raja), muncul di dalam Al-Qur'an 1:4, "Pemilik hari pembalasan".[26]

Agama Baha'i

Istilah "kerajaan Allah" muncul di dalam risalah-risalah agama Baha'i, termasuk di dalam risalah-risalah Baha'ullah, pengasas agama Baháʼí, dan risalah-risalah anaknya, Abdul Baha.[7][27][28][29] Di dalam ajaran agama Baha'i, kerajaan Allah dipahami sebagai keadaan sesosok pribadi maupun sebagai keadaan dunia. Baha'ullah menyatakan bahwa kitab-kitab suci pegangan agama-agama yang ada di dunia ini menubuatkan kedatangan seorang juru selamat yang akan mendatangkan suatu zaman kegemilangan bagi umat manusia, yaitu kerajaan kerajaan Allah di muka bumi. Baha'ullah mendaku sebagai juru selamat tersebut, dan menyatkaan bahwa ajaran-ajarannyalah yang akan mewujudnyatakan kerajaan Allah di muka bumi. Ia juga mengajarkan bahwa nubuat-nubuat terkait akhir zaman dan kedatangan kerajaan Allah pada hakikatnya bersifat simbolis serta mengacu kepada peningkatan dan pembaharuan rohani.[30] Agama Baha'i juga mengajarkan bahwa pada saat umat beribadat dan berbakti kepada kemanusiaan, mereka menjadi lebih dekat kepada Allah dan berkembang secara rohani, sehingga dapat beroleh kehidupan kekal dan mesuk ke dalam kerajaan Allah selagi hayat masih dikandung badan.[31]

Baca juga

Rujukan

  1. ^ "Abrahamic Faiths, Ethnicity and Ethnic Conflicts" (Cultural Heritage and Contemporary Change. Seri I, Culture and Values, Jld. 7) oleh Paul Peachey, George F. McLean dan John Kromkowski (Juni 1997) ISBN 1565181042 hlm. 315
  2. ^ a b France, R. T. (2005). "Kingdom of God". Dalam Vanhoozer, Kevin J.; Bartholomew, Craig G.; Treier, Daniel J.; Wright, Nicholas Thomas. Dictionary for Theological Interpretation of the Bible. Grand Rapids: Baker Book House. hlm. 420–422. ISBN 978-0-8010-2694-2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Januari 2021. Diakses tanggal 19 Juli 2016. 
  3. ^ The Gospel of Matthew oleh R.T. France (21 Agustus 2007) ISBN 080282501X hlmn. 101–103
  4. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Mercer490
  5. ^ a b Dictionary of Biblical Imagery oleh Leland Ryken, James C. Wilhoit dan Tremper Longman III (11 November 1998) ISBN 0830814515 hlmn. 478–479
  6. ^ a b Biblical Prophets in the Qur'an and Muslim Literature oleh Roberto Tottoli (2001) ISBN 0700713948 hlm. 27
  7. ^ a b Bahá'u'lláh (2002). Gems of Divine Mysteries. Haifa, Israel: Baháʼí World Centre. hlm. 9. ISBN 0-85398-975-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 Juni 2019. Diakses tanggal 30 Oktober 2010. 
  8. ^ Psalms: Interpretation oleh James Mays 2011 ISBN 0664234399 hlmn. 438–439
  9. ^ George Eldon Ladd, The Presence of the Future: The Eschatology of Biblical Realism, Eerdmans (Grand Rapids: 1974), 46–47.
  10. ^ Bowker, John (2005). "Throne of God". The concise Oxford dictionary of world religions (edisi ke-2005). Oxford University Press. ISBN 0-19-861053-X. 
  11. ^ George Eldon Ladd, The Presence of the Future: The Eschatology of Biblical Realism, Eerdmans (Grand Rapids: 1974), 130.
  12. ^ George Eldon Ladd, The Presence of the Future: The Eschatology of Biblical Realism, Eerdmans (Grand Rapids: 1974), 131.
  13. ^ Encyclopedia of Theology: A Concise Sacramentum Mundi oleh Karl Rahner (2004) ISBN 0860120066 hlm. 1351
  14. ^ Lukas 17:20
  15. ^ Lukas 17:21
  16. ^ a b George Eldon Ladd, The Presence of the Future: The Eschatology of Biblical Realism, Eerdmans (Grand Rapids: 1974), 45.
  17. ^ Wenell, Karen (August 2014). "A Markan 'Context' Kingdom? Examining Biblical and Social Models in Spatial Interpretation". Biblical Theology Bulletin. 44 (3): 126. doi:10.1177/0146107914540487alt=Dapat diakses gratis. 
  18. ^ a b Introducing Christian Doctrine (Edisi ke-2) oleh Millard J. Erickson (2001) ISBN 0801022509 hlmn. 391–392
  19. ^ Systematic Theology Jil. 2 oleh Wolfhart Pannenberg (2004) ISBN 0567084663 hlmn. 390–391
  20. ^ Familiar Stranger: An Introduction to Jesus of Nazareth oleh Michael James McClymond (2004) ISBN 0802826806 hlmn. 77–79
  21. ^ Studying the Historical Jesus: Evaluations of the State of Current Research oleh Bruce Chilton dan Craig A. Evans (1998) ISBN 9004111425 hlm. 255–257
  22. ^ a b c Divine Government: God's Kingship in the Gospel of Mark oleh R.T. France (2003) ISBN 1573832448 hlmn. 1–3
  23. ^ a b Kittel, Gerhard (1966). Theological Dictionary of the New Testament, Volumes 3-4. Wm. B. Eerdmans Publishing. hlm. 164–166. ISBN 0-8028-2245-2. 
  24. ^ William Barclay The Gospel of Matthew: Chapters 11–28 hlm. 340 Matius 23:22 "Dan, siapa yang bersumpah demi surga, bersumpah demi takhta Allah, dan demi Dia yang duduk di atasnya."
  25. ^ Philip Edgecumbe Hughes A Commentary on the Epistle to the Hebrews hlm. 401 1988 "Tema Kristus bersemayam di surga, dipermaklumkan di sini dengan pernyataan ia duduk di sebelah kanan Allah, .. Ibrani 8:1 "kita mempunyai Imam Besar yang duduk di sebelah kanan takhta Yang Mahatinggi di surga"
  26. ^ Al-Qur'an 1:4
  27. ^ Bahá'u'lláh (1976). Gleanings from the Writings of Bahá'u'lláh. Wilmette, Illinois: Baháʼí Publishing Trust. hlm. 86. ISBN 0-87743-187-6. 
  28. ^ Bahá'u'lláh (1992) [1873]. The Kitáb-i-Aqdas: The Most Holy Book. Wilmette, Illinois: Baháʼí Publishing Trust. ISBN 0-85398-999-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 Mei 2019. Diakses tanggal 30 Oktober 2010. 
  29. ^ `Abdu'l-Bahá (1908). Some Answered Questions. Wilmette, Illinois: Baháʼí Publishing Trust (dipublikasikan tanggal 1990). hlm. 58. ISBN 0-87743-162-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 Mei 2019. Diakses tanggal 30 Oktober 2010. 
  30. ^ Momen, Moojan (2004). "Baha'i Faith and Holy People". Dalam Jestice, Phyllis G. Holy People of the World: A Cross-cultural Encyclopedia. Santa Barbara, CA: ABC-CLIO. ISBN 1-57607-355-6. 
  31. ^ Smith, Peter (2008). An Introduction to the Baháʼí Faith. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 118–119. ISBN 978-0-521-86251-6. 

Pranala luar