Lompat ke isi

Kedatuan Luwu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bagas Chrisara memindahkan halaman Kesultanan Luwu ke Kedatuan Luwu: Per WP:COMMONNAME (nama umum).
Tidak ada ringkasan suntingan
(37 revisi perantara oleh 19 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{pp-semi-indef|small=yes}}
{{pp-semi-indef|small=yes}}
{{Infobox former country
{{Infobox former country
|native_name = Kesultanan Luwu
| native_name = ᨕᨀᨑᨘᨂᨛ ᨑᨗ ᨒᨘᨓᨘ<br>Akkarungeng ri Luwu
|conventional_long_name =
| conventional_long_name = Akkarungeng ri Luwu
|common_name = Kedatuan Luwu
| common_name = Akkarungeng Luwu
|continent = moved from Category:Asia to Southeast Asia
| status = Akkarungeng
|region = Asia Tenggara
| status_text = Bagian dari [[Indonesia]]
|status = Kesultanan
| event_start =
|status_text = Bagian dari [[Indonesia]]
| year_start = Abad ke-14
|country = Indonesia
| date_start =
| event_start =
| event_end =
| year_start = Abad ke-14
| year_end = sekarang
| date_start =
| date_end =
| p1 =
|event_end=
| flag_p1 =
|year_end = sekarang
| s1 = Kesultanan Gowa
|date_end =
| flag_s1 = Flag_of_the_Sultanate_of_Gowa.svg
|p1 =
| s2 = Republik Indonesia
|flag_p1 =
| flag_s2 = Flag of Indonesia.svg
|s1= Hindia Belanda
|flag_s1 = Flag of the Netherlands.svg
| image_flag = Flag of Sultanate of Luwu.svg
| image_coat =
|s2 = Republik Indonesia
| image_map = Kerajaan awal SulSel.PNG
|flag_s2 = Flag of Indonesia.svg
| image_map_caption = Kesultanan Luwu terletak di bagian utara menurut [[I La Galigo]]
|image_flag = Flag of Sultanate of Luwu.svg
| capital = [[Palopo]]
|image_coat =
| common_languages = [[Bahasa Bugis]]; [[Bahasa Tae']]
|image_map = Kerajaan awal SulSel.PNG
| religion = Dari [[Tolotang]] berpindah ke [[Islam]]
| image_map_caption = Kesultanan Luwu terletak di bagian utara menurut [[I La Galigo]]
| government_type = [[Monarki]], [[Akkarungeng]]
| capital = [[Palopo]]
| title_leader = ''Datu Mappanjunge' ri Luwu''
| common_languages = [[Bahasa Tae']]
| leader1 = Tumanurung
|religion = [[Sunni Islam]]
| year_leader1 = 1300-an
|government_type = [[Monarki]]
| era =
|title_leader = [[Daftar Datu Luwu|Datu]]
|leader1 = Tumanurung
| life_span = 1300-sekarang
| currency = Tidak memiliki mata uang, menggunakan sistem [[Barter]]
|year_leader1 = 1300-an
| footnotes =
|era =
| today = {{flag|Indonesia}}<br /> <small>[[Berkas:Lambang Kabupaten Luwu.png|15px]] ([[Kabupaten Luwu]])</small><br /> <small>[[Berkas:Lambang Kabupaten Luwu Timur.png|15px]] ([[Kabupaten Luwu Timur]])</small><br /> <small>[[Berkas:Lambang Kabupaten Luwu-Utara.jpg|15px]] ([[Kabupaten Luwu Utara]])</small><br /> <small>[[Berkas:Lambang Kota Palopo.png|15px]] ([[Kota Palopo]])</small>
|life_span = 1300-sekarang
|currency = Tidak memiliki mata uang, menggunakan sistem [[Barter]]
|footnotes =
|today={{flag|Indonesia}}<br /> <small>[[Berkas:Lambang Kabupaten Luwu.png|15px]] ([[Kabupaten Luwu]])</small><br /> <small>[[Berkas:Lambang Kabupaten Luwu Timur.png|15px]] ([[Kabupaten Luwu Timur]])</small><br /> <small>[[Berkas:Lambang Kabupaten Luwu-Utara.jpg|15px]] ([[Kabupaten Luwu Utara]])</small>
}}
}}
'''Kesultanan Luwu''' (juga dieja '''Luwuq''', '''Wareq''', '''Luwok''', '''Luwu'''') adalah kerajaan Bugis tertua,  pada 1889  , [[Daftar Penguasa Hindia Belanda|Gubernur Hindia Belanda]] di [[Makassar]] menyatakan bahwa masa kejayaan Luwu antara [[abad ke-10]] sampai [[abad ke-14|14]], tetapi tidak ada bukti lebih lanjut. Luwu bersama-sama dengan [[Wewang Nriwuk]] dan [[Tompotikka]] adalah tiga kerajaan Bugis pertama yang tertera dalam epik [[I La Galigo]], sebuah karya orang suku bugis. Namun begitu, I La Galigo tidak dapat diterima sepenuhnya sebagai teks sejarah karena dipenuhi dengan mitos, maka keberadaan kerajaan-kerajaan ini dipertanyakan. Pusat kerajaan ini terletak di [[Malangke, Luwu Utara|Malangke]] yang kini menjadi wilayah [[Kabupaten Luwu Utara]], [[Sulawesi Selatan]]. Kerajaan Luwu juga disebutkan dalam kitab [[Kakawin Nagarakretagama]] , teks pada abad ke-14 sebagai daerah di bawah pengaruh kerajaan [[Majapahit]] bersama Lombok Mirah ([[Pulau Lombok|Lombok]]), Bantayan ([[Bantaeng]]) dan Udamakatraya ([[Kepulauan Talaud]]) dan pulau-pulau disekitarnya pada periode Prabu [[Hayam Wuruk]] (1350-1389 M).tetapi bukti sejarah penaklukan kerajaan luwu oleh majapahit melainkan perkawinan kerajaan<ref>Riana, I Ketut (2009). [http://books.google.co.id/books?id=A5p9tEO1_gUC&lpg=PA215&dq=BAKULA%20PURA&pg=PA215#v=onepage&q=BAKULA%20PURA&f=false ''Nagara Krtagama'']. Penerbit Buku Kompas. h. 102. [[International Standard Book Number|ISBN]] [[Istimewa:Sumber_buku/9797094332|9797094332]].ISBN 978-979-709-433-1 "''48. Muwah tangi gurun sanusa mangaran ri lombok mirah, lawan tikang-i saksak-adi nikalun kahajyan kabeh, muwah tanahi bantayan pramuka bantayan len luwuk, tekeng udhamakatrayadi nikanang sanusa pupul''"</ref>
'''Akkarungeng Luwu''' (juga dieja '''Luwuq''', '''Wareq''', '''Luwok''', '''Luwu'''') adalah salah satu [[Akkarungeng]] ({{lit|kerajaan}}) Bugis tertua. Pada 1889, [[Daftar Penguasa Hindia Belanda|Gubernur Hindia Belanda]] di [[Makassar]] menyatakan bahwa masa kejayaan Luwu antara [[abad ke-10]] sampai [[abad ke-14|14]], tetapi tidak ada bukti lebih lanjut. Luwu bersama-sama dengan [[Wewang Nriwuk]] dan [[Tompotikka]] adalah tiga kerajaan Bugis pertama yang tertera dalam epik [[I La Galigo]], sebuah karya orang suku Bugis. Namun begitu, I La Galigo tidak dapat diterima sepenuhnya sebagai teks sejarah karena dipenuhi dengan mitos, maka keberadaan kerajaan-kerajaan ini dipertanyakan. Pusat kerajaan ini terletak di [[Malangke, Luwu Utara|Malangke]] yang kini menjadi wilayah [[Kabupaten Luwu Utara]], [[Sulawesi Selatan]]. Kerajaan Luwu juga disebutkan dalam kitab [[Kakawin Nagarakretagama]], teks pada abad ke-14 sebagai daerah di bawah pengaruh kerajaan [[Majapahit]] bersama Lombok Mirah ([[Pulau Lombok|Lombok]]), Bantayan ([[Bantaeng]]) dan Udamakatraya ([[Kepulauan Talaud]]) dan pulau-pulau di sekitarnya pada periode Prabu [[Hayam Wuruk]] (1350-1389 M). Tidak ada bukti sejarah penaklukan kerajaan Luwu oleh Majapahit melainkan hanya perkawinan kerajaan.<ref>Riana, I Ketut (2009). [http://books.google.co.id/books?id=A5p9tEO1_gUC&lpg=PA215&dq=BAKULA%20PURA&pg=PA215#v=onepage&q=BAKULA%20PURA&f=false ''Nagara Krtagama'']. Penerbit Buku Kompas. h. 102. [[International Standard Book Number|ISBN]] [[Istimewa:Sumber_buku/9797094332|9797094332]].ISBN 978-979-709-433-1 "''48. Muwah tangi gurun sanusa mangaran ri lombok mirah, lawan tikang-i saksak-adi nikalun kahajyan kabeh, muwah tanahi bantayan pramuka bantayan len luwuk, tekeng udhamakatrayadi nikanang sanusa pupul''"</ref>


== Sejarah ==
== Sejarah ==
Di dalam epik [[La Galigo]], terdapat versi menggambarkan sebuah wilayah pesisir dan sungai yang didefinisikan secara samar-samar yang ekonominya berbasis pada perdagangan. Pusat-pusat penting di wilayah ini adalah Luwu dan kerajaan Cina (diucapkan Cheena tapi identik dalam pengucapan bahasa Indonesia ke [[China]]), yang terletak di lembah Cenrana bagian barat, dengan pusat istananya di dekat dusun [[Sarapao]] di distrik [[Pamanna]]. Ketidakcocokan La Galigo dan ekonomi politik dengan realitas kerajaan agraris Luwu menyebabkan sejarawan Bugis mengajukan periode intervensi kekacauan untuk memisahkan keduanya secara kronologis.<ref>Pelras, C. 1996. ''The Bugis.'' Oxford: Blackwell.</ref>
Di dalam epik [[La Galigo]], terdapat versi menggambarkan sebuah wilayah pesisir dan sungai yang didefinisikan secara samar-samar yang ekonominya berbasis pada perdagangan. Pusat-pusat penting di wilayah ini adalah Luwu dan kerajaan Cina (diucapkan Cheena tapi identik dalam pengucapan bahasa Indonesia ke [[China]]), yang terletak di lembah Cenrana bagian barat, dengan pusat istananya di dekat dusun [[Sarapao]] di distrik [[Pamanna]]. Ketidakcocokan La Galigo dan ekonomi politik dengan realitas kerajaan agraris Luwu menyebabkan sejarawan Bugis mengajukan periode intervensi kekacauan untuk memisahkan keduanya secara kronologis.<ref>Pelras, C. 1996. ''The Bugis.'' Oxford: Blackwell.</ref>


Penelitian arkeologi dan tekstual yang dilakukan sejak tahun [[1980-an]] telah meruntuhkan kronologi ini.<ref>Bulbeck, D. and I. Caldwell. 2000. ''Land of iron; The historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley.'' Hull: Centre for South East Asian Studies, University of Hull.</ref> Survei dan penggalian yang ekstensif di Luwu telah mengungkapkan bahwa Luwu tidak lebih tua dari kerajaan agraris yang berdiri paling awal di semenanjung barat daya. Pemahaman yang baru adalah bahwa orang Bugis yang berbicara dengan pemukim dari lembah [[Cénrana]] barat mulai menetap di sepanjang batas pantai sekitar tahun 1300. [[Teluk Bone]] bukanlah daerah yang berbahasa Bugis: ini adalah daerah dengan keragaman etnis yang sangat beragam. Orang [[Suku Pamona|Pamona]], [[Padoe]], [[Toala]], [[Wotu]] dan [[Lemolang]] tinggal di dataran rendah pesisir dan kaki bukit, sedangkan lembah dataran tinggi merupakan rumah bagi kelompok yang berbicara dalam berbagai bahasa Sulawesi Tengah dan Selatan lainnya. Orang-orang Bugis ditemukan hampir di sepanjang pantai, yang terbukti bahwa mereka bermigrasi untuk berdagang dengan masyarakat adat Luwu. Sudah jelas bahwa dari sumber arkeologi dan tekstual bahwa Luwu adalah koalisi Bugis dari berbagai kelompok etnis, yang dipersatukan oleh hubungan perdagangan.
Penelitian arkeologi dan tekstual yang dilakukan sejak tahun [[1980-an]] telah meruntuhkan kronologi ini.<ref>Bulbeck, D. and I. Caldwell. 2000. ''Land of iron; The historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley.'' Hull: Centre for South East Asian Studies, University of Hull.</ref> Survei dan penggalian yang ekstensif di Luwu telah mengungkapkan bahwa Luwu tidak lebih tua dari kerajaan agraris yang berdiri paling awal di semenanjung barat daya. Pemahaman yang baru adalah bahwa orang Bugis yang berbicara dengan pemukim dari lembah [[Cénrana]] barat mulai menetap di sepanjang batas pantai sekitar tahun 1300. [[Teluk Bone]] bukanlah semata daerah yang berbahasa Bugis saja: ini adalah daerah dengan keragaman etnis yang sangat beragam. Orang [[Suku Pamona|Pamona]], [[Padoe]], [[Toala]], [[Wotu]] dan [[Lemolang]] tinggal di dataran rendah pesisir dan kaki bukit, sedangkan lembah dataran tinggi merupakan rumah bagi kelompok yang berbicara dalam berbagai bahasa Sulawesi Tengah dan Selatan lainnya. Orang-orang Bugis ditemukan hampir di sepanjang pantai, yang terbukti bahwa mereka bermigrasi untuk berdagang dengan masyarakat adat Luwu. Sudah jelas bahwa dari sumber arkeologi dan tekstual bahwa Luwu adalah koalisi Bugis dari berbagai kelompok etnis, yang dipersatukan oleh hubungan perdagangan.


Ekonomi politik Luwu didasarkan pada peleburan bijih besi yang dibawa turun, melalui pemerintahan Lémolang di [[Baebunta, Luwu Utara|Baebunta]], ke [[Malangke, Luwu Utara|Malangke]] di dataran pantai tengah. Di sini besi yang akan dilelehkan itu diolah menjadi senjata dan alat pertanian dan diekspor ke dataran rendah selatan yang memproduksi beras. Hal ini membawa kekayaan yang besar, dan pada abad [[abad ke-14|ke-14]] Luwu telah menjadi entitas yang ditakuti di bagian selatan semenanjung barat daya dan tenggara. Penguasa pertama yang diketahui secara nyata adalah [[Dewaraja]] (memerintah 1495-1520). Cerita saat ini di Sulawesi Selatan menceritakan serangan agresifnya terhadap kerajaan tetangga, [[Kerajaan Wajo|Wajo]] dan [[Kerajaan Sidenreng|Sidenreng]]. Kekuasaan Luwu mulai memudar pada abad [[abad ke-16|ke-16]] oleh meningkatnya kekuatan kerajaan agraris dari selatan, dan kekalahan militernya ditetapkan dalam [[Tawarik Bone]].
Ekonomi politik Luwu didasarkan pada peleburan bijih besi yang dibawa turun, melalui pemerintahan Lémolang di [[Baebunta, Luwu Utara|Baebunta]], ke [[Malangke, Luwu Utara|Malangke]] di dataran pantai tengah. Di sini besi yang akan dilelehkan itu diolah menjadi senjata dan alat pertanian dan diekspor ke dataran rendah selatan yang memproduksi beras. Hal ini membawa kekayaan yang besar, dan pada abad [[abad ke-14|ke-14]] Luwu telah menjadi entitas yang ditakuti di bagian selatan semenanjung barat daya dan tenggara. Penguasa pertama yang diketahui secara nyata adalah [[Dewaraja]] (memerintah 1495-1520). Cerita saat ini di Sulawesi Selatan menceritakan serangan agresifnya terhadap kerajaan tetangga, [[Kerajaan Wajo|Wajo]] dan [[Kerajaan Sidenreng|Sidenreng]]. Kekuasaan Luwu mulai memudar pada abad [[abad ke-16|ke-16]] oleh meningkatnya kekuatan kerajaan agraris dari selatan, dan kekalahan militernya ditetapkan dalam [[Tawarik Bone]].


Pada tanggal 4 atau 5 Februari 1605, Datu Luwu, [[La Patiwareq]], Daeng Pareqbung, menjadi penguasa yang pertama dari wilayah Sulawesi bagian selatan yang memeluk Islam, menggunakan gelar Sultan Muhammad Wali Mu'z'hir (atau Muzahir) al-din. Dia dimakamkan di Malangke dan disebut dalam kronik sebagai <nowiki>[[Matinroe ri Wareq]]</nowiki>, ("Dia yang tidur di Wareq"), bekas pusat istana Luwu. Guru agamanya, [[Dato Sulaiman]], dikuburkan di dekatnya. Sekitar tahun 1620, Malangke ditinggalkan dan sebuah ibu kota baru didirikan di sebelah barat, [[Kota Palopo|Palopo]]. Tidak diketahui mengapa wilayah Malangke, yang populasinya mungkin mencapai 15.000 pada abad ke-16, tiba-tiba ditinggalkan: kemungkinan besar termasuk penurunan harga barang besi dan potensi ekonomi perdagangan dengan suku-suku dari dataran tinggi [[Suku Toraja|Toraja]].
Pada tanggal 4 Februari 1605, [[Andi Pattiware'|Andi Pattiware' Daeng Parabung]] selaku Datu Luwu XV menjadi raja pertama dari wilayah [[Sulawesi Selatan]] yang memeluk agama Islam.<ref>{{Cite book|last=Amir, A., dan Utomo, B. B.|date=2016|url=http://rumahbelajar.id/Media/Dokumen/5cff5f5fb646044330d686d0/43d180873347a0b445e2c3d7f783ef51.pdf|title=Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur: Maluku dan Luwu|location=Jakarta|publisher=Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan|isbn=|editor-last=Sastrodinomo, K., dan Burhanudin, J.|pages=3|url-status=live}}</ref> Ia kemudian menggunakan gelar Sultan Muhammad Wali Mu'zhir (atau Muzahir) al-din. Dia dimakamkan di Malangke dan disebut dalam kronik sebagai [[Matinroe ri Wareq]], ("Dia yang tidur di Wareq"), bekas pusat istana Luwu. Guru agamanya, [[Dato Sulaiman]], dikuburkan di dekatnya. Sekitar tahun 1620, Malangke ditinggalkan dan sebuah ibu kota baru didirikan di sebelah barat, [[Kota Palopo|Palopo]]. Tidak diketahui mengapa wilayah Malangke, yang populasinya mungkin mencapai 15.000 pada abad ke-16, tiba-tiba ditinggalkan: kemungkinan besar termasuk penurunan harga barang besi dan potensi ekonomi perdagangan dengan suku-suku dari dataran tinggi [[Suku Toraja|Toraja]].


Pada abad [[abad ke-19|ke-19]], Luwu telah menjadi kerajaan kecil. [[James Brooke]], yang di kemudian hari menjadi Rajah [[Sarawak]], menulis pada tahun [[1830-an]] bahwa "Luwu adalah kerajaan Bugis tertua, dan yang paling rusak [...] Palopo adalah kota yang menyedihkan, yang terdiri dari sekitar 300 rumah, tersebar dan bobrok [...] Sulit dipercaya bahwa Luwu bisa menjadi negara yang kuat, kecuali dalam keadaan peradaban asli yang sangat rendah."<ref>Brooke, J. 1848. ''Narrative of events in Borneo and Celebes down to the occupation of Labuan. From the Journals of James Brooke, Esq. Rajah of Sarawak and Governor of Labuan [. . .] by Captain [[Rodney Mundy]].'' London: John Murray.</ref>
Pada abad [[abad ke-19|ke-19]], Luwu telah menjadi kerajaan kecil. [[James Brooke]], yang di kemudian hari menjadi Raja [[Sarawak]], menulis pada tahun [[1830-an]] bahwa "Luwu adalah kerajaan Bugis tertua, dan yang paling rusak [...] Palopo adalah kota yang menyedihkan, yang terdiri dari sekitar 300 rumah, tersebar dan bobrok [...] Sulit dipercaya bahwa Luwu bisa menjadi negara yang kuat, kecuali dalam keadaan peradaban asli yang sangat rendah."<ref>Brooke, J. 1848. ''Narrative of events in Borneo and Celebes down to the occupation of Labuan. From the Journals of James Brooke, Esq. Rajah of Sarawak and Governor of Labuan [. . .] by Captain [[Rodney Mundy]].'' London: John Murray.</ref>


Pada tahun [[1960-an]], Luwu menjadi wilayah fokus pemberontakan [[DI/TII]] yang dipimpin oleh [[Kahar Muzakkar]]. Dewasa ini, wilayah bekas kerajaan adalah rumah bagi tambang [[nikel]] terbesar di dunia dan mengalami ledakan ekonomi yang didorong oleh migrasi ke dalam, namun masih memiliki sebagian besar atmosfer perbatasan aslinya.
Pada tahun [[1960-an]], Luwu menjadi wilayah fokus pemberontakan [[DI/TII]] yang dipimpin oleh [[Kahar Muzakkar]]. Dewasa ini, wilayah bekas kerajaan adalah rumah bagi tambang [[nikel]] terbesar di dunia dan mengalami ledakan ekonomi yang didorong oleh migrasi ke dalam, namun masih memiliki sebagian besar atmosfer perbatasan aslinya.


== Datu ==
== Daftar Penguasa Luwu ==
Penguasa Luwu menggunakan gelar ''Datu Mappanjunge' ri Luwu'' yang artinya "Raja yang berpayung di Luwu" atau "Raja yang menaungi Luwu", biasa disebut menjadi Datu Luwu, Pajung Luwu, atau Pajunge'.
* Datu Luwu ke-1: Batara Guru, bergelar To Manurung merupakan Pajung

* Datu Luwu ke-2: Batara Lattu’, merupakan Pajung, memerintah selama 20 tahun.
'''Daftar Datu Luwu'''
* 1268-1293: Datu Luwu ke-3: Simpurusiang, merupakan Pajung
* Mitos: Simpurusiang, Manurung ri Lompo (Sengkang, Wajo)
* 1293-1330: Datu Luwu, ke-4: Anakaji, merupakan Pajung
* Mitos: Anakaji, anak Simpurusiang
* 1330-1365: Datu Luwu ke-5: Tampa Balusu, merupakan Pajung
* Mitos: Wé Matengngnaémpong, anak Anakaji
* 1365-1402: Datu Luwu ke- 6: Tanra Balusu, merupakan Pajung
* Legendaris: Tampabalusu, Tomanurung di Tompotikka (Sulteng)
* 1402-1426: Datu Luwu ke-7: Toampanangi, merupakan Pajung
* Legendaris: Tanrabalusu, anak Tampabalusu
* 1426-1458: Datu Luwu ke-8: Batara Guru II, merupakan Pajung
* Semi-legendaris: To Appanangi
* \1458-1465: Datu Luwu ke-9: La Mariawa, merupakan Pajung
* Semi-legendaris: Batara Guru ''(bukan Bataraguru dari Galigo)''
* 1465-1507: Datu Luwu ke-10: Risaolebbi, merupakan Pajung
* Akhir abad ke-15: To Sangkawana (= La Pasampoi, Maddanreng ri Talottenreng in Wajo - lihat Lontara Sukkuna Wajo)
* 1507-1541: Datu Luwu ke-11: Dewaraja, bergelar Maningoe’ ri Bajo merupakan Pajung
* Akhir abad ke-15: La Busatana (Lontara Sukkuna Wajo)
* 1541-1556: Datu Luwu ke-12: Tosangkawana, merupakan Pajung
* Awal abad ke-16: Déwaraja, Datu Sangaria, Datu Kellali
* 1556-1571: Datu Luwu ke-13: Maoge, merupakan Pajung
* Abad ke-16: Datu ri Saolebbi
* 1571-1587: Datu Luwu ke-14: E Tenri Rawe’, merupakan Pajung
* Abad ke-16: Maningo ri Bajo
* 1587-1615: Datu Luwu ke-15: Andi Pattiware’ Daeng Parabung atau Pattiarase, bergelar Petta Matinroe’ ri Malangke (Petta Luwu) "sebagai raja pertama yang menerima ajaran syariat islam yang di bawah olek Datuk Sulaiman" merupakan Pajung
* 1587-1615: Andi Pattiware’ Daéng Parabung atau Pati Arase, bergelar Petta Matinroé ri Malangké (Petta Luwu) "sebagai raja pertama yang menerima ajaran syariat islam yang di bawah olek Datuk Sulaiman"
* 1615-1637: Datu Luwu ke-16: Patipasaung, merupakan Pajung
* 1615-1637: Pati Pasaung, Sultan Abdullah
* 1637-1663: Datu Luwu ke-17: La Basso atau La Pakeubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin, bergelar Petta Matinroe’ ri Gowa (Lokkoe’) merupakan Pajung
* 1663-1704: Datu Luwu ke-18 dan ke-20: Settiaraja, bergelar Petta Matinroe’ ri Tompoq Tikkaq merupakan Pajung
* 1637-1663: La Basso atau La Pakéubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin, bergelar Petta Matinroé ri Gowa (Lokkoé)
* 1663-1704: Settiaraja, bergelar Petta Matinroé ri Tompoq Tikkaq
* Datu Luwu ke-19: Petta Matinroe’ ri Polka, merupakan Pajung, memerintah ketika Settiaraja pergi membantu Gowa menghadapi VOC.
* 1704-1704? Petta Matinroe’ ri Polka, memerintah ketika Settiaraja pergi membantu Gowa menghadapi VOC.
* 1704-1715: Datu Luwu ke-21: La Onro Topalaguna, bergelar Petta Matinroe’ ri Langkanae’ merupakan Pajung
* 1706-1715: Datu Luwu ke-22: Batari Tungke, bergelar Sultan Fatimah Petta Matinroe’ ri Pattiro merupakan Pajung
* 1704-1715: La Onro Topalaguna, bergelar Petta Matinroé ri Langkanaé
* 1715-1748: Datu Luwu ke-23: Batari Tojang, bergelar Sultan Zaenab Matinroe’ ri Tippulue’ merupakan Pajung
* 1706-1715: Batari Tungké, bergelar Sultan Fatimah Petta Matinroé ri Pattiro
* 1715-1748: Batari Toja, bergelar Sultan Zaenab Matinroé ri Tippulué
* 1748-1778: Datu Luwu ke-24 dan ke-26: We Tenri Leleang, bergelar Petta Matinroe’ ri Soreang merupakan Pajung
* 1748-1778: Wé Tenriléléang, bergelar Petta Matinroé ri Soréang
* 1760-1765: Datu Luwu ke-25: Tosibengngareng, bergelar La Kaseng Patta Matinroe’ ri Kaluku Bodoe’ merupakan Pajung
* 1760-1765: Tosibengngareng, bergelar La Kaséng Patta Matinroé ri Kaluku Bodoé
* 1778-1810: Datu Luwu ke-27: La Tenri Peppang atau Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Sabbangparu merupakan Pajung
* 1810-1825: Datu Luwu ke-28: We Tenri Awaru atau Sultan Hawa, bergelar Petta Matinroe’ ri Tengngana Luwu merupakan Pajung
* 1778-1810: La Tenripeppang atau Daéng Paliq, bergelar Petta Matinroé ri Sabbangparu
* 1825-1854: Datu Luwu ke-29: La Oddang Pero, bergelar Petta Matinroe’ Kombong Beru merupakan Pajung
* 1810-1825: Tenriawaru atau Sultan Hawa, bergelar Petta Matinroé ri Tengngana Luwu
* 1854-1880: Datu Luwu ke-30: Patipatau atau Abdul Karim Toapanyompa, bergelar Petta Matinroe’ ri Limpomajang, merupakan Pajung
* 1825-1854: La Oddang Péro, bergelar Petta Matinroé Kombong Beru
* 1880-1883: Datu Luwu ke-31: We Addi Luwu, bergelar Petta Matinroe’ Temmalullu merupakan Pajung
* 1854-1880: Patipatau atau Abdul Karim Toapanyompa, bergelar Petta Matinroé ri Limpomajang
* 1883-1901: Datu Luwu ke-32: Iskandar Opu Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Matekko merupakan Pajung
* 1880-1883: Wé Addi Luwu, bergelar Petta Matinroé Temmalullu
* 1901-1935: Datu Luwu ke-33: Andi Kambo atau Siti Husaimah Andi Kambo Opu Daeng Risompa Sultan Zaenab, bergelar Petta Matinroe’ ri Bintanna merupakan Pajung
* 1883-1901: Iskandar Opu Daéng Paliq, bergelar Petta Matinroé ri Matekko
* 1901-1935: [[Andi Kambo]] atau disebut juga [[Siti Husaimah Andi Kambo Opu Daéng Risompa Sultan Zaenab]], bergelar Petta Matinroé ri Bintanna.<ref>Disebut juga [[Wé Kambo Daéng Risompa]] (1898-1935)??</ref>
* 1935-1965: Datu Luwu ke-34 dan ke-26: [[Andi DJemma]], bergelar Petta Matinroe’ ri Amaradekanna merupakan Pajung [[Pahlawan Nasional]] Republik Indonesia dari Sulawesi Selatan
* 1935-1945 & 1950-1965: [[Andi DJemma|Andi Djemma]], bergelar Petta Matinroe’ ri Amaradekanna merupakan Pajung [[Pahlawan Nasional]] Republik Indonesia dari Sulawesi Selatan
* Datu Luwu ke-35: Andi Jelling, merupakan Pajung, memerintah ketika Andi Jemma ditahan dan diasingkan oleh Belanda.
* 1945-1950: Andi Jelling, merupakan Pajung, memerintah ketika Andi Jemma ditahan dan diasingkan oleh Belanda.
* Datu Luwu Ke 40 <nowiki>[[La Maradang Andi Mackulau Opu To Bau]]</nowiki> diangkat pada tahun 2012 sampai sekarang
* 1965-1987 : Andi Bau Alamsyah, bergelar Petta MatinroE ri Tellu Boccona
* 1987-1994 : Hj. Andi Bau Tenripadang, bergelar Opu Datu
* 1994-2012 : Wé Andi Addi Luwu, bergelar Opu Daengna Patiware
* 2012: [[Andi Maradang Mackulau]] Opu To Bau diangkat pada tahun 2012 sampai sekarang


== Dalam budaya populer ==
== Dalam budaya populer ==
Baris 104: Baris 105:
{{Kerajaan di Sulawesi}}{{indo-sejarah-stub}}
{{Kerajaan di Sulawesi}}{{indo-sejarah-stub}}


[[Kategori:Kesultanan Luwu| ]]
[[Kategori:Kedatuan Luwu| ]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Luwu]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Luwu]]
[[Kategori:Kerajaan di Sulawesi Selatan|Luwu]]
[[Kategori:Kerajaan di Sulawesi Selatan|Luwu]]

Revisi per 12 Juni 2024 14.34

Akkarungeng ri Luwu

ᨕᨀᨑᨘᨂᨛ ᨑᨗ ᨒᨘᨓᨘ
Akkarungeng ri Luwu
1300-sekarang
Bendera Akkarungeng Luwu
Bendera
Kesultanan Luwu terletak di bagian utara menurut I La Galigo
Kesultanan Luwu terletak di bagian utara menurut I La Galigo
StatusBagian dari Indonesia
Ibu kotaPalopo
Bahasa yang umum digunakanBahasa Bugis; Bahasa Tae'
Agama
Dari Tolotang berpindah ke Islam
PemerintahanMonarki, Akkarungeng
Datu Mappanjunge' ri Luwu 
• 1300-an
Tumanurung
Sejarah 
• Didirikan
Abad ke-14
• Dibubarkan
sekarang
Mata uangTidak memiliki mata uang, menggunakan sistem Barter
Digantikan oleh
kslKesultanan
Gowa
Republik Indonesia
Sekarang bagian dari Indonesia
(Kabupaten Luwu)
(Kabupaten Luwu Timur)
(Kabupaten Luwu Utara)
(Kota Palopo)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Akkarungeng Luwu (juga dieja Luwuq, Wareq, Luwok, Luwu') adalah salah satu Akkarungeng (terj. har.'kerajaan') Bugis tertua. Pada 1889, Gubernur Hindia Belanda di Makassar menyatakan bahwa masa kejayaan Luwu antara abad ke-10 sampai 14, tetapi tidak ada bukti lebih lanjut. Luwu bersama-sama dengan Wewang Nriwuk dan Tompotikka adalah tiga kerajaan Bugis pertama yang tertera dalam epik I La Galigo, sebuah karya orang suku Bugis. Namun begitu, I La Galigo tidak dapat diterima sepenuhnya sebagai teks sejarah karena dipenuhi dengan mitos, maka keberadaan kerajaan-kerajaan ini dipertanyakan. Pusat kerajaan ini terletak di Malangke yang kini menjadi wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Kerajaan Luwu juga disebutkan dalam kitab Kakawin Nagarakretagama, teks pada abad ke-14 sebagai daerah di bawah pengaruh kerajaan Majapahit bersama Lombok Mirah (Lombok), Bantayan (Bantaeng) dan Udamakatraya (Kepulauan Talaud) dan pulau-pulau di sekitarnya pada periode Prabu Hayam Wuruk (1350-1389 M). Tidak ada bukti sejarah penaklukan kerajaan Luwu oleh Majapahit melainkan hanya perkawinan kerajaan.[1]

Sejarah

Di dalam epik La Galigo, terdapat versi menggambarkan sebuah wilayah pesisir dan sungai yang didefinisikan secara samar-samar yang ekonominya berbasis pada perdagangan. Pusat-pusat penting di wilayah ini adalah Luwu dan kerajaan Cina (diucapkan Cheena tapi identik dalam pengucapan bahasa Indonesia ke China), yang terletak di lembah Cenrana bagian barat, dengan pusat istananya di dekat dusun Sarapao di distrik Pamanna. Ketidakcocokan La Galigo dan ekonomi politik dengan realitas kerajaan agraris Luwu menyebabkan sejarawan Bugis mengajukan periode intervensi kekacauan untuk memisahkan keduanya secara kronologis.[2]

Penelitian arkeologi dan tekstual yang dilakukan sejak tahun 1980-an telah meruntuhkan kronologi ini.[3] Survei dan penggalian yang ekstensif di Luwu telah mengungkapkan bahwa Luwu tidak lebih tua dari kerajaan agraris yang berdiri paling awal di semenanjung barat daya. Pemahaman yang baru adalah bahwa orang Bugis yang berbicara dengan pemukim dari lembah Cénrana barat mulai menetap di sepanjang batas pantai sekitar tahun 1300. Teluk Bone bukanlah semata daerah yang berbahasa Bugis saja: ini adalah daerah dengan keragaman etnis yang sangat beragam. Orang Pamona, Padoe, Toala, Wotu dan Lemolang tinggal di dataran rendah pesisir dan kaki bukit, sedangkan lembah dataran tinggi merupakan rumah bagi kelompok yang berbicara dalam berbagai bahasa Sulawesi Tengah dan Selatan lainnya. Orang-orang Bugis ditemukan hampir di sepanjang pantai, yang terbukti bahwa mereka bermigrasi untuk berdagang dengan masyarakat adat Luwu. Sudah jelas bahwa dari sumber arkeologi dan tekstual bahwa Luwu adalah koalisi Bugis dari berbagai kelompok etnis, yang dipersatukan oleh hubungan perdagangan.

Ekonomi politik Luwu didasarkan pada peleburan bijih besi yang dibawa turun, melalui pemerintahan Lémolang di Baebunta, ke Malangke di dataran pantai tengah. Di sini besi yang akan dilelehkan itu diolah menjadi senjata dan alat pertanian dan diekspor ke dataran rendah selatan yang memproduksi beras. Hal ini membawa kekayaan yang besar, dan pada abad ke-14 Luwu telah menjadi entitas yang ditakuti di bagian selatan semenanjung barat daya dan tenggara. Penguasa pertama yang diketahui secara nyata adalah Dewaraja (memerintah 1495-1520). Cerita saat ini di Sulawesi Selatan menceritakan serangan agresifnya terhadap kerajaan tetangga, Wajo dan Sidenreng. Kekuasaan Luwu mulai memudar pada abad ke-16 oleh meningkatnya kekuatan kerajaan agraris dari selatan, dan kekalahan militernya ditetapkan dalam Tawarik Bone.

Pada tanggal 4 Februari 1605, Andi Pattiware' Daeng Parabung selaku Datu Luwu XV menjadi raja pertama dari wilayah Sulawesi Selatan yang memeluk agama Islam.[4] Ia kemudian menggunakan gelar Sultan Muhammad Wali Mu'zhir (atau Muzahir) al-din. Dia dimakamkan di Malangke dan disebut dalam kronik sebagai Matinroe ri Wareq, ("Dia yang tidur di Wareq"), bekas pusat istana Luwu. Guru agamanya, Dato Sulaiman, dikuburkan di dekatnya. Sekitar tahun 1620, Malangke ditinggalkan dan sebuah ibu kota baru didirikan di sebelah barat, Palopo. Tidak diketahui mengapa wilayah Malangke, yang populasinya mungkin mencapai 15.000 pada abad ke-16, tiba-tiba ditinggalkan: kemungkinan besar termasuk penurunan harga barang besi dan potensi ekonomi perdagangan dengan suku-suku dari dataran tinggi Toraja.

Pada abad ke-19, Luwu telah menjadi kerajaan kecil. James Brooke, yang di kemudian hari menjadi Raja Sarawak, menulis pada tahun 1830-an bahwa "Luwu adalah kerajaan Bugis tertua, dan yang paling rusak [...] Palopo adalah kota yang menyedihkan, yang terdiri dari sekitar 300 rumah, tersebar dan bobrok [...] Sulit dipercaya bahwa Luwu bisa menjadi negara yang kuat, kecuali dalam keadaan peradaban asli yang sangat rendah."[5]

Pada tahun 1960-an, Luwu menjadi wilayah fokus pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Dewasa ini, wilayah bekas kerajaan adalah rumah bagi tambang nikel terbesar di dunia dan mengalami ledakan ekonomi yang didorong oleh migrasi ke dalam, namun masih memiliki sebagian besar atmosfer perbatasan aslinya.

Daftar Penguasa Luwu

Penguasa Luwu menggunakan gelar Datu Mappanjunge' ri Luwu yang artinya "Raja yang berpayung di Luwu" atau "Raja yang menaungi Luwu", biasa disebut menjadi Datu Luwu, Pajung Luwu, atau Pajunge'.

Daftar Datu Luwu

  • Mitos: Simpurusiang, Manurung ri Lompo (Sengkang, Wajo)
  • Mitos: Anakaji, anak Simpurusiang
  • Mitos: Wé Matengngnaémpong, anak Anakaji
  • Legendaris: Tampabalusu, Tomanurung di Tompotikka (Sulteng)
  • Legendaris: Tanrabalusu, anak Tampabalusu
  • Semi-legendaris: To Appanangi
  • Semi-legendaris: Batara Guru (bukan Bataraguru dari Galigo)
  • Akhir abad ke-15: To Sangkawana (= La Pasampoi, Maddanreng ri Talottenreng in Wajo - lihat Lontara Sukkuna Wajo)
  • Akhir abad ke-15: La Busatana (Lontara Sukkuna Wajo)
  • Awal abad ke-16: Déwaraja, Datu Sangaria, Datu Kellali
  • Abad ke-16: Datu ri Saolebbi
  • Abad ke-16: Maningo ri Bajo
  • 1587-1615: Andi Pattiware’ Daéng Parabung atau Pati Arase, bergelar Petta Matinroé ri Malangké (Petta Luwu) "sebagai raja pertama yang menerima ajaran syariat islam yang di bawah olek Datuk Sulaiman"
  • 1615-1637: Pati Pasaung, Sultan Abdullah
  • 1637-1663: La Basso atau La Pakéubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin, bergelar Petta Matinroé ri Gowa (Lokkoé)
  • 1663-1704: Settiaraja, bergelar Petta Matinroé ri Tompoq Tikkaq
  • 1704-1704? Petta Matinroe’ ri Polka, memerintah ketika Settiaraja pergi membantu Gowa menghadapi VOC.
  • 1704-1715: La Onro Topalaguna, bergelar Petta Matinroé ri Langkanaé
  • 1706-1715: Batari Tungké, bergelar Sultan Fatimah Petta Matinroé ri Pattiro
  • 1715-1748: Batari Toja, bergelar Sultan Zaenab Matinroé ri Tippulué
  • 1748-1778: Wé Tenriléléang, bergelar Petta Matinroé ri Soréang
  • 1760-1765: Tosibengngareng, bergelar La Kaséng Patta Matinroé ri Kaluku Bodoé
  • 1778-1810: La Tenripeppang atau Daéng Paliq, bergelar Petta Matinroé ri Sabbangparu
  • 1810-1825: Wé Tenriawaru atau Sultan Hawa, bergelar Petta Matinroé ri Tengngana Luwu
  • 1825-1854: La Oddang Péro, bergelar Petta Matinroé Kombong Beru
  • 1854-1880: Patipatau atau Abdul Karim Toapanyompa, bergelar Petta Matinroé ri Limpomajang
  • 1880-1883: Wé Addi Luwu, bergelar Petta Matinroé Temmalullu
  • 1883-1901: Iskandar Opu Daéng Paliq, bergelar Petta Matinroé ri Matekko
  • 1901-1935: Andi Kambo atau disebut juga Siti Husaimah Andi Kambo Opu Daéng Risompa Sultan Zaenab, bergelar Petta Matinroé ri Bintanna.[6]
  • 1935-1945 & 1950-1965: Andi Djemma, bergelar Petta Matinroe’ ri Amaradekanna merupakan Pajung Pahlawan Nasional Republik Indonesia dari Sulawesi Selatan
  • 1945-1950: Andi Jelling, merupakan Pajung, memerintah ketika Andi Jemma ditahan dan diasingkan oleh Belanda.
  • 1965-1987 : Andi Bau Alamsyah, bergelar Petta MatinroE ri Tellu Boccona
  • 1987-1994 : Hj. Andi Bau Tenripadang, bergelar Opu Datu
  • 1994-2012 : Wé Andi Addi Luwu, bergelar Opu Daengna Patiware
  • 2012: Andi Maradang Mackulau Opu To Bau diangkat pada tahun 2012 sampai sekarang

Dalam budaya populer

Lihat juga

Sumber

  1. ^ Riana, I Ketut (2009). Nagara Krtagama. Penerbit Buku Kompas. h. 102. ISBN 9797094332.ISBN 978-979-709-433-1 "48. Muwah tangi gurun sanusa mangaran ri lombok mirah, lawan tikang-i saksak-adi nikalun kahajyan kabeh, muwah tanahi bantayan pramuka bantayan len luwuk, tekeng udhamakatrayadi nikanang sanusa pupul"
  2. ^ Pelras, C. 1996. The Bugis. Oxford: Blackwell.
  3. ^ Bulbeck, D. and I. Caldwell. 2000. Land of iron; The historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley. Hull: Centre for South East Asian Studies, University of Hull.
  4. ^ Amir, A., dan Utomo, B. B. (2016). Sastrodinomo, K., dan Burhanudin, J., ed. Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur: Maluku dan Luwu (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 3. 
  5. ^ Brooke, J. 1848. Narrative of events in Borneo and Celebes down to the occupation of Labuan. From the Journals of James Brooke, Esq. Rajah of Sarawak and Governor of Labuan [. . .] by Captain Rodney Mundy. London: John Murray.
  6. ^ Disebut juga Wé Kambo Daéng Risompa (1898-1935)??