Lompat ke isi

Kerajaan Larantuka: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(10 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 6: Baris 6:
|region = Asia Tenggara
|region = Asia Tenggara
|country = Indonesia
|country = Indonesia
|religion =
|religion = [[Gereja Katolik Roma|Katolik]]
|image_flag =
|image_flag =
|image_coat =
|image_coat =
Baris 27: Baris 27:
|image_map = Lokasi Flores.png
|image_map = Lokasi Flores.png
|capital = Larantuka
|capital = Larantuka
|common_languages = [[Bahasa Melayu|Melayu]]
|common_languages = '''Bahasa resmi:''' [[bahasa Portugis|Portugis]] <br> '''Lainnya:''' [[bahasa Melayu Larantuka|Melayu Larantuka]]<br>[[bahasa Li'o|Li'o]]
|government_type = Monarki
|government_type = Monarki
|title_leader = Lorenzo I
|title_leader = Lorenzo I
Baris 34: Baris 34:
|today = {{flag|Indonesia}}
|today = {{flag|Indonesia}}
}}
}}

{{Sejarah Indonesia}}
{{Sejarah Indonesia}}


'''Kerajaan Larantuka''' adalah sebuah kerajaan yang berada di Nusa Nipa yang berarti ''Pulau Naga'' dalam bahasa lokal,<ref>Sareng Orinbao (1969), ''Nusa Nipa: nama pribumi Nusa Flores (warisan purba)'', Percetakan Arnoldus/Penerbitan Nusa Indah, Ende</ref> sedangkan dalam [[bahasa Portugis]]: ''Cabo de Flores'' <ref>Laan, Petrus. 1962-1968. Larantuka 1860-1918, 9 vols. (deposited in the Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands).</ref> yang sekarang disebut sebagai [[Pulau Flores]],<ref>Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis ''Cabo de Flores'' yang berarti ''Tanjung Bunga''. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda [[Hendrik Brouwer]].</ref> dan dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan sebagai Galiyao <ref>Barnes, R. H., ''The Majapahit dependency Galiyao'', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 138, p. 407-412</ref><ref>Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, ''Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD'' (The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29-34</ref> yang disebut sebagai penghasil [[santalum album|kayu cendana]].<ref>Fraassen, Ch. F. van, ''Drie plaatsnamen uit Oost-Indonesië in de Nagara-Kertagama: Galiyao, Muar en Wwanin en de vroegere handelsgeschiedenis van de Ambonse eilanden'', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 132, p. 293-305</ref> Wilayah kekuasaannya mencapai [[Kerajaan Adonara|Adonara]].<ref>Verbaal. 21 April 1906, no. 55. Nationaal Archief, The Hague, Ministerie van Koloniën, 1900-1963, Openbaar verbaal, 1900-1952.</ref> dengan [[raja]] pertama bernama Lorenzo I.<ref>Heynen, F. C. 1876a. Het Christendom op het Eiland Flores in Nederlandsch Indië (Studiën op Godsdienstig, Wetenschappelijk en Letterkundig Gebied 8: 8). The Hague: van Gulick.</ref>
'''Kerajaan Larantuka''' adalah sebuah [[kerajaan]] yang berada di Nusa Nipa yang berarti ''Pulau Naga'' dalam [[bahasa Melayu Larantuka|bahasa lokal]],<ref>Sareng Orinbao (1969), ''Nusa Nipa: nama pribumi Nusa Flores (warisan purba)'', Percetakan Arnoldus/Penerbitan Nusa Indah, Ende</ref> sedangkan dalam [[bahasa Portugis]], ''Cabo de Flores''<ref>Laan, Petrus. 1962-1968. Larantuka 1860-1918, 9 vols. (deposited in the Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands).</ref> yang sekarang disebut sebagai [[Pulau Flores]],<ref>Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis ''Cabo de Flores'' yang berarti ''Tanjung Bunga''. Nama ini semula diberikan oleh S.M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda [[Hendrik Brouwer]].</ref> dan dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan sebagai Galiyao<ref>Barnes, R. H., ''The Majapahit dependency Galiyao'', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 138, p. 407-412</ref><ref>Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, ''Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD'' (The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29-34</ref> yang disebut sebagai penghasil [[santalum album|kayu cendana]].<ref>Fraassen, Ch. F. van, ''Drie plaatsnamen uit Oost-Indonesië in de Nagara-Kertagama: Galiyao, Muar en Wwanin en de vroegere handelsgeschiedenis van de Ambonse eilanden'', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 132, p. 293-305</ref> Wilayah kekuasaannya mencapai [[Kerajaan Adonara|Adonara]].<ref>Verbaal. 21 April 1906, no. 55. Nationaal Archief, The Hague, Ministerie van Koloniën, 1900-1963, Openbaar verbaal, 1900-1952.</ref> [[Raja]] pertama Larantuka bernama Lorenzo I.<ref>Heynen, F. C. 1876a. Het Christendom op het Eiland Flores in Nederlandsch Indië (Studiën op Godsdienstig, Wetenschappelijk en Letterkundig Gebied 8: 8). The Hague: van Gulick.</ref>


== Permulaan ==
== Permulaan ==
Baris 50: Baris 49:


== Legenda ==
== Legenda ==
Berdasarkan legenda setempat, leluhur raja Larantuka disebut berasal dari perkawinan antara seorang tokoh pemersatu dari kerajaan ''Fialaran di Belu'' dengan seorang tokoh wanita mistik berasal dari [[gunung Ile Mandiri]].<ref name="Barnes">Barnes, R.H., (2008), ''[http://www.iias.nl/article/raja-lorenzo-ii-catholic-kingdom-dutch-east-indies Raja Lorenzo II: A Catholic kingdom in the Dutch East Indies]'', International Institute for Asian Studies, Newsletter #47, pp.24-25</ref>
Berdasarkan legenda setempat, leluhur raja Larantuka disebut berasal dari perkawinan antara seorang tokoh pemersatu dari kerajaan ''Wehale Waiwiku'' dengan seorang tokoh wanita mistik berasal dari [[gunung Ile Mandiri]].<ref name="Barnes">Barnes, R.H., (2008), ''[http://www.iias.nl/article/raja-lorenzo-ii-catholic-kingdom-dutch-east-indies Raja Lorenzo II: A Catholic kingdom in the Dutch East Indies]'', International Institute for Asian Studies, Newsletter #47, pp.24-25</ref>


== Reinha Rosari ==
== Reinha Rosari ==
Sekitar tahun 1665, Raja [[Ola Adobala]] di[[baptis]] dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho. Secara ritual, ia memprakarsai upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada patung ''Tuan Ma'' ([[Bunda Maria]] Reinha Rosari) sebagai lambang bahwa Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha (Ratu) dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.<ref name="Antara news">{{citation |url=http://www.antaranews.com/berita/304885/prosesi-jumat-agung-nan-abadi-di-larantuka |title=Prosesi Jumat Agung nan abadi di Larantuka |date=5 April 2012 |author=Laurensius Molan |publisher=antaranews.com}}</ref> Dengan demikian menyiratkan Kerajaan Larantuka sebagai kerajaan [[Katolik Roma|Katolik]].
Sekitar tahun 1665, Raja [[Ola Adobala]] di[[baptis]] dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho. Secara ritual, ia memprakarsai upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada patung ''Tuan Ma'' ([[Bunda Maria]] Reinha Rosari) sebagai lambang bahwa Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha (Ratu) dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.<ref name="Antara news">{{citation |url=http://www.antaranews.com/berita/304885/prosesi-jumat-agung-nan-abadi-di-larantuka |title=Prosesi Jumat Agung nan abadi di Larantuka |date=5 April 2012 |author=Laurensius Molan |publisher=antaranews.com}}</ref> Dengan demikian menyiratkan Kerajaan Larantuka sebagai kerajaan [[Katolik Roma|Katolik]].


Pada tanggal 8 September 1886 Raja [[Don Lorenzo Usineno II DVG]], raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka sehingga Larantuka sejak saat itu umum disebut "Reinha Rosari" (Ratu Rosari).<ref name="Antara news"/>
Pada tanggal 8 September 1886 Raja [[Lorenzo II dari Larantuka|Don Lorenzo Usineno II DVG]], raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka sehingga Larantuka sejak saat itu umum disebut "Reinha Rosari" (Ratu Rosari).<ref name="Antara news"/>


== Referensi ==
== Referensi ==
Baris 91: Baris 90:
Sumber-sumber tradisi lisan, yang sebagiannya masih terpelihara melalui tutu maring usu-asa (cerita asal usul) yang dikeramatkan, kiranya .merupakan bahan berharga yang membantu memberikan penjelasan tentang sejarah, kebudayaan, dan pandangan dunia masyarakat Flores Timur. Beberapa peneliti etnografi telah memanfaatkan dengan baik sumber-sumber tradisi lisan ini (lihat, misalnya Vatter, 1984; Graham, 1985; Petu, .1967; Van Wouden, 1985). Dalam tulisan inii dimanfaatkan sumber tradisi lisan dan. beberapa sumber tertulis.
Sumber-sumber tradisi lisan, yang sebagiannya masih terpelihara melalui tutu maring usu-asa (cerita asal usul) yang dikeramatkan, kiranya .merupakan bahan berharga yang membantu memberikan penjelasan tentang sejarah, kebudayaan, dan pandangan dunia masyarakat Flores Timur. Beberapa peneliti etnografi telah memanfaatkan dengan baik sumber-sumber tradisi lisan ini (lihat, misalnya Vatter, 1984; Graham, 1985; Petu, .1967; Van Wouden, 1985). Dalam tulisan inii dimanfaatkan sumber tradisi lisan dan. beberapa sumber tertulis.
Sejarah kependudukan masyarakat NTT pada umumnya menunjukkan bahwa propinsi ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnik menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989:12; Mubyarto, 1991:5). Kenyataan ini membawa tantangan tersendiri, terutama jika heterogenitas itu menimbulkan konflik kebudayaan. Khusus dalam masyarakat Flores Timur, gejala heterogenitas terlihat dalam sejarah asal usul, suku, bahasa (dialek), filsafat dan pandangan dunia. Pembicaraan mengenai aspek-aspek tersebut acap kali memunculkan perdebatan sengit antara berbagai orang yang memegang ‘otoritas’ (Vatter, 1984:71). Suatu persoalan yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah, bagaimana masyarakat yang pluralistik seperti itu membangun sebuah komunitas hidup bersama dan mengembangkan semacam ‘lembaga peredam konflik’.
Sejarah kependudukan masyarakat NTT pada umumnya menunjukkan bahwa propinsi ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnik menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989:12; Mubyarto, 1991:5). Kenyataan ini membawa tantangan tersendiri, terutama jika heterogenitas itu menimbulkan konflik kebudayaan. Khusus dalam masyarakat Flores Timur, gejala heterogenitas terlihat dalam sejarah asal usul, suku, bahasa (dialek), filsafat dan pandangan dunia. Pembicaraan mengenai aspek-aspek tersebut acap kali memunculkan perdebatan sengit antara berbagai orang yang memegang ‘otoritas’ (Vatter, 1984:71). Suatu persoalan yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah, bagaimana masyarakat yang pluralistik seperti itu membangun sebuah komunitas hidup bersama dan mengembangkan semacam ‘lembaga peredam konflik’.
Dari berbagai tradisi lisan, dapat diketahui bahwa yang disebut suku asli Flores Timur adalah kelompok suku Ile Jadi (yakni suku yang leluhurnya —Wato Wele Oa Dona dan Lia Nurat Nuru Nama— dilahirkan dari dalam gunung Ile Mandiri). Sedangkan suku-suku pendatang/imigran adalah suku Tena Mau (yang datang ke Flores Timur karena perahu (tena) mereka terdampar (mau); kelompok Sina Jawa (adalah kelompok pendatang yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara bagian Barat); kelompok Kroko Puken ( kelompok imigran dari Pulau Lepan Batang, pulau yang dipercaya telah tenggelam ke dasar laut). Pengaruh-pengaruh luar yang masih dapat diketahui adalah pengaruh Jawa (diduga berasal dad masa Hindu abad ke-13); Bugis Mákassar (diduga bermula dari abad ke-16, terbukti sampai sekarang masih terdapat naskah lontar bertulisan Bugis di Pulau Solor), Ambon/Maluku (terutama dalam zaman pemerintahan Belanda pada awal abad ke-17), Portugis (yang tiba di Solor tahun 1556, disertai migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ketika Portugis ditaklukkan Belanda tahun 1641 di Malaka) (Soewondo, 1981 : 22-24; Fernandez, 1984; Taum, 1993).
Dari berbagai tradisi lisan, dapat diketahui bahwa yang disebut suku asli Flores Timur adalah kelompok suku Ile Jadi (yakni suku yang leluhurnya —Wato Wele Oa Dona dan Lia Nurat Nuru Nama— dilahirkan dari dalam gunung Ile Mandiri). Sedangkan suku-suku pendatang/imigran adalah suku Tena Mau (yang datang ke Flores Timur karena perahu (tena) mereka terdampar (mau); kelompok Sina Jawa (adalah kelompok pendatang yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara bagian Barat); kelompok Kroko Puken ( kelompok imigran dari Pulau Lepan Batang, pulau yang dipercaya telah tenggelam ke dasar laut). Pengaruh-pengaruh luar yang masih dapat diketahui adalah pengaruh Jawa (diduga berasal dad masa Hindu abad ke-13); Bugis Mákassar (diduga bermula dari abad ke-16, terbukti sampai sekarang masih terdapat naskah lontar bertulisan Bugis di Pulau Solor), Ambon/Maluku (terutama dalam zaman pemerintahan Belanda pada awal abad ke-17), Portugis (yang tiba di Solor tahun 1556, disertai migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ketika Portugis ditaklukkan Belanda tahun 1641 di Malaka) (Soewondo, 1981: 22-24; Fernandez, 1984; Taum, 1993).
Menurut berbagai cerita rakyat, pendiri Kerajaan Larantuka adalah seorang tokoh ‘pendatang’ dari Sina Jawa bernama Pati Golo Arakiang (seringkali tokoh ini dihubung-hubungkan dengan mitos tentang Majapahit. Misalnya: Nama ‘Pati’ dan ‘Arakiang’ disejajarkan dengan gelar ‘Patih’ dan Rakryan’ dari kerajaan Majapahit). Pati Golo Arakiang memperoleh kekuasaan sebagai raja Larantuka berkat perkawinannya dengan tokoh legendaris dan mitobogis setempat yakni Wato Wele Oa Dona. Seperti dinyatakan di atas, Wato Wele yang bersaudara dengan Lia Nurat merupakan tokoh mitologis yang menjadi cikal bakal penduduk suku Ile Jadi. Dengan demikian, terbangun suatu hubungan kekerabatan antara Ile Jadi dengan keturunan Pati Golo Arakiang (Larantuka). Sekalipun terdapat pola kekerabatan, ternyata hubungan itu banyak menimbulkan konflik dan pertentangan. Permusuhan dan pertentangan antara kedua kelompok itu bahkan menimbulkan peperangan yang berlangsung beratus-ratus tahun lamanya dan sukarI didamaikan sampai dengan abad ke-19 (Vatter, 1984:23-24). Dalam perkembangan selanjutnya, perang yang terkenal dengan nama Perang Paji Demon itu bergeser menjadi perang antara orang-orang Demon (yakni pengikut raja-raja Kristen dari Larantuka) melawan orang-orang Paji (yakni pengikut raja-raja Islam dari Adonara dan Solor, tanpa melihat apakah mereka Islam, Kristen atau kafir). Selaras dengan itu dibedakan antara ‘tanah Paji’ dan ‘tanah Demon’; Paji Nara dan Demon Nara (Vatter, 1984:24-25; Graham, 1985:59-60).
Menurut berbagai cerita rakyat, pendiri Kerajaan Larantuka adalah seorang tokoh ‘pendatang’ dari Sina Jawa bernama Pati Golo Arakiang (seringkali tokoh ini dihubung-hubungkan dengan mitos tentang Majapahit. Misalnya: Nama ‘Pati’ dan ‘Arakiang’ disejajarkan dengan gelar ‘Patih’ dan Rakryan’ dari kerajaan Majapahit). Pati Golo Arakiang memperoleh kekuasaan sebagai raja Larantuka berkat perkawinannya dengan tokoh legendaris dan mitobogis setempat yakni Wato Wele Oa Dona. Seperti dinyatakan di atas, Wato Wele yang bersaudara dengan Lia Nurat merupakan tokoh mitologis yang menjadi cikal bakal penduduk suku Ile Jadi. Dengan demikian, terbangun suatu hubungan kekerabatan antara Ile Jadi dengan keturunan Pati Golo Arakiang (Larantuka). Sekalipun terdapat pola kekerabatan, ternyata hubungan itu banyak menimbulkan konflik dan pertentangan. Permusuhan dan pertentangan antara kedua kelompok itu bahkan menimbulkan peperangan yang berlangsung beratus-ratus tahun lamanya dan sukarI didamaikan sampai dengan abad ke-19 (Vatter, 1984:23-24). Dalam perkembangan selanjutnya, perang yang terkenal dengan nama Perang Paji Demon itu bergeser menjadi perang antara orang-orang Demon (yakni pengikut raja-raja Kristen dari Larantuka) melawan orang-orang Paji (yakni pengikut raja-raja Islam dari Adonara dan Solor, tanpa melihat apakah mereka Islam, Kristen atau kafir). Selaras dengan itu dibedakan antara ‘tanah Paji’ dan ‘tanah Demon’; Paji Nara dan Demon Nara (Vatter, 1984:24-25; Graham, 1985:59-60).
Dari perkawinan Pati Gob dan Wato Wele, lahir tiga putra yakni : Kudi Lelen Bala (yang kelak menurunkan orang Waibalun), Padu Ile (yang kelak menurunkan raja-raja Larantuka), dan Lahalapan (yang kelak menurunkan orang-orang Balela). Yang dikenal sebagai raja pertama Kerajaan Larantuka adalah Sira Demon Pagong Molang, karena raja inilah yang meletakkan dasar pemerintahan dan penataan kerajaannya.
Dari perkawinan Pati Gob dan Wato Wele, lahir tiga putra yakni: Kudi Lelen Bala (yang kelak menurunkan orang Waibalun), Padu Ile (yang kelak menurunkan raja-raja Larantuka), dan Lahalapan (yang kelak menurunkan orang-orang Balela). Yang dikenal sebagai raja pertama Kerajaan Larantuka adalah Sira Demon Pagong Molang, karena raja inilah yang meletakkan dasar pemerintahan dan penataan kerajaannya.


3. Pembagian Wilayah Teritorial
3. Pembagian Wilayah Teritorial
Baris 120: Baris 119:


Tulisan ini berasal dari artikel Yoseph Yapi Taum, pernah dimuat dalam Majalah Basis, Yogyakarta, 1994.-->
Tulisan ini berasal dari artikel Yoseph Yapi Taum, pernah dimuat dalam Majalah Basis, Yogyakarta, 1994.-->
{{indo-sejarah-stub}}


[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Larantuka]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Larantuka]]

Revisi terkini sejak 21 Februari 2024 15.34

Ilimandiri Larantuka

Tana Nagi
Lamakéra [1]
1600–1904
Lokasi Larantuka
Ibu kotaLarantuka
Bahasa yang umum digunakanBahasa resmi: Portugis
Lainnya: Melayu Larantuka
Li'o
Agama
Katolik
PemerintahanMonarki
Lorenzo I 
Sejarah 
• Didirikan
1600
• Dibeli Belanda dari Portugal
1859
• Dibubarkan oleh Belanda
1904
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Portugal
Hindia Belanda
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Larantuka adalah sebuah kerajaan yang berada di Nusa Nipa yang berarti Pulau Naga dalam bahasa lokal,[2] sedangkan dalam bahasa Portugis, Cabo de Flores[3] yang sekarang disebut sebagai Pulau Flores,[4] dan dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan sebagai Galiyao[5][6] yang disebut sebagai penghasil kayu cendana.[7] Wilayah kekuasaannya mencapai Adonara.[8] Raja pertama Larantuka bernama Lorenzo I.[9]

Permulaan

[sunting | sunting sumber]

Sebelum tahun 1600, pedagang Portugis meninggalkan Solor dan menetap di Larantuka. Para pedagang terlibat dalam konflik dengan Dominikan di Solor, karena mereka lebih tertarik dalam perdagangan daripada kristenisasi. Pada tahun 1613, Solor diduduki Belanda dan Dominikan pindah ke Larantuka juga. Kemudian Larantuka menjadi stasiun internal untuk perdagangan kayu cendana dari Timor dan menjadi pusat perdagangan Portugis di wilayah Indonesia bagian tenggara. Larantuka bahkan menjadi tempat pengungsian bagi desertir dari Dutch East India Company (VOC).

Upacara ritual pengorbanan hewan memiliki posisi yang cukup penting dan mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial pada bermacam lapisan sistem politik Flores Timur. Kohesi sosial dan legitimasi status sosial melalui ritus memiliki peranan khas dalam berbagai organisasi sosial-politik di Flores Timur (Graham, 1985:141). Selain dalam upacara ritual pembagian kakang, ritus juga tampak pada upacara penerimaan imigran Kroko Pukeng.

Ritus pengorbanan hewan yang pertama kali ditetapkan oleh Raja Sira Demong Pagong Molang ini dilaksanakan di setiap kampung (Lewo) oleh ‘panitia empat’ yang disebut suku raja (suku besar). (Istilah suku berasal dari kata Melayu. Istilah asli Flores Timur untuk menyebut suku adalah Ama atau Wung. Organisasi suku dalam kampung tidak sama tinggi kedudukan dan fungsinya. Pada prinsipnya, nama-nama suku ‘besar’ itu berkaitan erat dengan fungsi para kepala suku dalam upacara ritual pengorbanan hewan. Selain itu, mereka juga memangku kekuasaan duniawi ataupun yang berkaitan dengan dunia ilahi. Keempat suku itu adalah: Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama Hurint.

Dalam ritus pengorbanan hewan, Ama Koten memegang kepala hewan korban. Dia adalah kepala dari ‘panitia empat’, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam kampung. Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban. Dialah yang bertugas mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dan mengatur masalah perang ataupun damai. Ama Marang bertugas membacakan doa, menceritakan sejarah asal usul (tutu rnaring usu-asa) untuk mendapat restu (ike kwaAt) dari kekuatan leluhur. Dialah yang bertugas menjaga tatanan adat dalam kampung. Ama Hurint bertugas membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan korban untuk meramal suatu kejadian. Ama Hurint dan Ama Marang juga bertugas memberi nasihat atau saran bila terdapat perbedaan pendapat antara Ama Koten dan Ama Kelen, mencari jalan keluar bersama-sama dengan pemuka-pemuka atau tua-tua yang disebut Kelake.

Berdasarkan legenda setempat, leluhur raja Larantuka disebut berasal dari perkawinan antara seorang tokoh pemersatu dari kerajaan Wehale Waiwiku dengan seorang tokoh wanita mistik berasal dari gunung Ile Mandiri.[10]

Reinha Rosari

[sunting | sunting sumber]

Sekitar tahun 1665, Raja Ola Adobala dibaptis dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho. Secara ritual, ia memprakarsai upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada patung Tuan Ma (Bunda Maria Reinha Rosari) sebagai lambang bahwa Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha (Ratu) dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.[11] Dengan demikian menyiratkan Kerajaan Larantuka sebagai kerajaan Katolik.

Pada tanggal 8 September 1886 Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka sehingga Larantuka sejak saat itu umum disebut "Reinha Rosari" (Ratu Rosari).[11]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Tomé Pires dalam bukunya Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins
  2. ^ Sareng Orinbao (1969), Nusa Nipa: nama pribumi Nusa Flores (warisan purba), Percetakan Arnoldus/Penerbitan Nusa Indah, Ende
  3. ^ Laan, Petrus. 1962-1968. Larantuka 1860-1918, 9 vols. (deposited in the Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands).
  4. ^ Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis Cabo de Flores yang berarti Tanjung Bunga. Nama ini semula diberikan oleh S.M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer.
  5. ^ Barnes, R. H., The Majapahit dependency Galiyao, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 138, p. 407-412
  6. ^ Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD (The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29-34
  7. ^ Fraassen, Ch. F. van, Drie plaatsnamen uit Oost-Indonesië in de Nagara-Kertagama: Galiyao, Muar en Wwanin en de vroegere handelsgeschiedenis van de Ambonse eilanden, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 132, p. 293-305
  8. ^ Verbaal. 21 April 1906, no. 55. Nationaal Archief, The Hague, Ministerie van Koloniën, 1900-1963, Openbaar verbaal, 1900-1952.
  9. ^ Heynen, F. C. 1876a. Het Christendom op het Eiland Flores in Nederlandsch Indië (Studiën op Godsdienstig, Wetenschappelijk en Letterkundig Gebied 8: 8). The Hague: van Gulick.
  10. ^ Barnes, R.H., (2008), Raja Lorenzo II: A Catholic kingdom in the Dutch East Indies, International Institute for Asian Studies, Newsletter #47, pp.24-25
  11. ^ a b Laurensius Molan (5 April 2012), Prosesi Jumat Agung nan abadi di Larantuka, antaranews.com 

Kepustakaan

[sunting | sunting sumber]
  • Anderson, B.R.O.G. 1972. ‘The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Hoit. C., ed. Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
  • Barlow, Colin, et.al. 1989. Potensi-potensi Pengembangan Soslal Eko-nomi di Nusa Tenggara Timur. Canberra: Australian National University.
  • Fernandez, F.K. 1981. Semana Santa: Upacara Devoci Tradisional di Larantuka. Larantuka: Konfrerta Reinha Rosari.
  • Galtung, Johan. 1980. The True Worlds: A Transnational Perspectives. New York: MacMillan Co.
  • Graham, Penelope. 1985. Issues in Social Structure in Eastern Indonesia. Oxford University Press.
  • Kennedy, R. 1955. A Notes on Indonesia: Flores 1949-1950. Human Relations Area
  • Mubyarto, et.al. 1991. Etos Kerfa dan Kohesi Sosial Masyarakat Sumba, Rore, Sabu,Timor di WIT. Yogyakarta: P3PK UGM.
  • Petü, Piet. 1967. Nusa Nipo: Nama Pribumi Nusa Flores. Ende: Nusa indah.
  • Soewondo, Bambang, et.al. 1987. Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Depdikbud.
  • Soemargono, K. et.al. 1992. Profil Provinsi RI: Nusa Tenggara Timur. Jakarta: PT lntermasa.
  • Taum, Yoseph Yapi. 1993. Tradisi dan Transformasi Cerita Wato Wele-Lia Nurat dalam Cerita Rakyat Flores Timur. Yogyakarta: Tesis Master pada Fakultas Pascasarjana UGM.
  • Van Wouden, F.A.E. 1985. Klen, Mitos dan Kekuasaan: Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur. Jakarta: Grafiti Pers.
  • Vatter, Ernst. 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte Berguolker Im Tropisehen Holland (1932) oleh S.D. Sjah. Ende Nusa lndah.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]