Wangsa Sailendra: Perbedaan antara revisi
k Mengembalikan suntingan oleh 114.10.99.125 (bicara) ke revisi terakhir oleh Verosaurus Tag: Pengembalian |
|||
(117 revisi perantara oleh 48 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{More citations needed|date=November 2020}} |
|||
[[Berkas:Sailendra King and Queen, Borobudur.jpg| |
[[Berkas:Sailendra King and Queen, Borobudur.jpg|jmpl|360px|Relief di [[Borobudur]] menampilkan raja dan ratu dengan segenap abdi pengiringnya. Adegan keluarga kerajaan seperti ini kemungkinan besar dibuat berdasarkan istana wangsa Sailendra sendiri.]] |
||
⚫ | |||
⚫ | |||
''' |
'''Wangsa Sailendra''' atau '''Syailendra''' (''Śailendravamśa'') adalah nama [[wangsa]] atau dinasti raja-raja yang berkuasa di [[Kerajaan Medang]] era Jawa Tengah sejak tahun [[752]]; dan [[Sriwijaya|menguasai Sriwijaya]] di Pulau Sumatra sejak kepemimpinan [[Balaputradewa]] dari Jawa Tengah. |
||
Sebagian besar raja-rajanya adalah penganut dan pelindung agama [[Buddhisme|Buddha]] [[Mahayana]]. Wangsa Sailendra diperkirakan berasal dari [[Kerajaan Kalingga]] pada abad ke-5 di Jawa Tengah dan memiliki banyak peninggalan candi-candi yang terdapat di [[dataran Kedu]], Jawa Tengah. Di samping berasal dari Jawa Tengah, daerah lain seperti [[Sumatra]] atau bahkan [[India]] dan [[Kamboja]], sempat diajukan sebagai asal mula wangsa ini, tetapi tidak ada silsilah atau bukti prasasti yang mendukung. |
|||
== Asal-usul == |
== Asal-usul == |
||
⚫ | |||
Di Indonesia nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam [[prasasti Kalasan]] dari tahun 778 Masehi (''Śailendragurubhis; Śailendrawańśatilakasya; Śailendrarajagurubhis''). Kemudian nama itu ditemukan di dalam [[prasasti Kelurak]] dari tahun 782 Masehi (Śailendrawańśatilakena), dalam [[prasasti Abhayagiriwihara]] dari tahun 792 Masehi (''dharmmatuńgadewasyaśailendra''), [[prasasti Sojomerto]] dari tahun 725 Masehi (''selendranamah'') dan [[prasasti Kayumwuńan]] dari tahun 824 Masehi (śailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam [[prasasti Ligor]] dari tahun 775 Masehi dan [[prasasti Nalanda]]. |
|||
Istilah Sailendra dalam [[bahasa Sanskerta]] artinya "Raja Gunung", merujuk ke gunung-gunung berapi tinggi seperti [[Gunung Merapi]] yang menghadap ke [[Borobudur]], candi besar [[agama Buddha]] yang dibangun oleh wangsa ini.{{Sfn|Bowring|2022|p=74}} |
|||
Di Indonesia, nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam [[prasasti Kalasan]].{{Butuh rujukan}} Tulisan pada Prasasti Kalasan menggunakan [[aksara Nāgarī]] dalam [[bahasa Sanskerta]] dan mencantumkan rangka tahun 700 saka (778 Masehi). Dalam Prasasti Kalasan terdapat keterangan bahwa para penasehat keagamaan Wangsa Sailendra telah menyarankan pembuatan bangunan suci kepada Maharaja Tejahpurnapana Panamkarana. Bangunan ini dibuat sebagai tempat pemujaan bagi pendeta beragama Buddha untuk memuja Dewi Tara. Bangunan ini merujuk ke [[Candi Kalasan]].<ref>{{Cite book|last=Indriyani, A., dkk.|date=Juli 2022|url=https://budaya.jogjaprov.go.id/attachment/view?id=4434&&filename=KATALOG%20MATARAM%20KUNO.pdf|title=Medang: Sejarah dan Budaya Mataram Kuno|location=Yogyakarta|publisher=Museum Pleret|editor-last=Sektiadi dan Wiyamto, K. S.|pages=7|url-status=live}}</ref> Dalam Prasasti Kalasan, Wangsa Sailendra disebut dengan nama ''Śailendragurubhis, Śailendrawańśatilakasya, dan Śailendrarajagurubhis''.{{Butuh rujukan}} |
|||
⚫ | |||
⚫ | |||
Nama raja dari Wangsa Sailendra juga ditemukan di dalam [[prasasti Kelurak]] yang berangka tahun 782 Masehi. Pada prasasti ini, sang raja dikenali untuk pertama kalinya sebagai "pembunuh musuh".<ref>{{Cite book|last=Coedès, G., dan Damais, L. C.|date=1989|url=https://repositori.kemdikbud.go.id/14729/1/Kedatuan%20sriwijaya%20penelitian%20tentang%20sriwijaya.pdf|title=Kedatuan Sriwijaya: Penelitian tentang Sriwijaya|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|isbn=979-8041-12-7|pages=135|translator-last=Pusat Penelitian EFEO di Jakarta|url-status=live}}</ref> Namanya dituliskan dalam prasasti ini sebagai Śailendrawańśatilakena. Lalu Wangsa Sailendra juga disebutkan dalam [[prasasti Abhayagiriwihara]] dari tahun 792 Masehi (''dharmmatuńgadewasyaśailendra'') dan [[prasasti Kayumwuńan]] dari tahun 824 Masehi (śailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia, nama ini ditemukan dalam [[prasasti Ligor]] dari tahun 775 Masehi dan [[prasasti Nalanda]].{{Butuh rujukan}} |
|||
⚫ | Mengenai asal-usul keluarga Śailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarawan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Jawa Śailendra berasal dari Sumatra, dari India, dan dari [[Funan]], tapi pendapat semua itu tidak memiliki bukti dan tidak valid. Dari penelitian terbaru, Sailendra lebih pasti berasal dari Jawa.<ref name=":7" /> |
||
=== Teori India === |
=== Teori India === |
||
{{Sejarah Indonesia}} |
|||
Majumdar beranggapan bahwa keluarga Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya ( |
Majumdar beranggapan bahwa keluarga Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya (Sumatra) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari [[Kalingga]] (Jepara) dan kerajaan kalingga sudah ada di abad ke-5 sebelum ada kerajaan sriwijaya yang muncul di abad ke-6, sekaligus membatalkan Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga Śailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan [[Dapunta Hyang]]. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyang dengan bala tentaranya, dan teori Nilakanta Sastri di nyatakan tidak tepat dan bukti, karena Dapunta Hyang datang ke sumatera pada abad ke-6, Sementara kerajaan Kalingga sudah berdiri di abad ke-5. |
||
=== Teori Funan === |
=== Teori Funan === |
||
[[George Cœdès]] lebih condong kepada anggapan bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari |
[[George Cœdès]] lebih condong kepada anggapan bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan ([[Kamboja]]). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Medang pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga Śailendra. Namun teori ini tidak terbukti kuat karena beberapa prasasti dan catatan lainya menyatakan sisilah Sailendra telah bermukim turun-temurun di Jawa tengah, di abad ke-5 |
||
=== Teori Nusantara === |
=== Teori Nusantara === |
||
Teori Nusantara mengajukan kepulauan Nusantara; terutama pulau |
Teori Nusantara mengajukan kepulauan Nusantara; terutama pulau Sumatra atau Jawa; sebagai tanah air wangsa ini. Teori ini mengajukan bahwa wangsa Śailendra mungkin berasal dari Sumatra yang kemudian berpindah dan berkuasa di Jawa, atau mungkin wangsa asli dari pulau Jawa tetapi mendapatkan pengaruh kuat dari Sriwijaya. |
||
Menurut beberapa sejarawan, keluarga Śailendra berasal dari |
Menurut beberapa sejarawan, keluarga Śailendra berasal dari Sumatra yang bermigrasi ke Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke-7 Masehi dengan menyerang kerajaan [[Tarumanagara]] di Jawa. Namun pendapat ini masih diragukan, karena ratu Shima merupakan keturunan Syailendra menjadi ratu dari kerajaan [[Kalingga]] sebelum ekspansi Sriwijaya menurut Prasasti Kota Kapur.<ref name="end">{{cite book|last=Munoz|first=Paul Michel|title=Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula|publisher=Editions Didier Millet|date=2006|location=Singapore|url=https://archive.org/details/earlykingdomsofi0000muno|doi=|pages=pages 171|id= ISBN 981-4155-67-5}}</ref> Serangan Sriwijaya atas Jawa berdasarkan atas [[Prasasti Kota Kapur]] yang mencanangkan ekspansi atas Bumi Jawa yang tidak mau berbhakti kepada Sriwijaya. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar Dapunta Selendra pada [[prasasti Sojomerto]]. Gelar ini ditemukan juga pada [[prasasti Kedukan Bukit]] pada nama ''Dapunta Hiyaŋ''. [[Prasasti Sojomerto]] dan [[prasasti Kedukan Bukit]] merupakan prasasti yang berbahasa [[Melayu Kuno]]. Namun keberhasilan Sriwijaya dalam ekspansi Bhumi Jawa yang tercatat di Prasasti Kota Kapur diragukan keberhasilannya. Karena sampai saat ini tidak ditemukan bukti yang menyatakan pengusaan Sriwijaya atas Bhumi Jawa. Justru yang menjadi misteri adalah keberadaan Wangsa Sailendra yang tiba-tiba menjadi penguasa Suwarnadwipa pada era Balaputradewa. Bahkan di Prasasti Nalada disebutkan Balaputradewa Raja Suwarnadwipa merupakan cucu dari Raja Yawadwipa yang menikah dengan Tara Putri Dharmasetu. |
||
⚫ | Teori Nusantara juga dikemukakan oleh [[Poerbatjaraka]]. Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas [[Carita Parahiyangan]] kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama [[prasasti Sojomerto]] itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut [[Boechari]], tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Medang. |
||
⚫ | |||
⚫ | Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas [[Carita Parahiyangan]] kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama [[prasasti Sojomerto]] itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di |
||
Nama ''Dapunta Selendra'' |
Nama ''Dapunta Selendra'' pernah diajukan sebagai ejaan Melayu dari kata dalam [[bahasa Sanskerta]] ''Śailendra'' karena di dalam prasasti digunakan bahasa [[Melayu Kuno]]. Jika demikian, kalau keluarga Śailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sansekerta di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya [[prasasti Sojomerto]] telah diketahui asal keluarga Śailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Menurut Boechari, prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi. Damais tidak berpendapat demikian, dan memperkirakan asal dari awal abad ke-9.<ref name=":0">{{cite book|last1=Degroot|first1=Véronique M. Y.|date=2009|url=https://books.google.com/books?id=u2HzduME8OcC&dq=sojomerto+inscription&pg=PA84|title=Candi, Space and Landscape. A study on the distribution, orientation and spatial organization of Central Javanese temple remains|location=Leiden, Netherlands|publisher=Sidestone Press|isbn=978-90-8890-039-6|page=84|access-date=7 November 2014}}</ref><ref name=":7">{{cite web|last=Zakharov|first=Anton A|date=August 2012|title=The Śailendras Reconsidered|url=https://iseas.edu.sg/images/pdf/nscwps12.pdf|website=nsc.iseas.edu.sg|publisher=The Nalanda-Srivijaya Centre Institute of Southeast Asian Studies|location=Singapore|archive-url=https://web.archive.org/web/20131101014301/http://nsc.iseas.edu.sg/documents/working_papers/nscwps012.pdf|archive-date=November 1, 2013|access-date=2013-10-30|url-status=dead}}</ref>{{rp|25}} |
||
⚫ | Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śailendra, asli Nusantara yang menganut agama Śiwa. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja di [[Kerajaan Medang|Matarām]] menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga. Pendapatnya itu didasarkan atas [[Carita Parahiyangan]] yang menyebutkan bahwa Rakai Sañjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban atau Rakai Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya (aliran Saiwa) ditakuti oleh semua orang. Kabar mengenai Rakai Panangkaran yang berpindah agama dari aliran Siwa menjadi Buddha Mahayana juga sesuai dengan isi [[Prasasti Raja Sankhara]] (koleksi Museum Adam Malik yang kini hilang). |
||
⚫ | [[Prasasti Canggal]] menyebutkan bahwa Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sañjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sañjaya. |
||
⚫ | Kemudian [[Prasasti Canggal]] menyebutkan bahwa Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sañjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sañjaya. |
||
Dari [[prasasti Sojomerto]] dan [[prasasti Canggal]] telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada tahun 717 Masehi. Dari [[Carita Parahiyangan]] dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra. |
Dari [[prasasti Sojomerto]] dan [[prasasti Canggal]] telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada tahun 717 Masehi. Dari [[Carita Parahiyangan]] dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra. |
||
Prasasti Sojomerto sering digunakan sebagai bukti bahwa wangsa Sailendra berasal dari Sumatra karena mengasumsikan kata ''Selendra'' sebagai penyebutan Melayu untuk Sailendra dan Dapunta Selendra adalah pendahulu dinasti ini, namun penelitian termutakhir tidak menunjukkan seperti itu: Menurut Damais, prasasti Sojomerto berasal dari awal abad ke-9,<ref name=":0" /> menempatkannya setelah prasasti Kedukan Bukit (683 M). Selain itu nama ''Selendra'' dari prasasti Sojomerto sepertinya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Sailendra: Dalam prasasti itu disebut kata ''hakairu'' dan ''daiva'' yang mempunyai diftong ai, sehingga seharusnya diftong itu juga digunakan dalam nama ''Dapunta Selendra''. Selain itu, teori ini sudah usang karena tidak ada data keberadaan dinasti Sailendra di Sumatra lebih awal dari abad kesembilan dan Sriwijaya tidak dapat menaklukkan Jawa, yang terjadi adalah kebalikannya — dinasti Sailendra menundukan Sriwijaya dan daerahnya di semenanjung Melayu.<ref name=":7" />{{rp|22-27}} |
|||
Dalam [[Carita Parahiyangan]] disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak. |
Dalam [[Carita Parahiyangan]] disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak. |
||
Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan Carita Parahiyangan, maka keluarga Śailendra diduga berasal dari pulau Jawa yang berada |
Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan Carita Parahiyangan, maka keluarga Śailendra diduga berasal dari pulau Jawa yang berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Tokoh Sanna dan Sanjaya berkaitan erat dengan sejarah [[Kerajaan Sunda]] dan [[Kerajaan Galuh]]. Mereka pada awalnya beragama Siwa seperti kebanyakan keluarga kerajaan permulaan di pulau Jawa seperti [[Tarumanagara]] dan Kalingga. Penggunaan bahasa [[Bahasa Melayu Kuno]] pada prasasti Sojomerto di Jawa Tengah serta penggunaan gelaran ''Dapunta'' menunjukkan bahwa keluarga Sailendra telah dipengaruhi bahasa, budaya, dan sistem politik Sriwijaya, hal ini menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah ''vasal'' atau Perdikan anggota kedatuan Sriwijaya. Hal ini seiring dengan kabar penaklukan Bhumi Jawa oleh Sriwijaya sebagaimana disebutkan dalam [[Prasasti Kota Kapur]]. |
||
Berita Tiongkok yang berasal dari masa [[Dinasti Tang]] memberitakan tentang Kerajaan ''Ho-ling'' yang disebut ''She-po'' (Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu ''Hsi-mo'' (Ratu Sima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Mdaŋ, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Sima (674-703 Masehi), Mandimiñak (703-710 Masehi), R. Sanna (710-717 Masehi), R. Sañjaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya. |
|||
== Era Kerajaan Medang == |
== Era Kerajaan Medang == |
||
[[Berkas:Royal elephant escorted by soldiers, Mataram (Medang) era Java, from the Borobudur temple.jpg|jmpl|300px|Relief Borobudur yang menggambarkan seekor gajah kerajaan yang dikawal oleh tentara, pada zaman kerajaan Mataram (Medang) di Jawa.]] |
|||
⚫ | |||
Selama ini kerajaan Medang dianggap diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Sailendra yang beragama Buddha dan [[Wangsa Sanjaya]] yang beragama Hindu Siwa, pendapat ini pertama kali diperkenalkan oleh [[Frederik David Kan Bosch|Bosch]].<ref>{{cite journal | last = Bosch | first =F.D.K. | authorlink = | year = 1952 | title = Çriwijaya, de Çailendrawamsa- en de Sańjayawamça| journal = B.K.I. | volume = 108 | issue = | pages = 113-123}}</ref> Pada awal era Medang atau Mataram Kuno, wangsa Sailendra cukup dominan di Jawa Tengah. Menurut para ahli sejarah, wangsa Sanjaya awalnya berada di bawah pengaruh kekuasaan wangsa Sailendra. Mengenai persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah. Sementara Poerbatjaraka menolak anggapan Bosch mengenai adanya dua wangsa kembar berbeda agama yang saling bersaing ini. Menurutnya hanya ada satu wangsa dan satu kerajaan, yaitu wangsa Sailendra dan Kerajaan Medang. Sanjaya dan keturunannya adalah anggota Sailendra juga.<ref>(Poerbatjaraka, 1958: 254-264)</ref> Ditambah menurut Boechari, melalui penafsirannya atas [[Prasasti Sojomerto]] bahwa wangsa Sailendra pada mulanya memuja Siwa, sebelum Panangkaran beralih keyakinan menjadi penganut Buddha Mahayana. |
|||
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sailendra tertera dalam [[prasasti Ligor]], [[prasasti Nalanda]] maupun [[prasasti Klurak]], sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam [[prasasti Canggal]] dan [[prasasti Mantyasih]]. Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuno dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Budha (Sailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara. |
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sailendra tertera dalam [[prasasti Ligor]], [[prasasti Nalanda]] maupun [[prasasti Klurak]], sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam [[prasasti Canggal]] dan [[prasasti Mantyasih]]. Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuno dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Budha (Sailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara. |
||
Berdasarkan penafsiran atas [[prasasti Canggal]] (732 M) Sanjaya memang mendirikan Shivalingga baru ([[Candi Gunung Wukir]]), artinya ia membangun dasar pusat pemerintahan baru. Hal ini karena raja Jawa pendahulunya, Raja Sanna wafat dan kerajaannya tercerai-berai diserang musuh. Saudari Sanna adalah Sannaha, ibunda Sanjaya, artinya Sanjaya masih kemenakan Sanna. Sanjaya mempersatukan bekas kerajaan Sanna, memindahkan ibu kota dan naik takhta membangun kraton baru di Mdang i Bhumi Mataram. Hal ini sesuai dengan adat dan kepercayaan Jawa bahwa kraton yang sudah pernah pralaya, diserang, kalah dan diduduki musuh, sudah buruk peruntungannya sehingga harus pindah mencari tempat lain untuk membangun kraton baru. Hal ini serupa dengan zaman kemudian pada masa Mataram Islam yang meninggalkan Kartasura yang sudah pernah diduduki musuh dan berpindah ke Surakarta. Perpindahan pusat pemerintahan ini bukan berarti berakhirnya wangsa yang berkuasa. Hal ini sama dengan Airlangga pada zaman kemudian yang membangun kerajaan baru, tetapi ia masih merupakan keturunan wangsa penguasa terdahulu, kelanjutan Dharmawangsa yang juga anggota wangsa Isyana. Maka disimpulkan meski Sanjaya memindahkan ibu kota ke Mataram, ia tetap merupakan kelanjutan dari wangsa Sailendra yang menurut prasasti Sojomerto didirikan oleh Dapunta Selendra. |
|||
⚫ | Pada masa pemerintahan raja [[Indra (raja Mataram)|Indra]] (782-812), puteranya, [[Samaratungga]], dinikahkan dengan [[Dewi Tara]], puteri |
||
⚫ | Pada masa pemerintahan raja [[Indra (raja Mataram)|Indra]] (782-812), puteranya, [[Samaratungga]], dinikahkan dengan [[Dewi Tara]], puteri [[Dharmasetu]], Maharaja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari [[Candi Kalasan]] memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai [[Bodhisattva]] wanita. Pada tahun 790, Sailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja Selatan), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun. |
||
⚫ | [[Candi Borobudur]] selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga ( |
||
⚫ | [[Candi Borobudur]] selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812–833). Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, Samaratungga memiliki putri bernama [[Pramodhawardhani]] dan putra bernama [[Balaputradewa]]. Balaputra kemudian memerintah di Sriwijaya, maka selain pernah berkuasa di Medang, wangsa Sailendra juga berkuasa di Sriwijaya. |
||
== Runtuhnya Wangsa Sailendra == |
== Runtuhnya Wangsa Sailendra == |
||
Berapa |
Berapa sejarawan berusaha menjelaskan berakhirnya kekuasaan Sailendra di Jawa Tengah mengaitkannya dengan kepindahan Balaputradewa ke Sriwijaya (Sumatra). Selama ini sejarawan seperti Dr. Bosch dan Munoz menganut paham adanya dua wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; Sanjaya-Sailendra. Mereka beranggapan Sailendra yang penganut Buddha kalah bersaing dan terusir oleh wangsa Sanjaya yang Hindu aliran Siwa. Dimulai dengan adanya ketimpangan perekonomian serta perbedaan keyakinan antara Sailendra sang penguasa yang beragama Buddha dengan rakyat Jawa yang kebanyakan beragama Hindu Siwa, menjadi faktor terjadinya ketidakstabilan di Jawa Tengah.{{fact}} Untuk memantapkan posisinya di Jawa Tengah, raja Samaratungga menikahkan putrinya Pramodhawardhani, dengan anak Garung, [[Rakai Pikatan]] yang waktu itu menjadi pangeran wangsa Sanjaya.<ref name="end"/> Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan menyerang [[Balaputradewa]], yang merupakan paman atau saudara Pramodhawardhani. Sejarah wangsa Sailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke ''Suwarnadwipa'' yang merupakan negeri asal ibunya. Setelah terusirnya wangsa Sailendra dari Jawa Tengah, Munoz beranggapan berakhir pula kekuasaan Sriwijaya atas Jawa selama satu abad. Munoz beranggapan bahwa orang-orang Jawa pengikut Balaputradewa merasa terancam dan akhirnya menyingkir, mengungsi ke Jawa Barat untuk mendirikan kerajaan [[Banten Girang]].<ref name="end"/> Hal ini berdasarkan temuan arca-arca bergaya Jawa Tengahan abad ke-10 di situs [[Gunung Pulasari]], Banten Girang. |
||
Secara tradisional, selama ini kurun kekuasaan Sailendra dianggap berlangsung antara abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, dan hanya |
Sementara itu, sejarawan seperti Poerbatjaraka dan Boechari percaya bahwa hanya ada satu wangsa yaitu Sailendra, dan tidak pernah disebutkan Sanjayavamça dalam prasasti apapun. Sanjaya dan keturunannya dianggap masih masuk dalam wangsa Sailendra. Secara tradisional, selama ini kurun kekuasaan Sailendra dianggap berlangsung antara abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, dan hanya terbatas di Jawa Tengah, tepatnya di [[Dataran Kedu]], dari masa kekuasaan Panangkaran hingga Samaratungga. Hal ini sesuai dengan penafsiran [[Slamet Muljana]] yang menganggap Panangkaran sebagai Raja Sailendra pertama yang naik takhta. Akan tetapi penafsiran paling mutakhir berdasarkan temuan Prasasti Sojomerto serta kelanjutan Sailendra di Sriwijaya mengusulkan; bahwa masa kekuasaan wangsa Sailendra berlangsung jauh lebih lama. Dari awal abad ke-9 (perkiraan dituliskannya Prasasti Sojomerto), hingga awal abad ke-11 masehi (jatuhnya wangsa Sailendra di Sriwijaya akibat serangan Cholamandala dari India). Dalam kurun waktu tertentu, wangsa Sailendra berkuasa baik di Jawa Tengah maupun di Sumatra. Persekutuan dan hubungan pernikahan keluarga kerajaan antara Sriwijaya dan Sailendra memungkinkan bergabungnya dua keluarga kerajaan, dengan wangsa Sailendra akhirnya berkuasa baik di Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah sekaligus di Sriwijaya, Sumatra. |
||
== Daftar |
== Daftar para raja == |
||
⚫ | |||
Beberapa |
Beberapa sejarawan mencoba merekonstruksi kembali urutan daftar silsilah raja-raja Sailendra; meskipun satu sama lain mungkin tidak sepakat. Misalnya, [[Slamet Muljana]], meneruskan teori dinasti kembar Bosch, berpendapat bahwa anggota wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja adalah [[Rakai Panangkaran]]. Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, [[Wangsa Sanjaya]] juga merupakan anggota Wangsa Sailendra. Boechari mencoba menyusun tahap awal perkembangan wangsa Sailendra berdasarkan penafsiran atas Prasasti Sojomerto. Sementara Poerbatjaraka mencoba menyusun daftar raja penguasa Sailendra pada periode menengah dan lanjut berdasarkan hubungannya dengan tokoh Sanjaya, beberapa prasasti Sailendra, serta penafsiran atas naskah [[Carita Parahyangan]]. Akan tetapi banyak kebingungan yang muncul, karena tampaknya Sailendra berkuasa atas banyak kerajaan; [[Kalingga]], [[Medang]], dan [[Sriwijaya]]. Akibatnya nama beberapa raja tampak tumpang tindih dan berkuasa di kerajaan-kerajaan ini secara bersamaan. Tanda tanya (?) menunjukkan keraguan atau dugaan, karena data atau bukti sejarah sahih masih sedikit ditemukan dan belum jelas terungkap. |
||
{| class="wikitable sortable" border="1" width="75%" |
{| class="wikitable sortable" border="1" width="75%" |
||
Baris 60: | Baris 72: | ||
!width="200px"|Prasasti atau Catatan Bersejarah |
!width="200px"|Prasasti atau Catatan Bersejarah |
||
!width="300px"|Peristiwa |
!width="300px"|Peristiwa |
||
|- |
|||
|sekitar 650 |
|||
|Santanu |
|||
|? |
|||
|[[Prasasti Sojomerto]] (sekitar 670—700) |
|||
|Sebuah keluarga beragama [[Shiwa]] berbahasa [[Bahasa Melayu Kuno|Melayu kuno]] mulai bermukim di pantai utara Jawa Tengah, diduga berasal dari Sumatera (?) |
|||
|- |
|||
|sekitar 674 |
|||
|[[Dapunta Selendra]] |
|||
|Batang (pantai utara Jawa Tengah) |
|||
|[[Prasasti Sojomerto]] (sekitar 670—700) |
|||
|Dimulainya wangsa keluarga penguasa, pertama kalinya nama 'Selendra' (Sailendra) disebutkan |
|||
|- |
|- |
||
|674—703 |
|674—703 |
||
|[[Ratu Shima|Shima]] (?) |
|[[Ratu Shima|Shima]] (?) |
||
|[[Kalingga]], |
|[[Kalingga]], di antara [[Pekalongan]] dan [[Jepara]] |
||
|[[Carita Parahyangan]], Catatan Tiongkok mengenai '' |
|[[Carita Parahyangan]], Catatan Tiongkok mengenai kunjungan biksu ''Hwi-ning'' di ''Ho-ling'' (664) dan pemerintahan Ratu ''Hsi-mo'' (674) |
||
| Menguasai kerajaan [[Kalingga]] |
| Menguasai kerajaan [[Kalingga]] |
||
|- |
|- |
||
Baris 89: | Baris 89: | ||
|? |
|? |
||
|[[Prasasti Canggal]] (732), [[Carita Parahyangan]] |
|[[Prasasti Canggal]] (732), [[Carita Parahyangan]] |
||
|Sanna berkuasa di Jawa, tetapi setelah kematiannya kerajaan runtuh dan terpecah-belah akibat pemberontakan atau serangan dari luar |
|Sanna berkuasa di Jawa, tetapi setelah kematiannya kerajaan runtuh dan terpecah-belah akibat pemberontakan atau serangan dari luar |
||
|- |
|- |
||
|717—760 |
|717—760 |
||
Baris 95: | Baris 95: | ||
|[[Kerajaan Medang|Mataram]], Jawa Tengah |
|[[Kerajaan Medang|Mataram]], Jawa Tengah |
||
|[[Prasasti Canggal]] (732), [[Carita Parahyangan]] |
|[[Prasasti Canggal]] (732), [[Carita Parahyangan]] |
||
|Sanjaya, putra Sannaha, keponakan Sanna memulihkan |
|Sanjaya, putra Sannaha, keponakan Sanna memulihkan keamanan, mempersatukan kerajaan dan naik takhta, sejarawan lama menafsirkannya sebagai berdirinya [[Wangsa Sanjaya]], sementara pihak lain menganggap ia sebagai kelanjutan Sailendra |
||
|- |
|- |
||
|760—775 |
|760—775 |
||
Baris 101: | Baris 101: | ||
|[[Kerajaan Medang|Mataram]], Jawa Tengah |
|[[Kerajaan Medang|Mataram]], Jawa Tengah |
||
|[[Prasasti Raja Sankhara]], [[Prasasti Kalasan]] (778), [[Carita Parahyangan]] |
|[[Prasasti Raja Sankhara]], [[Prasasti Kalasan]] (778), [[Carita Parahyangan]] |
||
|Rakai Panangkaran |
|Rakai Panangkaran beralih keyakinan dari memuja Siwa menjadi penganut Buddha Mahayana, pembangunan [[Candi Kalasan]] |
||
|- |
|- |
||
|775—800 |
|775—800 |
||
Baris 107: | Baris 107: | ||
|[[Kerajaan Medang|Mataram]], Jawa Tengah |
|[[Kerajaan Medang|Mataram]], Jawa Tengah |
||
|[[Prasasti Kelurak]] (782), [[Prasasti Ligor B]] (sekitar 787) |
|[[Prasasti Kelurak]] (782), [[Prasasti Ligor B]] (sekitar 787) |
||
|Juga berkuasa di [[Sriwijaya]] ( |
|Juga berkuasa di [[Sriwijaya]] (Sumatra), membangun [[Candi Sewu|Manjusrigrha]], memulai membangun [[Borobudur]] (sekitar 770), Jawa menyerang dan menaklukan Ligor dan Kamboja Selatan (Chenla) (790) |
||
|- |
|- |
||
|800—812 |
|800—812 |
||
Baris 113: | Baris 113: | ||
|[[Kerajaan Medang|Mataram]], Jawa Tengah |
|[[Kerajaan Medang|Mataram]], Jawa Tengah |
||
|[[Prasasti Ligor B]] (sekitar 787) |
|[[Prasasti Ligor B]] (sekitar 787) |
||
|Juga berkuasa di [[Sriwijaya]], |
|Juga berkuasa di [[Sriwijaya]], Kamboja memerdekakan diri (802) |
||
|- |
|- |
||
|812—833 |
|812—833 |
||
Baris 119: | Baris 119: | ||
|[[Kerajaan Medang|Mataram]], Jawa Tengah |
|[[Kerajaan Medang|Mataram]], Jawa Tengah |
||
|[[Prasasti Karangtengah]] (824) |
|[[Prasasti Karangtengah]] (824) |
||
|Juga berkuasa di [[Sriwijaya]] |
|Juga berkuasa di [[Sriwijaya]], merampungkan [[Borobudur]] (825) |
||
|- |
|- |
||
|833—856 |
|833—856 |
||
Baris 125: | Baris 125: | ||
|[[Kerajaan Medang|Mamrati]], Jawa Tengah |
|[[Kerajaan Medang|Mamrati]], Jawa Tengah |
||
|[[Prasasti Siwagrha]] (856) |
|[[Prasasti Siwagrha]] (856) |
||
|Mengalahkan dan mengusir [[Balaputradewa]] yang menyingkir ke |
|Mengalahkan dan mengusir [[Balaputradewa]] yang menyingkir ke Sumatra (Sriwijaya). Membangun [[Candi Prambanan]] dan [[Candi Plaosan]]. Para raja [[Kerajaan Medang|Medang]] penerus Pikatan, mulai dari [[Dyah Lokapala]] (850—890) hingga [[Wawa]] (924—929) dapat dianggap sebagai penerus trah Sailendra, meskipun [[Dyah Balitung]] (898—910) dalam [[Prasasti Mantyasih]] (907) hanya merunut leluhurnya hingga Sanjaya, akibatnya menumbuhkan teori [[Wangsa Sanjaya]]. |
||
|- |
|- |
||
|833—850 |
|833—850 |
||
Baris 134: | Baris 134: | ||
|- |
|- |
||
|sekitar 960 |
|sekitar 960 |
||
|[[Çri Udayadityavarman |
|[[Çri Udayadityavarman]] |
||
|[[Sriwijaya]], Sumatera Selatan |
|[[Sriwijaya]], Sumatera Selatan |
||
|Utusan ke Tiongkok (960 dan 962) |
|Utusan ke Tiongkok (960 dan 962) |
||
Baris 146: | Baris 146: | ||
|- |
|- |
||
|sekitar 988 |
|sekitar 988 |
||
|[[Sri Cudamani Warmadewa|Sri Cudamanivarmadeva]] |
|||
|[[Sri Culamanivarmadeva]] |
|||
|[[Sriwijaya]], Sumatera Selatan |
|[[Sriwijaya]], Sumatera Selatan |
||
|Utusan ke Tiongkok (988-992-1003), Prasasti Tanjore atau prasasti Leiden (1044) |
|Utusan ke Tiongkok (988-992-1003), Prasasti Tanjore atau prasasti Leiden (1044) |
||
Baris 158: | Baris 158: | ||
|- |
|- |
||
|sekitar 1017 |
|sekitar 1017 |
||
|[[Sumatrabhumi]] |
|[[Haji Sumatrabhumi|Sumatrabhumi]] |
||
|[[Sriwijaya]], Sumatera Selatan |
|[[Sriwijaya]], Sumatera Selatan |
||
|Utusan ke Tiongkok(1017) |
|Utusan ke Tiongkok(1017) |
||
Baris 164: | Baris 164: | ||
|- |
|- |
||
|sekitar 1025 |
|sekitar 1025 |
||
|[[Sangramavijayottungga]] |
|[[Sangrama-Vijayottunggawarman|Sangramavijayottungga]] |
||
|[[Sriwijaya]], Sumatera Selatan |
|[[Sriwijaya]], Sumatera Selatan |
||
|Prasasti Chola di Candi Rajaraja, Tanjore |
|Prasasti Chola di Candi Rajaraja, Tanjore |
||
Baris 172: | Baris 172: | ||
== Lihat pula == |
== Lihat pula == |
||
* [[Wangsa Isyana]] |
|||
* [[Wangsa Sanjaya]] |
* [[Wangsa Sanjaya]] |
||
* [[Kerajaan Medang]] |
* [[Kerajaan Medang]] |
||
* [[Kerajaan Sriwijaya]] |
* [[Kerajaan Sriwijaya]] |
||
* [[Kerajaan Kahuripan]] |
|||
== |
== Referensi == |
||
{{reflist}} |
{{reflist}} |
||
== |
== Daftar pustaka == |
||
* {{Cite book|last=Bowring|first=Philip|year=2022|title=Nusantaria: Sejarah Asia Tenggara Maritim|publisher=[[Kepustakaan Populer Gramedia]]|isbn=978-602-481-801-2|ref=harv|url-status=live}} |
|||
* George Coedes |
* George Coedes. 1934. ''On the origins of the Sailendras of Indonesia''. Journal of the Greater India Society I: 61–70. |
||
* K.A.N. Sastri |
* K.A.N. Sastri. 1949. ''History of Sri Vijaya.'' University of Madras. |
||
* Marwati Djoened Poesponegoro |
* Marwati Djoened Poesponegoro. Nugroho Notosusanto. 1992. ''Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Kuno.'' Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero). ISBN 979-407-408-X |
||
* Paul Michel Munoz |
* Paul Michel Munoz. 2006. ''Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.'' Singapura: Editions Didier Millet, ISBN 981-4155-67-5. |
||
* R.C. Majumdar |
* R.C. Majumdar. ''Note on Šailendra kings mentioned in Leiden Plates.'' EL, XXII, pp. 281–4. |
||
* R. Ng. Poerbatjaraka |
* R. Ng. Poerbatjaraka. 1952. ''Riwajat Indonesia, djilid I, "Çrivijaya, de Śańjaya en de Çailendrawamça''. B.K.I., 254-264. |
||
* Slamet Muljana |
* Slamet Muljana. 2006. ''Sriwijaya''. PT LKIS Pelangi Aksara, ISBN 978-979-8451-62-1. |
||
[[Kategori:Sejarah Nusantara]] |
[[Kategori:Sejarah Nusantara]] |
||
[[Kategori:Kerajaan Sriwijaya]] |
[[Kategori:Kerajaan Sriwijaya]] |
||
[[Kategori:Kerajaan Medang]] |
[[Kategori:Kerajaan Medang]] |
||
[[de:Sailendra]] |
|||
[[en:Sailendra]] |
|||
[[es:Dinastía Sailendra]] |
|||
[[fr:Sailendra]] |
|||
[[hi:शैलेन्द्र राजवंश]] |
|||
[[ja:シャイレーンドラ朝]] |
|||
[[ko:사일렌드라]] |
|||
[[ms:Sailendra]] |
|||
[[no:Sailendra]] |
|||
[[pa:ਸ਼ੈਲੇਂਦਰ ਰਾਜਵੰਸ਼]] |
|||
[[sa:शैलेन्द्रराजवंशः]] |
|||
[[vi:Sailendra]] |
|||
[[zh:夏连特拉王国]] |
Revisi terkini sejak 25 April 2024 11.18
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (November 2020) |
Wangsa Sailendra atau Syailendra (Śailendravamśa) adalah nama wangsa atau dinasti raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Medang era Jawa Tengah sejak tahun 752; dan menguasai Sriwijaya di Pulau Sumatra sejak kepemimpinan Balaputradewa dari Jawa Tengah.
Sebagian besar raja-rajanya adalah penganut dan pelindung agama Buddha Mahayana. Wangsa Sailendra diperkirakan berasal dari Kerajaan Kalingga pada abad ke-5 di Jawa Tengah dan memiliki banyak peninggalan candi-candi yang terdapat di dataran Kedu, Jawa Tengah. Di samping berasal dari Jawa Tengah, daerah lain seperti Sumatra atau bahkan India dan Kamboja, sempat diajukan sebagai asal mula wangsa ini, tetapi tidak ada silsilah atau bukti prasasti yang mendukung.
Asal-usul
[sunting | sunting sumber]Istilah Sailendra dalam bahasa Sanskerta artinya "Raja Gunung", merujuk ke gunung-gunung berapi tinggi seperti Gunung Merapi yang menghadap ke Borobudur, candi besar agama Buddha yang dibangun oleh wangsa ini.[1]
Di Indonesia, nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam prasasti Kalasan.[butuh rujukan] Tulisan pada Prasasti Kalasan menggunakan aksara Nāgarī dalam bahasa Sanskerta dan mencantumkan rangka tahun 700 saka (778 Masehi). Dalam Prasasti Kalasan terdapat keterangan bahwa para penasehat keagamaan Wangsa Sailendra telah menyarankan pembuatan bangunan suci kepada Maharaja Tejahpurnapana Panamkarana. Bangunan ini dibuat sebagai tempat pemujaan bagi pendeta beragama Buddha untuk memuja Dewi Tara. Bangunan ini merujuk ke Candi Kalasan.[2] Dalam Prasasti Kalasan, Wangsa Sailendra disebut dengan nama Śailendragurubhis, Śailendrawańśatilakasya, dan Śailendrarajagurubhis.[butuh rujukan]
Nama raja dari Wangsa Sailendra juga ditemukan di dalam prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 Masehi. Pada prasasti ini, sang raja dikenali untuk pertama kalinya sebagai "pembunuh musuh".[3] Namanya dituliskan dalam prasasti ini sebagai Śailendrawańśatilakena. Lalu Wangsa Sailendra juga disebutkan dalam prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (dharmmatuńgadewasyaśailendra) dan prasasti Kayumwuńan dari tahun 824 Masehi (śailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia, nama ini ditemukan dalam prasasti Ligor dari tahun 775 Masehi dan prasasti Nalanda.[butuh rujukan]
Mengenai asal-usul keluarga Śailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarawan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Jawa Śailendra berasal dari Sumatra, dari India, dan dari Funan, tapi pendapat semua itu tidak memiliki bukti dan tidak valid. Dari penelitian terbaru, Sailendra lebih pasti berasal dari Jawa.[4]
Teori India
[sunting | sunting sumber]Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Majumdar beranggapan bahwa keluarga Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya (Sumatra) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari Kalingga (Jepara) dan kerajaan kalingga sudah ada di abad ke-5 sebelum ada kerajaan sriwijaya yang muncul di abad ke-6, sekaligus membatalkan Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga Śailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hyang. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyang dengan bala tentaranya, dan teori Nilakanta Sastri di nyatakan tidak tepat dan bukti, karena Dapunta Hyang datang ke sumatera pada abad ke-6, Sementara kerajaan Kalingga sudah berdiri di abad ke-5.
Teori Funan
[sunting | sunting sumber]George Cœdès lebih condong kepada anggapan bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Medang pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga Śailendra. Namun teori ini tidak terbukti kuat karena beberapa prasasti dan catatan lainya menyatakan sisilah Sailendra telah bermukim turun-temurun di Jawa tengah, di abad ke-5
Teori Nusantara
[sunting | sunting sumber]Teori Nusantara mengajukan kepulauan Nusantara; terutama pulau Sumatra atau Jawa; sebagai tanah air wangsa ini. Teori ini mengajukan bahwa wangsa Śailendra mungkin berasal dari Sumatra yang kemudian berpindah dan berkuasa di Jawa, atau mungkin wangsa asli dari pulau Jawa tetapi mendapatkan pengaruh kuat dari Sriwijaya.
Menurut beberapa sejarawan, keluarga Śailendra berasal dari Sumatra yang bermigrasi ke Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke-7 Masehi dengan menyerang kerajaan Tarumanagara di Jawa. Namun pendapat ini masih diragukan, karena ratu Shima merupakan keturunan Syailendra menjadi ratu dari kerajaan Kalingga sebelum ekspansi Sriwijaya menurut Prasasti Kota Kapur.[5] Serangan Sriwijaya atas Jawa berdasarkan atas Prasasti Kota Kapur yang mencanangkan ekspansi atas Bumi Jawa yang tidak mau berbhakti kepada Sriwijaya. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar Dapunta Selendra pada prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiyaŋ. Prasasti Sojomerto dan prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuno. Namun keberhasilan Sriwijaya dalam ekspansi Bhumi Jawa yang tercatat di Prasasti Kota Kapur diragukan keberhasilannya. Karena sampai saat ini tidak ditemukan bukti yang menyatakan pengusaan Sriwijaya atas Bhumi Jawa. Justru yang menjadi misteri adalah keberadaan Wangsa Sailendra yang tiba-tiba menjadi penguasa Suwarnadwipa pada era Balaputradewa. Bahkan di Prasasti Nalada disebutkan Balaputradewa Raja Suwarnadwipa merupakan cucu dari Raja Yawadwipa yang menikah dengan Tara Putri Dharmasetu.
Teori Nusantara juga dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Medang.
Nama Dapunta Selendra pernah diajukan sebagai ejaan Melayu dari kata dalam bahasa Sanskerta Śailendra karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau keluarga Śailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sansekerta di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Śailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Menurut Boechari, prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi. Damais tidak berpendapat demikian, dan memperkirakan asal dari awal abad ke-9.[6][4]
Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śailendra, asli Nusantara yang menganut agama Śiwa. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja di Matarām menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa Rakai Sañjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban atau Rakai Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya (aliran Saiwa) ditakuti oleh semua orang. Kabar mengenai Rakai Panangkaran yang berpindah agama dari aliran Siwa menjadi Buddha Mahayana juga sesuai dengan isi Prasasti Raja Sankhara (koleksi Museum Adam Malik yang kini hilang).
Kemudian Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sañjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sañjaya.
Dari prasasti Sojomerto dan prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra.
Prasasti Sojomerto sering digunakan sebagai bukti bahwa wangsa Sailendra berasal dari Sumatra karena mengasumsikan kata Selendra sebagai penyebutan Melayu untuk Sailendra dan Dapunta Selendra adalah pendahulu dinasti ini, namun penelitian termutakhir tidak menunjukkan seperti itu: Menurut Damais, prasasti Sojomerto berasal dari awal abad ke-9,[6] menempatkannya setelah prasasti Kedukan Bukit (683 M). Selain itu nama Selendra dari prasasti Sojomerto sepertinya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Sailendra: Dalam prasasti itu disebut kata hakairu dan daiva yang mempunyai diftong ai, sehingga seharusnya diftong itu juga digunakan dalam nama Dapunta Selendra. Selain itu, teori ini sudah usang karena tidak ada data keberadaan dinasti Sailendra di Sumatra lebih awal dari abad kesembilan dan Sriwijaya tidak dapat menaklukkan Jawa, yang terjadi adalah kebalikannya — dinasti Sailendra menundukan Sriwijaya dan daerahnya di semenanjung Melayu.[4]
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak.
Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan Carita Parahiyangan, maka keluarga Śailendra diduga berasal dari pulau Jawa yang berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Tokoh Sanna dan Sanjaya berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Mereka pada awalnya beragama Siwa seperti kebanyakan keluarga kerajaan permulaan di pulau Jawa seperti Tarumanagara dan Kalingga. Penggunaan bahasa Bahasa Melayu Kuno pada prasasti Sojomerto di Jawa Tengah serta penggunaan gelaran Dapunta menunjukkan bahwa keluarga Sailendra telah dipengaruhi bahasa, budaya, dan sistem politik Sriwijaya, hal ini menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah vasal atau Perdikan anggota kedatuan Sriwijaya. Hal ini seiring dengan kabar penaklukan Bhumi Jawa oleh Sriwijaya sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kota Kapur.
Era Kerajaan Medang
[sunting | sunting sumber]Selama ini kerajaan Medang dianggap diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Sailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa, pendapat ini pertama kali diperkenalkan oleh Bosch.[7] Pada awal era Medang atau Mataram Kuno, wangsa Sailendra cukup dominan di Jawa Tengah. Menurut para ahli sejarah, wangsa Sanjaya awalnya berada di bawah pengaruh kekuasaan wangsa Sailendra. Mengenai persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah. Sementara Poerbatjaraka menolak anggapan Bosch mengenai adanya dua wangsa kembar berbeda agama yang saling bersaing ini. Menurutnya hanya ada satu wangsa dan satu kerajaan, yaitu wangsa Sailendra dan Kerajaan Medang. Sanjaya dan keturunannya adalah anggota Sailendra juga.[8] Ditambah menurut Boechari, melalui penafsirannya atas Prasasti Sojomerto bahwa wangsa Sailendra pada mulanya memuja Siwa, sebelum Panangkaran beralih keyakinan menjadi penganut Buddha Mahayana.
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih. Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuno dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Budha (Sailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara.
Berdasarkan penafsiran atas prasasti Canggal (732 M) Sanjaya memang mendirikan Shivalingga baru (Candi Gunung Wukir), artinya ia membangun dasar pusat pemerintahan baru. Hal ini karena raja Jawa pendahulunya, Raja Sanna wafat dan kerajaannya tercerai-berai diserang musuh. Saudari Sanna adalah Sannaha, ibunda Sanjaya, artinya Sanjaya masih kemenakan Sanna. Sanjaya mempersatukan bekas kerajaan Sanna, memindahkan ibu kota dan naik takhta membangun kraton baru di Mdang i Bhumi Mataram. Hal ini sesuai dengan adat dan kepercayaan Jawa bahwa kraton yang sudah pernah pralaya, diserang, kalah dan diduduki musuh, sudah buruk peruntungannya sehingga harus pindah mencari tempat lain untuk membangun kraton baru. Hal ini serupa dengan zaman kemudian pada masa Mataram Islam yang meninggalkan Kartasura yang sudah pernah diduduki musuh dan berpindah ke Surakarta. Perpindahan pusat pemerintahan ini bukan berarti berakhirnya wangsa yang berkuasa. Hal ini sama dengan Airlangga pada zaman kemudian yang membangun kerajaan baru, tetapi ia masih merupakan keturunan wangsa penguasa terdahulu, kelanjutan Dharmawangsa yang juga anggota wangsa Isyana. Maka disimpulkan meski Sanjaya memindahkan ibu kota ke Mataram, ia tetap merupakan kelanjutan dari wangsa Sailendra yang menurut prasasti Sojomerto didirikan oleh Dapunta Selendra.
Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri Dharmasetu, Maharaja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790, Sailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja Selatan), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.
Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812–833). Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, Samaratungga memiliki putri bernama Pramodhawardhani dan putra bernama Balaputradewa. Balaputra kemudian memerintah di Sriwijaya, maka selain pernah berkuasa di Medang, wangsa Sailendra juga berkuasa di Sriwijaya.
Runtuhnya Wangsa Sailendra
[sunting | sunting sumber]Berapa sejarawan berusaha menjelaskan berakhirnya kekuasaan Sailendra di Jawa Tengah mengaitkannya dengan kepindahan Balaputradewa ke Sriwijaya (Sumatra). Selama ini sejarawan seperti Dr. Bosch dan Munoz menganut paham adanya dua wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; Sanjaya-Sailendra. Mereka beranggapan Sailendra yang penganut Buddha kalah bersaing dan terusir oleh wangsa Sanjaya yang Hindu aliran Siwa. Dimulai dengan adanya ketimpangan perekonomian serta perbedaan keyakinan antara Sailendra sang penguasa yang beragama Buddha dengan rakyat Jawa yang kebanyakan beragama Hindu Siwa, menjadi faktor terjadinya ketidakstabilan di Jawa Tengah.[butuh rujukan] Untuk memantapkan posisinya di Jawa Tengah, raja Samaratungga menikahkan putrinya Pramodhawardhani, dengan anak Garung, Rakai Pikatan yang waktu itu menjadi pangeran wangsa Sanjaya.[5] Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa, yang merupakan paman atau saudara Pramodhawardhani. Sejarah wangsa Sailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke Suwarnadwipa yang merupakan negeri asal ibunya. Setelah terusirnya wangsa Sailendra dari Jawa Tengah, Munoz beranggapan berakhir pula kekuasaan Sriwijaya atas Jawa selama satu abad. Munoz beranggapan bahwa orang-orang Jawa pengikut Balaputradewa merasa terancam dan akhirnya menyingkir, mengungsi ke Jawa Barat untuk mendirikan kerajaan Banten Girang.[5] Hal ini berdasarkan temuan arca-arca bergaya Jawa Tengahan abad ke-10 di situs Gunung Pulasari, Banten Girang.
Sementara itu, sejarawan seperti Poerbatjaraka dan Boechari percaya bahwa hanya ada satu wangsa yaitu Sailendra, dan tidak pernah disebutkan Sanjayavamça dalam prasasti apapun. Sanjaya dan keturunannya dianggap masih masuk dalam wangsa Sailendra. Secara tradisional, selama ini kurun kekuasaan Sailendra dianggap berlangsung antara abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, dan hanya terbatas di Jawa Tengah, tepatnya di Dataran Kedu, dari masa kekuasaan Panangkaran hingga Samaratungga. Hal ini sesuai dengan penafsiran Slamet Muljana yang menganggap Panangkaran sebagai Raja Sailendra pertama yang naik takhta. Akan tetapi penafsiran paling mutakhir berdasarkan temuan Prasasti Sojomerto serta kelanjutan Sailendra di Sriwijaya mengusulkan; bahwa masa kekuasaan wangsa Sailendra berlangsung jauh lebih lama. Dari awal abad ke-9 (perkiraan dituliskannya Prasasti Sojomerto), hingga awal abad ke-11 masehi (jatuhnya wangsa Sailendra di Sriwijaya akibat serangan Cholamandala dari India). Dalam kurun waktu tertentu, wangsa Sailendra berkuasa baik di Jawa Tengah maupun di Sumatra. Persekutuan dan hubungan pernikahan keluarga kerajaan antara Sriwijaya dan Sailendra memungkinkan bergabungnya dua keluarga kerajaan, dengan wangsa Sailendra akhirnya berkuasa baik di Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah sekaligus di Sriwijaya, Sumatra.
Daftar para raja
[sunting | sunting sumber]Daftar Maharaja Swarnadwipa |
---|
}} Beberapa sejarawan mencoba merekonstruksi kembali urutan daftar silsilah raja-raja Sailendra; meskipun satu sama lain mungkin tidak sepakat. Misalnya, Slamet Muljana, meneruskan teori dinasti kembar Bosch, berpendapat bahwa anggota wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja adalah Rakai Panangkaran. Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, Wangsa Sanjaya juga merupakan anggota Wangsa Sailendra. Boechari mencoba menyusun tahap awal perkembangan wangsa Sailendra berdasarkan penafsiran atas Prasasti Sojomerto. Sementara Poerbatjaraka mencoba menyusun daftar raja penguasa Sailendra pada periode menengah dan lanjut berdasarkan hubungannya dengan tokoh Sanjaya, beberapa prasasti Sailendra, serta penafsiran atas naskah Carita Parahyangan. Akan tetapi banyak kebingungan yang muncul, karena tampaknya Sailendra berkuasa atas banyak kerajaan; Kalingga, Medang, dan Sriwijaya. Akibatnya nama beberapa raja tampak tumpang tindih dan berkuasa di kerajaan-kerajaan ini secara bersamaan. Tanda tanya (?) menunjukkan keraguan atau dugaan, karena data atau bukti sejarah sahih masih sedikit ditemukan dan belum jelas terungkap.
Kurun Waktu | Nama Raja atau Penguasa | Ibu Kota | Prasasti atau Catatan Bersejarah | Peristiwa |
---|---|---|---|---|
674—703 | Shima (?) | Kalingga, di antara Pekalongan dan Jepara | Carita Parahyangan, Catatan Tiongkok mengenai kunjungan biksu Hwi-ning di Ho-ling (664) dan pemerintahan Ratu Hsi-mo (674) | Menguasai kerajaan Kalingga |
703—710 | Mandimiñak (?) | ? | Carita Parahyangan | |
710—717 | Sanna | ? | Prasasti Canggal (732), Carita Parahyangan | Sanna berkuasa di Jawa, tetapi setelah kematiannya kerajaan runtuh dan terpecah-belah akibat pemberontakan atau serangan dari luar |
717—760 | Sanjaya | Mataram, Jawa Tengah | Prasasti Canggal (732), Carita Parahyangan | Sanjaya, putra Sannaha, keponakan Sanna memulihkan keamanan, mempersatukan kerajaan dan naik takhta, sejarawan lama menafsirkannya sebagai berdirinya Wangsa Sanjaya, sementara pihak lain menganggap ia sebagai kelanjutan Sailendra |
760—775 | Rakai Panangkaran | Mataram, Jawa Tengah | Prasasti Raja Sankhara, Prasasti Kalasan (778), Carita Parahyangan | Rakai Panangkaran beralih keyakinan dari memuja Siwa menjadi penganut Buddha Mahayana, pembangunan Candi Kalasan |
775—800 | Dharanindra | Mataram, Jawa Tengah | Prasasti Kelurak (782), Prasasti Ligor B (sekitar 787) | Juga berkuasa di Sriwijaya (Sumatra), membangun Manjusrigrha, memulai membangun Borobudur (sekitar 770), Jawa menyerang dan menaklukan Ligor dan Kamboja Selatan (Chenla) (790) |
800—812 | Samaragrawira | Mataram, Jawa Tengah | Prasasti Ligor B (sekitar 787) | Juga berkuasa di Sriwijaya, Kamboja memerdekakan diri (802) |
812—833 | Samaratungga | Mataram, Jawa Tengah | Prasasti Karangtengah (824) | Juga berkuasa di Sriwijaya, merampungkan Borobudur (825) |
833—856 | Pramodhawardhani berkuasa mendampingi suaminya Rakai Pikatan | Mamrati, Jawa Tengah | Prasasti Siwagrha (856) | Mengalahkan dan mengusir Balaputradewa yang menyingkir ke Sumatra (Sriwijaya). Membangun Candi Prambanan dan Candi Plaosan. Para raja Medang penerus Pikatan, mulai dari Dyah Lokapala (850—890) hingga Wawa (924—929) dapat dianggap sebagai penerus trah Sailendra, meskipun Dyah Balitung (898—910) dalam Prasasti Mantyasih (907) hanya merunut leluhurnya hingga Sanjaya, akibatnya menumbuhkan teori Wangsa Sanjaya. |
833—850 | Balaputradewa | Sriwijaya, Sumatera Selatan | Prasasti Siwagrha (856), Prasasti Nalanda (860) | Dikalahkan Pikatan-Pramodhawardhani, terusir dari Jawa Tengah, menyingkir ke Sumatra dan berkuasa di Sriwijaya, mengaku dirinya sebagai pewaris sah wangsa Sailendra dari Jawa, membangun Candi di Nalanda (India) |
sekitar 960 | Çri Udayadityavarman | Sriwijaya, Sumatera Selatan | Utusan ke Tiongkok (960 dan 962) | Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok |
sekitar 980 | Haji (Hia-Tche) | Sriwijaya, Sumatera Selatan | Utusan ke Tiongkok (980–983) | Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok |
sekitar 988 | Sri Cudamanivarmadeva | Sriwijaya, Sumatera Selatan | Utusan ke Tiongkok (988-992-1003), Prasasti Tanjore atau prasasti Leiden (1044) | Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok, Raja Jawa Dharmawangsa menyerang Sriwijaya, membangun Candi untuk Kaisar Tiongkok, pemberian desa perdikan oleh Raja-raja I |
sekitar 1008 | Sri Maravijayottungga | Sriwijaya, Sumatera Selatan | Utusan ke Tiongkok (1008) | Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1008) |
sekitar 1017 | Sumatrabhumi | Sriwijaya, Sumatera Selatan | Utusan ke Tiongkok(1017) | Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1017) |
sekitar 1025 | Sangramavijayottungga | Sriwijaya, Sumatera Selatan | Prasasti Chola di Candi Rajaraja, Tanjore | Serbuan kerajaan Cholamandala atas Sriwijaya, ibu kota ditaklukan oleh Rajendra Chola |
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Bowring 2022, hlm. 74.
- ^ Indriyani, A., dkk. (Juli 2022). Sektiadi dan Wiyamto, K. S., ed. Medang: Sejarah dan Budaya Mataram Kuno (PDF). Yogyakarta: Museum Pleret. hlm. 7.
- ^ Coedès, G., dan Damais, L. C. (1989). Kedatuan Sriwijaya: Penelitian tentang Sriwijaya (PDF). Diterjemahkan oleh Pusat Penelitian EFEO di Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 135. ISBN 979-8041-12-7.
- ^ a b c Zakharov, Anton A (August 2012). "The Śailendras Reconsidered" (PDF). nsc.iseas.edu.sg. Singapore: The Nalanda-Srivijaya Centre Institute of Southeast Asian Studies. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal November 1, 2013. Diakses tanggal 2013-10-30.
- ^ a b c Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. pages 171. ISBN 981-4155-67-5.
- ^ a b Degroot, Véronique M. Y. (2009). Candi, Space and Landscape. A study on the distribution, orientation and spatial organization of Central Javanese temple remains. Leiden, Netherlands: Sidestone Press. hlm. 84. ISBN 978-90-8890-039-6. Diakses tanggal 7 November 2014.
- ^ Bosch, F.D.K. (1952). "Çriwijaya, de Çailendrawamsa- en de Sańjayawamça". B.K.I. 108: 113–123.
- ^ (Poerbatjaraka, 1958: 254-264)
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Bowring, Philip (2022). Nusantaria: Sejarah Asia Tenggara Maritim. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-481-801-2.
- George Coedes. 1934. On the origins of the Sailendras of Indonesia. Journal of the Greater India Society I: 61–70.
- K.A.N. Sastri. 1949. History of Sri Vijaya. University of Madras.
- Marwati Djoened Poesponegoro. Nugroho Notosusanto. 1992. Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Kuno. Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero). ISBN 979-407-408-X
- Paul Michel Munoz. 2006. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapura: Editions Didier Millet, ISBN 981-4155-67-5.
- R.C. Majumdar. Note on Šailendra kings mentioned in Leiden Plates. EL, XXII, pp. 281–4.
- R. Ng. Poerbatjaraka. 1952. Riwajat Indonesia, djilid I, "Çrivijaya, de Śańjaya en de Çailendrawamça. B.K.I., 254-264.
- Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya. PT LKIS Pelangi Aksara, ISBN 978-979-8451-62-1.